Syarifudin, paradigma ilmu.docx

101
Model-Model Paradigma Keilmuan 1

Transcript of Syarifudin, paradigma ilmu.docx

Model-Model Paradigma Keilmuan 1

Model-Model Paradigma Keilmuan 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang paradigm

Karunia Allah swt yang terbesar bagi manusia adalah hidaya

akal sebagai media Tuhan memperkenalkan kebesarannya melalui

ciptaannya yakni manusia. Akal adalah software (perangkat lunak)

yang diciptakan Allah untuk kebutuhan manusia memproduksi

pikiran dengan menggunakan fasilitas akal sebagai mediannya.

Sebagaimana yang telah dirasakan bahwa dengan kemampuan

akal banyak terjadi perubahan sosial akibat kemampuan akal

manusia dapat menemukan ilmu pengetahuan

Kebesaran Allah swt dalam diri manusia terdiri dari dua

potensi besar yakni potensi taqwaha sebagai medium malaikat

(bertugas memproduksi pemikiran positif) dan potensi fujuraha

(bertugas memproduksi pemikiran negatif). Dalam membangun

sebuah paradigm kedua potensi ini saling berebut perang untuk

menjadi yang terbaik dalam menampilkan eksistensinya di bumi

sebagai wakilnya Allah swt di Bumi.

Manusia telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam

berpikir. Kemajuan ini muncul akibat kemapuan membedakan cara

berpikir baik dan buruk. untuk mencegah, menjaga dan

memelihara kemaslahatan mencegah kerusakan dalam berpikir.

Aspek yang perlu di perhatikan ada 3 hal dalam membangun

sebuah paradigm. Hal yang pertama; adalah menjaga sistem

operasional naps(fujuraha) agar tidak mendominasi cara kerja spirit

taqwaha hati dan jiwa, sebagai media yang berfungsi merespon

Model-Model Paradigma Keilmuan 3

realitas. Kedua; menjaga hukum (sunnatullah) berupa alam fisika.

Ketika; genetika konstruksi pemikiran yang diwariskan oleh para

ilmuan yang telah menghasilkan berupa karya paradigm perlu ada

fatabayyan untuk mengetahui cara kerja sebuah paradigma dan apa

saja maslahatnya bagi kehidupan umat manusia. Ketiga; Teknik

operasional dari sebuah karya berpikir dari aspek kemudahannya

mengungkap dan menjelaskan sebuah realitas.

Pada dasarnya cara kerja paradigm keilmuan adalah dar’ul

mafaasid waljabul mashalih (menolak kerusakan menciptakan

kemaslahatan) bagi umat manusia dalam menjalani aktivitasnya

selama ia hidup di dunia dan berupaya mewariskan karya

pemikiran yang bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Inilah

“motif paradigm keilmuan dakwah” sebagai spirit mencermati

realitas dalam berbagai penelitian.

Persoalan adalah realitas yang dikonstruksi oleh manusia

ketika sistem kerja akal tidak sesuai dengan fitrahnya, kondisi ini

penting seorang peneliti dituntut tiga kecerdasan dalam

mengkonsturksi sebuah paradigm, yakni kecerdasan ontology,

kecerdasan epistemology, dan kecerdasan aksiologi atau dalam

bahasa dakwahnya kecerdasan ma’ani (kompetensi memaknai dan

memahami ruanglingkup sebuah realitas), kecerdasan bayani

(menjelaskan cara kerja realitas), dan kecerdasan badi

membahasakan melalui kode qalam (tulisan, nilai, dan manfaat

dan spirit pencegahan kerusakan sebuah karya pemikiran).

Kecerdasan inilah yang bertugas bagaimana cara ia

memecahkan persoala-persoalan secara sistematis, metodologis,

dan filosofis yang dialami di permukaan bumi ini, untuk

Model-Model Paradigma Keilmuan 4

mendapatkan kebenaran universal bagi kemalahatan umat

manusia. Apalagi pendidik yang kedudukannya sebagai

pengambil keputusan, yang dihadapkan dengan cara bagaimana

persoalan dalam mengambil keputusan tentang merencanakan

pengajaran, membimbing, kebijakan untuk mengelola,

mengkoordinasikan, mengorga-nisasi serta menata dan

mengevaluasi konflik-konflik internal dan eksternal.

Sulit tidaknya pemecahan suatu masalah sangat tergantung

daripada kedalaman pengetahuan tentang cara untuk memecahkan

suatu masalah dan tersedianya fakta-fakta yang berhubungan

dengan masalah tersebut. Ada beberapa cara untuk memecahkan

suatu masalah, yaitu sebagai suatu sumber pengetahuan/

kebenaran, yang menggunakan cara atau proses berfikir serta

pendekatan.

Permasalahan yang dialamai seseorang seperti tersebut di

atas, tidak mungkin didiamkan, apalagi yang menyangkut tugas-

tugas atau profesi, menyangkut suatu institusi sosial ataupun

ekonomi dan terlebih berkaitan dengan pengembangan suatu ilmu

pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan perlu

ditingkatkan, karena bagaimanapun pengetahuan merupakan

wacana atau cakrawala yang membuka tabiat alam semesta sebagai

karunia dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Dengan ilmu pengetahuan orang bisa naik sepeda motor, naik

pesawat terbang, kesehatan terjamin, kualitas hidup lebih baik dan

lain-lain. Karena itu pula ilmu pengetahuan dari jaman dulu

sampai sekarang terus diperbaiki dan dikembangkan sesuai

dengan perkembangan jaman.

Model-Model Paradigma Keilmuan 5

Pengetahuan yang merupakan kumpulan daripada

pengalaman-pengalaman seseorang dan dari hasil pengamatan

sejumlah orang, yang kemudian disatukan, dipadukan secara

harmonis dalam suatu bangunan yang teratur dan sistematis. Hal

ini terbentuk dari suatu himpunan pengertian yang saling

berkaitan dan menyajikan pandangan-pandangan yang sistematis

tentang suatu gejala-gejala, fenomena- fenomena, variabel-variabel

dengan jalan menetapkan hubungan yang ada diantara variabel-

variabel dengan tujuan untuk menjelaskn serta meramalkan atau

mempre-diksi fenomena-fenomena tersebut, yang untuk

selanjutnya disebut teori.

Pemikiran tentang penelitian ini timbul seperti dikemukakan

pada bab sebelumnya, yaitu dari masalah atau persoalan. Dan

permasalahan ini yang dijadikan sebagai inti dasar daripada

pelaksanaan suatu penyelidikan. Karena bagaimanapun luas atau

sempitnya suatu permasalahan perlu adanya suatu pemecahan.

Begitu juga cara atau pendekatan yang digunakan untuk menjawab

permasalahan itu dari jaman dulu hingga sekarang selalu berubah,

dan lain orang lain pula cara yang digunakan. Orang primitif

dalam memecahkan masalah lebih bersifat abstrak dan spiritual,

dibanding dengan orang yang modern yang lebih aktual dengan

menggunakan kerangka pemikiran dan logika berpikir yang bisa

dipertanggungjawabkan dengan akal sehat.

Berbicara tentang pendekatan tentang cara-cara yang

digunakan dalam peme-cahan suatu permasalahan atau yang

berkaitan dengan pengujian suatu kebenaran, yang dalam

sejarahnya terdiri dari:

Model-Model Paradigma Keilmuan 6

B. Pengalaman dan Penemuan Secara Kebetulan

Orang bijak berkata, pengalaman adalah guru yang terbaik.

Pada jaman dulu bahkan pada era modern sekarang ini, suatu

permasalahan, pemecahannya masih menggunakan pendekatan

ini. Karena memang pengetahuan sendiri merupakan suatu

kumpulan dari pada pengalaman-pengalaman yang disusun secara

sistematis. Namun dimaksudkan dalam pendekatan ini adalah

bahwa suatu permasalahan, pemecahannya itu bisa diperoleh

jawaban dari seseorang yang memiliki suatu pengalaman

pemecahan dari suatu permasalahan yang sama. Artinya, misalnya

saja kalau ingin mencari jawaban akan suatu persoalan lebih baik

ditanyakan pada orang yang memiliki pengalaman yang lebih lama

diban-ding dari yang belum pernah mengalaminya.

Sedangkan penemuan secara kebetulan merupakan salah satu

cara juga, akan tetapi bukan berarti tidak ada manfaatnya atau

faedahnya. Penemuan-penemuan dalam hal ini semua diilhami

secara kebetulan, untuk itu tidak bisa dikategorikan termasuk

proses berpikir, akan tetapi selalu berada didalam keadaan yang

tidak pasti. datanya tidak dapat diprediksi atau diperhitungkan

secara berencana dan dengan sistematis. Penemuan ini

mendasarkan diri pada sesuatu yang kebetulan, yang terlalu

bersifat langsung, bersifat menanti dan pasip tanpa ada unsur

kesengajaan. Oleh karena itu maka cara ini mengurangi sekali

kadar efisiensi kerja. Lagi pula sesuatu yang terjadi secara

kebetulan itu tidaklah selalu mendapatkan sesuatu gambaran

tentang kebenaran.

Model-Model Paradigma Keilmuan 7

C. Otoritas / Wewenang / Tradisi

Hal ini berkaitan dengan otoritas dari atau yang dimiliki oleh

seseorang. Entah itu sebagai tokoh agama, tokoh masyarakat,

perangkat pemerintahan atapun bahkan seseorang yang berprofesi

guru. Sebagai contoh saja, kebanyakan dari pada masyarakat desa

kalau memiliki suatu persoalan pemecahannya dimin-takan

kepada kepala dusun atau kepala desa. Ada yang punya masalah

pribadi tentang keluarga dimintakan penyelesaian pada seorang

kyai atau bahkan dimintakan jampi spiritual pada tetua

masyarakat, dianggapnya sebagai dukun (psikiater sekarang).

Karena berpandangan bahwa orang-orang seperti tersebut di atas

dipandang lebih memiliki kemapuan dengan keberadaan jabatan

atau strata sosial yang dimiliki seseorang.

Hal ini seperti juga pernyataan-pernyataan yang dituahkan

oleh suatu badan atau orang tertentu yang dianggap memiliki

suatu kewibawaan, petuah orang tua, tokoh masyarakat,

pembicaraan rapat, seminar yang sering diterima oleh masyarakat.

Karena hal ini sudah menjadi suatu culture masyarakat yang sudah

dari turun temurun. Dipertegas dalam hal ini adalah berpatokan

pada orang yang dianggap bijak.

Paradigma yang ketiga, konstruktivisme, merupakan

paradigma yang toleran, longgar serta tidak terlalu mementingkan

tahap penelitian. Paradigma ini melahirkan metode penelitian

kualitatif yang memiliki sifat berbeda –sangat berbeda- dengan

Model-Model Paradigma Keilmuan 8

kuantitatif. Realitass memiliki sifat relatif, yang merupakan hasil

dari konstruksi mental yang bermacam-macam dan tak dapat

diindra (Denzin dan Lincoln, 2009). Realitass dibentuk oleh

pengalaman dan konstruksi sosial yang berlaku. Selain itu, realitass

juga berciri lokal dan spesifik dan bentuk serta isinya bergantung

pada manusia atau kelompok sosial yang memiliki konstruksi

tersebut. Tidak ada unsur generalisasi dalam penciptaan realitass.

Dan muncul istilah realitass majemuk yang merupakan simplifikasi

dari banyaknya jumlah realitass yang tercipta.

Bagi kaum konstruktivis, semesta merupakan suatu

konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai

semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial

(Ardianto, 2009). Manusia merupakan tokoh sentral dalam proses

komunikasi. Mirip dengan paradigma sebelumnya? Tentu tidak,

disini komunikasi tidak bergantung pada pengirim melainkan

penerima (recipient-oriented). Ketika penerima memahami pesan

yang disampaikan dan mengonstruksi pesan tersebut sesuai

dengan rujukan yang dimiliki, maka terjadilah proses komunikasi.

Seorang bayi yang belum mengerti ketatabahasaan, apalagi

mempelajari voice akan menangis ketika mendengar ibunya

berbicara dengan nada tinggi sembari melotot. Apa yang ibunya

lakukan, ditafsirkan sebagai ekspresi marah oleh bayi tersebut

yang dilanjutkan dengan tangisan sebagai umpan balik. Penafsiran

ucapan dan mimik muka oleh bayi merupakan proses komunikasi

yang kemudian dikenal dengan penciptaan makna.

Sebagai payung dari sebuah penelitian, karakteristik realitass

majemuk menyebabkan tidak berlakunya generalisasi seperti pada

Model-Model Paradigma Keilmuan 9

dua paradigma sebelumnya. Aroma penelitian pun berbeda

dengan kuantitatif. Tidak lagi membahas pengaruh, korelasi atau

hubungan sebab akibat lainnya tetapi lebih kepada memahami dan

merekonstruksi berbagai konstruksi yang sebelumnya sudah ada.

Penelitian kualitatif tidak harus membahas suatu permasalahan

yang kemudian diharapkan lahir solusi untuk perbaikan proses

komunikasi. Berbagai realitass yang jumlahnya banyak dan

tersebar kemudian dipelajari untuk dipahami.

Dalam memahami isu atau fenomena yang akan diteliti, nilai-

nilai yang ada dalam diri peneliti pun diperbolehkan ikut campur

dalam mewarnai hasil penelitian. Ya, tentu saja hal itu pasti terjadi.

Dalam penelitian konstruktivis, peneliti merupakan instrumen

utama. Kuesioner yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan

sebagai senjata utama, hanya menjadi alat bantu –pada saat

dibutuhkan- atau bahkan tidak dibutuhkan sama sekali.

