Post on 09-Feb-2016
Responsi
VITILIGO
Oleh :
Tita Rif’atul Mahmudah
G0006163
Penguji :
dr. Arie Kusumawardhani, Sp.KK
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN KULIT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
S U R A K A R T A
2011
ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Arie Kusumawardhani, SpKK
Nama Mahasiswa : Tita Rif’atul Mahmudah
NIM : G0006163
VITILIGO
A. DEFINISI
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik didapat, yang ditandai dengan
adanya makula putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh
yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata.1 Kulit yang
mengalami depigmentasi ini secara fungsional berbeda dengan kulit normal. Pada
vitiligo, kulit tidak bereaksi secara normal terhadap sensitisasi kontak atau kontak
terhadap alergen. Selain itu, jika kulit putih memiliki kecenderungan terhadap
kanker kulit, kulit dengan vitiligo secara umum memiliki resistensi terhadap
karsinogenesis yang berasal dari keratinosit.2
B. EPIDEMIOLOGI
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi 0,1 sampai 0,2 persen.
Di Amerika Serikat, diperkirakan insidensinya sebesar 1 persen. Vitiligo pada
umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa muda, dengan puncak
onsetnya pada usia 10-30 tahun, tetapi kelainan ini dapat terjadi pada semua usia.
Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan perbandingan laki-laki sama dengan
perempuan. Pernah dilaporkan bahwa vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih
berat daripada laki-laki, tetapi perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya
laporan dari pasien perempuan oleh karena masalah kosmetik.3
C. ETIOLOGI
1
Penyebab vitiligo yang pasti belum diketahui, diduga suatu penyakit
herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. Penelitian terdahulu
melaporkan 38% penderita vitiligo mempunyai keluarga yang menderita vitiligo,
dan pada penelitian yang lain menyebutkan angka 35%. Beberapa faktor pencetus
terjadinya vitiligo antara lain:
1. Faktor mekanis
Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma fisik, misalnya
setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan kimiawi
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A
Pada 7-15% penderita vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau
UV A dan ternyata 70% lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang
terpajan
3. Faktor emosi / psikis
Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo berkembang setelah
mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang berat
4. Faktor hormonal
Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada penggunaan
kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.4
D. MELANOSIT DAN SINTESIS MELANIN
Bentuk dan Distribusi Melanosit
Melanosit (sel penghasil pigmen) merupakan sel dendrite yang berasal
dari neural crest yang ditemukan pada lapisan sel basal dan matriks rambut.
Kurang lebih terdapat 1000-1500 sel melanosit/mm2 kulit.
Pada melanosit terdapat apparatus Golgi yang berkembang dan
mengandung melanosom pada stadium pembentukan yang beragam (stadium
I, II, III, dan IV). Melanin diproduksi dari asam amino tirosin pada
melanosom. Melanosom-melanosom yang matur kemudian dibawa ke sel-sel
basal dan sel-sel suprabasal tetangga. Sel-sel basal yang mengandung
melanosom ini kemudian mengagregasikan melanosom ke bagian atas
2
sitoplasma melewati nucleus, membentuk paying melanin untuk melindungi
DNA mereka dari sinar UV.
Perbedaan warna kulit pada ras tertentu ditentukan oleh jumlah dan
ukuran melanosom. Tidak ada perbedaan distribusi atau densitas melnosit
diantara ras-ras tersebut.5
Biosintesis Melanin
Melanin merupakan suatu kumpulan substansi fenol berupa molekul
polimer berpigmen. Melanin pada kulit manusia adalah beragam komponen
indol yang disintesa dari tirosin melalui pembentukan polimer.
Melanin pada manusia secara umum dibagi menjadi eumelanin yang
berwarna hitam (melanin intrinsik) dan pheomelanin (melanin kuning).
Melanin pada kulit dan rambut manusia merupakan kompleks dari dua tipe
diatas, dan perbandingan mereka menentukan warna rambut.
