Post on 11-Mar-2019
4
3. Memperoleh Data dan informasi suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi
dara FH dengan pemberian kualitas pakan berbeda.
4. Penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah dengan
manajemen pakan sebagai salah satu bahan di dalam menterapkan kebijakan
untuk pengembangan peningkatan produksinya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Menganalisis suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH di dua
daerah dengan lingkungan lingkungan dataran berbeda.
2. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan waktu
pemberian pakan berbeda.
3. Mengkaji suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi dara FH dengan
pemberian kualitas pakan berbeda.
4. Menyusun dan penentuan suhu kritis berdasarkan respon fisiologis sapi perah
dengan manajemen pakan untuk diterapkan sesuai dengan suhu lingkungannya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lingkungan Sapi Perah
Sapi-sapi perah Eropa mempunyai kisaran suhu nyaman yang rendah
sehingga lebih toleran terhadap suhu lingkungan dingin dibandingkan dengan
suhu lingkungan panas. Supaya sapi perah Fries Holland yang diternakkan di
suatu daerah dapat memberikan produksi maksimal sesuai dengan kemampuan
genetiknya, maka kondisi lingkungan di daerah tersebut harus sesuai dengan
kondisi lingkungan asalnya. Sebagai perbandingan, menurut Pane (1986) bahwa
produksi susu sapi perah FH di daerah asalnya rata-rata 6352 kg per laktasi,
sedangkan di daerah tropis sekitar 2500-5000 kg per laktasi.
Iklim sangat berpengaruh terhadap produksi sapi perah, karena dapat
menyebabkan perubahan dalam keseimbangan panas tubuh ternak, keseimbangan
air, keseimbangan energi, dan tingkah laku. Fungsi-fungsi tersebut saling
berhubungan dan melibatkan sistem neuroendokrin. Selain itu, faktor iklim secara
tidak langsung mempengaruhi ketersediaan bahan makanan ternak, air minum
serta berbagai penyakit yang ditimbulkan oleh lingkungan.
Di daerah tropis pengaruh iklim yang langsung maupun tidak langsung
secara bersama-sama menjadi faktor pembatas terhadap penampilan produksi
ternak (Purwanto et al. 2003). Suhu lingkungan tinggi berpengaruh langsung
terhadap sifat-sifat fisiologis sapi perah, sehingga pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap produksi. Meskipun demikian, suhu lingkungan merupakan
faktor iklim yang sering dijadikan pertimbangan sebagai faktor membatasi
5
produksi, namun kelembaban udara tinggi mempunyai pengaruh sama menekan
produksi (Esmay 1986).
Wilayah yang sesuai untuk pengembangan sapi perah adalah daerah yang
mempunyai suhu lingkungan antara 0-20 0C. Jika suhu lingkungan turun hingga 0
0C atau kurang, produksi akan berkurang. Suhu kritis di daerah subtropis
menyebabkan penurunan produksi susu pada bangsa sapi Holstein dan Jersey
adalah 21-25 0C, Brown Swiss adalah 30-32
0C, dan Brahman adalah 38
0C
(Sainsbury dan Sainsbury 1982). Suhu kritis untuk sapi Holstein adalah 21 0C,
Brown Swiss dan Jerseys adalah 24-27 0C, dan untuk Brahman adalah 32
0C.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa kisaran suhu lingkungan yang ideal
bagi sapi perah Eropa berkisar antara 1.1-21.1 0C, sehingga sapi perah dapat
berproduksi maksimal, sedangkan suhu kritis adalah 27 0C. Selengkapnya
pendapat beberapa peneliti tentang suhu ideal bagi sapi perah tersaji dalam Tabel
1
Tabel 1 Suhu lingkungan ideal dan suhu kritis untuk sapi perah FH (0C)
Peneliti Suhu ideal Suhu kritis
Schmidt (1972) 4.4 - 21.1 -
McDowell (1972) 13 - 10 27
Sutardi (1981) 18.5 - 21.1 27
Yousef (1985) 4 - 25 27
Sudono (2003) 18.3 - 21 27
Di antara bangsa sapi perah, Fries Holland (FH) merupakan sapi tergolong
ke dalam bangsa sapi paling rendah daya tahan panasnya. Namun demikian, hasil
penelitian di kawasan tropis memperlihatkan produksinya tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan di negara asalnya, jika suhu lingkungannya sejuk, yaitu
sekitar 18.3 0C, dengan kelembaban udara sekitar 55 %, dan penampilan produksi
masih cukup baik jika suhu lingkungan meningkat sampai 21.1 0C (Sudono et al.
