Post on 02-Aug-2015
description
MENGGALI KONSEP KEBERSAMAAN DALAM RUMAH TINGGAL
MASYARAKAT KAMPUNG NELAYAN BANDARAN
Wujud Ruang Transisi dalam Kampung Bandaran yang Menjadi Ruang Bersama
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kebersamaan adalah sebuah konsep yang sangat melekat dengan kehidupan
masyarakat Indonesia. Ia hadir sebagai wujud dari kebutuhan manusia akan manusia
lainnya, kebutuhan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi satu sama lain.
Ruang bersama adalah simbol adanya konsep kebersamaan dalam arsitektur
nusantara. Ia menjadi bagian yang terkait, seakan tak bisa terlepas dari arsitektur
nusantara dan menyatu dengan kehidupan masyarakat nusantara. Ruang bersama
terwujud dalam berbagai bentuk, seperti alun-alun, pelataran, teras, bahkan gang-gang
kampung yang juga berfungsi sebagai jalur sirkulasi.
Keanekaragaman wujud ruang bersama, kadang tak lepas dari pengaruh pola
pemukiman. Kebanyakan, pola pemukiman yang ada dalam arsitektur nusantara adalah
memanjang, saling berhadapan satu sama lain, sehingga jalan yang terbentuk
diantaranya, halaman hingga teras rumah, menjadi ruang bersama dalam pemukiman
tersebut. Pelataran dan teras tanpa dirasa akan menjadi ruang transisi, antara area publik
dan area privat, antara ruang terbuka atau ruang luar dan ruang dalam.
Ruang transisi yang berfungsi sebagai ruang bersama, merupakan bahasan utama
yang kami kaji dalam laporan ini. Berdasar pertimbangan dan diskusi kelompok, kami
memilih Kampung Bandaran, yang merupakan sebuah kampung nelayan yang terletak di
dusun Bandaran, kecamatan Pejagan, kabupaten Bangkalan, Madura, provinsi Jawa
Timur sebagai objek pembahasan. Objek kami fokuskan pada bagian ujung kampung,
yang tepatnya di Jalan Pertempuran, RT 1, RW 13, dusun Bandaran, kecamatan
Pejagan, kabupaten Bangkalan, Madura, provinsi Jawa Timur.
Kampung yang terletak di sepanjang sisi Kali Bangkalan dan berjarak sekitar 20 km
dari pelabuhan Kamal tersebut, memiliki pola pemukiman linier. Letak rumah warga saling
berdekatan satu sama lain, seperti tatanan kampung pada umumnya. Tak ada pagar yang
membatasi, seakan semua berbaur menjadi satu, membentuk keakraban dan nuansa
1
kekeluargaan tersendiri. Sehingga tak heran apabila kebersamaan sangat terasa dalam
kehidupan sosial masyarakat kampung ini. Warga biasa berinteraksi, berkomunikasi satu
sama lain, dengan cara berkumpul di halaman depan rumah mereka yang luas atau teras
rumah salah seorang warga, memanfaatkan ruang transisi lingkungan mereka untuk
membentuk kebersamaan satu sama lain.
Selanjutnya setelah memilih konsep ruang transisi sebagai ruang bersama dan
menetapkan objek, kami akan membandingkan hasil laporan dengan desain kotemporer
arsitek Budi Pradono, melalui desainnya, ‘pori-pori House’. Alasan utama mengapa kami
memilihnya sebagai objek komparasi adalah karena adanya kesesuain konsep, tentang
bagaimana Budi Pradono menghadirkan ruang bersama bagi pemilik rumah dan
masyarakat sekitarnya.
1.2 Permasalahan
Bagaimana wujud ruang transisi yang berfungsi sebagai ruang bersama dalam
pemukiman Kampung Nelayan Bandaran?
Bagaimana konsep ruang transisi sebagai ruang bersama diterapkan dalam desain
arsitektur kotemporer milik Budi Pradono?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana sebuah ruang transisi dapat
berfungsi sebagai ruang bersama, serta mengetahui dan membandingkan arsitektur
kontemporer mana yang sesuai dengan konsep kebersamaan seperti ini.
2
2. Pembahasan
2.1 Ruang Transisi dalam Kampung Bandaran
Ruang adalah bagian yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia.