Tirosin, disuplai oleh darah, akan dioksidasi oleh tirosinase yang
mengandung tembaga, dan dimetabolisme menjadi dopa dan kemudian
dimetabolisme lagi menjadi dopaquinon. Tirosinase adalah enzim yang
mengkatalisasi dua reaksi ini. Metabolisme ini merupakan reaksi yang
terbatas pada sintesis melanin.
Dopaquinon kemudian secara otomatis akan dioksidasi menjadi
komponen indol yang dihubungkan satu sama lain untuk mensintesis
eumelanin. Jika cistein dilibatkan pada stadium ini, dopaquinon akan
berikatan dengan cistein dan berubah menjadi 5-S-cisteinil dopa (5-S-CD),
yang mengalami polimerasi menjadi pheomelanin.5
3
Melanosom
Melanosom merupakan organela subseluler, yang ditutup oleh lipid
double membrane, dimana melanin secara eksklusif dibentuk didalamnya.
Sintesis melanin dimulai saat tirosinase, yang disintesis oleh apparatus golgi,
dibawa ke premelanosom, yang diisolasi dari reticulum endoplasma agranuler.
Seiring dangan meningkatnya sintesis, melanosom akan ikut membesar.
Pembentukan melanosom dibagi menjadi stadium I sampai IV berdasarkan
deposit melanin yang terbentuk. Melanosom stadium IV akan
ditransportasikan dari dendrite-dendrit menuju keratinosit epidermis.5
4
E. PATOGENESIS
Aspek Genetik Vitiligo
Vitiligo memiliki pola genetik yang beragam. Pewarisan vitiligo mungkin
melibatkan gen yang berhubungan dengan biosintesis melanin, respon
terhadap stres oksidatif, dan regulasi autoimun. Adanya hubungan antara
vitiligo dengan penyakit autoimun yang sering ditemukan, mendorong
dilakukannya penelitian adanya HLA yang mungkin berhubungan dengan
terjadinya vitiligo. Tipe-tipe HLA yang berhubungan dengan vitiligo pada
beberapa penelitian yang telah dilakukan meliputi A2, DR4, DR7, dan Cw6.
Hipotesis Autoimun dan Respon Imun Humoral
Hubungan antara vitiligo dengan kondisi autoimun telah banyak diketahui.
Kelainan tiroid, terutama tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves, sering
berhubungan dengan vitiligo, yang disertai dengan kondisi endokrinopati
seperti Addison disease dan Diabetes Melitus.3 Pada penelitian yang ada,
ditunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara vitiligo dengan kenaikan
5
kadar autoantibodi tiroid, meskipun mekanisme hubungan ini belum diketahui
secara pasti.5
Mekanisme Imunitas Seluler
Sebagai tambahan atas keterlibatan mekanisme imunitas humoral pada
patogenesis vitiligo, terdapat bukti yang kuat yang mengindikasikan adanya
proses imunitas seluler. Kerusakan melanosit bisa jadi dimediatori secara
langsung oleh autoreaktif sitologik sel T. Meningkatnya jumlah sirkulasi
limfosit sitotoksik CD8+ sebagai reaksi terhadap MelanA/Mart-1 (antigen
melanoma yang dikenalkan oleh sel T), glikoprotein 100, dan tirosinase telah
dilaporkan pada pasien dengan vvitiligo. Sel T CD8+ yang teraktivasi telah
didemonstrasikan pada perilesi kulit vitiligo. Yang menarik adalah, sel T
reseptor spesifik terhadap melanosit yang ditemukan pada pasien melanoma
dan vitiligo memiliki struktur yang hampir sama. Penelitian yang
mengemukakan hal ini mendorong dilakukannya strategi imunisasi, seperti
misalnya induksi sel T tumor-specific sebagai pencegahan dan eradikasi
kanker.3
Gangguan pada Sistem Oksidan-Antioksidan pada Vitiligo
Stres oksidatif mungkin juga memiliki peran patogenesis yang penting
terhadap terjadinya vitiligo. Beberapa penelitian memastikan beberapa teori
