Post on 05-Mar-2019
ANALISA FREESPAN AKIBAT SCOURING PIPA BAWAH LAUT
Studi Kasus Dry Gas Pipeline dari HESS (Indinesia-Pangkah) Ltd yang menghubungkan WellHead
Platform-A di perairan Madura menuju Gresik Onshore Processing Facility (OPF)
(Umar Arif), Hasan I
2), Imam R
3))
Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institute Teknologi Sepuluh Nopember
Kampus ITS Keputih Sukolilo – Surabaya 60111
E-mail : umar_arie@yahoo.com
Abstrak
Jalur pipa bawah laut merupakan salah satu infrastruktur transportasi jarak jauh untuk minyak dan gas yang
paling efisien untuk pemindahan produksi minyak dan gas baik yang berasal dari eksplorasi di darat, daerah
dekat pantai maupun dari laut dalam dengan metode yang efektif dan efisien. Freespan harus mendapat
perhatian khusus dalam proses desain pipa bawah laut karena kondisi ini dapat menyebabkan vibrasi atau
biasa dikenal sebagai fenomena Vortex Induce Vibration (VIV). Tugas akhir ini adalah melakukan analisa
pengaruh VIV pada freespan pipa bawah laut, Data yang digunakan merupakan data pipa Hess (Indonesia-
Pangkah) Limited di perairan Ujung Pangkah, berdasarkan code yang mengacu pada ASME B31.8 untuk
analisa statis dan DnV RP F105 untuk analisa dinamis. Dari hasil analisa, maka diperoleh kedalaman
scouring pada pipa bawah laut adalah: 0.0099 m, 0.011m, 0.012 m, 0.014 m,0.049 muntuk tiap KP dengan
panjang span yang diijinkan adalah panjang span yang terpendek dari perhitungan, yaitu 21.28 m, 22.41 m, 22.34
m, 18.04 m, 19.41 m, 19.65 m, 20.17 untuk KP yang sama. Sedangkan Dari hasil analisa VIV diketahui bahwa
frekuensi natural span pada pipa lebih besar dari frekuensi vortex. Aliran vortex yang terjadi pada disekitar
pipa kurang teratur karena harga Reynold number antara 1.25.104
~ 3.27.103. Hasil ini menunjukkan bahwa
pipa akan aman dioperasikan dari osilasi akibat vortex.
Kata kunci : freespan, vortex induced vibration, scouring, pipa bawah laut
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Energi telah dijadikan bagian mendasar pada
kebutuhan hidup manusia. Diantara banyak
sumber energi yang ada di alam ini, minyak
dan gas merupakan sumber energi paling
banyak digunakan manusia.
Ketergantungan manusia terhadap produk-
produk migas yang tidak dapat dihentikan,
menyebabkan semakin intensifnya usaha
pencarian dan eksplorasi migas di daerah
lepas pantai dan laut dalam. Untuk
mengakomodasi penyaluran minyak dan gas
bumi dari sumur-sumur minyak di Lepas
pantai dan di laut dalam maka digunakan
jaringan pipa bawah laut sebagai alternatif
yang paling mudah, aman, dan efisien.
Jalur pipa bawah laut merupakan salah satu
infrastruktur transportasi jarak jauh untuk
minyak dan gas yang paling efisien untuk
pemindahan produksi minyak dan gas baik
yang berasal dari eksplorasi di darat, daerah
dekat pantai maupun dari laut dalam dengan
metode yang efektif dan efisien.
Mahalnya konstruksi pipa bawah laut menjadi
hal yang diperhitungkan. Oleh karena itu,
konstruksi pipa bawah laut harus didesain dan
dianalisis dengan baik agar konstruksi tersebut
dapat diinstal dan beroperasi dengan baik
sesuai dengan tujuannya.
Tugas akhir ini akan menganalisa freespan
pipa bawah laut. Analisa freespan dilakukan
setelah proses inspeksi pasca instalasi.
Freespan pipa bawah laut adalah suatu
keadaan dimana terbentuk bentangan pipa
dengan panjang tertentu memiliki jarak (gap)
terhadap seabed. Bentangan bebas pada pipa
ini sangat berbahaya terhadap konstruksi pipa
itu sendiri, yang nantinya mengakibatkan
kerusakan. Bending diakibatkan beban statis
yang timbul pada pipa. Sementara itu beban
siklis berakibat pipa terkena beban dinamis.
Fenomena vortex shedding ditimbulkan akibat
beban dinamis, dimana disebabkan
getaran/osilasi pada pipa. Oleh karena itu
perlu dilakukan suatu evaluasi atau analisa
terhadap freespan yang terjadi.
Analisis freespan dilakukan dalam tiga
kondisi yaitu, kondisi instalasi, kondisi
hidrotes, dan kondisi operasi. Perbedaan untuk
masing-masing kondisi ini terdapat pada jenis
pengisi pipa, kondisi korosi pada pipa, dan
gaya lingkungan yang terjadi. Pada kondisi
instalasi, bagian dalam pipa masih berisi udara
dengan densitas sama dengan nol, pipa belum
dipengaruhi oleh korosi, dan gaya lingkungan
yang digunakan adalah gaya lingkungan
dengan periode ulang satu tahun. Pada kondisi
hidrotes, bagian dalam pipa terisi dengan air
sehingga berat jenis pengisi pipa adalah berat
jenis air laut. Tebal pipa belum berkurang
karena belum terkena korosi. Gaya
lingkungan yang digunakan adalah gaya
lingkungan dengan periode ulang satu tahun.
Pada kondisi operasi, bagian dalam pipa sudah
terisi gas sehingga berat jenis pengisi pipa
adalah berat jenis gas pengisi pipa. Tebal pipa
masih belum berkurang karena belum terkena
korosi dan gaya lingkungan yang digunakan
adalah gaya lingkungan dengan periode ulang
seratus tahun. Pada setiap kondisi akan
dianalisa freespan pada pipa akibat beban
statis, sehingga dapat ditentukan panjang span
yang diijinkan agar tegangan yang terjadi
tidak lebih dari tegangan yang diijinkan.
Selain beban statis juga dianalisa freespan
akibat beban dinamis sehingga dapat
ditentukan panjang span yang diijinkan agar
frekuensi natural pipa tidak sama dengan
frekuensi beban yang mengenai freespan.
1.2. Permasalahan Permasalahan yang diangkat dalam Tugas Akhir ini
adalah
1. Berapa kedalaman scouring pada pipa bawah
laut?
2. Berapa besar vortex yang terjadi?
3. Berapa panjang span maksimum yang diijinkan?
1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari tugas akhir
ini adalah
1. Mengetahui kedalaman scuring untuk
menentukan bentangan bebas.
2. Mengetahui besar vortex yang terjadi.
3. Mengetahui panjang bentagan bebas yang
diijinkan agar tidak terjadi osilasi.
1.4. Manfaat Manfaat yang akan diperoleh dari tugas akhir
ini, yaitu:
1. Dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam perancangan instalasi
pipa bawah laut.
