Post on 02-Jan-2016
description
Peringatan Imam al-Ghazali untuk Penuntut IlmuOleh: Muhammad Saad*
Ilmu dalam Islam sangat mulia. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan, ilmu merupakan
jamuan hidangan mulya dariRabb yang Maha Mulya dan Maha Suci. Oleh karenanya, untuk
memperoleh ilmu haruslah dalam keadaan suci agar menjadi “tamu” mulya bagi Allah dan dapat
“menyantap” jamuan mulya tersebut.
Karena peradaban Islam dibangun dengan ilmud, maka setiap Muslim wajib mencarinya (fardhu ‘ain).
Segala bentuk aktivitas dalam rutinitas keilmuan adalah ibadah.
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang terkenal dengan sebutan Imam
al-Ghazali adalah seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, yang sangat
memperhatikan tentang perkara ilmu ini.
Imam al-Ghazali dalam beberapa karyanya seperti Ayyuhal Walad danIhya’ Ulumuddin, memberikan
nasihat kepada pelajar agar dapat memperoleh ilmu manfaat dan barakah. Sebab ilmu yang tidak
bermanfaat itu akan menyeret pemiliknya dalam api neraka. Tanda bagi seseorang yang dipalingkan
dari rahmat Allah adalah ia sibuk dengan aktifitas-aktifitas yang tidak bermanfaat.
Di antara nasihat al-Ghazali adalah hendaknya seorang pelajar mendahulukan ilmu fardhu
‘ain daripada ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu ainitu terdiri ilmu syariah seperti ilmu kalam dan
ilmu fiqh yang menjadi pokok ajaran Islam seperti sholat, zakat, puasa dan haji. Bila ilmu fardhu
ainsudah terlaksana, kemudian barulah mempelajari ilmu fardhu kifayah baik
yang syariah maupun ghoyru syariah seperti ilmu kedokteran, matematika, mekanik, pertanian dan
lain sebaginya.
Kemudian al-Ghazali menyerukan agar ketika dalam aktivitas belajar, seorang pelajar mensucikan jiwa
(tazkiyatu al-nafs) dari kerusakan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah shalatnya jiwa, dan
ibadahbathiniyah kepada Allah. Diri harus disucikan dari penyakit hati seperti takabbur (sombong),
bangga diri (ujub), pamer (riya’), iri (hasad), unek-unek (hiqd) dan masih banyak lainnya.
Untuk itu, ketika membaca dan menelaah pelajaran, seorang pelajar hendaknya menjiwai ilmu itu
sehingga bisa memperbaiki hati dan membersihkan jiwanya.
Hal ini juga berhubungan dengan aktivitas niat yaitu agar supaya mencari ilmu dengan niatan meraih
kebahagiaan akhirat dan keridhoan Allah SWT. Oleh karenanya imam Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-
muta’alimmendahulukan niat dalam beraktivitas mencari ilmu. Sebab faktor utama diterimanya amal
sebab niat.
Sebaliknya, seorang pelajar harus bersikap rendah hati (tawadhu’) terelebih-lebih kepada guru. Sebab
ilmu laksana air ia hanya bisa mengalir dan bermuara pada tempat yang rendah.
Salah satu wujud tawadhu’ kepada guru ialah mengakui otoritas guru. Dalam hal ini, imam al-Ghazali
mengibaratkan otoritas guru terhadap murid seperti menyerapnya air hujan kepada tanah yang
gembur, dimana tanah tidak bisa menolak resapan air hujan sehingga menggemburkan dan pada
akhirnya menyuburkan tanaman yang ada.
Dalam mencari ilmu jangan sibuk untuk meraih keutaman diri dan ketenaran untuk dikenang di dunia,
sementara itu di sisih lain berasumsi bahwa ilmu yang didapat demikian bisa menyelamatkannya,
sedangkan amaliyah ilmu tersebut tidak pernah dilakukan. Hal ini ditulis Imam al-Ghazali dalam
kitab Ayyuha al-Walad
Padahal ilmu tanpa amal adalah junun (gila), sedangkan amal tanpa ilmu itu sia-sia. Gilanya ilmu
tanpa amal sebab ia ragu akan ilmunya. Apalah arti ilmu jika tidak ada amaliyahnya. Sekiranya
seseorang itu belajar seratus tahun, lalu ia menulis seribu karya, tidak akan mendapatkan satu
rahmat-pun dari Allah kecuali ia mengamaliyahkan ilmu tersebut. Justru demikian ini yang
mendatangkan siksa paling pedih dibanding siksa-sika lainnya.
