Post on 01-Jul-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca Gerakan Reformasi 1998, Indonesia mengalami proses transisi yang
melibatkan pelembagaan politik sebagai upaya konsolidasi demokrasi dan
desentralisasi pemerintahan. Proses transisi ini telah menghasilkan beberapa hal
positif bagi bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya meningkatkan partisipasi politik
rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak
negatifnya. Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme
birokrasi (bureaucratic pluralism), dimana format kebijakan lebih merupakan hasil
dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting
yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga
relative meningkatnya tanggung jawab birokrasi terhadap masalah-masalah sosial dan
tekanan sosial.
Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi isu krusial dalam pemilihan umum
khususnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik
terhadap keberpihakan birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat
rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti
masalah netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul isu terjadinya
mobilisasi PNS di Bali dalam rangka kampanye PDI P menjelang pemilu legislatif
bulan April 2004. Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye
terselubung birokrat untuk mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu
putaran kedua, 20 September 2004 yang lalu.
1
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwa Undang-undang dan
peraturan tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah
upaya penyelewengan fungsi birokrasi. Kecenderungan birokrat atau partai yang
memerintah (apapun partainya) untuk menggunakan mesin birokrasi sebagai alat
yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah. Peluang
reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak
pernah absen untuk senantiasa menggunakan mesin birokrasi sebagai pengumpul
suara dalam pilkada.
Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi
berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola
rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di
masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan
partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha
mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari
provinsi hingga kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan
penguatannya lewat UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah
ditinggalkan maupun UU No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya
yang bersemangatkan otonomi daerah berdasarkan keadaan di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan suatu penulisan yang Berjudul “Politisi Birokrasi dan
Pengembangan Karier PNS Daerah di Era Otonomi Daerah”.
2
1
B. Identifikasi Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah Bagaimana netralitas birokrasi di Pemerintah dalam pemilu
legislatif? Serta bagimana hubungannya dalam pengembangan karir PNS .
C. Metode Penulisan
Dalam melaksanakan Karya tulis ini untuk mendapatkan hasil yang
diinginkan untuk pembuatan penulisan nantinya, penulis melakukan penelitian
dengan menggunakan metode pendekatan yang normatif , yang nantinya dapat
dipergunakan untuk memandang permasalahan dari sudut pandang yang berdasarkan
teori yang ada. Selain itu, penelitian yang nantinya akan dilakukan oleh penulis akan
bersifat deskriptif, dimana penelitian ini nantinya akan dapat memberikan gambaran
terhadap polisi reformasi birokrasi.
D. sistematika Penulisan
Dalam penulisan ini terdapat suatu sitematika penuliasan yang terarah
BAB I
Bab I terdiri dari enam subbab. Subbab pertama berisi latar belakang
ditulisnya topik Reformasi Birokrasi . Subab kedua adalah pokok permasalahan yaitu
merupakan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ini. Subbab
ketiga adalah metode penulis berkaitan dengan topik yang dipilih. Subbab ke empat
metode penulisan yaitu metode yang digunakan untuk mengumpulkan bahan
3
penulisan dan penyusunan penulisan. Subbab terakhir mengenai sistematika
penulisan, yang berupa uraian singkat secara sistematis bab-bab yang akan diuraikan
dalam penulisan ini.
BAB II
Bab II menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan Politisi Reformasi Birokrasi
BAB III
Bab III Pembahasan yang dilakukan terhadap Politisi Birokrasi dan Pengembangan
Karier PNS Daerah di Era Otonomi Daerah serta kaitan-kaitannya.
BAB IV
Sebagai penutup dalam bab ini akan disampaikan kesimpulan dari topik yang
dibahas dalam penulisan ini dan saran yang dapat di berikan terhadap permasalahan
yang terjadi.
Penulisan ini dibagi menjadi ke dalam beberapa bab dan sub bab sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pokok Permasalahan
C. Metode penulisan
D. Sistematika Penulisan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. SEJARAH BIROKRASI
B. NETRALITAS BIROKRASI
C. PNS DI ERA OTONOMI
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
4
B. Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Birokrasi
Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di
Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada
kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi
berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian
digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke
negara lain. Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti
kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan
perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian (Thoha, 2004).