2. Dapat mengantisipasi atau menghindari
terjadinya kegagalan pada pipa bawah laut
akibat gerakan osilasi pada pipa
2. DASAR TEORI
2.1. Metode Risk Based freespan pada pipa bawah laut dapat terjadi ketika
kontak antara pipa dan seabed hilang dan memiliki
jarak pada permukaan seabed (Boyun Guo, 2005).
Freespan pada pipa dapat terjadi karena (DnV,
2002) :
• Permukaan seabed yang tidak merata.
• Perubahan kontur dasar laut ( akibat scouring,
sand waves )
• Support buatan.
Adanya freespan pipa ini membutuhkan sebuah
analisa. Hal ini karena pada freespan pipa bekerja
gaya-gaya. Pada freespan pipa harus cukup kuat
melawan (Mikael et al, 2005) :
• excessive yielding
• fatigue
• buckling
• ovalisasi
Metode analisa span dibagi dua bagian, dan
masing-masing memiliki 2 tahapan, dan terdiri dari
analisa tegangan awal dan cek frekuensi getaran,
kemudian diikuti oleh analisa regangan serta
analisa kelelahan apabila diperlukan ( Kaye et al,
1994). Dalam jurnal yang sama, Kaye et al (1994),
mengatakan bahwa resiko kerusakan pada freespan
pipa dapat terjadi dalam dua mekanisme yang
terpisah, yang pertama adalah akibat bending yang
berlebih karena beban hidrodinamis dan berat pipa
itu sendiri, atau kerusakan akibat fatigue dalam
kurun waktu panjang.
Analisa freespan akan menghasilkan berapa
panjang freespan yang diijinkan agar tegangan
yang terjadi pada freespan tidak melebihi tegangan
yield material pipa. Aliran dari gelombang dan arus
yang timbul di sekitar pipa, timbul pusaran yang
menghasilkan distribusi tekanan. Pusaran ini
menghasilkan osilasi/getaran pada pipa. Jika
frekuensi dari pusaran ini mendekati frekuensi
natural pipa, maka terjadi resonansi, dan inilah
yang menyebabkan kelelahan pada pipa (Yong Bai,
1981)
Gambar 2.1. Freespan pada Pipa Bawah Laut
(Bai, 1981)
Gambar 2.2. Macam-macam Kondisi Freespan (
Kenny, 1993)
2.2 Berat Pipa Terendam
Berat pipa terendam dapat dihitung
berdasarkan material pipa yang diketahui.
Persamaan untuk mendapatkan berat pipa
terendam adalah :
Dimana :
D = Diameter nominal pipa
Di = Diameter internal pipa
Do = Diameter external pipa
De = Diameter pipa ditambah lapisan anti
korosi
ρs = massa jenis pipa
ρe = massa jenis lapisan anti korosi
ρc = massa jenis selubung beton
ρl = massa jenis kandungan pipa
ρw = massa jenis fluida
g = gravitasi bumi
Berat pipa terendam terdistribusi secara
merata sepanjang pipa, khususnya untuk pipa
berat, akan sangat berpengaruh dalam
penentuan on bottom stability dan perilakunya
terhadap span.
2.2.3 Beban Gelombang
Mengacu pada subbab diatas, beban
hidordinamis yang terjadi pada pipa adalah
beban gelombang dan arus.
- Penentuan Teori Gelombang
Teori gelombang yang akan digunakan dalam
perancangan dapat ditentukan dengan
menggunakan formulasi matematika dari teori
gelombang linier sebagai berikut :
2
gT
H dan
2
gT
d
(2.2)
setelah mendapatkan harga dari kedua
formulasi tersebut, kemudian disesuaikan
dengan grafik ”Region of Validity”, seperti
terlihat pada gambar 2.1, sehingga diperoleh
teori gelombang yang dipakai.
Gambar 2.3 Grafik Region of Validity of Wave
Theories (Mousselli, 1981)
2.3 Jenis-jenis Pembebanan
Menurut Kenny (1993), beban yang bekerja pada
pipa dibagi menjadi 2 kategori, antara lain :
a. Functional Load
Beban fungsional in merupakan beban yang bekerja
pada pipa sebgai kaibat dari keberadaan pipa itu
sendiri tanpa dipengaruhi oleh beban lingkungan.
Beban fungsional antara lain adalah beban dari
berat pipa itu sendiri, termasuk berat struktur baja
pipa, berat lapisan anti korosi, lapisan selubung
beton, beban akibat tekanan dalam yang diberikan
pada pipa, beban akibat suhu yang cukup tinggi di
dalam pipa, serta beban akibat sisa instalasi.
b. Environmental Load
Beban ini bekerja pada pipa akibat adanya kondisi
lingkungan yang terjadi. Untuk beban pada pipa
bawah laut, tentunya yang mempengaruhi adalah
beban gelombang dan arus. Untuk mendapatkan
data beban lingkungan yang tentunya bersifat acak,
maka data yang digunakan untuk analisa adalah
data dengan periode ulang (return period). Periode
ulang merupakan data rata-rata beban yang terjadi.
2.3.1 Berat Pipa Terendam (Submerged Weight)
Berat pipa terendam dapat dihitung berdasarkan
material pipa yang diketahui. Persamaan untuk
mendapatkan berat pipa terendam adalah :
(2.1)
Dimana :
D = Diameter nominal pipa
Di = Diameter internal pipa
Do = Diameter external pipa
De = Diameter pipa ditambah lapisan anti korosi
�s = massa jenis pipa
�e = massa jenis lapisan anti korosi
�c = massa jenis selubung beton
�l = massa jenis kandungan pipa
�w = massa jenis fluida
g = gravitasi bumi
Berat pipa terendam terdistribusi secara merata
sepanjang pipa, khususnya untuk pipa berat, akan
sangat berpengaruh dalam penentuan on bottom
stability dan perilakunya terhadap span.
2.3.2 Beban Gelombang
Mengacu pada subab diatas, beban hidordinamis
yang terjadi pada pipa adalah beban gelombang dan
arus.
- Penentuan Teori Gelombang
Teori gelombang yang akan digunakan dalam
perancangan dapat ditentukan dengan
menggunakan formulasi matematika dari teori
gelombang linier sebagai berikut :
2
gT
H dan
2
gT
d (2.2)
Dengan mengetahui panjang gelombang pada
perairan dalam, maka dapat dihitung panjang
gelombang untuk perairan dengan kedalaman yang
lain. Hasil dari formulasi matematika tersebut
kemudian disesuaikan dengan grafik Daerah
Aplikasi Teori Gelombang “Regions of Validity of
Wave Theories”, seperti terlihat pada gambar 2.3.
sehingga dapat diketahui teori gelombang yang
akan digunakan.
