Post on 03-Mar-2019
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke yang
termasuk Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, dan Keluarahan Muara Angke,
wilayah Kecamatan Penjaringan, Kota Madya Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Wilayah kajian juga meliputi Sub DAS Sungai Angke, Sub DAS Sungai
Cengkareng, dan Sub DAS Sungai Kamal.
Waktu penelitian dilakukan sejak bulan Desember 2010 sampai dengan bulan
Juni 2011. Data sekunder yang dihimpun dari berbagai pihak di antaranya: laporan
penelitian (Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB,
Universitas Indonesia, dan LPP Mangrove), instansi terkait (PT. Mandara Permai,
PT. Murindra Karya Lestari, Dinas Pertanian dan Kelautan Perikanan, Balai
Konservasi Sumberdaya Alam Jakarta atau BKSDA, Badan Pengelola Lingkungan
Hidup Daerah atau BPLHD, dan Badan Pengelola Reklamasi Pantura atau BP
Pantura), pemerintah daerah (Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Kapuk, Kelurahan
Muara Angke, Kecamatan Penjaringan-Kodya Jakarta Utara, dan Daerah Khusus
Ibukota Jakarta) dan pemerintah pusat (Ditjen RLPS dan Ditjen PHKA Kementrian
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Kelautan dan
Perikanan).
3.2 Ruang Lingkup, Tahapan Penelitian dan Variabel yang Diamati
3.2.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini meliputi serangkaian kegiatan sebagai berikut:
a. Mengkaji kondisi biofisik kawasan mangrove Muara Angke yang meliputi:
kondisi geologi dan tanah, hidrologi, iklim, kualitas air, flora dan fauna, dan biota
air
b. Survei kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat sekitarnya, harapan dan
keinginan, potensi permintaan pemanfaatan mangrove, persepsi masyarakat dan
swasta terhadap pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke, dan kebijakan
39
pengelolaan pemerintah (pemerintah daerah kota atau propinsi, pemerintah pusat)
tentang penyelamatan hutan mangrove Muara Angke
c. Valuasi ekonomi sumberdaya mangrove yang dimanfaatkan masyarakat (wisata
terbatas, pendidikan, penelitian, budidaya tambak, tegakan hutan, biota air, fauna
darat, dan jasa lingkungan)
d. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
DKI Jakarta
e. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan mangrove
Muara Angke yang berkelanjutan .
3.2.2 Tahapan Penelitian
Tahapan penelitian dimulai dengan inventarisasi yang bertujuan untuk
mengetahui aspek biofisik kawasan mangrove Muara Angke (kondisi fisik kimia dan
biologi kawasan), aspek sosial ekonomi dan budaya (penduduk, pendidikan, mata
pencaharian, dan persepsi masyarakat terhadap kondisi kawasan mangrove Muara
Angke), serta kondisi pengelolaan saat ini (potensi kawasan, kegiatan yang telah
dilakukan, rencana program pengelolaan setiap sektor atau instansi serta kondisi, dan
rencana pengembangan infrastruktur).
Kajian kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove Muara
Angke dan valuasi ekonomi sumberdaya mangrove Muara Angke dilakukan untuk
mengetahui kondisi terkini masyarakat (penduduk, pendidikan, mata pencaharian,
pendapatan, harapan dan keinginan, dan interaksi dengan kawasan mangrove) serta
nilai sumberdaya kawasan mangrove. Status keberlanjutan pengelolaan kawasan
mangrove Muara Angke dimaksudkan untuk mengetahui status terkini dan faktor
pengungkit yang perlu didorong untuk mewujudkan pengelolaan kawasan mangrove
Muara Angke berkelanjutan.
Sintesis bertujuan untuk merumuskan “Arahan Kebijakan dan Strategi
Pengelolaan Kawasan Mangrove Muara Angke yang Berkelanjutan” yang didukung
semua pihak, paling optimal bagi pengembangan kawasan mangrove Muara Angke
DKI Jakarta. Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3.
40
Gambar 3 Tahapan penelitian.