stres oksidatif yang mungkin, yang mana hal ini menunjukkan bahwa
akumulasi toksin radikal bebas terhadap melanosit akan berdampak pada
kerusakan sel melanosit itu sendiri. Meningkatnya level nitrit oksida telah
ditunjukkan pada melanosit yang dikultur dan di dalam serum pasien dengan
vitiligo, yang dapat diasumsikan bahwa nitrit oksida dapat mendorong pada
autodestruksi melanosit.3
Teori Neural
Vitiligo segmental sering terjadi pada pola dermatom, yang mengarahkan
pada hipotesis neural yang mengajukan adanya pelepasan mediator kimiawi
tertentu yang berasal dari akhiran saraf akan menyebabkan menurunnya
produksi melanin.3
6
Virus
Bersama-sama dengan teori lain, data yang ada menunjukkan bahwa vitiligo
merupakan kelainan dengan multifaktor, dan bisa jadi merupakan hasil akhir
dari beberapa jalur patologis yang berbeda. Para ahli sepakat bahwa vitiligo
lebih cenderung pada sindrom, daripada penyakit tunggal.3
Patogenesis pada Vitiligo.6
7
Faktor predisposisi genetic berupa disregulasi imun pada level sel T atau sel B
Antibody Antimelanosit (IgG
antimelanosit)
Induksi ekspresi HLA DR dan ICAM 1 + pelepasan IL-8 dari
melanosit
Diekspresikan oleh MHC kelas II
Destruksi Melanosit
Meningkatkan aktivitas Antigen Presenting Cell
Sel T Helper
Antigen Melan A antigen CLA (Cuteneous Lymphocyte-associated)
Proses autoimun spesifik organ yang
dimediatori oleh system imun seluler
(cell mediated organ-specific autoimmune)
VITILIGO
Menurunnya jumlah atau hilangnya Melanosit Pembentukan
melanin berkurang
Autoantigen Tirosinase
F. HISTOPATOLOGI
Gambar 1. Gambaran histopatologi pada vitiligo
Pada gambar diatas merupakan biopsi kulit pada vitiligo aktif. Pada (A)
dan (B) tampak pigmentasi yang berkurang pada lapisan basalis (dengan
pengecatan Hematoksilin Eosin (HE) dan Fontana Masson (FM stain) pembesaran
100x dan 400x). Pada gambar C tampak pigmentasi epidermis residual pada lesi
vitiligo, dengan granul-granul melanin yang tersusun halus pada dermis bagian
atas (pengecatan FM pembesaran 400x).7
G. MANIFESTASI KLINIK
Pasien dengan vitiligo memiliki satu atau beberapa makula amelanosit
yang berwarna seperti kapur atau seperti susu putih. Lesi biasanya berbatas tegas,
namun dapat juga tepinya mengelupas. Lesi membesar secraa sentrifugal dengan
kecepatan yang tidak dapat diperkirakan dan dapat terjadi pada lokasi tubuh
manapun, termasuk membran mukosa. Akan tetapi, lesi inisial terjadi paling
sering pada tangan, lengan bawah, kaki, dan wajah. Jika vitiligo terjadi pada
wajah, seringkali distribusinya pada perioral dan periokular.3
8
Gambar 2. Tempat-tempat predileksi pada vitiligo.8
Klasifikasi Vitiligo
Vitiligo diklasifikasikan atas Vitiligo segmental, akrofasial, generalisata,
dan universal. Atau dapat pula diklasifikasikan sesuai pola keterlibatan bagian
kulit yaitu tipe fokal, campuran, dan mukosal
Vitiligo Fokal
Biasanya berupa makula soliter atau beberapa makula tersebar pada satu area,
paling banyak pada area distribusi nervus Trigeminus, meskipun leher dan
batang tubuh juga sering terkena.
Gambar 3. Vitiligo fokal.3
9
Vitiligo Segmental
Makula unilateral pada satu dermatom atau distribusi quasi-dermatom. Jenis
ini cenderung memiliki onset pada usia muda, dan tak seperti jenis lain, jenis
ini tidak berhubungan dengan penyakit tiroid atau penyakit autoimun lainnya.