- Komponen Gelombang
Menurut Triatmodjo (1999), panjang
gelombang sebagai fungsi dari kedalaman
untuk teori gelombang Stokes orde 2
diperoleh dari iterasi persamaan berikut:
L
dgTL
π
π
2tanh
2
2
=
(2.3 )
Panjang gelombang dan tinggi gelombang
mula-mula diperoleh dari persamaan berikut
(Triatmodjo, 1999):
2.56,1 TLo =
( 2.4 )
os HKH .=
( 2.5 )
Keterangan :
L = panjang gelombang pada
kedalaman tertentu (m)
Lo = panjang gelombang awal (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
T = periode gelombang (dt)
d = kedalaman perairan (m)
H = tinggi gelombang pada
kedalaman tertentu (m)
Ho = tinggi gelombang awal (m)
Ks = koefisien shoaling /
pendangkalan
- Teori Gelombang
Pada umumnya bentuk gelombang di alam
adalah sangat komplek dan sulit digambarkan
secara matematis karena ketidak linieran, tiga
dimensi, dan mempunyai bentuk random
(Triatmodjo, 1999). Untuk meggambarkan
gelombang tersebut, maka muncullah
beberapa teori gelombang dengan berbagai
pendekatan.
Penentuan teori gelombang yang berlaku
didasarkan pada parameter-parameter berupa
tinggi gelombang, periodenya serta kedalaman
laut yang diamati. Semua parameter tersebut
menjadi acuan untuk penentuan teori
gelombang yang dapat dilihat pada grafik
Region Validity.
Beberapa teori gelombang tesebut antara lain:
• Teori Gelombang Airy
• Teori Gelombang Stokes
• Teori Gelombang Knoidal
• Teori Gelombang Tunggal
- Kecepatan Arus Efektif Yang Bekerja
Pada Pipa
Kecepatan efektif yang bekerja pada pipa
merupakan kombinasi dari kecepatan arus dan
kecepatan gelombang. Hal ini karena scouring
disebabkan oleh arus dan gelombang, maka
kecepatan partikel air efektif yang bekerja
pada pipa dapat diformulasikan:
Ve = Vw + Vc
Dimana: Vw = Kecepatan arus akibat
gelombang normal terhadap pipa (m/s)
Vc = Kecepatan arus steady
normal terhadap pipa (m/s)
- Kecepatan Arus Steady
Kecepatan arus yang bekerja dihitung pada 1
m di atas dasar laut berdasarkan standar teori
gelombang. Hokum pangkat 1/7 biasanya
digunakan untuk memperkirakan kecepatan
horizontal partikel air, seperti dinyatakan pada
Mouselli (1981):
(2.6)
dimana: v = kecepatan horizontal partikel
ketinggian y dari dasar laut (m/s)
v0 = pengukuran kecepatan
horizontal pada tinggi y0 dari dasar laut
Pada persamaan di atas V0 biasanya dihitung
pada ketinggian sekitar 1 m di atas dasar laut.
Pada kenyataanya tergantung dari kekasaran
dasar laut dan Reynolds Number. Sehingga
kecepatan efektif (Ve) seperti pada Mouselli
(1981), adalah:
( )dyyVD
V
D
e ∫=0
22 1 (2.7)
Setelah mensubtitusi persamaan 2.2 ke dalam
2.3, maka diperoleh kecepatan arus efektif
(Mouselli, (1981):
7/1
00
=
Y
Y
U
U
286.22)/(778.0 c
wew yDxVxV =
T
Lc =
Lk
π2=
Dimana Vc dan y0 diperoleh dari data, dengan
harga D yang ditentukan maka harga Ve dapat
dicari. Arah arus yang digunakan normal
terhadap pipa. Apabila dalam data arah arus
menunjukkan arah tertentu maka sudut
datangnya perlu diketahui dengan garis
normal pipa. Jadi semua arah diproyeksikan
terlebih dahulu terhadap garis normal pipa,
sehingga di dapat (Soegiono, 1998):
Vn = Vew cos θ (2.9)
- Kecepatan Arus Akibat Pengaruh
Gelombang
Perhitungan kecepatan arus akibat pengaruh
gelombang dilakukan dengan menggunakan
teori gelombang yang berlaku. Pemilihan teori
gelombang dilakukan menurut diagram
validitas teori gelombang (Region of Validity)
Menurut Kinsman (1965), kecepatan arus
akibat pengaruh gelombang berdasarkan
kedalaman tertentu dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
Dimana: U* = Kecepatan arus akibat
gelombang
c = Celerity gelombang
k = Angka gelombang
L = Panjang gelombang
d = Kedalaman perairan
T = Periode
a = Amplitudo gelombang
H = Tinggi gelombang
Dengan melakukan subtitusi persamaan 2.11
dan 2.12 ke dalam persamaan (2.10) maka
diperoleh persamaan kecepatan arus akibat
pengaruh gelombang berdasarkan kedalaman
adalah:
(2.13)
dimana: δ = wave steepness
δ = L
H (2.14)
- Kecepatan Partikel Efektif dari Patikel
Air
Dalam Mouselli (1981), penentuan kecepatan
horizontal partikel air pada kedalaman tertentu
serta persamaan kecepatan efektif adalah
sebagai berikut:
286.0
0
2
0
2778.0
=
y
DUU e ( 2.15 )
keterangan :
Ue = Kecepatan efektif partikel air pada
ketinggian y0 (m/s)
U0 = Kecepatan horizontal partikel air yang
diketahui pada y0 (m/s)
D = Diameter luar pipa (m)
Y = Kedalaman Laut
y0 = Ketinggian orbit partikel dari seabed
(m)
Arah kecepatan partikel air yang digunakan
adalah normal terhadap pipa. Sehingga jika
kecepatan partikel air datang pada arah
tertentu, maka perlu untuk mengetahui sudut
datang tersebut terhadap arah normal pipa.
Dengan demikian kecepatan normal pipa
kdecakU 222* ..δ=
kdecU 222* ...δπ=
dapat dinyatakan dalam rumusan sebagai
berikut:
θcos.absN VV = ( 2.16 )
Keterangan :
VN = kecepatan normal (m/dt)
Vabs = kecepatan absolut (m/dt)
- Reynold Number
Bilangan Reynold mengindikasikan bentuk
aliran yang terbentuk dan berhubungan
dengan tahanan suatu benda. Bilangan
Reynold itu sendiri dirumuskan sebagai
berikut:
v
DUR e
e = ( 2.17 )
keterangan:
υ = viskositas kinematis fluida untuk air laut
berkisar 1,2 x 10-6
m2/s
D = diameter luar pipa (m)
Ue = kecepatan efektif partikel (m/dt)
Gambar 2.4 Kecepatan Efektif pada Pipa (Mikael,
2005)
Desainer harus dapat menerapkan nilai
koefisien hidrodinamis sesuai dengan keadaan
sebenarnya di lapangan. Beberapa pihak
mempunyai cara tersendiri dalam menentukan
koefisien hidrodinamis. Salah satunya adalah
koefisien hidrodinamis yang dirumuskan oleh
Mouselli (1981) untuk desain pipa.
