Post on 23-May-2020
291
PA10 PENERAPAN OPTIMISASI PROTEKSI RADIASI DALAM KEGIATAN PRAKTIKUM PELATIHAN:
KAJIAN PEMBATAS DOSIS BAGI PESERTA PELATIHAN Indragini1, S. Wiyuniati2
Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta 12440 e-mail: indragini@batan.go.id, swiyuni@batan.go.id
ABSTRAK
Dalam upaya menerapkan prinsip optimisasi proteksi radiasi yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 2007 tentang Keselamatan Sumber Radiasi Pengiondan Keamanan Sumber Radioaktif serta Peraturan
Kepala BAPETEN No. 4 Tahun 2013 tentang Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir
pada kegiatan Pelatihan, Pusdiklat BATAN telah melakukan kajian pembatas dosis bagi peserta pelatihan. Pembatas
dosis berlaku untuk kegiatan praktikum yang memanfaatkan sumber radiasi pengion. Kajian pembatas dosis
didasarkan pada hasil evaluasi dosis menggunakan dosimeter saku terkalibrasi yang diterima peserta pada periode
pelatihan tahun 2011-2018 dengan jumlah populasi 2188 peserta. Dosis maksimum yang diperoleh peserta pelatihan
adalah 26,0 Sv dengan rerata 3,3 Sv dan simpangan baku 2,5 Sv. Dengan menggunakan nilai 2 kali simpangan
baku, untuk kegiatan praktikum selama13 Jam Pelajaran, pembatas dosis bagi peserta pelatihan sebesar 31,0 Sv.
Kata kunci: pembatas dosis peserta pelatihan, prinsip proteksi radiasi, penerapan optimisasi proteksi radiasi.
ABSTRACT
To implement radiation protection optimization mandated in Government Regulation No. 33/2007:Safety of
Ionizing Radiation and Security of Radioactive Sources and BAPETEN Chairman Regulation No. 4/ 2013:
Radiation Protection and Safetyof Nuclear Energy Utilization, Center for Education and Training of Indonesia
National Nuclear Energy Agency (Pusdiklat BATAN) assessed radiation dose constraint for trainees. Dose constraint
will be implemented during activities that utilize ionizing radiation sources. The radiation dose constraint
assessment was based on dose evaluation using a calibrated pocket dosimeter received by trainees during training
period from 2011 to 2018 and number of population covered 2188 trainees. The maximum radiation dose obtained
by trainees was 26.0 Sv with mean radiation dose of 3.3 Sv and standard deviation of 2.5 Sv. Using standard
deviation of 2, it is proposed, for practical exercise durationof 13 learning hours, dose constraint for trainees is 31.0
Sv.
Keywords: dose constraint for trainees, radiation protection principles, radiation protection optimization
implementation.
292
PENDAHULUAN
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan
Tenaga Nuklir Nasional (Pusdiklat BATAN)
merupakan salah satu lembaga penyelenggara
pelatihan kenukliran yang telah mendapat
penunjukkan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN) berdasarkan SK BAPETEN No.
1238/K/XII/2015.Pelatihan yang diselenggarakan oleh
Pusdiklat BATAN mencakup Pelatihan Kenukliran
untuk Pegawai BATAN dan Pelatihan Kenukliran
untuk kalangan industri, medik, universitas dan
instansi lain baik dari pemerintahan, BUMN maupun
swasta. Jenis Pelatihan berulang yang dominan
diselenggarakan oleh Pusdiklat BATAN adalah
Pelatihan Keselamatan Radiasi bagi Calon Petugas
Proteksi Radiasi Bidang Industri dan Medik, Pelatihan
Radiografer Tingkat I dan Pelatihan Radiografer
Tingkat II.
Sebagai institusi yang menyelenggarakan
pelatihan dengan memanfaatkan sumber radiasi
pengion dalam kegiatannya, Pusdiklat BATAN
memiliki kewajiban untuk menjalankan amanat
Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran. Dalam pasal 16 ayat 1 dinyatakan
bahwa setiap kegiatan yang berkaitan dengan
pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan
keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan
pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan
terhadap lingkungan hidup [1]. Untuk menjamin
terlaksananya keselamatan radiasi bagi pekerja,
masyarakat dan lingkungan hidup maka setiap orang
atau badan yang akan memanfaatkan Tenaga Nuklir
wajib memenuhi persyaratan Keselamatan Radiasi dan
memiliki izin Pemanfatan Tenaga Nuklir, seperti
tercantum dalam Peraturan Pemerintah No 33 Tahun
2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan
Keamanan Sumber Radioaktif [2].