Keberadaan ruang, selalu menjadi bagian dari manusia dan kegiatannya, bagian manusia
dan lingkungan tempat ia tinggal.
Kampung nelayan Bandaran, memiliki sebuah ruang tersendiri, yang hadir di tengah
karakter manusia dan lingkungannya. Pola rumah tinggal nelayan yang berderet,
memanjang, saling berhadapan satu sama lain, tanpa dirasa, akan menghadirkan sebuah
ruang diantaranya.
(a) (b)
Gambar 1 (a) dan (b). Jalan yang terbentuk antara pola rumah yang berhadapan, membentuk ruang
tersendiri dalam lingkungan tersebut.
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Sebuah jalan, atau gang kecil, yang menyatu dengan pelataran dan teras rumah
warga Kampung Bandaran, menghadirkan sebuah bentuk ruang tersendiri. Kondisi rumah
warga yang seakan berbaur satu sama lain, tanpa ada pagar yang membatasi, seakan
menghadirkan suasana keakraban dan kekeluargaan. Suasana tersebut menyatu dalam
kehadiran ruang, membentuk sebuah transisi,dari sebuah gang, hingga masuk ke
pelataran, teras, hingga berujung pada masing-masing rumah warga.
Berdasarkan fenomena yang kami tangkap, adanya integrasi antara jalan, halaman
dan teras ini, adalah wujud ruang transisi dalam Kampung Nelayan Bandaran. Jalan atau
gang yang terbentuk tepat di tengah pola pemukiman rumah-rumah yang memanjang dan
saling berhadapan satu sama lain, merupakan ruang yang seakan menjadi penerima
bagi siapa yang masuk dalam pemukiman tersebut. Meski hakikatnya ia berfungsi
3
sebagai jalur sirkulasi, namun, tanpa disadari kehadiran gang tersebut sesungguhnya
adalah ruang yang seakan berperan sebagai penyambut, bagi manusia yang hadir di
sana.
(a) (b)
Gambar 2 (a) dan (b). Gang perkampungan yang seakan menjadi ruang penerima bagi manusia yang
masuk dalam lingkungan Kampung Bandaran
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Saat kami masuk dalam Kampung Bandaran, berdiri ditengah jalan kecil atau gang
antara dua rumah yang saling berhadapan, muncul sebuah kesan, bahwa kami disambut
oleh masyarakat dan lingkungan pemukiman tersebut. Gang, tidak hanya hadir sebagai
jalur sirkulasi, tetapi menjadi kesatuan ruang dalam lingkungan tempat mereka tinggal.
Dari sebuah gang, langkah kami berlanjut menginjak pelataran seorang rumah
warga. Tak ada perbedaan yang mendasar, kesan berbeda yang kami rasakan saat kami
memasuki area pelataran ini. Pelataran mereka menyatu dengan jalan kampung,
memberikan kesan bahwa hak milik pribadi hanya pada masing-masing hunian
selebihnya di luar hunian adalah milik bersama (umum). Hampir tak ada batas fisik yang
jelas yang memisahkan gang dengan pelataran. Keduanya terintegrasi, membentuk satu
kesatuan ruang. Sama halnya ketika kami memasuki gang, kesan disambut dan
dipersilahkan untuk berbaur dengan masyarakat dan lngkungan perkampungan, kami
rasakan saat kami berada di pelataran. Pelataran menjadi bagian yang paling luas,
seakan memberikan kebebasan bagi siapa saja yang ada di sana untuk bersama-sama
melakukan apa saja yang mereka inginkan.
4
(a) (b)
Gambar 3 (a) dan (b). Pelataran yang menyatu dengan jalan kampung, memberi kesan semua adalah milik
bersama, milik masyarakat Kampung Bandaran
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Dari pelataran, langkah kami berlanjut ke teras, masuk ke rumah seorang warga.
Berbeda dengan gang dan pelataran, teras memberikan kesan lebih privat, karena ia
hadir sebagai ruang penerima bagi rumah warga dalam kampung tersebut.