2.2.4 Analisa Freespan Dinamis
Pipa bawah laut yang terkena beban
hidrodinamis suatu ketika akan
mengalami`kelelahan, karena akibatkan beban
tersebut yang bersifat siklis. Kelelahan pada
struktur akan memicu terjadinya kegagalan.
Tujuan dari analisa freespan dinamis adalah
untuk menentukan panjang span maksimum
yang diijinkan agar pipa terhindar dari respon-
respon alami yang bisa menyebabkan
kelelahan.
2.2.5 Massa Efektif Pipa
Dalam Yong Bai (1981), persamaan massa
efektif pipa adalah:
Me = Mstr + Mc + Ma (2.18)
Keterangan:
Mstr = Massa stuktur pipa (termasuk
lapisan), kg/m
Mc = Massa kandungan pipa, kg/m
Ma = Massa tambah
dimana Ca = Koefisien massa tambah
2.2.6 Stability Parameter
Dalam Boyun Guo (2005), salah satu bagian
penting dalam menganalisa gerak akibat
vortex adalah parameter kestabilan. Parameter
ini digunakan untuk menentukan respon
maksimal akibat beban hidrodinamis (Kaye, et
al). Persamaannya adalah sebagai berikut:
2
2
D
MK se
sρ
δ= (2.19)
keterangan:
Ks = Parameter kestabilan
Me = Massa efektif pipa, kg/m
δs = Logaritmic decrement ( 0,125 )
ρ = density air laut, kg/m3
D = diameter luar pipa, m
2.2.7 Pipeline Natural Frequency
Dalam Boyun Guo (2005), frekuensi natural
pipa tergantung pada kekakuan pipa, kondisi
ujung span pipa, panjang span, serta massa
efektif dari pipa tersebut. Persamaan ferkuensi
natural pipa adalah sebagai berikut :
42se
e
nLM
EICf
π= (2.20)
keterangan:
fn = frekuensi natural pipa, Hz
Ls = Panjang Span, m
Me = Massa efektif pipa, kg/m
Ce = Konstanta ujung span
dimana Ce = 9.87 ( pin-pin)
Ce = 15.5 (jepit-pin)
Ce = 22.2 (jepit-jepit)
2.2.8 Panjang Span kritis
Sedangkan dalam Boyun Guo (2005), panjang
span kritis atau panjang pipa tanpa support
dimana terjadi osilasi akibat arus adalah
merupakan hubungan antara frekuensi natural
span pipa dan reduced velocity.
Panjang span kritis untuk gerak cross flow
adalah:
e
re
sM
EIDUCL
π2= (2.21)
Panjang span kritis untuk gerak in-flow
adalah:
e
nes
M
EIfCL
π2= (2.22)
keterangan :
Ls = panjang span kritis, m
Ce = Konstanta ujung span
Ur = Reduced Velocity, m/s
D = diameter luar pipa, m
Me = Massa efektif pipa, kg/m
2.2.9 Gerusan (Scouring)
Scouring akan menyebabkan
penurunan kapasitas tahanan pondasi
yaitu tahanan pasif tanah terhadap
gaya lateral dan momen.
Scouring adalah fenomena alam yang
disebabkan oleh aliran air laut.
Peristiwa ini banyak terjadi pada
material tanah lumpur/endapan,
tetapi juga dapat terjadi juga terjadi
pada keadaaan berbatu/berkaranng
dengan kondisi tertentu. Sehingga
dapat disimpulkan pengertian dari
scouring adalah pergerakan dari
tanah dasar laut yang disebabkan arus
dan gelombang yang mana prosesnya
sama seperti erosi dapat juga terjadi
secara proses alami dapat juga
disebabkan elemen struktur yang
dekat dengan dasar laut.
Pergerakan tekanan dasar laut dan
kecepatan dapat menggerus sedimen
dari bawah pipa. Sedikit demi sedikit
sedimen bergerak dari bawah pipa,
pola pergerakan pun berubah,
menghasilkan vortices shed dari
setiap sisi pipa. Vortices dapat
menyebabkan osilasi vertikal dan
horisontal pada pipa (Halliwell,
1986).
2.2.9.1 Estimasi Kedalaman Scouring
Sangat penting mempertimbangkan
keakuratan dalam menghitung
kedalaman maksimum dari scouring
untuk pertimbangan dalam
mendesain suatu struktur. Zaman
sekarang sudah banyak formulasi
yang dibuat dengan tujuan
menghitung kedalaman scouring
pada tiang jembatan tetapi hanya
sedikit formulasi yang ditemukan
untuk menghitung kedalaman
scouring bawah laut.
Penalitian-penelitian untuk
memprediksi kedalaman scouring
telah banyak dilakukan pada pipa
bawah laut yang terletak pada dasar
laut. Pada Chiew (1997) terdapat
beberapa penelitian untuk
memprediksi kedalaman scouring
menghasilkan formulasi:
1. Technical University of Norway
2. Delf University of Technology
3. Nanyang Technology
University
1. Technical University of Norway
Kjeldsen et. al. (1973) dalam
Chiew (1997) melakukan
percobaan flume di laboraturium
untuk meneliti local scour di
sekitar pipa bawah laut pada
kondisi undirictional current
(arus dalam segala arah) dengan
live-bed condition atau dimana
lingkungan terjadi transportasi
sedimen. Menurut percobaan
kondisi ini sedimen selalu
bertambah ke lubang scouring
dari bagian upstream karena
terjadinya sedimen transpor
pada dasar laut. Chiew dan
Melville (1987) dalam Chiew
(1997) menunjukkan bahwa
kesetimbangan kedalaman
scour pada live-bed condition
akan lebih kecil daripada clear-
water condition. Percobaan ini
menghasilkan formulasi untuk
menghitung kedalaman
scouring:
(2.23)
dimana:
ds : Kedalaman scouring (m)
Vet : Kecepatan arus efektif
pada pipa (m/s)
D : Diameter pipa (m)
g : Percepatan gravitasi
(m/s2)
Persamaan di atas hanya
tergantung dengan kecepatan
aliran dan diameter pipa, tetapi
tidak memperhitungkan
kedalaman dan grain size.
2. Delf University of Technology
Perhitungan kedalaman scouring
selain formulasi dari Norway Delf
University juga mempelajari
makanisme dari kecepatan aliran di
sekitar pipa bawah laut. Delf
University mempelajari perubahan
dari pola aliran di sekitar pipa dan
respon dari sedimen. Bijker dan
Leuwestien (1984) dalam Chiew
(1997) mengatakan bahwa
kedalaman scour tergantung pada
kecepatan undisturbed flow, diameter
pipa, kedalaman, tinggi pipa dari
tingkat dasar laut dan grain size.