Persyaratan keselamatan radiasi meliputi
persyaratan manajemen, persyaratan proteksi radiasi,
persyaratan teknik dan verifikasi keselamatan yang
harus didokumentasikan dalam dokumen jaminan
mutu. Dalam upaya menjamin pelaksanaan kegiatan
proteksi dan keselamatan radiasi yangmemenuhi
persyaratan dalam Peraturan Perundangan dan Badan
Pengawas, maka Pemegang Izinbertanggung jawab
untuk mengatur dan menerapkan semua tindakan yang
diperlukan, baik secara teknis maupun
organisasi[3].Sumber daya yang disediakan
disesuaikan dengan kegiatan dan sumber radiasi
pengion yang tertulis dalam izin pemanfaatan. Oleh
karena itu Pusdiklat BATAN menerapkan Sistem
Manajemen Mutu (SMM) yang mengacu ISO
9001:2015 dan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (SMK3) dalam seluruh kegiatan
pelatihannya.
Lebih lanjut, dalam menerapkan persyaratan
proteksi radiasi, Pemegang Izin harus memperhatikan
prinsip proteksi radiasi, yaitu justifikasi, optimisasi
dan limitasi. Justifikasi didasarkan pada asas bahwa
dalam kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion,
manfaat yang akan diperoleh harus lebih besar
daripada risiko yang ditimbulkan. Agar optimisasi
proteksi radiasi terlaksana, Pemegang Izin harus
meyakinkan semua faktor yang terkait pada
penyinaran telah dipertimbangkan [1]. Sedangkan
limitasi dosis wajib ditetapkan oleh Pemerintah melaui
Badan Pengawas dan Pemegang Izin wajib
menerapkan limitasi dosis melalui penerapan Nilai
Batas Dosis (NBD).
Salah satu penerapan prinsip optimisasi
proteksi radiasi oleh Pemegang Izin adalah
penetapanpembatasdosis radiasi yang selanjutnya
disebut sebagai pembatas dosis. Pembatas
dosisditerapkan berdasarkan prinsip ALARA (As Low
As Reasonably Achieveable), bahwa dosis yang
diterima oleh pekerja dan masyarakat harus serendah
mungkin yang dapat dicapai dengan memperhitungkan
faktor ekonomi dan sosial [2]. Hal ini sesuai dengan
pernyataan pada pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 33
Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan
Keamanan Sumber Radioaktif. Penetapan pembatas
dosis dilaksanakan oleh Pemegang Izin dan disetujui
oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Dalam upaya menerapkan prinsip optimisasi
untuk pekerja radiasi, Pusdiklat BATAN telah
menetapkan pembatas dosis sejak tahun 2008 sebesar
10 mSv per tahun dengan asumsi beban kerja
pengoperasian sumber radiasi pengion di Pusdiklat
BATAN adalah 1000 jam. Pusdiklat BATAN juga
telah melakukan kaji ulang terhadap pembatas
dosisnya pada tahun 2015 berdasarkan kajian evaluasi
dosis pekerja periode 2007-2015ditetapkan pembatas
dosis sebesar 4 mSv dengan beban kerja tetap 1000
jam [4]. Selanjutnya pembatas dosis untuk pekerja
radiasi dapat digunakan untuk menetapkan pembatas
dosis bagi peserta pelatihan selama mengikuti
kegiatan praktikum di Pusdiklat BATAN.
Agar prinsip ALARA dalam penerapan
optimisasi proteksi radiasi tetap terpenuhi, maka perlu
dilakukan kaji ulang secara periodik. Oleh karena itu
penting dilakukan kajian pembatas dosis untuk peserta
pelatihan di Pusdiklat BATAN, yang sebelumnya
diturunkan dari pembatas dosis pekerja radiasi diubah
menjadi berdasarkan pada data penerimaan dosis
peserta pelatihanyang dipantau selama praktikum.
Kajian ini penting dilakukan untuk memverifikasi
nilai pembatas dosis dengan kondisi yang sebenarnya.
METODE / METODOLOGI
Alat ukur radiasi yang digunakan untuk
pemantauan dosis peserta pelatihan adalah dosimeter
saku merk Aloka Tipe PDM 112 atau PDM 122.