2003). Dengan demikian, daerah di Indonesia untuk perkembangan sapi perah
yang sesuai adalah daerah sejuk, berketinggian tempat di atas 1000 meter dari
permukaan laut.
Produksi Panas
Ternak menghasilkan sejumlah panas metabolisme tergantung dari tipe
ternak yaitu bobot badan, jumlah makanan dikonsumsi dan kondisi lingkungan
mikro. Panas dihasilkan dalam kandang harus diprediksi untuk mendisain sistem
kontrol lingkungan. Panas yang dihasilkan dan kemudian dilepas oleh tubuh
hewan terdiri atas panas sensibel (sensible heat) dan panas laten (latent heat).
Panas sensibel dan panas laten dihasilkan oleh hewan dalam kandang merupakan
komponen kritis keseimbangan panas untuk kondisi setimbang dalam struktur
kandang.
Perolehan panas dari luar tubuh (heat gain) menambah beban panas bagi
ternak, bila suhu udara lebih tinggi dari suhu nyaman. Sebaliknya, akan terjadi
kehilangan panas tubuh (heat loss) apabila suhu udara lebih rendah dari suhu
6
nyaman. Perolehan dan penambahan panas tubuh ternak dapat terjadi secara
sensible melalui mekanisme radiasi, konduksi dan konveksi. Pada saat suhu udara
lebih tinggi dari suhu nyaman ternak, jalur utama pelepasan panas hewan terjadi
melalui mekanisme evaporative heat loss dengan jalan melakukan pertukaran
panas melalui permukaan kulit (sweating) atau melalui pertukaran panas di
sepanjang saluran pernapasan (panting) (Purwanto 1993) dan sebagian melalui
feses dan urin (McDowell 1972).
Gambar 1 Diagram produksi panas sapi perah pada beberapa suhu lingkungan.
Penampilan produksi terbaik sapi perah FH akan dicapai pada suhu
lingkungan 18.3 oC dengan kelembaban 55 %, bila melebihi suhu tersebut, ternak
akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku
(behaviour). Secara fisiologis ternak sapi FH mengalami cekaman panas akan
berakibat pada : 1) penurunan nafsu makan, 2) peningkatan konsumsi minum, 3)
penurunan anabolisme dan peningkatan katabolisme, 4) peningkatan pelepasan
panas melalui penguapan, 5) penurunan konsentrasi hormon dalam darah, 6)
peningkatan temperatur tubuh, respirasi dan denyut jantung (McNeily 2001), dan
7) perubahan tingkah laku (Philips 2002), dan 8) meningkatnya intensitas
berteduh sapi (Schutz et al. 2008).
Cekaman panas dapat direduksi dengan menurunkan suhu tubuh sapi FH
melalui penyemprotan air dingin ke seluruh permukaan tubuh (Shibata 1996).
Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan suhu lingkungan mikro (sekitar
kandang) sebesar 5 oC dapat meningkatkan produksi susu sapi FH sebesar 10
kg/hari yaitu dari 35 kg/hari menjadi 45 kg/hari (Berman 2005).
Bangunan perkandangan akan mendapatkan perolehan dan kehilangan panas
dan massa dari dan ke lingkungan sekitarnya melalui proses perpindahan panas
dan massa secara konduksi, konveksi dan radiasi. Perpindahan panas konduksi
terjadi melalui dinding dan atap bangunan dengan arah masuk dan keluar
bangunan termasuk konduksi panas dari dan ke dalam tanah. Perpindahan panas
7
dan massa secara konveksi terjadi karena aliran udara masuk dan keluar melalui
bukaan ventilasi. Perpindahan panas radiasi gelombang pendek dari radiasi
matahari dan refleksinya serta difusivitasnya selalu memiliki nilai positif.
