Post on 15-Dec-2016
34
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. DASAR DAN FUNGSI KOPSIS DALAM PEMBINAAN GENERASI MUDA
Dalam UUD'45 pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Penjabaran lebih lanjut
dari pasal 33 ayat 1 tersebut menyebutkan bahwa: dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah
pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. "Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu ialah Koperasi", yakni bangun perusahaan yang terdiri dari
sekumpulan orang yang secara senganja bergabung secara suakarela untuk mencapai
tujuan ekonomi bersama melalui pembentukan organisasi bisnis berdasarkan azas
kekeluargaan yang dikontrol secara demokratis, masing-masing anggota memberikan
kontribusi dan menanggung resiko atas modal yang diperlukan serta menerima
bagian keuntungan secara adil. Pengertian sejalan dengan pengertian koperasi dari
International Labour Officie (ILO) (dalam Departemen Koperasi, 1985:11) yang
mengatakan:
... Cooperatives is an association of person, usually of limited means, who have voluntary joined together to achieve a common economic end through the formation of a democratically controlled business organization, making equitable contribution to the capital required and accepting a fair share of the risk and benifits of the undertaking.
Penjelasan UUD pasal 33 tersebut secara tegas memberi dasar yang kokoh bagi
tumbuh & berkembangnya koperasi. Sebagai bangun perusahaan, koperasi
diharapkan dapat merupakan alat peijuangan ekonomi yang memiliki peran yang
35
tangguh dan strategis dalam mengisi tuntutan konstitusional dan pembangunan, yakni
alat perjuangkan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat, bahkan lebih
jauh lagi dapat berfungsi sebagai soko guru perekonomian nasional. Agar dapat
menunjukkan peran strategis, koperasi perlu didorong pengembangannya serta diberi
kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi lembaga ekonomi yang tangguh dan
mandiri serta pertumbuhannya berakar dalam masyarakat.
Namun demikian harapan tersebut sampai saat ini ternyata belum dapat
diwujudkan menjadi kenyataan secara penuh, karena adanya berbagai kendala.
Kendala yang paling menonjol menurut pengamatan para ahli adalah bahwa
perkembangan koperasi banyak bertumpu pada faktor kurangnya kemampuan dan
kemauan manusia-nya, baik manusia sebagai pendukung ide-ide koperasi maupun
manusia sebagai anggota yang sekaligus juga merupakan sumber modal koperasi,
serta manusia yang menjadi pengelola organisasi dan usaha koperasinya (Ahdiyat,
1990:2).
Menyadari kondisi yang demikian, maka pemerintah secara terus menerus
berupaya menggali dan menggalakkan pertumbuhan serta perkembangan koperasi,
termasuk pertumbuhan dan perkembangan manusia koperasi sebagai kunci
keberhasil-an koperasi. Salah satu SDM yang potensial namun belum banyak digarap
dan berperan dalam kehidupan serta kegiatan perkoperasian adalah para generasi
muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan SDM bagi pembangunan
nasional. Oleh karena itu perlu upaya peningkatan, pembinaan dan pengembangan
generasi muda yang memiliki daya mampu dan mau yang tangguh sebagai mana
Menteri Koperasi Republik Indonesia dalam acara seminar Nasional di IKIP
Bandung katakan bahwa "para pemuda, para kader, dan sumber daya manusia
36
koperasi harus mendapat pendidikan yang tepat, harus menguasai keahlian yang
tepat, harus memiliki kemahiran dan ketrampilan yang tepat." Ini berarti bahwa
pendidikan koperasi tidak hanya dalam segi teori atau konsep tetapi harus diimbangi
dengan praktik lapangan langsung dalam kehidupan dan kegiatan perkoperasian.
Gerakan memasyarakatkan koperasi kepada generasi muda dapat dilakukan di
dalam sekolah dan di luar sekolah. Sebagaimana yang diamanatkan GBHN 1988,
bahwa: gerakan memasyarakatkan koperasi perlu ditingkatkan dan dalam
pelaksanaan-nya di dudukung oleh pendidikan perkoperasian baik di sekolah maupun
di luar sekolah serta pembinaan koperasi secara profesional. (GBHN, 1988: 57).
Pendidikan koperasi di sekolah dapat dilaksanakan dan dikembangkan melalui
berbagai bentuk kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Pembinaan
Kopsis merupakan salah satu wahana kegiatan pembinaan siswa (generasi muda).
Proses pembinaan Kopsis dilaksanakan sebagai bagian integral sistem pendidikan
dasar dan menegah. Pelaksanaan kegiatan pembinaan Kopsis ini dilaksanakan
melalui jalur kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler (Ditjen
Dikdasmen, 1991:13).
Dasar dari pada pendidikan koperasi di sekolah, yang berkenaan dengan
pendidikan, pembinaan, dan pengembangan Kopsis adalah Instruksi Presiden
Republik Indonesia No. 3 tahun 1960 tentang Pendidikan Koperasi. Instruksi
Presiden ini kemudian disusul oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Perdagangan dan Koperasi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
719/Kpd/XII/1979-28a/1979 tanggal 31 Desember 1979, tentang pendidikan
perkoperasian di sekolah, Universitas, dan lain-lain lembaga Pendidikan dan
Kelembagaan, serta SKB Mekop, Mendikbud, dan Mendagri Republik Indonesia No.
37
SKB 125/M/KPTS/X/1984-0447a/V/1984 tanggal 4 Oktober 1984, tentang
Pembinaan dan Pengembangan Kopsis. Sedangkan operasional pelaksanaan di
sekolah, pengetahuan perkoperasian telah dimasukkan ke dalam GBPP kurikulum
sekolah dalam mata pelajaran pendidikan ilmu pengetahuan sosial (bagian ekonomi),
dan praktik perkoperasian dimasukkan ke dalam salah satu dari 8 program pembinaan
kesiswaan, yaitu program kewirausahaan (Kandep Dikbud Kodya Bandung, 1996).
Melalui Inpres dan SKB tersebut, pemerintah berusaha untuk memperkokoh
kedudukan dan peran Kopsis baik di pedesaan maupun di perkotaan. Kopsis tersebut
diarahkan pada pendidikan dan pelatihan perkoperasian, di samping fungsinya
sebagai badan usaha yang melayani kebutuhan siswa di lingkungan sekolah.
Pembinaan Kopsis bertujuan untuk mengembangkan dan mendewasakan para siswa
agar mampu meng-urus diri sendiri atas dasar swadaya dan gotong-royong. Dengan
demikian pembinaan siswa dalam berkoperasi diarahkan untuk menumbuhkan
apresiasi terhadap perkoperasian dan memberikan pengalaman praktis kepada siswa
agar dapat berwirausaha, kreatif, dan trampil di bidang pengelolaan perkoperasiaan.
Lebih khusus, bahwa Kopsis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan yang berupa
pengetahuan, pengalaman dan ketram-pilan berkoperasi dan berwirausaha,
menumbuhkan sikap menghargai koperasi melalui latihan-latihan yang sistematis,
terarah dan terus menerus, serta berbagai upaya untuk memasyarakatkan koperasi
pada mereka sejak usia dini.
Kopsis sebagai salah satu kopersi yang azas dan sendinya sama dengan
koperasi pada umumnya, maka Kopsis berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa,
lab bidang ekonomi koperasi dan lab pembinaan kepribadian siswa, termasuk dalam
38
pengem-bangan dan penanaman langsung nilai-nilai kehidupan masyarakat
demokratis (Ditjen Dikdasmen, 1991: 6).
Sebagai organisasi ekonomi siswa maka Kopsis bertujuan untuk memberikan
kesejahteraan siswa (khususnya kesejahteraan yang diarahkan untuk ikut serta
membantu proses pencapaian tujuan pendidikan berupa penyediaan alat-alat sekolah
dan sarana penunjang lainnya dengan harga yang relatif ringan, sehingga terjangkau
oleh siswa). Dalam fungsinya sebagai laboratorium ekonomi siswa, Kopsis berfungsi
sebagai wahana pendidikan dan pelatihan para siswa dalam berkoperasi,
berwirausaha, dan sebagai penunjang tercapainya tujuan pendidikan ke arah kegiatan-
kegiatan praktis guna mencapai kebutuhan ekonomi di kalangan siswa. Dalam
fiingsingnya sebagai pengembangan kepribadian siswa Kopsis bertujuan untuk
mengembangkan rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan, pembinaan persatuan
dan kesatuan siswa serta pengembangan jiwa demokratis pada diri para siswa. Agar
dapat memenuhi fungsi tersebut, maka perlu ditanamkan pengalaman teoritis dan
praktis siswa dalam berkoperasi. Para siswa perlu tidak hanya diberikan pengalaman
konseptual tetapi juga perlu diberi kesempatan melihat secara dekat dan dilibatkan
secara langsung dalam kehidupan dan kegiatan berkoperasi. Pendekatan yang
demikian merupakan kebutuhan yang sangat urgen guna melengkapi dan mendorong
para siswa mengembangkan program-program kesejahteraan dan hidup bergotong
royong, mengembangkan pengalaman berwirausaha dan nilai-nilai demokratis dalam
dunia yang riil baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah
dan sesudah tamat sekolah (Depkop, 1986:iii).
Pada sisi lain, adanya keterlibatan para siswa dalam kehidupan dan kegiatan
Kopsis, mereka kelak tidak hanya memiliki pengetahuan perkoperasian secara
39
konseptual melainkan juga memiliki ketrampilan berkoperasi. Pendekatan pembinaan
generasi muda sejak usia dini akan memungkinkan mereka mampu menghayati
bagaimana kehidupan, kegiatan dan manfaat koperasi secara dalam serta mampu
menciptakan kader-kader koperasi yang sangat diperlukan demi kelangsungan
pembangunan perkoperasian di Indonesia. Dengan pengalaman yang dihayati secara
dalam inilah mereka akan memiliki kemampuan, ketrampilan, kesadaran dan
kemauan berkoperasi yang tangguh. Generasi yang demikian akan siap untuk
melanjutkan dan meningkatkan pembangunan perkoperasian yang akan datang dan
akan benar-benar mampu memwujudkan koperasi sebagai soko guru perekonomian
nasional.
Anggota Kopsis adalah seluruh siswa sekolah dimana Kopsis didirikan.
Sehingga keberhasilan pencapaian tujuan dan fungsi Kopsis akan sangat tergantung
pada partisipasi aktif para siswa sebagai anggota, di samping pelayanan yang baik
dari Kopsis dalam memenuhi kebutuhan para anggotanya. Partisipasi siswa dalam
Kopsis minimal akan memungkinkan mereka memperoleh pengalaman pengetahuan
dan ketrampilan mengelola suatu koperasi. Pada taraf yang lebih tinggi, partisipasi
siswa akan memungkinkan mereka mampu menyerap nilai-nilai demokrasi ekonomi
dan jiwa wirausaha. Nilai-nilai ini sangat penting artinya bagi pembinaan dan
penyiapan SDM dalam menghadapi era globalisasi dan mampu mengembangkan
koperasi sebagai soko guru ekonomi rakyat. Sehingga demikian pembelajaran dan
pembinaan siswa berkope-rasi di sekolah perlu diintensifkan keberadaannya.
Upaya ini menjadi tanggung jawab kepla sekolah, pembina Kopsis, guru
ekonomi dan guru-guru lain terkait, baik dalam upaya pencarian dan penerapan
model, metode pembelajaran dan pembinaan kemampuan dan ketrampilan
40
berkoperasi, peningkatan persepsi, motivasi dan sikap berkoperasi, peningkatan rasa
manfaat, rasa percaya, partisipasi, serta perkembangan Kopsis.
B. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KEPALA SEKOLAH, PEMBINA
KOPSIS DAN GURU
Kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan sukses atau gagalnya
sekolah dalam mencapai tujuannya (Usman, 1996:196; Depdikbud, 1981.44; Asmara,
1984:201). Sehubungan dengan hal ini, Sutisna (1990.) menyatakan bahwa semakin
banyak tenaga kependidikan mengakui bahwa sukses atau gagalnya pencapaian
tujuan pendidikan terutama terletak di atas pundak kepemimpinan kepala sekolahnya.
Hal ini disebabkan dalam pelaksanaannya kepala sekolah diberikan wewenang dan
tanggung jawab yang penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam lingkungan
sekolahnya (Penjelasan PP RI No.29 tahun 1990). Wewenang dan tanggung jawab ini
meliputi penyelenggaraan kegiatan pendidikan, adminsitrasi sekolah, pembinaan
tenaga kepen-didikan lainnya, dan pendayagunaan sarana dan prasarana. (PP RI No.
29 tahun 1990).
Tugas dan tanggung jawab kepala sekolah tersebut akan mencakup bidang
pengelolaan pendidikan dan pengajaran, kesiswaan, tenaga kependidikan dan atau
kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana dan hubungan masyarakat (Usman,
1994: 52-57). Dalam melaksanakan tugasnya ia harus mampu melakukan kepemim-
pinan dalam mengelola semua bidang-bidang tersebut secara efektif dan efisien
sehingga dapat tercipta suasana sekolah yang kondusif bagi semua tenaga
kependidikan dan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama
(sekolah).
41
Keberhasilan seorang pemimpin dalam mejalankan kepemimpinannya sangat
dipengaruhi oleh dirinya (perilaku kepemimpinan pemimpin), pengikut dan
situasinya (Depdikbud, 1981:44;Hersey dan Balnchard, 1993:123). Atas dasar
pendapat ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dalam segi
membelajarkan dan membina siswa dalam berkoperasi di sekolah sangat dipengaruhi
oleh kepemimpinan kepala sekolah, partisipasi semua personel pelaksana yang terkait
(khususnya para pembina kopsis dan guru ekonomi) dan serta sistuasi lingkungan
sekolah yang kondusif.
1. Perilaku Kepemimpinan.
Kao (199la: 15) menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan seorang sangat
dipengaruhi oleh sifat-sifat kepemimpinan perilaku pemimpin, konteks organisasi,
peraturan pelaksanaan dan interaksi dengan lingkungannya.
a. Sifat Kepemimpinan.
Kao (1991a:7) menjelaskan sifat-sifat perilaku kepemimpinan itu meliputi:
motif yang kuat untuk mencapai tujuan, kepribadian yang utuh (tidak mudah goyah),
memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam memilih orang dan membagi tugas, dan
memiliki pilihan psikologik (komitmen yang kuat). Lessem (1992:17)
mengidentifika-sikan 7 (tujuh) sifat kepemimpinan yaitu imajinatif intuitif,
berwibawa, berkema-uan keras, fleksibel, ramah, bersemangat dan giat. Dalam kaitan
dengan sifat-sifat kepemimpinan ini, Hisrich dan Peters (1992:516) juga memberikan
tujuh sifat kepemimpian yaitu memahami lingkungan, mempunyai fisi jauh kedepan
dan luwes, kreatif, mendorong keija tim, mendorong diskusi secara terbuka, membina
koalisi pendukung, dan keteguhan hati (komitmen yang kuat).
42
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka terdapat sejumlah sifat
kepemimpinan yang dapat dikembangkan untuk mendukung tercapainya pelaksanaan
kepemimpinan Kepala sekolah dalam mencapai tujuan pembelajaran dan pembinaan
perilaku siswa dalam berkoperasi yaitu: 1) motif yang kuat dalam mencapai tujuan.
Atas dasar sifat ini berarti bahwa kepala sekolah adalah seorang yang: a) memiliki
wewenang dan tanggung jawab penuh dalam melakukan pengelolaan sekolah; b)
harus memahami tujuan dan fungsi penyelenggaraan, pembinaan dan pengembangan
Kopsis di sekolah; dan c) memiliki motivasi serta upaya yang kuat untuk mencapai
tujuan dan fungsi Kopsis. 2) Mempunyai visi jauh kedepcar. ia memiliki wawasan
tentang kearah mana dan bagaimana Kopsis harus dikembangkan. 3) Kepribadian
yang utuh yakni tidak mudah goyah oleh adanya pengaruh-pengaruh lingkungan yang
kurang kondusif. 4) Memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam memilih orang dan
membagi tugas. Kepala sekolah harus memiliki ketrampilan dan pengalaman memilih
orang-orang yang dipandang mampu mengemban tugas untuk membina,
mengembangkan dan memajukan Kopsis menjadi media yang mampu berfungsi
sebagai sarana pendidikan dan organisasi ekonomi siswa. 5) Imajinatif, intuitif dan
kreatif. Artinya kepala sekolah harus selalu berupaya timbulnya ide-ide baru dan
peka terhadap makna terjadinya suatu peristiwa bagi upaya pembinaan dan
pengembangan Kopsis ke arah yang lebih maju dan fungsional terhadap tercapainya
tujuan dan fungsi Kopsis. Ia mampunyai kepekaan mengantisipasi bagaimana sesuatu
itu akan berjalan dan bagaimana mengelolanya untuk mencapai sasaran yang lebih
baik. 6) Berkemauan keras untuk memajukan dan mengembangkan Kopsis secara
maksimal. 7) Fleksibel dan ramah. Ia mampu menye-suaikan diri dalam berbagai
situasi dan ramah dalam pergaulan dengan pengikutnya dan orang-orang yang ada di
43
sekitarnya. Ia menyenangi suasana kekeluargaan sebagai penengah yang mampu
mengusahakan kedamainan kelompok sehingga semua personel yang terkait dengan
upaya pembinaan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan
membina perilaku siswa dalam berkoperasi menjadi senang dan bersemangat bekerja
dalam mencapai tujuan serta mengupayakan Kopsis dapat berfungsi sebaga-imana
seharusnya. 8) Memahami lingkungan, ia peka terhadap sumber daya apa yang
tersedia dan sumber daya apa yang dapat diupayakan adanya untuk dapat dimanfaat-
kan. 9) Mendorong kerja tim dan diskusi secara terbuka. Ia selalu mengadakan
diskusi secara terbuka dengan anggota tim kerja sehingga mereka yang terkait dengan
upaya mengembangkan dan memajukan Kopsis serta upaya membelajarkan dan
membina siswa dalam berkoperasi tumbuh semangat bekeija sama untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. 10) Membina koalisi pendukung, ia selalu berupaya
menyatukan semua sarana dan prasarana pendukung bagi tercapainya tujuan. 11)
Memiliki komitmen yang kuat: ia mempunyai kegigihan semangat, pantang putus asa,
dan kesetiaan melaksa-nakan tugas serta tanggung jawab yang dibebankan padanya.
b. Peraturan-peraturan.
Peraturan-peraturan merupakan norma-norma yang menunjuk kepada
kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya
melakukannya oleh semua individu yang terkait (kepala sekolah, pembina Kopsis,
guru, siswa, Depkop, Bidmudora, dan Pemda setempat) dengan pembinaan dan
pengembangan Kopsis serta bagaimana membelajarkan dan membina siswa
berkoparasi.
44
c. Konteks organisasi/iklim organisasi.
Konteks organisasi merupakan suatu suasana yang memungkinkan pemimpin
dapat mengembangkan kreativitasnya secara optimal (Usman, 1996:43). Menurut
Kao (1991a:7) konteks organisasi ini meliputi: misi dan tujuan, struktur, kultur,
peran-peran, kebijakan-kebijakan, sistem pengembangan SDM, sistem komunikasi,
dan pendayagunaan sumber daya organisasi yang terbatas.
Misi dan tujuan mempengaruhi kepemimpinan karena misi dan tujuan
merupa-kan arah, fungsi, dan kualitas tujuan yang ingin dicapai. Kepala sekolah
sebagai pemimpin penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis serta upaya
membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi perlu memhami misi
dan tujuan penyelenggaraan pengembangan Kopsis di sekolah.
Struktur. Jones (1995:12) mendefinisikan struktur organisasi sebagai sistem
formal dari hubungan aturan-aturan dan tugas serta keterkaitan otoritas yang mengon-
trol tentang bagaimana orang-orang bekeijasama dan memanfaatkan sumberdaya
untuk mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya pada halaman 13 ia
mengidentifikasikan sifat-sifat struktur organisasi sebagai sistem formal yang: 1)
mengontrol pemanfaatan sumber daya organisasi; 2) mengontrol motivasi, perilaku,
dan organisasi; 3) merespon terhadap lingkungan dan SDM, 4) menggambarkan
pertumbuhan organisasi dan differensiasi; dan 5) merupakan alat yang mengatur
perubahan melalui proses desain organisasi. Struktur dasar penyelenggaraan dan
pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa
dalam berkoperasi merupakan bagian dari keseluruhan struktur organisasi sekolah.
Dimana penyelenggaraan Kopsis merupakan bagian kegiatan kesiswaan yang
mengarah pada aspek pembelajaran dan pembinaan jiwa kewirausahaan para siswa.
45
Oleh karena itu (berdasarkan Buku Juklak Kopsis, 1991:48) secara struktural dalam
organisasi sekolah bahwa pembelajaran dan pembina-an jiwa kewirausahaan siswa
merupakan bagian wewenang dan tanggung jawab kepala sekolah yang pengelolaan
dan pengembangannya didelegasikan kepada wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.
Sedangan operasional penyelenggaraan dan pembinaan Kopsis serta pembelajaran
dan pembinaan siswa dalam berkoperasi dilakukan oleh para guru yang dipandang
cakap yang ditunjuk oleh kepala sekolah sebagai tim pembina. Dalam praktiknya tim
pembina mengkoordinir para siswa agar membentuk kepengurusan Kopsis. Dalam
upaya efektivitas pembelajaran dan pembinaan serta peningkatan partisipasi siswa
dalam berkoperasi tim ini dapat bekeijasama dengan para guru (khususnya guru
ekonomi) dan wali kelas.
Kultur. Kao (1991b:227) mengemukakan bahwa kultur (budaya) organisasi
adalah bentuk asumsi yang membuat anggota bekerja dengan cukup baik dan benar,
mengajari anggota bagaimana cara merasakan, memikirkan, dan menaruh perhatian
terhadap berbagai masalah. Berdasarkan pendapat ini maka dapat disimpulkan bahwa
budaya organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki kelompok untuk dipatuhi. Nilai-
nilai yang dikembangkan di sekolah (lanjutan atas) berkarakteristik: a) berdisiplin
waktu yang tinggi, b) melaksanakan pekeijaan dengan mutu yang terstandar (tidak
asal jadi), c) melaksanakan admisnistrasi secara efisien, d) penampilan sekolah yang
bersih, rapih, indah dan menarik, e) setiap siswa harus bangga dengan sekolahnya,
dan setiap guru bangga dengan profesinya sebagai guru di sekolah yang
bersangkutan. Prinsip yang dikembangkan untuk ini adalah in garso sung tulodo.
Siswa tidak mungkin berdisiplin, kalau gurunya tidak bersdisiplin, dan guru tidak
akan berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak berdisplin (Depdikbud, 1994a: 13-14)
46
Peran-peran. Kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi formal mempunyai
peran-peran: interpersonal, informasional dan pembuatan keputusan (Handoko, 1994:
33; Stoner, 1995:13, dan Robbins, 1996:7-8). Peran interpersonal menghendaki
kepala sekolah sebagai pimpinan memerankan tugas-tugas penghubung hubungan
sosial antar individu di dalam dan di luar organisasinya. Dalam penyelenggaran dan
pengembangan Kopsis kepala sekolah harus memainkan peran menjaga bagaimana
hubungan sosial antar individu yang terkait dengan penyelenggaraan dan
pengembang-an Kopsis serta upaya pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa
dalam berkoperasi bisa termotivasi berkeijasama secara baik sehingga mampu
mencapai tujuan dan fungsinya-nya. Selain itu kepala sekolah memiliki peran
penghubung antara para pembina Kopsis dan siswanya mampu mengadakan keija
sama dengan lembaga lain sehingga bisa mengembangkan Kopsisnya. Peran
informasional menuntut kepala sekolah mencari, menerima dan mengumpulkan
informasi dari luar. Selanjutnya ia memiliki peran untuk menyebarkan informasi
yang diperoleh kepada semua yang terkait dengan penyeleng-garaan dan
pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa
dalam berkoperasi. Sedangkan peran pembuat keputusan menghendaki kepala
sekolah mampu menghambil keputusan alternatif terbaik terhadap berbagai persoalan
yang dihadapi dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis serta upaya
membelajar-kan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi demi tercapainya
tujuan Kopsis.
Kebijakan-kebijakan. Kebijakan merupakan ketentuan-ketentuan yang harus
dijadikan pedoman demi tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian
tujuan. (Usman, 1996:57). Agar tercapai tujuan dan fungsi penyelenggaran serta
47
pengembangan Kopsis, kepala sekolah perlu mebuat berbagai kebijakan demi
tercapai-nya kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan. Yakni berupa
kebijakan-kebijakan yang memungkinkan semua individu di sekolah termotivasi dan
mau berpartL-sipasi mendukung tercapainya tujuan dan fungsi penyelenggaraan dan
pengembangan Kopsis di sekolah serta upaya pembelajaran dan pembinaan perilaku
siswa dalam berkoperasi.
Sitem Pengembangan SDM. Kualitas SDM merupakan faktor penentu
terhadap kelancaran peijalan dan kemajuan organisasi. Oleh karena itu agar
organisasi Kopsis dapat berjalan lancar dan mampu mencapai tujuan yang
diharapkan, pimpinan organisasi perlu berupaya mengembangkan, membina,
memberikan kesempatan berlatih dan meningkatkan mutu semua SDM dalam
organisasi. Pembinaan SDM ini mencakup pembina, pengurus, pengawas dan
anggota baik dilaksanakan sendiri maupun mengirimkan pelatihan ke luar (Dubell,
1985:60)
Sistem Komunikasi. Kao (1991b:18) mengemukakan bahwa komunikasi harus
dilakukan secara vertikal dan horisontal. Selain itu, Kao (1991b: 25) juga
menyatakan bahwa komunikasi harus dilakukan secara formal dan informal, dari atas
ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi sangat penting agar anggota dapat
memperoleh berbagai informasi. Sehubungan dengan itu Kao (1991b:199)
menyatakan bahwa karyawan tidak hanya membutuhkan apa yang diinginkan, tetapi
juga mengapa dan bagaimana mewujudkan keinginan tersebut. Selanjutnya Kao
(199Ib: 276) menjelaskan ide dapat datang dari berbagai sumber di dalam organisasi,
jadi kita harus memelihara suasana yang penuh dengan keterbukaan.
48
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem komunikasi
harus bersifat terbuka, secara vertikal dan horisontal, dari atas dan dari bawah. Ini
berarti bahwa kepala sekolah dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis
serta upaya membelajarkan dan mebina perilaku siswa dalam berkoperasi perlu
melakukan komunikasi dengan pengikutnya secara terbuka. Komunikasi dilakukan
secara dialogis dan informasi dapat berasal dari kepala & wakil kepala sekolah,
pembina Kopsis, guru dan siswa.
Pemanfaatan sumber daya pendidikan yang terbatas.
Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan
pendi-dikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia
atau diadakan dan didayagunakan keluarga, masyarakat, peserta didik, dan
pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN RI Nomor 2 tahun
1989, Bab I pasal 1) Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus mampu mengelola dan
mendayagunakan fasilitas yang dimiliki seefektif dan seefisien mungkin untuk
mencapai tujuan pendidikan. Dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis
serta membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi, kepala sekolah
harus mampu mendayagunakan semua potensi sumberdaya yang mungkin dapat
digali dan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Ia tidak boleh menyianyiakan
semua potensi yang dimiliki. Ia harus peka membaca potensi yang dimiliki dan
bagaimana memanfaatkannya. Dengan cara demikian pencapaian kemajuan dan
pengebangan Kopsis serta tujuan pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam
berkoperasi dapat dicapai semaksimal mungkin.
d. Lingkungan.
49
Interaksi, kepekaan dan kemampuan pimpinan membaca lingkungannya
sangat penting, khususnya terhadap potensi lingkungan yang memiliki pengaruh dan
tantangan bagi kemajuan dan perkembangan organisasinya. Kepala sekolah dalam
memimpin penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan
dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi harus mengetahui lembaga-lembaga
mana yang terkait dan seharusnya ikut bertanggung jawab mengembangkan
Kopsisnya, lembaga-lembaga mana yang dapat diajak bekerja sama dan membantu
memajukan Kopsis serta potensi-potensi apa yang ada di lingkungannya yang dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan Kopsis seperti seksi Binmudora, Kodya/
Kabupaten setempat, Kandep Depkop, KPN dan perusahaan-perusahaan penyalur
alat-alat sekolah.
2. Pengikut (Pembina Kopsis dan Para Guru -khususnya guru ekonomi)
Selain perilaku kepala sekolah, partisipasi pembina Kopsis dan para guru
dalam menyelenggarakan dan memajukan Kopsis ikut menentukan keberhasilan
Kopsis.
Pembina Kopsis adalah orang yang ditugasi melakukan pembinaan Kopsis
yaitu membimbing dan mengawasi terhadap jalannya kegiatan Kopsis. Pada tingkat
Sekolah Lanjutan Atas yang dimaksudkan pembina Kopsis adalah guru bidang studi
ekonomi/pengelolaan usaha dan atau guru lain yang ditunjuk serta memiliki
pengetahuan perko-perasiaan sebagai Guru Pembina OSIS yang mendampingi
pengembangan kewirausahaan/perkoperasiaan para siswa (Ditjen Dikdasmen,
1991:3-4). Berdasarkan pengertian ini pembina Kopsis pada dasarnya adalah guru
50
atau tenaga pendidik yang ditugasi melakukan pembinaan perilaku siswa dalam
berkoperasi/berwirausaha.