Kedua tipe dosimeter saku tersebutmenggunakan
detektor semi konduktor dan dapat mengukur radiasi
gamma dan X-ray mulai dari energi 40 keV. Rentang
dosis yang dapat diukur 1µSv – 10 mSv.
antara kedua dosimeter tersebut adalah dosimeter saku
Tipe PDM 122 dapat digunakan untuk mengukur laju
dosis. Fasilitas tersebut tidak dimiliki oleh Tipe PDM
112 [5]. Gambar 1. Berikut memperlihatkan tipe
dosimeter saku yang digunakan oleh pese
Gambar 1. Dosimeter saku tipe PDM 112 (a) dan
PDM 122 (b)[5]
Dosimeter saku yang digunakan untuk
memantau dosis peserta pelatihan selama praktikum,
merupakan dosimeter yang telah dikalibrasi oleh
Laboratorium Dosimetri Pusat Teknologi
dan Metrologi Radiasi (PTKMR) BATAN. Kalibrasi
dilakukan secara periodik satu tahun sekali. Dalam
kegiatan praktikum, pemantauan dan pencatatan dosis
peserta pelatihan dilakukan oleh seorang Petugas
Proteksi Radiasi (PPR). Selanjutnya PPR
menginformasikan penerimaan dosis tersebut kepada
peserta pelatihan dan melaporkan kepada Kepala
Subbidang Sarana dan Prasarana Diklat selaku
pengelola kegiatan pemanfaatan sumber radiasi
pengion di Pusdiklat BATAN.
Kajiulangpembatasdosisbagipesertapelatihan
dilaksanakanberdasarkanhasilpenerimaan
umpesertapelatihanselamaperiodepelatihan tahun
2010-2018 dengan jumlah populasi sebanyak 2188
a b
ata penerimaan dosis
peserta pelatihanyang dipantau selama praktikum.
Kajian ini penting dilakukan untuk memverifikasi
nilai pembatas dosis dengan kondisi yang sebenarnya.
Alat ukur radiasi yang digunakan untuk
pelatihan adalah dosimeter
saku merk Aloka Tipe PDM 112 atau PDM 122.
Kedua tipe dosimeter saku tersebutmenggunakan
detektor semi konduktor dan dapat mengukur radiasi
ray mulai dari energi 40 keV. Rentang
10 mSv. Perbedaan
antara kedua dosimeter tersebut adalah dosimeter saku
Tipe PDM 122 dapat digunakan untuk mengukur laju
dosis. Fasilitas tersebut tidak dimiliki oleh Tipe PDM
112 [5]. Gambar 1. Berikut memperlihatkan tipe
dosimeter saku yang digunakan oleh peserta pelatihan:
Dosimeter saku tipe PDM 112 (a) dan
Dosimeter saku yang digunakan untuk
memantau dosis peserta pelatihan selama praktikum,
merupakan dosimeter yang telah dikalibrasi oleh
Laboratorium Dosimetri Pusat Teknologi Keselamatan
dan Metrologi Radiasi (PTKMR) BATAN. Kalibrasi
dilakukan secara periodik satu tahun sekali. Dalam
kegiatan praktikum, pemantauan dan pencatatan dosis
peserta pelatihan dilakukan oleh seorang Petugas
Proteksi Radiasi (PPR). Selanjutnya PPR
nformasikan penerimaan dosis tersebut kepada
peserta pelatihan dan melaporkan kepada Kepala
Subbidang Sarana dan Prasarana Diklat selaku
pengelola kegiatan pemanfaatan sumber radiasi
Kajiulangpembatasdosisbagipesertapelatihan
penerimaandosismaksim
pelatihan tahun
2018 dengan jumlah populasi sebanyak 2188
peserta.Peserta Pelatihan merupakan peserta yang
mengikuti kegiatan Pelatihan yang dikelompokkan
menjadi 6 kelompok besar berdasarkan durasi
kegiatan praktikum, dan distribusi populasi
berdasarkan jenis pelatihan tercantum dalam Tabel 1
berikut:
Tabel 1. Distribusi populasi berdasarkan pelatihan
No. Nama Pelatihan
1 Pelatihan Calon
PPR Bidang
Industri Tk 1, Tk
2 dan Medik Tk 1
2 Pelatihan Calon
PPR Bidang
Industri Tk 3
3 Pelatihan Calon
PPR Bidang
Medik Tk 2
4 Pelatihan
Radiografer
Tingkat I
5 Pelatihan
Radiografer
Tingkat II
6 Pelatihan lainnya
(KBR Brimob)
Total
Simpangan baku Populasi dihitung
menggunakan Microsoft Excel 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari seluruh data penerimaan dosis peserta