3.2.3 Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas: data ekologi, data sosial dan
ekonomi, dan data kebijakan pemerintah (DKI Jakarta dan sektor-sektor
pembangunan terkait). Data ekologi hutan mangrove meliputi: komponen lingkungan
fisik, kimia, dan biologi (air, tanah, pasang surut, kedalaman, debit aliran, sampah
padat, dan vegetasi, satwaliar, dan biota air). Data sosial meliputi kependudukan,
pendidikan, agama, suku, dan adat istiadat. Data ekonomi meliputi data-data yang
terkait dengan kegiatan pembangunan, yaitu perhubungan, kehutanan, perikanan,
perindustrian, pariwisata, dan pemukiman, dsb. Sedangkan data kebijakan pemerintah
yang ditelaah adalah beberapa kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tata
ruang, pengelolaan kawasan mangrove, wilayah pesisir, lingkungan, dan kawasan
Kondisi Umum
kawasan mangrove
Kondisi Biofisik
Kondisi Sosial
Ekonomi
Masyarakat
Kondisi
kelembagaan
Status
Keberlanjutan
Pengelolaan
ARAHAN KEBIJAKAN
DAN STRATEGI
PENGELOLAAN
Kebutuhan Masyarakat
dalam Pemanfaatan
Kawasan Mangrove
Tahap-1
Tahap-2
Tahap-3
Deskriptif
Deskriptif
MDS
Analisis
Kebutuhan
A’WOT
41
konservasi. Selain itu juga dikumpulkan peta-peta tematik yang telah diterbitkan oleh
berbagai unit kerja di wilayah DKI Jakarta.
Tabel 4 Tahap penelitian, jenis data, dan sumber data
No Tahap Jenis Data Sumber Data
1 Mengkaji kondisi dan potensi kawasan
mangrove Muara Angke
Geologi dan tanah, fisiografi,
hidrologi, peruntukan wilayah, sistem
tata air, ekosistem dan keanekaragaman hayati (flora, fauna),
potensi kawasan mangrove, kebijakan
dan sarana prasarana pengelolaan
Observasi, kuesioner,
dan dokumentasi dari
instansi terkait
2 Mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat
Kependudukan, matapencaharian, pendidikan, persepsi masyarakat
terhadap kawasan mangrove, harapan
dan keinginan, interaksi masyarakat
dengan kawasan mangrove, peranserta dan kelembagaan.
Monografi desa, kecamatan dan Kota
Jakarta Utara,
wawancara dengan
responden, pengamatan lapang
3 Melakukan valuasi nilai ekonomi total
kawasan Muara Angke
Nilai ekonomi kawasan (mangrove,
perikanan, permukiman, pariwisata,
jasa)
Wawancara dengan
kuesioner kepada
masyarakat , observasi
4 Mengkaji status keberlanjutan
pengelolaan hutan mangrove Muara
Angke
Ekologi, Ekonomi, Sosial,
Kelembagaan
Observasi dan
dokumentasi, serta
pendapat stakeholder
5 Mengidentifikasi kebutuhan stakeholder yang terkait dengan pemanfaatan
mangrove Muara Angke
Kebutuhan stakeholder dalam pemanfaatan dan pelestarian kawasan
Wawancara mendalam kepada stakeholder
6 Menyusun skenario pengelolaan dan merumuskan strategi implementasinya
Preferensi stakeholder dalam kaitan dengan kebijakan pengelolaan
mangrove
Diskusi dengan stakeholder
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
3.3.1 Studi Literatur
Studi literatur dilakukan untuk mengkaji kebijakan pemerintah dan
pemerintah daerah, serta langkah-langkah pengelolaan kawasan mangrove Muara
Angke yang telah dan akan dilakukan, serta terhadap hasil-hasil penelitian biofisik,
sosial ekonomi, yang pernah dilakukan di kawasan mangrove Muara Angke. Laporan
kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah (Dinas Pertanian, Peternakan, Kelautan
dan Perikanan DKI Jakarta, BKSDA DKI Jakarta, dan BPLHD DKI Jakarta) serta
42
hasil penelitian yang dilakukan perguruan tinggi (Fakultas Kehutanan IPB, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, dsb).
3.3.2 Metode Wawancara
Metode Wawancara digunakan untuk memperoleh data persepsi masyarakat
terhadap kawasan mangrove (keberadaan dan manfaat), peranserta, kesadaran
masyarakat dalam pengelolaan kawasan mangrove, dan upaya perbaikan lingkungan,
serta penilaian masyarakat tentang status keberlanjutan kawasan mangrove Muara
Angke.