Sebisa mungkin untuk menghindari perselihihan pendapat. Terlebih bagi pemula penuntut ilmu. Sebab
hal ini akan merancukan pemikiranya yang masih sedikit ilmu untuk menimbang perselisihan tersebut.
Oleh karenanya bagi pemula, dianjurkan mengikuti satu mazhab saja dalam menggali ilmu.
Al-Ghazali memperingatkan dengan tegas, jangan menjadikan ilmu sebagai bahan perdebatan, agar
tidak menjadi musuh di akhirat. Sebab dari perdebatan ini, lebih banyak menghasilkan dosa daripada
manfaatnya.
Bagi al-Ghazali bahwa kemuliaan sebuah ilmu ditentukan oleh buahnya dan keaslian prinsip-prinsipnya
(watsaqat al-dalil wa qawwatihi), dan yang pertama itu lebih penting dari yang kedua. Sebagai contoh,
walaupun tidak setepat matematika, ilmu kedokteran lebih penting bagi seseorang. Begitu juga ilmu
agama, (ilmu al-din) adalah lebih mulia dari ilmu kedokteran. Maka pembelajaran yang diutamakan
adalah dari segi konten martabat ilmu itu sendiri. Bila begitu maka isi kurikulum dimulai dengan
ilmu fardhlu ‘ain kemudian ilmu fardhlu kifayah.
Begitu pula pencarian ilmu hendaknya juga dilihat dengan kaitan kepentingan bagi penuntut ilmu.
Tiada kepentingan bagi seorang muslim kecuali kebahagiaan dunia dan akhirat. Di sini al-Ghazali
menganjurkan agar setiap penuntut ilmu, untuk mempelajari ilmu secara universal serta integral, yaitu
antara ilmu akhirat dan ilmu dunia. Tidak belajar ilmu secara parsial dan dikotomis.
Belajar ilmu secara universal dan integral ialah mempelajari ilmu akhirat dan ilmu dunia secara
holistik tanpa memisahkan satu sama lainya. Sehingga pada akhirnya dapat membangun karakteristik
seorang penuntut ilmu menjadi manusia yang integral. Yaitu seorang ilmuan yangadabi. Wallahu a’lam
bi shawwab.
Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Uluwiyah Mojokerto
Sukes Berilmu: Pandangan Imam al-Ghazali
Konsep yang ada di nalar: apa gunanya raih gelar tinggi, dan bertahun-tahun di pesantren tapi kehidupannya tidak kunjung makmur. Lantas apa ukuran sukses belajar? Dalam tulisan ini penulis mencoba menawarkan konsep Imam al-Ghazali, ulama’ ensiklopedis, yang menguasai banyak bidang keilmuan.
Berdasarkan pengalaman selama mengajar, kesimpulan yang saya tangkap adalah; para siswa belajar semata-mata demi mendapatkan ijazah saja. Kesuksesan dan kepintaran diukur dengan mendapatkan pekerjaan mapan dan kekayaan melimpah. Akibatnya adalah, cara belajar siswa cenderung pragmatis dan halalkan segala cara. Untuk dapatkan ijazah, misalnya, seorang mahasiswa ada yang membeli gelar atau ijazah.
Belajar tidak lagi untuk hilangkan kebodohan, tapi ingin meningkatkan status sosial. Akibat berikutnya, munculnya pemimpin-pemimpin yang gaya memimpinnya pragmatis, materialis – meskipun tak punya ilmu. Belakangnan ini pun beberapa calon dalam pilkada di daerah-derah tersangkut kasus ijazah palsu.
Ulama dan Tradisi Ilmu
Para ulama kita telah menuangkan konsep ilmu yang luar biasa. Salah satunya yang kita kaji kali ini adalah konsep Ilmu al-Ghazali. Dalam Ihya Ulumuddin danBidaya al-Hidayah al-Ghazali menguraikan secara mendalam pentingnya memahami konsep ilmu dengan baik.