pelatihan pada 6 kelompok pelatihan, diperoleh dosis
total sebesar 7.284 Sv dengan populasi sebanyak
293
Peserta Pelatihan merupakan peserta yang
mengikuti kegiatan Pelatihan yang dikelompokkan
besar berdasarkan durasi
kegiatan praktikum, dan distribusi populasi
berdasarkan jenis pelatihan tercantum dalam Tabel 1
Tabel 1. Distribusi populasi berdasarkan pelatihan
Durasi
Praktikum
(JP)
Jumlah
Populasi
(Peserta)
22 601
15 305
9 284
12 449
20 248
13 301
2188
Simpangan baku Populasi dihitung
menggunakan Microsoft Excel 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari seluruh data penerimaan dosis peserta
pelatihan pada 6 kelompok pelatihan, diperoleh dosis
Sv dengan populasi sebanyak
2188 peserta. Dengan demikian, maka dosis rerata
penerimaan dosis peserta pelatihan adalah 3,3
dengan simpangan baku sebesar 2,5
untuk penerimaan dosismaksimum peserta dapat
dilihat pada Gambar berikut:
Gambar 2. Dosis maksimum Peserta Pelatihan Calon
PPR Industri Tk 1, Tk 2 dan Medik Tk 1 tahun 2014
2018
Gambar 3. Dosis maksimum Peserta
PPR Industri Tk 3 tahun 2011
2188 peserta. Dengan demikian, maka dosis rerata
penerimaan dosis peserta pelatihan adalah 3,3 Sv
ngan baku sebesar 2,5 Sv. Sedangkan
untuk penerimaan dosismaksimum peserta dapat
Dosis maksimum Peserta Pelatihan Calon
PPR Industri Tk 1, Tk 2 dan Medik Tk 1 tahun 2014-
Dosis maksimum Peserta Pelatihan Calon
PPR Industri Tk 3 tahun 2011-2018
Gambar 4. Dosis maksimum Peserta Pelatihan Calon
PPR Medik Tk 2 tahun 2013
Gambar 5. Dosis maksimum Peserta Pelatihan
Radiografer Tk 1 tahun 2013
Gambar 6. Dosis maksimum Peserta Pelatiha
Radiografer Tk 2 tahun 2010
294
Dosis maksimum Peserta Pelatihan Calon
PPR Medik Tk 2 tahun 2013-2017
Dosis maksimum Peserta Pelatihan
Radiografer Tk 1 tahun 2013-2018
Dosis maksimum Peserta Pelatihan
Radiografer Tk 2 tahun 2010-2017
Gambar 7. Dosis maksimum Peserta Pelatihan
Lainnya tahun 2014-2018
Dari data di atas, maka dapat diketahui
penerimaan dosis maksimum pada masing
kelompok peletihan, seperti tercantum dalam Tabel 2
dan Gambar 8 berikut ini:
Tabel 2. Penerimaan dosis maksimum peserta
pelatihan pada masing-masing kelompok pelatihan
No. Nama Pelatihan
Penerimaan Dosis
1 Pelatihan Calon PPR
Bidang Industri Tk 1,
Tk 2 dan Medik Tk 1
2 Pelatihan Calon PPR
Bidang Industri Tk 3
3 Pelatihan Calon PPR
Bidang Medik Tk 2
4 Pelatihan Radiografer
Tingkat I
5 Pelatihan Radiografer
Tingkat II
6 Pelatihan lainnya
(KBR Brimob)
Dosis maksimum Peserta Pelatihan
2018
Dari data di atas, maka dapat diketahui
penerimaan dosis maksimum pada masing-masing
kelompok peletihan, seperti tercantum dalam Tabel 2
Tabel 2. Penerimaan dosis maksimum peserta
masing kelompok pelatihan
Penerimaan Dosis
Maksimum
(mikro Sievert)
17
13
6
10
7
26
Gambar 8. Penerimaan Dosis maksimum Peserta
Pelatihan tahun
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
penerimaan dosis maksimum peserta adalah 26
yang diperoleh pada Pelatihan Proteksi Radiasi bagi
Personel KBR Brimob dengan durasi Praktikum 13 JP
(1 JP setara dengan 60 menit). Data juga menunjukkan
bahwa besarnya dosis maksimum yang diterima
peserta pelatihan tidak hanya dipengaruhi oleh durasi
kegiatan praktikum saja, tetapi ada faktor lain yang
harus diperhatikan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih
mendalam, dengan melihat kurikulum pelatihan dan
skenario pelaksanaan praktikum yang terangkum
dalam rencana pembelajaran.Dari hasil kajian