Misalnya saja penelitian berjudul konsep diri anggota

komunitas Punk sebagai identitas di kalangan masyarakat Kota

Cirebon atau model komunikasi antarbudaya mahasiswa Cina di

President University. Tidak ada permasalahan yang ingin dikupas

pada penelitian tersebut. Konsep diri ataupun model komunikasi

antarbudaya bukanlah sebuah permasalahan yang harus

dipecahkan. Kedua hal tersebut hanyalah realitass yang tercipta

sebagai hasil dari konstruksi sosial di kedua “dunia” tesebut –

komunitas punk dan kehidupan mahasiswa Cina di President

University-. Dan jangan pernah coba untuk mengeneralisasikan

hasil penelitian tersebut.

Model-Model Paradigma Keilmuan 10

Langkah penelitian yang dilakukan yaitu mengumpulkan

berbagai realitass dan mengkategorikannya sesuai dengan

kerangka penelitian. Peneliti tidak lagi diposisikan sebagai “ahli”,

tapi sebagai partisipan yang penuh empati/semangat yang secara

aktif terlibat dalam upaya mempermudah rekonstruksi (Denzin

dan Lincoln, 2009).

Kembali pada peran nilai. Penelitian konstruktivisme sarat

dengan niai. Sebagai instrumen utama dalam penelitian, peneliti

berhak menentukan siapa yang akan menjadi responden –atau bisa

juga disebut dengan informan- serta menentukan kerangka, konsep

atau teori yang digunakan. Tidak seperti mekanisme pemilihan

responden (sampling) dalam kuantitatif, pemilihan responden

dalam kualitatif tidak merujuk pada satu rumus sampling tertentu.

Dua metode sampling yang bisa digunakan adalah purposive dan

snowball sampling. Peneliti menentukan sendiri siapa saja

sekaligus jumlah orang yang akan menjadi penyedia informasi.

Karakteristik selanjutnya adalah Hermeneutis dan Dialektis,

yang merupakan sifat variabel dan personal dari konstruksi sosial

yang menunjukkan bahwa konstruksi individu hanya dapat

diciptakan dan disempurnakan melalui interaksi antara dan di

antara peneliti dengan responden (Denzin dan Lincoln, 2009).

Peleburan diri peneliti ke dalam dunia objek penelitian dirasa perlu

untuk dapat memahami apa yang sedang terjadi, atau bagaimana

konsensus yang merupakan gabungan dari realitass individu

terbentuk. Peneliti harus dapat merasakan atmosfir yang meliputi

dunia objek penelitian. Dari peleburan diri tersebut, peneliti

kemudian dapat memahami setting pengalaman yang sedang

Model-Model Paradigma Keilmuan 11

terjadi. Tak ayal, metode observasi dan wawancara pun menjadi

senjata andalan dalam teknik pengumpulan data.

Aroma Hermeneutis mewarnai laporan penelitian.

Subjektivisme yang merupakan ciri khas paradigma

konstruktivisme memberi keleluasaan bagi peneliti untuk

mendeskripsikan pemahaman peneliti akan potret realitas yang

menjadi objek penelitian. Realitass yang sejatinya merupakan

bahan dasar penelitian, diramu menjadi laporan menarik

berdasarkan penafsiran peneliti.

Lalu bagaimana dengan paradigma kritis? Sesuai dengan

namanya, ajaran utama yang terkandung dalam paradigma ini ya

kritik. Selalu mempertanyakan situasi yang sedang berlangsung.

Peneliti dalam paradigma ini pun dinobatkan oleh Denzin dan

Lincoln (2009) sebagai intelektual transformatif. Ilmuwan yang

selalu menjelaskan bahwa realitas yang sedang kita jalani ini

sebenarnya hanyalah realitas semu. Realitas yang kita anggap

sebagai kehidupan yang biasa saja, merupakan “ciptaan” beberapa

orang saja.

Ada empat kata kunci dalam paradigma in, yaitu (1) Kritik

terhadap dominasi, (2) Ideology, (3) Hegemony dan (4)

Transformasi Sosial. Dominasi dianggap sesuatu yang sangat

mengganggu dan harus dilawan. Bentuk nyata dari dominasi dapat

dilihat dari penggunaan bahasa, kode, simbol yang

mengagunggkan kelompok tertentu, sehingga muncullah

kelompok-kelompok termarjinalkan. Salah satu contoh penelitian

ini adalah paham feminis yang selalu mempertanyakan peran-

Model-Model Paradigma Keilmuan 12

peran perempuan yang seringkali “tidak dihormati”, terutama

sekali pada media massa.

Perempuan cantik selalu digambarkan sebagai insan yang

berkulit putih bersih, bertubuh langsing, tanpa keriput, tanpa

jerawat dan harus menampilkan sebanyak mungkin anggota tubuh

mereka untuk memberi tahu dunia bahwa mereka cantik. Realitas

cantik tersebut dianggap oleh audiens media sebagai sesuatu yang

nyata dan seringkali ditemui banyak wanita yang antri di dokter

kulit, setia mengkonsumsi obat pelangsing, panik ketika satu

jerawat muncul. Definisi cantik yang bersifat diskriminatif ini

seringkali dipertanyakan oleh para peneliti. Mengapa harus kulit

putih? Mengapa harus tanpa keriput? Siapa yang merumuskan

formula cantik ini? Apakah ada motif tertentu dibalik konstruksi

cantik tersebut? Dan lain sebagainya. Konstruksi makna cantik

tersebut dianggap telah meremehkan wanita golongan tertentu dan

mereka harus disadarkan agar tidak terlalu lama terjebak pada

realitas palsu.

Banyak ilmuwan paradigma kritis beranggapan dominasi

yang dilakukan tersebut berlandaskan pada ideologi kelompok

tertentu. Ideologi tersebut dipaksakan dengan media massa sebagai

means of production bagi kelas penguasa (ruling class). Yup,

paradigma kritis ini memang mengangkat pamor para

konglomerat –terutama yang memiliki media massa- dan

menitikberatkan nilai-nilai mereka kedalam pesan-pesan media.

Hegemony –istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci-

merupakan landasan bagi paradigma ini untuk melangkah.

Model-Model Paradigma Keilmuan 13

Dominasi satu kelas (ruling class) terhadap kelas lain merupakan

situasi yang kerap kali dikritik.

Realitas merupakan realisme historis (Denzin dan Lincoln,

2009). Sebuah realitas bisa dipahami pernah suatu ketika lentur,

namun, dari waktu ke waktu dibentuk oleh serangkaian faktor

sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender yang kemudian

mengkristal ke dalam serangkaian struktur yang saat ini (secara

tidak tepat) dipandang sebagai yang “nyata” (Denzin dan Lincoln,

2009). Realitas inilah yang kemudian menjadi objek penelitian

paradigma kritis.

Dunia, menurut paradigma kritis, merupakan kumpulan dari

dua pandangan yang berbeda. Peneliti dipandang sebagai

sekumpulan orang-orang yang sadar adanya realitas palsu. Pesan-

pesan komunikasi yang orang lain anggap sebagai pesan murni,

dipandang sebagai pesan-pesan yang bermuatan nilai-nilai yang

bertujuan mengarahkan audiens pada pola pikir yang diinginkan

oleh komunikator. Dan audiens merupakan sekumpulan orang-

orang yang penuh dengan kesalahpahaman serta ketidaktahuan.

Mereka selalu beranggapan bahwa apa yang mereka terima (-

pesan) bebas nilai. Tidak ada kesadaran bahwa pikiran mereka

digiring ke arah tertentu.

Bagimanakah arti penting dari paradigma? Paradigma apa

saja yang melandasi suatu penelitian? Pertanyaan itu pula yang

muncul sebagai pemicu kali ini. Egon G. Guba dan Yvonna S.

Lincoln, menulis mengenai Competing Paradigms in Qualitative

Research. Dengan tujuan agar pembaca dapat menjadikan

paradigma sebagai kepercayaan dasar, pandangan awal yang

Model-Model Paradigma Keilmuan 14

digunakan untuk menganalisis dan mempertimbangkan suatu isu

yang berkembang dalam suatu mayarakat. Metodelogi penelitian

tidak dapat terlepas dari paradigma yang mendasarinya. Artinya,

bahwa metodelogi penelitian merupakan konsekuensi logis dari

nilai-nilai, asumsi-asumsi, aturan-aturan serta kriteria yang

menjadi bagain dari integral suatu paradigma.[1] Sejauh ini,

pengelompokan mengenai teori-teori dan pendekatan sejumlah

paradigma sangat bervariasi. Guba dan Lincoln sendiri

mengkategorisasikan 4 (empat) paradigma yaitu positivism, post-

positivism, Critical Theory, dan Construtivism. Mengutip dari

karya Dedy N. Hidayat ”Penelitain proposal Penelitian untuk

Pengembangan Ilmu.” Bahwa untuk positivism dan

postpositivism dapat disatukan menjadi classical paradigm karena

pada prakteknya keduanya tidak jauh berbeda. Sehingga untuk

mempermudah dikelompokanlah menjadi 3 (tiga) paradigma,

yaitu: (a) classical paradigm, yang menempatkan ilmu sosial

sebagai metode yang terorganisir untuk menyatukan deductive

logic dengan pengamatan empiris. (b) Constructivism paradigm,

memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap

socially meaningfull action melalui pengamatan langsung terhadap

pelaku sosial; (c) Critical paradigm, menilai ilmu sosial sebagai

proses yang kritis berusaha mengungkap the real structures.

Denzin dan Lincoln menyebutkan bahwa “ A

paradigm encompasess three elements: epistemology, ontology,

and methodology.”[2] Namun, di luar dimensi tersebut paradigma

juga memuat elemen axiology yang berkaitan dengan posisi value

judgments, etika atau pilihan moral peneliti dalam melakukan

Model-Model Paradigma Keilmuan 15

suatu penelitian dan kegiatan ilmiah.[3 Perbedaan antara

paradigma di atas dapat dijelaskan dari 4 (empat) dimensi, sebagai

berikut:

a) Epistemologis, menyangkut asumsi mengenai hubungan

antara peneliti dengan yang diteliti.

b) Ontologis, berkaitan dengan objek atau realitas sosial yang

diteliti.

c) Metodelogis, asumsi mengenai bagaimana peneliti dapat

memperoleh pengetahuan.

d) Aksiologis, berkaitan dengan value judgments, etika dan

pilihan moral peneliti dalam melakukan penelitian dan

kegiatan ilmiah. Perlu digarisbawahi mengenai perbedaan

ketiga paradigma tersebut.

Pertama, paradigma klasik merasa harus menempatkan diri

sebagai value free researcher, sehingga membuat pemisahan antara

nilai subjektif dengan fakta objektif yang diteliti. Sebaliknya,

peneliti kubu kritis dan kontruktivis menilai hal tersebut

merupakan sesuatu yang tidak mungkin dan tidak perlu

dilakukan. Karena setiap penelitian selalu melibatkan value

judgments dan keberpihakan pada nilai tertentu.

Kedua, penelitain paradigma klasik berangkat dari asumsi

ada suatu realitas sosial yang objektif, yakni untuk menghasilkan

pengetahuan tentang suatu hal sperti apa adanya. Sebaliknya,

peneliti paradigma kritis menilai bahwa objek atau relitas sosial

yang mereka amati merupakan penampakan semu (virtual reality)

atau ekspresi kesadaran palsu (false consciousness).

Model-Model Paradigma Keilmuan 16

Ketiga, setiap paradigma memiliki kriteria penilaian kualitas

suatu penelitian tersendiri (goodness criteria). Perbedaan

Kualitatif dan kuantitatif berawal pada pandangan berkaitan

dengan asumsi “received view” dimana kematangan ilmiah

diyakini muncul sebagai tingkat kuantifikasi ditemukan dalam

peningkatan bidang tertentu. Sehingga, menimbulkan suatu

keyakinan umum bahwa hanya data kuantitatif yang pada

akhirnya berlaku karena matematika sebagai “hard science” dinilai

mampu menjadi kontrol dan landasan pengetahuan sedangkan

“soft science” seperti ilmu sosial diyakini kurang mamapu

melakukan hal tersbut.

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan oleh Guba dan Lincoln

maka dapat disimpulkan bahwa permasalah utamanaya bukanlah

pembedaan antara penelitain kuantitatif dengan kualitatif, tetapi

perbedaan epistimologi, ontology dan aksiologi. Karena

metodelogi kuantitatif ataupun kualitatif merupakan implikasi dari

ke empat dimensi di atas. Selain itu, suatu paradigma dibutuhkan

sebagai landasan atau kepercayaan dasar mengenai suatu

fenomena yang digunakan untuk menganalisis dan

mempertimbangkan suatu isu yang berkembang dalam suatu

mayarakat.

PENDEKATAN DALAM PENELITIAN

1. Pendekatan Intuitif / Insting

Dalam pendekatan ini seseorang yang memiliki suatu permasalahan dengan tanpa disengaja untuk berusaha

Model-Model Paradigma Keilmuan 17

memecahkannya, namun tanpa disadari dengan pemikiran tiba-tiba dibenaknya dengan indera keenamnya muncul suatu gagasan atau pemecahan persoalan yang dialaminya. Tapi perlu digaris bawahi, bahwa pendekatan ini murni intuitif tanpa melalui suatu proses pemikiran yang panjang. 2. Pendekatan Trial And Error

Dalam pendekatan trial and error manusia tidak selalu pasif sebagaimana dalam pendekatan kebetuan, akan tetapi lebih aktif. Manusia selalu mencoba, mencoba dan mencoba. Disini seseorang saat bertindak dalam melaksanakan suatu percobaan, selalu mengarah pada suatu pengulangan percobaan dan untuk perbaikan-perbaikan usaha yang sebelumnya. Atau dengan kata lain Winarno surakhmad (1982 : 22) menyebutnya dengan “Approximation and Correction” yang berarti percobaan yang menyusul senantiasa mengandung unsur-unsur koreksi atau perbaikan yang memberikan hasil suatu pengalaman yang bertambah. Karena sifat itulah trial and error sebagai salah satu pendekatan dari upaya seseorang dalam mencari suatu kebenaran. Adanya unsur spekulasi dalam menetapkan, hingga peneliti peneliti sendiri kadang merasa kurang yakin atas kebenaran. Dilaksanakan dengan harapan, mudah-mudahan berhasil dalam pemecahannya.