8.0
2.02
2972.0 D
g
Vd et
s
=
04.0
50
78.0
26.02
..2
929.0−
= dD
g
Vd et
s
Dengan masih berdasarkan pada
formulasi dari Kjelsen et. al (1973)
dalam Chiew (1997) yang telah
dijelaskan di atas maka tim ilmuwan
Belanda menemukan formula yaitu:
(2.24)
dimana:
ds : Kedalaman scouring (m)
D : Diameter pipa (m)
Vet : Kecepatan arus efektif pada
pipa (m/s)
d50 : Ukuran butiran tanah (m)
g : Percepatan gravitasi (m/s2)
Ukuran partikel tanah yang
digunakan yaitu d50 yaitu ukuran
diameter butiran partikel tanah atau
diameter yang bersesuaian dengan
50% dari berat total yang lolos dari
ayakan yang ditentukan dari kurva
distribusi ukuran butiran, d50 sering
digunakan untuk menghitung daya
dukung dan stabilitas sedimen,
karena d50 adalah nilai tengah dari
seluruh ukuran butiran tanah,
sehingga dianggap lebih mendekati
dengan karakteristik tanah
sebenarnya.
Kesimpulan utama dari penelitian ini
bahwa kedalaman scour pada
unidirectional current selalu lebih
besar daripada yang di bawah
pengaruh gelombang murni atau efek
kombinasi dari gelombang dan arus
pada tegangan geser dasar laut yang
sama.
3. Nanyang Technological University
Salah satu dari formulasi untuk
menghitung kedalaman scouring
untuk pipa bawah laut adalah
formulasi Nanyang Technological
University yang akan digunakan
dalam tugas akhir ini yang ada dalam
Chiew (1991). Formulasi ini
didasarkan pada kondisi :
1. Clear-water condition, yaitu
kondisi dimana tidak terdapat
tranportasi sedimen upstream
lokasi terbentuknya scouring.
Undistrubed shear stress pada
dasar laut dengan critical shear
stress untuk entrainment
sediment.
2. Scouring terjadi dalam kondisi
unidirectional current akan
memberikan shear stress.
Ketika lubang scouring ada
antara pipa dan dasar laut, aliran
yang datang terpisah menjadi dua
bagian. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan Chiew (1991)
untuk aliran di gap pada aliran
shallow open chennel,
menemukan bahwa jumlah aliran
di gap tergantung pada
kedalaman undisturbed flow
(Yo), diameter pipa (D) dan
kedalaman scouring (ds). Metode
ini dalam perhitungan untuk
memprediksi kedalaman scouring
dengan terlebih dahulu
membandingkan harga Yo/D
yang digunakan mencari untuk
harga kecepatan total aliran di
gap (q’) dengan menggunakan
grafik, seperti pada gambar di
bawah ini.
Gambar 2.6 Grafik q’ terhadap Yo/D (Chiew, 1997)
Dimana q’ merupakan rasio antara qbot dan qo,
sedang nilai qo dapat dihitung dengan rumus:
eto VxYoq =
(2.25)
dimana :
qo : Debit aliran sepanjang Yo
persatuan panjang ke arah
panjang pipa (m2/det)
Vet : Kecepatan arus efektif yang
bekerja pada pipa (m/det)
Selanjutnya harga kecepatan rata-rata
aliran di bawah pipa dapat ditentukan
dengan mengasumsikan lebih dulu harga
kedalaman scouring, sehingga kecepatan
rata-rata di bawah pipa dan harga bed
shear stress di lubang scouring juga dapat
dihitung, seperti dinyatakan dalam
persamaan di bawah ini:
Kecepatan rata-rata di bawah
pipa:
( ) ests
bot
botd
qV =
(2.26)
dimana:
qbot : Debit aliran yang melewati
gap persatuan panjang ke
arah panjang pipa
(m2/det)
(ds)est: Asumsi kedalaman
maksimal dari scouring
(m)
Bed shear stress pada lubang
scouring:
8
2
bot
bot
Vfρτ =
dimana:
τbot : Tegangan geser pada
lubang scouring (Pa)
f : Faktor gesekan dari
diagram Moody
ρ : massa jenis fluida
(Kg/m3)
Faktor gesekan yang diambil
dari diagram Moody
(Gambar 2.8) berdasarkan
harga kekasaran relative
dibandingkan dengan
Reynold Number dengan
persamaan:
q
o
Y
O
D
d
L
(p
an
SW
L
(2.28)
(2.29)
Dimana, υ : viskositas kinematis (m2/s)
Gambar 2.8 Diagram Moudy
(Daugherty R.L, 1985)
Terakhir bed shear stress yang telah
dihitung dibandingkan dengan critical
shear stress (τc) yang diambil dari diagram
Shield, dilanjutkan dengan iterasi sampai
nilai τbot = τc.
Gambar 2.9 Critical Shear Stress – d50
(Chiew,1997).
2.2.10 Free Span Akibat Scouring
Span pada pipa dapat muncul karena
lokal scour dari sedimen dasar laut
atau dimana rute pipa melalui dasar
laut yang tidak teratur. Ketika arus
bawah melewati pipa, secara terpisah
vortices terbentuk dari bagian atas
dan bawah pipa. Hal ini
menimbulkan fluktuasi gaya
hidrodinamik dimana dapat
menghasilkan osilasi yang besar atau
span pada arah aliran silang apabila
frekuensi vortex shedding mendekati
span natural vibration.
Kegagalan pipa dimana dapat
disebabkan pergerakan vortex
dapat dicegah apabila frekuensi
vortex shedding adalah cukup
jauh dari frekuensi natural dari
bentangan pipa sehingga osilasi
dinamik pipa dapat diminimalkan.
Frekuensi vortex shedding dapat
dituliskan:
D
VSf
eff
s =
(2.30)
dimana :
fs : frekuensi vortex shedding
S : strouhal number
Veff : kecepatan arus efektif
pada pipa (m/s)
D : diameter pipa (m)
Strouhal number adalah fungsi
dari Reynolds’ number dari aliran
arus. Koefisien drag juga fungsi
dari Reynolds’ number.
Hubungan antara koefisien drag
dengan Strouhal number adalah:
S = 0.21 / (Cd)0.75
(2.31)
sd
d
D
erelativeKekasaran 50==
υsbot dV ×
=Re
Untuk masalah praktis pipa
biasanya Strouhal number
diambil harga 0,2.
Gambar 2.10 Ilustrasi dari freespan (Mousselli,
1981)
Frekuensi natural dari bentangan
pipa tergantung dari kekakuan
pipa, panjang bentangan pipa dan
kombinasi massa dari pipa,
termasuk muatannya dan massa
tambah sekitar pipa. Frekuensi
natural untuk getaran bentangan
pipa diberikan oleh Mousselli
(1981) sebagai berikut:
M
IE
L
Cf n 2
= (2.32)
dimana :
EI : Kekakuan pipa
L : Panjang bentangan (m)
M : Kombinasi massa pipa (kg/m)
C : Konstanta (tergantung kondisi akhir
pipa)
Sebagai contoh, jika kedua ujung
bentangan bebas pipa diasumsikan
berbentuk tumpuan sederhana maka C
adalah π/2. Jika kedua ujung pipa
diasumsikan diklem, C adalah 3.5.