Jenis ini lebih sering terjadi pada anak-anak. Perubahan pada neural peptida
turut dipengaruhi pada patogenesis jenis ini. Lebih dari separuh pasien dengan
vitiligo segmental memiliki patch pada rambut yang memutih yang dikenal
sebagai poliosis
Gambar 4. Vitiligo segmental. 3
Vitiligo Akrofasial
Depigmentasi pada jari-jari bagian distal dan area periorificium
Gambar 5. Vitiligo akrofasial. 3
Vitiligo Generalisata
10
Juga disebut vitiligo vulgaris, merupakan tipe yang paling sering dijumpai.
Patch depigmentasi meluas dan biasanya memiliki distribusi yang simetris.
Gambar 6. Vitiligo generalisata. 3
Vitiligo Universal
Makula dan patch depigmentasi meliputi hampir seluruh tubuh, sering
berhubungan dengan sindroma endokrinopati multipel.
Gambar 7. Vitiligo universal. 3
Vitiligo Mukosal
Hanya melibatkan lokasi pada membran mukosa.
11
Koebnerasi sering terjadi pada vitiligo. Lesi yang timbul seringkali
berkembang pada lokasi yang sering terkena trauma, seperti gesekan dari baju,
luka iris, luka bakar, atau abrasi.3
Gambar 8. Koebnerasi pada vitiligo. 3
H. DIAGNOSIS
Vitiligo sering dihubungkan dengan kelainan autoimun. Kelainan
endokrinopati yang paling sering dihubungkan dengan vitiligo adalah disfungsi
tiroid, baik itu hipertiroidisme (graves disease) atau hipotiroidisme (tiroiditis
Hashimoto). Vitiligo biasanya mendahului onset dari disfungsi troid. Addison
disease, anemia pernisiosa, alopecia aerata, dan diabetes mellitus juga terjadi
dengan meningkatnya pasien vitiligo. Vitiligo bisa jadi mempengaruhi melanosit
yang aktif pada seluruh tubuh, termasuk sel pigmen pada rambut, telinga bagian
dalam, dan retina. Poliosis (leukotrichia) terjadi pada beberapa pasien vitiligo.
Rambut yang beruban terlalu dini dilaporkan terjadi pada pasien vitiligo dan pada
kerabat dekat mereka, gangguan pendengaran dan penglihatan juga terjadi pada
beberapa penderita vitiligo. Meningitis aseptik juga dapat terjadi, meskipun
jarang, dan diduga sebagai akibat dari kerusakan melanosit leptomeningeal.
Depigmentasi yang menyerupai vitiligo dapat terjadi pada pasien dengan
melanoma maligna dan dipercaya sebagai akibat dari reaksi T cell mediated
terhadap antigen sel melanoma.3
12
Kelainan Penglihatan
Meskipun pasien dengan vitiligo biasanya tidak memiliki keluhan
penglihatan, namun pada pasien ini dapat ditemukan adanya kelainan okuler.
Abnormalitas pigmen pada iris dan retina dapat terjadi. Abnormalitas pada
choroid dilaporkan sampai 30% pasien vitiligo dan iritis pada hampir 5% pasien.
Uveitis sering mucul sebagai manifestasi okuler. Exophtalmus dapat terjadi pada
Graves disease yang menyertai pada vitiligo. Tajam penglihatan secara umum
tidak terpengaruh.3
Pemeriksaan lampu Wood pada Vitiligo
Pemeriksaan lampu Wood dilakukan pada jarak 10-12 cm dari lesi. Fungsi
normal dari melanin adalah untuk memblok dan mengabsorbsi sinar. Oleh karena
berkurangnya atau tidak adanya melanin pada epidermis pada lesi vitiligo, maka
sinar tidak dapat diblok dan diteruskan ke lapisan kulit yang lebih dalam.
Gambaran pada vitiligo dengan pemeriksaan lampu Wood ini adalah warna putih
kebiruan yang nyata dengan tepi yang berbatas tegas.9
13
Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis vitiligo yang paling utama berasal dari pemeriksaan klinis.