(a) (b)
Gambar 4 (a) dan (b). Teras yang menjadi ruang bersama di rumah masing-masing warga
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Gang, pelataran, dan teras membentuk ruang transisi, baik secara fisik, kesan yang
muncul, dan secara fungsi dari ketiga ruang tersebut. Secara fisik, ruang transisi
terbentuk melalui terang dan bayang cahaya matahari. Gang dan pelataran sebagai sisi
yang terbuka, sangat jelas terlihat karena ia adalah bagian yang paling terang, yang
langsung merasakan panasnya sengatan matahari. Gang dan pelataran menjadi ruang
terbuka, ruang paling jelas terlihat, ruang luar sebelum seseorang masuk ke dalam rumah
mereka. Teras, dengan naungan di atasnya, menjadi bagian yang sedikit terkena sinar
5
matahari, dari luar ia tampak semakin meredup dan sedikit tak terlihat bagian dalamnya.
Dari gang, pelataran, dan teras tersebut, pada akhirnya akan berujung pada bagian dalam
rumah tinggal, yang gelap, menunjukkan transisi dari sisi terang ke dalam sisi gelap, dari
ruang milik bersama, hingga milik pribadi.
(a) (b)
Gambar 5 (a) dan (b). Dari gang, pelataran, teras, hingga bagian dalam rumah, cahaya semakin gelap,
membentuk transisi ruang tersendiri
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Dari sisi kesan yang muncul, pelataran dan gang, adalah ruang penerima umum,
yang mempersilahkan siapa saja untuk hadir dalam lingkungan tersebut. Kehadirannya
muncul sebagai area paling publik, dalam lingkungan kampung Bandaran. Teras, juga
muncul sebagai area penerima, area publik milik setiap warga dalam lingkungan tersebut.
Dari sini, dapat kami katakan, ada perubahan atau transisi yang muncul dari gang,
pelataran, teras, hingga akhirnya masuk ke zona privat masing-masing warga.
Sebagai ruang transisi, gang , pelataran dan teras menyatu, membentuk satu
kesatuan ruang. Dari gang dan pelataran sebagai ruang terbuka, ruang bersama,
kemudian teras, sebagi ruang pernaungan dan ruang bersama bagi setiap warga, hingga
masuk ke area individu, yaitu bagian dalam rumah warga.
2.2 Ruang Transisi sebagai Ruang Bersama
Setiap diri manusia adalah pusat lingkungan, dimana kepadanya telah dibekali
kemampuan dan wewenang untuk mengolah dan membina lingkungan hidupnya sesuai
6
dengan kemampuan yang dimilikinya. Untuk itu manusia dilahirkan tidak untuk menjadi
individu, tetapi terjadi suatu kelompok yang bermasyarakat.
Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Kampung Nelayan Bandaran Madura.
Setiap individu senantiasa memiliki kesadaran untuk hidup bermasyarakat. Kehidupan
bermasyarakat dapat terjalin dengan baik antar sesama manusia. Dalam menjalani hidup,
kehidupan, dan penghidupannya, sesuai dengan fitrahnya, manusia senantiasa
membutuhkan ruang, baik ruang privat maupun ruang publik.
Ruang publik biasa digunakan secara komunal. Ruang publik juga biasa disebut
dengan ruang bersama. Ruang ini berfungsi sebagai sarana untuk bersosialisasi antar
anggota masyarakat. Setiap diri manusia akan selalu diciptakan untuk saling berpasang-
pasangan dalam mengisi dan menjalani kehidupannya, sehingga ruang bersama
diperlukan untuk memenuhi fitrah manusia yang merupakan makhluk sosial.
Secara fisik arsitektur, hal tersebut terwujud pada bentuk hunian yang selalu terbuka
(teras/emper tanpa dinding), menunjukkan adanya kemudahan bagi mereka untuk saling
berinteraksi juga sebagai ruang transisi yang mengantarkan manusia yang berada zona
privat (dalam rumah) menuju zona publik (lingkungan di luar hunian). Tidak adanya
pembatasan antar hunian, menunjukkan kesadaran bahwa hak milik pribadi hanya pada
masing-masing hunian selebihnya di luar hunian adalah milik bersama (umum).