Guru/tenaga pendidik memiliki tugas menyelenggarakan kegiatan mengajar,
melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan pelayanan
teknis dalam bidang pendidikan. (UUSPN RI No.2 tahun 1989 BAB I pasal 1) Dalam
kaitan ini pembina Kopsis adalah tenaga pendidik yang bertugas untuk
membelajarkan, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan
pelayanan teknis berkoperasi bagi para siswa yakni bagaimana seharusnya ia
menyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis serta bagaimana upaya
membelajarkan dan membina para siswa dalam berkoperasi/berpartisipasi dalam
Kopsis. Sejalan dengan fungsi penyelenggaraan Kopsis adalah sebagai lab ekonomi
dan organisasi ekonomi siswa, maka guru ekonomi berarti memiliki tugas tidak
hanya membelajarkan, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola proses
pembelajaran teoritis ekonomi di dalam kelas tetapai juga harus melatih dan
membina para siswa memanfaatkan Kopsis sebagai media belajarnya.
Berdasarkan pengertian tersebut, tugas dan tanggung jawab pembina Kopsis
dan guru ekonomi tersebut mengandung makna bahwa dalam menempatkan fungsi
dan mencapai tujuan penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis mereka perlu
saling bekeija sama dan saling berkoordinasi, terutama dari segi penyusunan program
kegiatan dan arah pembelajaran serta pembinaan dan pemanfaatan Kopsis sebagai
media. Dengan kata lain bahwa pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam
berkoperasi di dalam kelas dan luar kelas perlu dilakukan secara terpadu. Agar
pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi dapat mencapai hasil yang
maksimal, para pembina Kopsis dan guru ekonomi perlu mencari dan memilih model
51
dan metode pembelajaran dan pembinaan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan,
kemampuan, dan karakteristik individu atau kelompok individu siswa (Glickman,
1981:40;Gagne and Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988).
3. Situasi
Situasi mengandung pengertian suasana lingkungan baik internal dan ekternal
yang mendukung atau menghambat terhadap jalannya organisasi, termasuk di
dalamnya tingkat partisipasi warga dalam organisasi, lembaga terkait, sarana dan
prasarana yang tersedia. Tingkat kemanfaatan situasi yang ada sangat tergantung dari
performansi pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya.
C. PARTISIPASI, MANFAAT AN PER KEMBANGAN KOPERASI
Suatu hal yang perlu diingat oleh pembina Kopsis dan guru ekonomi
(koperasi) sebelum menentukan metode pembinaan, adalah partisipasi anggota dalam
koperasi akan muncul apabila anggota koperasi merasakan adanya manfaat yang
diterima dengan menjadi anggota lebih besar dibandingkan apabila tidak menjadi
anggota koperasi. Manfaat yang diterima tersebut akan muncul apabila ada
kesesuaian antara "apa yang diharapakan anggota dari koperasi" dengan "apa yang
diharapakan oleh koperasi dari anggota." (Subyantoro, 1993: 8-9).
Sehubungan dengan itu Ropke (1989: 106) mengemukakan saling ketergan-
tungan tersebut dari segi kesesuaian antara anggota (penerima manfaat), manajemen
koperasi dan program sebagaimana nampak dalam gambar 3. Partisipasi anggota
dalam pelayanan yang diberikan oleh koperasi akan teijadi apabila terdapat
kesesuaian antara anggota, program dan pengelolaan koperasi yang ada. Kesesuaian
yang dimaksud adalah: (1) kesesuaian antara pelayanan yang dibutuhkan oleh
52
anggota dan output pelayanan dari program; (2) kesesuaian antara tugas-tugas
program dan kemampuan manageraen koperasi; (3) kesesuaian antara apa yang
diminta oleh anggota dengan yang diberikan oleh koperasi (manajemen koperasi).
Sedangkan alat yang digunakan oleh anggota untuk berpartisipasi adalah hak suara,
pilih dan keluar.
OUTPUT
IROGRAM
NEEDS.
/ / O T
TASK
EFFECITVENESS PARTICIPATIOIN ABHJTY
3EMANDS HEMBER
DEC1SION m a n a g e m e n o y COOPERATTVE
toh^E^—* VOTE
MEANSOF PARTICIPATION
Gambar 3: The Fit Model ofParticipation Sumber : Jochen Ropke (1989). The Economic Theory of Cooperatives, Marburg.
Wirasasmita (dalam Subyantoro, 1993 :9) juga menunjukkan saling ketergan-
tungan tersebut dengan memakai koperasi pemasaran sebagai model (gambar 4).
Pada koperasi pemasaran yang diminta anggota dari koperasi adalah fasilitas
pemasaran, harga yang layak dan stabil, kestersediaan koperasi untuk membeli,
sistem pembayaran yang dapat diterima anggota, kredit lunak, bimbingan manajerial
& skill, dan lain-lain. Sedang persyaratan dari fihak koperasi yang dimintakan kepada
anggota ialah jenis barang yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar,
persyaratan kualitas terpenuhi, pesediaan barang yang cukup, biaya produksi yang
efisien, homoginitas usaha, konsentrasi lokasi, dapat melaksanakan fungsi anggota
sebagai pemilik dan pelanggan.
53
Anggota Yang dimintakan anggota dari koperasi * fasilitas pemasaran
• harga yang layak dan stabil
• ketersediaan koperasi untuk membeli
• kredit lunak • bimbingan (managerial &
sM) • sistem pembayaran yang
dapat diterima anggota dan lain-lain
manfaat langsung SHU
Koperasi Yang dimintakan koperasi dari anggota • Jenis barang yang dihasilkan
sesuai dengan permintaan pasar
• persyaratan kualitas terpenuhi
• persediaan barang yang cukup
I* homogtnitas usaha f» konsentrasi lokasi
> dapat melaksanakan fungsi anggota sebagai pemilik dan pelanggan
.t. cadangan, gaji dan lain-lain
. efisiensi koperasi
t manfaat koperasi/ valueadded
Gambar 4: Saling Ketergantungan Anggota dan Koperasi Keterkaitannya dengan Taraf Partsipasi Sumber : Arief Subyantoro, 1993. Pengaruh Faktor-faktor Perilaku Terhadap efektivitas Partsipasi
Anaeota KUD dan Non KUD di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemenuhan pesyaratan oleh masing-masing fihak merupakan prasyarat atau
pendorong terciptanya efisiensi koperasi, karena antara lain: terciptanya skala
ekonomis, peningkatan bargaining position, kenaikan produktivitas dengan spesiali-
sasi, penghematan biaya transaksi dan sebagainya. Pada gilirannya efisiensi koperasi
akan menghasilkan manfaat koperasi baik yang bersifat langsung maupun tak
langsung bagi anggota. Manfaat koperasi bagi anggota misalnya harga penjualan
yang layak dan SHU Bagi koperasi SHU untuk cadangan dan upah/gajj,
Uraian tersebut sangat penting untuk difahami masalah
artinya perlu ada kesesuaian "yang dimintakan anggota dari kope
dimintakan koperasi dari anggota" agar dapat menghasilkan "efektivitas partisipasi •£> se-
anggota". Uraian ini juga memberikan isyarat bahwa tugas guru dan pe&bina Kopsis
54
adalah membina perilaku anggota dan pengurus Kopsis agar keduanya berperilaku
sesuai dengan yang diharapkannya. Kesesuaian antara keduanya akan meningkatkan
efektivitas partisipasi anggota Kopsis. Pada saatnya efektivitas partisipasi anggota
akan mempengaruhi: a) tingkat rasa manfaat anggota terhadap Kopsis, b)
perkembangan Kopsis. Dalam hal ini pembina harus memilih dan menerapkan model
pembelajaran yang efektif (baik perencanaan program maupun penerapannya) dalam
membina perilaku siswa untuk meningkatakan efektivitas partisipasinya dalam
Kopsis. Dengan istilah lain guru dan pembina harus merencanakan program-program
pembinaan perilaku siswa yang akan diterapkan. Di mana dengan program-program
yang telah dipersiapkan dengan baik dan diterapkan tersebut diharapkan dapat
meningkatakan efektivitas partisipasi siswa, manfaat yang dirasakan dan
perkembangan Kopsis.
Efektivitas partisipasi anggota ditentukan oleh partisipasi anggota koperasi
dalam kedudukannya sebagai pemilik (partisipasi kontribusi) dan sebagai pelanggan
(partisipasi insentif). Tingkat efektivitas partisipasi anggota Kopsis ditentukan oleh
tinggi rendahnya manfaat atau keuntungan yang diperoleh anggota Kopsis sejalan
dengan partisipasinya (Subyantoro,1993: 8). Manfaat anggota Kopsis dapat berupa
manfaat ekonomi dan non ekonomi (Senen dkk1992 : 18). Sehingga pengukuran
manfaat Kopsis bagi anggota dapat dilihat dari tingkatan rasa puas anggota terhadap
Kopsis atas imbalan yang terima baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Hanel
(1985:70) mengemukan bahwa partisipasi dapat dibedakan dalam dimensi partisipasi
anggota sesuai dengan peran ganda yang ditandai dengan prinsip identitas, yaitu:
a. Anggota dalam hubungannya sebagai pemilik-, anggota memberikan
kontribusinya terhadap pembentukan dan pertumbuhan koperasi dalam bentuk
55
kontribusi keuangan. Anggota mengambil bagian dalam bal penetapan tujuan,
pembuatan keputusan dan dalam proses pengawasan tata kehidupan koperasi.
Dalam hal ini anggota melakukan partisipasi kontribusi.
b. Anggota dalam kedudukannya sebagai pelanggan/pemakai: anggota memanfaat-
kan berbagai potensi yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang
kepentingan-nya. Dalam hal ini anggota melakukan partisipasi insentif.
Sedangkan dari segi tingkatannya, Freire (1972: 1-48) dan Alschuler (1980:
13) menggolongkan tingkatan partisipasi sesorang ke dalam 3 (tiga) tingkatan:
a. The magical conforming stage: pada tingkatan ini orang memiliki perspektif
bahwa sistuasi yang ada di lingkungannya dirasakan sebagai sesuatu yang sudah
tidak bisa diubah dan sangat kecil sekali kemungkinnya untuk mampu
mengubahnya. Ia lebih suka menyerah terhadap keadaan, merasa tak berdaya
untuk berbuat, berjiwa fatalism, masa bodoh dan tak mau melakukan tindakan
untuk berbuat sesuatu.
b. Natve rejorming stage: pada tingkatan ini orang sudah timbul keinginan mencoba
dan mencoba untuk memperbaiki keadaan. Ia memandang bahwa system
lingkungan dapat diterima dan tanggung jawab perubahan adalah ada pada
individu masing-masing. Ia merasa bahwa yang penting dirinya telah berbuat
sesuai dengan system yang ada.
c. The critical transforming stage: individu mulai menganalisa budaya dan struktur
sosial atau system yang ada secara kritis dan berpartisipasi secara aktif untuk
melakukan rekonstruksi terhadap system yang ada atau melakukan tindakan-
tindakan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-sama.
56
Dengan memperhatikan pendapat Hanel, Freire dan Alschuler, untuk melihat
seberapa tingkat efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis diukur dengan indikator
para siswa sebagai anggota Kopsis yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pemilik dan
pelanggan, dan tingkatan keterlibatan dirinya baik fisik, perasaan dan pemikiran
dalam koperasi maupun pemanfaatan insentif yang diberikan oleh koperasi.
Tumbuhnya efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis sampai pada taraf
critical transforming, sangat penting artinya bagi peningkatan manfaat Kopsis yang
dapat dirasakan oleh para siswa dan perkembangan Kopsis. Perkembangan dan
manfaat Kopsis bagi siswa pada gilirannya akan meningkatkan taraf partisipasi siswa
berko-perasi. Ini berarti bahwa kesesuaian antara harapan anggota (siswa) dengan
pelayanan Kopsis, rasa manfaat Kopsis bagi siswa, perkembangan Kopsis dan taraf
partisipasi siswa akan merupakan sesuatu yang saling kait mengkait. Dengan kata
lain apabila salah satu di antara keempat unsur tersebut tidak terpenuhi akan
menurunkan taraf perkembangan unsur lain. Ini berarti Kopsis sebagai organisasi
akan selalu berubah.
Child and Kieser (1981:28) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang
mempengaruhi perubahan organisasi, faktor external dan faktor internal organisasi.
Ia menjelaskan faktor-faktor yang termasuk external adalah seperti kompetisi,
inovasi, tuntutan masyarakat, dan kebijaksanaan pemerintah menuntut adanya
strategi-strategi baru, berbagai metode kerja, dan hasil-hasil yang direncanakan untuk
mepertahankan kehidupannya. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah
berbagai kegiatan seperti strategi-strategi baru, inovasi, metode-metode baru, yang
diusahakan dan dilakukan oleh pimpinan dan anggotanya adalah dalam rangka tidak
hanya untuk mempertahankan hidupnya tetapi juga agar tumbuh, meningkatkan
57
keuntungan dan kepuasannya. Bennis (1969:2) menyatakan perkembangan organisasi
merupakan respon perubahan, suatu strategi yang komplek yang dimaksudkan untuk
mengubah keyakinan, sikap, nilai dan struktur organisasi, sehingga mereka lebih
mampu beradaptasi terhadap teknologi-teknologi baru, tantangan dan juga sebagai
usaha untuk me-ngembangkan organisasi itu sendiri. Dengan istlah lain bahwa semua
aktivitas yang diusahakan dan dilakukan oleh personel organisasi (pimpinan dan
anggota) adalah dalam rangka menggerakkan semua daya yang ada untuk
menghidupkan, mempeMahankan, mengelola dan mengembangkan organisasinya ke
taraf yang lebih maju.
Kedua pendapat tersebut menggambarkan bahwa organisasi bersifat dinamis.
Sebagai konsekwensinya, organisasi akan selalu tumbuh dan berkembang.
Pertumbuh-an dan perkembangan tersebut tergantung pada aspek manusia yang ada
dalam organisasi yang dimaksud (Sutisna, 1987: 4). Heire (1959), dan Mooney dan
Reiley (1931) yang dikutip oleh Child and Kieser, (1981: 46) mengemukakan bahwa
perkem-bangan organisasi beranalog dengan kehidupan organism, yakni bahwa
organisasi akan berkembang seperti siklus kehidupan (tife cycle): kelahiran,
pertumbuhan, kematangan, penurunan dan mati. Berbeda dengan Scott (dalam Child
and Kieser, 1981: 49). Ia menerangkan bahwa organisasi perusahaan berkembang
dari tahap 1 - perusahan yang kecil yang dikelola sendiri oleh pemiliknya,
berkembang ke tahap 2 - perusahan ini belum mengalami diversifikasi, namun telah
dikelola oleh manajer-manajer profesional, berkembang ke tahap 3 - mereka telah
memiliki cabang-cabang usaha, pembagian struktur,diversifikasi produksi,
berkembang ke tahap 4 - dengan begitu kompleksnya struktur, usaha dan produksi
organisasi ini telah go internasional.
58
Hanafiah, dkk. (1994: 9) menerangkan fase-fase perkembangan organisasi
yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Reiley dan Heire. Mereka
mengemukan siklus kehidupan organisasi pada umumnya berkembang melalui empat
fase: 1) fase pembentukan, 2) fase pertumbuhan, 3) fase pematangan, dan 4) fase
pemantapan. Menurutnya keempat fase ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut, fase
pembentukan, organisasi perlu: a) memiliki basis pelanggan yang jelas, b) selalu
responsif terhadap perkembangan dan tuntutan lingkungan, dan mengembangkan
kewirausahaan. Fase pertumbuhan, organisasi diharapkan: a) memiliki kekuatan
untuk bertahan dan berkembang, b) mempunyai sistem manajemen yang baik, dan
berorientasi pada kepentingan pelanggan. Pada fase pematangan (kedewasaan)
adalah fase menemukan jati diri, dan juga merupakan fase kedewasaan. Dalam
kondisi seperti ini suatu organi-sasi hanya sekedar bereaksi terhadap peristiwa-
peristiwa external. Hal ini berarti bahwa organisasi secara umum akan berhenti
berinovasi, dan akan beroperasi sebagaimana adanya saja. Pada fase pematangan ini
dapat terus berkembang jika a) pengelolaan mutu total diadaptasi, dan berorientasi
pada upaya yang ditujukan terhadap pelanggan, b) mempertahankan dinamika dan
jiwa kewirausahaan, c) selalu menguji ulang kegiatan secara pereodik, d) selalu
mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dan e) revitalisasi merupakan
kegiatan yang dilakukan secara sadar. Sedangkan fase peman-tapan dapat
berkembang menuju dua arah a) pertumbuhan kembali atau revitalisasi dan b)
penurunan yang akhirnya akan menuju ke suatu kehancuran.
Koperasi sebagai suatu organisasi juga bertahap perkembangnannya. Widodo
(1996: 35-42) mengemukakan taraf perkembangan koperasi menjadi dua: koperasi
yang belum maju dan telah maju. Koperasi yang belum maju ditandai dengan tugas
59
pengurus koperasi yang masih bersifat rangkap, yaitu mengelola organisasi dan
sekali-gus mengelola usaha koperasi. Sedangkan koperasi yang telah maju ditandai
dengan tugas pengurus koperasi yang bersifat tunggal yaitu hanya mengelola
organisasi. Menurut Depkop (1985:13) perkembangan koperasi dapat dikelompokkan
menjadi tiga golongan: koperasi belum mantap, koperasi mantap, dan koperasi sangat
mantap. Koperasi dikatakan: 1) koperasi belum mantap, jika berdasarkan hasil
penilaian, koperasi memiliki nilai 30 sampai 59; 2) koperasi mantap, jika
berdasarkan hasil penilaian memiliki nilai 60 sampai dengan 89; dan 3) koperasi
sangat mantap, jika berdasarkan hasil penilaian memiliki nilai 90 sampai 100.
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut berarti bahwa organisasi
baik organisasi pada umumnya maupun organisasi lembaga usaha seperti koperasi
bersifat dinamis, selalu megalami perubahan. Perubahan itu bisa merosot dan bisa
berkembang, tergantung pada kondisi internal dalam organisasi yaitu kemauan
individu-individu dalam organisasi untuk berinovasi mencari metode dan strategi
baru dalam mengembangkan diri dan kemampuan merespon faktor ekternal seperti
kompe-tisi, inovasi dan tuntutan masyarakat serta kebijakan-kebijakan pemerintah
yang menuntut adanya pencarian metode dan strategi kerja baru serta perencanaan
hasil-hasilnya untuk mempertahankan kehidupannya. Faktor internal dan ekternal
inilah yang menyebabkan organisasi mengalami perubahan dari taraf pembentukan,
berkembang ke taraf konsolidasi dan pengembangan (pematangan dan pemantapan).
Dikatakan masih pada 1) taraf pembentukan apabila organisasi itu memiliki basis
pelanggan yang tetap, berupaya responsif terhadap perkembangan dan tuntutan
lingkungan dan berupaya mengembangkan kewirausahaan, struktur organisasi
pelaksana dan pengontrol masih cenderung tunggal; 2) taraf konsolidasi apabila telah
60
memiliki kekuatan untuk bertahan dan berkembang, memiliki manajemen yang baik,
diversifikasi usaha dan produk serta struktur keija, dan berorientasi pada kepentingan
pelanggan; dan 3) taraf pengembangan atau pematangan dan pemantapan apabila
telah selalu beradaptasi kepada pengelolaan mutu total (diversifikasi usaha, produk,
struktur yang kompleks namun jelas kerangka kerjanya), berorientasi pada
kepentingan pelanggan, mempertahankan dinamika kewirausahannya, selalu
mengkaji ulang kegiatan yang telah dilakukan, dan secara sadar selalu mengadakan
revitalisasi.
Kopsis juga merupakan suatu organisasi, namun memiliki struktur yang agak
berbeda, dimana faktor penentu perubahan/perkembangan bukan hanya faktor
internal (SDM dalam organisasi) berkemauan dan mampu merespon faktor external,
tetapi juga faktor external pembina yaitu kemampuan dan komitmen pembina dalam
membina para siswa dalam berkoperasi. Apabila faktor-faktor ini bereaksi secara
positif maka Kopsis juga mengalami dinamika perubahan atau perkembangan dari
taraf pembentukan, ke taraf konsolidasi (pertumbuhan), dan pengembangan
(pematangan dan pemantapan). Sejalan dengan keunikan faktor yang mempengaruhi
perkembangan Kopsis, Depkop (1987/ 1988: 9-11) menggolongkan dan mencirikan
tahap perkembangan Kopsis menjadi tahap pertama sebagai tahap pembentukan.
Cirinya adalah kepengurusan organisasi dan sistem pelaksanaan kepengurusan
Kopsis masih cenderung bersifat tunggal serta belum mampu menjalankan secara
penuh kegiatan usaha Kopsis, mereka masih harus didampingi secara penuh oleh para
pembina dan guru yang ditugasi untuk itu, kemampuan dan ketrampilan sumber daya
manusianya dalam berkoperasi sangat terbatas sehingga pembinaan dengan cara
petunjuk-petunjuk langsung sangat diperlu-kan, kegiatan usaha secara keseluruhan
61
belum mampu melayani kebutuhan permintaan anggota, sistem adminstrasi masih
sangat sederhana dan para siswa berpartisipasi dalam Kopsis karena diharuskan oleh
sekolah. Tahap kedua sebagai tahap konsolidasi. Ciri-cirinya adalah sistem
organisasi, kelembagaan usaha dan manajemen usaha sudah merupakan kesatuan
kelengkapan organisasi Kopsis, dengan didampingi seperlunya oleh para guru
pembina mereka telah dapat menjalankan kegiatan usaha secara keseluruhan, sumber
daya manusianya telah memiliki dasar-dasar ketrampilan berkope-rasi dan
managerial administrasi yang cukup sehingga pembinaan dapat dilakukan secara
kolaboratif, telah ada peningkatan diversifikasi usaha sesuai dengan kebutuhan
anggota, telah ada perkembangan modal usaha secara berarti, adminstrasi usaha telah
berjalan dengan baik dan tinggal penyempurnaan, serta partisipasi para siswa
berkope-rasi telah merupakan kesadaran tetapi belum tumbuh semangat yang kuat
untuk melakukan inovasi-inovasi dalam mengembangkan dan memajukan Kopsis.
Tahap Ketiga sebagai tahap pengembangan. Ciri-cirinya adalah meningkatnya tugas
dan fungsi kepengurusan serta pelaksana dalam melaksanakan manajemen dan
kegiatan pengawasan, tenaga terampil dan pengurus telah mampu melaksanakan
pengelolaan secara professional sehingga pembina telah bisa melakukan pembinaan
secara delegatif atau secara eklektif, kegiatan usaha Kopsis telah dapat berjalan
lancar, permodalan telah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, adminstrasi
usaha dan keuangan telah dilaksnakan secara memadai sehingga mampu menunjang
kelancaran usaha, dan partisipasi para siswa telah tumbuh keinginan secara kuat
untuk mengadakan strategi-strategi baru untuk mengembangkan dan memajukan
Kopsis.
62
Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tentang perkembangan organisasi
dan keunikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kopsis tersebut maka
perkembangan Kopsis dapat digolongkan mejadi tiga tahapan perkembangan dengan
ciri-ciri sebagamana pada tabel 2.
Peningkatan taraf partisipasi siswa sampai pada taraf magical transforming
stage, peran guru dan pembina Kopsis sangat penting. Tugas mereka adalah
membelajarkan dan membina perilaku (partisipasi) siswa ke arah terjadinya
kesesuaian harapan anggota dan pengurus koperasi dalam saling memberi dan
menerima.
TABEL 2 TAHAP-TAHAP DAN CIRI-CIRI PERKEMBANGAN KOPSIS
TAHAP. PERKEM.
a s p e k " \
PERTAMA:
PEMBENTUKAN
KEDUA:
PERTUMBUHAN/ KONSOLIDASI
KETIGA:
PENGEMBANGAN (PEMATANGAN DAN
PEMANTAPAN Sistem adminstrasi
masih sangat sederhana
telah berjalan dengan baik dan tinggal penyempurnaan,
telah berjalan baik dan lengkap
Sistem Kepengurusan /perlengkapan Or-ganisasi. Kopsis dan Pengelolaan
Masih sederhana dan belum mampu me-ngelola kegiatan usaha Kopsis secara penuh. Pelaksanaan pengelolaan masih sepenuhnya tergan-tung pada petunjuk pembina. Kewirau-sahaan baru mulai ditumbuhkan. Beru-paya responsif terha-dap perkembangan tuntutan lingkungan. Struktur organisasi pelaksana dan peng-awas masih cende-rung tunggal. Me-miliki basis anggota yang tetap
Sudah merupakan kelengkapan organisasi Kopsis. Telah ada diversifikasi tugas dan fungsi kepengurusan serta pelaksana dalam melaksanakan manaje-men dan kegiatan pengawasan. Dengan bimbingan pembina mereka telah mampu mengelola kegiatan usaha Kopsis walau-pun masih perlu penyempurna-an. Mengkaji ulang kegiatan secara periodik. Mengadaptasi-kan terhadap perubahan, telah memiliki kekuatan untuk bertahan dan berkembang, diversifikasi usaha dan produk serta struktur kaja, dan berorientasi pada kepentingan pelanggan (anggota)
Telah merupakan kelengkapan organisai. Diversifikasi tugas dan fungsi kepengurusan serta pelak-sana dalam melaksanakan manaje-men dan kegiatan pengawasan semakin meningkat dan sepenuh-nya mereka telah mampu menge-lola kegiatan usaha Kopsis. Pem-bina tinggal melakukan pembina-an seperlunya. Mengkaji ulang kegiatan secara periodik, selalu meng-evaluasi kegiatan yang telah dilakukan, dan mempertahankan dinamika dan jiwa kewirausa-haan. Telah selalu beradaptasi kepada pengelolaan mutu total (diversifikasi usaha, produk, struktur yang kompleks namun jelas kerangka kerjanya), berori-entasi pada kepentingan pelang-gan, dan secara sadar selalu mengadakan revitalisasi
Kemampuan sumber daya manusia
masih terbatas telah memiliki dasar-dasar ketrampilan berkoperasi dan managerial administrasi yang cukup
tenaga terampil dan pengurus telah mampu melaksanakan pengelolaan secara professional
Cara ponbinaan
masih dilakukan secara direktif
telah dapat dilakukan secara colaboratif
telah dapat dilakukan secara delegatifatau eklektif
Pelayanan anggota/kegiatan
kegiatan usaha ma-sih terbatas, belum
telah ada peningkatan diversi-fikasi usaha sesuai dengan
telah ada diversifikasi usaha yang luas dan dapat berjalan lancar serta
TABEL 2 (Lanjutan) 63
usaha mampu melayani semua kebutuhan pokok anggota
kebutuhan pokok anggota tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan anggota
Perkembangan modal
masih relatif statis telah ada perkembangan modal usaha secara berarti (baik dari dalam maupun dari luar)
permodalan telah dapat diman-faatkan secara efektif dan efisien, adminstrasi usaha dan keuangan telah dilaksnakan secara memadai sehingga mampu menuryang kelancaran usaha
Tingkat Partisipasi
partisipasi karena diharuskan (Afogical conform-ingstage)
partisipasi secara sadar tapi belum inovatif {naSve reforming stage)
partipasi secara sadar dan telah tumbuh upaya mengadakan pembaruan dani perkembangan dan kemajuan Kopsis
Pembina dan Guru Koperasi
Gambar 5: Keterkaitan tentang kesesuaian antara harapan anggota dan koperasi, rasa manfaat koperasi, taraf partisipasi, dan perkembangan koperasi.
Kesesuaian antara keduanya akan menumbuhkan kesadaran bahwa Kopsis
mempunyai arti baginya. Manfaat Kopsis yang dirasakan oleh para siswa akan
menumbuhkan kemauan berpartisipasi dalam Kopsis. Dan pada gilirannya, semua ini
akan meningkatkan taraf perkembangan Kopsis dan sebaliknya (Lihat gambar 5).
D. TEORI PERILAKU
Tugas pembina dan pendidik koperasi adalah membina perilaku siswa untuk
meningkatkan efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis. Sebelum melakukan
64
pembina-an, pembina kiranya perlu terlebih dahulu mengetahui dari mana perilaku
itu terjadi, apa unsur-unsurnya dan bagimana unsur-unsur itu terjadi perubahan.
Pendek kata, pembina dan pendidik koperasi perlu mengetahui bagaimana proses
psikologis yang mempengaruhi manusia. Secara sederhana R.Milton (1981:21)
melukiskan proses psikologis tersebut sebagai berikut:
Environment-* •Individual •Behavior • Consequences Object Perception Thinking Favorable or Person Attitudes Dicision Unfevorable Things Values Evaluation
Motivation Communication
Gambar 6: Proses psikologis hubungan antara lingkirngan individu, tingkah laku dan konsekuensi menurut Charles R. Milton.