Akan tetapi, dengan adanya hubungan antara vitiligo dengan kelainan autoimun
lain, maka beberapa pemeriksaan laboratorium sebagai screening dapat
membantu, meliputi pemeriksaan kadar TSH (thyroid stimulating hormone),
antibodi antinuclear, dan hitung sel darah lengkap. Selain itu perlu juga
dipertimbangkan pemeriksaan antiTiroglobulin serum dan antibodi antiTiroid
peroksidase, terutama ketika pasien memiliki tanda-tanda dan gejala dari penyakit
tiroid. Antibodi antiTiroid peroksidase, dianggap sebagai marker yang sensitif dan
spesifik pada kelainan tiroid autoimun.3
Histologi
Sesuai dengan definisinya, pada vitiligo terjadi kekurangan melanosit pada
kulit yang terkena lesi. Selain itu, infiltasi limfosit primer pada dermis superfisial,
perivaskuler, dan perifolikuler dapat dilihat pada tepi lesi vitiligo dan pada lesi
awal. Gambaran ini muncul karena terjadi proses cell-mediated immune berupa
perusakan melanosit pada vitiligo.3
I. DIAGNOSIS BANDING
Pityriasis alba skuama halus, batas tidak jelas/tegas, warna
kulit sedikit memutih
Pityriasis versicolor alba skuama halus berwarna putih,
fluoresensi kuning keemasan pada pemeriksaan lampu Wood, hasil KOH (+)
Chemical leukoderma riwayat terekspos germisida fenol
tertentu, makula confetti. Ini adalah diagnosa banding yang sulit dibedakan
dengan vitiligo, karena pada kelainan ini juga tidak ditemukan adanya
melanosit, sebagaimana pada vitiligo.
Lepra terjadi pada daerah endemi, warna putih yang
kurang jelas, biasanya ditemukan makula hipopigmentasi yang mati rasa
Nevus depigmentosus besar lesi tetap, kongenital, makula
putih terlihat kurang jelas, unilateral
14
Hipomelanosis Ito Bilateral, garis Blaschko, terdapat pola
kue marmer, 60-75% disertai keterlibatan sistemik pada Sistem saraf pusat,
mata, dan sistem muskuloskeletal
Nevus anemikus tidak terlihat menonjol dengan lampu
Wood, tidak menunjukkan eritema setelah digosok
Tuberous Sclerosis stabil, makula putih poligonal
kongenital, bentuk menyerupai pohon berdaun, makula segmental, dan
makula confetti
Piebaldisme white forelock, stabil, terdapat garis
berpigmen pada punggung, adanya makula hiperpigmentasi di tengah-tengah
area hipomelanosis.
Leukoderma yang berhubungan dengan melanoma terjadi
penurunan jumlah melanosit, tidak sampai menghilang total seperti pada
vitiligo
Leukoderma post inflamasi makula putih kurang jelas,
biasanya ada riwayat psoriasis atau eksema pada area makula yang sama
Mycosis fungoides hampir sama dengan vitiligo,
dibutuhkan pemeriksaan biopsi.
Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada terdapat gangguan
penglihatan, fotopobia, dan gangguan pendengaran berupa disakusis bilateral
Sindroma Waardenburg merupakan penyebab tersering
ketulian kongenital, terdapat makula putih dan white forelock, heterokromia
iris.8
J. PENATALAKSANAAN
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan
vitiligo. Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit.
Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan tidak
semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita.
Sunscreen
15
Suncreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada
kulit dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat
mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat
mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi
kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulit yang terkena vitiligo.
Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan
kosmetik penutup sebagai pilihan terapi yang cukup baik. Area dari leukoderma,
khususnya pada wajah, leher, atau tangan dapat ditutup dengan make-up
konvensional, produk-produk self tanning, atau pengecatan topikal lain. Kosmetik
memiliki keuntungan berupa biaya yang murah, efek samping minimal, dan
kemudahan penggunaan.
Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal diindikasikan untuk terapi pada area vitiligo yang
terbatas, dan seringkali digunakan sebagai terapi lini pertama pada anak. Lesi
pada wajah memiliki respon paling baik terhadap terapi kostikosteroid topikal,
sedangkan lesi pada leher dan ekstremitas (kecuali jari tangan dan kaki) memiliki
rspon yang cukup baik. Tidak diketahui mengapa lesi pada wajah memiliki respon
yang lebih baik. Penjelasan yang mungkin adalah tingginya permeabilitas kulit
wajah terhadap kortikosteroid, jumlah melanosit residual yang lebih banyak pada
kulit wajah yang tidak terlibat, reservoir fulikoler yang lebih baik, atau kerusakan
melanosit pada wajah yang lebih mudah diperbaiki. Lesi yang terlokalisir dapat
diterapi dengan kortikosteroid terfluorinasi potensi tinggi selama satu sampai dua
bulan, dengan dosis tepat dan secara bertahap diturunkan menjadi kortikosteroid
potendi rendah. Pada anak dan pasien dengan lesi yang lebih besar, kortikosteroid
terfluorinasi potensi sednag sering digunakna. Penggunaan kortikosteroid ini
harus hari-hati terutama pada dan sekitar bulu mata, sebab penggunaan
kortikosteroid topikal dapat meningkatkan tekanan intraokuler dan glaukoma
eksaserbasi.
16
Pemeriksaan lampu wood dapat digunakan untuk memonitor
perkembangan terapi. Jika tidak ada respon terapi dalam 3 bulan, terapi harus
dihentikan. Repigmentasi maksimum dapat dicapai dalam 4 bualn atau lebih
(30%-40% memiliki rata-rata waktu respon selama 6 bulan pada penggunaan
kortikosteroid).
Immunomodulator Topikal
Tacrolimus topikal (oinment) 0,03% sampai 0,1% efektif untuk
repigmentasi pada vitiligo jika digunakan dua kali sehari pada pasien vitiligo
terlokalisir, terutama wajah dan leher. Dilaporkan bahwa terapi ini akan lebih
efektif jika dikombinasikan dengan terapi Ultraviolet B (UV B) atau terapi laser.
Tacrolimus oinment secara umum lebih aman digunakan untuk anak
dibandingkan dengan steroid topikal.
Calcipotriol Topikal
Calcopotriol topikal 0,005% menghasilkan repigmentasi pada beberapa
pasien dengan vitiligo. Terapi ini dapat dikombinasikan dnegan kortikosteroid
topikal pada dewasa dan anak untuk hasil repigmentasi yang lebih cepat dengan
hasil pigmentasi yang lebih stabil.
Pseudocatalase
Kalatase, merupakan enzim yang normal ditemukan pada kulit yang
berfungsi mengurangi kerusakan kulit akibat radikal bebas. Katalase dilaporkan
memiliki kadar yang rendah pada pasien vitiligo. Terapi penggantinya
menggunakan analog dari katalase manusia normal (pseudokatalase) yang
dikombinasikan dengan fototerapi narrowband UVB (NB-UVB).
Terapi Sistemik
Obat-obatan imunosupresif sistemik memiliki banyak efek samping
potensial yang kurang menguntungkan pada vitiligo. Akan tetapi, kortikosteroid
sistemik telah digunakan sebagai terapi denyut (pulse therapy) dengan hasil
beragam dan dapat mencegah depigmentasi cepat pada penyakit yang aktif.
Psoralen dan Terapi Ultraviolet A
17
Terapi 8-methoxypsoralen oral atau topikal dikombinasikan dengan
radiasi UVA (320 sampai 400 nm) atau dikenal dengan PUVA, cukup efektif
untuk terapi vitiligo, meskipun dibutuhkan waktu selama beberapa bulan dengan
frekuensi sering. Setelah dilakukan ekspos dengan UVA, psoralen berikatan
dengan DNA dan menghambat replikasi sel. Bagaimana proses ini dapat memicu
terjadinya repigmentasi masih belum diketahui secara pasti. PUVA menstimulasi
aktivitas tirosinase (suatu enzim esensial untuk sintesis melanin) dan
melanogenesis. PUVA juga merupakan imunosupresan lokal, dan mengurangi
ekspresi antigen vitiligo-associated melanocyte.