Kombinasi massa pipa merupakan
gabungan massa pipa di udara dan massa
tambah pipa, dimana massa pipa di udara
adalah total dari massa properties dari pipa
seperti yang dirumuskan dalam Mousselli
(1981):
Mp = ρp . 0,25 . π. ( Do2 – ( Do – 2 tp )
2 )
Mac = ρac . 0,25 . π. ( ( Do + 2 . tac )2
- Do2 )
Mc = ρc . 0,25 . π. ( ( Do + 2 . tac + 2 . tc )2 -
( Do - 2 . tac )2)
Mf = ρf . 0,25 . π. Do2
Ma = Mp + Mc + Mac + Mf
Sehingga kombinasi massa pipa menjadi:
M = Ma + Mtambah (2.38)
Mtambah = ρsw . 0,25 . π. ( DT ) 2 . L (2.39)
Dimana:
Mp : Mass pipa (kg/m)
Mac : Masssa anti corrosion (kg/m)
Mc : Massa concrete coating (kg/m)
Mf : Massa fluida dalam pipa (kg/m)
Ma : Massa pipa diudara (kg/m)
Mousselli (1981) menyatakan bahwa telah
diteliti bentangan pipa mulai berosilasi ketika
frekuensi shedding 1/3 dari frekuensi natural
dari vibrasi bentangan pipa. Untuk tujuan
mendesain pipa perbandingan frekuensi vortex
shedding lebih kecil 0,7 kali frekuensi natural
dari bentangan pipa agar tidak terjadi osilasi.
Jadi dapat dituliskan osilasi tidak muncul
apabila: ns ff 7.0≤ .
3. Metodologi
3.1 Umum
Untuk mencapai penyelesaian masalah dan
mendapatkan hasil yang baik maka dalam
penelitian Tugas Akhir ini digunakan
metodologi sebagai berikut :
Gambar 3.1. Diagram Metodologi
Penulisan Tugas Akhir
Pengumpulan Data
(Data yang diperoleh dari Kerja Praktek)
Pengolahan Data
(Perhitungan data)
Analisa dan Pembahasan
(Pengkajian hasil pengolahan data)
Menarik kesimpulan dari hasil
analisa dan pembahasan
Pengumpulan Data
Data-data yang digunakan diperoleh dari
kegiatan Kerja Praktek. Komponen-
komponen data yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Data perairan yang meliputi:
• Kecepatan arus murni atau
undisturbed current velocity yang
terjadi pada lokasi dan juga
kedalaman dari perairan tersebut.
• Tinggi dan periode gelombang
yang terjadi pada lokasi.
2. Data tanah dasar laut (seabed) yang
meliputi:
• Diameter butiran partikel tanah
yang bersesuaian dengan 50%
lolos pada ayakan yang
ditentukan.
• Bathymetri (kontur dasar laut)
sepanjang pipa bawah laut yang
akan ditinjau.
3. Data pipa bawah laut meliputi:
• Diameter pipa, jenis material pipa
dan panjang pipa.
Pengolahan Data
Berdasarkan data-data tersbut dilakukan
perhitungan-perhitungan yang meliputi:
1. Perhitungan kecepatan arus
• Kecepatan arus yang digunakan
adalah kecepatan arus yang
didapat dari data lingkungan,
dimana kecepatan arus akibat
angin yang diukur 1m di atas
seabed. Kemudian dilakukan
perhitungan kecepatan arus
efektif. Langkah-langkah
perhitungan kecepatan arus
steady dan kecepatan efektif arus
steady dapat dilihat pada gambar
3.2.
Gambar 3.2. Diagram perhitungan kecepatan
efektif arus steady
2. Perhitungan kecepatan arus akibat
pengaruh gelombang
• Perhitungan ini dimaksudkan
untuk mengetahui besar
kecepatan arus yang dipengaruhi
oleh gelombang (H), periode
gelombang (T) dan kedalaman
(d). Variabel-variabel tersebut
digunakan pada region of validity
dimana untuk menentukan teori
gelombang yang sesuai dengan
kondisi perairan di lokasi. Setelah
diperoleh teori gelombang
kemudian dilakukan perhitungan
untuk menentukan panjang
Mulai
Kecepatan arus di
lokasi
Vn = V0 cos α
Vmin, Vmean dan
Vmax
max)/(min/22
778,0= vxV meanea
STOP
gelombang dan cepat rambat
gelombang. Diagram langkah-
langkah perhitungan panjang
gelombang (L) dan cepat rambat
(c) gelombang seperti pada
gambar 3.3, sesuai dengan besar
panjang gelombang dan cepat
rambat gelombang, maka
dilakukan perhitungan kecepatan
arus akibat pengaruh gelombang.
3. Perhitungan kedalaman maksimal
scouring
• Perhitungan ini dilakukan dengan
membagi panjang pipa menjadi 6
Kilometer Poin (KP). Kedalaman
scouring untuk setiap KP
dihitung dengan menggunakan
tiga formulasi; Technical
University of Norway, Delf
University of Technology dan
Nanyang Technological
University. Untuk formulasi
pertama digunakan data
kecepatan arus dan kecepatan
arus akibat gelombang, diameter
pipa dan data bathymetri.
Langkah-langkah yang dilakukan
dapat dilihat pada gambar 3.4.
Formulasi kedua juga
menggunakan data-data yang
sama dengan data-data pada
metode pertama, tetapi ditambah
dengan data diameter butiran
partikel seabed (d50). Langkah-
langkah yang dilakukan dapat
dilihat pada gambar 3.5.
Gambar 3.5. Diagram perhitungan kedalaman
scouring dengan menggunakan
formulasi kedua
Formulasi ketiga dilakukan
dengan menggunakan metode
yang bersifat iterasi
menggunakan data-data yang
sama pada formulasi kedua.
Selain itu pada formulasi ketiga
ditentukan besarnya kedalaman
arus (flow depth) berdasarkan
asumsi dan juga estimasi
kedalaman maksimal scouring.
Langkah-langkah yang dilakukan
dalam perhitungan dapat dilihat
pada gambar 3.6.
Mulai
ds = 0,972
8,0
2,02
2D
g
V et
STOP
Vea dan D
Mulai
ds = 0,929
4,0
50
78,0
26,02
.2
−
dD
g
V et
STOP
Vea, D dan d50
Gambar 3.4. Diagram
perhitungan kedalaman scouring
dengan menggunakan formulasi
pertama
Gambar 3.6. Diagram perhitungan
kedalaman scouring dengan
menggunakan formulasi ketiga
4. Perhitungan panjang freespan
(bentangan bebas)
• Perhitungan panjang bentangan
bebas dimulai dengan
perhitungan kecepatan arus
efektif yang bekerja pada pipa di
lokasi terjadinya scouring
digunakan untuk menghitung
frekuensi vortex shedding.
Kemudian dilakukan
penghitungan panjang bentangan
bebas dan frekuensi natural pipa
dengan cara iterais dimana
terdapat syarat fs ≤ 0.7 fn. Nilai
koefisien tumpuan dari bentangan
sebesar 1,57 karena bentangan
pipa diasumsikan ditumpu
dengan tumpuan sederhana.