Di Cina, dinasti Song (960 AD) sebagai contoh membentuk birokrasi
sentralistis dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan
ini kemudian mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi
istana daripada yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya. Teori Karl Marx tentang
birokrasi berasal dari teori mengenai historical materialisme, asal muasal birokrasi
dapat ditemukan dalam empat sumber: agama, pembentukan negara, perdagangan,
dan teknologi. Kemudian, bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta
rohaniawan/tokoh agama, pegawai pemerintah dan pekerja yang mengoperasikan
aneka ritual, dan tentara yang ditugaskan untuk mentaati perintah. Di dalam transisi
sejarah dari komunitas egaliter primitif ke dalam civil society terbagi kelas-kelas
sosial dan wilayah, muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu, dimana kewenangan
5
5
terpusat, dan dipaksakan oleh pegawai pemerintah yang keberadaannya terpisah dari
masyarakat.
Negara memformulasikan, memaksakan dan menegakkan peraturan, dan
memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak
untuk menyelenggarakan fungsi tersebut. Kemudian, negara melakukan mediasi bila
terjadi konflik di antara masyarakat dan menjaga konflik agar masih dalam batas
kewajaran; negara juga mengatur pertahanan wilayah. Terutama, hak umum
perorangan untuk membawa dan menggunakan senjata untuk mempertahankan diri
sedikit demi sedikit dibatasi; memaksakan orang lain untuk berbuat sesuatu menjadi
hak legal negara dan aparat pemerintah untuk melakukannya.
B. Netralitas Birokrasi
Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial
dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah
pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill,
Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad ke 20,
konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial
politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang
managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of
the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan
birokrasi dalam perubahan-perubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan
politik pada zaman yang semakin maju ini. (Miftah;1993)
Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya
pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi
sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar)
6
sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang
sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama
di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan
fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah
atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus
sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar
Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)
Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi
yang memungkin-kan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai
politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama
tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua
strategi dasar:
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang
kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan
kepartaian konvensional/tradisional.
Kedua: menitikberatkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi. (Sunardian W
dalam Anshori :1994) Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan
segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah.
Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan
Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah
(partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa
politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh
suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi
sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional.
7
Faktor lain yang juga dapat disebut adalah tulisan Dr. Muhajir Darwin seperti
dikutip Anshori (1994) yang menyatakan bahwa ; sejarah birokrasi di Indonesia di
jaman kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi
dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja. Kemudian datang
penjajah atau para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara
rasional) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah.Setelah kemerdekaan
diperoleh, birokrasi menjelma sebagai organisasi modern dan besar di tengah
masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi secara modern.Disamping itu
birokratisasi di Indonesia berkembang tanpa didahului oleh demokrasi seperti
kebanyakan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya (Muhajir dalam
Anshori :1994) Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas
tadi, maka sulit kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses
kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam
mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik
tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol
terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga
LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan
menggunakan justifikasi politis yaitu “stabilitas politik” dan alasan ini adalah paling
tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang
mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun
terakhir ini. Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau
pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril (Miftah; 1993). Banyak
virus yang terus menggrogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari
obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya merteka
merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik.
8
Dengan melihat masalah politisasi birokrasi yang tetap berlangsung, maka
jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi
birokrasi. Sebenarnya tuntutan ini sudah pernah menghangat ketika muncul
perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan sekaligus
pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi
dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam
kepemimpinan birokrasi pemerintahan. Terungkap setidaknya tiga alasan dari sikap
para politisi dan parpol sehingga tidak mau melepaskan inter-relasinya.