Wawancara juga dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomi sumberdaya
mangrove. Pengumpulan data sosial dan ekonomi dilakukan dengan cara survei.
Berdasarkan Singarimbun dan Effendi (1989), penelitian survei adalah penelitian
yang mengambil contoh dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat
pengumpulan data yang pokok. Pemilihan responden sebagai unit penelitian
dilakukan dengan metode penarikan contoh secara acak sederhana. Contoh yang
diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari
populasi mempunyai kesempatan yang sama. Responden adalah kepala keluarga atau
penghuni dewasa dalam suatu rumah tangga, yang berumur di atas 20 tahun, dengan
asumsi bahwa yang bersangkutan dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang ada dalam kuisioner. Data sosial ekonomi tidak seluruhnya berupa data
kuantitatif, sehingga data yang bersifat kualitatif akan diolah secara deskriptif.
Data wisatawan dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner sebagai alat
pengumpulan data. Pemilihan responden sebagai unit penelitian dilakukan dengan
metode penarikan contoh secara acak sederhana dengan memilih wisatawan yang
berumur di atas 20 tahun atau sudah berkeluarga.
Pengumpulan data kelembagaan dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Sedangkan untuk mengetahui tugas dan fungsi
masing-masing instansi, dilakukan wawancara dengan instansi terkait, baik struktural
maupun keproyekan, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Harapan dan keinginan
masyarakat tentang kelembagaan pengelolaan hutan mangrove Muara Angke
43
dilakukan pengumpulan datanya dengan menggunakan kuisioner melalui teknik
wawancara terhadap responden terpilih (LSM, Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah,
dan Dinas Teknis terkait).
Wawancara dengan responden untuk mengetahui Nilai Ekonomi Sumberdaya
Mangrove dilakukan dengan alat bantu kuisioner (Lampiran 2). Demikian pula
dengan wawancara terhadap stakeholder (masyarakat, swasta, pakar, dan pemerintah)
untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
digunakan kuisioner (Lampiran 3).
Jumlah responden keseluruhan sebanyak 130 orang, dengan jenis kelamin
laki-laki sebanyak 102 orang (78 %), sedangkan perempuan 28 orang (22 %).
Responden merupakan kepala keluarga dalam rumah tangga masyarakat yang
tersebar di Kelurahan Penjaringan, Tegal Alur, Kamal Muara, Pluit, dan Kapuk
Muara, Kecamatan Penjaringan Kotamadya Jakarta Utara. Khusus responden untuk
wisatawan telah diwawancarai sebanyak 40 orang yang terdiri atas 35 orang
wisatawan nusantara (winus) dan 5 orang wisatawan mancanegara (wisman).
3.3.3 Metode Survei
Metode survei lapang untuk mengumpulkan data biofisik, sosial ekonomi
masyarakat, dan nilai ekonomi total kawasan mangrove digunakan beberapa teknik
pengumpulan data primer sebagai berikut:
1. Indek Tutupan Vegetasi
Citra yang digunakan dalam kajian ini adalah citra Landsat 7 ETM+ tahun
1989 (mewakili kondisi sebelum dilakukan konversi kawasan mangrove Muara
Angke) dan tahun 2006 (mewakili kondisi tutupan lahan setelah dilakukan konversi
kawasan mangrove dan kegiatan pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke).
Setiap objek di permukaan bumi memiliki karakteristik reflektansi berbeda
pada panjang gelombang tertentu, sehingga karakter unik ini yang dapat membedakan
satu objek dengan objek lain. Secara umum, karakteristik reflektansi spektral pada
suatu tutupan lahan disajikan pada Gambar 4. Adapun karakteristik spektral yang
dimiliki Landsat 7 ETM+ disajikan pada Tabel 5.
44
Tabel 5 Karakteristik spektral citra Landsat 7 ETM+
Nomor Band Panjang Gelombang (µm) Band
1 0,45 – 0,515 Biru
2 0,525 – 0,605 Hijau
3 0,63 – 0,69 Merah
4 0,75 – 0,90 Infra merah dekat
5 1,55 – 1,75 Infra merah sedang (1)
6 10,4 – 12,5 Infra merah termal
7 2,09 – 2,35 Infra merah sedang (2)
8 0,52 – 0,9 Pankromatik
Gambar 4 Karakteristik reflektansi spektral pada masing-masing tutupan lahan.