Sedangkan Litterer (1980); Nimpuno (1989) mengemukakan bahwa studi
tentang perilaku manusia dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu: persepsi, kognisi,
motivasi dan sikap. Keempat unsur perilaku itu saling berpengaruh seperti pada
gambar 7
Social stimulus
Cognition
perc ption Attitudes
Motivation
^Social behavior
Gambar 7: Keterkaitan antara unsur psikologis: persepsi, kognisi, sikap, motivasi dengan stimulus lingkungan dan tingkah laku.
Proses perilaku individu dipengaruhi oleh hasil belajar, persepsi, motivasi dan
sikap (Kretch,dkk., 1982: 139:140; Baron, 1986: 97-175). Sedangkan Milton, 1981:
7) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh persepsi, nilai dan
65
sikap, dan motivasi yang dimiliki. Ketiga pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh persepsi, kognisi, nilai dan sikap, dan motivasi
yang ada pada dirinya. Bila persepsi, kognisi, motivasi dan sikap individu berubah, ia
akan berubah perilakunya. Perubahan persepsi, kognisi, motivasi dan sikap akan
memberikan dampak perubahan partisipasi.
Untuk mengubah perilaku sesorang, kita harus mencoba mengubah ide-ide
yang mendasari apa yang sesorang lakukan (Cratty, 1985: 2). Hasil penelitian tentang
perilaku individu dalam bidang koperasi menunjukkan bahwa partisipasi anggota
koperasi dipengaruhi oleh pengalaman atau hasil belajar (kognisinya) (Syamsuri,
1986: 381, Senen dkk., 1992: 39; Subyantoro, 1993:189), persepsi, motivasi dan
sikapnya terhadap koperasi (Subyantoro, 1993). Selain itu partisipasi anggota terjadi
bila terdapat kesesuaian antara apa yang diharapkan anggota dari koperasi dengan
apa yang diharapkan oleh koperasi dari anggota (Ropke,1989: 106-108; Subyantoro,
1993:11). Dengan kata lain tingkat kualitas pelayanan koperasi (yang diwujudkan
dalam perilaku pengurus) terhadap anggota (siswa) akan mempengaruhi tingkat
partisipasinya. Perila-ku pengurus koperasi ikut mewarnai manfaat yang dirasakan
oleh anggota koperasi dan sekaligus mempengaruhi efektivitas partisipasi anggota
(Subyantoro, 1993:189). Demi-kian pula sebaliknya bahwa tinggi rendahnya
partisipasi anggota akan mempengaruhi tingkat manfaat yang diterima anggota
(Subyantoro, 1993:17). Perilaku pengurus koperasi berhubungan dengan hasil belajar
(kognisi), persepsi, motivasi, dan sikap yang dimiliki (Subyantoro, 1993: 189-190).
Oleh karena itu untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis, para pembina
dan guru koperasi perlu membina perilaku siswa (mencakup aspek persepsi, kognisi,
motivasi dan sikapnya) dengan menggunakan model pembelajaran dan metode
66
pembinaan tertentu, baik perilaku siswa dalam kedudukannya sebagai anggota
maupun sebagai pengurus Kopsis, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, agar
terjadi kesesuaian apa yang dimintakan anggota dari Kopsis dan apa yang dimintakan
Kopsis dari anggota.
1. Persepsi
Beberapa pengertian persepsi telah dikemukakan oleh para ahli. Persepsi
merupakan suatu proses melalui yang mana kita secara aktif menyeleksi,
mengorgani-sir, dan menginterpretasikan informasi yang dibawa oleh panca indera
kita untuk memahami dunia yang kompleks di sekitar kita (Milton, 1981:22; Baron,
1986:106). Robbins (1996:132) memberikan pengertian persepsi sebagai suatu proses
di sekitar yang mana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesan-
kesan panca inderanya untuk memberikan makna lingkungannya. Subyantoro
(1993:18) menyatakan bahwa persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif
yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang
lingkungannya. Sama halnya dengan yang diutarakan oleh Mar'at (1981: 22) bahwa
persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen
kognisi.
Inti dari pendapat-pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa persepsi adalah
suatu proses seleksi, mengorganisir dan memberikan makna oleh individu terhadap
kesan-kesan yang ada di lingkungannya. Pemaknaan kesan akan mendasari pemikiran
seseorang dalam bertindak. Makna yang diberikan seseorang terhadap suatu objek itu
dapat diketahui dari perasaan, kesan dan pendapat terhadap objek yang bersangkutan
67
Persepsi memainkan peran kunci dalam perilaku manusia. Persepsi seseorang
dapat menentukan prilakunya (Milton, 1981: 21; Stagner dan Solley, 1970:184).
Persepsi yang dilalaikan secara sadar maupun tidak, akan memberikan dampak
tertentu terhadap sikap dan perilaku orang (Willis, 1992: 50). Demikian juga
pendapat Shertzer dan Stone (1980: 120) yang mengatakan: 'Terfonnance depends
on how each person perceive, interprets, and acts on the obligations and rights of a
position." Bagaimana manusia bertindak pada umumnya merupakan suatu fungsi
bagaimana mereka menginterpretasikan lingkungan sekitarnya yang sedang
berlangsung, baik fisik maupun sosial (Baron, 1986: 106). Oleh karena itu perilaku
siswa baik sebagai anggota maupun pengurus Kopsis akan dipengaruhi oleh
persepsinya terhadap Kopsis. Dikaitkan dengan persepsi siswa tentang Kopsis
diartikan dengan pemberian makna oleh siswa apakah dengan menjadi anggota
/pengurus Kopsis itu ia merasakan ada manfaatnya. Individu dalam memberikan
makna terhadap dunia sekitarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi sesorang dalam
memberikan makna terhadap kesan yang diperoleh. Menurut Baron (1986: 108-109)
bahwa persepsi bersifat selektif dan sangat dipengaruhi oleh faktor pribadi, yang
mencakup: motif, sikap dan pengalaman masa lampau. Berbeda dengan Robbins
(1996:132-134), dia mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi persepsi
sesorang: perceiver, target dan situasi. Perciever adalah karakteristik pribadi individu
yang memberikan persepsi. Ada beberapa karakteristik pribadi yang mempengaruhi
persepsi: sikap, motif atau kebutuhan, minat, pengalaman masa lampau dan harapan.
Target adalah sasaran atau harapan yang diinginkan oleh perceiver. Situasi adalah
kondisi yang ada di sekitar lingkungan sesorang. Situasi merupakan faktor yang turut
68
berperan dalam pertumbuh-an persepsi sesorang. Persepsi sesorang akan dipengaruhi
oleh elemen-elemen yang ada di sekitar individu yang bersangkutan. Berdasarkan
perceiver, target dan situasi inilah yang mempengaruhi individu dalam
memperhatikan informasi, memperoleh kesan dan memaknai kesan-kesan yang
diperoleh. Selain ketiga faktor tersebut, karakteristik informasi juga mempengaruhi
perhatian dan kesan yang diperoleh indivdu (Baron, 1986:120). Menurut Baron ada
lima karakteristik informasi yang mempengaruhi perhatian dan kesan sesorang.
Pertama, individu akan lebih banyak menaruh perhatian pada karakteristik atau traits
orang atau objek yang telah sedang berlangsung dari pada yang bersifat temporer
semata. Kedua, informasi pertama tentang orang atau organisasi yang diperoleh
individu memiliki dampak yang kuat pada kesan sesorang dari pada yang diterima
kemudian. Ketiga, orang akan lebih memperhatikan informasi dan memperoleh kesan
tentang orang dan organisasi yang kredibel dan reliabel dari pada informasi tentang
orang dan organisasi yang kredibilitas dan reliabilitasnya diragukan. Keempat, orang
akan lebih mudah tertarik dan terkesan pada informasi negatif tentang orang atau
organisasi dari pada informasi positifnya. Dan kelima, orang akan lebih mudah
tertarik dan terkesan pada informasi-informasi tindakan dan perilaku tentang
organisasi dan orang yang ekstrem dari pada yang moderat.
Atas dasar faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi siswa tentang lingkung-
annya tersebut, maka implementasinya dalam pembinaan persepsi siswa tentang
Kopsis dapat dilakukan:
a. Dari segi perceiver: pembina dapat memberikan berbagai informasi positif
tentang: 1) tujuan, fungsi dan manfaat Kopsis, 2) kondisi koperasi, kegiatan
koperasi yang sedang, telah dan akan dilakukan, 3) perkembangan dan hasil-hasil
69
yang telah dicapai oleh Kopsis, 4) berbagai persoalan dan tantangan yang perlu
dipecahkan dalam mengembangkan koperasi, 5) program pelatihan yang
memungkinkan para siswa dapat memilih program kegiatan yang diminati untuk
mengembangkan dirinya, 6) berbagai alasan tentang mengapa sering Kopsis tidak
mampu berkembang (untuk meninggalkan kesan negatif tentang koperasi yang
diperoleh sebelumnya).
Informasi positif tentang hal-hal tersebut akan memungkinkan siswa timbul
persepsi positif terhadap Kopsisnya, terdorong untuk berpartisipasi dalam Kopsis
dalam rangka memnuhi minat, harapan dan kebutuhan peningkatan
kemampuannya.
b. Dari segi target: pembina dapat memberikan penjelasan tentang tujuan dan fungsi
koperasi serta gambaran nyata tentang berbagai keuntungan yang dapat diperoleh
dan dapat dicapai dengan berpartisipasi aktif dalam koperasi.
c. Dari segi situasi: pembina dapat memberikan gambaran tentang program-program
yang telah, sedang dan akan dilakukan; kemjauan dan perkembangan Kopsis yang
telah dicapai; pengorganisasian dan pengelolaan koperasi, keijasama antar sesama
anggota pengurus, keijasama antara anggota dan pengurus; sistem pelayanan,
pendidikan, pelatihan dan kaderisasi; dan pola pembinaan yang dilakukan.
d. Dari segi karakteristik informasi yang mempengaruhi kesan: sejak awal pembina
harus berusaha semaksimal mungkin memberikan kesan positif para siswa tentang
situasi dan kondisi, tujuan dan fungsi Kopsis, informasi khas Kopsisnya yang
menonjol atau dapat diandalkan yang selama ini telah dicapai dengan berhasil,
informasi tentang kredibilitas dan releabilitas koperasi, menetralisir kesan negatif
yang mungkin menimbulkan kesan negatif siswa terhadap Kopsis, menunjukkan
70
perilaku dan aktivitas orang atau perangkat organisasi koperasi yang telah
menunjukkan pengabdiannya, dededikasinya dan prestasinya terhadap koperasi.
2. Kognisi
Krech et. al. (1982:17) mengemukan: "Sons and things are shaped by the way
they look to him - his cognitive world. The image, or 'map\ of the world of every
person is an individual one. Pernyataan ini mengisyaratkan makna bahwa kognisi
merupakan image atau peta individu tentang dunia. Dengan istilah lain bahwa kognisi
merupakan gambaran atau pengetahuan yang ada dalam diri individu tentang dunia
sekitarnya. Berdasarkan pengertian ini yang dimaksudkan kognisi siswa adalah
pengetahuan siswa tentang Kopsis yaitu gambaran atau pengetahuan siswa tentang
hakekat, tujuan, fungsi dan mekanisme kerja tentang Kopsis.
Bloom (1956:28) mengartikan pengetahuan sebagai berikut:
"By knowledge, we mean that student can give evidence that he remembers, either by recalling or by recognizing some idea or phenomenon with which he has had experience in the educational process. It may be helpful in this case to think knowledge as something filled or stored in the mind."
Dalam pengertian ini seseorang dikatakan berpengetahuan apabila ia mampu
mengemukakan bukti bahwa ia mengingat, baik dengan "rekal" maupun "rekognisi",
beberapa ide atau fenomena dengan yang mana ia telah memiliki pengalaman sebagai
hasil proses pendidikan. Dan apa yang diingat adalah apa yang merupakan sesuatu
yang tersimpan di dalam otaknya. Pendek kata bahwa pengetahuan merupakan
sesuatu yang terisimpan di dalam otaknya. Dengan demikian orang yang berkognisi
tinggi adalah orang yang memiliki banyak pengetahuan yang tersimpan di dalam
otaknya. Kognisi yang dimiliki akan mendasari sesorang dalam bertindak. Agar para
siswa memiliki pengetahuan atau kognisi yang tinggi mereka perlu dibantu atau
71
dibina di dalam proses belajarnya. Bantuan siswa belajar akan lebih efektif apabila
mereka yang membantu mengetahuai bagaimana peserta didik itu belajar.
a. Menurut Aristoteles
Aristoles memberikan pengertian proses belajar atas dasar pemikirannya
tentang realita. Ia mendefinisikan realita sebagai "reality as the relationships found in
nature and the physical environment, and learning occurs only through contanct with
that environment." Menurutnya realita sebagai hubungan-hubungan atau asosiasi
yang ditemukan di dalam alam dan lingkungan fisik dan belajar hanya tetjadi melalui
kontak dengan lingkungan. Selain itu bahwa pengetahuan pada mulanya diperoleh
dengan membentuk kesan-kesan pengalaman panca indera.
Aplikasinya dalam usaha peningkatan kognisi siswa, pembina dapat memberi-
kan kesempatan kepada siswa untuk melihat, mengadakan kontak langsung atau
berpraktik langsung dalam kehidupan Kopsis di sekolahnya. Mereka diajak
mengamati, meneliti atau menganalisa unsur-unsur mana yang telah berjalan dengan
baik dan permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Kopsis. Setelah itu mereka
secara bersama diajak mencari alternatif pemecahannya.
b. Menurut E.L. Thorndike
Thomdike (1905:122) mengemukakan teori belajar koneksionisme. Menurut
teori ini bahwa proses belajar merupakan proses 'connecting' yaitu proses hubungan
antara stimulus dengan respon. Frekwensi respon akan ditingkatkan oleh individu
yang belajar apabila ia memperoleh reinforcement (penguatan). Tanpa penguatan,
respon akan melemah. Thorndike mengemukakan tiga pokok hukum belajar: 1) Law
of effect. kondisi peristiwa (hasil belajar) yang memuaskan (individu memperoleh
penguatan), akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan tingkah laku
72
(respon), respon akan diulang. Sedangkan kondisi hasil belajar yang mengganggu
atau tidak memuaskan individu yang belajar, akan memperlemah hubungan antara
stimulus dengan respon, resopon akan melemah atau bahakan berhenti. 2) Law of
exercise: latihan akan menyempurnakan respon. Pengulangan pengalaman akan
meningkatkan kemungkinan suatu respon yang tepat. Namun pengulangan suatu
tugas tidak mempertinggi belajar (respon) jika tidak memberikan hasil belajar yang
memuaskan. 3) Law of readiness: hasil kerja (respon) yang sempurna atau
memuaskan akan membuat individu yang belajar siap melakukan respon selanjutnya.
Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan semangat belajar siswa,
khusus-nya timbulnya kemauan siswa untuk meningkatkan kognitifnya dalam bidang
koperasi, sejak awal pembelajaran pendidik perlu a) mengusahakan penyusunan
strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang tinggi
atau memuaskan; b) memberikan feeback dan memberitahukan hasil belajar sesegera
mungkin; c) memberikan berbagai latihan-latihan untuk meningkatkan kesempurnaan
hasil belajar dan feedback secara berulang; d) mempertinggi kondisi belajar yang
memberikan kepuasan belajar, seperti pemberian penghargaan kepada mereka yang
berprestasi tinggi. Dengan cara ini siswa akan timbul kesenangan, kemauan dan
kesiapan untuk menerima pelajaran selanjutnya dan usaha untuk meningkatkan
kognitifnya sebaik mungkin.
c. Menurut B.F. Skinner
Menurut Skinner (1954) belajar adalah perubahan tingkah lalai, yakni
perubahan dalam kemungkinan memberikan suatu respon ke arah yang lebih
sempurna. Perubahan tingkah laku secara fungsional berhubungan dengan perubahan
kondisi lingkungan Perubahan lingkungan menyebabkan perubahan tingkah laku.
73
Skinner termasuk aliran stimulus respon seperti Pavlov. Namun sorotan utama
Skinner dalam proses belajar bukan respon langsung (elicited responses), tetapi apa
yang disebut dengan istilah 'instrumental responses or emitted responses'. Dalam
respon ini individu bertindak pada lingkungan untuk menghasilkan macam
konsekuensi yang berbeda, yaitu konsekuensi yang diharapkan ada di luar stimulus.
Tingkah laku-tingkah laku ini lebih populer disebut dengan istilah operant
conditioning. Thorndike dan Skinner terdapat kesamaan. Mereka berdua menekankan
pentingnya penguatan agar terjadi respon berulang. Penguatan meningkatkan
frekuensi respon dan me-nurunnya penguatan menurunkan frekuensi respon. Jika
penguat dihilangkan sama sekali secara perlahan tingkah laku akan berhenti.
Peningkatan frekuensi respon atau perubahan tingkah laku individu dapat terjadi
karena adanya penguatan yang terantisipasi olehnya. Di antara penguatan tersebut
adalah: 1) penguatan positif, situasi dimana tingkah laku individu menghasilkan
stimulus baru yang meningkatkan frekuensi tingkah laku; 2) penguatan negatif:
penarikan atau penghentian suatu stimulus yang memperkuat tingkah laku; 3)
hukuman-, memaksakan konsekuensi yang tidak diinginkan pada individu secara
teratur untuk menghentikan tingkah laku tertetntu; 4) praktik budaya atau
serangkaian praktik kehidupan sosial: berbagai kegiatan sosial yang dipertahankan
oleh kelompok akan memberikan kemungkinan membentuk tingkah laku tiap
anggota kelompok (Skinner, 1989b: 52). Suatu hal yang penting dalam operant
conditioning adalah adanya variasi tingkah laku dan seleksi, dalam arti berbagai
tingkah laku yang berbeda dilakukan, hanya sebagian dari tingkah laku-tingkah laku
yang memuaskan itu diperkuat.
74
Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan kognitif siswa dalam bidang
koperasi, sejak awal pembelajaran pendidik perlu a) mengusahakan penyusunan
strategi pembelajaran koperasi yang memungkinkan siswa mencapai hasil belajar
yang tinggi; b) memberikan feedback dan memberitahukan hasil belajar sesegera
mungkin; c) memberikan berbagai latihan-latihan untuk meningkatkan kesempurnaan
hasil belajar dan feedback secara terus-menerus; d) mempertinggi kondisi belajar
yang meningkat-kan kepuasan belajar (penguatan positif), seperti pemberian
penghargaan kepada mereka yang berprestasi tinggi; e) memberikan penguatan
negatif: mengontrol mereka yang kurang belajar sungguh-sungguh dan memberikan
petunjuk cara-cara belajar yang baik; f) memberikan hukuman kalau memang
situasinya menuntut demikian: memberikan tugas yang lebih berat kepada mereka
yang tidak mengerjakan tugas; g) menciptakan iklim keija sama antar siswa dalam
proses belajar dan menciptakan semangat dan budaya keija sama di antara personel
koperasi dalam penyelenggaran Kopsis untuk mencapai tujuan secara maksimal; h)
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami permasalahan-permasalahan
yang dihadapi dalam koperasinya dan usaha-usaha untuk memikirkan alternatif
pemecahannya. Dengan cara ini siswa akan timbul kesenangan, kemauan dan
kesiapan untuk menerima pelajaran selajutnya dan usaha untuk meningkatkan
kognitifnya sebaik mungkin.
d. Menurut RM. Gagne
Gagne menguraikan teori belajar dari segi kondisi belajar. Ia memandang
tentang belajar bukan bagaimana proses belajar itu dilakukan oleh individu tetapi ia
lebih menekakan tentang sumbangan belajar terhadap perkembangan individu. Bagi
Gagne bahwa belajar adalah suatu faktor kausal yang penting di dalam
75
perkembangan individu. Perkembangan tingkah laku berasal dari hasil kumulatif
belajar (Gagne, 1968a: 178). Ada dua karakteristik belajar yang penting bagi
perkembangan individu. Pertama, belajar merupakan generalisasi suatu variasi
informasi dari berbagai situasi. Kedua, ketrampilan kompleks hasil belajar dibangun
atas dasar pengalaman belajar yang diperoleh sebelumnya. Dengan istilah lain belajar
adalah kumulatif. Belajar berfungsi sebagai pengembangan intelektual atau
kemampuan yang mencakup ketrampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. "Intelectual
development may be conceived as the building of increasingly complex and
interesting structures of learned capabilities" (Gagne, 1968:190). Perkembangan
intelek atau pengetahuan seseorang dibangun atas dasar pembangunan struktur-
struktur yang kompleks secara terus-menerus terhadap kemampuan-kemampuan yang
dipelajari. Kemampuan-kemampuan yang dipelajari ini memberikan kontribusi
terhadap ketrampilan-ketrampilan belajar yang lebih kompleks. Sebagai hasilnya
adalah kompetensi intelektual dikembangkan secara terus-menerus. Menurut Gagne
ada lima komponen variasi belajar: informasi verbal, ketrampilan intelektual,
ketrampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Kelima komponen ini sekaligus
merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai di dalam belajar. Di dalam pencapaian
tujuan belajar terdapat dua faktor pendukukung belajar yaitu a) kondisi internal yang
mencakup: ketrampilan prerequisit dan sikap yang mempengaruhi belajar baru serta
proses kognitif individu dalam berinteraksi dengan lingkungan dengan menggunakan
berbagai cara selama belajar dilakukan, b) kondisi external, yang menurut Gagne
mengacu kepada peristiwa-peristiwa pengajaran (walau di luar peristiwa
pengajaranpun individu dapat melakuan proses belajar). Peristiwa-peristiwa
76
pengajaran yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa yang secara sengaja dirancang
untuk mempermudah atau mendukung belajar.
Untuk meyediakan peristiwa belajar yang kondusif bagi proses pencapaian
tujuan belajar individu, peristiwa-peristiwa pengajaran tersebut harus disusun
berdasarkan: aj variasi belajar atau kompenen-komponen belajar yang ingin dicapai
atau dipelajari. Tiap komponen harus disusun secara hierarkhis - dari yang sederhana
menuju ke lebih kompleks - agar jelas apa yang ingin dicapai, b) fase-fase psikologis
proses belajar individu. Ada 9 fase belajar individu: 1) attending (fase pemahaman
stimulus); 2) expectency (harapan belajar siswa); 3) retrieval of relevan information
atid/or skills to working memory (pemerolehan kembali berbagai informasi atau
ketrampilan yang pernah dipelajari sebelumnya yang sangat penting artinya bagi
penyerapan pelajaran baru; 4) selective perception of stimulus features (pengenalan
ciri-ciri stimulus fisik dan menyimpannya secara sementara di dalam working
memory agar proses pengkodean terjadi; 5) semantic encoding ( proses pemberian
makna terhadap stimulus); 6) retrieval and respondng (pemerolehan kembali kode-
kode yang baru saja dipelajari dan menggerakkannya menjadi sebuah respon); 7)
reinforcement (feedback atas pencapaian tujuan belajar untuk memastikan apakah
tujuan belajar sudah tercapai atau belum); 8) Cueing retrieval (pemerolehan petunjuk
atas apa yang dipelajari sebagai kemampuan yang dimiliki untuk dapat ditransfer
dalam berbagai situasi belajar baru yang lebih komplek); 9 generalizability
(mempertinggi transfer kedalam berbagai situasi baru). Kesembilan fase tersebut
dapat digolongkan menjdi 3 kategori. Fase 1 sampai 3 termasuk kategori persiapan
belajar (preparation for leaming), fase 4 sampai 7 termasuk kategori pemerolehan
77
dan performansi (acquisition and performance), dan fase 8 dan 9 adalah fase transfer
belajar {transfer of learning).
Di samping variasi dan fase-fase belajar siswa, di dalam perencanaan dan
proses pembelajaran, faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan oleh pendidik
adalah perbedaan, kesiapan dan motivasi individu. Hal lain yang perlu
dipertimbangkan dalam proses perencanaan peristiwa pengajaran adalah
pengembangan learming how to leran (belajar bagaimana seharusnya belajar)
ketrampilan, dan pengajaran pemecahan masalah.
Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan kognitif siswa dalam bidang
koperasi, pendidik koperasi perlu menyusun rencana pelajaran sebagai berikut:
1). Memilih tujuan-tujuan performansi yang ingin dicapai:
a) merumuskan tujuan ketrampilan-ketrampilan dalam materi koperasi yang ingin
dicapai pada akhir pelajaran.
b) menguraikan tujuan-tujuan ketrampilan dalam materi koperasi yang telah
terumuskan menjadi tujuan-tujuan ketrampilan bidang koperasi yang lebih
kecil.
c) menentukan yang mana di antara pengetahuan dan atau ketrampilan prerequisit
koperasi yang berfungsi sebagai pendukung dan yang mana yang menjadi
menjadi inti pelajaran baru.
d) memilih kata kerja yang tepat untuk merumuskan tujuan pengetahuan dan
ketrampilan-ketrampilan yang ingin dicapi.
2) Memilih peristiwa pengajaran untuk masing-masing tujuan performansi.
a) mengidentifikasi komponen variasi belajar dalam bidang koperasi untuk
masing-masing tujuan.
78
b) mengidentifikasi kemampuan siswa dalam bidang koperasi dan ciri-ciri
kelompok siswa yang akan diajar.
c) atas dasar pertimbangan (seperti dalam a dan b tersebut) guru memilih
peristiwa-peristiwa pengajaran untuk memenuhi kondisi-kondisi belajar yang
unik untuk setiap tujuan.
3) Memilih media yang sesuai untuk melakukan peristiwa pengajaran
a) mengidentifikasikan beberapa pilihan media yang dapat digunakan sebagai
sarana dalam pencapaian hasil belajar dalam aspek-aspek tertentu.
b) menghilangkan media yang kurang tepat bagi kondisi siswa (seperti umur,
tingkat kemampuan yang dimiliki).
c) memutuskan media akhir yang mana yang akan dipakai untuk mendukung
peristiwa-peristiwa pengajaran yang akan dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan belajar siswa yang telah diidentifikasi dengan mempertimbangkan
biaya, ukuran kelompok, kemudahan penerapan dan waktu yang tersedia.
4) Mengembangkan alat assesmen dan test yang mampu mengukur tingkat
pencapaian tujuan belajar yang telah dirumuskan.
e. Teori Perkembangan Kognitif J.Piaget
Menurut Piaget bahwa perkembangan intelektual sebagai hasil internalisasi
bentuk-bentuk berfikir yang lebih kompleks yang terjadi secara progressif.
Pengetahuan dikonstruksi oleh individu dengan cara kontak lingkungan secara terus-
menerus. Perkembangan ini teijadi karena adanya interaksi antara individu dengan
lingkungan. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif individu:
lingkungan fisik, kematangan, lingkungan sosial dan equilibrium (Piaget, 1977).
Lingkungan fisik dan sosial merupakan sumber pengetahuan. Namun kontak dengan
79
lingkungan tidak sepenuhnya mampu mengembangkan pengetahuan kecuali jika
intelegensi individu mampu memanfaatkan lingkungan, individu telah mencapai
kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah terjadinya kesiapan diri individu
untuk menginterpretasi atau memaknai informasi baru yang diperoleh. Kematangan
membuka kemungkinan mencapai perkembangan kognitif sedangkan
kekurangmatangan akan membatasi perkembangan kognitif. Walaupun kematangan
merupakan persyaratan penting bagi perkembangan kognitif namun tingkat
perkembangannya berbeda-beda, tergantung hakekat kontak individu dengan
lingkungan dan aktivitas individu yang bersangkutan. Perbedaan tingkat pengalaman
sosial juga mempengaruhi perkembangan struktur kognitif. Kemauan individu untuk
mengelola diri memanfaatkan lingkungan dan koreksi diri juga sangat menentukan
bagi perkembangan kognitif individu. Atas dasar pemikiran tersebut Piaget membagi
perkembangan kognitif individu ke dalam empat tingkatan: sensorimotor,
preoperational, concrete operational and formal operational. Tiap tangga
mengembangkan periode sebelumnya, merekonstruksinya ke dalam level baru,
bahkan kemudian melampau taraf perkembangan yang jauh lebih tinggi (Piaget &
Inheler, 1969:152). Individu berkembang dari satu tangga ke tangga yang lain pada
umur yang berbeda, namun perkembangan itu terjadi secara berurutan secara teratur.
Ini berarti bahwa tranfer belajar terjadi ketika individu mampu memanfaatkan
pengalaman serupa yang telah diperoleh sebelumnya sebagai dasar pengembangan
pemikiran untuk memperoleh/ mempelajari pengetahuan baru.
Informasi baru sering terjadi konflik dengan informasi yang dimiliki. Ini
dikatakan sebagai konflik kognitif. Hal ini menuntut kesiapan individu untuk
memecahkannya. Kesiapan dikatakan terjadi ketika individu merasakan adanya
80
konflik kognitif dan berusaha untuk memecahkannya. Konflik inilah yang
menyebabkan individu timbul kebutuhan untuk memecahkannya. Oleh karena itu
Piaget menerangkan bahwa konflik kognitif dan kebutuhan inilah sebagai sumber
motivasi belajar.