Perpindahan panas radiasi gelombang panjang adalah radiasi dipancarkan oleh
permukaan bangunan dan diterima dari lingkungan di sekitar bangunan. Panas
lainnya ditimbulkan penghuni atau peralatan yang ada di dalam kandang juga
harus dapat diperhitungkan (Soegijanto 1999).
Perpindahan panas radiasi gelombang panjang terjadi antara ternak (sapi
perah FH) dengan lingkungan di sekitarnya melalui kulit sapi FH dominan
berwarna putih atau hitam. Perpindahan panas radiasi gelombang panjang pada
ternak dengan lingkungannya terjadi, karena ternak mengeluarkan panas tubuhnya
melalui permukaan kulit dan saluran pernafasan (Esmay dan Dixon 1986).
Perpindahan panas secara konveksi pada kandang sapi perah FH di lingkungan
tropika basah terjadi pada atap bangunan kandang, lantai, bangunan penopangnya
seperti dinding, kerangka dan peralatan lainnya.
Keseimbangan panas di permukaan lantai pada bangunan perkandangan
ternak sapi perah FH meliputi radiasi gelombang panjang dari lantai ke atap,
pindah panas konveksi dari permukaan lantai ke udara dalam kandang, dan pindah
panas konduksi dari permukaan lantai ke lapisan di bawahnya atau sebaliknya.
Keseimbangan panas di udara dalam kandang sapi perah lebih mudah dihitung
karena proses pindah panas terjadi secara konveksi dari penutup (atap) kandang ke
udara dalam kandang terjadi secara alami dan melalui bukaan ventilasi baik
masuk maupun keluar (Esmay dan Dixon 1986). Perpindahan panas konveksi
dipengaruhi koefisien konveksi udara, kecepatan angin dan suhu lingkungan.
Semakin besar nilai koefisien konveksi dan kecepatan angin, maka akan semakin
cepat keseimbangan panas dalam ruangan konveksi.
Perpindahan panas secara konduksi terjadi pada penutup (atap) kandang sapi
FH, dinding bangunan, kerangka bangunan, ternak (sapi FH), air minum sapi FH,
tubuh sapi FH. Perpindahan panas konduksi sangat dipengaruhi oleh
konduktivitas bahan dan suhu lingkungan. Semakin besar nilai konduktivitasnya,
bahan tersebut semakin cepat merambatkan panas (Esmay dan Dixon 1986).
Distribusi suhu dan kelembaban udara (Rh) pada kandang sapi perah FH
dipengaruhi luas dan tinggi bangunan, jumlah ternak, suhu lingkungan, sistem
ventilasi, radiasi matahari, peralatan peternakan, kecepatan angin, pergerakan
udara di sekitar bangunan. Pada bangunan pertanian (greenhouse), faktor desain
sangat menentukan distribusi suhu dan kelembaban udara adalah dimensi
bangunan, posisi dinding atau atap ventilasi, sudut pembukaan ventilasi, jumlah
span dan sebagainya (Boutet 1987). Pertukaran udara dalam kandang sapi perah
dipengaruhi besarnya suhu lingkungan, produksi panas hewan, kelembaban,
konsentrasi gas dalam kandang, jenis bahan atap bangunan, pindah panas dari
lantai, sistem dan luasan ventilasi, luas dan tinggi bangunan kandang (Hellickson
dan Walker 1983).
Pindah panas pada kandang sapi perah dapat terjadi secara radiasi, konveksi
maupun konduksi (Wathes dan Charles 1994), mengakibatkan adanya distribusi
suhu dalam kandang. Pindah panas secara radiasi dipengaruhi besarnya radiasi
matahari atau bahan, kecepatan angin dan suhu lingkungan. Pindah panas pada
bahan bangunan kandang dipengaruhi konduktivitas bahan, tebal bahan dan
8
waktu. Secara konveksi sangat dipengaruhi suhu lingkungan, kecepatan angin,
waktu dan luasan daerah konveksi.