Registrasi merupakan kegiatan penyamaan posisi antara satu citra dengan citra
lainnya pada satu lokasi yang sama. Proses ini dilakukan agar posisi piksel suatu citra
bisa dibandingkan. Dalam analisis citra multi waktu, terutama yang berkaitan dengan
perubahan tutupan lahan, registrasi merupakan tahapan pra pengolahan citra yang
vital karena menentukan hasil analisis piksel yang bersangkutan.
Kemampuan spektral yang dimiliki suatu citra dapat digunakan untuk
memperoleh informasi lain yang tidak dapat diperoleh secara langsung melalui
visualisasi citra. Salah satu hasil pemanfaatan spektral yang sering digunakan adalah
indeks vegetasi.
Pada beberapa indeks vegetasi yang dapat diturunkan dari hasil operasi band-
band yang terkandung dalam suatu citra. Normalized Difference Vegetation Index
Tanah Kosong (kering) Vegetasi
Air (jernih)
Panjang gelombang (µm)
45
(NDVI) merupakan salah satu indeks vegetasi yang umum digunakan, terutama untuk
mengetahui kandungan biomassa suatu lokasi. NDVI menggunakan band infra merah
dekat dan band merah. Adapun rumus yang digunakan adalah:
NIR REDNDVI
NIR RED
(1)
Dimana,
NIR : Nilai digital pada band infra merah dekat
RED : Nilai digital pada band merah
Nilai NDVI yang dihasilkan berkisar antara -1 hingga +1. Vegetasi lebat
diwakili oleh nilai-nilai yang mendekati 1, badan air memiliki nilai mendekati -1,
sedangkan NDVI untuk tanah kosong cenderung mendekati nol.
Klasifikasi indeks tutupan vegetasi ditentukan berdasarkan rentang nilai
NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman
Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Pembagian
klasifikasinya adalah sebagai berikut:
a) Kerapatan tajuk lebat (0,43 ≤ NDVI ≤ 1,00)
b) Kerapatan tajuk sedang (0,33 ≤ NDVI ≤ 0,42)
c) Kerapatan tajuk jarang (-1,00 ≤ NDVI ≤ 0,32)
2. Keanekaragaman Jenis dan Dominasi Jenis Tumbuhan
Hutan mangrove di lokasi penelitian dibedakan menjadi 5 lokasi, yaitu:
Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Lindung, Hutan Wisata, Kebun Bibit, dan
Lahan dengan Tujuan Istimewa. Kelima lokasi atau daerah tersebut memiliki tingkat
kerusakan dan penutupan vegetasi yang berbeda-beda.
Pada jalur-jalur yang telah dibentuk, dibuat petak ukur bertingkat berbentuk
bujur sangkar yang dibuat secara berselang seling. Masing-masing berukuran 10 m x
10 m (tingkat pohon), 5 m x 5 m (tingkat pancang), dan 1 m x 1 m (tingkat anakan)
46
(Kusmana 1995). Bersamaan dengan pengukuran dilakukan pencatatan pada tally
sheet yang meliputi jenis dan jumlah individu masing-masing jenis.
Stadium pertumbuhan vegetasi mangrove, dibedakan dengan menggunakan
kriteria (Kusmana 1995), yaitu:
a. Anakan : Permudaan mulai kecambah sampai anakan setinggi 1,50 m
b. Pancang : Permudaan dengan tinggi > 1,50 m sampai pohon muda berdiameter
kurang dari 10 cm
c. Pohon : Berdiameter 10 cm atau lebih.
Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan,
frekuensi (penyebaran jenis), dominasi (penguasaan jenis), dan indeks nilai penting
(peran jenis). Persamaan-persamaan yang digunakan untuk pengolahan data vegetasi
mangrove adalah sebagai berikut:
a. Kerapatan (batang/ha) = Jumlah individu suatu jenis
Luas seluruh petak
b. Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100%
Kerapatan seluruh jenis
c. Frekuensi Jenis = Jumlah petak terisi suatu jeins
Jumlah seluruh petak
d. Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis x 100%
Frekuensi seluruh jenis
e. Dominasi Jenis = Luas bidang dasar suatu jenis
Luas seluruh petak
f. Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis x 100%
Dominasi seluruh Jenis
g. Indeks Nilai Penting (INP) = KR+FR+DR
2. Satwaliar
Data primer yang berkaitan dengan satwaliar diperoleh dengan penjelajahan
atau reconnaisance, yang dilakukan di seluruh hutan mangrove Muara Angke (hutan
lindung, suaka margasatwa, hutan wisata, kebun bibit, dan LDTI), baik mengenai
47
kondisi habitat secara umum maupun jenis satwaliar terutama yang dilindungi. Hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi umum kawasan Muara Angke sebagai
habitat satwaliar. Setelah ditemukan jenis satwaliar, dilakukan pengamatan intensif di
tiap tipe vegetasi atau lokasi (habitat) yang ada. Khusus untuk data burung,
pengumpulan data dilakukan dengan metode terkonsentrasi (Consentration Count
Method) dan metode perjalanan untuk menyusun daftar jenis pada lokasi pengamatan
(Alikodra 1990).
3. Valuasi Ekonomi
Dalam studi ini, pendekatan yang digunakan dalam penilaian adalah Nilai
Ekonomi Total (Total Economic Value) yang meliputi (Lihat Gambar 5):
a) Nilai penggunaan langsung adalah barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan
mangrove yang digunakan langsung oleh manusia. Nilai penggunaan langsung
yang dihitung dalam studi ini meliputi: kayu komersial, arang, tiang pancang,
kayu bakar, nipah, obat-obatan, kerang, untuk konstruksi dan tanaman obat-
obatan
b) Nilai penggunaan tidak langsung adalah nilai ekonomi yang diterima oleh
masyarakat dari sumberdaya alam dan lingkungan mangrove secara tidak
langsung, seperti manfaat ekologis dari hutan mangrove sebagai penahan abrasi,
penahan intrusi, dan penyerapan karbon
c) Nilai pilihan diturunkan dari pilihan untuk melakukan preservasi bagi penggunaan
barang dan jasa sumberdaya dan lingkungan mangrove di masa yang akan datang
yang tidak dapat digunakan pada saat sekarang
d) Nilai bukan penggunaan merupakan nilai keuntungan yang dapat dinikmati
manusia sehubungan dengan keberadaan sumberdaya alam dan lingkungan
mangrove. Manusia dapat memberikan nilai pada sumberdaya hutan dengan tanpa
maksud untuk memanfaatkannya pada masa yang akan datang, yaitu mereka
memberikan nilai secara murni pada sumberdaya hutan, dengan harapan
keberadaan sumberdaya hutan tersebut dapat dipertahankan terus-menerus.
48
Banyak pihak ingin memberi uang, waktu, atau pun barang untuk membantu
melindungi jenis ekosistem yang langka dan akan terancam punah.
Gambar 5 Tipologi barang dan jasa sistem sumberdaya dan lingkungan: Total
Economic Value (Pagiola et Al. 2004).
3.4 Analisis Data
3.4.1 Analisis Deskriptif
Analisis Deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi dan status terkini
biofisik kawasan mangrove (penutupan lahan berdasarkan Citra Landsat TM tahun
liputan 1989, 2001, dan tahun 2006, keanekaragaman jenis, struktur dan komposisi
jenis, keanekaragaman jenis fauna, biota air dan plankton, kondisi hidrologi atau
hidrooseanografi, kualitas air, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar). Analisis
dieskriptif juga dilakukan terhadap peranserta dan kesadaran masyarakat dalam
pengelolaan kawasan mangrove, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kawasan
mangrove dan upaya perbaikan lingkungan, serta kebutuhan stakeholders). Analisis
deskriptif juga dilakukan terhadap kebijakan dan kelembagaan pengelolaan kawasan
mangrove Muara Angke, serta kegiatan pengelolaan yang telah dan akan dilakukan
pada masa mendatang.