Pola permukiman yang ada di Kampung Nelayan Bandaran Madura ini merupakan
pola permukiman yang memanjang/linier.. Di Madura sendiri, terdapat pola permukiman
yang disebut dengan tanean lanjeng (secara harfiah dapat diartikan sebagai halaman
yang panjang). Representasi pola ini dapat dilihat di Kampung Nelayan Bandaran
Madura. Pola permukiman yang memanjang/linier menghadirkan pelataran di antara
rumah-rumah yang saling berhadapan. Secara fisik, pelataran ini, lebih terlihat sebagai
jalan umum. Namun, fungsinya tetap sama seperti tanean yaitu sebagai ruang
bersama/ruang sosialisasi. Pola susunan rumah yang ada disini juga menunjukkan hirarki
dalam keluarga, sehingga banyak warga yang rumah saudaranya berdekatan.
Ruang transisi dalam kampung Bandaran, yang kami bahas pada sub bahasan 2.1,
adalah bentuk ruang bersama bagi masyarakat setempat. Mulai dari gang, yang berfungsi
utama sebagai tempat berkumpul, bersosialisasi, mengadakan acara masyarakat,
merangkap fungsi sebagai jalur sirkulasi. Keberadaan gang, tanpa disadari telah menjadi
ruang kehidupan bagi mereka. Tak ada batasan, semua milik bersama, sehingga nuansa
kebersamaan di sepanjang gang pada kampung ini sangat terasa.
7
(a) (b)
Gambar 6 (a) dan (b). Pola Pemukiman yang Memanjang Menghadirkan Pelataran/Gang sebagai Ruang
Bersama.
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Pada gang-gang tertentu kita dapat merasakan rasa ruang yang berbeda. Pada gang
yang ukurannya lebih kecil, kita dapat merasakan kebersamaan dan keakraban yang ada
antar warga. Berbagai aktivitas dilakukan pada lorong jalan tersebut, seperti saat ada
acara pernikahan, ataupun pengajian. Tidak ada batas pemisah antara orang satu
dengan orang yang lain. Semua saling berbaur, tua muda, laki-laki maupun perempuan.
Kebanyakan dari mereka menggunakan teras yang ada di depan rumah. Untuk saling
bersosialisasi untuk sekedar duduk-duduk maupun melakukan pekerjaan lain.
Pelataran, sebagai ruang transisi, biasa digunakan oleh para warga untuk
mengadakan acara pernikahan, pengajian, atau meminjamkannya untuk tetangga yang
membutuhkan lahan lebih luas. Ritual-ritual seperti ini sangat dominan dilakukan di area
pelataran. Tak hanya itu, pelataran juga berfungsi sebagai area berkumpul, bersosialisasi
satu sama lain, mengingat hampir tak ada pembatas antara satu rumah dengan rumah
lainnya. Membuat jaring, menjemur ikan hingga pakaian juga dilakukan di pelataran.
Simbol kebersamaan yang hangat inilah yang membuat ruang transisi, pelataran, dapat
berfungsi sebagai ruang bersama dengan berbagai macam kegiatan masyarakat.
8
(a) (b)
Gambar 7 (a) dan (b). Kegiatan bersama yang dilakukan di pelataran
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Teras, sebagai ruang transisi yang paling dekat dengan area privat, yaitu rumah
masing-masing warga, adalah tempat dimana kegiatan bersama yang terkait dengan
masing-masing pemilik rumah berlangsung. Yang kami maksudkan disini adalah apabila
pada gang dan pelataran batas milik seakan bias, maka teras menunjukkan batas milik
yang jelas. Meski terbuka dan terkesan mempersilahkan siapa saja untuk mampir dan
bernaung di sana, teras memiliki tingkat kebersamaan yang lebih intim, langsung terkait
kepada individu. Meski demikian, kebersamaan antar sesama warga, juga terjalin baik di
teras. Kegiatan bercengkrama, mengobrol, sampai bermain bagi anak-anak, dilakukan di
teras. Tamu, juga disambut hangat di teras. Semua berbaur, duduk di lantai yang dingin,
merasakan keakraban tersendiri.
(a) (b)
Gambar 8 (a) dan (b). Kegiatan bersama yang dilakukan di teras rumah
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
9
Sebagian perempuan yang ada di kampung ini adalah ibu rumah tangga yang suami
mereka adalah nelayan. Aktivitas yang mereka lakukan cenderung berada di dalam
kampung. Sedangkan suami mereka lebih banyak menghabiskan waktu di pantai dan di
laut. Ibu-ibu rumah tangga ini sering menghabiskan waktu mereka untuk mengobrol di
teras rumah mereka dan ada yang sambil mengasuh anak. Di sinilah salah satu kegiatan
bersosialisasi itu berlangsung. Ada juga kegiatan bersama berupa arisan yang dilakukan
di salah satu rumah penduduk di sana.