Hujjatul Islam imam al-Ghazali pernah mengatakan, orang yang menuntut ilmu itu ada tiga macam: pertama, orang
yang menuntut ilmu semata-mata karena ingin mendapatkan bekal pulang menuju akhirat. Kedua, orang yang
belajar dengan niat mencari sesuatu untuk menopang kehidupan duniawi, dan memperoleh kemuliaan serta
jabatan hormat. Ketiga, orang yang menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, bermegah-megahan
dengan kedudukan, berbangga-banggahan dengan banyaknya pengikut, mengaku ulama dan tidak merasa perlu
bertaubat, karena menganggap dirinya muhsinun (orang-orang baik) (Lihat Bidayatul Hidayah).
Golongan pertama adalah golongan orang-orang yang memahami konsep ilmu dengan benar. Sehingga tujuan
mencari ilmu pun tidak pernah kosong dari niat untuk menghilangkan kebodohan dalam diri dan mencari ridlo Ilahi.
Golongan kedua dan ketiga adalah kelompok penuntut ilmu yang materialis, mencari ilmu untuk duniawi. Jika
konsep materialisme tertanam dalam diri thalabul ilmi, maka al-Ghazali memastikan ketika ia menjadi ulama, ia
akan menjadi sosok ulamasuu’ (ulama’ jahat). Yakni ulama yang tidak beradab.
Dalam beberapa kasus dalam pendidikan Indonesia, barangkali di antaranya sudah terhegemoni dengan konsep
materialisme itu, atau menurut al-Ghazali masuk kategori golongan kedua dan ketiga. Motivasi belajar terwarnai
dengan tujuan-tujuan duniawi belaka.
Sehingga, ketika sebuah perguruan tinggi atau sekolah kejuruan membuat brosur, selalu diselipkan kata-kata
jaminan manis untuk bisa bekerja. Seperti“Buat apa gelar kalau nganggur, kuliah aja di…”,” Kuliah singkat, kerja
cepat”adalah slogan-slogan manis yang ditawarkan lembaga pendidikan. Akibatnya, ada kampus dibuka hanya
untuk melayani pembelian ijazah, karena model perkuliahnya tidak serius, yang penting membayar kemudian lulus.
Kenyataan ini, meyakinkan kita, betapa pola pikir pragmatisme menguasai cara kerja lembaga pendidikan.
Niat belajar yang salah akan memproduksi manusia-manusia bermasalah. Rasulullah SAW dalam sabdanya telah
memberi peringatan keras bahwa orang yang belajar dengan tujuan Untuk berbangga-bangga menjadi ulama’,
berkompetisi, menyaingi teman, mencari nama dan mengumpulkan harta dunia akan menjadi manusia yang
celaka (HR. Ibnu Majah).
Peringatan itu kemudian dita’kid dalam kitab Bidayatul Hidayah oleh Imam al-Ghazali, bahwa bila tujuan mencari
ilmu seperti tersebut di atas, maka ia termasuk golongan yang berusaha merobohkan agama, membinasakan diri,
dan menjual agama. Orang-orang dengan ciri sperti inilah oleh Imam al-Ghazali disebut ulama’ suu’, atau dalam
konteks saat ini bisa kita sebut ilmuan/cendekiawan jahat. Disebut jahat karena menyalahpahamkan ajaran dan
mendakwahkan kesesatan.
Ilmu dan ilmuan dalam hal ini menjadi prioritas paling utama. Karena sebagaimana dalam hadis: ”Dua macam
golongan dari umatku (yang memegang peran penting). Bila mereka baik, maka baiklah umat manusia, dan bila
mereka rusak maka rusakklah umat manusia. Ingatlah, mereka adalah pemimpin pemerintah dan ulama (HR. Ibn
Abdil Barr dalam Ihya Ulum al-Din). Imam Hasan r.a mengatakan: ”Barang siapa yang bertambah ilmunya,
kemudian bertambah pula ketamakan kepada dunia, maka tiada yang bertambah kecuali bertambah jauh dari
Allah”.
Cukup menarik kita menengok pendapat Prof. Sayyid M. Naquib al-Attas, profesor yang menduduki “Kursi al-
Ghazali” di kampus ISTAC Malaysia, tentang problem ilmu ini. Menurut beliau tantangan besar yang dihadapi umat
ini adalah tantangan ilmu pengetahuan. Problem itu bemula dari kesalahan mendefinisikan ilmu. Bagi, al-Attas,
demikian sang profesor ini akrab dipanggil, ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil.
Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus
juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Maka, pendefinisian ilmu dalam kaitannya dengan
realitas spiritual manusia menjadi sangat penting.