Pertama, bahwa tidak ada aturan yang melarang seorang aktivis partai merangkap
sebagai pejabat birokrasi, khususnya pada jabatan politik dari presiden/wakil
presiden, menteri, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan
bupati/wakil bupati. Kedua, bertahannya mereka sebagai pengurus partai meski telah
menjadi pejabat birokrasi, bukan karena ambisi pribadi namun karena kehendak
partai termasuk konstituen. Ketiga, posisi sebagai aktivis partai dan pejabat
negara/pemerintahan merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, katanya, dapat
berusaha dipisahkan. Pertanyaan yang menarik dilontarkan, apakah mungkin bagi
para politisi yang merangkap sebagai birokrat itu benar-benar dapat melepaskan diri
dari ikatan aspirasi atau kepentingan partai yang mendukungnya? Sulit disangkal
mereka pasti mengalami kendala. Terbuka peluang birokrasi untuk dimanfaatkan
sebagai alat politik, jika tidak akibatnya malah melahirkan conflict of interest.
Mengingat, garis batas aktivitas dan kepentingan antara domain birokrasi dan parpol
bisa amat kabur, jika politisi bersangkutan menjabat pejabat birokrasi tanpa
melepaskan atribut kepartaiannya.
Mencuatnya berbagai isu krusial seperti pergantian atau pergeseran pejabat
dalam pos-pos pemerintahan oleh pejabat yang berkuasa yang tidak mengindahkan
9
aturan, aksi dukung-mendukung aparat birokrasi terhadap kandidat dan aktivitas
partai tertentu terutama dalam kasus Pilkada, adanya penetrasi kepentingan parpol
dalam penentuan dan pengelolaan anggaran pembangunan dan banyak lagi lainnya
yang sudah menjadi isu publik, semua itu menunjukkan isyarat kemungkinan
terjadinya politisasi birokrasi. Maka, kini mendesak bagi pemerintah bersama
lembaga legislatif mulai dari level pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan
profesionalitas dan netralitas kinerja birokrasi. Untuk itu, diperlukan code of conduct
berupa regulasi tersendiri yang mengatur kinerja birokrasi atau dengan
mengefektifkan regulasi yang sudah ada untuk mengontrol dan mengevaluasi masalah
ini. Alternatif lain ialah dengan membentuk sebuah institusi kontrol khusus atau
dengan mengefektifkan lembaga pengawas berwenang yang sudah ada mulai dari
pusat hingga daerah, untuk mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana arah
rasionalitas dan profesionalitas birokrasi telah ditegakkan. Selain itu, keterlibatan
komponen masyarakat sipil (civil society) juga penting dalam mengontrol performa
birokrasi. Mengingat posisinya yang amat strategis sebagai wadah yang lebih mampu
bersikap kritis dan bergerak otonom di antara domain birokrasi (state/government)
dan parpol (political society). Unsur masyarakat sipil harus menjaga jangan sampai
birokrasi secara melanggar aturan hanya dimanfaatkan sebagai alat politik dan
legitimasi belaka, untuk kepentingan partisan pihak yang memegang kepemimpinan
birokrasi bersama parpol pendukungnya.
Birokrasi indonesia tercipta sebagai warisan dari sejarah masa penjajahan dan
pasca penjajahan kolonial. Pola kekuasaan dalam budaya Jawa bercampur dengan
budaya administrasi pemerintahan Barat menempatkan pencitraan birokrasi sebelum
masa reformasi sebagai raja-raja kecil. Belum lagi, di masa pemerintahan Orde Baru,
birokrasi mendapatkan tempat paling tinggi dalam tatanan masyarakat, bukan sebagai
pelayan (pamong) rakyat, namun lebih sebagai dilayani rakyat. Penguatan jajaran
10
birokrasi terutama setelah dilegitimasikannya PNS untuk masuk dalam arena politik,
sebagai kendaraan partai Soeharto, Golkar memenangkan pemilihan umum sampai ke
7 kalinya
C. PNS DI ERA OTONOMI
Reformasi di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari
perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh
pertama tahun 1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan yang
merupakan perubahan dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun
1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai
peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun
Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undang-undang
Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.
Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai
tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang
telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang
dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas
pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi
terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerah-
daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga,
PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah
merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat
dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan
11
disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka
manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-
fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini.