Gambar 9. Ibu-ibu rumah tangga sering berkumpul di teras
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Untuk laki-laki, aktivitas mereka lebih banyak berada di pantai dan laut. Perahu untuk
mencari ikan, sering menjadi ruang bersama mereka untuk bersosialisasi antar nelayan.
Namun, saat mereka berada di rumah, pelataran menjadi ruang bersama bagi mereka,
yaitu saat mereka membuat jarring, atau menjemur hasing tangkapan ikan.
Gambar 10. Bapak yang sedang membuat jarring, memanfaatkan pelataran sebagi ruang bersama
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
10
Bagi para anak-anak, ruang bersama mereka bisa berada di mana saja. Tidak ada
batas fisik yang membatasi aktivitas mereka untuk bermain bersama. Anak-anak kecil di
kampung nelayan Bandaran Madura sering bermain bersama di teras rumah, di jalan-
jalan, bahkan juga di tepi pantai. Keakraban mereka sangat terasa.
Gambar 11. Ruang bersama bagi anak-anak yang terletak di pelataran
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Untuk kegiatan keagamaan, terdapat musholla dan masjid. Musholla terdapat di
tengah permukiman. Secara kebetulan, musholla di kampung ini terdapat pada ujung
jalan seperti pada pola permukiman tanean lanjang yang mushollanya di ujung, di tempat
yang tertinggi. Musholla di kampung ini menggunakan peninggian lantai untuk
menandakan bahwa bangunan ini suci dan digunakan sebagai tempat untuk beribadah,
sarana untuk berkomunikasi antara makhluk dan penciptanya.
Gambar 12. Musholla, tempat kegiatan beribadah dilakukan secara bersama-sama, yang terletak menyatu
dengan pelataran kampung
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
11
2.3 Komparasi dengan Arsitektur Kotemporer
Rumah Kampung Nelayan mempunyai ciri khas tersendiri. Rumah warga disana, tata
rumahnya berpola linier . Rumahnya saling berdekatan satu sama lain. Menurut hasil
pengamatan kami, kebanyakan rumah warga yang terletak pada satu komplek itu terdiri
dari beberapa kerabat. Misal, rumah pertama milik orang tua, rumah kedua milik anak
pertama dan seterusnya. Di dalam satu komplek rumah mereka juga terdapat musholla
yang digunakan untuk sholat para kerabat dan warga sekitar. Kemudian di dalam
kompleks mereka juga terdapat halaman yang cukup luas. Setelah kami wawancara
kepada salah satu pemilik rumah, halaman tersebut memang dibuat cukup luas sebagai
tempat rutin para kerabat dan para warga berkumpul. Misal untuk pengajian, acara
pernikahan dan lain sebagainya. Memasuki bagian rumahnya,terdapat teras yang cukup
luas. Teras disini berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu dan berkumpul keluarga.
Luas teras lebih besar dari ruang tamu. Satu lagi ciri khas kebanyakan rumah warga
disana ialah terdapatnya gang atau lorong menuju ke bagian belakan rumah yaitu dapur.
Dapur mereka terletak di belakang rumah mereka sehingga tempatnya terpisah.
Lalu bagaimana kami membandingkan konsep ini dengan desain Budi Pradono?
Ahmett Salina Studio, ‘pori-pori House’, karya arsitek Budi Pradono, kami rasa
mengandung konsep ruang transisi sebagai ruang bersama.
Ahmett Salina Studio di Jakarta Selatan adalah salah satu rancangan dimana open
space ditambahkan agar ruang hijau di depan bangunan lebih luas dan dapat digunakan
bersama dengan tetangga-tetangganya. Rumah ini juga ‘menggunakan dinding tetangga’
untuk penghematan resource, serta memanfaatkan elemen bambu untuk secondary skin
yang dapat menetralisir panas matahari.