3. Pendekatan deduktif / analitik atau menggunakan teori koherensi.

Keuntungan besar sebagai makluk yang memiliki suatu

kemampuan berpikir dan bernalar dengan akal pikirannya,

dibanding dengan makluk yang lain. Sejarah pendapatan telah

membuktikan betapa besar sumbangan dari pemikiran manusia

Model-Model Paradigma Keilmuan 18

untuk meningkatkat taraf hidup dan kesejahteraan umat manusia.

Dalam hal ini diperlukan suatu tingkat kecerdasan oleh seseorang

untuk atau dalam memprediksi suatu pemecahan permasalahan

secara logis dan sistematis.

Peradaban lalu bahkan sampai sekarang karya pemikiran

seseorang dikem-bangkan dalam suatu metoda. Hingga lebih logis

dan bisa dipertanggungjawab-kan tingkat kebenarannya. Dalam

hal demikian maka diperlukan suatu kemam-puan dan daya pikir

yang kritis serta pengalaman-pengalaman yang banyak.

Sebenarnya disain yang dirancang dalam hal ini sebagai awal mula

dari suatu penyelidikan, bahwa manusia sudah mulai berupaya

untuk mencari jalan pemecahan yang sebaik-baiknya. Pemikiran

inilah yang pada akhirnya dinama-kan pendekatan deduktif.

Kebenaran dalam pendekatan deduktif sangat mengandalkan

dari dasar pemikiran sebelumnya yang sudah diterima oleh

khalayak (umum), dan sesuai dengan kemampuan daya nalar dan

pengetahuan seseorang. Dasar pemikiran yang benar, yang

didukung oleh pengetahuan dan kemampuan berpikir seseorang

secara analitis dan sistematis untuk memperoleh suatu kebenaran

pengetahuan. Pemikiran deduktif selalu berdasar pada

pengalaman-pengalaman dan perluasan suatu pengetahuan yang

sebelumnya. Dan metoda ini sebagai suatu penghubung antara

teori dengan pengamatan, kalau berpikir demikian memungkinkan

peneliti menarik suatu kesimpulan berdasar teori yang sudah ada

tentang suatu fenomena yang harus diamati.

Deduksi dari teori dapat menghasilkan suatu hipotesis,

sebagai suatu yang sangat penting dalam penyelidikan ilmiah.

Model-Model Paradigma Keilmuan 19

Kesimpulan seperti ini benar, bila yang menjadi dasar teori juga

benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Dasar pemikiran dalam

pendekatan deduktif harus diketahui terlebih dahulu dan

dinyatakan benar. Jadi teori ini pula dikenal sebagai teori koherensi

yang menya-takan sesuatu dikatakan benar apabila tidak

bertentangan dengan pernyataan sebelumnya.

Pada akhirnya dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa

berfikir deduktif merupakan suatu proses berfikir yang bertolak

dari dasar-dasar pengetahuan umum (logika berfikir / penalaran)

dan menarik suatu kesimpulan atas dasar pernyataan-pernyataan

tersebut menjadi suatu kebenaran.

Kemudian pada cara pendekatan deduktif yang dimulai dari

suatu kesimpulan, suatu perumusan yang logis dan konsisten

dalam pikiran manusia untuk kemudian di uji dalam perbagai

peristiwa. Apabila teruji maka panjanglah umur dari pemikiran itu,

tetapi apabila tidak teruji maka akan diganti oleh perumusan

pemikiran yang lain. Dalam hubungannya dengan ini orang sering

mengatakan, bahwa pendekatan deduktif merupakan proses

berpikir yang bertolak dari dasar pengetahuan yang umum atau

dengan dalil-dalil yang umum, kemudian untuk membahsa hal-hal

yang khusus.

4. Pendekatan induktif / sintetik atau teori korespondensi

Francois Bacon (1561-1626) dalam arief Furchan (1982 : 23)

menghendaki, bahwa para pemikir hendaknya tidak merendahkan

diri begitu saja dengan menerima premis (pernyataan) orang yang

punya otoritas sebagai kebenaran mutlak. Ia yakin bahwa

Model-Model Paradigma Keilmuan 20

seseorang penyelidik dapat membuat suatu kesimpulan

berdasarkan fakta-fakta yang dikumpulkan melalui suatu

pengamatan langsung dan meneruskan dengan

menggeneralisasikan dari hasil-hasil pengamatan setelah melaui

suatu proses analisis.

Selanjutnya berfikir induktif merupakan suatu proses berfikir

yang bertolak dari fakta-fakta yang dikumpulkan melalui suatu

pengamatan dan merangkaikan fakta-fakta tersebut menjadi suatu

pengetahuan. Atau suatu cara berpikir dari dasar-dasar

pengetahuan yang khusus dari hal-hal yang khusus untuk

dijadikan dalil. Sedang teori korespondensi dinyatakan bahwa

sesuatu pernyataan itu dikatakan benar apabila didukung oleh

data-data empiris.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam pendekatan deduktif,

bahwa seseorang kurang bisa mempercayai pengetahuan

seseorang, karena pada dasarnya pengetahuan seseorang itu

berbeda-beda dalam kadar kemampuannya. Untuk itu justru fakta

dari hasil pengamatan langsung itu sebagai suatu kebenaran nyata.

5. Pendekatan ilmiah

Pendekatan ilmiah yaitu merupakan perpaduan dari pada

pendekatan / proses berfikir deduktif dan induktif, yang mana

dasardari mencari suatu kebenaran atas suatu permasalahan

bersumber pada logika berfikir / penalaran dan pada fakta-fakta

empiris. Lionel Ruby dalam Setya Yuwana Sudikan (1983 : 21)

Model-Model Paradigma Keilmuan 21

berpenda-pat bahwa berpikir ilmiah tidak jauh berbeda dengan

berpikir biasa yang sekedar lebih hati-hati, metodis, dan terartur.

Cara berpikir yang berguna bila kita menghadapi persoalan yang

sulit untuk dipecahkan. Pada umumnya orang berpikir dengan

cara analitis-deduktif lebih dulu sampai dapat disusun suatu

hipotesa, kemudian baru berpikir secara sinthetis-induktif.

Penyelidikan ilmiah ini yang dalam mencari kebenaran

didasarkan atas kaedah-kaedah imiah (teratur, logis dan sistematis)

dan didasarkan pula atas suatu metoda penyelidikan. Yang mana

penyelidikan merupakan suatu penyaluran hasrat ingin tahu

manusia dalam taraf keilmuan. Dalam hal ini manusia telah

berhasil menerangkan berbagai gejala yang merupakan dan

menunjukkan suatu hubungan sebab-akibat. (Winarno Surakhmad,

1982 : 26)

Dalam suatu metode penyelidikan ilmiah kesimpulan bisa

diyakini kebenaran apabila telah dibuktikan dan didukung oleh

suatu pemikiran dan fakta-fakta empiris yang dikumpulkan secara

sistematis, jelas dan terkontrol. Jadi tidak lain merupakan suatu

upaya manusia dalam memecahkan persoalan secara sistematis,

logis dan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akal sehat.

Pada ini pula diperlukan suatu sifat-sifat penyelidikan ilmiah yang

dipandang sebagai hukum, kaedah, dalil ataupun generalisasi dari

suatu fenomena yang kongkrit terhadap suatu bidang yang

diselidiki (parameter). Seseorang berusaha mencari suatu

perumusan tentang berbagai pengertian hubungan sebab akibat

Model-Model Paradigma Keilmuan 22

ataupun per-bandingan diantara fenomena-fenomena dalam

penyelidikannya.

Penyelidikan adalah bentuk khusus dari metode ilmiah,

dimana kegiatan ilmiah ini berupaya mengumpulkan pengetahuan

baru dari sumber-sumber data yang bisa diperoleh. Hal ini dengan

berdasar pada suatu tujuan penulisan dan perumusan masalah

penelitian, yaitu untuk mengadakan suatu prediksi terhadap suatu

fenomena penyelidikan.

Penyelidikan ilmiah menggunakan teknik dan metode-

metode yang dengan kaedah-kaedah yang teratur dan sitematik.

Pemecahan masalah didasarkan atas suatu pemikiran dan

pengetahuan serta ditunjang oleh penyelidikan terhadap fakta-

empiris dengan cara-cara yang sistematis dan obyektif.

Penyelidikan ini berdasar pula, bahwa pendekatan deduktif

dan induktif merupakan ciri penyelidikan ilmiah, modern dan

yang dianggap sebagai suatu metode yang paling dapat dipercaya

guna memperoleh suatu pengetahuan. Pendekatan ilmiah sebagai

suatu proses penyelidikan secara induktif bertolak dari

pengamatan menuju hipotesis, kemudian secara deduktif

penelitian berangkat dari hipotesis ke implikasi logis hipotesis

tersebut.

Pendekatan ilmiah sering disebut sebagai suatu cara menguji

kebenaran melaui cara berpikir kritis dan empiris, yang didasarkan

pada pertimbangan-pertimbangan pemikiran yang logis dan

matematis, yang sama sekali berlawanan dengan dasar-dasar

otoritas seperti diuraikan di atas.

Model-Model Paradigma Keilmuan 23

Sedangkan istilah karya ilmiah digunakan untuk sebuah

tulisan yang mendalam sebagai hasil mengkaji dengan metode

ilmiah. Dalam hal ini bukan berarti bahwa tulisan itu berupa hasil

penelitian ilmiah saja. Tetapi tulisan-tulisan yang mengkaji dari

suatu teori yang dituangkan melalui suatu konsep pemikiran yang

mendalam dan metodologis dapatlah dikatakan karya ilmiah.

Sedangkan karya tulis dimaksudkan untuk menyatakan suatu

konsep pemikiran yang disusun berdasarkan ide penulisnya yang

diperkuat oleh data serta pernyataan dan gagasan orang lain,

bahkan kadang-kadang penulis hanya mengkombinasikan

pendapat dari banyak orang, serta didukung oleh informasi yang

diolah dalam bentuk baru dan utuh. (Setya Yuwana Sudikan, 1983 :

1).

Selanjutnya Setya Yuwana Sudikan (1983 : 1) menjelaskan

tentang ciri karya tulis yang disusun berdasarkan metode ilmiah

ialah keobyektifan pandangan yang dikemukakan, dan kedalaman

makna yang disajikan. Keobektifan dan kedalaman makna, itu

merupakan dua hal yang senantiasa diusahakan agar tulisan-

tulisan dapat dirasakan ilmiah. Sebuah tulisan akan dirasakan

ilmiah apabila tulisan itu mengandung kebenaran secara oyektif,

karena didukung oleh informasi yang sudah teruji kebenarannya

dan disajikan secara mendalam tersebut, berkat penalaran dan

analisa yang mampu menukik ke dasar masalah. Tulisan ilmiah

akan kehilangan keilmiahannya apabila yang dikemukakan ilmu

(teori dan fakta) pengetahuan saja, yang sudah diketahui oleh

umum dan berulang kali dikemukakan.

Model-Model Paradigma Keilmuan 24

Dalam penerapan pendekatan ilmiah secara umum dalam

pengembangan ataupun penemuan suatu pengetahuan baru,

memiliki suatu ciri-ciri: Sistematis; Artinya dalam pelaksanaan

penyelidikan dilaksanakan menurut pola-pola tertentu yang telah

ditetapkan dari yang sederhana sampai dengan yang komplek

untuk mencapai tujuan yang lebih efektif dan efisien.

Berencana; Artinya dilaksanakan dengan adanya unsur

kesengajaan dan sebelumnya telah dipikirkan langkah-langkah

pelaksanaannya. Mengikuti konsep ilmiah; Artinya mulai dari

awal sampai akhir kegiatan mengikuti cara-cara yang sudah

ditentukan, yaitu prinsip memperoleh ilmu pengetahuan. Adapun

Prosedur tersebut secara garis besar suatu pemikiran yang bersifat

reflektif dengan prosedur penelitian yang bersifat obyektif meliputi

suatu kegiatan :

1. Perumusan masalah dan tujuan penelitian

2. Penetapan postulat dan hipotesis

3. Penetapan metode kerja

4. Pengumpulan data

5. Pengolahan data

6. Penyimpulan penyelidikan, serta

7. Publikasi hasil-hasil penyelidikan (Winarno surakhmad, 1982

: 28)

Permasalahan penelitian menjadikan pijakan dan fokus

sentral daripada pelaksanaan suatu penelitian. Dari masalah yang

ada melalui suatu pemikian refektif dari masalah yang ada dibatasi

dan durumuskan permasalahan dan tujuan penelitian. Baru setelah

Model-Model Paradigma Keilmuan 25

itu diajukan hipotesis sebagai implikasi daripada pendekatan

deduktif. Meski hipotesis masih merupakan dugaan sementara,

namun perlu didukung oleh perbagai logika berpikir atau daya

pemikiran seseorang serta suatu kajian teori yang relevan dengan

suatu konsep variabel yang dijadikan unit analisisnya.