kurikulum dapat diketahui bahwa jenis praktikum
pada setiap pelatihan tidak sama dan memberikan
andil terhadap penerimaan dosis peserta. Dari Tabel 2
dapat dilihat bahwa penerimaan dosis peserta
Pelatihan Calon PPR Bidang Medik Tk 2 dan
Pelatihan Radiografer Tingkat II relatif lebih rendah
dibanding dengan jenis pelatihan lainnya, hal ini
disebabkan karena pada kurikulum kedua pelatihan
tersebut tidak terdapat Praktikum
Keadaan Darurat (PKD). Praktikum PKD memberikan
kontribusi terbesar dalam penerimaan dosis peserta
pelatihan. Hal ini sesuai dengan dokumen rencana
pembelajaran yang menyatakan bahwa peserta
pelatihan melakukan simulasi kegiatan PKD. Skenar
PKD disesuaikan dengan potensi kedaruratan yang
mungkin terjadi sesuai dengan bidang kerjanya di
bawah pengawasan Pembimbing, Asisten dan
PPR.Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa penerimaan
dosis terbesar adalah peserta pelatihan bagi Personel
Kimia, Biologi dan Radioaktif Brigade Mobil
Kepolisian Repubilik Indonesia (KBR Brimob
POLRI), sesuai dengan skenario PKD pada pelatihan
yaitu penanganan penyalahgunaan zat radioaktif
berupa Radioactive Dispersal Device
Radiation Exposure Device
PKD bagi KBR Brimob POLRI menggunakan
295
Penerimaan Dosis maksimum Peserta
Pelatihan tahun 2010-2018
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa
penerimaan dosis maksimum peserta adalah 26 Sv,
yang diperoleh pada Pelatihan Proteksi Radiasi bagi
Personel KBR Brimob dengan durasi Praktikum 13 JP
(1 JP setara dengan 60 menit). Data juga menunjukkan
ahwa besarnya dosis maksimum yang diterima
peserta pelatihan tidak hanya dipengaruhi oleh durasi
kegiatan praktikum saja, tetapi ada faktor lain yang
harus diperhatikan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih
mendalam, dengan melihat kurikulum pelatihan dan
enario pelaksanaan praktikum yang terangkum
dalam rencana pembelajaran.Dari hasil kajian
kurikulum dapat diketahui bahwa jenis praktikum
pada setiap pelatihan tidak sama dan memberikan
andil terhadap penerimaan dosis peserta. Dari Tabel 2
wa penerimaan dosis peserta
Pelatihan Calon PPR Bidang Medik Tk 2 dan
Pelatihan Radiografer Tingkat II relatif lebih rendah
dibanding dengan jenis pelatihan lainnya, hal ini
disebabkan karena pada kurikulum kedua pelatihan
tersebut tidak terdapat Praktikum Penanggulangan
Keadaan Darurat (PKD). Praktikum PKD memberikan
kontribusi terbesar dalam penerimaan dosis peserta
pelatihan. Hal ini sesuai dengan dokumen rencana
pembelajaran yang menyatakan bahwa peserta
pelatihan melakukan simulasi kegiatan PKD. Skenario
PKD disesuaikan dengan potensi kedaruratan yang
mungkin terjadi sesuai dengan bidang kerjanya di
bawah pengawasan Pembimbing, Asisten dan
PPR.Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa penerimaan
dosis terbesar adalah peserta pelatihan bagi Personel
i dan Radioaktif Brigade Mobil
Kepolisian Repubilik Indonesia (KBR Brimob
POLRI), sesuai dengan skenario PKD pada pelatihan
yaitu penanganan penyalahgunaan zat radioaktif
Radioactive Dispersal Device (RDD) dan
Radiation Exposure Device (RED). Pada Praktikum
PKD bagi KBR Brimob POLRI menggunakan
296
skenario yang lebih kompleks dibandingkan dengan
praktikum PKD pada pelatihan yang lain.Oleh karena
itu dokumen rencana pembelajaran untuk praktikum
yang menggunakan sumber radiasi pengion harus
memperhitungkan pembatas dosis bagi peserta
pelatihan, sehingga penetapan pembatas dosis menjadi
sangat penting.