Aplikasinya dalam peningkatan kognitif koperasi siswa, pendidik dapat
melakukan strategi pembelajaran sebagai berikut:
1) Memilih dan menentukan pokok pelajaran koperasi yang biasanya diajarkan
secara verbal digantikan dengan cara penelitian yang dilakukan oleh siswa sendiri.
a) Aspek-aspek materi pelajaran koperasi yang mana yang dapat dilakukan
dengan cara penelitian oleh siswa.
b) Aspek-aspek materi pelajaran koperasi yang mana yang dapat diajarkan dalam
bentuk aktivitas-aktivitas pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa secara
kelompok.
c) Konsep-konsep koperasi yang mana yang harus diperkenalkan kepada para
siswa secara konkret sebelum secara verbal.
2) Memilih atau mengembagkan aktivitas kelas terhadap pokok pelajaran yang telah
teridentifikasi. Mengevaluasi aktivitas-aktivitas yang terseleksi dengan
mengguna-kan pertanyaan sebagai berikut:
a) Apakah aktivitas-aktivitas kelas itu memberikan keuntungan kepada para siswa
apabila diajarkan secara penelitian atau eksperimen?
b) Mampukah aktivitas itu merangsang siswa mengemukakan berbagai
pertanyaan?
c) Apakah dengan aktivitas itu memungkinkan siswa mengembangkan berbagai
model alasan yang rasional?
81
d) Adakah suatu masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan menggunakan
petunjuk-petunjuk yang diberikan?
e) Dapatkah aktivitas itu mampu memperkaya konstruksi pengetahuan perkopera-
sian siswa yang telah dipelajari?
3) Mengidentifikasi pertanyaan yang mampu mendukung proses pemecahan masalah
yang dilakukan oleh siswa.
a) Pertanyaan-pertanyaan follow-up apa yang mungkin dapat digunakan?
b) Perbandingan-perbandingan materi koperasi yang seperti apa yang dapat
diiden-tifikasi dan bermanfat untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyan
spontan?
4) Mengevaluasi penerapan setiap aktivitas, mencatat keberhasilan dan melakukan
revisi-revisi yang diperlukan,
a) Aktivitas yang mana yang paling membangkitkan minat dan keterlibatan siswa
dalam belajar koperasi? Adakah aktivitas-aktivitas yang dapat dimanfaatkan
pada proses belajar mendatang?
b) Adakah aspek-aspek aktivitas yang dirasakan kurang menguntungkan belajar
siswa? Adakah aktivitas-aktivitas yang kurang mampu melibatkan siswa secara
keseluruhan? Alternatif apa yang mungkin dapat diterapkan pada proses
pembelajaran selanjutnya?
c) Apakah aktivitas-aktivitas itu mampu mengembangkan strategi penyelidikan
baru atau mempertinggi strategi yang pernah dipelajari/dilakukan oleh para
siswa?
Ringkasnya, aplikasi teori Piaget ini adalah bahwa seorang guru dan atau
pembina Kopsis perlu memberikan kesempatan kepada para siswa secara maksimal
82
untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Diskusi-diskusi tentang topik-topik
koperasi di mana jawaban-jawaban dapat dikembangkan melalui interaksi kelompok
dan menuntut pertimbangan sejumlah variabel akan membantu mempertinggi
pengonstruksian atau pembangunan pengetahuan siswa tentang koperasi.
f. Teori Sosiohistoris tentang Prekembangan Psikologis Vygotsky.
Vygotsky percaya bahwa kemampuan mental manusia berkembang melalui
interaksi individu dengan dunia lingkungannya. Kemampuan manusia merupakan
produk dari interaksi sosial dan pengalaman sosial. Tingkah laku manusia dewasa
yang berbudaya modern merupakan hasil proses perkembangan mental yang berbeda-
beda. Pertama, evolusi biologis dari spesies binatang berkembang menjadi spesies
homo sapiens. Kedua: proses perkembangan historis mentransformasikan manusia
primitif menjadi manusia berbudaya. Pemikiran ini didasarkan beberapa asumsi
dasar: 1) penguasaan alam dan hubungan sosial sekitarnya menenetukan hakekat
berfikir manusia. Oleh karena itu, menurut Vigotsky, pengalaman sosiohistoris
mempengaruhi perkembangan cara-cara berfikir yang unik bagi manusia. Manusia
secara aktif beradaptasi dengan lingkungan untuk mencapai tujuannya. Melalui
adaptasi yang akti£ dengan cara berkomunikasi dan membentuk kelompok-kelompok
sosial, manusia mengembangkan kode-kode dan sistem-sitem simbol yang kompleks.
Kode-kode dan sistem-sistem simbol ini merupakan aspek utama pengalaman
manusia yang mempe-ngaruhi perkembangan kognitif. Fungsi-fungsi mental
komplek manusia, seperti logical memory dan berbefikir konseptual, direfleksikan
dalam proses pemaknaan. 2) Proses kognitif adalah dinamis dan selalu berubah.
Penciptaan dan pemanfaatan stimulus yang dinamis memberikan kontribusi kepada
proses perkembangan mental yang kompleks. Proses ini menciptakan kode-kode dan
83
simbol-simbol untuk mewakili ide. Ide menciptakan hubungan-hubungan bani antara
berbagai objek dan ide. Melalui cara ini berarti individu membentuk hubungan-
hubungan di dalam otak. Cara ini juga mengubah proses-proses psikologis dalam
mengingat dan berfikir. 3) Faktor-faktor biologis dan sosiohistoris memberikan
kontribusi perkembangan kognitif. Faktor biologis seperti kematangan mempengaruhi
perkembangan fungsi-fungsi mental primitif (perhatian tak sengaja, persepsi
sederhana, ingatan sederhana). Namun tingkat berfungsinya kognitif individu sangat
tergantung pada budaya tertentu di mana ia berada. Sistem-sistem simbol budaya dan
interaksi-interkasi anggota-anggota pemilik budaya itu merupkan faktor-faktor
penting bagi perkembangan kognitif.
Dalam meningkatkan kemampuan mental kompleks para siswa, pendekatan
pembelajaran siswa yang mendasarkan teori sosiohistoris menggunakan pendekatan
yang disebut Scaffolding. Dalam pendekatan ini, pembelajaran siswa beranjak pada
aktivitas bersama antara guru dan siswa. Kemudian guru secara perlahan-lahan
mentranfer kontrol ke pada para siswa ketika ia mulai menguasai aspek-aspek tugas
yang lebih tinggi. Pendekatan ini menempatkan guru sebagai tutor yang
memungkinkan siswa untuk memecahkan masalah yang ada diluar kemampuannya.
Scaffolding adalah suatu proses mengontrol elemen-elemen tugas yang pada awalnya
belum dikuasi oleh para siswa, siswa berkonsentrasi dan melengkapi pada elemen-
lemen tugas yang belum dikuasai dan secara perlahan-lahan (dengan bimbingan
tutor) dalam waktu dekat siswa mampu menguasai standar yang diharapkan oleh
tutor. (Wood, Bruner, and Ross, 1976: 90) Dalam situasi pengajaran, guru
membimbing anak untuk memecahkan masalah secara bersama-sama, kemudian
menggunakan ketramp i lan-ketramp i 1 an bagian yang telah dikuasai kearah
84
kemampuan pemecahan masalah secara mandiri. Konsep ini merupakan konsep
pemben-tukan dalam hal mengurangi kesalahan dan pengalaman-penglaman
kegagalan pada tahap awal belajar di samping memberikan bantuan-bantuan pokok
yang semakin lama semakin dikurangi dalam rangka mencapai kemapuan komplek si
pelajar (Greenfield, 1984: 119)
Aplikasinya dalam peningkatan kognitif siswa tentang koperasi, pendidik
dapat melakukan strategi pengajaran sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi konsep-konsep atau pokok-pokok pengetahuan koperasi yang
akan diajarkan.
a) Aspek-aspek konsep koperasi yang seperti apa yang dapat diajarkan kepada
para siswa sesuai dengan tingkat kemampuan siswa SLTA.
b) Aspek-aspek konsep koperasi yang mana yang mampu mempermudah siswa
belajar sesuai dengan tingkat kemampuan berfikirnya?
2) Menstrukturkan tugas belajar sebagai aktivitas keijasama antara guru dan siswa.
a) Seberapa tingkat pemaknaan yang difahami bersama yang dipersyaratkan untuk
memulai belajar?
b) Aspek-aspek tugas apa yang harus dimodelkan oleh guru?
c) Aspek-aspek tugas yang mana yang secara awal harus diperankan oleh guru?
d) Dalam cara-cara apa siswa harus menggunakan tanda dan symbol untuk
mengontrol tingkah laku belajarnya?
e) Apa anjuran dan feedback guru yang diperlukan para siswa untuk membantu
belajarnya?
3) Menerapkan pengajaran daftm&KJ&tpkan evaluasi.
85
a) Apakah guru telah secara perlahan-lahan meningkatkan permintaan tugas
sesuai dengan tingkat yang dikuasai oleh siswa?
b) Apakah siswa telah mampu berfungsi secara mandiri pada akhir pembelajaran
koperasi?
c) Apakah para siswa telah menggunakan cara-cara berfikir baru setelah
pembelajaran koperasi dilakukan?
d) Apakah ketrampilan siswa dapat diterapkan pada setting dan situasi yang lain?
Aplikasi peningkatan pengetahuan siswa tentang koperasi yang dilakukan di
luar kelas, para pembina dan aktivis koperasi perlu memprogramkan penyelenggara-
an tutorial koperasi. Dimana para senior dan aktivis koperasi diberikan kepercayaan
untuk memberikan tutorial atau contoh-contoh praktik menyelenggarakan koperasi
dalam segala kegiatan pelaksanaan Kopsis baik dalam bentuk training maupun
magang.
g. Teori Kognitif Sosial Albert Bandara
Di dalam belajar individu memberikan respon lebih dari pada apa yang
diamati, tidak terbatas pada aspek tertentu yang diamti, atau apa yang dimodelkan
oleh guru, pendidik, atau individu lain yang menginginkan modelnya ditim. Di dalam
belajar individu sering mengimitasi suatu kombinasi variasi dari berbagai tingkah
laku, mengabstraksi, dan menafsirkan serangkaian tingkah lalai dari berbagai
aktivitas aneka model dan akhirnya membuat keputusan tingkah laku apa dan yang
mana yang harus diambil dan dilakukan. Belajar bukan hanya terjadi secara direct
learning or instantaneous matching tetapi juga indirect learning or delayed
matching. Di dalam proses belajar, pemerolehan tingkah laku yang kompleks tidak
hanya merupakan hubungan dua arah antara individu dan lingkungan. Banyak
86
pengaruh lingkungan pada individu di antarai oleh faktor-faktor personal internal
(internal personal factors). Faktor-faktor personal internal ini, seperti pemilihan
peristiwa yang akan diamati dan cara-cara yang mana harus difahami dan diputuskan,
mengintervensi antara pengaruh lingkungan dan tingkah laku. Oleh karena itu
Bandura, (1986: 23) menyebutnya hubungan ketiga faktor tersebut sebagai a three
way interlocking relationship (behavior, personalfactor, environment). Ketiga faktor
tersebut beroperasi secara interaktif sebagai faktor diterminan antara satu dengan
yang lain. Pengertian belajar menurut Bandura (dalam Gredler, 1992:308) "Learning
is defined as the acquisition of symbolic representation in the form of verbal or visual
codes, and their functions is to serve as guidlines for future behavior." Ini berati
bahwa 1) proses belajar memerlukan pemrosesan kognitif dan berbagai ketrampilan
pembuatan keputusan pelajar, 2) belajar adalah 'a three way interlocking system'
antara lingkungan, faktor pribadi, dan tingkah laku 3) belajar menghasilkan kode-
kode verbal dan visual tentang tingkah laku yang mungkin dilakukan dan mungkin
tidak dilakukan di kemudian hari.
Menurut teori belajar kognitif sosial Bandura, ada tiga komponen belajar:
tingkah laku yang dimodelkan, konsekwensi-konsekwensi yang dimodelkan, dan
proses-proses internal pelajar.
Tingkah Laku yang Dimodelkan. Fungsi utama model tingkah laku adalah
sebagai: a) tawaran atau stimulus sosial yang memung-kinkan orang lain melakukan
tingkah laku yang serupa, b) memperkuat atau mem-perlemah pengendalian-
pengendalian dalam diri pelajar terhadap performansi tingkah laku-tingkah laku
tertentu, c) mentransmisikan pola-pola tingkah laku yang baru.
87
Ada tiga jenis model tingkah laku: live model, symbolic model, verbal
descrip-tions or instructions. Dari ketiga jenis model tingkah laku ini hanya model
yang mampu menarik perhatian pelajarlah yang mungkin dipelajari dan akhirnya
mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelajar. Model akan menarik
perhatian pelajar bila memiliki karakteristik: relevan dan memiliki kredibilitas bagi
pelajar, yakni memiliki prestis - dapat dipertahankan, memggambarkan konsensus
kelompok, menawarkan standar-standar yang dapat dipercaya untuk membimbing
timbulnya aspirasi pelajar, atau meyediakan figur-figur acuan yang realiastik bagi
pelajar (Rosenthal dan Bandura, 1978: 636).
Konsekwensi Tingkah laku. Seperti dalam teori operant condistioning, bahwa
teori kognitif sosial juga memandang penting terhadap konsekwensi tingkah laku atau
reinforcemen bagi respon pelajar. Menurut Bandara (dalam Gredler, 1992: 313) ada
tiga macam reinforcemen: 1) direct reinforcement. konsekwensi tingkah laku yang
dialami langsung. 2) Vicarious reinforcemet. tingah laku orang lain yang diamati. 3)
Sel f reinforcement: reinforcemen yang timbul karena standar pribadi.
Proses Kognitif Pelajar. Dalam teori kognitif sosial, proses kognitif
memainkan peran penting. Kemampuan pelajar untuk mengkode, menyimpan
pengalaman-penga-laman transitori dalam bentuk simbolik dan gambaran
konsekwensi yang akan teijadi dalam fikiran adalah penting bagi pemerolehan dan
pemodifikasian tingkah laku pelajar.
Ada empat komponen yang mempengaruhi belajar dan performansi, yaitu;
proses perhatian, proses retensi, proses reproduksi motorik, dan proses motivasi.
(Bandura dalam Gredler, 1992: 317). Mekanisme perhatian dan retensi mengatur
88
pemerolehan individu tentang tingkah laku yang diamati. Performansi tindakan-
tindakan ini selanjutnya diatur oleh mekanisme reproduksi dan motivasi.
Proses Perhatian. Tingkah laku-tingkah laku baru tidak akan dapat diperoleh
kecuali jika mereka diperhatikan dan difaliami secara akurat. Tingkat perhatian
pelajar dipengaruhi oleh berbagai faktor: karakteristik model, karakteristik dan nilai
fungsional tingkah laku dan karakteristik pelajar. Nilai fungsional dari model yang
diamati diperoleh melalui penguatan terhadap model. Yang termasuk karakteristik
tingkah laku adalah kompleksitas dan relevansi bagi pelajar,- Tingkah laku yang
berhasil cenderung diperhatikan dan dikode oleh pelajar. Sedangkan yang kurang
berhasil akan kurang diperhatikan oleh pelajar. Karakteristik pelajar yang
mempengaruhi perhatian pelajar adalah persepsi, ketrampilan pengamatan, semangat,
pengalaman masa lampau, dan kemampuan panca indera (Bandura, 1977b: 23).
Belajar dari model sangat tergantung pada ketrampilan pelajar dalam
memonitor dan menginterpretasi peristiwa yang sedang berlangsung.
Proses Ingatan (retensi). Proses ingatan merupakan proses yang bertanggung
jawab terhadap pengkodean tingkah laku menjadi kode-kode visual dan atau verbal,
serta penyimpanan kode-kode itu ke dalam memori. Kode-kode verbal dan visual ini
berfungsi sebagai petunjuk untuk menyatakan tindakan-tindakan pada saat diperlukan
(Bandura, 1977b:179). Proses retensi yang terpenting adalah latihan. Ada dua macam
latihan retensi: latihan mental, di mana pelajar membayangkan diri melakukan
tingkah laku yang dipelajari, dan latihan motorik, di mana pelajar melakukan
tindakan-tindakan nyata yang berfungsi sebagai bantuan nyata. Proses retensi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan pelajar. Kemapuan untuk menyajikan tingkah laku
89
dalam bentuk label-label dan menggerakkannya dalam bentuk petunjuk-petunjuk
visual dan verbal akan mempertinggi retensi.
Proses Reproduksi Motorik. Performansi tingkah laku yang diperoleh tergan-
tung pada reproduksi motorik dan proses motivasi pelajar. Yang termasuk reproduksi
motorik adalah penyeleksian dan pengorganisasian respon-respon pada tingkat
kognitif. Repropoduksi kognitif dipengaruhi oleh tingkat perkembangan pelajar.
Proses Motivasi. Proses perhatian, ingatan dan reproduksi motorik tersebut
yang berfungsi sebagai motivator adalah direct (exernal) reinforcement, vicarious
reinforcement and self reinforcement. Antisipasi reinforcement terhdap suatu tingkah
laku tertentu memotivasi performansi pelajar.
HaJcekat Belajar Kompleks. Pemerolehan ketrampilan dan kemampuan belajar
yang kompleks tergantung pada proses atensi, retensi, reproduksi motorik dan
motiva-si. Menurut Bandura (1982b) performansi tercapai apabila dipenuhi dua
persyaratan yang lain. yaitu sense ofself efficasy and learner 's self regulator system.
Sense of self efficasy adalah keyakinan bahwa sesorang dapat melakukan tingkah laku
secara berhasil menurut yang dipersyaratkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Pengeta-huan diri tentang sense of self efficasy berasal dari empat sumber informasi
(Bandura, 1986 dalam Gledler, 1992:320) yaitu pengalaman pribadi yang dicapai,
melihat orang lain yang memiliki kemampuan yang serupa mampu memerankan
secara berhasil, persuasi verbal dan kondisi psikis pelajar.
Sense of efficasy memiliki efek positif: a) usaha dalam menghadapi kesulitan
diperkuat, b) ketrampilan yang telah diperoleh diintensifkan dan diperkuat dalam
menghadapi kesulitan, c) usaha dan perhatian difokuskan pada tuntutan-tuntutan
situasi (ketiganya merupakan efek positif yang langsung berkaitan dengan tugas yang
90
dilakukan), d) membantu perkembangan diri melalui percepatan keterlibatan diri
dalam berbagai aktivitas dan pengalaman, e) mengurangi rasa stres pelajar dalam
mengahada-pi situasi yang memerlukan pengorbanan, f) tumbuh keyakinan percaya
diri untuk menggunakan ketrampilannya yang efektif, dan g) tumbuh keinginannya
untuk mencapai tujuan yang bersifat menantang, mendukung minat dan partisipasi.
Sel/ Regulatory System. System ini merupakan sistem pengembangan dan
pengelolaan diri dalam belajar. System ini mengacu kepada a) struktur kognitif yang
memberikan acuan-acuan terhadap tingkah laku dan hasil-hasilnya, b) subproses
kognitif yang mempersepsi, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku (Bandura,
1978: 348). Dalam self regulatory system, individu merumuskan standar-satandar
bagi tingkah lakunya, dan kemampuan-kemampuan pengamatan diri, pembuatan
keputusan diri dan respon diri. Proses ini terutama memungkinkan individu mampu
mengelola diri. Individu mampu mengejar aktivitas-aktivitas yang memberikan
kepuasan dan nilai diri, pada saat yang sama individu menghindarkan tingkah laku
yang bersifat menyalahkan diri.
Aplikasinya dalam peningkatan kognitif siswa tentang koperasi, para guru dan
pembina koperasi dapat menysun strategi pembelajaran dengan menganalisa secara
cermat tingkah laku yang akan dimodelkan dan persyaratan yang memproses belajar.
1) Menganalisa tingkah laku yang akan dimodelkan,
a) Apa hakekat tingkah laku yang akan dimodelkan? Apakah ini berupa teori-teori
koperasi (koseptual), apakah praktik koperasi (motorik), apakah penanaman
nilai koperasi, atau ini suatu strategi belajar?
b) Apa urutan langkah-langkah tingkah laku yang akan dimodelkan? Jika berupa
pengertian koperasi, umpamanya, apakah dimulai dengan menyajikan definisi
91
koperasi dan ciri koperasi kemudian baru membandingkan dengan pengertian
atau ciri-ciri bentuk lembaga ekonomi yang lain ataukah sebaliknya?
c) Apa pokok-pokok kritis dalam urutan itu (seperti langkah-langkah yang
mungkin sulit untuk diamati, dan langkah-langkah tindakan-tindakan alternatif
yang mungkin tidak tepat yang mana yang perlu diganti)?
2) Menentukan nilai fungsional tingkah laku dan memilih model tingkah laku.
a) Apakah tingkah laku itu mengemban prediksi keberhasilan?
b) Jika tingkahlaku itu mengemban prediksi keberhasilan yang lemah, model
potensial yang mana yang paling mungkin untuk memprediksi keberhasilan?
c) Seharusnyakah model itu live model (seperti kegiatan koperasi dan kegiatan
bentuk usaha ekonomi yang lain) atau symbolic model (berupa diagram-
diagram atau gambar-gambar kegiatan berbagai jenis usaha? Perlu dipertim-
bangkan masalah biaya, apabila kebutuhan untuk mengulangi pengalaman yang
dipergunakan lebih untuk satu kelompok, dan kesempatan atau kemungkinan
untuk membawakan/menggambarkan nilai fungsional dari tingkah laku
tersebut.
d) Penguatan apa yang dapat ditimbulkan dengan model tingkahlaku tersebut?
Apakah tingkat angka nilai, kegiatan tambahan yang prestis (jadikan ketua atau
pengurus koperasi misalnya), pujian, hadiah materi dsb.
3) Mengembangkan urutan pengajaran
a) Untuk ketrampilan motorik misalnya, mengapa menggunakan perintah lakukan
ini dan bukan lakukan itu?
b) Langkah-langkah tindakan mana dalam urutan latihan itu harus disajikan secara
perlahan-lahan dan teliti serta mana yang dapat disajikan secara biasa?
92
c) Untuk strategi belajar, kegiatan belajar yang sel/ talk atau sel/system apa harus
dimodelkan?
4) Menerapkan pengajaran untuk membimbing proses kognitif dan reproduksi
motorik.
Ketrampilan motorik: siswa:
1) Menyajikan tingkah laku yang ingin dimodelkan
2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melalaikan latihan simbolik.
3) Memberikan kesempatan siswa berpraktik dengan melakukan visual /eedback.
Tingkah laku konseptual:
1) Sajikan model dengan bantuan penjelasan!
2) Jika berupa suatu konsep atau dalil, berikan kesempatan kepada siswa untuk
meringkas berbagai tingkahlaku model!
3) Jika belajar berupa problem solving atau penerapan strategi, berikan
kesempatan kepada para siswa untuk berpartisipasi memodelkan!
4) Berikan kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan hasil belajar ke
dalam situasi-situasi yang berbeda!
Integrasi dan Aplikasi Teori-teori Belajar
Dari berbagai teori belajar tersebut dapat diambil beberapa prinsip yang dapat
diterapkan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar untuk meningkatkan kognitif
siswa. Dalam usaha meningkatkan kognitif siswa banyak hal yang perlu diperhatikan.
1) Pemberian informasi yang bersifat konseptual kepada para siswa memang perlu,
namun yang lebih baik adalah pemberian kesempatan kepadanya untuk mencari,
menganalisa, meyimpulkan dan mengembangkan sendiri dengan cara melihat dan
93
mengadakan interaksi langsung dengan lingkungan baik fisik maupun sosial-
budaya.
2) Dalam proses pembelajaran pendidik perlu memperhatikan faktor internal siswa
(kemaun, motivasi, standar-standar pribadi, latar belakang kemampuan atau
ketrampilan dan pengetahuan prerekuisit, self efficasy and sel/ system), dan
extemal siswa (peristiwa-peristiwa lingkungan atau peritiwa pengajaran).
3) Program pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi
sebagai sarana pencapaian pengembangan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan
sikap serta pencapaian variasi komponen belajar: informasi verbal, ketrampilan
intelektual, ketrampilan motorik, sikap dan strategi kognitif.
4) Program pembelajaran juga harus memperhatikan karakteristik siswa.
5) Proses pembelajaran yang dilakukan harus mampu memberikan kesempatan siswa
belajar secara langsung dan tidak langsung terhadap tingkah laku yang
dimodelkan, serta mampu mempermudah siswa untuk memperoleh gambaran
simbolik dalam bentuk-bentuk kode-kode verbal dan atau visual yang berfungsi
sebagai petunjuk belajar selanjutnya.
6) Proses pembelajaran juga harus mampu membangkitkan direct reinforcement,
vicarious reinforcement, self reinforcement, self efficasy and self system.
7) Proses pembelajaran harus mampu memebantu mempermudah proses
penangkapan stimulus, pengkodean, penyimpanan dan pemerolehan kemabali
ketika dibutuhkan.
8) Tingkah laku yang dimodelkan memenuhi karakteristik tingkah laku yaitu relevan,
dapat dipercaya oleh pelajar, variatif, memiliki nilai fungsional dan
memungkinkan belajar kompleks.
94
3. Motivasi
Siagian (1989:18) mengemukakan motivasi sebagai daya pendorong yang
mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan
kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk
menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan
menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan beibagai sasaran
organisasi. Stephen (1996:212) mengemukakan: "We define motivation as the
willingnes to exert high level of effort toward organisasional goals, conditioned by
the effort's ability to some individual need." Motivasi merupakan kemauan untuk
mempergunakan kemampuan usaha yang tinggi ke arah pencapaian tujuan organisasi,
yang dipersiapkan oleh kemampuan usaha untuk memuaskan kebutuhan individu.
Lebih ringkasnya Stephen (1996:213) motivasi sebagai proses pemuasan kebutuhan.
Litwin and Stringer (1968: 12) mengemukakan: "Each person have potential energy
to behave in a variety of ways. The way in which one behaves, however, depends on
the relative strength of his or her various motives and the opportunities presented by
the situation." Pada dasarnya setiap orang memiliki energi untuk bertingkah laku
secara berbeda-beda. Namun, cara individu bertingkah laku sangat secara relatif
tergantung pada tingkat kekuatan motif yang dimiliki dan kesempatan-kesempatan
yang diberikan oleh lingkungan.
Dari pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa motivasi merupakan
energi atau daya pendorong seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku. Seseorang
bertingkah laku karena adanya motif atau daya pendorong. Daya pendorong ini
muncul karena adanya kebutuhan atau needs. Sebagaimana Piaget (1967:5) katakan
bahwa semua tindakan baik itu berupa gerakan, fikiran maupun emosi adalah dalam
95
berusaha untuk memenuhi kebutuhan atau need. A need means some internal state
that make certain outcomes appear attractive" (Stephen, 1996: 213) Kebutuhan
merupakan kondisi internal dalam diri sesorang yang membuat akibat atau hasil-hasil
tertentu muncul atraktif. Dengan demikian kebutuhan merupakan akar motivasi.
Kebutuhan menuntut adanya pemuasan. Kebutuhan yang belum terpuaskan
menyebabkan kete-gangan. Ketegangan inilah yang menyebabkan seseorang timbul
kemauan untuk berusaha untuk memuaskan kebutuhan tersebut.
Pengertian-pengertian motivasi tersebut juga mengandung makna bahwa
kemauan usaha tersebut akan menguat apabila lingkungan dan potensi dirinya
mendukung atau memberikan peluang untuk mampu memuaskan kebutuhan.
Atas dasar uraian tersebut timbul pemikiran, apa yang meyebabkan individu
timbul rasa adanya kebutuhan? Ada beberapa faktor yang menimbulkan adanya rasa
kebutuhan antara lain adalah: akumulasi pengalaman masa lampau yang
menguntung-kan dan pengalaman orang lain yang terkenal (Milton, 1981: 61-77),
pengalaman hasil kerja yang menuaskan (Thoradike, 1913b:20, Skinner,1954), direct
reinforcement, vicarious reinforcement, sel/ reinforcement (Bandura, dalam Gredler,
1992:313)
Akumulasi pengalaman masa lampau yang menguntungkan (dan telah diuji
berkali-kali) akan menimbulkan rasa butuh dalam diri sesorang dan timbul dorongan
untuk mengulangi perbuatan itu demi pencapaian hasil yang lebih maksimal.
Pengalam-an melihat keberhasilan orang terkenal juga sering mengusik individu
timbul rasa butuh untuk meniru dan mencoba belajar lebih dalam agar mencapai
kepuasan dan hasil seperti orang yang dikagumi (vicarious reinforcement). Selain itu
96
pengalaman hasil keija yang menuaskan juga akan menimbulkan rasa puas, rasa
butuh, dan dorongan untuk mengulangi atau melanjutkan perbuatan itu.