Prasyarat Netralitas Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan
dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada:
a. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya
serta ketenangan dalam mengejar karier.
b. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya.
Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi jabatan maupun
korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali
dan
c. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat
memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi.
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS,
apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang
didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak
perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak
perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan kesejahteraan hidup
bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria
tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat
diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.
12
Masalah Otonomi Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan
timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya
otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai
persoalan utama yang meliputi:
a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah,
ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak
terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi
serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada
“marriage sistem (sistem kekeluargaan)” yang dianut oleh pemerintah
pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah
berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah
tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96
Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota
mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat
I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan
yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh
Presiden dan dilakukan secara terpusat.
b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut.
Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari
“Daerah sentrisme”. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak
dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah
terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi
dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di
daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian.
13
c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah
masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b)
tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan
manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena
manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan
yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu
kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat
terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan
menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila
manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat.
Paling tidak untuk lima tahun kedepan
14
BAB III
PEMBAHASAN
A. Netralitas Birokrasi Dalam Pemilu
Satu hal yang harus dijaga dan menjadi tantangan berat, jika ingin Pemilu
berkualitas dan berjalan LUBER dan JURDIL; adalah mempertahankan atau bahkan
meningkatkan netralitas birokrasi pemerintah. Birokrasi merupakan salah satu
struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi. Para birokrat menjadi agen
sosialisasi politik yang sangat berperan dalam menyukseskan penyelenggaraan
pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang terjadi pada era orde baru yang
menjadikan konsep “monoloyalitas birokrasi” sesuai PP No. 12/1969, yang
dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai
alat yang ampuh untuk menjustifikasi kebijakan pemerintah dan melegitimasi
kekuasaan. Jiwa dan semangat “monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap
birokrat dan pada tingkat tertentu juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era
itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk, semakin menampakkan warna dan gejala
“birokratik”. Tentu, kita tidak ingin “penyakit lama” para birokrat termasuk di
dalamnya PNS; yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan kambuh kembali.
Keluarnya PP No. 5 dan No. 12 tahun 1999, yang membatasi PNS dalam berkiprah di
dunia politik; menjadi “obat” bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah
berjalan puluhan tahun. Untuk menjawab tantangan itu maka diperlukan nitralitas
birokrasi.
15
15
1. Netralitas PNS
Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek
politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang
signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan
negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS
dalam aktivitas politik. Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS
menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara
terbuka maupun terselubung amat efektif.
Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah
pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara
(mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah
satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak
terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam
pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan
PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier
jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan
tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas
PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder
dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara
mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No
43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara
yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional,
16
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan
pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat
(1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta
tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini
jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan
pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan
PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu.
Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan
yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol
tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg
tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya
perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari
anggaran negara.
Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan
dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian
dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut
parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye
dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas
pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak
adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg. Larangan
penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden.
17
Prasyarat Netralitas Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan
dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada:
d. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya
serta ketenangan dalam mengejar karier.
e. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya.
Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi jabatan maupun
korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali
dan
f. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat
memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi.
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS,
apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang
didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak
perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak
perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan kesejahteraan hidup
bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria
tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat
diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.
Masalah Otonomi Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul
berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya
otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai
persoalan utama yang meliputi:
18
a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah,
ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak
terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi
serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada
“marriage sistem (sistem kekeluargaan)” yang dianut oleh pemerintah
pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah
berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah
tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96
Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota
mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat
I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan
yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh
Presiden dan dilakukan secara terpusat.
b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut.
Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari
“Daerah sentrisme”. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak
dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah
terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi
dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di
daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian.
(c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di
daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir
(b) tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan
manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena
manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan
19
yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu
kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat
terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan
menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila
manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat.