Dari kajian hasil pemantauan dosis peserta
pelatihan selama kegiatan praktikum, penetapan
pembatas dosis dengan mempertimbangkan
penerimaan dosis maksimum ditambah dengan 2 kali
nilai simpangan baku populasi. Faktor yang
diperhatikan dalam penggunaan 2 kali simpangan
baku adalah adanya ketidakpastian pengukuran yang
berasal dari dosimeter saku yang digunakan dan
variasi data penerimaan dosis peserta pelatihan.Dari
pengolahan data diperoleh penerimaan dosis
maksimum peserta sebesar 26,0 Sv dengan
simpangan baku 2,5 Sv. Oleh karena itu dihasilkan
nilai pembatas dosis untuk peserta pelatihan sebesar
31 Sv untuk durasi praktikum 13 JP. Sedangkan
pembatas dosis untuk peserta pelatihan yang
diturunkan dari dosis pekerja radiasi di Pusdiklat
BATAN sebesar 4 mSv dengan beban kerja 1000 jam
per tahun, diperoleh pembatas dosis untuk 13 JP
sebesar 52 Sv.Jika dibandingkan nilai pembatas dosis
dari kedua metode tersebut, hasil pemantauan dosis
dan penurunan dari pembatas dosis pekerja radiasi,
maka pembatas dosis berdasarkan pemantauan dosis
peserta pelatihan menghasilkan nilai yang lebih kecil.
Oleh karena itu Pusdiklat BATAN dapat menurunkan
nilai pembatas dosis bagi peserta pelatihan menjadi 31
Sv sebagai upaya peningkatan penerapan prinsip
optimisasi proteksi radiasi dalam kegiatan
pelatihannya.
KESIMPULAN
Nilai pembatas dosis merupakan cerminan
dari komitmen Pemegang Izin untuk menerapkan
pengendalian bahaya dan menurunkan risiko dalam
pemanfaatan sumber radiasi pengion melalui program
proteksi dan keselamatan radiasi di fasilitas.
Berdasarkan kajian dosis maksimum yang diterima
peserta pelatihan dalam kegiatan praktikum di
Pusdiklat BATAN, diperoleh nilai pembatas dosis bagi
peserta pelatihan sebesar 31 µSv yang berlaku untuk
durasi praktikum 13 JP.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapanterimakasihditujukan kepada Kepala
Pusdiklat BATAN dan KPTF Pusdiklat yang telah
mendukung dalam penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
[2] PeraturanPemerintah No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan-Sumber Radioaktif
[3] IAEA Safety Standard Series No. GSR Part 3. (2014). Radiation Protection and Safety of Radiation Protection and Safety of Radiation Sources: 34 dan 37, Vienna.
[4] S. Wiyuniati dan Indragini (2015).Kajian Nilai Pembatas Dosis bagi Pekerja Radiasi di Pusdiklat BATAN. Widyanuklida No.1: 46-51.Jakarta
[5] Manual alat dosimeter saku merk Aloka Tipe PDM 112 dan PDM 122.
297
NO Nama penanya Kode Maka-
lah
Nama Pe-
nyaji
Pertanyaan dan Jawaban
1. M. Yusuf San-
toso (Politeknik
Perkapalan Ne-
geri Surabaya,
PPNS)
PA10 Indragini
(PDL-
BATAN)
1. Apakah metode penetapan pembatas dosis pada pe-latihan dapat diterapkan untuk kegiatan lain, misal-nya kerja praktek?
Jawab:
1. Metode penetapan pembatas dosis beragam. Salah satunya dengan mengevaluasi hasil penerimaan do-sis maksimum. Penetapan pembatas dosis juga ha-rus memperhatikan NBD, misalnya utk kerja prak-tek usia 16 th dg 18 th berbeda. Pembatas dosis ha-rus lebih kecil dari NBD dan mengacu pada dura-si/waktu/beban kerja dan dilakukan kaji ulang seca-ra berkala.