Total Economic Value (TEV)
Use value Non- use value
Direc use value:
Consumptive
Non- consumtive
Indirect use value Option Value Existence value
49
3.4.2 TEV (Total Economic Valuation)
Pendugaan nilai ekonomi total dilakukan beradasarkan hasil kajian data
lapang, data sekunder, dan hasil wawancara dengan responden. Analisis kuantitatif
nilai ekonomi kawasan mangrove Muara Angke menggunakan dua tahap, seperti
yang dilakukan Ruitenbeek (1992), yaitu (1) Identifikasi manfaat dan fungsi-fungsi
kawasan dan (2) Mengkuantifikasikan manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang.
Metode penelitian yang digunakan untuk valuasi ekonomi hutan mangrove
adalah metode biaya pengganti (replacement cost method/RCM) dan valuasi
kontingensi (contingensi valuation method/CVM) dengan pendekatan kesediaan
pemanfaat hutan mangrove untuk membayar jasa lingkungan (willingness to
pay/WTP) dan kesediaan masyarakat yang terkena dampak untuk menerima
pembayaran jasa lingkungan (willingness to accept/WTA) agar tetap menjaga
keberadaan hutan mangrove. Alasan pemilihan metode RCM dan CVM adalah untuk
menilai jasa lingkungan multifungsi hutan mangrove, khususnya sebagai pelindung
pantai, tempat ikan bertelur, dan berkembangbiak. Asumsi dasarnya yaitu sebagai
informasi dan manfaat mengenai jasa lingkungan hutan dimengerti oleh responden,
harga penawaran mencerminkan preferensi individu responden mengenai perubahan
kualitas lingkungan atas penyediaan jasa lingkungan.
Valuasi nilai ekonomi total kawasan Muara Angke mencakup mangrove,
perikanan, permukiman, pariwisata, dan jasa. Pengambilan data dilakukan secara
langsung melalui kuesioner kepada masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan lembaga
swadaya masyarakat. Adapun perhitungan valuasi ekonomi terhadap multifungsi
hutan mangrove dilakukan dengan pendekatan perhitungan hutan mangrove sebagai
fungsi eknomoni, nursery ground, dan pelindung abrasi. Kemauan masyarakat untuk
membayar (WTP) jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara deskriptif,
análisis korelasi, dan regresi berganda. Kemauan masyarakat sekitar hutan untuk
menerima (WTA) pembayaran jasa lingkungan hutan mangrove dianalisis secara
deskriptif.
50
3.4.3 Analisis Status Keberlanjutan (MDS)
Perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan berkelanjutan
memerlukan data dan informasi tentang kinerja pembangunan kawasan yang ada saat
ini. Kinerja pembangunan tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai indeks
keberlanjutan.
Analisis keberlanjutan pembangunan kawasan Muara Angke dilakukan
melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan
kawasan berkelanjutan yang mencakup lima dimensi (dimensi ekologi, ekonomi,
sosial, kelembagaan, dan teknologi). Tahap penilaian setiap atribut dalam skala
ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang
berbasis metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status
keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara
umum maupun pada setiap dimensi (Fauzi dan Anna 2002). Secara lengkap tahapan
analisis keberlanjutan kawasan disajikan pada Gambar 6.
Data yang dikumpulkan dalam kaitan dengan penentuan status keberlanjutan
pembangunan kawasan Muara Angke adalah biogeofisik, fisiografi, hidrologi,
ekosistem pesisir, potensi sumberdaya alam, dinamika penduduk, sistem tata air,
tenaga kerja, penggunaan lahan, sarana dan prasarana wilayah, dan kelembagaan.
Teknik pengumpulan data adalah observasi, kuesioner MDS, dan dokumentasi dari
instansi terkait.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan ataupun data
sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang
mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan yang bersangkutan. Skor ini
menunjukkan nilai yang “buruk” di satu ujung dan nilai “baik” di ujung yang lain
(Alder et al. 2000). Nilai “buruk” mencerminkan kondisi yang paling tidak
menguntungkan bagi sistem pengembangan kawasan berkelanjutan. Sebaliknya, nilai
“baik” mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Di antara dua ekstrim
nilai ini terdapat satu atau lebih nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada
setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut diseragamkan yakni tiga peringkat
dengan skor 0, 1, dan 2.