Gambar 13. Pengguanan bamboo sebagai secondary skin, sekaligus pembatas antara halam sebagai ruang
transisi dan bagian dalam rumah
Sumber: cobagonzo.blogspot, http://cobagonzo.blogspot.com/2011_01_16_archive.html
12
Untuk menjaga area privasi, Budi Pradono berusaha memperkenalkan zona vertikal
dan zona horizontal. Lantai dasar digunakan sebagai ruang kerja/ studio,sedangkan
lantai atas sebagai tempat tinggal keluarga kecil tersebut. Terdapat juga area pribadi bagi
pemilik di bagian belakang rumah. Budi Pradono memberi halaman yang luas untuk
ruang bersama dengan tetangga sekitar. Ruang tersebut ditunjuk sebagai zona publik.
Para tetangga boleh mempergunakan lahan yang ada untuk acara bersama seperti
pernikahan , berkumpul, dan lain-lain.
Gambar 14. Open Space sebagai area bersama
Sumber: cobagonzo.blogspot, http://cobagonzo.blogspot.com/2011_01_16_archive.html
Budi Pradono memberikan ide dalam desain ini yaitu membuka ruang ruang
horizontal yang bergantung pada fasad publik, sehingga memungkinkan seluruh kantor-
rumah dapat dibuka sampai ke halaman depan untuk menciptakan sebuah ruangan besar
/ruang luar sebagai fungsi sosial dan kegiatan akademik. Hunian ini terkesan terbuka
tetapi sangat nyaman. Sebuah tangga tebuka dengan telapak kantilever mengarah ke
zona privat, sementara ruang hidup dan bekerja secara visual dihubungkan dengan void
disamping tangga.
Adanya open space, di bagian depan rumah, sama halnya dengan pelataran dan
teras dalam konsep arsitektur nusantara di kampung Bandaran. Seperti yang arsitek
katakan, ia sengaja menghadirkan ruang tersebut, agar warga sekitar, dapat ikut
memanfaatkannya, dapat berkumpul dan bersosialisasi di sana. Hal ini terjadi pula di
Kampung Bandaran. Meski bersifat sebagai satu bangunan tunggal, tidak seperti komplek
rumah atau pemukiman di kampung Bandaran, konsep ruang transisi sebagai ruang
bersama dapat teraplikasikan dengan baik, ditengah pemukiman perkotaan, dengan
dinding-dinding tinggi yang membatasi satu sama lain.
13
(a) (b)
Gambar 15 (a). Pelataran dan teras yang berfungsi sebagai ruang bersama
Gambar 15 (b). Halaman depan ‘Pori-pori House’ yang memiliki fungsi sama dengan pelataran dan
teras di Kampung Bandaran, yaitu sebagai ruang bersama bagi pemilik rumah dan tetangga-tetangganya
Sumber: foto Adisti, dkk 2011
Menurut kami, desain milik Budi Pradono ini, adalah desain yang menunjukkan
bahwa sebagai arsitek memang tugas kita untuk menghadirkan ruang, menghadirkan
kebersamaa, sebagai tanggung jawab arsitektur sebagai bagian dari kehidupan manusia
dan sekitarnya.
Ruang adalah simbol kehadiran. Ruang sangat terkait dengan kehidupan manusia,
keakrabannya dengan sekitar, termasuk lingkungan alam dan social. Menghadirkan
ruang, seperti yang kami dapatkan dalam kuliah Sejarah dan Teori Arsitektur 1 dan
Arsitektur Nusantara, adalah pekerjaan arsitek. Arsiteklah yang harus menghadirkan
ruang, menjadi kesatuan dengan manusia.
Konsep ruang transisi sebagai ruang bersama, menurut kelompok kami, adalah
konsep arsitektur nusantara yang hakikatnya memang harus terus ada. Banyaknya
desain rumah di tengah perkotaan yang tak lagi memikirkan interaksi dengan lingkungan
social, perlu kita benahi, salah satunya dengan menerapkan konsep ini. Budi Pradono
menerapkan konsep ini secara sederhana, namun bermakna besar mengingat jarang kita
menemukan rumah di perkotaan yang peduli pada lingkungan sekitarnya.
Dalam mebandingkan konsep arsitektur nusantara yang kami temukan di Kampung
Bandaran dengan desain Budi Pradono, setidaknya ada tiga pokok hal yang kami
simpulkan sebagai kesamaan antara keduanya.