Langkah-langkah yang dilakukan
dapat dilihat pada gambar 3.7.
IV. Analisa dan Pembahasan
4.1 Data-data
Data yang digunakan dalam Tugas Akhir ini adalah
data pipa bawah laut milik Hess (Pangkah-
Indonesia), digunakan untuk distribusi gas dari
Wellhead Platform A di perairan Ujung Pangkah
menuju Gresik Onshore Processing facility (OPF)
seperti pada gambar 4.1
Perhitungan kecepatan arus efektif pada pipa
Kecepatan efektif arus karena gelombang
dirumuskan sebagai berikut:
Arus efektif total merupakan hasil penjumlahan
dari arus efektif yang dihasilkan gelombang dengan
Mulai
q0 = Y1 x Vea
STOP
Vea, D, d50, Y0
qbot = q’ x q0
(q’ dari diagram Y0/D)
Menghitung kecepatan arus di
lubang scouring
( )ests
bot
botd
qV =
f dari diagram Moudy
dsest
cτ dari diagram Shield
2
8
bot
bot
Vfρτ =
cbot ττ =
Tidak
286.22)/(778.0 c
wew yDxVxV =
arus efektif yang dihasilkan oleh arus steady.
Dengan Vw merupakan kecepatan arus yang bekerja
pada kedalaman y0 yang besarnya 1,2 m dan D
merupakan diameter pipa. Maka Perhitungan
kecepatan efektif arus steady pada pipa dilakukan
dengan menggunakan data 1 tahunan dan 100
tahunan seperti pada table di bawah ini:
D (m) d c H/L Vew
0.4064 30.3 13.66 0.25 0.022 0.089 0.0424
0.4064 35.3 13.66 0.25 0.022 0.0997 0.0464
0.4064 30.3 13.66 0.25 0.022 0.1104 0.0505
0.4064 35.3 13.66 0.25 0.022 0.1246 0.056
0.4064 30.3 13.66 0.25 0.022 0.1389 0.0615
4.2 PERHITUNGAN SCOURING
4.3.1 TECHNICAL UNIVERSITY
OF NORWAY
Kjeldsen et. al. (1973) dalam Chiew (1997)
melakukan percobaan flume di laboraturium
untuk meneliti local scour di sekitar pipa
bawah laut pada kondisi undirictional
current (arus dalam segala arah) dengan
live-bed condition atau dimana lingkungan
terjadi transportasi sedimen. Menurut
percobaan, kondisi ini selalu menghasilkan
penambahan sedimen ke lubang scouring
dari bagian upstream karena terjadinya
sedimen transpor pada dasar laut. Chiew dan
Melville (1987) dalam Chiew (1997)
menunjukkan bahwa kesetimbangan
kedalaman scour pada live-bed condition
lebih kecil daripada clear-water condition.
Percobaan ini menghasilkan formulasi untuk
menghitung kedalaman scouring:
8.0
2.02
2972.0 D
g
Vd et
s
=
Hasil dari perhitungan scouring dengan
menggunakan data 1 tahunan dan 100
tahunan untuk Technical University of
Norway dapat dilihat pada table di bawah:
Tabel 4.9 Perhitungan Scouring Technical
University of Norway (100 y)
D
(inch)
D (m) D0.8
Vet
(m/s)
ds
KP
1 16 0.4064 0.487 0.0111 0.076
2 16 0.4064 0.487 0.0099 0.079
3 16 0.4064 0.487 0.0102 0.082
4 16 0.4064 0.487 0.0111 0.086
5 16 0.4064 0.487 0.0121 0.090
4.3.2 Delft University of Technology
Bijker dan Leuwestien (1984) dalam Chiew
(1997) mengatakan bahwa kedalaman scour
tergantung pada kecepatan undisturbed flow,
diameter pipa, kedalaman, tinggi pipa dari
tingkat dasar laut dan grain size. Dengan
masih mengacu pada formulasi sebelumnya
tetapi dalam formulasi sekarang
ditambahkan variabel diameter butiran tanah
yaitu d50 sebagai faktor yang juga
berpengaruh pada perhitungan kedalaman
scouring yang nilainya 0.03. Hasil dari
perhitungan scouring dengan data 1 tahunan
dan 100 tahunan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4.10 Perhitungan Scouring Delft University
of Technology (1 y)
D
(inch)
D (m) D0.78
Vet
(m/s)
d50 ds
KP
1 16 0.4064 0.495 0.0462 0.03 0.044
2 16 0.4064 0.495 0.0512 0.03 0.047
3 16 0.4064 0.495 0.0561 0.03 0.048
4 16 0.4064 0.495 0.0631 0.03 0.051
5 16 0.4064 0.495 0.0702 0.03 0.054
4.3.3 Nanyang Technologycal
University (1 y)
Dalam perhitungan ini digunakan
undisturbed flow depth, variasi y0 = 1,06-
1,22 yang diambil berdasar acuan dari
Mouselli (1981). Hasil perhitungannya
dengan menggunakan data 1 tahunan dan
100 tahunan dapat dilihat pada table di
bawah ini:
Tabel 4.11 Perhitungan Scouring Nanyang
Technologycal University (1 y)
KP D (m) Vet (m/s)
dest
(m) d50
(m) f
cτ botτ
1 0.4064 0.0462 0.009 0.03 0.007 0.01 0.01
2 0.4064 0.0512 0.014 0.03 0.0072 0.01 0.01
3 0.4064 0.0561 0.012 0.03 0.0074 0.01 0.01
4 0.4064 0.0631 0.014 0.03 0.0076 0.01 0.01
5 0.4064 0.0702 0.051 0.03 0.0077 0.01 0.01
4 .3 PANJANG BENTANGAN BEBAS
4.4.1 Perhitungan Vortex Sheding (1 y)
Menghitung Vortex Shedding (1 y)
fs = S . Ueff / D Cd = 1.3
Dimana S: = 0.17248915
kde
2 *U
Tabel 4.8 Kecepatan Arus Steady (1 y)
75.0/21.0 dCS =
Tabel 4.12 Perhitungan Vortex Shedding (1 y)
KP D (m) Vet (m/s) fs
1 0.4064 0.0462 0.0196
2 0.4064 0.0512 0.0217
3 0.4064 0.0561 0.0238
4 0.4064 0.0631 0.0268
5 0.4064 0.0702 0.0298
4.4.2 PERHITUNGAN VORTEX
SHEDDING (100 Y)
Menghitung Vortex Shedding (100 y)
fs = S . Ueff / D Cd = 1.3
Dimana S: = 0.17248915
4.4.3 PERHITUNGAN MASSA PIPA
Dalam analisa frekuensi natural pada pipa
terdapat factor massa total dari pipa
tersebut, maka massa total pipa dihitung
terlebih dahulu.