Urgensinya, profesor yang juga pakar pemikiran-pemikiran al-Ghazali ini mengatakan, bahwa metafisika pendidikan
memiliki implikasi-implikasi yang mendalam, baik pada dataran teoritis maupun praktis. Kebingungan intelektual
(intelctual confusing) dan kekeliruan menangkap ilmu adalah disebabkan kekeliruan persepsi mengenai ilmu, dari
kekeliruan persepsi ini selanjutnya melahirkan ketiadaan adab (the lose of adab) pada seorang pemimpin. Uraian-
uraian al-Attas ini sebenarnya artikulasi dari pemaparan Imam al-Ghazali dalamIhya Ulum al-Din dan Bidayatul
Hidayah.
Pada awal babnya di kitab Ihya ulum al-Din al-Ghazali mendahului uraiannya yang panjang mengenai ilmu. Konon,
salah satu faktor utama al-Ghazali menulis kitab itu adalah karena keprihatinan al-Ghazali melihat kelesuan umat
saat itu yang sedang menghadapi perang salib. Kekalahan umat Islam dalam perang itu oleh al-Ghazali tidak dilihat
dari sisi kelemahan militer tentara Islam.
Namun, dengan cerdas beliau melihat sisi terdalam dari kelesuan itu, yakni kelemahan umat Islam dalam bidang
ilmu. Sehingga, lahirlah orang-orang hedonis, materialistik dan pragmatis. Kitab itu ditulis, untuk menghidupkan
kembali tradisi salaf dalam mengkaji ilmu. Ia ingin membangun kesadaran umat terlebih dahulu dari sisi keilmuan.
Karena, menurut al-Ghazali dari kesadaran dan pentradisian ilmu inilah akan lahir generasi-generasi militan yang
mencintaidin-nya lebih dari segalanya.
Selanjutnya al-Ghazali menerangkan tipologi ilmu ketika dipelajari, ilmu akan mengkristal menjadi dua fenomena
besar, menurut niatnya masing-masing. Pertama, ilmu yang dipelajari tidak karena Allah (li ghari lillah) memiliki
karakteristik zann dan syakk (keragua-raguan). Orangnya akan puas dengan tujuan-tujuan eksternal, fisik atau
material. Akibatnya, timbul kegelisahan dalam jiwa:khawf (takut pd prasangka yang tidak diketahui); huzn; khusr;
(kesempitan hidup, derita dalam diri dan akal, depresi); hamm (risau pada bencana yang akan
menimpa); ghamm; ‘usr; khasrah (penyesalan tanpa kesudahan). Kedua, ilmu yang dipelajari semata karena Allah
(lillah). Ilmunya akan menanamkani’tiqad imani yang kuat dalam hati. Sehingga orang dengan niat ini memiliki
semangat yang tinggi, tidak cepat puas dalam pencapaian ilmunya. Hasilnya adalah yaqin, sukun
nafs (ketenangan jiwa) , khasyatullah (takut pada Allah).
Oleh karena itu, ukuran kesuksesan belajar menurut Imam al-Ghazali tidak dipandang dari sisi kemampuan
menghasilkan harta dan meraih kehormatan jabatan, akan tetapi orang yang belajar – apapun ilmu yang dipelajari,
baik ulum al-din (ilmu-ilmu syari’at) atau ilmu-ilmu terapan sains – dikatakn sukses bila dia semakin sadar tanggung
jawab terhadap dirinya sebagai manusia dan kepada Allah sebagai Sang Maha Pencipta, serta takut kepada-Nya.
Sumber ilmu hakikatnya satu, yaitu wahyu. Maka sebenarnya tidak perlu ada dikotomi antar ilmu agama dan ilmu
umum. Kedua-duanya adalah sarana untuk menuju kepada-Nya. Tujuan Pencarian ilmu adalah sebagai perhiasan
batin dan memperindahnya dengan keutamaan-keutamaan untuk meningkatkan kualitas bertaqarrub kepada
Allah. Penekanan pada suatu ilmu, hendaknya dimaknai memasang skala prioritas, dan prioritas mesti diukur dari
sisi kepentingan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, sangat penting kita mengkaji konsep ilmu para ulama. Ulama kita ternyata kaya dengan filsafat
ilmu, semoga kita ada kesempatan mengkaji khazanah ‘emas’ ini.Amiiiin.
Penulis adalah peneliti InPAS, alumni PKU ISID Gontor