Untuk membenarkan atau menolak hipotesis dalam

pendekatan ilmiah diperlukan pengumpulan data-data atau fakta-

empiris. Hal ini sebagai implementasi dari pendekatan induktif,

yang mana berkaitan dengan kegiatan pengumpulan data., perlu

ditentukan apa yang menjadi metode dan disain penyelidikannya

dan yang menjadi teknik sampel serta teknik pengumpulan data.

Sesuai dengan pendekatan statistik, setelah data terkumpul,

maka data perlu di olah pada tingkat awal yaitu tabulasi data,

dicari median dan deviasi standarnya. Kemudian data disajikan

dalam bentuk grafik atau distribusi frekuensi, hal ini sebgai analisis

didalam pendekatan statistik deskriptif. Setelah kegiatan ini data

yang sudah dalam bentuk matang, dengan pendekatan penelitian

kuantitatif atau kualitatif data di analisis.

Kuantitatif di analisis dengan menggunakan statistik

inferensial, yang semua ini dilakukan untuk memperoleh suatu

kesimpulan (implikasi) penelitian. Baru kemudian hasilnya perlu

di intepretasikan, hal ini berkaitan dengan upaya mempu-

blikasikan hasil-hasil penelitian. Analisis data diperlukan juga

untuk membuktikan hipotesis, yaitu apakah hipotesis sesuai

dengan kenyataan-empiris atau sebaliknya.

Dan bilamana sesuai maka dapat dijadikan sebagai kebenaran

ilmiah. Namun bila sebaliknya maka dengan itu ditolak pada traf

Model-Model Paradigma Keilmuan 26

kepercayaan / signifikansi tertentu. Oleh karena itu maka perlu

dilihat kembali, apa ada kesalahan secara metodologis dalam

pelaksanaan penyelidikan. Bila yang terjadi demikian maka hasil

penelitian menjadi fatal, harus diberikan alasan-alasan penolakan

suatu hipotesis dengan atau secara metodologis dan bisa

dipertanggungjawabkan sesuai dengan pemikiran dan daya

nalar/rasio seseorang.1

Seperti bahasan di atas, bahwasannya penyelidikan ilmiah itu

bertujuan untuk menemukan suatu pengetahuan yang baru, baik

dalam arti pengujian suatu teori, pengembangan suatu teori atau

bahkan menemukan suatu teori yang baru. Dalam menemukan

teori perlu adanya suatu pendekatan deduksi yang bisa

dipertanggung-jawabkan secara logika, yang kemudian dari

jawaban dari permasalahan itu meru-pakan suatu hipotesis.

Kebenaran hipotesis perlu diadakan suatu observasi guna

pengumpulan data melalui suatu instrumen penelelitian, dengan

menggunakan suatu parameter atau sampel penelitian. Setelah

data terkumpul melalui pengukuran variabel yang menjadi unit

analisis dalam penelitian, kemudian disederhanakan melalui

analisis data dari informasi yang diperoleh. Baru setelah itu dengan

taraf signifikansi yang telah ditetapkan, hipotesis yang di uji untuk

menentukan apakah hipotesis akan ditolak atau akan diterima.

Setelah itu hasil penyelidikan diperlu kan untuk digeneralisasikan

pada parameter. Dalam hal penyusunan suatu konsep atau

1Sumber : Soemarsono, M.Pd. : 1997, disampaikan dalam suatu makalah

seminar metodologi penelitian.

Model-Model Paradigma Keilmuan 27

proposisi, sebagai inti dasar atau transpormasi logika yang berupa

konsep menjadi suatu teori-baru, yaitu teori yang diperoleh

memalui suatu penyelidikan ilmiah.

Keterbatasan-keterbatasan pendekatan ilmiah dalam ilmu-

ilmu sosial. Meskipun menggunakan penerapan pendekatan ilmiah

dalam mengkaji suatu masalah-masalah dibidang pendidikan dan

sosial. Namun karena ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial sesuai

dengan sifat dan karakteristik suatu variabel, maka hasil dari

penyelidikan bidang ilmu-ilmu sosial belum bisa

menggeneralisasikan dari penelitian pada parameter dengan atau

taraf signifikansi yang titetapkan.

Keterangan-keterangan dan karakteristik pada ilmu

pendidikan dan ilmu-ilmu sosial hanyalah diasumsikan

keberadaannya untuk menunjang suatu konsep hipotesis

penelitian. Penggunaan pendekatan ilmiah belum merupakan

indikator yang memadai bagi kegiatan ilmiah. Ada beberapa

keterbatasan dalam penerapan pendekatan ilmiah dalam pengajian

ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial:

1) Kepelikan masalah

Hambatan pelaksanaan penyelidikan tentunya pada

kepelikan dari pada masalah ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Dalam

ilmu alam dihadapkan pada gejala-gejala fisik dan biologi yang

aktual, sedang dalam ilmu sosial berhadapan dengan gejala-gejala

tingkah laku dan yang berkaitan dengan kondisi dan sifat-sifat

sosial-masyarakat. Hal demikian sulit untuk ditemukan

pengukuran yang betul-betul kongkrit. Karena pada dasarnya dari

Model-Model Paradigma Keilmuan 28

sifat-sifat manusia itu sendiri yang selalu berubah. Dalam ilmu-

ilmu sosial hanya bisa dirumuskan sejauh mana hubungan-

hubungan antara gejala-gejala itu.

2) Kesukaran dalam pengamatan

Pengukuran ilmu-ilmu sosial lebih sulit dibanding dengan

ilmu alam. Hal demikian, jelas adanya unsur subyektivitas dari

peneliti ataupun dari unsur subyek penelitian sendiri. Sehingga

memerlukan suatu intepretasi sendiri dalam menafsirkan suatu

kesimpulan yang subyektif pada saat menetapkan tingkah laku

yang telah diamati.

3) Kesukaran dalam replikasi

Dalam ilmu alam apabila akan diadakan suatu pengulangan

penelitian, akan diperoleh suatu hasil yang sama (reliabel). Karena

yang menjadi sifat-sifat dari pada ilmu alam lain dengan ilmu-ilmu

sosial. Pengulangan penelitian tidak akan mendapatkan hasil yang

sama dengan sebelumnya, karena selalu berubah dan adanya

unsur subyektivitas dari pada peneliti. Dan hal ini, bahwa

fenomena-fenomena sosial adalah kejadian-kejadian yang tidak

dapat diulangi untuk tujuan pengamatan.

4) Interaksi antara pengamatan dan subyek

Hubungan dan sifat-sifat karakteristik sosial diantara atau

pada seseorang sulit dipisahkan, hingga pengamatan dalam ilmu-

ilmu sosial itu juga sulit untuk mendapatkan data yang betul-betul

Model-Model Paradigma Keilmuan 29

obyektif (validitas). Karena dengan adanya pengamatan itu, justru

adanya suatu pembatasan-pembatasan dalam institusi dan sifat-

sifat sosial dari pada masyarakat. Peneliti tidak bisa menghasilkan

kesimpulan yang pasti, tetapi paling tidak mendalami atau

mendekati suatu kebenaran ilmiah, namun masih semu.

5) Kesuakaran dalam pengendalian

Selain variabel utama ada variabel pengendalian, variabel

yang disebut terakhir ini sulit dipisahkan sebagaimana dalam ilmu-

ilmu alam atau ilmu pasti. Maka dalam hal hasil penelitian ilmu

sosial ini hanya bisa di dapat suatu konklusi-konklusi yang bisa

dipertanggungjawabkan secara sosial juga. Hanya saja diperlukan

suatu kegiatan dalam mengidentifikasi dan mengen-dalikan

permasalahan serta variabel-veriabel lain yang sangat banyak,

namun berpengaruh terhadap variabel penyelidikan.

6) Masalah pengukuran

Alat ukur atau instrumen untuk ilmu-ilmu sosial dipandang

kurang sempurna dibandingkan dengan alat ukur ilmu alam, yang

ada kepastian pengukuran yang kongkrit. Apalagi didukung oleh

pemahaman tingkah laku manusia yang rumit dan interaksi pada

variabel-variabel sendiri. Untuk itu peran statistik dalam ilmu-ilmu

sosial kurang bisa dipertanggungjawabkan, bila dalam

penyusunan alat ukur atau instrumen tidak memperhatikan

aturan-aturan atau kriteria pembuatannya (validitas logis), dan

tidak mengikuti kaedah-kaedah penyelidikan yang dibakukan.

Model-Model Paradigma Keilmuan 30

Akan tetapi dari segi logika pemikiran yang dihubungkan dalam

gambaran-gambaran atau deskriptif teoritis melalui suatu

pemikiran lebih bisa dipertanggungjawabkan.

BAB II

PARADIGMA DAN PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA

DALAM PENELITIAN

Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut

beberapa ahli, paradigma dalam penelitian kuantitatif dan,

berbagai macam paradigma penelitian kualitatif, serta serta

prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam penelitian

tersebut.

1. Pengertian Paradigma

Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma

sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the

investigator, not only in choices of method but in ontologically and

epistomologically fundamental ways.” Pengertian tersebut

mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar

atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak

hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental

yang bersifat ontologis dan epistomologis. Secara singkat,

Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan “Paradigm as Basic

Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and

Model-Model Paradigma Keilmuan 31

Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan sistem

keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis,

dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A

paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that

deals with ultimates or first principle.” Suatu paradigma dapat

dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang

berada di balik fisik yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau

prinsip utama. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu

paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga

pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi,

dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:

a. Ontological: What is the nature of the “knowable?” or what is the

nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang

dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara

lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan

tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi,

ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.

b. Epistomological: What is the nature of the relationship between the

knower (the inquirer) and the known (or knowable)?

Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin

mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat diketahui?

Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi

mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui

realitas, atau lebih konkret lagi epistomologi

mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi atau

dapat terjadi?

Model-Model Paradigma Keilmuan 32

c. Methodological: How should the inquirer go about finding out

knowledge? Metodologi: Bagaimana cara peneliti

menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat

dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara

peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi

metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang

digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?

Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan

ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:

a) The ontological question: What is the form and nature of reality

and, therefore, what is there that can be known about it?

Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas

dan selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?”

b) The epistomological question: What is the nature of the

relationship between the knower or would be-knower and what

can be known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah hakikat

hubungan antara peneliti atau yang akan menjadi peneliti

dan apa yang dapat diketahui.”

c) The methodological question: How can the inquirer (would-be

knower) go about finding out whatever he or she believes can be

known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana cara peneliti

atau yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu

yang diyakini dapat diketahui.”

Model-Model Paradigma Keilmuan 33

Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan

bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln

tentang ontologi, epistomologi serta metodologi pada dasarnya

tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan Guba (1990)

dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma

adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi,

epistomologi, dan metodologi atau dengan kata lain paradigma

adalah sistem keyakinan dasar sebagai landasan untuk mencari

jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat realitas, apa hakikat

hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara peneliti

mengetahui realitas.

Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba

(1990), Denzin &Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma

merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang

menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari.

Atau seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-

tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan

ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma

didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang

digunakan untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang

sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.

Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang

banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer.

Menurut Ritzer dalam buku: Sociology A Multiple Paradigm

Science (1975): paradigma merupakan gambaran fundamental tentang

pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan. Paradigma

Model-Model Paradigma Keilmuan 34

membantu memberikan definisi tentang apa yang harus

dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan,

bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa

yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang

diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas

dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu

komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma

memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori,

metode, dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam

Lawang, 1998:2).

Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang

secara konsisten (kurang lebih) memperlihatkan hubungan

antara gambaran fundamental tentang pokok permasalahan,

teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).

Gambar 14 : George Ritzer

Menurut pendapat penulis,

definisi paradigma yang dikemukakan

Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi,

epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari

pernyataan: “paradigma membantu memberikan definisi

tentang apa yang harus dipelajari (asumsi ontologi),

pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi

Model-Model Paradigma Keilmuan 35

epistomologi), bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan

peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasikan

jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan

demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi

mendasar yang sama dengan definisi paradigma dari Guba,

Denzin & Lincoln, yaitu asumsi ontologi, epistomologi, dan

metodologi.

Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan

landasan untuk mencari jawaban atas lima pertanyaan

mendasar, yaitu ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan

metodologi. Aksiologi adalah jawaban atas pertanyaan apa

peranan nilai, sedang retorika adalah jawaban atas pertanyaan apa

bahasa yang digunakan dalam penelitian.

Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan

bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan

suatu paradigma ilmu pengetahuan dengan melihat cara

pandang yang digunakan dalam menjawab lima pertanyaan

mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan

metodologi. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan

dikemukakan prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi

paradigma dalam penelitian kuantitatif dan dalam penelitian

kualitatif.

2. Prinsip-Prinsip Implementasi Paradigma Dalam Penelitian

Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian

yaitu penelitian dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian

Model-Model Paradigma Keilmuan 36

kuantitatif dan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau

penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari setiap

jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan

diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif

dengan penelitian kualitatif.

Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan

penelitian kualitatif baik yang dikemukakan oleh Suparlan

maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln, Guba & Lincoln,

Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan

prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan

penelitian kualitatif.

Perbedaan Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif

Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian

kuantitatif dengan penelitian kualitatif sebagai berikut:

a) Penelitian Kuantitatif

Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat

positivisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Emile

Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah

bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-

gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta

sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan

memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu

pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi

atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-

Model-Model Paradigma Keilmuan 37

kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta

sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-

kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat

diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan

dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan

kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan

ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan

variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).

Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa

penelitian kuantitatif memusatkan perhatiannya pada

gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam

kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat

hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan

menggunakan teori yang objektif. Karena sasaran kajian dari

penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala, sedangkan gejala-

gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas

banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-

kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga diperlukan

pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif

berguna untuk menggolong-golongkan dan

menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan

ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam

penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan (Suparlan,

1994:6-7).

b) Penelitian Kualitatif

Model-Model Paradigma Keilmuan 38

Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah

pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa

pokok penelitian sosiologi bukan gejala-gejala sosial, tetapi

pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-

tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-

gejala sosial tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama

dalam sosiologi dari Max Weber adalah verstehen atau

pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar

dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,

maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku

yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku

yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman

yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud

dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan,

1997:95).

Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa

penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip

umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala

yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola. Gejala-

gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan

kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk

memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku,

dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan

menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif

sasaran kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang

merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 39

mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas

kehidupan manusia, maka juga analisis terhadap gejala-

gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan

kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya.

Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka

acuan lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan

lain; tidak objektif, sehingga pendekatan kualitatif tidak

relevan (Suparlan, 1994:6-7).

Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan

yang fundamental antara penelitian kuantitatif dengan

penelitian kualitatif. Agar terdapat gambaran yang lebih

rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian

kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994),

Denzin & Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan

Moustyan (1995) (dalam Neuman, 1997:14) sebagai berikut.

a) Quantitative Style (Model Kuantitatif)

a. Measure objective facts (mengukur fakta yang objektif)

b. Focus on variables (terfokus pada variabel-variabel)

c. Reliability is key (reliabilitas merupakan kunci)

d. Value free (bersifat bebas nilai)

e. Independent of context (tidak tergantung pada konteks)

f. Many cases subjects (terdiri atas kasus atau subjek yang

banyak)

g. Statistical analysis (menggunakan analisis statistik)

Model-Model Paradigma Keilmuan 40

h. Researcher is detached (peneliti tidak terlibat)

b) Qualitative Style (Model Kualitatif)

a. Construct social reality, cultural meaning (mengonstruksi

realitas sosial, makna budaya)

b. Focus on interactive processes, events (berfokus pada

proses interpretasi dan peristiwa-peristiwa)

c. Authenticity is key (keaslian merupakan kunci)

d. Values are present and explicit (nilai hadir dan nyata /

tidak bebas nilai)

e. Situationally constrained (terikat pada situasi / terikat

pada konteks)

f. Few cases subjects (terdiri atas beberapa kasus atau

subjek)

g. Thematic analysis (bersifat analisis tematik)

h. Researcher is involved (peneliti terlibat)

Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif

a. Mengukur fakta yang objektif

Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian

kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal yang pokok dalam

suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel

tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui kualitas

atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan

Model-Model Paradigma Keilmuan 41

suatu perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang

disusun berdasarkan komponen-komponen/unsur-

unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang

dalam hal ini motivasi kerja karyawan.

b. Terfokus pada variabel-variabel

Sebelum dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan

variabel-variabel atau hal-hal pokok yang terdapat dalam

suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan variabel-

variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu

gejala yang terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain

atau karena adanya hubungan atau pengaruh gejala lain. Di

sini terjadi cara berpikir nomotetik. Misalnya dalam suatu

perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja

karyawan. Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis

faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya penurunan

produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara teori

ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh

faktor-faktor motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.

Kemudian pengaruh atau hubungan dari data hasil

pengukuran masing-masing variabel diuji secara statistik

apakah benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan

manajer mempunyai pengaruh atau mempunyai hubungan

dengan variabel produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh

atau hubungan tersebut signifikan atau dapat dipercaya

(mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil

analisis statistik menyatakan variabel-variabel tersebut

Model-Model Paradigma Keilmuan 42

mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan,

maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja

karyawan dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja dan

kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan

motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.

Catatan: Analisis statistik yang dipergunakan untuk

mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel lain

berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk

mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel

yang lain atau beberapa variabel. Analisis statistik untuk

mengukur pengaruh suatu variabel pada variabel yang lain

di antaranya menggunakan analisis statistik multiple

regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur

hubungan suatu variabel dengan variabel lain di antaranya

menggunakan analisis statistik correlation (korelasi) misalnya

correlation product-moment (korelasi product-moment) dari Carl

Pearson atau Spearman-Brown.

c. Reliabilitas merupakan kunci

Reliabilitas atau keajegan suatu tes atau kuesioner

mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut

menghasilkan skor yang relatif sama walaupun dilakukan

pada waktu yang berbeda. Suatu alat ukur atau instrumen

penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki

reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu

Model-Model Paradigma Keilmuan 43

akurat. Oleh karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam

penelitian kuantitatif, karena apabila alat ukur atau

instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka akan

berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur

harus reliabel dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau

memiliki validitas (kesahihan). Suatu instrumen penelitian

dikatakan valid atau memiliki validitas apabila dapat

mengukur apa yang seharusnya diukur.

Catatan: Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya

adalah Analisis Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-

Richardson 20). Sedangkan uji statistik untuk mengukur

validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan

skor setiap item dengan skor total (jumlah seluruh skor item

dikurangi skor item yang dikorelasikan).

d. Bebas nilai

Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap

gejala/fenomena tidak dikaitkan dengan budaya atau nilai-

nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena

tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena

tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai

contoh salah satu komponen dari konsep diri adalah

kelebihan dan kelemahan pada diri individu. Dalam budaya

Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan dan

kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang

individu untuk dapat dikatakan memiliki konsep diri yang

positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 44

kelebihannya di samping memiliki kriteria-kriteria konsep

diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang

demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam

penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak

diperhitungkan, karena menurut paradigma yang

dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian

kuantitatif, kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal

atau berlaku umum.

e. Tidak tergantung pada konteks

Suatu fenomena terkait dengan konteks artinya terkait

dengan situasi atau lingkungan yang menyertai fenomena

tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda.

Misalnya fenomena aktualisasi diri atau kebutuhan untuk

mewujudkan kemampuan dirinya (Teori Motivasi Abraham

Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan

orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan

berbeda dengan orang pedesaan yang tinggal di lereng

gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman

Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua).

Aktualisasi diri orang Jakarta dimanifestasikan dalam

kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa asing,

manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan

di lereng gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman

Kalimantan atau di pedalaman Papua dimanifestasikan

dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam,

memelihara binatang, atau memburu binatang buas atau

Model-Model Paradigma Keilmuan 45

menguasai seni lokal atau seni daerah setempat. Penelitian

kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang

diteliti.

Gambar 15 : Abraham Maslow

f. Terdiri dari kasus-kasus atau subjek-subjek yang banyak

Dalam penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus

atau subjek-subjek yang banyak. Hal ini bertujuan agar

dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan secara

umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan

technique sampling (teknik menentukan sampel). Populasi

adalah seluruh atau jumlah individu dari suatu wilayah atau

organisasi atau instansi atau perusahaan yang memiliki

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang

sampel adalah sebagian dari populasi yang mewakili

populasi, oleh karena itu sampel harus representatif (harus

dapat mewakili) artinya sampel harus dapat

menggambarkan keadaan populasi. Terdapat beberapa

Model-Model Paradigma Keilmuan 46

teknik sampling (cara pengambilan sampel), di antaranya:

total sampling, yaitu apabila seluruh individu atau seluruh

anggota populasi dijadikan sampel; stratified random

sampling, yaitu apabila setiap strata/tingkat/bagian ada

wakil yang dijadikan sampel dan dilakukan secara acak

(random); purposive sampling, yaitu apabila individu yang

dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai

tujuan penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang

dijadikan sampel adalah individu yang dapat ditemui; dan

lain-lain. Dengan adanya sampel yang representatif

terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan

terhadap sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel

tersebut dapat digeneralisir artinya dapat menggambarkan

populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada

sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan

populasi.

g. Menggunakan analisis statistik

Dalam penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik

bertujuan agar dapat mendeskripsikan secara akurat suatu

fenomena (erklaren). Sedangkan dalam penelitian kualitatif

tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya tidak

akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari

makna guna mendapatkan pemahaman yang mendalam

(verstehen). Terdapat beberapa macam teknik analisis

statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di depan

untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel

Model-Model Paradigma Keilmuan 47

yang satu dengan variabel yang lain digunakan teknik

analisis statistik korelasi product-moment dari Carl Pearson

atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya

pengaruh antara variabel yang satu pada variabel yang lain

digunakan analisis statistik multiple regression. Untuk

mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang

satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test.

Dalam penelitian kuantitatif digunakan istilah-istilah yang

spesifik dan tidak digunakan dalam penelitian kualitatif,

misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis, signifikan,

dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan

apabila hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu

variabel dengan variabel yang lain mempunyai makna,

untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi

maksimal 5%, atau dengan simbol statistik p < 0.05. Suatu

hubungan atau perbedaan atau pengaruh antara variabel

yang satu dengan variabel yang lain apabila p < 0.05 (tingkat

kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%) dinyatakan

signifikan atau bermakna.

h. Peneliti tidak memihak

Dalam penelitian kuantitatif peneliti tidak memihak, artinya

peneliti menghindari subjektivitas dari subjek yang diteliti.

Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha

mengetahui persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil

penelitian kualitatif merupakan hasil analisis persepsi

Model-Model Paradigma Keilmuan 48

subjektif dari subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena.

Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh

mungkin mengeleminir subjektivitas dari subjek yang

diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif

dikatakan peneliti tidak memihak.

Penjelasan dan contoh Model Kualitatif

Mengonstruksi realitas sosial, makna budaya Apabila

penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau

dengan kata lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas,

maka penelitian kualitatif ingin mendapatkan pemahaman yang

mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon atau makna di

balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif

berusaha mendeskripsikan fenomena secara akurat (erklaren),

sedangkan penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di

balik fenomena, untuk itu perlu mendapatkan pemahaman yang

mendalam dari suatu fenomena (verstehen).

Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen),

tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu

fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana dari suatu

fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau terjadi, bagaimana

suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya suatu

fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa, mengapa,

dan bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia

mempunyai metakognisi yang mampu menghasilkan pengetahuan

deklaratif (pengetahuan tentang apa), pengetahuan prosedural

Model-Model Paradigma Keilmuan 49

(pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan kondisional

(pengetahuan tentang mengapa dan kapan) (Micchenbaum, dkk,

1985 dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan pemahaman

yang mendalam (verstehen) tidak cukup hanya mengetahui tentang

apa dari suatu fenomena tetapi juga mengapa dan bagaimana

suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu pendapat

Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-

pertanyaan penelitian bukan hanya mencakup:

a) Apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang

terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan

penelitian tersebut adalah mengapa. Pertanyaan mengapa

menuntut jawaban mengenai hakikat yang ada dalam

hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep.

b) Sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan

kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan

bagaimana menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.

Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif

dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian

kualitatif membantu mengerti dan menginterpretasi apa yang ada

di balik peristiwa: latar belakang pemikiran manusia yang terlibat

di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan makna pada

peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak

menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau

meramalkan juga tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif

manusia menjadi hal penting.

Model-Model Paradigma Keilmuan 50

Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial,

karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma

Konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu

bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi

juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang diteliti.

Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek

dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil

pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh

rasio.

a. Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa

Penelitian kuantitatif berfokus pada variabel-variabel,

bahkan sebelum penelitian dilakukan telah ditentukan

terlebih dahulu variabel-variabel yang akan diteliti.

Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya

pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-

kejadiannya itu sendiri, bukan pada variabel-variabel.

Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada waktu di

lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan.

Dalam penelitian kualitatif di antara teknik pengumpulan

data yang dipergunakan adalah observasi. Observasi tidak

cukup apabila hanya diarahkan pada setting saja, tetapi

justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-

peristiwa atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula

observasi tidak cukup dilakukan bersamaan dengan

wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan tidak

bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan

Model-Model Paradigma Keilmuan 51

bersamaan dengan wawancara, maka tidak dapat terfokus

pada hal-hal yang akan diobservasi. Walaupun memang ada

perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan

wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat

ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka

hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan hasil

observasi yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi

akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau kejadian-

kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan

observasi terutama observasi langsung tidak hanya akan

dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga

bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang apa,

bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat

dipahami secara mendalam (verstehen).

b. Keaslian merupakan kunci

Dalam penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci,

jadi analisis statistik mempunyai fungsi yang sangat

strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian merupakan

kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan

sebagai penelitian alamiah (naturalist inquiry). Dalam

penelitian kualitatif tidak ada usaha untuk memanipulasi

situasi maupun setting. Sebaliknya penelitian kuantitatif

justru sering melakukan manipulasi situasi maupun setting

penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi

dapat dimanipulasi dengan subjek diatur sehingga homogen

dengan dipilih sesuai kriteria yang telah ditentukan terlebih

Model-Model Paradigma Keilmuan 52

dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel

kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya

diberikan terapi khusus atau diberikan pelatihan khusus,

dan lain-lain. Sebaliknya penelitian kualitatif melakukan

studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting

sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton

(1990 dalam Poerwandari, 1998:30) mendefinisikan studi

dalam situasi alamiah sebagai studi yang berorientasi pada

penemuan (discovery-oriented). Penelitian demikian secara

sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam

keadaan sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan

muncul atau ditemukan.

c. Nilai hadir dan nyata (tidak bebas nilai)

Dalam penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak

memperhatikan atau tidak memperhitungkan nilai (bebas

nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif nilai sangat

diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif

memegang teguh prinsip menghindari pernyataan-

pernyataan yang berkaitan dengan nilai-nilai dalam laporan

penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi) dengan jalan

menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak

menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat

laporan penelitian, mengajukan argumentasi berdasarkan

fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian. Sedang

penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal

(dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua).