Analisis distribusi suhu dalam bangunan peternakan dapat dilakukan dengan
perhitungan besarnya pindah panas dan massa pada bangunan melalui sistem
ventilasi, sehingga menghasilkan aliran udara yang baik di dalam kandang.
Pemecahan analisis aliran udara pada kandang sapi perah dalam 2 atau 3 dimensi
dapat dilakukan dengan metode finite element, metode finite difference (Cheney
dan Kincaid 1990), metode spectral dan finite volume dengan computational fluid
dynamics atau CFD (Versteeg dan Malalasekera 1995).
Ventilasi pada bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu,
kelembaban udara, kotoran ternak dan pergerakan udara, sehingga kondisi
lingkungan mikro dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Ventilasi terjadi jika
terdapat perbedaan tekanan udara. Ventilasi dengan tekanan udara tertentu dapat
mempengaruhi kecepatan pergerakan udara, arah pergerakan, intensitas dan pola
aliran serta rintangan setempat (Takakura 1979). Laju ventilasi diukur dengan
satuan massa udara per unit waktu. Laju ventilasi minimum pada kandang
biasanya didasarkan pada kebutuhan pergerakan udara untuk kontrol kelembaban
(Esmay 1986).
Di daerah tropis seperti Indonesia, ventilasi bangunan kandang biasanya
digunakan adalah ventilasi alami, karena dapat menekan biaya dan tenaga kerja
dibanding dengan ventilasi lainnya. Ventilasi alami terjadi karena adanya
perbedaan tekanan udara akibat faktor angin dan faktor termal. Faktor angin dan
termal ini dimanfaatkan untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi
alami yang terjadi. Laju ventilasi alami memiliki hubungan linier dengan
kecepatan udara dan tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan
oleh perbedaan temperatur lingkungan (Takakura 1979). Laju pertukaran udara
dipengaruhi oleh total luas bukaan, arah bukaan, kecepatan angin, dan perbedaan
temperatur di luar dan di dalam kandang.
Kontrol manual sistem ventilasi alami dapat dilakukan dengan pembukaan
dan penutupan lubang ventilasi serta pengaturan bukaan pada dinding (Takakura
1979). Pengaturan ventilasi alami agar tetap kontinyu sulit dilakukan, karena
dipengaruhi temperatur, kecepatan dan arah angin yang tidak mudah dikendalikan.
Efek angin digolongkan menjadi dua komponen, yaitu efek turbulen dan
efek steady. Efek steady terjadi karena pada saat angin bertiup di atas dan di
sekeliling bangunan. Pergerakan angin ini dapat membangkitkan perbedaan
tekanan pada lokasi berbeda menghasilkan distribusi tekanan pada bangunan.
Distribusi tekanan di sekitar bangunan dinyatakan sebagai distribusi dari koefisien
tekanan. Apabila koefisien tekanan bernilai positif maka akan terjadi aliran udara
masuk (inflow) melalui bukaan pada bangunan. Apabila koefisien tekanan bernilai
negatif maka akan terjadi aliran udara keluar dari bangunan (outflow). Efek
turbulen terjadi karena kecepatan angin tidak bersifat statis melainkan bervariasi
secara kontinyu menghasilkan fluktuasi tekanan.
Efek termal timbul dari perbedaan temperatur di dalam dan di luar kandang
(Bockett dan Albright 1987). Konveksi panas dari atap dan material penyusun
kandang dapat meningkatkan temperatur udara dan menurunkan kerapatan udara
dalam kandang sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan udara di dalam dan di
9
luar kandang yang pada akhirnya terjadi aliran udara keluar masuk kandang
melalui bukaan.