Paling tidak untuk lima tahun kedepan
2. Netralitas TNI/POLRI
Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu adalah embali
menegaskan jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada Pemilu, Penegasan
TNI untuk netral sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008 makin dimantapkan
dengan diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk
netralitas TNI/ Polri diantaranya adalah:
1. mengamankan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada sesuai dengan tugas dan
fungsi bantuan TNI kepada Polri.
2. Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu
kontestan Pemilu dan Pilkada.
3. Satuan / Perorangan / fasilitas TNI tidak dilibatkan pada rangkaian kegiatan
Pemilu dan Pilkada dalam bentuk
4. apapun di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak
memilih baik dalam Pemilu maupaun dalam Pilkada.
5. Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih
merupakan hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang
memberi arahan didalam menentukan pelaksanaan dari hak pilih tersebut.
20
B. Upaya Menjaga Netralitas
Partai politik dewasa ini telah menanamkan pengaruhnya terhadap birokrasi
lokal ; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat
lokal, menjelang pemilu. Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa
dilakukan sedini dan semaksimal mungkin. Memberikan pendidikan pemilih bagi
para birokrat ; menjadi salah satu alternatifnya, dan pelaksanaannya tentu saja bisa
dilakukan oleh KPUD atau KORPRI setempat. Dengan pendidikan ini, diharapkan
mereka akan bebas memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari
atasan.
Sekaligus bisa menjadi “rem” bagi pejabat yang suka memobilisasi
bawahannya secara tertutup menjelang pemilu. Alternatif yang lain adalah
mangeluarkan aturan yang lebih tegas yang melarang para birokrat untuk terlibat
dalam kegiatan kampanye politik, khususnya pada hari kerja. Hal ini untuk mencegah
penggunaan fasilitas negara oleh parpol dalam kampaye, baik itu pemakaian
kendaraan dinas, biaya dinas dsb.
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Netralitas birokrasi merupakan suatu wacana nasional dalam era repormasi
ini, dimana diharapkan para birokrasi tidak lagi diboncenggi muatan atau pengaruh
politik dalam pemilihan umum.
Dimana instansi PNS sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5
dan 12 tahun 1999 tentang pembatasan PNS dalam partai politi. Netralitas birokrasi
akan membantu proses pelaksanaan PEMILU yang bersih.
Perilindungan terhadap Pegawai Negrei Sipil harus dilakukan dengan tegas
sehingga tidak adanya pengaruh dari pejabat Politik yang terpilih
B. Saran
Dibutuhkan peran dan komitmen dari lembaga, pemerintah dan masyarakat
untuk mendukung adanya netralitas birokrasi sehingga terdapat suatu kepastian dalam
pengemnbangan karir seorang PNS untuk tidak bergantung pada politik .
22
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, A. Isa. 1994. “Netralitas Birokrasi”. Makalah disampaikan dalam
Seminar Dikotomi Politik dan Administrasi. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 2004. “Birokrasi dan Politik di Indonesia”. Cetakan ke 3.
Jakarta:
Raja Grafindo Perkasa
23
22
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini tepat pada waktunya.
Dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
kepada pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini sehingga
dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan sebagaimana halnya manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
pembaca sangat kami harapkan.
April 2011
Penulis
24
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Pokok Permasalahan …………………………………….. 3
C. Metode penulisan ………….…………………………….. 3
D. Sistematika Penulisan ……………………………………. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………. 5
A. SEJARAH BIROKRASI ………………………………….. 5
B. NETRALITAS BIROKRASI ………………………………. 6
C. PNS DI ERA OTONOMI
BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………. 15
BAB IV PENUTUP ………………………………………………………… 22
C. Kesimpulan …………………………………………………… 22
D. Saran …………………………………………………..……… 22
DAFTAR PUSTAKA
25
i
KARYA TULIS
POLITISI BIROKRASI DAN PEMBANGUNGAN
KARIER PNS DAERAH
DI ERA OTONOMI DAERAH
OLEH
ZAINAL ABIDIN, SIPNIP. 196708251990031009
PEMERINTAH KOTA PALEMBANG
2011
26
ii
27