Radiasi Narrowband Ultraviolet B
Radiasi NB (311 nm)-UVB merupakan pilihan terapi lain untuk vitiligo
dan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan pertama bagi kebanyakan pasien. Pada
pasien dengan vitilido generalisata, terapi NB-UVB lebih efektif dibandingkan
dengan PUVA topikal. Jika tidak ada perkembangan atas terapi ini dalam 6 bulan,
terapi NB-UVB ini harus ditinggalkan. Pada suatu penelitian, 53 persen anak
dengan vitiligo mengalami lebih dari 75% repigmentasi setelah terapi NB-UVB
dan 6% menunjukkan repigmentasi komplit. Sekali lagi, pigmentasi yang lebih
baik dicapai pada daerah wajah, batang tubuh, dan ekstremitas proximal daripada
ekstremitas distal dan lipat paha.
Laser
Terapi laser telah dipelajari pada beberapa percobaan, dan ditemukan
bahwa terapi ini paling efektif ketika diberikan tiga kali seminggu, dengan
periode terapi lebih dari 12 minggu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil
repigmentasi yang memuaskan. Dosis inisial adalah 50-100 ml/cm2. sebagaimana
standar fototerapi, laser menghasilkan hasil terapi paling baik pada wajah, dan
area yang kurang responsif pada tangan dan kaki.
Depigmentasi
Monobensil eter dari hidrokuinon (Monobenzon) merupakan satu-satunya
agen depigmentasi yang ada untuk depigmentasi sisa kulit yang normal pada
pasien dengan vitiligo berat. Monobenzon merupakan toksin fenol yang merusak
18
melanosit epidermis setelah penggunaan yang lama. Monobenzon kemudian dapat
menghasilkan depigmentasi yang seragam dan merata yang secara kosmetik dapat
lebih diterima oleh banyak pasien. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream
20% dan dapat diformulasikan pada konsentrasi hingga 40%. Individu yang
menggunakan monobenzon harus menghindari kontak langsung dengan orang
lain selama 1 jam setelah pemberian terapi, oleh karena kontak langsung dapat
menyebabkan terjadinya depigmentasi pada kulit yang tersentuh. Monobenzon
juga bisa jadi mengiritasi dan menimbulkan sensitisasi alergi.
Autolog Thin Thiersch Grafting
Thin split-thickness grafts pada terapi vitiligo ini didapatkan dengan
menggunakan skalpel atau dermatom dan kemudian ditempatkan diatas lokasi
kulit resipien yang telah disiapkan dengan cara yang sama atau dengan
dermabrasi. Luas area kulit yang dapat digunakan dengan terapi ini antara 6-100
cm2. teknik ii juga telah berhasil digunakan untuk vitiligo pada bibir. Keuntungan
teknik ini adalah cangkok kulit yang dapat melibatkan area kulit yang cukup luas
dengan waktu yang relatif singkat. Akan tetapi, pertimbangannya adalah terapi ini
membutuhkan anestesi total dan ada resiko timbulnya scar hipertrofi pada lokasi
donor maupun resipien.