Model-Model Paradigma Keilmuan 53

Menurut Neuman (1997 dalam Salim, 2001:36) dalam

penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya sifat

value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti) dalam

penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-

nilai dan bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang

dikumpulkan di lapangan.

d. Terikat pada situasi (terikat pada konteks)

Telah dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi

yang mengelilinginya, atau dengan kata lain selalu terikat

pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan bahwa dalam

penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang

berlaku umum (universal), maka peneliti harus menjaga

jarak dan bebas dari pengaruh yang diteliti. Peneliti selalu

berusaha mengontrol bias, memilih percontohan yang

sistematis dan berusaha objektif dalam meneliti suatu

fenomena. Sebaliknya penelitian kualitatif tidak menjaga

jarak dan tidak bebas dari yang diteliti karena ingin

mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin

mengetahui persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi

subjektif dari yang diteliti selalu terikat pada situasi atau

terikat pada konteks. Individu yang sedang mengalami

kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada

saat memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman

karibnya. Dengan adanya data yang bersifat subjektif, apa

ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat ilmiah?

Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif

Model-Model Paradigma Keilmuan 54

tetap ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa

atau banyak individu atau dengan kata lain beberapa atau

banyak individu memiliki data yang sama dengan subjek

yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat

intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian

intersubjektif sama dengan objektif.

e. Terdiri dari beberapa kasus atau subjek

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan

menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka penelitian

kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus atau subjek.

Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi

dapat juga banyak, bahkan mungkin penduduk suatu

negara. Karena dalam studi kasus yang sangat penting

adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian tentang

“Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.”

Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang

paham Demokrasi. Jadi penelitian perkembangan demokrasi

di negara-negara sosialis bersifat spesifik. Sebagai contoh

tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok

jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu

agar dapat dianalisis dengan statistik parametrik, maka

dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah subjek

yang diteliti.

f. Bersifat analisis tematik

Dalam penelitian kualitatif karena tidak bertujuan

menggeneralisasikan hasil penelitiannya, maka yang diteliti

Model-Model Paradigma Keilmuan 55

adalah hal-hal yang bersifat khusus atau spesifik, dan

analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan

terhadap perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan

perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dalam

lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang,

masalah kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal

(learning-disabilities), dan lain-lain.

g. Peneliti terlibat

Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti

mengambil jarak dengan yang diteliti agar dapat menjaga

objektivitas atau menghindari subjektivitas dari yang diteliti,

maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak

mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami

persepsi subjek yang diteliti terhadap suatu fenomena.

Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi

terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat

pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.

3. PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN

KUALITATIF

a. Paradigma dalam penelitian kuantitatif

Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah

Positivisme, yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar dari

paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas

itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan

Model-Model Paradigma Keilmuan 56

hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian

berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang

ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan

(Salim, 2001:39).

Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17),

Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah

instrumental, penelitian dianggap sebagai alat untuk

mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada

akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan

kemungkinan kejadian serta mengendalikan peristiwa.

Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief

system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the

belief that there exists a reality out there, driven by immutable the

natural laws.” Intinya sistem keyakinan dasar dari

Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya akan

keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh

hukum-hukum alam yang tetap.

Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan

dasar yang menyatakan kebenaran itu berada pada realitas

yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum

kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut

Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti

positivis dapat diringkas sebagai berikut:

“Ontology: Realist-reality exists “out there” and is driven by

immutable natural laws and mechanism. Knowledge of this

Model-Model Paradigma Keilmuan 57

entities, laws and mechanisms is conventionally summarized

in the form of time and context-free generalizations. Some of

these latter generalizations take the form of cause-effect laws.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat

nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan

diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang

bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri

manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini

secara konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi

yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks.

Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-

akibat.

“Epistomology : Dualist/objectivist – it is both possible and

essential for the enquirer to adopt a distant, noninteractive

posture. Value and other biasing and confounding factors are

thereby automatically excluded from influencing the

outcomes.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi:

dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti

untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan

interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan

faktor yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak

mempengaruhi hasil studi.

“Methodology : Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied in advance in propositional term and

Model-Model Paradigma Keilmuan 58

subjected to empirical tests (falsification) under carefully controlled conditions.”

Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi:

bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan

dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk

proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara

empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara

cermat.

Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh

Sosiolog Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis

besar prinsip-prinsip positivisme yang hingga kini masih

banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris (1843)

memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte.

Sedang Emile Durkheim (Sosiolog Perancis)

mengembangkan suatu versi positivisme dalam Rules of the

Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan

bagi para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme.

Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi

adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa,

sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain.

Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu,

tetapi dalam penelitian positivisme informasi kebenaran itu

ditanyakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan

responden penelitian.

Model-Model Paradigma Keilmuan 59

Gambar 16 : John Stuart Mill

b. Paradigma dalam penelitian kualitatif

Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah

Konstruktivisme, Post Positivisme, dan Teori Kritis

a) Konstruktivisme

Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science

now uniformly believe that facts are facts only within some

theoretical framework (Hesse, 1980). Thus the basis for

discovering “how things really are” and “really work” is lost.

“Reality” exist only in the context of mental framework

(construct) for thinking about it.”

Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu

pengetahuan percaya bahwa fakta hanya berada dalam

kerangka kerja teori (Hesse, 1980). Basis untuk menemukan

“Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar bekerja”

adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu

kerangka kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang

realitas tersebut. Ini berarti realitas itu ada sebagai hasil

konstruksi dari kemampuan berpikir seseorang.

Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists

Model-Model Paradigma Keilmuan 60

concur with the ideological argument that inquiry cannot be

value-free. If “reality” can be seen only through a theory

window, it can equally be seen only through a value window.

Many constructions are possible.”

Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum

Konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa

penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya

dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat

dilihat sama melalui jendela nilai. Banyak

pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut

Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas

nilai. Realitas hanya dapat diteliti dengan pandangan

(jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal

lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi

penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah

sebagai berikut: “Finally, it depicts knowledge as the outcome

or consequence of human activity; knowledge is a human

construction, never certifiable as ultimately true but

problematic and ever changing” (Guba, 1990:26).

Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat

digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari

aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi

manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai

kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan

dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir

tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu

merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 61

hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap tetapi

selalu berkembang terus.

Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas

dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil

konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan

nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan

hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi

berkembang terus.

Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak

dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan

ungkapannya yang terkenal: “Cogito Ergo Sum,” yang

artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito

Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir

bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes

pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan

melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan

merupakan hasil/kerja dari indera (mata, telinga,

hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu

hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti

menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita

amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran

yang pasti menurut Descartes dimulai dengan

meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan

kesadaran ini berada di samping materi.

Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak

berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain

berpijak pada materi. Hal ini dapat dilihat dari

Model-Model Paradigma Keilmuan 62

pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Kant

ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan

pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil

konstruksi oleh rasio.

Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem

keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme dapat

diringkas sebagai berikut:

Ontology : “Relativist – Realities exist in the form of

multiple mental constructions, socially and

experientially based local and specific, dependent

for their form and content on the persons who

hold them.”

Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam

bentuk konstruksi mental yang bersifat

ganda, didasarkan secara sosial dan

pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan

isinya, tergantung pada mereka yang

mengemukakannya.”

Epistomogy : “Subjectivist – inquirer and inquired into are

fused a single (monistic) entity. Findings are

literally the creation of the process of interaction

between the two.”

Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang

diteliti disatukan ke dalam pengetahuan

yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).

Model-Model Paradigma Keilmuan 63

Temuan-temuan secara harafiah merupakan

kreasi dari proses interaksi antara peneliti

dan yang diteliti.”

Methodology: “Hermeneutic – dialectic – individual

constructions are elicited and refined

hermeneutically, with the aim of generating one

(or a few) constructions on which there is

substantisl consensus.”

Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik –

konstruksi-konstruksi individual dinyatakan

dan diperhalus secara hermeneutik dengan

tujuan menghasilkan satu atau beberapa

konstruksi yang secara substansial

disepakati”

b) Postpositivisme

Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai

berikut: “Postpositivism is best characterized as modified

version of positivism. Having assessed the damage that

positivism has occured, postpositivists strunggle to limited that

damage as well as to adjust to it. Prediction and control

continue to be the aim.”

Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme

mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari

Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan pada

Model-Model Paradigma Keilmuan 64

Positivisme menyebabkan para pendukung

Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan

tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan kontrol

tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”

Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai

berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin

memperbaiki kelemahan-kelemahan Positivisme yang

hanya mengandalkan kemampuan pengamatan

langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi

aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa

realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan

hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu

realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia

(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan

eksperimental melalui metode triangulation yaitu

penggunaan bermacam-macam metode, sumber data,

peneliti dan teori.

Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis

hubungan antara pengamat atau peneliti dengan objek

atau realitas yang diteliti tidaklah bisa dipisahkan, tidak

seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini

menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai

atau melihat kebenaran apabila pengamat berdiri di

belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara

langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat

dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan

Model-Model Paradigma Keilmuan 65

bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,

sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara

minimal (Salim, 2001:40).

Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga

mengacu pandangan Guba, Denzin dan Lincoln dapat

disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang

ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu

sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme

bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum

alam. Tetapi pada sisi lain Postpositivisme berpendapat

manusia tidak mungkin mendapatkan kebenaran dari

realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas

atau tidak terlibat secara langsung dengan realitas.

Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat

interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip

trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam

metode, sumber data, data, dan lain-lain. Selanjutnya

menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada

peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:

Ontology : “Critical realist – reality exist but can never be

fully apprehended. It is driven by natural laws that

can be only incompletely understood.”

Asumsi ontologi: “Realis kritis – artinya realitas itu

memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat

dipahami sepenuhnya. Realitas diatur oleh

Model-Model Paradigma Keilmuan 66

hukum-hukum alam yang tidak dipahami

secara sempurna.”

Epistomology: “Modified objectivist – objectivity remains a

regulatory ideal, but it can only be approximated

with special emphasis placed on external guardians

such as the critical tradition and critical

community.”

Asumsi epistomologi: “Objektivis modifikasi - artinya

objektivitas tetap merupakan pengaturan

(regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya

dapat diperkirakan dengan penekanan khusus

pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan

komunitas yang kritis.”

Methodology: “Modified experimental/manipulative –

emphasize critical multiplism. Redress imbalances

by doing inquiry in more natural settings, using

more qualitative methods, depending more on

grounded theory, and reintroducing discovery into

the inqury process.”

Asumsi metodologi: “Eksperimental/manipulatif yang

dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat

ganda yang kritis. Memperbaiki

ketidakseimbangan dengan melakukan

penelitian dalam latar yang alamiah, yang

lebih banyak menggunakan metode-metode

kualitatif, lebih tergantung pada teori-

Model-Model Paradigma Keilmuan 67

grounded (grounded-theory) dan

memperlihatkan upaya (reintroducing)

penemuan dalam proses penelitian.”

c) Teori Kritis (Critical Theory)

Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai

berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to

encompass all the alternatives that can be swept into this

category of paradigm. A more appropriate label would be

“ideologically oriented inquiry”, including neo-Marxism,

materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and

other similar movements as well as critical theory itself. These

perspectives are properly placed together, however because they

converge in rejecting the claim of value freedom made by

positivists (and largely continuing to be made by

postpositivists).”

Kutipan tersebut mempunyai arti: “Nama teori kritis

tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup

semua alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori

paradigma. Lebih tepat diberi nama penelitian yang

berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme,

materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat,

dan perspektif yang lain termasuk teori kritis itu sendiri.

Perspektif-perspektif ini pantas ditempatkan bersama

karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang

Model-Model Paradigma Keilmuan 68

dibuat oleh kaum Positivis (dan yang umumnya terus

dibuat kaum Postpositivis).”

Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada

pandangan Guba, Denzin dan Lincoln menjelaskan

bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat

dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat

disebut “ideologically oriented inquiry,” yaitu suatu wacana

atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai

orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini

meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme,

Freireisme, Participatory inquiry, dan paham-paham yang

setara.

Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi

ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan

Postpositivisme yang menilai objek atau realitas secara

kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara

benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk

mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini

mengajukan metode dialog dengan transformasi untuk

menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara

epistomologis, hubungan antara pengamat dengan

realitas merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.

Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep

subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu

pengetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek

Model-Model Paradigma Keilmuan 69

atau pengamat ikut campur dalam menentukan

kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).

Dari pandangan-pandangan tersebut dapat

disimpulkan bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak

dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi lebih tepat

dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi

pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme,

Feminisme, Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori

Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis dan

postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai.

Karena Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu

tidak dapat dipisahkan dengan subjek, nilai-nilai yang

dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari

realitas tersebut.

Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem

keyakinan dasar para peneliti Critical Theory dapat

diringkas sebagai berikut:

Ontology : “Critical realist, as in the case of

postpositivism.”Artinya ontologi: “bersifat

realis – kritis, seperti Post-Positivisme.”

Epistomology : “Subjectivist, in the sense that values mediate

inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis,

dalam arti nilai-nilai menjadi mediasi

penelitian.”

Model-Model Paradigma Keilmuan 70

Methodology: “Dialogic, transformastive; eliminate false

consciousness and energize and facilitate

transformation.” Artinya metodologi:

“dialogis, transformatif; mengeliminasi

kesadaran palsu dan membangkitkan dan

memasilitasi transformasi.”

Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-

asumsi dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif

lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

digunakan masing-masing paradigma serta

implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-

asumsi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian dari

masing-masing paradigma.

4. INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI

a. Interpretive

Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive

(Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya

(Kulturwissenschaften).

Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994:

119) mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih

Model-Model Paradigma Keilmuan 71

mendalam tentang faham interpretive dan menyatakan

bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari tradisi

intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen dalam

sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada

aliran ilmu pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis

(positivism) yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf

terhadap logika empirisme.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt

(dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Painted in broad strokes, the canvas of interpretivism is layered

with ideas stemming from the German intellectual tradition of

hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the

phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and

positivism of ordinary language philosophers critical of logical

emperism (e.g Peter Winch, A. R. Lough Isaiah Berlin).”

Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis

argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive

digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik.

Terdapat bermacam sanggahan terhadap interpretive

naturalistik (alamiah) dari ilmu pengetahuan sosial (secara

kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu

pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan

metoda ilmu pengetahuan alam). Kaum interpretive

berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental

(Geisteswissenschaften) atau ilmu pengetahuan budaya

Model-Model Paradigma Keilmuan 72

(Kulturwissenschaften) berbeda dengan ilmu pengetahuan

alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu pengetahuan alam

adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan

ilmu pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk

pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena

sosial.

Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt

(dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:

“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness of

human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic

interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims

and methods of the social sciences are identical to those of the

natural sciences). They held that the mental sciences

(Geisteswissenschaften) or cultural sciences

(Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural

sciences (Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific

explanation (Erklaren), where as the goal of the former is the

grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social

phenomena.”

Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas

Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis,

Konstruktivisme, Interpretivis dan Interpretivisme

merupakan istilah-istilah yang sehari-hari dipergunakan

dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-

ahli filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh

maksud para penggunanya. Konstruktivisme dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 73

interpretivisme berfungsi memberikan alternatif penjelasan

lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang

berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk

disebut konsep yang peka. Walaupun demikian istilah-

istilah ini hanya memberikan arahan terhadap apa yang

harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak

memberikan penjelasan.

Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt

(dalam Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:

“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism

are terms that routenely appear in the lexicon of social science

methodologists and philosophers. Yet, their particular meaning are

shaped by the intent of their user. As general descriptors for a

loosely coupled family of methodological and philosophical

persuasions, these terms are best regarded as sentizing concepts

(Blumer, 1954). They steer the interest reader in the general

direction of where instances of particular kind of inquiry can be

found. However they “merely suggest directions along which to

look” rather than provide descriptions of what to see.”

Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat

disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme

merupakan dua istilah yang dipahami secara berpasangan

untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena sosial.

Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya

dipergunakan oleh ilmu pengetahuan mental

Model-Model Paradigma Keilmuan 74

(Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya

(Kulturwissenschaften).

Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln,

konstruktivisme merupakan paradigma. Hal ini telah

dijelaskan secara memadai dalam Bab II. Dalam buku

Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of

Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln

interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu

paradigma. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang

dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan

makna dari suatu fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt

pada alinea pertama di atas juga nyata/jelas bahwa

interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan

fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode

analisis sebagai kritik terhadap aliran ilmu pengetahuan

alam dan positivisme yang menggunakan logika emperisme.

Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan

memberikan penjelasan (erklaren) maka interpretive

bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam

(verstehen).

Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna

dibalik fenomena (noumenon), penulis akan mengutip uraian

Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic

Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

dengan judul “Metode Etnografi” sebagai berikut:

Model-Model Paradigma Keilmuan 75

“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang

memberikan pijitan jantung dan bantuan oksigen kepada

seorang wanita korban serangan jantung, tetapi malah

diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100

orang yang jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang

dilakukan polisi. Anggota polisi lain menghadang

gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai

sebuah ambulan datang. Para anggota kepolisian itu

menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa

yang mereka kerjakan, tetapi kerumunan itu tetap

beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul

wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh

anggota polisi namun korban serangan jantung itu,

Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa

walaupun menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama

yaitu seorang wanita yang mendapat serangan jantung,

sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh

polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat

berbeda oleh kelompok masyarakat tadi dengan polisi. Polisi

berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan wanita

itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu

diselamatkan dengan memberikan pijitan jantung dan

memberikan oksigen kepada wanita itu. Sedang gerombolan

itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan

interpretasi yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan

Model-Model Paradigma Keilmuan 76

kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi

sebagai tindak kekerasan karena dipersepsikan memukul,

dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan

perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan

jahat.

Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan

bahwa:

1) Interpretasi terhadap makna kejadian antara polisi dan

gerombolan sangat berbeda.

2) Perbedaan interpretasi terhadap makna kejadian tersebut

disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.

Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa

atau fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda,

penulis mencoba menambah contoh dengan mengutip

contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8) “The

Interpretation of Cultures, Selected Essays” yang sudah

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir

Kebudayaan”. Geertz memberikan contoh tentang anak yang

mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat

memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama, anak yang

mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang

mengedipkan matanya mempunyai makna adalah karena

kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena

memberi isyarat. Disini anak melakukan kedipan mata

dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat

Model-Model Paradigma Keilmuan 77

dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak

lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena sedang latihan

atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.

Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa

perilaku yang sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat

mengandung makna yang berbeda-beda. Menurut Geertz

(1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang

harus melakukan “thick description” (“lukisan mendalam”),

yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi.

Kesimpulan ini analog dengan pernyataan Geertz (1992: 5)

sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max Weber bahwa

manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada

jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya

menganggap kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan

analisis atasnya tidak merupakan ilmu eksperimental untuk

mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat

interpretif untuk mencari makna.”

Gambar 17 : Clifford Geertz

Model-Model Paradigma Keilmuan 78

b. Hermeneutik

Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta

fungsi dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan

(Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya

(Kulturwissenschaften).

Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive,

hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode

analisis yang mempunyai tujuan yang sama yakni mencari

pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata

lain mencari makna di balik fenomena. Cara yang dilakukan

adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena.

Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan

hermeneutik? Untuk itu akan dijelaskan apa yang

dimaksudkan dengan hermeneutik.

Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa

Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka kata

benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan penafsiran

atau interpretasi. Istilah Yunani ini mengingatkan pada

tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang

mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter

kepada manusia. Tugas Hermes adalah menerjemahkan

pesan-pesan dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa

yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu fungsi

Hermes sangat penting karena apabila terjadi

kesalahpahaman tentang pesan-pesan dewa-dewa akan

Model-Model Paradigma Keilmuan 79

berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes harus

mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam

bahasa yang dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak

saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani

dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi itu

sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu

disampaikan (Sumaryono, 1993: 24). Oleh karena itu,

hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses

mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”.

Batasan umum ini selalu dianggap benar, baik hermeneutik

dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern

(Palmer, 1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).

Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi

Yunani

Hermeneutik dalam pandangan klasik akan

mengingatkan kepada apa yang ditulis oleh Aristoteles

dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa

kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman

mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari

kata-kata yang kita ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak

mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain,

maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa

ucapan dengan orang lain. Akan tetapi pengalaman-

Model-Model Paradigma Keilmuan 80

pengalaman mentalnya yang disimbolkannya secara

langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana

juga pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk

menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam

Sumaryono, 1993: 24).

Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat

terhadap interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu

pun manusia yang mempunyai baik bahasa tulisan maupun

bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai sarana

komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh

orang yang satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa

yang berbeda. Bahkan pengalihan arti dari bahasa yang satu

ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak

problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang

berbeda-beda. Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi

jika manusia saling mengomunikasikan gagasan-gagasan

mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).

Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa

walaupun manusia mempunyai pengalaman mental yang

sama, misalnya susah, gembira, kecewa, bangga, simpati,

benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam

bahasa baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu

pula walaupun mempunyai pengalaman mental yang sama

seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu dengan orang

lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi,

walaupun mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama,

Model-Model Paradigma Keilmuan 81

belum tentu mereka memiliki pemahaman yang sama.

Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari

bahasa yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan

banyak persoalan.

Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata

yang diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang

diucapkan atau ditulis mempunyai kecenderungan dasar

untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman

mental atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya

dan beranekaragam. Tetapi kekayaan dan keanekaragaman

nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya dalam

sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang

diperlihatkan. Kita sering mengungkapkan pengalaman

mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa

dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha

mengungkapkan dengan kata-kata yang lebih baik dan lebih

jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan

atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat.

Mereka pada umumnya tidak mengungkapkan nuansa-

nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang

bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang

kita ucapkan pada dasarnya lebih sempit bila dibandingkan

dengan buah pikiran atau pengalaman kita. Apabila kita

menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis,

juga menjadi lebih sempit artinya.

Model-Model Paradigma Keilmuan 82

Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan

bahasa. Manusia menyampaikan hasil pemikirannya melalui

bahasa, kita berbicara dan menulis dengan bahasa. Kita

memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu

melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni

dengan bahasa, atau mengungkapkan kekaguman karya

seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik membantu

kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung

dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah,

surat dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai

dengan makna yang dimaksud oleh penulisnya.

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan

hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua

karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti Al-Quran,

kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat

dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik

(Sumaryono, 1993: 28).

c. Fenomenologi

1) Pengertian Fenomenologi

Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai metoda

analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih

dulu pengertian Fenomenologi.

Berdasarkan faham Fenomenologi, dalam /

berkenaan dengan pengetahuan manusia terdapat dua hal

yang pokok yaitu subjek yang ingin mengetahui dan objek

Model-Model Paradigma Keilmuan 83

yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan

secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu

sama lain. Keduanya harus ada, keduanya merupakan satu

kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan manusia.

Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan:

“Supaya ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak

pernah ada tanpa yang lain…..”. Pendapat ini juga sejalan

dengan pendapat Merleau Ponty (dalam Bertens, 1985: 345)

yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan

hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek

tanpa dunia dan tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu

menurut Husserl agar terwujud pengetahuan, subjek harus

terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana

adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar

dapat pula diketahui sebagaiman adanya.

Di sini perlu dipahami bahwa keterarahan subjek

kepada objek hanya akan menghasilkan pengetahuan

apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan

dengan objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak

mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja.

Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin terwujud

apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan

objek sebagai realitas di alam semesta ini.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya

melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat

mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu

Model-Model Paradigma Keilmuan 84

manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala isinya.

Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat

temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak

hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki

jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu

mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret,

jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi

yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia

berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui

pengetahuan yang kongkret yang ditangkap melalui

pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai

pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku

umum bagi objek apa saja pada tempat dan waktu mana

pun.

Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund

Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk menjelaskan

fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala

sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran

manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun

berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun

berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan

suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena, melainkan

dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk

tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan

perhatiannya kepada fenomena tersebut tanpa disertai

Model-Model Paradigma Keilmuan 85

prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya

menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar

dapat memahami fenomena sebagaimana adanya.

Memahami fenomena sebagaimana adanya

merupakan usaha kembali kepada barangnya sebagaimana

penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil

sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl

dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan

pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan

fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu

demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat

fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus

dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat

ini dapat mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian

bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai hakekat

sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).

Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah

sacara langsung terjangkau sebagaiman adanya, karena

pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah pada

sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri.

Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta

penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya senantiasa

bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan

Model-Model Paradigma Keilmuan 86

melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran

itu dapat ditemukan.

Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat

“menempatkan diantara tanda kurung” kenyataan dunia

luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran.

Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda yang khas.

Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche

(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut

terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang

memperlihatkan hakekat (eidos) dalam fenomena, dan

reduksi transendental yang menempatkan dalam “tanda

kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia

luar.

Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran

transendental, sedangkan kesadaran terhadap pengalaman

emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk

pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.

Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa

Fenomenologi Transendental yang diformulasikan oleh

Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia

yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai

manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke

barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil

kepada kita dan mengesampingkan atau mengurung apa

yang telah kita ketahui tentang mereka.

Model-Model Paradigma Keilmuan 87

Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia

seperti yang dialami manusia dengan konteks khusus, pada

waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang

kealamiahan dunia secara umum.

Fenomenologi menekankan fenomena yang tampil

dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia

sekeliling kita (“Transendental phenomenologi, as formulated by

Husserl in the early twentieth century, is concerned with the

world as it presents itself to us as humans. Its aim was to return to

things themselves, as they appear to us perceivers, and to set aside,

or bracket, that which we (think) we already know about them. In

other words, phenomenology is interested in the world as it is

experienced by human beings within particular contexts and at

particular times, rather than in abstract statements about the

nature of the world in general. Phenomenology is concerned with

the phenomena that appear in our consciousness as we engage with

the world around us”).

Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal

untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek

terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh

objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai sesuatu,

dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk

realitasnya pada suatu saat manapun. Penampilan suatu

objek sebagai fenomena perseptual bervariasi menurut

lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting,

orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan,

Model-Model Paradigma Keilmuan 88

penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut

intensionalitas.

Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri

sebagai fenomena. Ini berarti bahwa “diri dan dunia

merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat

dipisahkan” (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan

merupakan sesuatu yang ditambahkan pada persepsi,

sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah persepsi.

Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena

itu merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri.

Akan tetapi pada waktu yang sama fenomenologi

transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih dapat

menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan.

Fenomenologi mengidentifikasikan strategi-strategi yang

dapat membantu putusan memokuskan diri “di mana letak

kemurnian fenomenologi” (Husserl, 1931: 262), dan

memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas

persepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan

memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi

fenomenologi (Willig, 1999: 51) (“According to a

phenomenological perspective, it makes no sense to think of the

world of objects and subjects as separate from our experience of it.