Seseorang terdorong untuk berbuat serupa karena mungkin :a) perbuatan intu
diijinkan atau didukung oleh norma lingkungan; b) perbuatan itu menimbulkan
kebahagian, kepuasan dan kesenangan dirinya, di mana ia cenderung
mengidentifikasi kebaha-giaan dan kepuasan emosional yang dialami oleh orang
yang diamati; c) karena perbuatan itu diulang-ulang dan membawa efek positif
terhadap orang yang berbuat, pengamat mengidentifikasi bahwa bila ia berbuat
demikian ia akan mendapatkan nilai fungsional seperti orang itu. Faktor-faktor
tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya rasa kebutuhan dan
bersifat individual. Dalam arti bahwa faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang
mengusik indivdu untuk berbuat terlepas dari lingkungan kesatuannya. Ada faktor-
faktor lain yang mendorong individu terdorong untuk giat berbuat yang memiliki arti
bagi kesatuannya dan dirinya sendiri.
Individu akan memiliki motivasi tinggi apabila lingkungan mendukung dan
memberikan peluang untuk mencapai apa yang diharapakan. Ada beberapa teori yang
berkaitan dengan hal ini:
a Hygiem-Motvation Theory.
Dalam teori ini (Herberg,1968: 53-63) menyebut dua faktor yang mempenga-
ruhi motivasi kerja yaitu faktor-faktor internal (motivation factors) yang berhubungan
dengan kepuasan keija, dan faktor-faktor external (hygiene factors) yang berhubung-
an dengan ketidakpuasan ketja. Yang termasuk hygiene factors adalah kondisi
kebijakan dan admistrasi lembaga, pola pengawasan, hubungan antar pribadi, gaji,
kondisi kerja, keamanan dan status. Sedangkan yang termasuk motivation factor
97
adalah prestasi, pengakuan, macam pekerjaan, tanggung jawab, promosi,
pertumbuhan karier.
Aplikasinya. Dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi,
para pembina dan guru ekonomi (koperasi) perlu menyediakan lingkungan yang
menimbul-kan kepuasan berkoperasi dan meghilangkan ketidakpuasan berkoperasi.
Para pembina (termasuk guru koperasi) perlu memberikan kebijakan atau pengarahan
penyelenggaraan koperasi yang dapat diterima oleh para anggota koperasi, seperti
barang yang dijual terutama merupakan barang yang dibutuhkan oleh para siswa
dalam mengikuti pendidikan di sekolahnya, uang simpanan pokok dan wajib disesu-
aikan dengan tingkat kemampuan ekonomi siswa, terutama kelompok kemampuan
ekonomi tingkat menengah bawah ke bawah dari para siswa di sekolah itu.
Administrasi Kopsis harus dilakukan secara teratur tertib, pengawasan dilakukan
secara ketat sesuai dengan keputusan rapat anggota, hubungan kerjasama antara
pembina, guru, pengurus koperasi, dan para anggota harus dijalin secara harmonis,
hubungan antar personel tidak kaku, menghormati hak dan kewajiban masing-
masing, melaksanakan kewajiban dan menerima haknya masing-masing sesuai
dengan aturan main yang ada, adanya pengakuan prestasi kerja, tugas dan kewajiban
setiap anggota disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, pemberian
kesempatan untuk berkembang secara rasional terbuka. Para guru koperasi harus
memanfaatkan koperasi sebagai tempat latihan dan belajar secara sel/ talk dan atau
sel/ regulatory system untuk memperoleh hasil belajar ketrampilan dan kemampuan
tingkat kompleks.
98
b Existence-Relatedness-Growth (ERG) Theory
Alderfer (1969:142-175) dalam teorinya yang disingkat ERG theory menyata-
kan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan dasar dalam diri manusia yang harus
dipenuhi agar individu termotivasi keija: existence needs, relatedness needs and
needs of growth. Existence needs. lembaga harus menyediakan kebutuhan dasar yang
bersifat materi, yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Relatedness needs.
lembaga harus menjamin terwujudnya kebutuhan hubungan antar pribadi secara
sehat. Sedangkan needs of growth: lembaga memberikan kesempatan pertumbuhan
dan perkembangan pribadi.
Aplikasinya dalam pengembangan motivasi siswa dalam berkoperasi, Kopsis
di samping menjual kebutuhan-kebutuhan pokok (alat-alat sekolah) yang dibutuhkan
dalam mengikuti pendidikan sekolah, perlu juga menjual barang-barang (makanan)
yang sering kali sangat dibutuhkan oleh siswa di sekolah. Di samping keuntungan
non materi diharapkan Kopsis mampu memberikan keuntungan materi bagi para
anggota Kopsis. Diusahakan terjadinya hubungan dan keijasama yang baik antar
anggota Kopsis, pengurus dengan anggota, pengurus koperasi dengan pembina
Kopsis dan guru koperasi, koperasi dengan seluruh personel sekolah yang lain.
Kopsis harus ditempat-kan sesuai dengan fungsinya sebagai organisasi ekonomi
siswa, laboratorium ekonomi dan penanaman nilai-nilai demokrasi eknomi kepada
siswa sehingga mampu meningkat-kan pertumbuhan dan perkembangan ketrampilan
dan kemampuan para siswa dalam dunia usaha (khususnya berkoperasi)
c Teori Kebutuhan McClelland
McClelland (dalam Robbins, 1996: 220) memfokusku
motivasi manusia yang harus diperhatikan agar individu dalar
99
motivasi tinggi: 'needs for achievement, power and afFiliation'. Needfor achievement
adalah kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi dari pada yang dicapai sebelumnya.
McCIe-lland (1986) menerangkan bahwa orang yang berprestasi tinggi lebih suka
mengerjakan pekeijaan-pekeijaan yang memberikan kebebasan bekerja, tanggung
jawab pribadi untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah; memperoleh
feedback langsung atas hasil pekerjaannya atau performansi pekerjaannya; dan
tantangan kerja atau kesempat-an yang mengandung resiko wajar. Jadi mereka tidak
menyukai keberhasilan karena kebetulan. Need for power adalah dorongan untuk
memperoleh kekuasaan, yaitu dorongan untuk memiliki pengaruh dan mengontrol
orang lain. Kelompok orang ini menyukai adanya perubahan-perubahan, suka
berjuang untuk mencari pengaruh, lebih suka ditempatkan pada situasi-situasi yang
bersifat kompetitif dan berorietasi status serta lebih perduli terhadap pencapaian
prestise dan memperoleh pengaruh atas orang lain dari pada penampilan kerja yang
efektif. Sedangkan need for affiliation adalah kelompok orang yang lebih suka pada
pekerjaan yang membutuhkan persahabatan, kerja sama, dan keinginan melakukan
persahabatan yang melibatkan persetujuan saling memahami kebutuhan.
Aplikasinya dalam meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi pembina
dan para guru koperasi perlu menempatkan siswa sesuai dengan kebutuhan atau motif
yang ada padanya. Para siswa yang memiliki motif berprestasi tinggi perlu lebih
banyak diberikan pekerjaan dalam kegiatan koperasi ataupun tugas-tugas belajar
yang memiliki tantangan dalam mengerjakannya namun memiliki resiko wajar, yang
menuntut tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikannya, dan cepat diberikan
feedback atas hasil pekerjaannya, seperti meneliti mengapa barang-barang yang dijual
di koperasi tidak laku, mengerjakan pembukuan keuangan Kopsis, mencari barang-
100
barang yang akan di jual di Kopsis berkualitas baik tetapi berharga relatif lebih
murah dari harga di luar. Untuk para siswa yang memiliki motif berkuasa tinggi,
mereka perlu diberikan tugas yang bersifat dinamis, memungkinkan mereka
memperoleh pengaruh dan mengontrol orang lain, bersifat kompetitif dan berpristise
tinggi, seperti menjadi pengurus Kopsis, ketua kelompok dalam mengerjakan tugas-
tugas sekolah. Sedangkan mereka yang memiliki motif affiliasi tinggi, mereka perlu
diberi tugas yang membutuhkan kemampuan hubungan antar manusia yang relatif
tinggi, seperti bagian promosi, pemasaran, dan staf pengurus.
d Goal Setting Theory
Teori ini menyatakan bahwa perumusan sasaran secara spesifik dan memiliki
tingkat kesulitan yang tinggi, yang diikuti dengan feedback akan menghasilkan
perfoMnansi yang lebih tinggi. Semakin sulit sasaran yang ingin dicapai semakin
tinggi perfor^mansinya. Namun teori juga mengatakan, semakin mudah sasaran
semakin diterima. Sayangnya bila sasaran terlalu mudah akan kurang mendorong
individu menggunakan tenaganya/potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Tetapi
teori ini tetap berpegang, semakin individu menerima tugas yang berat, semakin ia
akan mengerahkan tenaganya semaksimal mungkin sampai sasaran itu tercapai.
Seseorang akan bekerja lebih baik bila ia memperoleh feedback seberapa jauh ia telah
mencapai kemajuan dalam mencapai sasaran. Hal ini disebabkan feedback membantu
individu dalam mengidentifikasi penyimpangan tehadap apa yang ia telah lakukan
dan apa yang ingin lakukan.
Aplikasinya dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi,
pembina dan para guru koperasi, perlu merumuskan sasaran yang ingin dicapai para
siswa secara jelas dan lebih spesifik serta memiliki tingkat kesulitan yang relatif
101
tinggi, sehingga ia akan memeprgunakan tenaga/kemampuan yang dimiliki semaksi-
mal mungkin. Perumusan sasaran jangan terlalu mudah, mungkin akan diabaikan atau
para siswa akan kurang menggunakan kemampuan semaksimal mungkin.
e. Equity Theory.
Teori ini lebih menekankan pada peninjauan masalah perbandingan penghar-
gaan dalam input dan output kerja individu. Individu cenderung membandingkan
input dan hasil kerja mereka dengan input dan ouput orang lain, dan kemudian
individu merespon masalah ini untuk memerangi ketidakadilan. Teori ini mengakui
bahwa individu tidak hanya perduli terhadap jumlah penghargaan yang absolut atas
usaha mereka tetapi juga hubungan jumlah penghargaan itu dengan apa yang orang
lain terima.
Apliaksinya dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi,
para pembina dan pendidik koperasi perlu memberikan penghargaan atas hasil kerja
individu yang sesuai dengan tingkat kemampuan yang dikeluarkan (berbuat adil).
Ketidakadilan pemberian penghargaan, akan memperlemah motivasi kerja dalam
menyelesaikan tugas.
f. Expectancy Theory
Teori ini menegaskan bahwa tingkat kecenderungan bertindak pada suatu cara
tertentu tergantung pada tingkat harapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu
hasil yang diberikan dan daya tarik hasil itu pada individu. Teori ini menegaskan juga
bahwa dalam usaha meningkatkan motivasi kerja jangan sampai melupakan
pertimbangan tentang kemampuan individu dan kesempatan yang diberikan oleh
lembaga.
102
Aplikasinya, dalam usaha meningkatkan motivasi siswa berpartisipasi dalam
Kopsis, para pembina dan pendidik koperasi perlu memberikan gambaran
keuntungan (materi maupun nonmateri) yang akan diperoleh bila ia aktif
berpartisipasi dalam Kopsis. Namun suatu hal yang perlu diperhatikan, bahwa
pembina dan pendidik koperasi perlu komit untuk memberikan kesempatan kepada
para siswa untuk mencapai keinginan/ sasaran yang diinginkan.
4. Sikap
Menurut Robbins (1991:124; 1996:180) bahwa sikap adalah pernyataan
evaluasi tentang sesuatu objek, orang atau peristiwa yang dinyatakan dengan
perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sedangkan pengertian sikap
menurut Kretch et.al (1982: 139) merupakan suatu sistem yang sedang berlangsung
yang terdiri dari kognitif, perasaan dan kecenderungan bertindak yang teroganisir
pada objek dunia sekitarnya - sistem ini bersifat evaluatif secara positif atau negatif,
perasaan-perasaan emosional, kecenderungan-kecenderungan bertindak pro dan
kontra terhadap objek sikap. Krech, et al, (1982:140) mengemukan tentang
komponen-komponen sikap:
"The Components of attitudes: The cognitive component of an attitude consists of the beliefs of individual about the object....The feeling component of an attitude refers to the emotions connected with the object....The action tendency component of an attitude includes all the behavior readiness associated with attitude"
Sikap mengandung tiga komponen: a. komponen sikap kognitif yaitu yang terdiri dari
keyakinan-keyakinan evaluatif individu terhadap objek sikap. b. Komponen sikap pe-
rasaan yaitu komponen sikap yang berkenaan dengan emosi-emosi yang berhubungan
dengan objek. c. komponen sikap kecenderungan bertindak, yang termasuk
103
komponen ini adalah semua kesiapan tingkah laku yang berhubungan dengan sikap.
Jadi sikap akan mencerminkan keyakinan-keyakinan, perasaan-perasaan dan
kecenderungan bertindak sesorang terhadap sesuatu objek sebagai hasil evaluasinya.
Ketiga komponen itu tidak berdiri sendiri sendiri tetapi saling pengaruh
mempengaruhi Kognisi seseorang tentang suatu objek sangat dipengaruhi oleh
perasaannya dan kecenderungan-kecenderungan bertindak ke arah objek itu.
Perubahan kognisi seseoramg pada suatu objek akan cenderung menghasilkan
perubahan-perubahan dalam perasaan dan kecenderungan bertindak ke arah objek itu.
(Kretch, etat., 1982: 139-140)
Sikap seseorang terhadap sesuatu objek tidak begitu saja terjadi. Menurut
Krech, et al. (1982) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap: a.
"Attitudes develop i n the process of want satisfaction"(p. 181). Sikap berkembang
dalam proses pemuasan keinginan. Mengapa dalam diri sesorang muncul sikap
tertentu terhadap suatu objek hal ini karena ingin memperoleh kepuasan, b. "The
attitudes of individual are shaped by the information to which he is exposed" (p.
186). Sikap seseorang dibentuk oleh informasi yang diterima. Baik-buruknya atau
valid-tidaknya informasi yang seseorang terima akan mempengaruhi sikapnya, c. The
group affiliations of the individual help determine the formation of his attitudes
(hal. 191). Affiliasi-afiliasi individu dalam sesuatu kelompok akan mempengaruhi
sikapnya. Masuknya individu dalam suatu kelompok membawa konsekuensi ia harus
belajar tentang keyakinan, norma dan nilai yang berlaku dalam kelompok dimana ia
menjadi bagian dari kelompok itu. Di sini ia memperoleh informasi yang akan
mempengaruhi pandangannya terhadap suatu objek tertentu. Di samping itu agar
dapat diterima oleh kelompok ia harus ikut mempertahankan keyakinan, norma dan
104
nilai yang berlaku dalam kelompok itu. Dengan demikian ia telah berubah sikapnya,
baik itu perubahan itu secara congruent maupun incongruent. Pada saat yang sama
individu tersebut juga membawa informasi, keyakinan, norma dan nilai ke dalam
kelompok baru. Semua yang dibawa olehnya akan ikut mewarnai pengetahuan,
perasaan dan kecenderungan anggota kelompok yang lain. Pendek kata akan
mempengaruhi sikap anggota kelompok yang lain.
Ini berarti sikap individu terhadap suatu objek banyak dipengaruhi oleh
keinginan, informasi yang diterima dan kelompok di mana seseorang berafiliasi. Ia
akan bersikap positif terhadap objek yang dapat memuaskan keinginannya dan
bersikap negatif atau kurang menyenangkan terhadap objek yang menghalangi
keinginannya.
Informasi tentang suatu objek yang diterima mempengaruhi sikap individu
terhadap suatu objek. Namun, apakah informasi akan mengubah sikap sangat tergan-
tung pada hakekat sistuasi komunikasi, karakteristik komunikator, media komunikasi,
bentuk dan isi pesan (Kretch, et.al., 1982: 246). Ia juga menjelaskan bahwa pemberi-
an informasi secara kelompok dalam satu tempat lebih effektif dari pada yang
pendengarnya berpisafvpisah tempat jika mayoritas kelompok mendukung posisi
komunikator, cara ini kurang effektif jika mayoritas menolak. Metode keputusan
kelompok lebih effektif daripada metode ceramah dalam pembentukan sikap.
Agar efektif dalam pemberian iformasi untuk mengubah sikap, pemberi
informasi adalah orang yang dapat dipercaya dan attraktif. Penyampaian pesan dari
mulut ke mulut lebih effektif dari pada penyampaian pesan lewat m a ^ f f ^ ^ ^ W
mass-media memainkan peran penting dalam proses pengaruh s/s^tjcfan p^baf&yV>\ jl -V'? - ^ \
sosial bersamaan pemuka masyarakat memberikan pengaruh dap muluHte mulut di
105
masyarkat. Isi informasi akan mempunyai makna dalam perubahan sikap individu
bila isi pesan tersebut memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi individu dari
pada yang dimiliki sekarang.
Sedangkan keefektifan affiliasi kelompok baru dalam pembentukan sikap
sangat tergantung pada hakekat norma kelompok, pengendalian kelompok dan
keefektifan monitoring (Kretch, et al., 1982:247). Apabila norma kelompok diterima
oleh mayoritas anggota, maka norma ini akan dapat dipakai sebagai sarana untuk
mengubah sikap anggota dan sebaliknya. Kohesifan dan daya tarik kelompok akan
merupakan sumber kekuatan kelompok untuk mempengaruhi anggotanya.
Monitoring kelompok atas penyimpangan-penyimpangan anggota secara rutin, adil
dan bijak akan mampu mengendalikan dan mengembangkan sikap positif anggota
terhadap kelompok.
Keinginan, informasi dan afiliasi individu pada suatu kelompok merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap.Yang menjadi masalah adalah
bagaimana cara merubah sikap individu. Menurut Milton, (1981: 33) ada tiga cara
untuk mengubah sikap: mengubah tingkah laku, mengubah kognisi, dan mengubah
perasaan. Untuk mengubah tingkah laku, seseorang dapat melakukan pendekatan
mengubah sikap-sikap yang tidak diinginkan dengan tingkah laku yang
menyertainya, seperti diadakan pendisiplinan kegiatan. Untuk memodifikasi kognitif
dapat dilakukan dengan mengubah ide dan keyakinan. Sikap yang tidak diinginkan
biasanya muncul sebagai akibat kurangnya informasi atau salah informasi. Oleh
karena itu pengubahan ide dan keyakinan ini dapat dilakukan dengan cara
menggantikan informasi yang mendasari ide atau keyakinan yang selama ini
dipertimbangkan salah. Bagi mereka yang bersikap yang tidak diinginkan karena
106
kurangnya informasi maka untuk mengubah sikapnya dapat dilakukan dengan
memberikan informasi dan fakta-fakta tambahan. Sedangkan mereka yang memiliki
sikap perasaan yang tidak diinginkan dapat dilakukan pengubahan dengan cara
mendengarkan secara baik apa yang menjadi keluhannya dan diadakan negosiasi.
Aplikasinya dalam usaha menumbuhkan sikap positif siswa terhadap Kopsis,
pembina dan pendidik koperasi perlu (a) memberikan informasi bahwa setiap anggota
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keuntungan materi maupun non
materi atas dasar aturan-aturan yang berlaku, (b) memberikan pendidikan dan latihan
secara terus-menerus sehingga para siswa memahami secara dalam tentang tujuan,
fungsi, hakekat, mekanisme Kopsis, dan hak dan kewajiban masing-masing personil
Kopsis; (c) selalu memberikan informasi tentang kondisi dan situasi penyelenggaraan
koperasinya, perkembangan dan keberhasilan yang dicapai Kopsis, termasuk
keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh pengurus, komitmen tim pengawas
dalam melaksanakan tugasnya dan komitmen personel koperasi lainnya dalam
melaksanakan kewajibannya; (d) memberikan kesempatan secara terbuka untuk
melihat secara dekat penyelenggaraan koperasinya, sehingga setiap anggota akan
memperoleh informasi secara nyata apa yang terjadi di koperasinya dan tidak terjadi
salah informasi; (e) memberikan penghargaan secara khusus kepada mereka yang
telah berjasa pada koperasi; (f) memonitor dan mendisiplinkan mereka yang memiliki
kecenderungan bertindak yang tidak diinginkan; (h) mendengarkan keluhan dan
menegosiasi kepada mereka yang memiliki sikap perasaan yang tidak diinginkan; (i)
selalu meningkatkan kehosifan oganisasi kerja dan daya tarik Kopsis; (j)
mengusahakan semua kegiatan dan pelaksanaan Kopsis selalu didasarkan hasil rapat
anggota; (k) pemberian pendidikan dan latihan dalam bentuk training kelompok yang
107
dilakukan oleh para trcdner yang atraktif, dapat dipercaya dan diterima peserta
training.
E. TEORI PENDIDIKAN
Pandangan tentang apa pendidikan atau pembinaan, bagaimna proses peserta
didik itu belajar dan bagaimana ia memberikan makna belajar sangat mempengaruhi
pola pemikiran bagaimana sesorang seharusnya membina, mendidik atau mengajar
individu. Secara umum para ahli didik memberikan makna belajar sebagai proses
perubahan perilaku dan pendidikan sebagai proses merubahnya. Namun masing-
masing tokoh pendidikan memberikan tekanan konsep yang berbeda-beda tentang
bagaimana proses terjadinya dan apa fungsi pendidikan itu. Pendidik mengemban
tanggung jawab untuk mengambil khasanah dari berbagai konsep pendidikan yang
telah dikemukakan oleh para ahli untuk diramu dan diterapkan sesuai dengan kondisi
di lapangan.
Dalam proses pendidikan, seharusnya pendidik jangan hanya mentransmisi-
kan fakta, konsep dan teori kepada para siswa. Ia juga harus memberikan kesempatan
siswa untuk merenungkan, menyadari dan menangkap masalah-masalah yang teijadi
di lingkungan kehidupannya dan selanjutnya melakukan aktivitas-aktivitas nyata
yang berupa pemecahan-pemecahan masalah yang ada di sekitarnya.
Psikologi humanistik, sebagai pangkal pemikiran model pembelajaran inter-
aksionis, berpandangan bahwa: "man, a social being who fiilfil his potential only in
interdependency with his feilow man and the viable context of a human community"
(Lapp et al., 1975: 195). Manusia hanya mampu memenuhi potensinya dalam saling
ketergantungannya dengan masusia yang lain dan dalam kontek masyarakat manusia.
108
Dalam konsep ini belajar adalah proses interaksi antara guru dengan siswa, antara
siswa dengan isinya, antara siswa dengan lingkungannya, antara pemikiran dan
kehidupannya. Belajar lebih daripada hanya pengumpulan fakta. Belajar adalah
memahami dan mengahyati fakta, melihat fakta yang diinterpretasikan ke dalam ke-
seluruhan konteks kehidupan. Manusia hanya akan mampu menyusun
pertumbuhannya, perkembangan kepribadiannya, pembentukan konsep dirinya,
pendidikannya dan berbagai unsur penting yang lain dalam pembentukan
kemanusiannya dalam kontek/ hubungannya dengan manusia-manusia lain di dalam
masyaraktanya. Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep social progresivism
dari John Dewey.
Dewey (1916) mengemukan bahwa pendidikan memiliki fungsi konservatif
dan konstruktif. Pada satu sisi bahwa pendidikan memiliki fungsi penanaman dalam
hal sekolah seharusnya mentransmisikan mores atau adat istiadat dan budaya yang
ada di masyarakatnya. Pada sisi lain ia memandang pendidikan sebagai proses
dinamik yang dapat membantu siswa berpartisipasi dalam proses demokratis. Lebih
tegasnya Dewey (1916) mengklaim bahwa sekolah mempunyai 3 fungsi yaitu
simplifikasi, purifikasi dan balansi warisan budaya. Simplifikasi berarti bahwa
sekolah mengidentifikasikan elemen-elemen kunci budaya yang seharusnya siswa
pelajari. Purifikasi berarti bahwa sekolah seharusnya menekankan elemen-elemen
kunci budaya yang dapat mempermudah pertumbuhan dan perkembangan positif dan
mengiliminasi yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Balansi
mengacu kepada pengintegrasian berbagai aspek pengalaman kedalam keseluruhan
kehidupan yang harmonis. Dengan ketiga fungsi tersebut diharapkan menjadi acuan
109
para pendidik dalam melaksanakan pendidikan agar dapat mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkan.
Menurut Dewey (1916), tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, yakni
berkem-bangnya fungsi diri baik sebagai makhluk individu maupun sosial,
tumbuhnya peng-alaman sebagai refleksi untuk memahami lingkungannya dan
kemampuan merekon-struksi lingkungannya. Pertumbuhan melibatkan rekonstruksi
pengalaman dan pengetahuan yang membantu penyaringan dan pengontrolan peng-
alaman masa depan. Peng-alaman pendidikan yang dimaksud adalah pengalaman-
pengalaman yang diperoleh dari hasil pemahaman permasalahan lingkungan yang
memiliki kemampuan untuk memper-mudah pertumbuhan kemampuan subjek belajar
untuk merekonstruksi lingkungannya. Pengalaman positif mempermudah
pertumbuhan sedangkan pengalaman negatif akan menghambatnya. Pengalaman
yang disadari anak sangat penting artinya bagi dirinya. Oleh karenanya Dewey
mengemukakan pentingnya suatu proses belajar berdasarkan pengalaman yang dalam
konsepnya ia nyatakan dengan istilah learning by doing.
Dalam proses pendidikan, pengalaman anak merupakan pangkal utama
berpijak bagi teijadinya perkembangan anak. Suatu konsep (informasi) yang
diberikan kepada anak mungkin sekali dapat dengan mudah diterima dan diingat oleh
anak Namun ini belum bermkna bagi anak selama belum menjadi kesadaran dalam
diri anak. Pendidik harus mampu membuat anak sadar terhadap informasi, konsep
atau persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya sebagai sesuatu yang menarik
perhatian dan penting baginya untuk dipelajari dan dipecahkan atau direkonstruksi.
Pendidikan yang sebenarnya harus berpusat pada anak dan pengalaman yang sedang
disadarinya. Setiap memperoleh pengalaman baru, individu membentuk mental
110
picture dimana ia mengorganisir semua data tentang pengalaman kehidupannya.
Namun pengalaman baru yang terorganisir tersebut belum memiliki arti sebelum
subjek belajar merekonstruksi berbagai pengalaman baru tersebut dengan organisasi
mentalnya sehingga membentuk konsep baru yang bermakna baginya. Ini berarti
setelah individu memperoleh arti atas apa yang dipelajari, ia memodifikasi
pengalaman sebelumnya, ia telah belajar sesuatu yang baru, atau pengalaman telah
mendidiknya. Sekali individu telah memahami pengalaman baru dengan penuh
kesadaran, ia juga telah memperoleh kontrol masa depannya. Ia tahu bagaimana
merespon dan mempergunakannya .
Di dalam proses pendidikan Dewey menekankan pendidikan yang berpusat
pada anak dan pengalaman yang disadarinya. Namun demikian ia tidak
menginginkan pendidik terlalu mengikuti apa yang anak sedang sadari atau menjadi
minatnya. Anak memiliki minat atau kebutuhan riil yang harus dipenuhi - termasuk
kebutuhan yang belum disadari. Pendidik memiliki tanggung jawab untuk
memperhatikan minat anak, dan membimbing serta mengarahkan ke arah sesuatu
yang belum menjadi kesadaranya/ minatnya ke dalam kesadarnnya/minatnya. (Lapp,
1975:150-151). Pelaksanaannya dapat dilalaikan dengan menunjukkan pentingnya
konsep, informasi, persoalan yang ada di sekitarnya sebagai sesuatu yang perlu
difahami, dicari alternatif pemecahannya dan direkonstruksi sehingga bermakna bagi
dirinya dan kehidupan masyarakatnya.
Tujuan pendidikan progresif adalah pembentukan manusia 'sosial-individu',
oleh karena itu pendekatan pendidikan yang Dewey anjurkan adalah pendekatan yang
mampu mengembangkan manusia sebagai makhluk individu dan sosial - mampu
merekonstruksi informasi, konsep, teori yang telah dimiliki dan baru saja diterima
111
serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi menjadi konsep mental yang baru di
dalam memahami lingkungannya, yakni dengan menggunakan metode ilmiah yang
dilakukan secara kolaboratif. Metode ini biasa disebut metode problem solving.
Sejalan dengan konsep pendidikan Dewey tersebut adalah konsep pendidikan
yang dikemukakan oleh Friere (1972:1-48). Dia mengemukakan bahwa pencapaian
tujuan pendidikan harus sampai pada taraf kemampuan transformasi. Subjek didik
tidak hanya sampai pada taraf mampu mengungkap realitas, tahu ada masalah dan
menyadari adanya masalah, tetapi sampai pada taraf tumbuh kemampuan untuk
menganalisa masalah, menjadi partisipan aktif dalam menemukan alternatif
pemecahan masalah dan menyelesaikan masalah yang dihadapi secara bersama.