Suction Blister Grafts
Pada terapi ini dilakukan pemisahan antara epidermis yang viabel dari
dermis dengan produksi suction blister yang akan memisahkan kulit secara
langsung pada dermal-epidermal junction. Epidermis berpigmen kemudian
diambil dan digunakan untuk menutup kulit resipien yang telah disiapkan dengan
cara dikelupas dengan menggunakan liquid nitrogen blister. Keuntungan dari
suction blister grafts adalah pembentukan scra yang minimal oleh karena bagian
dermis tetap intak baik pada daerah donor maupun resipien. Akan tetapi,
kebanyakan dokter tidak memiliki perlengkapan mekanis yang diperlukan untuk
memproduksi blister pada daerah donor.3
19
Gambar 9. Algoritma penatalaksanaan vitiligo.3
K. PROGNOSIS
Vitiligo merupakan penyakit kronis, dan prognosis vitiligo cukup
beragam. Onset penyakit yang berkembang cepat dapat diikuti oleh periode stabil
atau perkembangan lambat. Hingga 30% pasien dapat terjadi repigmentasi
spontan pada beberapa area, khususnya area-area yang sering terekspos sinar
matahari. Perkembangan penyakit yang cepat pada vitiligo dapat mengarah pada
depigmentasi luas dengan kehilangan pigmen secara menyeluruh pada kulit dan
rambut, tapi tidak pada mata. Pengobatan vitiligo yang disesuaikan dengan
penyakit yang mendasarinya (seperti penyakit tiroid) tidak berpengaruh pada
prognosis vitiligo. Satu hal yang cukup mengejutkan adalah rendahnya angka
kejadian keratosis solaris, SCCIS, SCC infasif, atau BCE pada bercak vitiligo.8
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardiman L. Kelainan pigmen. Dalam: Djuanda A, Hamzah
M, Aisah S. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: 2007:296
2. Adamjee BB. Vitiligo. Dalam: SA Journal of diabetes and
vascular disease. Bloemfontein: Department of Dermatology, University of the
Free State: 2011: 8:5-9
3. Halder RM dan Taliaferro SJ. Vitiligo. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting:
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 7th ed, New York: Mc Graw Hill.
2008: 616-622.
4. Hidayat J. Vitiligo, tinjauan kepustakaan. Dalam Cermin dunia
kedokteran No 117. 1997.
5. Halilovic EK, Prohic A, Begovic B, dan Kurtovic MO.
Association between vitiligo and thyroid autoimmunity. Dalam Journal of
Thyroid Research: 2011
6. Aslanian FMNP, Noe RAM., Cuzzi T, Filgueira AL. Abnormal
histological findings in active vitiligo include the normal-appearing skin. Dalam
Pigment Cell Res: 2007: 20: 144-145.
7. Wolff K, dan Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology, 6th ed, New York: Mc Graw Hill. 2009: 336-
339.
21
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESA
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. H
Umur : 34 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Laban 4/1 Mojolaban, Sukoharjo
Pekerjaan : Karyawan Toko Bangunan
No.RM : 781064
Pemeriksaan : 11 Maret 2011
2. Keluhan Utama
Bercak putih di dagu
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh terdapat bercak-bercak putih di dagu, dirasakan
muncul sejak 4 bulan yang lalu. Mula-mula hanya 2 titik putih kecil, tetapi
semakin lama semakin banyak. Bercak tidak terasa gatal. Pasien pernah
berobat ke dokter dan diberi obat salep Mikonazol krim 2%, namun keluhan
tidak berkurang. Kemudian pasien memeriksakan diri ke RS dr. Moewardi
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kelainan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
22
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
5. Riwayat Penyakit Pada Keluarga
Riwayat kelainan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat kebiasaan
Pasien biasa mandi 2x sehari dengan air sumur dan berganti pakaian
2x sehari. Pasien memakai handuk sendiri dan tidak menggunakan secara
bersamaan dengan anggota keluarga lainnya. Ganti pakaian luar 2x sehari dan
pakaian dalam 2x sehari.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
Vital Sign
Tekanan darah: 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi rate : 18 x/menit
Suhu : 36,5 0C
Kepala : bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam tidak
beruban
Mata : CA (-), SI (-)
Wajah : lihat status lokalis
23
Mulut : dalam batas normal
Bibir : dalam batas normal
Leher : dalam batas normal
Punggung : dalam batas normal
Dada : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas atas : dalam batas normal
Ekstremitas bawah : dalam batas normal
2. Status Lokalis / Status Dermatologis
Regio mentale :
24
Terdapat makula dan patch depigmentasi, multipel, bergerombol
C. DIAGNOSIS BANDING
Vitiligo
Pitiriasis alba
Pitiriasis versicolor
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lampu Wood : tidak didapatkan fluoresensi
E. DIAGNOSIS KLINIS
Vitiligo
F. TERAPI
Medikamentosa
Sistemik :
Astaxanthin kap 1 dd 1
Topikal:
Protopic / Elidel 1x ue
G. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad kosmetikam : bonam ad dubia
25