This is because all objects and subjects must present themselves to

us as something, and their manifestation as this or that something

constitutes their reality at any one time. The appearance of an

object as a perceptual phenomenon varies depending upon the

perceiver’s location and context, angle of perception and

Model-Model Paradigma Keilmuan 89

importanly, the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes,

judgements, emotions, aims and purposes). This is referred to as

intentionality. Intentionality allows objects to appear as

phenomena. This means that “self and world are inseparable

components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning is

not something that is added on to perception as an afterthought;

instead, perception is always intentional and therefore constitutive

of experience itself. However, at the same time, transcendental

phenomenology acknowledeges that perception can be more or less

infused with ideas and judgements. It identifies strategies that can

help us to focus on “ that which lies before one in

phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on

that which we bring to the act of perception through feeling,

thingking, remembering and judging. This takes us on to the

methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).

2) Metode Fenomenologi

Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari

asalnya) fenomenologi, membentuk bagian sentral yang

disebut fenomenologi transendental. Husserl menyatakan

adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias,

dan mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum

direfleksikan, yang memungkinkan kita menggambarkan

fenomena sebagai mana mereka yang menampakkan dirinya

sendiri kepada kita.

Husserl mengidentifikasikan serangkaian tahap akan

membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang

Model-Model Paradigma Keilmuan 90

dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena.

Pengetahuan yang berasal dari cara ini akan bebas dari

penjelasan akal sehat dan ilmiah dan interpretasi-

interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri

pemahaman yang lain.

Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan

tentang dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam

hubungan kita dengannya. (“The phenomenological method of

deriving forms a central part of transcendental phenomenology.

Husserl suggested that it was possible to transcend

presuppositions and biases and to experience a state of pre-

reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as

they present themselves to us. Husserl identified a series of steps

that would take the philosopher from a fresh perception of familiar

phenomena to the extraction of the essences that give the

phenomena their unique character. Knowledge derived in this way

would be free from the common-sense notions, scientific

explanations and other interpretations or abstractions that

characterize most other forms of understanding. It would be a

knowledge of the world as it appears to us in our engagement with

it” (Willig, 1999: 52).

Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda fenomenologi

dalam memperoleh pengertian meliputi 3 (tiga) fase

perenungan yang membedakan yaitu: epoche, reduksi

fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan

penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 91

interprestasi untuk memungkinkan kita menyadari secara

penuh keberadaan apa yang nyata.

Pada tahap reduksi fenomenologi kita menggambarkan

fenomena yang menampakkan dirinya kepada kita secara

total/utuh. Penggambaran itu juga meliputi ciri-ciri fisik

seperti bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman

seperti pemikiran dan perasaan yang muncul dalam

kesadaran kita ketika kita mengarah ke fenomena. Melalui

reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur

hakiki pengalaman kita akan fenomena.

Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman

seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai

susunan komponen struktural fenomena yaitu apabila

reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang dialami

(yakni teksturnya), variasi imajinatif menanyakan

“bagaimana” pengalaman itu mungkin (yaitu strukturnya).

Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan

kondisi-kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan

tanpa kondisi-kondisi tersebut tidak mungkin fenomena itu

akan menjadi sebagaimana adanya. Kondisi ini dapat

meliputi waktu, ruang atau hubungan-hubungan sosial.

Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan

untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena.

(“The phenomenological method of gaining understanding

involves three distinct phases of contemplation: ephoce,

phenomenological reduction and imaginative variation (for a

detailed account of these, see Moustakas 1994). Epoche requires the

Model-Model Paradigma Keilmuan 92

suspension of presuppositions and assumptions, judgements and

interpretations to allow ourselves to become fully aware of what is

actually before us. In phenomenological reduction we describe the

phenomenon that present itself to us it in totality. This includes

physical features such as shape, size, colour and texture, as well as

experiential features such as the thought and feelings that appear

in our consiousness as we attend to the phenomenon. Through

phenomenological reduction, we identify the constituens of our

experience of the phenomenon. In other words, we become aware of

what makes the experience what it is. Imaginative variation

involves an attempt to access the structural components of the

phenomenon. That is, while phenomenological reduction is

concerned with “what”is experienced (i.e. its texture), imaginative

variation asks “how” this experience is made possible (i.e. its

structure). The aim of imaginative variation is to identify the

conditions associated with the phenomenon and whitout which it

would not be what it is. This could involve time, space or social

relationships. Finally, textural and structural descriptions are

integrated to arrive at an understanding of the essence of the

phenomenon”) (Willig, 1999: 52).

3) Fenomenologi dan Psikologi

Menurut Willig (1999: 52) meskipun fenomenologi

transcendental dipahami sebagai sistem pemikiran filsafat,

rekomendasi metodologinya telah terbukti menarik minat

peneliti ilmu pengetahuan sosial umumnya dan psikologi

khususnya. Hal ini disebabkan fenomenologi memfokuskan

Model-Model Paradigma Keilmuan 93

diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu tentang

dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53)

sebagai berikut:

Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak

maupun cara bagaimana sesuatu itu menampakkan diri.

Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang

dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan

kesadaran subjek, berusaha menangkap keragaman

kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan

mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-

pengalaman tersebut.

(“Even though transcendental phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s experience of the word as Kvale (1996 b:53) put it:

Phenomenology is interested in elucidating both that which

appears and the manner in which it appears. It studies the

subjects perspectives of their word; attempts to describe in

detail the content and structure of the subjects consciouness,

to grasp the qualitative diversity of their experiences and to

explicate their essential meanings.

Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris

dalam psikologi telah dirintis dan diaplikasikan secara

Model-Model Paradigma Keilmuan 94

ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika Serikat (lihat

Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975).

Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman

perasaan” (Van Kaam 1959), “belajar” (Georgi 1975, 1985),

“jadi korban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah” (Stevick

1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman

manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat

dianalisis secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa

fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi

peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan

dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi

transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi

dalam psikologi.

(“Empirical phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological investigation included “feeling understood” (Van Kaam 1959), “learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979), “angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is another reason why this approach appeals to psychological researchers. However, there are differences in focus and emphasis between transcendental phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willig, 1999:52-53).

Model-Model Paradigma Keilmuan 95

Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi

fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan

variasi pengalaman manusia daripada mengidentifikasi

esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula

penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada

mengklaim bahwa tidak mungkin “menyingkirkan” seluruh

prasangka dan bias dalam suatu perenungan tentang suatu

fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda kurung pada

fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan

pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui

sesuatu.

Akhirnya sangat penting untuk melakukan pembedaan

antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau

kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada peneliti,

dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus

seperti yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan

fenomenologis menuntut (mensyaratkan) intropeksi oleh

seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara

analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan

upaya “masuk ke dalam” pengalaman orang lain atas dasar

deskripsi mereka tentang pengalamannya.

Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan

pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh

peneliti. (“Spinelli (1989) pointed out that phenomenological

psychology is more concerned with the diversity and variability of

human experience than with the identification of essences in

Model-Model Paradigma Keilmuan 96

Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological

researchers in psychology would claim that it is possible to

suspend all presuppotions and biases in one’s contemplation of a

phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows

the researchers to engage in a critical examination of his or her

customary ways of knowing (about) it (see reflexity. p. 10).

Finally, it is important to differentiate between phenomenological

contemplation of an object or event as it present it self to the

researcher, and phenomenological analysis of an account of a

particular experience as presented by a research participant. The

former requires introspective attention to one’s own experience,

where as the latter an attempt to “get inside” someone else’s

experience on the basis of their description of it. In

phenomenological psychological research, the research

participotion’s account becomes the phenomenon with which the

researcher engages”) (Willig, 1999: 53).

Bahan Bacaan

Ardianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009.

Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Ritzer, George (ed.). Encyclopedia of Social Theory: Volume II. California: Sage Publication, 2005.

Model-Model Paradigma Keilmuan 97

Egon G. Guba dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative

Research: Competing Paradigms in Qualitative Research. 2009

Guba, E. G., and Lincoln, Y. S. Handbook of Qualitatvie Research: Competing Paradigms in Qualitative Research.

Hidayat, N. Dedy. Penulisan Proposal Penelitian untuk Perkembangan Ilmu: Disampaikan untuk Workshop Pengembangan Kegiatan Penelitian Staf Pengajar FISIP-UI. Kampus Depok. 2000.

Suatu paradigma menurut Guba dalam Denzin dan Lincoln, tahun Dapat didefinisikan sebagai “…a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or first principles…a world view that defines, for its holder, the nature of the world” 1994.

Dedy N. Hidayat ”Penelitain proposal Penelitian untuk Pengembangan Ilmu.” 2009.

Model-Model Paradigma Keilmuan 98

IDENTITAS DIRI Nama : Dr. Syarifudin, S.Sos.I., M.Sos.I NIP : 197306172007101003 Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 17 Juni 1973 Status Perkawinan : Kawin Agama : Islam Perguruan Tinggi : IAIN Ambon

NPWP : 57.034.345.9-941.000 Nomor KTP : 7306081706730002 NIDN : 2017067302 Nomor Rek : BRI; 0001-01-052231-50-0, Muamalat; 8710000745 No SERDOS : Alamat : Jl.Dr.H.Tarmizi Taher Kebun Cengkeh Batu Merah Atas-

Ambon 97128 Telp./Faks. : (0911)344816–Faks (0911)344315

Email;[email protected] Alamat Rumah : Jl.Dr.H.Tarmizi Kompleks IAIN Ambon Kebun

Cengkeh Batu Merah Atas Ambon Hand Phone (HP) : 081343372180 E-mai : [email protected]

Fb:[email protected].

RIWAYAT PENDIDIKAN SD s/d SMU Tahun Lulus Jenjang Ket

1987 SD SD 2 Passo Ambon 1990 SMP SMP Kairatu Maluku tengah 1993 SPMA/SPP SPP-PASSO (Kota Ambon)

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Tahun Lulus Jenjang Perguruan

Tinggi Konsentrasi

2002 Strata Satu (S1) STAIN AMBON Komunikasi Penyiaran Islam

2010 Strata Dua (S2) UIN ALAUDDIN Dakwah dan

Model-Model Paradigma Keilmuan 99

MAKASSAR Komunikasi 2012 Strata tiga (S3) UIN ALAUDDIN

MAKASSAR Dakwah dan Komunikasi

PELATIHAN PROFESIONAL Tahun Pelatihan Penyelenggara 1995 Pelatihan Jurnalistik STAIN Ambon

2007 Peserta Training Desain Grafis bidang kalkulasi biaya cetak.

Pusgrafin Jakarta

2007 Peserta Mobile Training Program Desain Grafis.

Kerjasama IAIN Ambon dengan Balai Grafika Makassar

2007 Fasilitator – jurnalistik fotografi Persatuan Fotografi Maluku

2007 Pelatihan Sistem Informasi Akademik IAIN Ambon Melalui Komputer

IAIN Ambon

2008 Fasilitator–Narasumber Workshop Metodologi Penelitian Participatory Action Research untuk Dosen dan Mahasiswa IAIN Ambon Sistem 144 Jam

Lembaga Penelitian IAIN Ambon

2010 Pelatihan Digitalisasi Naskah Kuno

LITBANG Makassar

2011 Pelatihan Desain Pembelajaran IAIN Ambon 2011 Pelatihan Pembangunan karakter

anak Sekolah Islam Terpadu Al-Fityan Makassar.

2011 Pelatihan Doswar(Dosen kewarganegaraan)

Pangdam Pattimura

2012 Pelatihan ICT Rekapitulasi Nilai MTQ Nasional 2012

LPTQ Provinsi Maluku

2013 Peltihan teknologi Informasi berbasis Software Broadcasting dan Advertising

Bogor Jakarta utusan Pascasarjana

Model-Model Paradigma Keilmuan 100

2014 Pelatihan Auditor Manajemen sistem Informasi Perkantoran

PENGALAMAN JABATAN Jabatan

Institusi Tahun .2007

s.d. 2014 Staf Data dan Informasi IAIN Ambon Maret 2007 –

2010 Kepala Laboratorium Teknologi Informasi

IAIN Ambon Maret 2009 – 2010

Tenaga Dosen Komunikasi penyiaran Islam di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah

Juni 2010 - 2013

Dosen Pascasajrana IAIN Ambon 27 Juli 2013 sampai sekaran

PENGALAMAN PENELITIAN

Tahun Judul Penelitian Jabatan Sumber

Dana

2009

Model Dakwah pada

masyarakat terasing di Kab.

Seram Bagian Timur Provinsi

Maluku.

Mandiri

DIPA

LITBANG

Makassar

2008 Pemetaan Sistem Informasi Dakwah menuju Cyber City di Kota Makssar.

Ketua

DIPA DINAS

INFOKOM

2009 Sistem informasi di PT. Telkom Makassar

Mandiri Biaya

Model-Model Paradigma Keilmuan 101

Sendiri

2010

Strategi Sistem Informasi

pada masyarakat

Multikultural di Kota Ambon.

Mandiri DIPA

LITBANG

Pusat

Jakarta

2011 Peta Dakwah di Kota Ambon Kelompok DIPA IAIN

Ambon

2012 Pemberdayaan masyarakat berbasis negeri wisata di Desa Larike Pulau Ambon

Kelompok DIPA LPM

Pusat

Jakarta

2013 Pemberdayaan Masyarakat Pesisir di Desa Solang

Tim/ Kelompok

DIPA Pusat

Jakarta

2014 Pergerkan Dakwah Imam Rijali di Maluku(upaya mencari format brand mark IAIN Ambon lewat pemikiran dakwah Imam RijaliI

Ketua Tim DIPA Pendis

Kementeria

n agama

Jakarta