Untuk mencapai tujuan tersebut Freire menggunakan metode pendidikan hadap
masalah atau problem solving. Hal ini sejalan dengan keyakinannya bahwa
pendidikan yang hanya memberikan kesempatan kepada subjek didik sebagai
pengumpul dan penyimpan informasi (pendidikan gaya bank), akhirnya bukan subjek
didik sebagai penyimpannya tetapi dialah yang akhirnya tersimpan. Persoalannya
adalah karena keterbatasan subjek didik akan daya cipta, daya ubah dan pengetahuan
realitas lingkungannya. Tanpa usaha mencari, tanpa refleksi dan tindakan, manusia
tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Pengetahuan hanya lahir melalui usaha
penemuan dan penemuan ulang, mencari penemuan manusia yang gelisah, tidak
sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia bersama orang lain (Freire, 1972:
50-51). Atas dasar keyakinannya tersebut Freire (1972: 71-123) mengemukan prinsip
proses pendidikan secara dialogis dengan 3 langkah kegiatan: membiarkan subjek
didik menginventarisir masalah yang dihadapi, menganalisa sebab-akibat terjadinya
112
masalah dan menganjurkan subjek didik secara bersama-sama bertindak memecahkan
masalah tersebut.
Atas dasar konsep-konsep pendidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa
proses pendidikan harus dilakukan sebagai berikut:
1. Manusia hanya akan mampu mengembangkan potensinya dalam saling ketergan-
tungannya dengan manusia lain dan lingkungannya.
2. Pendidikan harus berfungsi sebagai konservasi dan rekonstruksi budaya, sehingga
mampu memacu pertumbuhan rekonstruksi konsep mental. Pendidikan bukan
hanya pemberian pengetahuan yang konseptual tetapi harus praktikal dalam arti
memahami dan memecahkan masalah lingkungannya secara langsung.
3 Proses pendidikan harus bersifat interaktif antar subjek didik, antara subjek didik
dengan pendidik, subjek didik dengan lingkungannya, antara pemikirannya
dengan lingkungannya. Proses pendidikan harus berdasarkan kondisi psikis dan
sosial subjek didik, yaitu minat dan sesuatu yang sedang menjadi kesadarannya
serta warisan budaya sekitarnya. Pendidik bertanggung jawab untuk membuat
sesuatu yang akan dipelajari menjadi menarik subjek didik. Di dalam belajar
subjek didik harus interaktif dan aktif bertindak secara kolaboratif.
4. Proses pendidikan diharapkan mampu membantu memudahkan subjek didik
memperoleh pengalaman yang bermakna bagi subjek didik dalam hidup di
masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini pendidikan tidak hanya memebrikan
pengetahuan konseptual tetapi juga harus membuat subjek didik aktif mencari,
menganalisa, dan memecahkan masalah yang ada disekitarnya (termasuk aktif
bertindak melakukan tindakan-tindakan baru atas dasar temuannya).
113
5. Program pendidikan hendaknya disusun sebagai satu kesatuan antara pendidikan
dalam kelas dengan program pendidikan di luar kelas.
Atas dasar konsep-konsep tersebut, aplikasinya dalam pendidikan koperasi di
sekolah, khususnya tentang peningkatan efektivitas partisipasi siswa dalam
berkoperasi, guru koperasi seharusnya tidak hanya memberikan pengetahuan
konseptual tentang koperasi tetapi harus memberikan kesempatan kepada para siswa
(atas dasar pengetahuan konseptual yang dimiliki) untuk aktif mencari dan
mengidentifikasi persoalan yang ada di Kopsisnya, menganalisa sebab akibat
persoalan secara sistemik, brainslorming alternatif pemecahan persoalan yang ada,
dan secara bersama-sama merencanakan secara demokratis untuk menerapkan solusi-
solusi yang diperoleh. Sedangkan pelaksanaan pembinaan perilaku siswa dalam
berkoperasi yang tidak langsung berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas, di
samping para siswa diberikan berbagai penjelasan dan penataran atau training
tentang perkoperasian dan koperasi yang ada di sekolahnya, mereka juga diberi
kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan koperasi,
khsususnya kegiatan inventarisasi permasalahan yang dihadapi, analisa persoalan
secara sistemik, pemikiran alternatif pemecahan masalah, dan pelaksanaan program
pemecahan masalah. (Aschuler, 1980: 43 - 114) Untuk mencapai tujuan tersebut
program pembinaan partisipasi siswa dalam berkoperasi tidak hanya berupa program
pembinaan yang langsung berkenaan dengan pembinaan kegiatan/ penyelenggaraan
Kopsis tetapi mencakup program pembinaan dalam kelas atau program pembelajaran.
Kedua program tersebut harus berjalan sebagai satu kesatuan yang saling mendukung
pencapaian tujuan peningkatan partisipasi siswa dalam koperasi atau siswa dalam
berkoperasi.
114
F. MODEL PEMBELAJARAN KOPERASI
Berdasarkan uraian di atas, bahwa proses pembelajaran (koperasi) menuntut
suatu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk
memperoleh pengalaman yang berupa teori dan prkatek sebagai satu kesatuan baik di
dalam maupun di luar kelas, belajar dalam proses mencari, menghayati, memilih,
menentukan, melakukan dan mengmbil keputusan sendiri terhadap apa yang sedang
dipelajari. Dengan istilah lain proses pembelajaran koperasi menuntut adanya model
pembelajaran yang melibatkan azas-azas didaktik atau azas-azas pembelajaran
sebanyak mungkin. Azas-azas pembelajaran itu antara lain: motivasi, minat dan
perhatian, apersepsi, korelasi, integrasi, individualisasi, peragaan, penilaian,
sosialisasi, belajar alam sekitar, belajar kesinambungan, aktivitas, belajar sambil
bekerja, penemuan, pemecahan masalah, kontektual dan azas kegunaan. Samana
(1992: 95) mengatakan bahwa model pembelajaran yang baik adalah yang dapat
menerapkan azas-azas didaktik secara tepat (semakin banyak azas didaktik yang
diterapkan secara tepat pembelajaran tersebut semakin baik).
Menurut Cole dan Chan (1994:2-6) model pembelajaran itu memiliki unsur-
unsur secara hierarkhis. Pada tingkatan tertinggi atau tingkatan pemikiran yang
paling abstrak atau paling teoritis, unsur itu disebut model, dan pada tingkatan yang
paling rendah atau operasional, unsur itu disebut strategi, prosedur dan teknik.
Menurut Cole dan Loma (1994:4) model pembelajaran merupakan serangkaian ide-
ide atau proposisi-proposisi dari suatu pemikiran yang abstrak yang dapat digunakan
untuk membimbing memilih prinsip-prinsip, metode-metode, dan mengambil
keputusan praktis. Model mencakup di dalamnya gambaran prinsip-prinsip, metode,
strategi, prosedur dan teknik yang dapat dilakukan. Menurut Reigluth (1983: 21)
115
model pembelajaran merupakan serangkaian komponen strategi yang terpadu, seperti
dalam pengurutan bahan ajar, penggunaan ikhtisar dan ringkasan, penggunaan
contoh, pelaksanaan praktik, penerapan strategi yang berbeda-beda dalam
memotivasi siswa. Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan
oleh pendidik atau tutor yang bertujuan untuk membantu dan membina atau
memepermudah proses belajar subjek belajar atau siswa. Koperasi yang dimaksudkan
dalam penelitian ini mencakup dua penegrtian: 1. koperasi dalam arti bagian mata
pelajaran ekonomi yang membicarakan tentang dunia usaha dalam bentuk keija sama
ekonomi yang mementingkan kepentingan anggota, dan 2 koperasi dalam arti Kopsis
yang berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa, lab ekonomi dan lab pembinaan
kepribadian siswa, termasuk dalam pengembangan dan penanaman langsung nilai-
nilai kehidupan ekonomi yang bersifat demokratis (Ditjen Dikdasmen, 1991).
Berdasarkan fungsi Kopsis tersebut mengisyaratkan bahwa dalam membelajarkan
koperasi untuk meningkatkan partisipasi para siswa dalam Kopsis, para guru dan
pembina Kopsis hendaknya memandang pembelajaran koperasi dalam kelas dan di
luar kelas sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu model pembelajaran koperasi
adalah serangkaian ide-ide atau proposisi pemikiran yang bersifat abstrak yang dapat
digunakan untuk membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi,
prosedur dan teknik, pengurutan bahan ajar, penggunaan contoh, pelaksanaan
praktik, pemberian tugas, dan pengambilan keputusan tentang berbagai aktivitas
yang perlu dilakukan pendidik atau tutor dalam membantu dan membina atau
mempermudah proses belajar subjek belajar dalam bidang perkoperasian, baik belajar
koperasi yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Dengan kata lain, dalam
proses pembelajaran koperasi menuntut digunakannya model pembelajaran yang
116
menuntut siswa belajar secara aktif melalui pemerolehan pengetahuan secara
konseptual dan pengalaman yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata.
Dengan pengertian tersebut model pembelajaran koperasi yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran koperasi yang terpadu antara belajar
koperasi di dalam dan di luar kelas. Model ini serupa dengan pendidikan sistem
ganda (PSG) atau dual sistem,. Menurut Wolf, (1992: 30) model ini merupaka: "/wo
places of learning of equal values and of the same Standard are kombined together to
form a systemPengertian ini menggambarkan bahwa pembelajaran dan pembinaan
terpadu ini merupakan suatu sistem pembelajaran dan pembinaan yang
menggabungkan dua tempat belajar yang memiliki nilai dan standar yang sama.
Selanjutnya Schipers dan Patriana (1994:40-42) dan Pakpahan (1995:5) menyatakan
bahwa sistem ganda merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang
perencanaan dan pelaksanaannya diwujudkan melalui kemitraan antara dunia kerja
dengan sekolah, dan penyelenggaraan pendidikannya dilaksanakan sebagaian di
sekolah (kelas) dan sebagian lagi di dunia usaha (luar kelas). Sedangkan Idler et al.
(1995:28) memberikan pengertian sistem ganda sebagai "Vocational and technical
training under such a patnership between training insitut and interprises of formal
and informal sector". Pandangan ini menekankan adanya pasangan kerjasama dalam
pendidikan antara sekolah dengan sektor formal dan informal.
Berdasarkan berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya model pendidkan secara terpadu atau sistem ganda tersebut meupakan
sistem penyelenggaraan pendidikan yang mengintegrasikan program pendidikan di
sekolah (secara konseptual dalam kelas) dengan program penguasaan keahlian di
117
dunia usaha (luar kelas). Dalam sistem ini mereka bersama-sama bertanggung jawab
atas penyelenggaraan pendidikan mulai perencanaan sampai evaluasi.
Dalam penyelenggaraan pendidikan siswa dalam berkoperasi, pelaksanaan
pendidikan secara terpadu atau sistem ganda ini dapat dilakukan dengan tiga pola.
Pertama, sekolah mneyelenggarakan pembelajaran secara konseptual dengan
memiliki lembaga usaha (koperasi) sebagai tempat praktik atau labnya. Kedua,
sekolah menyelenggarakan pendidikan secara konseptual yang diikuti dengan
mengadakan kerjasama dengan lembaga usaha koperasi atau lembaga usaha lain di
luar sekolah sebagai tempat magang atau praktik. Ketiga, sekolah mneyelenggarakan
pembelajaran secara konseptual dengan memiliki lembaga usaha (koperasi) sebagai
tempat praktik atau labnya serta kerjasama dengan lembaga usaha lain yang
dipandang lebih maju sebagai tempat studi banding dan untuk memperoleh
pengalaman praktik yang lebih luas atau magang.
Prinsip-prinsip merupakan jabaran pembelajaran dari model teoritis. Prinsip
merupakan generalisasi-generalisasi yang digunakan sebagai petunjuk bertindak
(Cole dan Chan 1994: 4). Oleh karena itu prinsip pembelajaran adalah generalisasi-
generalisasi yang digunakan sebagai petunjuk dalam usaha membelajarkan siswa.
Metode pembelajaran adalah serangkaian rencana pembelajaran, strategi dan
teknik yang digunakan untuk mengorganisasikan pelaksanaan pembelajaran (Cole
dan Chan 1994:4). Metode pembelajaran menjelaskan prosesedur-prosedur yang
dilakukan langkah demi langkah dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah dirumuskan. Metode yang dimaksudkan dalam penelitian ini
merupakan langkah-langkah, strategi dan teknik yang langsung diterapkan dalam
118
proses pelaksanaan membelajarkan siswa tentang koperasi baik di dalam maupun di
luar kelas.
Strategi adalah rencana mengajar berskala kecil. Mereka merupakan operasio-
nal pengajaran yang sangat spesifik yang digunakan untuk membimbing aktivitas-
aktivitas pendidik atau tutor di dalam proses membelajarkan peserta didik (Cole dan
Chan 1994: 5). Dengan kata lain strategi adalah penetapan komponen-komponen
pengajaran utama agar penyajian isi pelajaran dapat mencapai sasaran belajar dan
dapat difahami oleh peserta didik secara efektif dan efisien. Di dalam konteks
pembelajaran, strategi digunakan untuk mempertinggi dan mempermudah pencapaian
tujuan pembelajaran secara khusus. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran
secara efektif dan efisien para pendidik menggunakan strategi pembelajaran di dalam
kelas dengan cara memadukan dua atau lebih metode dan media pembelajaran.
Prosedur merupakan bagian-bagian individual strategi pembelajaran atau
meru-pakan komponen-komponen strategi pembelajaran yang dilakukan langkah
demi langkah. Prosedur merupakan langkah-langkah pengajaran yang kongkret yang
mendukung pencapaian tujuan khusus pembelajaran.
Teknik merupakan prosedur-prosedur pembelajaran dari segi yang paling
praktis yang dirancang untuk mencapai kemanfaatan pembelajaran jangka pendek.
Teknik lebih merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang paling
kecil. Strategi, prosedur dan teknik merupakan level hierakhi yang paling rendah
dalam urutan kerangka pemikiran model pembelajaran karena ini berkenaan dengan
penerapan praktis dalam proses pembelajaran. Sedangkan pengurutan bahan ajar,
penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, pemberian tugas, dan pengambilan
keputusan merupakan aplikasi dari strategi, prosedur dan teknik yang telah
119
dirumuskan dalam aktivitas nyata proses pembelajaran perkoperasian. Di mana
pengurutan bahan ajar merupakan tindakan yang diambil pendidik atau pembina
koperasi dalam mengurutkan materi pembelajaran secara hierarkhis dari yang
sederhana ke yang kompleks, mudah ke yang sukar dan sebagainya. Urutan bahan
ajar tersebut perlu diikuti contoh-contoh yang sesuai, bagaimana praktiknya bagi
subjek belajar, dan pemberian tugas dan latihan yang perlu dilakukan oleh subjek
belajar. Sedangkan pengambilan keputusan adalah penentuan pilihan berbagai
aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh pendidik atau pembina koperasi (atas
dasar prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik) dalam proses membelajarkan
peserta didik. Gambaran hierakhis antara teori dan praktik tersebut dapat dilihat pada
gambar 8.
Dengan alas pemikiran bahwa pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar
kelas harus dipandang sebagai satu kesatuan antara pembelajaran koperasi yang
bersifat teoritis konseptual dan pembelajaran praktik koperasi atau berusaha, maka
model pembelajaran koperasi harus merupakan model pembelajaran yang
menyatukan antara pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas. Dengan kata
lain agar partisipasi
Gambar 8 : Gambaran hierarkhis atau diagramatik antara model teoritis pembelajaran dan praktik pembelajaran
Sumber : Peter G, Cole and I .oma Chan. 1994. Teachina Princioles and Practice. p. 3.
120
siswa meningkat maka model pembelajaran koperasi itu harus merupakan model
pembelajaran yang memanfaatkan azas-azas pembelajaran atau azas-azas didaktik
sebanyak mungkin. Dengan model ini diharapkan pencapaian tujuan dan fungsi
Kopsis bisa tercapai. Model pembelajaran koperasi yang banyak memenuhi azas
didaktik adalah model pembelajaran yang mengarah pada cara beljar siswa aktif
(CBSA), khususnya pembelajaran berdasarkan pengalaman dan ketrampilan proses,
social learning, pemecahan masalah. Dengan alas pemikiran, tingkatan belajar yang
bersifat pemecahan masalah, berdasarkan pengalaman, dan social learning
merupakan proses belajar langsung yang menuntut pemecahan masalah paling tinggi
tingkatnya (Piaget, 1967, 1970, 1976; Gagne dalam Lefrancois, 1975. 114-120;
Gagne, 1977a. 34-36; Bandura, 1977a, 1978: 344-358, 1982b: 122-147). Melalui
CBSA, pelaksanaan pembelajaran koperasi akan lebih memenuhi azas-azas didaktik
seperti: motivasi (pembelajaran dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan siswa dan
makna belajar bagi siswa, konteks (permasalahan yang dipelajari disesuaikan dengan
jaringan-jaringan yang terkait dengan bahan ajar), sosial dan individual
(pembelajaran dilakukan melalui tugas-tugas individual dan kelompok, program
belajar sesuai dengan tingkat kemampu-annya dan perkembangannya, optimalisasi
kemampuan belajarnya), belajar melalui bekerja (mendayagunakan seluruh daya
hidup: fisik, sosial dan mental), azas penemuan (siswa dibimbing untuk mengolah
pengalamannya, melakukan eksplorasi keilmuan, dipandu dalam analisis-sistesisnya
agar menemukan kebenaran dan nilai hidup yang bermakna bagi dirinya dan orang
lain), azas pemecahan masalah (siswa dibimbing agar siswa menyadari adanya
masalah, mencirikan masalah yang ditemuinya atau mengiden-tifikasi masalah, dapat
mengajukan dugaan atau alternatif pemecahan masalah, mengumpulkan fakta atau
121
informasi, data, konsep yang relevan untuk memecahkan masalahnya, siswa terlibat
aktif dalam pemecahan masalahnya atau verifikasi, menyimpulkan hasil pemecahan
masalahnya, serta merencanakan tindak lanjutannya).
Pembelajaran yang mendasarkan CBSA merupakan suatu strategi mengajar
yang dapat mengakibatkan anak didik melakukan aktivitas belajar, yaitu aktivitas
belajar yang melibatkan kemampuan fisik, mental, dan sosial sebagai akibat dari cara
guru membelajarkan anak didik. Dalam model pembelajaran yang bersifat CBSA,
pembelajaran memusatkan perhatian pada peranan, inisiatif dan keikutsertaan anak
didik yang tinggi dalam menetapkan masalah, mencari informasi dan cara pemecahan
masalah. Inti dari pada ciri-ciri pembelajaran CBSA yang berhasil adalah pemberian
kesempatan kepada anak didik untuk aktif, mendayagunakan segala kemampuannya
(fisik, mental dan sosial) secara optimal, banyak usaha atau kegiatan yang dilakukan
oleh siswa secara terarah, di bawah bimbingan guru atau pembina yang kreatif dan
penuh dedikasi. (Samana, 1992: 102).
Menurut McKeachie (1954: 2) ada tujuh pertimbangan atau prinsip untuk
mengukur kadar ke-CBSA-an pembelajaran:
1 Seberapa jauh partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran.
2 Adanya pengutamaan aspek afektif dalam pembelajaran.
3 Partisipasi siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, terutama yang
berbentuk interaksi antar siswa.
4. Adanya ketulusan penerimaan dari fihak pendidik terhadap perbuatan dan
sumbangan peserta didik, baik yang relevan maupun yang kurang relevan, bahkan
yang salah.
5. Adanya kekohesifan kelas sebagai kelompok belajar.
122
6. Adanya kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengambil
keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolahnya.
7. Seberapa banyak waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi
peserta didik.
Sehubungan dengan hal ini, Sudjana dan Arifin (1988:33-34) mengemukakan
prinsip-prinsip lebih rinci tentang praktik ke-CBSA-an yang berhasil:
1. Dari sudut siswa, tampak adanya keinginan yang kuat untuk belajar, partisipasi
belajar yang tinggi, berani menampilkan diri dan kreatif, kebebasan belajar yang
terarah tinggi.
2. Dari sudut guru, tampak adanya aneka usaha untuk memotivasi belajar peserta
didik, terdapat kecekatan dalam mengorganisir pembelajaran, kesediaan guru
untuk menerima sumbangan siswa (baik benar maupun salah), dan kesediaan guru
untuk membantu mengatasi kesulitannya.
3. Dari sudut program, tampak adanya program yang sesuat dengan tujuan
(kebutuhan siswa) program tersebut cukup jelas batas-batasnya dan sekaligus
menantang siswa, dan bahan tersebut mengandung isi pesan yang lengkap (fakta,
konsep, prinsip atau generalisasi dan teori).
4. Dari sudut situasi belajar, tampak adanya iklim sosial kelas, yang intim,
kooperatif, bersemangat, bergembira dalam melaksanakan tugas dan bersdisiplin,
tampak adanya persaingan yang sehat secara perorangan maupun kelompok.
5. Dari sudut pengadaan sarana belajar, tampak adanya kelengkapan sumber
belajar, sarana belajar, media belajar, fleksibelilitas pengaturan waktu belajar, dan
adanya kemungkinan siswa belajar di dalam maupun di luar kelas.
123
Praktik CBSA dapat dilakukan dengan berbagai metode pembelajaran, namun
yang memiliki tingkat keterlibatan siswa yang tinggi adalah yang bersifat pemecahan
masalah, ketrampilan proses (pembelajaran berdasarkan pengalaman) dan social
learning. Hal ini karena dalam proses belajar (khususnya belajar secara pemecahan
masalah, ketrampilan proses, dan belajar berdasarkan pengalaman) para siswa
dituntut untuk menyadari masalah yang dipelajari, mendefinisikan masalah, mencari
dan mengumpulkan data atau informasi, mencari serta mengolah informasi, membuat
kesimpulan, melaporkan serta mengkomunikasikan hasil temuan atau pemecahannya.
Dalam proses pembelajaran yang demikian, aspek kognitif, afektif psikomotor dan
sosial semuanya terlibat dalam proses belajar. Keterlibatan secara menyeluruh dari
diri siswa akan mampu memenuhi asumsi bahwa para siswa akan mendapat lebih
banyak pengalaman dengan keterlibatan secara aktif dan pribadi dari pada yang
diperoleh dengan melihat atau menonton isi atau konsep (Dewey, 1916). Di sini
peserta didik tidak hanya bersifat konsumtif terhadap pengetahuan atau kemampuan-
kemampuan yang dipelajari tetapi ia menghayati dan memperoleh sendiri fakta,
konsep, prinsip atau generalisasi, dan teori. Dalam proses pembelajaran yang
demikian siswa juga berkembang kemampuan a) sel/ manajemen dalam: mereview
karakteristik stimulus atau masalah dan memvisualisasikan stimulus di dalam
fikirannya (Skinner, 1968b), strategi kognitif (Gagne, 1977a:36; 1980a: 89)
mengorganisr tingkah laku dalam menarik makna persoalan yang dihadapi (Piaget
dalam Gredler, 1992:251), menggunakan simbol dalam mengingat dan berfikir
(Vigotsky dalam Gredler, 1992:292) meng-amati, menilai dan membuat
pertimbangan dan keputusan sendiri terhadap apa yang dipelajari (Bandura, 1978:
348) dan kepercayaan diri melakukan sesuatu (1977a: 194-303); b) tranfer belajar.
124
belajar lebih lanjut pada hal-hal yang serupa dengan yang telah dipelajari
(Skinnerl953: 247), belajar lebih lanjut atas dasar kemampuan yang telah dicapai
sebelumnya untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi (Gagne, 1968a: 178;
Bandura, 1976; Piaget & Inheler, 1969:152), hasil belajar yang diperoleh akan
menimbulkan kesiapan belajar dan motivasi
Sedangkan motode pembelajaran yang bersifat ketrampilan proses (pembel-
ajaran berdasarkan penagalaman, menurut istilah Hamalik, 1991: 46) merupakan
proses pembelajaran yang memandang peserta didik serta kegiatannya sebagai
manusia seutuhnya yang diterjemahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang
memperhatikan perkembangan pengetahuan, nilai hidup serta sikap, perasaan dan
ketrampilan sebagai kesatuan (baik sebagai tujuan maupun sekaligus bentuk
pelatihannya), yang akhirnya semua kegiatan belajar dan hasilnya tampak dalam
bentuk kreativitas (Mochtar (1987: 20). Ketrampilan proses hanya diperoleh lewat
melatih kemampuan fisik, mental dan sosialitas peserta didik secara mendasar
(Soedjono, 1988:23). Singkatnya pembeljaran yang mendasarkan pada ketrampilan
proses merupakan strategi pembelajaran yang berprinsip pada penekanan
memberikan kesempatan pada anak didik untuk memproses sendiri atau mengalami
sendiri bagaimana suatu ketrampilan dan ilmu itu diperoleh.
Metode pembelajaran yang bersifat pemecahan masalah merupakan pembel-
ajaran yang memiliki prinsip-prinsip: guru berawal dengan memberikan stimulus
yang dapat menimbulkan situasi masalah dalam diri peserta didik, memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berlatih merumuskan dan mencari alternatif
pemecahan masalah, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba
mengalami sendiri melaksanakan pemecahan masalah dan pembuktiannya (Makmun,
125
1996: 157). Dalam pembelajaran yang demikian siswa belajar merumuskan dan
memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai konsep atau kecakapan yang
telah dikuasainya.
Konsep problem solving dari Dewey berakar pada metode ilmiah (scientific
method) (Miller dan Seiler, 1985:65). Metode ilmiah sebagai metode pembelajaran
pemecahan masalah dilakukan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut: a. men-
ciptakan sistuasi problematik yang menyebabkan anak didik timbul rasa teka-teki
adanya masalah yang harus ia pecahkan; b. mengajak anak didik untuk
mendefinisikan persoalan yang mereka hadapi secara pasti. c. mengajak anak didik
untuk mengkla-rifikasi masalah. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengujian secara
cermat atau analisa terhadap berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya masalah
itu; d. mendorong anak didik untuk mengembangkan hipotesa atau menyusun kalimat
"if-—then" yaitu per-nyataan-pernyataan yang menawarkan berbagai alternatif
pemecahan masalah yang mungkin terhadap kesulitan yang dihadapi. Di sini peserta
didik mengembangkan alternatif-alternatif pemecahan masalah dan mempertimbang-
kan berbagai konsekuensi yang mungkin dari tiap alternatif; e. memberikan
kesempatan pada anak didik untuk memilih alternatif pemecahan yang paling baik
dan menerapkannya.
Langkah-langkah ini merupakan langkah-langkah umum dari metode
pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam menerapkan metode pemecahan
masalah dapat bervariasi, di samping tergantung pada strategi, prosedur, dan teknik
yang ingin dipilih dan diterapkan oleh pendidik/guru, juga tergantung jenis masalah
dan tujuan yang ingin dicapai. Dari segi strategi misalnya, seorang guru bisa
melakukan strategi pembelajaran pemecahan masalah secara directed discovery or
126
inquiry, atau pure discovery or inquiry (Sanders, 1968: 139-145). Ia menjelaskan:
pada directed discovery-inquiry, pendidik mengkombinasikan metode pemecahan
masalah dengan metode lain, utamanya metode pemecahan masalah secara murni dan
metode exposisi. Dalam pelaksanaannya pendidik lebih cenderung mengarahkan
berfikir peserta didik dengan memberikan penjelasan singkat pada pendahuluan dan
juga menyediakan peserta didik seluruh data yang berhubungan dengan data yang
diperlukan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Masalahnya pun bersifat
direktif dalam arti masalah sudah diberikan secara konkret (masalah sudah definitif),
peserta didik tidak mencari-cari masalah sendiri, ia tinggal mencari jalan keluar
pemecahannya. Pada siswa yang baru memiliki dasar-dasar pengetahuan dan
ketrampilan tentang aspek-aspek yang dipelajari sangat tepat dibelajarkan dan
dibina dengan metode ini. Sedangkan metode pemecahan masalah yang diterapkan
secara murni, pendidik lebih cenderung meberikan masalah lebih bersifat umum dan
siswa disuruh mencari dan merumuskan sendiri secara detail tentang masalah yang
ingin dipecahkan sesuai dengan yang diinginkannya. Dalam strategi ini, macam data,
cara pemerolehan data dan pemecahannyapun diserahkan penuh kepada peserta didik.
Pada peserta didik yang telah memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup
tentang aspek yang dipelajari sangat mendukung penerapan pembelejaran dan
pembinaan pure discovery-inquiry.
Dalam kaitannya dengan prosedur dan teknik pelaksanaan pembelajaran, Ross
dan Maynes (1982: 5-7) membuat kerangka urutan pelaksanaan metode pemecahan
masalah menjadi 11 langkah, a. mendefinisikan masalah, b. membuat framework
inku-iri, c. menentukan sumber data, d. memperoleh data pada sumbernya, e.
mempertimbangkan keakuratan data, f. memasukan data ke dalam 'framework' g.
127
mereduksi data ke dalam bentuk summary, h. mengamati hubungan-hubungan di
dalam data, i. menginterpretasi data, j. mengekstrapolasikan interpretasi, dan k.
mengkomunikasikan inkuiri. Ross dan Maynes (1982: 7-8) mengemukakan bahwa
penerapan metode problem solving sangat bervariasi, tergantung pada konteks
masalahnya. Guru dapat mentranfer ke sebelas urutan metode pemecahan masalah
tersebut sesuai dengan konteks permasalahannya.