Akibat faktor termal, terdapat suatu bidang pada bukaan kandang yang tidak
terjadi aliran udara, karena tekanan udara di dalam dan di luar kandang besarnya
sama. Bidang ini disebut bidang tekanan netral. Posisi bidang tekanan netral
memberikan gambaran bukaan yang berfungsi sebagai saluran masuk dan saluran
keluarnya udara. Pada bagian bawah bidang tekanan netral, tekanan udara luar
lebih tinggi daripada tekanan udara di dalam kandang sehingga terjadi aliran udara
masuk ke dalam kandang. Pada bagian di atas bidang tekanan netral, tekanan
udara di dalam lebih tinggi dari tekanan udara di luar, sehingga terjadi aliran
udara keluar (Brockett dan Albright 1987).
Daya tahan panas (heat tolerance) ternak sebagai manifestasi adaptasi,
merupakan kemampuan tubuh ternak untuk mempertahankan diri dari serangan
panas tanpa menderita akibat dari pengaruh tidak menguntungkan (Soeharsono
2008). Prinsip dasar pengukuran daya tahan panas seekor ternak ialah tingkat
perubahan suhu tubuh ternak tersebut, sebab pada umumnya perubahan-perubahan
fungsi fisiologis organ lainnya hanya usaha tubuh agar suhu tubuh tidak terus
naik. Ternak yang mudah naik suhu tubuhnya akibat meningkatnya suhu
lingkungan, dikatakan bahwa ternak tersebut rendah daya tahan panasnya. Salah
satu cara digunakan untuk mengukur toleransi panas, dengan melihat tinggi
rendahnya reaksi organ yang dianggap paling mudah berubah, akibat perubahan
suhu lingkungan, yaitu organ pernapasan dan pengaturan suhu tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan panas seekor ternak, yaitu
bangsa, jenis kelamin, dan kondisi tubuh ternak. Sapi potong mempunyai daya
tahan panas lebih tinggi daripada sapi perah. Ternak yang mempunyai volume
tubuh lebih besar lebih rendah daya tahan panasnya dibanding dengan yang kurus
(Soeharsono 2008). Hal ini erat kaitannya dengan luas permukaan tubuh ternak
tersebut, yang menunjukkan bahwa semakin kecil ternak maka luas permukaan
tubuhnya relatif lebih besar, sehingga lebih banyak panas yang diradiasikan dari
dalam tubuh. Begitu juga ternak muda lebih rendah daya tahan panasnya daripada
ternak tua (Soeharsono 2008). Hal tersebut disebabkan organ berkaitan dengan
pembuangan panas pada ternak dewasa sudah lebih berkembang fungsinya
daripada organ-organ tubuh ternak muda.
Pengukuran daya tahan panas seekor ternak dapat digunakan dua cara, yaitu
(1) metode Iberia dengan menggunakan parameter suhu tubuh dan diukur dalam 0F, (2) metode Benezra dengan parameter suhu tubuh (
0C) dan frekuensi
pernapasan. Rumus yang digunakan Benezra atau dikenal dengan Benezra
Coefficient (BC) sebagai berikut:
BC = Benezra Coefficient
RT = Rectal Temperature
NR = Number of Respiratory Rate
38,33 = Temperatur normal sapi (standard temperature)
23 = Frekuensi pernapasan normal (standar respiratory rate)
Selanjutnya Soeharsono (2008) menggantinya dengan IA yakni singkatan dari
Indeks of Adaptability. Dengan demikian rumus tersebut menjadi
10
RT1 = suhu tubuh siang hari
RT 0 = suhu tubuh pagi hari
NR1 = frekuensi pernapasan siang hari
NR0 = frekuensi pernapasan pagi hari
Menurut perhitungan dengan cara tersebut, toleransi panas optimal, bila nilai IA =
2. Semakin tinggi nilai IA, semakin rendah toleransi panas ternak.
Suhu dan Kelembaban Udara
Faktor-faktor iklim, khususnya suhu lingkungan sangat berpengaruh
terhadap produksi dan konsumsi (Rahardja 2007). Suhu lingkungan naik sampai
27 oC, bagi sapi FH sedang laktasi mengebabkan produksi susu menurun.