51
Penentuan Atribut
(meliputi berbagai kategori)
MULAI
Kondisi Kawasan Saat Ini
Skoring Kawasan (mengkonstruksi angka
referensi untuk good, bad, dan anchor)
Multidimensional Scaling
Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo
(Analisis ketidakpastian)
Leveraging Factor
(Analisis anomali)
Analisis Keberlanjutan
Gambar 6 Tahapan analisis keberlanjutan menggunakan MDS.
Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai
terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif dan bukan berdasarkan urutan nilai
dari yang terburuk ke nilai yang terbaik. Dalam penentuan nilai skor baik atau buruk
pada metode analisis keberlanjutan ini berkaitan dengan persepsi sehingga suatu
atribut harus dilihat terlebih dahulu dari persepsi apa.
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan software
Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapfish adalah suatu metode multi
disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan pengelolaan mangrove
berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai.
Dalam analisis Rapfish setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan
status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap
aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100 %. Jika sistem yang dikaji
mempunyai nilai indeks lebih dari 75 % maka pengembangan tersebut berkelanjutan
(sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75 % maka sistem tersebut belum
berkelanjutan (unsustainable).
52
Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut
apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan di
lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root
mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas
(Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu
atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan
nilai indeks keberlanjutan pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin
sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan di
lokasi studi.
3.4.4 Analisis A’WOT (Integrasi SWOT dan AHP)
Dalam penentuan strategi pengelolaan kawasan mangrove Muara Angke
dilakukan dengan metode partisipatif dengan menggunakan analisis A’WOT, yakni
integrasi antara Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan analisis SWOT
(strengths, weaknesess, opportunities, dan treaths).
Penggunaan A’WOT dimasudkan untuk penelusuran permasalahan secara
bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi pengelolaan
terbaik dengan cara:
1) Mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau
cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik
2) Membandingkan secara kuantitatif dari segi manfaat dan resiko dari tiap alternatif
3) Memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan
4) Membuat strategi pemanfaatan secara optimal, dengan cara memilih atau
menentukan prioritas kegiatan.
Penetapan prioritas kebijakan (strategi pengelolaan) dalam A’WOT dilakukan
dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-
faktor yang tidak terukur (intangible) ke dalam aturan yang biasa, sehingga dapat
dibandingkan. Untuk menyusun faktor-faktor strategis digunakan matriks SWOT
yang dapat menggambarkan peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat
53
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat
menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis.
Hasil analisis SWOT dilanjutkan dengan AHP, AHP akan membantu
meningkatkan analisis SWOT dalam mengkolaborasikan hasil keputusan situasional
sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Tahap terpenting dari
AHP adalah penilaian perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan
perbandingan tingkat kepentingan antar komponen dalam suatu tingkat hirarki (Saaty
1993).
Dalam melakukan perhitungan matriks, akan sangat rumit sehingga
diperlukan paket komputer khusus mengenai AHP. Pengolahan data berbasis
komputer menggunakan software Expert Choice 2000. Expert Choice merupakan
perangkat lunak sistem pendukung keputusan yang didasarkan atas metodologi
decision-making yakni Analytic Hierarchy Process (AHP). Kelebihan perangkat
lunak ini antara lain dapat: (1) memudahkan identifikasi tujuan, (2) memudahkan
identifikasi full range solusi-solusi alternatif, (3) evaluasi kunci trade-off di antara
tujuan dan alternatif, dan (4) memungkinkan membuat keputusan yang dipahami
sepenuhnya dan didukung oleh seluruh stakeholder.
Langkah-langkah dalan analisis data dengan AHP adalah:
1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah
2) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan
sub-sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan
kriteria yang paling bawah
3) Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh
relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang
setingkat di atasnya, perbandingan berdasarkan judgment dari para pengambil
keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan
elemen lainnya. Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara
digunakan nilai skala komparasi 1-9 berdasarkan skala Saaty
4) Melakukan perbandingan berpasangan. Kegiatan ini dilakukan oleh stakeholder
yang berkompeten berdasarkan hasil analisis stakeholder
54
5) Menghitung akar ciri, vektor ciri, dan menguji konsistensinya. Jika tidak
konsisten maka pengambilan data diulangi atau dikoreksi. Indeks Konsistensi
(CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang
konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran
konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden
karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.