Mereka mengelompokkan masalah ke dalam empat jenis masalah: a. Compar-
ative problems. masalah yang bekenaan dengan pencarian perbedaan dan persamaan
dalam dua atau lebih kesatuan, b. Decision-making prblems: masalah yang berkenaan
dengan pembuatan keputusan dalam situasi yang kompleks. Di sini peserta didik
diajak memikirkan dan memutuskan serangkain tindakan yang terbaik yang harus
dilakukan, c. Corelational problems: guru memberikan kesempatan anak didik
menyelediki hubungan-hubungan antara dua atau lebih variabel, d. Exsperimentally
orientedproblems. problem-problem yang perlu dilakukan secara eksperiemental.
Freire (1972) mengemukakan uratas pelaksanaan pemebelajaran pemecahan
masalah secara lebih singkat dari pada yang dikemukan oleh Ross dan Maynes.
Dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat memecahkan masalah sosialnya
sampai pada taraf partisipasi the critical trawforming beliau mengemukakan tiga
langkah urutan penerapan metode pembelajaran pemecahan masalah: a.
mengidentifikasikan semua konflik-konflik penting yang dirasakan; b. menganalisa
kausal konflik secara sistemik; dan c. mendorong tindakan kerjasama untuk
memecahkan konflik.
Lain halnya dengan langkah-langkah penerapan metode pembelajarn
pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Alschuler (1980). Untuk meningkatkan
128
taraf partisipasi peserta didik sampai pada taraf partisipasi transformasi kritis ia
menggunakan langkah-langkah pembelajaran pemecahan masalah sebagai berikut: a.
mengemukakan peristiwa problematik; b. mengidentifikasikan pola-pola konflik, c.
melakukan brainstorming untuk memperoleh masukan alternatif pemecahan; d.
mengembangkan rencana-rencana tindakan secara demokratis atas dasar temuan/
kesepkatan pemecahan masalah yang dilanjutkan dengan penerapannya.
Variasi langkah-langkah tersebut menggambarkan aneka variasi strategi,
prosedur dan teknik pelaksanaan metode pemecahan masalah yang dilakukan
pendidik. Variasi ini tegantung berbagai faktor seperti tujuan, bahan sajian, konteks
dan sarana yang tersedia. Strategi pelaksanaan metode ini dapat dilakukan secara
perorangan, secara kelompok, dan secara bersama-sama antara guru dan siswa dalam
satu kelas. Strategi operational pelaksanaan di kelas dalam satu pertemuan atau
beberapa pertemuan kelaspun metode ini dapat dilakuakan secara bervariasi: metode
pemecahan masalah sebagai metode utama dalam membelajarkan anak didik, sebagai
metode bantu atau metode selingan. Strategi pelaksanaan metode pemecahan masalah
secara berbeda menuntut pendidik menggunakan prosedur dan teknik yang berbeda
dalam mencapai tujuan tertentu.
Sedangkan metode pembelajaran social learning merupakan metode pembel-
ajaran yang memiliki prinsip: guru memberikan atau mendemonstrasikan model
perila-ku atau berbagai model perilaku yang diharapkan ditiru dan diinternalisasi oleh
siswa baik peniruan yang dilakukan secara langsung (instantaneous matching atau
direct learning) maupun tidak langsung (delayed learning atau indirect leraning).
Dalam strategi perencanaan dan pelaksanaan pemebelajaran, Vygostsky dan Bandura
mengemukakan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
129
Strategi Vygostsky (dalam Gredler, 192: 293-294)
1) Menidentifikasi konsep-konsep atau pokok-pokok yang akan diajarkan.
a) Aspek-aspek konsep yang seperti apa yang dapat diajarkan kepada para siswa
sesuai dengan tingkat kemampuan siswa?
b) Aspek-aspek konsep yang mana yang mampu mempermudah siswa belajar
sesuai dengan tingkat kemampuan berfikirnya?
2) Menstrukturkan tugas belajar sebagai aktivitas kerjasama antara guru dan siswa.
a) Seberapa tingkat pemaknaan yang difahami bersama yang dipersyaratkan untuk
memulai belajar?
b) Aspek-aspek tugas apa yang harus dimodelkan oleh guru?
c) Aspek-aspek tugas yang mana yang secara awal harus diperankan oleh guru?
d) Dalam cara-cara apa siswa harus menggunakan tanda dan symbol untuk
mengontrol tingkah laku belajarnya?
e) Apa anjuran dan feedback guru yang diperlukan para siswa untuk membantu
belajarnya?
3) Menerapkan pengajaran dan menerapkan evaluasi.
a) Apakah guru telah secara perlahan-lahan meningkatkan permintaan tugas
sesuai dengan tingkat yang dikuasai oleh siswa?
b) Apakah siswa telah mampu berfungsi secara mandiri pada akhir pembelajaran
koperasi?
c) Apakah para siswa telah menggunakan cara-cara berfikir baru setelah pembel-
ajaran koperasi dilakukan?
d) Apakah ketrampilan siswa dapat diterapkan pada setting dan situasi yang lain?
Sedangkan Bandura (dalam Gredler, 1992: 335-336) melakuan langkah-
langkah strategi perencanaan dan strategi pembelajaran sebagai berikut:
1) Menganalisa tingkah laku yang akan dimodelkan.
a) Apa hakekat tingkah laku yang akan dimodelkan? Apakah ini berupa teori-teori
koperasi (koseptual), apakah ini praktik koperasi (motorik), apakah ini
penanaman nilai koperasi, atau ini suatu strategi belajar?
b) Apa urutan langkah-langkah tingkah laku yang akan dimodelkan? Jika berupa
pengertian koperasi, umpamanya, apakah dimulai dengan menyajikan definisi
koperasi dan ciri koperasi kemudian baru membandingkan dengan pengertian
atau ciri-ciri bentuk lembaga ekonomi yang lain ataukah sebaliknya?
c) Apa pokok-pokok kritis dalam urutan itu (seperti langkah-langkah yang
mungkin sulit untuk diamati, dan langkah-langkah tindakan alternatif yang
mungkin tidak tepat yang mana yang perlu diganti)?
2) Menentukan nilai fungsional tingkah lalai dan memilih model tingkah laku.
a) Apakah tingkah laku itu mengemban prediksi keberhasilan?
b) Jika tingkahlaku itu mengemban prediksi keberhasilan yang lemah, model
potensial yang mana yang paling mungkin untuk memprediksi keberhasilan?
c) Sehanisnyakah model itu 'live model'(seperti kegiatan koperasi dan kegiatan
bentuk usaha ekonomi sesungguhnya yang lain) atau 'symbolic model' (berupa
diagram atau gambar-gambar kegiatan berbagai jenis usaha)? Perlu
dipertimbang-kan masalah biaya, apabila kebutuhan untuk mengulangi
pengalaman yang dipergunakan lebih untuk satu kelompok, dan kesempatan
atau kemungkinan untuk membawakan/ menggambarkan nilai fungsional dari
tingkah laku tersebut.
131
d) Penguatan apa yang dapat ditimbulkan dengan model tingkah laku tersebut?
Apakah tingkat angka nilai, kegiatan tambahan yang prestis (jadikan ketua atau
pengurus koperasi misalnya), pujian, hadiah materi dsb.
3) Mengembangkan urutan pengajaran
a) Untuk ketrampilan motorik misalnya, mengapa menggunakan perintah lakukan
ini dan bukan lakukan itu?
b) Langkah-langkah tindakan yang mana dalam urutan latihan itu harus disajikan
secara perlahan-lahan dan teliti dan mana yang dapat disajikan secara biasa?
c) Untuk strategi belajar, kegiatan belajar yang sel/talk atau self system apa yang
harus dimodelkan?
4) Menerapkan pengajaran untuk membimbing proses kognitif dan reproduksi
motorik.
Ketrampilan motorik.
a) Menyajikan tingkah laku yang ingin dimodelkan.
b) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan latihan simbolik.
c) Memberikan kesempatan siswa beipraktik dengan melakukan visualfeedback.
Tingkah laku konseptual.
a) Sajikan model dengan bantuan penjelasan!
b) Jika berupa suatu konsep atau dalil, berikan kesempatan kepada siswa untuk
meringkas berbagai tingkahlaku model!
c) Jika belajar berupa problem solving atau penerapan strategi, berikan
kesempatan kepada para siswa untuk berpartisipasi memodelkan!
d) Berikan kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan hasil belajr ke dalam
situasi-situasi yang berbeda!
132
Singkatnya strategi, prosedur dan teknik pelaksanaan pembelajaran yang
dikemukakan oleh Vygotsky dan Bandura merupakan prosedur pembelajaran yang
dilakukan secara bertahap atau bertangga yang dilakukan: 1) pendidik memodelkan
aspek tertentu yang diinginkan agar peserta didik menirunya, 2) sambil memberikan
esesmen, secara bertahap, pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk
memhami dan mencobanya model itu, 3) pendidik mengevaluasi tingkat kecakapan
yang dicapai peserta didik. Mereka menjelaskan bahwa metode social learning bisa
dieterapkan pada peserta didik mulai yang tingkat kemampuannya sangat rendah
sekali sampai tingkat lanjut Metode social learning akan lebih berarti lagi untuk
pembelajaran peserta didik yang tingkat pengetahuan dan ketrampilannya masih
rendah.
Dalam melaksanakan pembelajaran koperasi melalui metode social learning,
secara umum, pendidik dapat melakukan strategi, prosedur dan teknik melalui ketiga
langkah tersebut.
Aplikasinya dalam pembelajaran koperasi (khususnya pembeljaran di luar
kelas) pada Kopsis yang tingkat perkembangannya masih pada tahap pembentukan
akan lebih tepat para siswanya (anggota Kopsis) dibelajarkan dan dibina dengan
metode social learning, Kopsis yang bertahap konsolidasi/pertumbuhan dibelajarkan
dengan directed dicovery-inquiry, sedangkan Kopsis yang bertahap pengembangan
dibelajarkan dengan pure dicovery-inquiry dan metode ketrampilan proses.
G. PROGRAM PEMBELAJARAN
Berdasarkan fungsi Kopsis sebagaimana yang dikemukakan bagian terdahulu
berarti, pertama, proses pendidikan menuntut pendidik untuk menyusun program-
133
program pendidikan yang akan dipakai sebagai pedoman dalam mendidik siswa baik
di dalam kelas maupun di luar kelas. Lebih-lebih program pendidikan dalam bidang
ekonomi koperasi yang bertujuan agar siswa memiliki jiwa berkoperasi. Program
pendidikan ekonomi koperasi dalam kelas berfungsi sebagai pedoman dalam rangka
membantu peserta didik menginternalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan
teoritis konseptual. Sedangkan program pedidikan luar kelas berfungsi sebagai
pedoman dalam meningkatkan kedalaman kemampuan berpraktik dan sekaligus
sebagai pedoman dalam usaha membina kehidupan tempat praktik (Kopsis). Kedua
program ini dalam operasionalnya biasa disebut program pembelajaran, karena
pelaksanaan pendidikan di sekolah lebih banyak dilakukan melalui proses
pembelajaran.
Kedua, program pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas sekaligus
berfungsi sebagai pedoman dalam mengembangkan dan memperdalam pengetahuan
siswa tentang koperasi, serta membina siswa mampu mengelola, berpartisipasi, dan
mengembangkan Kopsis. Singkatnya kedua program tersebut berfungsi untuk
membina perilaku siswa dalam berkoperasi. Berkembangnya Kopsis tersebut
diharapkan dapat digunakan sebagai tempat praktik para siswa dalam rangka
meneliti, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berwirausaha.
Program adalah suatu rancangan yang berskala besar dan rinci yang
dikembang-kan untuk mencapai tujuan tertentu (Cobuild, 1988:1147). Program
pembelajaran koperasi berarti rancangan pembelajaran koperasi yang berskala besar
dan rinci yang dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran pendidikan
koperasi. Program pembelajaran dalam kelas berisi rancangan pembelajaran yang
dikembangkan dan disusun berdasarkan pada tujuan pembelajaran dan bahan ajar
134
yang telah digariskan oleh kurikulum. Menurut Sukartawi (1995:33) program
pembelajaran di kelas berisi: tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, rancangan
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan, strategi pembelajaran, dan
eveluasi hasil belajar. Sedangkan program pembelajaran koperasi di luar kelas berisi
rancangan-rancanagan kegiatan pembelajaran yang mendukung pencapaian tujuan
pembelajaran pendidikan koperasi, dan mendu-kung pencapaian tujuan dan fungsi
penyelenggaraan Kopsis. Program kegiatan pembelajaran di luar kelas pada dasarnya
merupakan program kegiatan pembinaan siswa dalam berkoperasi dan program
kegiatan dalam menyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis. Program ini pada
dasarnya sama dengan program pendidikan masyarakat berkoperasi. Pendidikan
masyarakat berkoperasi ini berupa kegiatan-kegiatan pendidik-an yang dilaksanakan
untuk membuat anggota, pengurus dan staf karyawan (pelaksana harian koperasi)
sadar akan ideologi koperasi, praktik usaha dan metode kerja (Dubell, 1985: 59).
Selain itu ia juga mengatakan bahwa pendidikan koperasi berfungsi sebagai latihan
orientasi dan bertujuan untuk meningkatkan keahlian berkoperasi sehingga personil
koperasi mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melaksanakan tugasnya.
Pendidikan berkoperasi ini mencakup pendidikan anggota, pengurus dan pengawas
serta pendidikan manajer dan karyawan (Dubell, 1985: 60).
Pendidikan Anggota. Menurut Dubell (1985: 74-75 ada beberapa informasi/
materi penting yang perlu disampaikan oleh pembina/tutor dan difahami oleh anggota
meliputi: a) hakekat koperasi, fungsi dan tujuan koperasi; b) kegiatan-kegiatan/usaha
yang dilakukan koperasi; c) jenis dan cara pelayanan yang diberikan koperasi d)
pengorganisasian dan pengelolaan kegiatan-kegiatan/usaha koperasi; e) struktur dan
135
tugas organisasi pengurus koperasi atau pengelola koperasi, f) manfat/keuntungan
yang diperoleh diperoleh anggota; g) hak dan keawajiban setiap anggota.
Dalam pelaksanaan pendidikan ini dapat dilakukan dua cara: a) secara
informal, informasi dan pendidikan dapat diberikan kapan saja ketika orang-orang
bertemu, pemeberian informasi ketika para anggota nampak berkumpul atau ada
dalam suatu kelompok sosial; b) secara formal, kegiatan pendidikan diorganisasikan
secara tertaur seperti: kursus, rapat-rapat atau pertemuaan-pertemuan atau pelatihan,
kunjungan anggota koperasi ke suatu koperasi yang telah maju.
Pendidikan Manajer dan Karyawan. Menurut Dubell (1985:61-62) ada
beberapa materi penting yang perlu disampaikan dalam pendidikan ini, yaitu materi
berkenaan dengan manajemen, keuangan, pemasaran, kredit dan pengembangan
koperasi. Dalam pelaksanaannya pendidikan melalui tiga tahap, yaitu: a) tugas
analisa di lapangan, b) pelajaran di kelas, dan c) praktik koperasi (Dubell, 1985:62-
69).
Pada tahap analisa di lapangan peserta latihan bersama istruktur yang ber-
pengalaman berkunjung ke beberapa koperasi (yang maju dan yang belum maju)
untuk menganalisa hal-hal seperti berikut: macam dan jenis pekeijaan yang
dikeijakan oleh masing-masing orang sehari-hari di kantor, hak dan kewajiban
masing-masing karyawan terhadap koperasi, sistem pelaporan dan jenis pencatatan
serta formulir yang dipergunakan, pelaksanaan perencanaan usaha, dan cara
melaksanakannya sehingga tujuan-tujuan dapat tercapai, masalah-masalah yang
dihadapi karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dan cara pemecahannya, cara
melayani anggota, cara mengupayakan dan memasarkan barang, cara memasarkan
dan menyalurkan kredit anggota, dan cara mengebangkan usaha.
136
Pada Tahap pembelajaran di kelas: setelah tugas analisis di lapangan, peserta
latihan harus mendapatkan pelajaran di kelas meliputi: pengorganisasian koperasi,
fungsi koperasi yang bersangkutan, bentuk dan cara pelayanan, kedit, penyediaan dan
pemasaran barang, pembukuan, akutansi dan strategi pengembangan koperasi.
Tahap praktik lapangan, berdasarkan konsep teoritis di kelas para peserta
disuruh praktik koperasi. Bila memungkinkan mereka yang akan dikaderkan sebagai
kader manajer koperasi praktik itu dilakukan pada koperasi yang telah maju.
Tahap pelajaran di kelas ke dua: setelah praktik koperasi, para peserta
kembali lagi ke kelas. Di sisni para peserta dan instruktur menganalisa antara teori
dengan pelaksanaan kondisi di lapangan, merumuskan permasalahan yang dirasakan,
mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui baik masalah pembukuan, penyediaan
barang, pemasaran, pelayanan, tingkat kemampuan peserta dalam merencanakan
kredit dan pemasaran, menganalisis keuangan koperasi dan perbaikan bila
diperlukan.
Pendidikan dan Pelatihan Pengurus dan Pengawas. Menurut Dubell, (1985:
72) aspek-aspek pengetahuan yang perlu diberikan dalam pendidikan dan pelatihan
pengurus adalah: manajemen, keuangan, pemasaran, kredit, ekonomi perusahaan,
perencanaan, manjemen personalia, tugas dan tanggung jawab pengurus serta
pengawas aspek hukum yang berkenaan dengan koperasi dan pengembangan
koperasi. Dalam melakukan pendidikan dan latihan pengurus dan pengawas
dilakukan melalui dua cara: 1. tugas analisis seprti yang dilakukan dalam pendidikan
latihan manajer dan karyawan, 2. berpartisipasi dalam rapat pengurus.
Tugas analisis: peserta latihan pengurus dan pengurus beserta instruktur
berkunjung ke suatu koperasi yang telah maju dan belum maju untuk bersama-sama
137
melakukan tugas analisa dalam hal fakta-fakta tertentu, berbagai masalah utama dan
khusus yang terjadi di koperasi, pelaksanaan peraturan-peraturan dan undang-undang,
mebandingkan berbagai jenis tindakan, menyelidiki, memahami dan memperhatikan
struktur organisasi dan hubungannya. Cara kedua yaitu partisipasi pelatihan
pengurus dalam rapat pengurus. Dalam pelatihan ini para peserta diharapkan
mengetahui tentang hal-hal yang biasa teijadi dalam rapat pengurus. Setelah
berpartisipasi dalam rapat pengurus, para peserta pelatihan diajak mengalisa tugas
tentang hal-hal yang teijadi dalam koperasi dan dalam rapat pengurus. Kegiatan ini
mencakup, di samping aspek-aspek dalam analisa tugas di lapangan, hal-hal sebagai
berikut: menganalisis pertanyaan-pertanyaan pada angenda, mempertimbangkan
usulan-usulan untuk pengambilan keputusan, menimbang untung-rugi, meramalkan
akibat, resiko, dan konsekuensi, menyarankan alternatif metode pendekatan masalah,
merencana dan mencapai kesimpulan.
Program pembelajaran koperasi akan dapat digunakan sebagai pedoman yang
mampu mendukung pencapaian tujuan kalau direncanakan secara baik. Ada beberapa
indikator untuk melihat dan mengetahui apakah suatu perencanaan program itu
tergolong baik atau tidak, Menurut Sudjana (1992:42) ada tujuh indikator
perencanaan yang dapat digolongkan baik, yaitu:
1. Perencanaan merupakan model pengambilan keputusan, memilih dan menetapkan tindakan mecapai tujuan secara ilmiah, 2. perencanaan berorientasi perubahan dari keadaan sekarang ke keadaan yang diinginkan di masa mendatang sebagaimana dirumuskan di dalam tujuanya yang akan dicapai, 3. perencanaan melibatkan orang ke dalam suatu proses menentukan dan menemukan masa depan yang diinginkan, 4. perencanaan mengarahkan bagaimana dan kapan tindakan akan diambil serta siapa yang terlibat, perencanaan melibatkan semua kegiatan yang akan dilalui, 5. meliputi kemungkinan keberhasilan, sumber yang digunakan, kemungkinan resiko, faktor pendukung dan penghambat, 6. perencanaan berkaitan dengan penentuan prioritas, urutan tindakan yang akan dilakukan, prioritas ditetapkan berdasarkan urutan kepentingan, relevansi, tujuan yang akan dicapai, sumber
138
yang tersedia dan hambatan yang mungkin ditemui, 7. perencanaan sebagai titik awal dan arah pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian dan pengembangan.
Di dalam merencanakan program pembelajaran salah satu faktor yang dapat
meningkatakan efisiensi dan efektivitas pembelajaran adalah memperhatikan prinsip-
prinsip perencanaan program. London (1967:66) mengemukakan bahwa setidaknya
ada lima prinsip dan tahap perencanaan program pembelajaran, yaitu "(1)
menentukan kebutuhan belajar, (2) melibatkan warga belajar di dalam perencanaan,
(3) merumuskan tujuan yang jelas, (4) membuat rencana program, (5) membuat
sistem evaluasi" Sedangakan Darkenwald dan Memain (1982:16) mengemukakan
prinsip perencanaan pembelajaran sebagai berikut. "(1) memperkirakan kebutuhan
belajar, (2). menetapkan tujuan, (3) memilih aktivitas dan sumber belajar, (4)
membuat dan melaksanakan keputusan yang sesuai dengan aktivitas dan tempat
belajar, (5) mengevaluasi hasil."
Memperkirakan kebutuhan belajar, jenis dan ragam belajar yang dibutuhkan
perserta didik diidentifikasi berdasarkan informasi yang didapat dari peserta didik,
kemudian ditentukan program prioritas dengan mempertimbangkan sarana,
prasarana, sumber, dan lain-lain. Menentukan tujuan, tujuan dibuat spesifik dalam
bentuk perilaku yang dapat diukur. Memilih aktivitas dan sumber belajar, jenis dan
ragam aktivitas pembelajaran ditentukan berdasarkan sarana dan prasarana yang ada,
pemilihan materi pembeljaran, kemampuan pendidik, metode, strategi, prosedur,
teknik, dan alat yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu perlu
dipertimbangkan juga, jumlah perserta didik, waktu dan dana yang tersedia. Membuat
dan melaksanakan keputusan yang sesuai dengan aktivitas dan tempat belajar.
Keputusan dan pelaksana-an program pembelajaran disesuaikan dengan aktivitas
139
yang direncanakan dan tempat belajar yang ada. Mengevaluasi hasil. Setelah program
dilaksanakan, evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui hasil pembelajaran yang
telah dilakukan baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil yang dilakukan melalui
evaluasi formatif dan sumatif. Hasil evaluasi dan esestnen dijadikan kontrol
pembelajaran yang dilakukan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
Sukartawi, dkk. (1995: 2-3) mengemukakan bahwa program pembelajaran
adalah suatu program yang disusun secara logis dan sistematis oleh pendidik atau
instruktur untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Atas dasar pengertian tersebut
mereka menyatakan bahwa program pembelajaran perlu: diidentifikasikan,
dikembangkan, dievaluasi, dan direvisi. Pada tahap identifikasi diperlukan langkah-
langkah sebagai berikut: mengidentifikasikan kebutuhan program pembelajaran,
melaksanakan analisa program pembelajaran, dan mengidentifikasikan perilaku dan
karakteristik awal dari siswa. Pada tahap mengembangkan, kegiatan pembuatan
program dapat diklasifikasikan menjadi empat tahapan yaitu: menuliskan tujuan-
tujuan program pembelajaran, menuliskan tes acuan patokan, menyusun strategi
program pembelajaran, mengembangkan bahan pembelajaran.' Sedangkan pada tahap
evaluasi dan revisi, kegiatan pendidik/tutor perlu menyusun program dan
melaksanakan evaluasi formatif.
Di dalam program pembelajaran terdapat tiga bagian utama yaitu: program
pengorgnisasian bahan ajar, program penyajian pengajaran, dan program evaluasi
hasil pembelajaran.
Mengorganisasikan bahan ajar. Kegiatan ini dimulai dengan memilih dan
menetapkan bahan ajar yang sesuai dan mampu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Bahan ajar tersebut tentunya terdiri dari serangkaian pokok-pokok bahasan yang
140
harus ditata urutannya dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Dalam
memilih pokok-pokok bahan ajar tersebut, tentunya telah diketahui kegunaan dan
tujuan pada setiap pokok bahasan, yang pada dasarnya setiap tujuan pembelajaran
pokok bahasan dituju-kan untuk menunjang tercapainya tujuan bidang studi. Pokok-
pokok bahasan yang telah dipilih tersebut perlu dijabarkan menjadi sub-sub pokok
bahasan sehingga dapat digunakan untuk menetapkan sasaran-sasaran belajar yaitu
gambaran kemampuan anak didik yang bisa diamati dan diukur. Memprogram/
merancang penyajian bahan ajar. Dalam kegiatan ini pendidik mengidentfikasi
karakteristik anak didik, kondisi dan lingkungan pemeblajaran untuk dapat memilih
dan menetapkan kegiatan belajar serta membelajarkan anak didik. Dalam kegiatan
pembelajaran ini penting sekali pendidik/tutor memikirkan strategi, prosedur dan
teknik kegiatan yang perlu dilakukan agar sasaran-sasaran belajar siswa dapat
tercapai secara efektif dan efisien. Hasil dari kegiatan ini adalah rancangan/program,
cara mengajar, media serta waktu yang dipergunakan dalam menyajikan bahan ajar
agar sasaran belajar dapat tercapai secara efektif dan efisien. Program evaluasi hasil
pembelajaran. Dalam kegiatan ini pendidik atau tutor menentukan kreteria untuk
dapat mengamati, mengukur ketercapaian sasaran belajar, serta menentukan metode
dan teknik serta alat yang tepat untuk melakukan pengamatan dan pengukuran
sasaran belajar.
H. METODE PEMBINAAN
Metode pembinaan adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses
pembinaan (Sahertian, 1994: 102). Atas dasar difinisi ini maka metode pembinaan
perilaku yang diterapkan oleh pembina Kopsis adalah langkah-langkah yang
141
ditempuh oleh pembina Kopsis dalam upaya membina perilaku siswa yang meliputi
faktor-faktor kognisi, persepsi, motivasi dan sikap. Upaya pembinaan perilaku ini
dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis, baik
partisipasi kontributif maupun partisipasi insentif.
Dengan memperhatikan penerapan metode pembinaan perilaku yang
diterapkan oleh pembina, maka dapat dilihat perilaku pembina dalam upaya
meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis.
Menurut Glickman (1981: 5) dan Sahertian (1994: 102) ada tiga metode
utama pembinaan yang diterapkan oleh pembina dalam membina perilaku individu:
metode direktif, non direktif dan kolaboratif. Lebih lanjut Glickman menambahakan
satu metode pembinaan yang disebut metode ekiektif. Pemakaian metode pembinaan
direktif mendasarkan pada psikologi behavioristik. Psikologi ini berasumsi bahwa
perkembangan individu ditentukan oleh faktor eksternal. Perilaku pembina yang
menerapkan metode ini lebih bersifat menggurui. Dalam praktiknya pembina meng-
ambil langkah-langkah (mungkin urutannya relatif bervariasi): pembina menjelaskan
atau mungkin menanyakan permasalahan yang dihadapi subjek binaan untuk mem-
peroleh konfirmasi atau revisi, atas dasar informasi yang diperoleh pembina
menyajikan ide pemecahannya, atas dasar analisa data yang diperoleh pembina
mengarahkan tindakan yang perlu dilakukan, memberi contoh tindakan, menetapkan
tolok ukur yang perlu dicapai, memberikan penguatan dengan insentif tertentu.