Penurunan produksi tersebut disebabkan rendahnya napsu makan. Dengan adanya
pemanasan global di masa sekarang sangat mempengaruhi naik dan turunnya
produksi susu secara drastis, sehingga dapat merugikan peternak. Sapi perah
berada pada suhu lingkungan tergolong tinggi dan diberikan pakan, maka
berusaha meningkatkan pengeluaran panas serta efek kalorigenik pakan (EKP)
merupakan tambahan beban panas, yang akhirnya dapat menurunkan produksi
susu.
Iklim memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan sapi. Bagi sapi perah FH
serta PFH pada suhu lingkungan naik di atas normal, yaitu lebih dari 30 0C,
termasuk lingkungan suhu kritis. Suhu tinggi memaksa sapi tinggal di lingkungan
tersebut harus beradaptasi berat. Sapi perah yang hidup di suatu lingkungan
bersuhu tinggi tidak dapat hidup nyaman (not comfortable), napsu makan
berkurang, sehinga produksi susu menurun (Rahardja 2007).
Stress panas terjadi apabila suhu lingkungan berubah menjadi lebih tinggi di
atas zona termonetral. Pada kondisi tersebut, toleransi ternak terhadap lingkungan
menjadi rendah atau menurun, sehingga ternak mengalami cekaman. Efek stress
panas akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, reproduksi, dan masa laktasi pada
sapi perah, serta termasuk di dalamnya pengaruh terhadap hormonal, produksi
susu, dan komposisi susu (Bond dan McDowell 2008).
Kelembaban merupakan jumlah air dalam udara. Fungsi kelembaban udara
sangat penting, karena mempengaruhi kecepatan kehilangan panas dari ternak.
Lebih lanjut bahwa kelembaban dapat menjadi kontrol dari evaporasi kehilangan
panas melalui kulit dan saluran pernafasan. Kelembaban biasanya diekspresikan
sebagai kelembaban relatif (Relative Humidity). Pada saat kelembaban tinggi,
evaporasi terjadi secara lambat, kehilangan panas terbatas serta akhirnya dapat
mempengaruhi keseimbangan termal ternak (Sientje 2003).
Kemampuan berproduksi sapi perah FH menurut beberapa penelitian
menunjukkan bervariasi dengan adanya perbedaan temperatur lingkungan. Seperti
halnya penelitian pengaruh stress panas terhadap konsumsi bahan kering, produksi
susu, dan konsumsi air yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.
11
Suhu efektif adalah suhu dimanfaatkan ternak untuk kehidupannya yang
dipengaruhi suhu dan kelembaban udara (Rh), radiasi matahari dan kecepatan
angin (West 1994). Suhu efektif dapat memperlihatkan tingkat kenyamanan dan
stress bagi sapi perah. Hubungan suhu efektif dengan paremeter iklim mikro
ditunjukkan pada beberapa persamaan berikut (Yamamoto 1983): (1) hubungan
suhu efektif dengan suhu bola basah dan bola kering, (2) hubungan suhu efektif
dengan suhu bola kering (suhu tubuh sapi) dan kecepatan angin, (3) hubungan
suhu efektif dengan suhu bola kering (suhu pernafasan) dan kecepatan angin, (4)
hubungan suhu efektif dengan suhu bola kering dan radiasi matahari, (5)
hubungan suhu efektif dengan suhu bola basah dan suhu udara lingkungan.