Mp = ρp . 0,25 . π . (D02 – (D0 – 2 tp)
2)
Mac = ρac . 0,25 . π . (D0 + 2 . tac)2
Mc = ρc . 0,25 . π ( (D0 + 2 . tac + 2 . tc)2 – (D0 – 2 . tac)
2)
Mf = ρf . 0,25 . π . D02
Ma = Mp + Mc + Mac + Mf
Tabel 4.13 Massa Pipa
Mp Mac Mc Mf Mad M
kg/m kg/m kg/m kg/m kg/m kg/m
115.715963 1.3423735 344.7645 3.12 2534 2999.149
115.715963 1.3423735 344.7645 3.12 2674 3139.938
115.715963 1.3423735 344.7645 3.12 2815 3280.727
115.715963 1.3423735 344.7645 3.12 2956. 3421.516
115.715963 1.3423735 344.7645 3.12 3097 3562.305
4.4.4 Perhitungan Frekuensi Natural Pipa
Panjang bentangan bebas yang terjadi
dihitung dengan cara iteratif melalui
perhitungan frekuensi natural pipa dengan
melihat syarat osilasi yang terjadi pada
bentangan bebas dengan syarat. Sedang
frekuensi naturalnya adalah:
M
EI
L
Cfn 2
=
Dimana pada perhitungan konstantan natural
pipa yang diambil 22,2 karena kondisi ujung
bentangan pipa adalah jepit – jepit. Berikut
panjang bentangan bebas dapat dilihat pada
table 4.18.
Tabel 4.14 Perhitungan Panjang Bentangan
Bebas (1 y)
D m
L E , I (1 y) ML4
fn (1 y)
0,7 fn (1 y)
0.406 18 6.02E+05 314838618 1.52 1.07
0.406 19 6.02E+05 409199823 1.34 0.94
0.406 20 6.02E+05 524916302 1.18 0.83
0.406 21 6.02E+05 665419864 1.05 0.73
0.406 22 6.02E+05 834491374 0.94 0.66
4.4 Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan dan setelah
dianalisa berdasarkan kecepatan arus akibat
pengaruh gelombang dan arus steady, maka
diperoleh:
Grafik 4.5a
Grafik Kedalaman Scouring Tanpa Variasi D
Grafik 4.5b
Grafik Kedalaman Scouring Tanpa Variasi D
Gambar 4.5a memperlihatkan bahwa untuk
tiap zona dimana dengan diameter dan hanya
pengaruh dari kecepatan arus efektif dan pada
grafik 4.5b memperlihatkan selain pengaruh
75.0/21.0 dCS =
ns ff 7.0≤
Grafik Kedalaman Scouring Dengan Variasi D
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,0462292 0,0511631 0,0561306 0,0631343 0,0702158
Kecepatan Arus
Ke
da
lam
an
Sc
ou
rin
g
Norway
Delft
Nanyang
Grafik Kedalaman Scouring Tanpa Variasi D
0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,0462292 0,0511631 0,0561306 0,0631343 0,0702158
Kecepatan Arus
Ked
ala
man
Sco
uri
ng
Norway
Delft
Nanyang
keepatan arus juga dipengaruhi oleh variasi
diameter.
Kedalaman scouring maksimal yang
dihasilkan oleh formulai nanyang pada kedua
analisa diatas mempunyai pertimbangan
pengaruh kecepatan efektif yang bekerja pada
pipa. Hal ini dikarenakan kecepatan efektif
pada pipa berpengaruh pada kecepatan
penggerusan sehingga akan mencapai
kedalaman yang maksimal. Dengan nilai
penggerusan maksimal maka akan
menghasilkan panjang bentangan bebas
maksimal pula dan dapat pula menyebabkan
pipa mengalami osilasi sehingga akhirnya
patah.
V Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diproleh dari penelitian dan
analisis pada tugas akhir ini adalah:
1. Formulasi yang sesuai untuk perhitungan
kedalaman scouring adalah formulasi
Nanyang dikarenakan parameternya telah
menggunakan diameter butiran tanah.
Dengan formulasi tersebut diperoleh
kedalamn scouring untuk pipa dengan
diameter 406.4 mm adalah:
Zona I : 0.00999 m
Zona II : 0.011 m
Zona III : 0.012 m
Zona IV : 0.014 m
Zona V : 0.049 m
2. Hasil analisa VIV diketahui bahwa frekuensi
natural span pada pipa lebih besar dari
frekuensi vortex. Aliran vortex yang terjadi
pada disekitar pipa kurang teratur karena
harga Reynold number antara 1.25.104
~
3.27.103. Hasil ini menunjukkan bahwa pipa
akan aman dioperasikan dari osilasi akibat
vortex.
3. Panjang bentangan bebas (freespan)
maksimum yang diijinkan akibat dari
scouring agar tidak terjadi osilasi dengan
pipa berdiameter 406.4 mm adalah: 21.28 m,
22.41 m, 22.34 m, 18.04 m, 19.41 m, 19.65 m, 20.17.
Panjang span yang diijinkan adalah panjang span yang
terpendek dari perhitungan untuk diterapkan di
lapangan.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Andersen et al. (2005). Design and Installation
of Marine Pipelines. Blackwell Science
Limited, Oxford, UK.
American Society Of Mechanical Engineers
(2003). ASME B31.8: Gas Transmission
and Distribution Piping Systems. The
American Society of Mechanical Engineers,
USA.
Bai, Y. (2001). Pipeline and Riser. Elsevier
Science Ltd, Oxford. UK.
DEP 31.40.10.15-Gen. (1997). Analysis of
Spans for Submerged Pipelines. Shell.
Netherland
DNV RP F105. (2002). Recommended
Practices for Freespanning Pipelines. Det
Norske Veritas, Norway.
Guo, Boyun. et al (2005). Offshore Pipelines.
Gulf Profesional Publishing, Burlington.
USA.
J.P. Kenny & Partner Ltd, 1993, “Structural
Analysis of Pipeline Spans”. HSE
Books. USA
Kaye, David et al.(1994). Freespan Analysis,
correction method saves time on North
Sea project. Oil and Gas Journal. Tulsa.
<URL:http://proquest.umi.com/pqdweb>
Wiyono, Agung (2006). Perbandingan Beberapa
Formula Gerusan di Sekitar Pilar.
<URL: http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-
content/uploads/2007>
Mouselli, A. H. (1981). Offshore Pipeline
Design, Analysis and Methods. PennWell
Books. Oklahoma.
Naess, A. Almar. (1985). Fatigue Hanbook
Offshore Steel Structure. Trondheim.
Palmer, A.C., 1981, ”Movements Of Submarine
Pipelines close To Platforms”.
Offshore Technology Conference. Houston
Soegiono, (2006), “Pipa Laut”, Airlangga
University Press, Surabaya.
Triatmodjo, B.(1999). Teknik Pantai. Beta
Offset. Yogyakarta
Hertia, Arisanti. (2003), ”Studi Estimasi
Scouring dan Freespans Pada Pipa Bawah
Laut PT. Exxonmobil di Perairan
Tuban,Jawa Timur. Surabaya