Metode pembinaan non direktif mendasarkan pada psikologi humanistik. Psikologi
ini berasumsi bahwa perkembangan sesorang ditentukan oleh faktor internal. Perilaku
pembina yang menerapkan metode ini lebih banyak bersifat memberikan kesempatan
subjek binaan untuk mengungkapkan diri tentang apa yang dihadapi dan dibutuhkan
142
sehingga pembina dapat membaca apa yang dibutuhkan dan dimauinya. Dalam
praktiknya ia melakukan langkah-langkah: mendengarkan permasalahan yang
dihadapi oleh subjek binaan dengan penuh perhatian, membesarkan hati kepada
subjek binaan agar mengalisa lebih lanjut atas masalah yang dihadapi, menjelaskan
permasalahan dengan cara melakukan paraprase dan pertanyaan kepada subjek
binaan, apabila subjek binaan meminta saran pembina menawarkan beberapa
alternatif, kemudian pembina mengan-jurkan subjek binaan untuk memutuskan
sendiri rencana atau pemecahan masalah yang ingin dilakukan. Metode pembinaan
kolaboratif mendasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi ini berasumsi bahwa
perkembangan sesorang merupakan hasil perpaduan antara perkembangan individual
dan pengaruh ekteraal atau lingkungan. Perilaku pembina lebih berusaha untuk
memperoleh persetujuan antara pemikiran pembina dan subjek binaan. Dalam
praktiknya pembina mengambil langkah-langkah: pembina mendengarkan
permasalahan yang dihadapi subjek binaan, pembina meminta subjek binaan untuk
menyajikan persepsi masalah-masalah yang perlu diperbaiki, pembina menyajikan
persepsi terhadap masalah-masalah yang perlu diperbaiki, pembina dan subjek binaan
menyajikan alternatif-alternatif tindakan pemecahan masalah, pembina dan subjek
binaan berdiskusi dan bernegosiasi untuk memperoleh persetujuan rencana dan
pelaksanaan pemecahan masalah. Sedangkan metode pembinaan eklektif adalah
metode yang tidak mendasarkan pada suatu faham psikologi tertentu tetapi metode
ini lebih mendasarkan pada pemikiran bahwa pelaksanaan pembinaan perlu
disesuaikan dengan situasi dan kondisi subjek binaan yang akan dibina, tingkat
kebutuhan subjek binaan, tingkat komitmen, kemampuan berfikir abstrak dan tujuan
yang ingin dicapai.
143
Proses belajar merupakan proses bertahap, pengetahuan prerekuisit
sebelumnya menentukan perkembangan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan
selajutnya (Gagne and Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988).
Glickman (1981: 40) mengemukan bahwa proses pembelajaran dan pembinaan perlu
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, kemampuan dan karakteristik anak. Taraf
kemampuan dan peng-alaman kelompok individu ada yang berkategori rendah,
sedang dan tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa para individu yang berkemampuan
rendah lebih baik dibina dengan menggunakan metode direktif, mereka yang
berkemampuan sedang dibina dengan metode kolaboratif dan eklektif, dan mereka
yang berkemam-puan tinggi dibina dengan menggunakan metode non direktif atau
delegatif dan eklektif.
Dengan memperhatikan teori partisipasi dalam koperasi dan manfaat
koperasi, teori perilaku, teori pendidikan pembelajaran, dan metode pembinaan
tersebut, maka agar efektivitas partisipasi para siswa dalam berkoperasi meningkat,
pembina Kopsis (termasuk guru koperasi) perlu menyusun program-program (baik
yang langsung berkaitan dengan pelajaran koperasi dalam kelas maupun kegiatan-
kegiatan lain yang ada di luar kelas) yang memungkinkan para siswa memiliki
tingkat kesadaran berkoperasi yang tinggi baik dari segi persepsi, pengetahuan,
motivasi maupun sikap. Kesadaran yang diharapkan adalah kesadaran sampai pada
taraf transformasi dan rekonstruksi koperasinya, yaitu kemauan bertindak untuk
menginventarisir masalah, menganalisa masalah secara sistemik, mencari alternatif
pemecahan dan mengim-plementasikan alternatif pemecahan yang dipilih dalam
praktik berkoperasi.
144
Selain itu perkembangan Kopsis berbeda-beda ada yang ada pada tahap
pembentukan, konsolidasi dan pengembangan. Taraf kemampuan dan ketrampilan
berkoperasi pada masing-masing tahappun berbeda-beda, ada yang berada dalam
taraf mulai belajar, telah memiliki dasar-dasar kemampuan dan ketrampilan
berkoperasi dan ada yang telah memiliki kemampuan yang memadai dan sangat
trampil dalam menjalankan Kopsis. Dalam kaitan ini pembina dan para guru akan
lebih berhasil dalam mencapai sasarannya apabila dalam melakukan pembelajaran
dan pembinaan meneyesuaikan diri dengan tingkat kemampuan, kebutuhan dan
harapan para siswa.
Hustrai Model Pemikiran Penelitian
Berdasarkan keseluruhan kajian pustaka tersebut, dapat dilihat hubungan-
hubungan antar variabel dalam kerangka 1cybemitic model' (Lihat gambar 9).
Pada kerangka ini dapat dilihat mana yang menjadi variabel 'effector,
detector, dan selector. Sebagai input atau effector adalah para siswa, guru & pembina
koperasi, program pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi, media
pembelajaran (material), situasi (lingkungan sekolah, kepala sekolah, fasilitas
sekolah, orang tua dsb ). Sedangkan yang menjadi detector dalam penelitian ini
adalah partisipasi, manfaat koperasi, dan perkembangan koperasi. Dan yang menjadi
selector adalah tingkat partisipasi, tingkat manfaat, dan tingkat perkembangan
Kopsis.
Selain kerangka 'Cybernetic model', juga dapat diilustrasikan kerangka
pemikiran penelitian tentang model pembelajaran dan pemibinaan siswa dalam
berkoperasi untuk meningkatkan partisipasi siswa, manfaat dan pengembangan
Kopsis. (Lihat gambar 10).
145
INPUT (Effector)
siswa
Kcpsek, Guru, pembina Kopsis dan
( lembaga terkait
Program pembelajaran dan pembinaan kop. ->
Media pembelajaran
situasi
Transaction. Pelaskanaan
pembinaan dan pembelajaran siswa dalam
^berkoperasi
Out Comes (Detector) Partisipasi siswa, manfaat
' kop. bagi siswa & perkemb. kop. Sek.
Selector fKreteria Pertimbangan)
EfFectivitas Partisipasi: magical conforming stage, naive reforming stage, Critical ctranforming stage.
S a n Manfaat Vtvpgrasi.: Ekonomi & non ekonomi.
Perkemb. Koperasi.: (pembentukan, pertumbuhan, pematangan X pemantapan
Gambar 9: Cybernetic model dalam pembelajaran dan peningkatan partisipasi siswa, manfaat koperasi bagi siswa, dan perkembangan koperasi.
Pemda Tingkat II melakukan koodinasi dengan Departemen Koperasi Tingkat
II dan departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat II mengadakan koordinasi
untuk menyusun langkah-langkah nyata pembinaan, pengembangan dan pemecahan
permasalahan yang dihadapi Kopsis di wilayahnya. Selain itu mereka memiliki
tanggung jawab untuk mengadakan pembinaan kontrol dan monitoring pelaksanaan
kegiatan Kopsis di setiap sekolah. Kepala sekolah sebagai pembina dan sebagai
penanggung jawab terlaksananya pemeblajaran dan pembinaan perilaku siswa berko-
perasi dan pengembangan Kopsis bertanggung jawab atas terciptanya budaya yang
ditunjuk dan kepala sekolah) mengadakan kerja sama menyususun program
pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi. Atas dasar arah program tersebut,
guru/pendidik koperasi menyusun program pembelajaran dalam kelas yaitu program
pembelajaran yang memungkinkan para siswa menginventarisir, menganilisa secara
146
Program Pembelajaran Koperasi dalam Kelas
Program pembel. yang memungkinkan siswa: menginventarisir, menganalisa secara sistemik , mencari alternatif pemecah-an, melelapkan & menerapkan alter-natif pemecahan masalah (di Kop.) serta feed baek.
Model: terpadu dlm & luar kelas Metode: hadap masalah, diskove-
ri, inkuiri, ket proses, dan social learning.
Program Pembm Perilaku
siswa berkop
Program Pembel & Pemb 'm di Luar Kelas
Pengarahan siswa, pembinaan, pelatihan perangkat org. kop, pembinaan lembaga terkait, fcerjasama antar guru, siswa, dan badan usaha lain. Model: terpadu dalam & luar kls Met. Pembin: beri kesempatan
siswa aktif (non direklif, colaboratifdan eklektif), kontr & monitoring scr. kontinyu
Met Pembel: directed discovery, social learning & pure dicovery (sesuai tingkat kemanp & ket. Siswa)
Melasanakan Program Pembel dalam Kelas
PembI APembin Perilaku Siswa dalam berkoperasi
Anggota; Persepsi Kognisi Motivasi Sikap
Pengurus: Persepsi Kognisi Motivasi Sikap
Efektivitas Partisipasi'. Magical conforming stage? Naive reforming stage? Criticat transfonning stage?
Taraf Perkembangan Kopsis:
pembentukan? Kosolidasi?
-evaluasi & feedback y P^b^? K - — * i
Gambar 10: Kerangka Pemikiran Penelitian Model Integratif Pembelajaran dan Pembinaan Kopsis Untuk Meningkatkan Partisipasi, Rasa Manfaat dan Perkembangan Kopsis.
—H
147
terhadap 7. i y : saling mempengaruhi -• berpengaruh terhadap 8. ^ .evaluasi!feedback
Keterangan:
1. 4 y; Koordinasi/keija sama 5. : memperhatikan 2. f: membuat/melalaikan 6. . berdasarkan 3 _ 4. — 5. — m e m b i n a , mengontrol
dan memonitor
oragnisasi dan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan dan fungsi
penyelenggaraan Kopsis. Guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis sekolah (guru
sistemik, mencari alternatif pemecahan, menetapkan dan menerapkan alternatif
pemecahan masalah itu dalam Kopsis yang selanjutnya dilakukan feedback.
Untuk mecapai ini guru perlu menggunakan model pembelajaran secara
terpadu antara proses pembelajaran dalam kelas dan luar kelas dengan pendekatan
pembel-ajaran siswa aktif. Dalam pendekatan ini guru perlu lebih mengutamakan
penerapan metode hadap masalah, diskoveri, inkuiri, ketrampilan proses dan social
learning dalam proses pembelajarannya. Atas dasar arah program pembinaan
perilaku siswa yang telah dirumus-kan bersama, pembina Kopsis menyusun program
pembinaan di luar kelas. Program ini mencakup pemberian pengarahan siswa,
penataran anggota, pelatihan perangkat organisasi Kopsis, kerjasama antar guru dan
staf sekolah, kerjasama dengan lembaga terkait, badan usaha dan lembaga lain. Agar
program ini bisa terlaksana, pembina Kopsis perlu melaksanakan model pembinaan
secara integratif dengan semua fihak dan program lain yang terkait. Dalam proses
pelaksanaan pembinaan, pembina koperasi dapat menggunakan metode direkttf, non
direktif, colaboratif dan eklektif.
Atas dasar program yang dibuat, guru/pendidik koperasi melaksanakan pro-
gram pembelajaran dalam kelas dan pembina Kopsis melaksanakan program
148
pembinaan di luar kelas. Aktivitas guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis secara
bersama-sama diarahkan ke arah membina perilaku siswa yang mencakup aspek
persepsi, kognisi, motivasi dan sikap. Melalui pem-binaan perilaku siswa dalam
berkoperasi ini diharpakan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis,
manfaat Kopsis bagi siswa, dan perkembangan Kopsis. Selain itu dalam waktu yang
bersamaan guru berpartisipasi membantu membina perilaku siswa dalam berkoperasi.
Setelah melaksanakan program, guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis
melakukan evaluasi dan feedback. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat pada tingkat
mana partisipasi siswa (magical conforming stage, natve reforming stage atau critical
transforming stage), seperti apa manfaat koperasi bagi siswa baik secara ekonomi
maupun non ekonomi, dan pada taraf mana perkembangan koperasinya (pembentuk-
an, pertumbuhan, pematangan atau pemantapan). Dalam melakukan feedback guru
dan pembina Kopsis dapat memeriksa pelaksanaan program, pembuatan program dan
komitmen mereka sendiri terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
I. APLIKASI MODEL, METODE DAN PERENCNAAN PEMBELAJARAN
SERTA PEMBINAAN SISWA DALAM BERKOPERASI
Berdasarkan teori pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi
tersebut maka dapat diambil inti-intinya sebagai berikut: model pembelajaran dan
pembinaan siswa dalam berkoperasi secara keseluruhan akan fungsional bila
diterapkan model pembelajaran dan pembinaan secara terpadu dengan menggunakan
pendekatan belajar siswa aktif. Artinya kepala sekolah, guru ekonomi dan pembina
Kopsis dalam menyususun program dan melakukan pembelajaran siswa pembinaan
siswa dalam berkoperasi perlu saling berkoordinasi tentang apa materinya dan
149
bagaimana membelajarkan dan membinanya serta bagaimana memanfaatkan Kopsis
sebagai media pembelajaran dan pembinaan yang memungkinkan siswa aktif dalam
proses belajar.
Para guru ekonomi dalam melaksanakan pembelajaran dan pembinaan siswa
dalam berkoperasi di kelas perlu memanfaatkan Kopsis dan lembaga usaha lain
sebagai media pembelajaran materi-materi ekonomi yang berkaitan dengan masalah
koperasi. Strategi pembelajaran yang perlu diterapkan adalah setelah menyajikan
teori-teori atau konsep ekonomi dan koperasi, guru membuka permasalahan tentang
bagaimana penerapan dan hasil-hasilnya atas teori atau konsep yang telah dipelajari
itu di dalam Kopsis, siswa disuruh mengamati dan mengecek penerapannya serta
bagaimana hasilnya, mengapa itu terjadi demikian, para siswa disuruh mendiskusikan
hal tersebut dalam kelompok dan melaporkan serta mendiskusikan hasilnya di kelas,
selanjutnya para siswa dianjurkan mendiskusikan tentang saran-saran apa yang perlu
diterapkan di Kopsis. Pada kesempatan yang lain guru menyuruh para siswanya
mengevaluasi hasil penerapan atas saran-saran yang mereka berikan.
Bagi para pembina dalam menerapkan pembelajaran dan pembinaan perlu
memperhatikan tahap mana perkembangan Kopsis yang ada di sekolahnya dan
tingkat kemampuan dan ketrampilan para siswa. Hal ini disebabkan tahap
perkembangan koperasi yang berbeda menunjukkan tingkat pengetahuan,
kemampuan, ketrampilan dan pengalaman para siswa dalam berkoperasi secara
berebeda. Proses pembelajaran dan pembinaan perlu disesuaikan dengan tingkat
kebutuhan, kemampuan dan karakteristik anak. (Glickman,1981: 40) Proses belajar
merupakan proses bertahap, pengetahuan prerekuisit sebelumnya menentukan
perkembangan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan selajutnya (Gagne and
150
Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988). Taraf kemampuan dan
pengalaman kelompok individu ada yang masih berkategori rendah, sedang dan
tinggi, dan secara berurutan akan lebih tepat dibina secara direktif, colaboratif dan
non direktif (delegatif) dan eklektif. Sehubungan dengan pendekatan penerapan
CBSA yang variatif sifatnya, agar lebih serasi dengan taraf kemampuan para individu
dalam Kopsis dan tahap perkembanagn Kopsis, maka Kopsis yang bertahap
pembentukan akan lebih tepat apabila para anggota Kopsis dibelajarkan dengan
menggunakan metode social learning dan dibina secara direktif. Kopsis yang
bertahap Konsolidasi dibelajarkan dengan menggunakan directed dicovery-inquiry
dan dibina secara kolaboratif. Sedangkan Kopsis yang telah bertahap pengembangan
dibelajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran secara pure dicovery-
inquiry dan dibina secara delegatif (non-direktif)
J. DEFINISI OPERATIONAL
1. Model Pembelajaran Koperasi
Menurut Cole dan Chan (1994: 4) model pembelajaran merupakan
serangkaian ide-ide atau proposisi-proposisi dari suatu pemikiran yang abstrak yang
dapat digunakan untuk membimbing metode-metode, memilih prinsip-prinsip dan
mengambil keputusan praktis. Model mencakup di dalamnya gambaran prinsip-
prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik yang dapat dilakukan. Menurut
Reigluth (1983: 21) model pembelajaran merupakan serangkaian komponen strategi
yang terpadu, seperti dalam pengurutan bahan ajar, penggunaan ikhtisar dan
ringkasan, penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, penerapan strategi-strategi yang
berbeda-beda dalam memotivasi siswa. Pembelajaran merupakan serangkaian
aktivitas yang dilakukan oleh pendidik atau tutor yang bertujuan untuk membantu
151
dan membina atau memepermudah proses belajar subjek belajar atau siswa. Koperasi
yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup dua penegrtian: (a) koperasi dalam
arti bagian mata pelajaran ekonomi yang membicarakan tentang dunia usaha dalam
bentuk keija sama ekonomi yang mementingkan kepentingan anggota, dan (b)
koperasi dalam arti Kopsis yang berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa, lab
ekonomi dan lab pembinan kepribadian siswa, termasuk dalam pengembangan dan
penanaman langsung nilai-nilai kehidupan ekonomi yang bersifat demokratis (Ditjen
Dikdasmen, 1991). Oleh karena itu model pernbel-ajaran koperasi adalah serangkaian
ide-ide atau proposisi-proposisi pemikiran yang bersifat abstrak yang dapat
digunakan untuk membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi,
prosedur dan teknik, pengurutan bahan ajar, penggunaan contoh, pelaksanaan
praktik, pemberian tugas, dan pengambilan keputusan tentang berbagai aktivitas
yang perlu dilakukan pendidik atau tutor dalam membantu dan membina atau
mempermudah proses belajar peserta didik dalam bidang perkoperasian, baik belajar
koperasi yang dilakukan di dalam kelas maupun belajar koperasi yang dilakukan di
luar kelas Dengan pengertian tersebut model pembelajaran koperasi yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah serangkaian ide-ide yang abstrak yang
membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik yang
dilakukan secara terpadu antara belajar koperasi di dalam kelas dengan belajar
koperasi di luar kelas.
2. Metode Pembinaan Perilaku.
Metode pembinaan adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses
pembina-an (Sahertian, 1994:102). Sedangkan perilaku memiliki empat unsur yaitu
persepsi, kognisi, motivasi dan sikap. Dari macamnya Glickman (1981: 5) menggo-
152
longkan. 4 macam metode yang mungkin dapat diterapkan dalam upaya pembinaan
perilaku, yaitu metode direktif, non-direktif, kolaboratif dan eklektif. Atas dasar
pengertian ini maka metode pembinaan perilaku yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh pembina Kopsis dalam upaya
membina persepsi, kognisi, motivasi dan sikap siswa dalam berkoperasi, apakah ia
cenderung menggunakan metode direktif, non-direktif, colaboratif atau eklektif.
3. Pembina Kopsis
Pembina Kopsis adalah orang yang tugasnya melakukan pembinaan Kopsis
yaitu membimbing dan mengawasi terhadap jalannya kegiatan Kopsis. Pada tingkat
Sekolah Lanjutan Atas yang dimaksudkan pembina Kopsis adalah guru bidang studi
ekonomi/pengelolaan usaha dan atau guru lain yang ditunjuk serta memiliki penge-
tahuan perkoperasiaan sebagai Guru Pembina OSIS yang mendampingi
kewirausahaan/ perkoperasiaan (Petunjuk Pelaksnaan Kopsis Ditjen Depdikbud,
1991:3-4).
4. Perilaku Siswa (Sebagai Anggota dan Pengurus)
Dengan pembinaan diharapkan para siswa terjadi perubahan persepsi dan
sikap negatif ke arah persepsi dan sikap yang positif peserta didik terhadap koperasi,
serta meningkatnya kognisi dan motivasi peserta didik terhadap koperasi.
Persepsi adalah suatu proses seleksi, mengorganisir dan memberikan makna
oleh individu terhadap kesan-kesan yang ada di lingkungannya. Yang dimaksudkan
persepsi positif dalam penelitian ini adalah pemberian makna terhadap Kopsis dan
perlengkapan organisasinya secara positif. Sedangkan persepsi negatif adalah
pemberi-an makna terhadap koperasi secara negatif. Pemberian makna ini meliputi
pemberian makna terhadap koperasi dari segi manfaat, pelayanan, kegiatan yang
153
dilakukan, perkembangan, pelaksanaan rapat anggota, pembina, pengurus dan
pengawas koperasi serta pelajaran koperasi.
Sikap adalah pernyataan evaluatif tentang sesuatu objek, orang atau peristiwa
yang dinyatakan dengan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan.
(Robbins, 1996: 180), Yang dimaksudkan sikap positif dalam penelitian ini adalah
pernyataan evaluatif dari para siswa terhadap koperasinya secara positif. Sedangkan
sikap negatif terhadap koperasi adalah pernyataan evaluatif secara negatif terhadap
koperasi. Sikap mengandung tiga komponen yaitu sikap kognitif, sikap perasaan, dan
sikap kecenderungan bertindak.
Komponen pertama akan mencakup semua pemahaman siswa yang bersifat
evaluatif terhadap kegiatan dan kehidupan koperasi yang sedang berjalan.
Pemahaman ini akan mencakup: a. segi manfaat: apakah Kopsis memberikan manfaat
kepada dirinya atau tidak, menguntungkan atau tidak menguntungkan; b. segi
pelayanan: apakah koperasi sudah mampu memberikan pelayanan sesuai dengan
harapan dari keputusan rapat anggota baik dari segi kecepatan pelayanan, kualitas
barang, harga barang, macam barang, penampilan petugas maupun penerimaan
aduan; c. perlengkap-an organisasi Kopsis (pengurus, pembina, rapat anggota,
pengawas). Pengurus: apakah mereka dapat dipercaya atau tidak, apakah mereka
telah menjalankan hasil-hasil kepu-tusan rapat anggota atau belum, pembina: apakah
pembina meberikan pembinaan sesuai dengan harapannya; rapat anggota: apakah
panitia rapat telah menyiapkan persoalan-persoalan yang perlu dipecahkan dalam
rapat, apakah pelaksanaan rapat didominasi oleh panitia atau tidak; pengawas :
apakah pengawas telah menjalankan hak dan kewajibannya sebagai pengawas, d..
segi kegiatan: apakah koperasi telah banyak menyelenggarakan kegiatan yang
154
bermanfaat bagi pengembangan anggota atau tidak, seperti trainng kepengurusan dan
pengelolaan koperasi, mengundang tenaga ahli untuk memberikan penataran; e. segi
perkembangan: apakah koperasi berkembang atau mengalami kemajuan atau tidak.
Komponen kedua berkenaan dengan perasaan senang dan tidak senang, suka
dan tidak suka terhadap koperasi: mencakup segi manfaat, pelayanan, kegiatan yang
dilakukan, perkembangan, pelaksanaan rapat anggota, pembina, pengurus dan
pengawas koperasi.
Komponen ketiga berkaitan dengan kecenderungan atau kemauan individu
untuk bertindak membantu, acuh tak acuh atau justru menghalangi kelancaran
penyelenggaraan koperasi: baik dari segi pelayanan, kegiatan, pengembangan,
pelaksanaan rapat anggota maupun promosi koperasi.
Kognisi adalah banyaknya pengetahuan yang tersimpan di dalam otak seseo-
rang (Bloom, 1956:28). Tingkat pengetahuan para siswa tentang koperasi akan dilihat
dari aspek hakekat, tujuan, fungsi koperasi, azas-azas koperasi, hak dan kewajiban
anggota serta mekanisme kerja koperasi (khususnya Kopsis) serta berdasarkan
prestasi hasil belajar yang berupa nilai yang diberikan oleh guru bidang ekonomi
koperasi.
Motivasi merupakan energi atau daya pendorong seseorang untuk berbuat
atau bertingkah laku. Yang dimaksudkan motivasi dalam penelitian ini adalah daya
pendo-rong atau semangat individual siswa untuk belajar dan berpartisipasi dalam
koperasi, baik partisipasi dalam perannya sebagai pemilik dan pelanggan. Sebagai
pemilik para siswa bersemangat memberikan kontribusi secara aktif dalam
pembentukan dan perkembangan koperasi dalam bentuk kontribusi keuangan.
Sebagai anggota para siswa ikut aktif mengambil bagian dalam hal penetapan tujuan,
155
pembuatan keputusan dan dalam proses pengawasan tata kehidupan koperasi.
Sedangkan dalam perannya sebagai pelanggan/pemakai, para siswa memanfaatkan
berbagai potensi yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang kepentingannya.
5. Program Pembelajaran
Program pembelajaran merupakan suatu rancangan pengalaman pendidikan
yang disusun agar dapat dipelajari para siswa mungkin di dalam kelas, luar kelas atau
bahkan mungkin dapat dipelajari di luar sekolah (Good and Mackel, 1956: 449). Atas
dasar pengertian tersebut maka yang dimaksudkan dengan program pembelajaran
koperasi dalam penelitian ini adalah rancangan pengalaman pendidikan koperasi
yang akan diberikan kepada para siswa baik yang dipelajari di dalam kelas maupun di
luar kelas. Pendeknya program pembelajaran koperasi yang ingin digali dalam
penelitian ini mencakup program pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas.
Program pembelajaran dalam kelas adalah suatu rancanagan pembelajaran yang
disusun secara logis-sistematis oleh pendidik untuk meningkatkan hasil pembelajaran
(Sukartawi, dkk, 1995:15). Program pembelajaran ini lebih menekankan pada hasil
pembelajaran yang lebih bersifat konseptual teoritis. Program pembelajaran ini
mencakup: pengorganiasian bahan ajar, penyajian pembelajaran, dan evaluasi hasil
pembelajaran. Sedangkan program pembelajaran koperasi di luar kelas merupakan
prgram pembelajaran yang lebih bersifat praktis yang dirancang dan dilakukan oleh
guru dan pembina koperasi dalam rangka meningkatkan atau menunjang pencapaian
tujuan pembelajaran di dalam kelas dan pencapaian tujuan dan fungsi Kopsis. Lebih
sederhananya, program ini merupakan program yang diarahkan pada pemikiran
bagaimana Kopsis itu dapat berkembang dan benar-benar dapat difungsikan sebagai
laboratorium ekonomi (koperasi) di sekolah dan organisasi ekonomi siswa. Program
156
ini mencakup: analisa kondisi koperasi pengarahan siswa baru, training anggota,
manajer dan karyawan serta training pengurus, keijasama dengan lembaga lain,
keijasama antara kepala sekolah, guru, pembina koperasi dan adminstrasi sekolah,
praktik koperasi, cara membina perilaku siswa: peningkatan pesepsi, pengetahuan
(wawasan), motivasi dan sikap siswa terhadap koperasi.
6. Hasil yang Dicapai
Hasil yang dicapai atau hasil belajar riil yang dimaksudkan dalam penelitian
ini adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam koperasi yang mencakup manfaat
koperasi yang dirasakan siswa, efektivitas partisipasi siswa dalam koperasi, dan
perkembangan Kopsis dengan model pembelajaran dan metode pembinaan perilaku
yang diterapkan oleh para guru dan pembina koperasi.
Manfaat koperasi adalah tingkat keuntungan yang dirasakan oleh para
anggota (siswa) Kopsis baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi.
Efektivitas partisipasi siswa (Anggota). Steers (1985:46) mengemukakan
bahwa efektivitas adalah tingkatan sejauh mana organisasi melakukan seluruh tugas
pokoknya atau mencapai sasaran. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh
Hidayat (1986:3) bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa
target (kuantitas, kualitas, waktu) telah tercapai. Sedangkan Partisipasi adalah keter-
libatan mental dan perasaan sesorang di dalam situasi kelompok untuk memberikan
kontribusi dan bersama-sama bertanggung jawab atas tercapainya tujuan kelompok
(Davis, 1981: 176) Berdasarkan pendapat tersebut yang dimaksudkan efektivitas
parti-sipasi dalam penelitian ini adalah tingkatan sampai seberapa jauh anggota
melibatakan diri dalam Kopsis, memanfaatkan insentif yang diberikan oleh koperasi,
menyumbangkan fikiran, tenaga, dan biaya dalam mendukung pelaksanaan kegiatan
koperasi.
157
Dari pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud efektivitas
partisipasi anggota Kopsis adalah tingkatan sampai seberapa jauh anggota
melibatakan diri dalam Kopsis, memanfaatkan insentif yang diberikan oleh koperasi,
menyumbang-kan fikiran, tenaga, dan biaya dalam mendukung pelaksanaan kegiatan
koperasi.
Sedangkan data tentang tingkat partisipasi siswa akan dilihat berdasarkan
pada tingkat-tingkat partisipasi yang dikemukakan oleh Freire (1972:1-48) dan
Alschuler (1980: 13). Mereka menggolongkan tingkatan partisipasi sesorang ke
dalam 3 (tiga) tingkatan:
a. The magical conforming stage. pada tingkatan ini orang memiliki perspektif
bahwa sistuasi yang ada di lingkungannya dirasakan sebagai sesuatu yang sudah
tidak bisa diubah dan sangat kecil sekali kemungkinnya untuk mampu
mengubahnya. Ia lebih suka menyerah terhadap keadaan, merasa tak berdaya
untuk berbuat, berjiwa fatalism, masa bodoh dan tak mau melakukan tindakan
untuk berbuat.
b. Na'ive reforming stage. pada tingkatan ini orang sudah timbul keinginan mencoba
dan mencoba untuk memperbaiki keadaan. Ia memandang bahwa system
lingkung-an dapat diterima, dan tanggung jawab perubahan adalah ada pada
individu masing-masing. Ia merasa bahwa yang penting dirinya telah berbuat
sesuai dengan system yang ada.
c. The critical transforming stage: individu mulai menganalisa budaya dan struktur
sosial atau system lingkungan yang ada secara kritis dan berpartisipasi secara
aktif untuk melakukan rekonstruksi terhadap system yang ada atau melakukan
tindakan-tindakan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-sama.