14
Tabel 1. Perbandingan Konsep Arsitektur Nusantara di Kampung Bandaran dengan desain
Budi Pradono
NoKonsep Arsitektur Nusantara di
Kampung Bandaran
Konsep Arsitektur Nusantara pada
desain Budi Pradono
1. Ruang bersama yang merupakan
kebutuhan dasar manusia untuk
saling berinteraksi dan saling
berkomunikasi
Konsep yang sama kami temukan,
melalui teras, atau halaman depan
rumah, sengaja Budi Pradono
hadirkan sebagai ruang bersama
bagi pemilik rumah dan
lingkungan sosial sekitarnya.
2. Ruang transisi sebagai ruang
bersama
Teras adalah bentuk ruang
transisi, dari area publik atau area
terbuka, ke area dalam yang lebih
privat. Budi pradono, mendesain
halaman atau teras tersebut
cukup luas, hingga bisa
dimanfaatkan sebagai ruang
bersama. Konsep serupa ada di
Kampung Bandaran, dimana teras
dan pelataran yang luas memang
sengaja dihadirkan sebagai ruang
bersama dalam lingkungan
pemukiman tersebut.
3. Tak ada batas fisik, menandakan
‘kekamian’, menyatunya manusia
dengan lingkungan tempat
tinggalnya.
Rumah karya Budi Pradono,
adalah rumah tanpa pagar, tak
ada tembok tinggi yang sengaja
dibuat sebagai pembatas fisik,
sehingga meski tak sedominan
dengan apa yang ada di Kampung
Bandaran, setidaknya konsep
kebersamaan, melalui ‘kekamian’
tersebut, dapat diaplikasikan
dengan baik, di tengah bangunan-
bangunan tetangga yang
cenderung menutup diri.
15
3. Kesimpulan
Setelah mengkaji mengenai konsep ruang transisi sebagai ruang bersama, serta
membandingkannya dengan salah satu desain arsitektur kotemporer karya Budi Pradono,
maka dapat kami ambil beberapa kesimpulan seperti berikut.
3.1 Konsep kebersamaan adalah konsep yang selalu ada dalam keanekaragaman
arsitektur nusantara. Ia hadir memenuhi kebutuhan dasar manusia bahwa manusia
tidak dilahirkan sebagai individu, tetapi makhluk yang saling membutuhkan satu sama
lain.
3.2 Ruang bersama ada di tengah kehidupan masyarakat, mewujudkan nuansa
kekeluargaan dan keakraban dengan sesama. Ruang bersama adalah simbol arsitektur
nusantara yang harus ada, guna melestarikan nilai kekeluargaan, gotong royong, dan
keakraban, nilai-nilai masyarakat nusantara. Tidak harus ada pembatas yang jelas untuk
menunjukkan adanya ruang bersama. Pada Kampung Bandaran misalnya, ruang
bersama tampak bias menyatu antara gang, pelataran dan teras. Kesan ruang yang ada
saat kita hadir di dalamnya, juga bisa menjadi batas ruang bersama tersebut.
3.3 Dalam mengaplikasikan konsep ruang bersama, kita dapat memanfaatkan ruang-
ruang sederhana, misalnya seperti ruang transisi. Desain Budi Pradono, sebagai wakil
desain masa kini, adalah contoh sederhana, yang mengajarkan kepada kita bagaimana
nilai-nilai kebersamaan dapat diaplikasikan di ruang bersama yang terwujud melalui
pemanfaatan ruang transisi.
16
4. Daftar Pustaka
Hindarto, Probo. Konsep Green Architecture Oleh Budi Pradono. Probohindarto
wordpress. 2008. http://probohindarto.wordpress.com/2008/11/10/konsep-green-
architecture-arsitektur-hijau-oleh-budi-pradono, (10 November 2008).
Pangarsa, Galih W. (2006). Merah Putih Arsitektur Nusantara. Andi Offset, Yogyakarta
Pangarsa, Galih W. (2008). Arsitektur untuk Kemanusiaan. Wastu Lanas Grafika,
Surabaya.
Prijotomo, Josef. Rong: Wacana Ruang Arsitektur Jawa. e-book. 2010.
http://issuu.com/galihwpangarsa/docs/rong_wacana_ruang_arsitektur_jawa
Robert Powell . Book review: "Ahmett Salina House and Studio" at The New Indonesian
House by Robert Powell. gonzo_tomato. 2011.
cobagonzo.blogspot.com/2011_01_16_archive.html. (19 Januari 2011)
17