Tabel 2 Perubahan relatif pada konsumsi bahan kering dan produksi susu serta
konsumsi air dengan meningkatnya temperatur lingkungan
Temperatur (oC) Perkiraan Konsumsi
dan produksi
Bahan kering (lb) Produksi Susu (lb) Air (Galon)
20 40.1 59.5 18.0
25 39.0 55.1 19.5
30 37.3 50.7 20.9
35 36.8 39.7 31.7
40 32.5 26.5 28.0
Sumber : Pennington dan VanDevender (2004)
Suhu dan kelembaban udara merupakan dua faktor iklim yang
mempengaruhi produksi sapi perah, karena dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan panas dalam tubuh ternak, keseimbangan air, keseimbangan energi
dan keseimbangan tingkah laku ternak (Esmay 1986). McDowell (1974)
menyatakan bahwa untuk kehidupan dan produksinya, ternak memerlukan suhu
lingkungan yang optimum. Zona termonetral suhu nyaman untuk sapi Eropa
berkisar 13 – 18 oC (McDowell 1972); 4 – 25
oC (Yousef 1985), 5 – 25
oC (Jones
dan Stallings 1999). Bligh dan Johnson (1985) membagi beberapa wilayah suhu
lingkungan berdasarkan perubahan produksi panas hewan, sehingga didapatkan
batasan suhu yang nyaman bagi ternak, yaitu antara batas suhu kritis minimum
dengan maksimum (Gambar 1). Hubungan besaran suhu dan kelembaban udara
atau biasa disebut Temperature Humidity Index (THI) yang dapat mempengaruhi
tingkat stres sapi perah. Sapi perah FH akan nyaman pada nilai THI di bawah 72.
Jika nilai THI melebihi 72, maka sapi perah FH akan mengalami stres ringan (72
THI 79), stres sedang (80 THI 89) dan stres berat ( 90 THI 97)
(Wierema 1990).
Perubahan suhu pada kandang dapat mempengaruhi perubahan denyut
jantung dan frekuensi pernapasan sapi FH. Denyut jantung sapi FH sehat pada
daerah nyaman (suhu tubuh 38,6oC) adalah 60 – 70 kali/menit dengan frekuensi
pernafasan 10 – 30 kali/menit (Ensminger 1971). Reaksi sapi FH terhadap
perubahan suhu dilihat dari respons pernapasan dan denyut jantung, merupakan
mekanisme dari tubuh sapi untuk mengurangi atau melepaskan panas diterima
dari luar tubuh ternak. Peningkatan denyut jantung merupakan respons dari tubuh
ternak untuk menyebarkan panas diterima ke dalam organ-organ lebih dingin
(Anderson 1983).
12
Modifikasi Lingkungan Suhu Mikro
Pemecahan masalah untuk mengatasi suhu lingkungan tinggi dengan cara
menurunkan suhu udara di sekitar sapi perah, melalui modifikasi lingkungan
mikro dalam kandang. Hal ini bisa ditempuh dengan cara pemberian naungan,
pemilihan bahan atap, tinggi atap, alas bahan lantai, pendingin udara (air
condioning), pendinginan melalui penguapan (evaporative cooling), dan kipas
angin (electric fan). Upaya menggunakan pendinginan tersebut sudah pasti
memerlukan tambahan biaya tidak sedikit, maka untuk peternakan sapi perah
rakyat di Indonesia belum bisa dilaksanakan (Sudono et al. 2003).
Kendala utama untuk menampilkan produktivitas ternak yang dipelihara
secara ekstensif pada kondisi suhu lingkungan panas adalah karena intensitas
matahari yang tinggi (McDOwell 1972; Mount 1979). Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak, merumput dilakukan
malam hari dan siang harinya lebih banyak digunakan untuk berteduh (Ingram dan
Dauncey 1985). Pengaruh intensitas matahari yang tinggi juga terjadi pada
pemeliharaan ternak secara intensif, karena pengaruh panas radiasi tersebut
mengakibatkan terjadinya perubahan faktor mikroklimat di dalam kandang
(Esmay 1986; Hahn 1985).
Radiasi matahari menimbulkan cekaman panas pada sapi digembalakan
(Gebremedhin 1985). Pengaruh negatif radiasi matahari dapat dikurangi dengan
menggunakan naungan, untuk mengurangi intensitas dan lama penyinaran
(Roman-Ponce et al. 1977; Esmay 1986) atau kombinasi naungan dengan sistem
pendinginan lain (Armstrong 1997; Igono et al. 1987). Berdasarkan hal tersebutr
Yamamoto et el. (1994) menekankan pentingnya pengetahuan tentang peranan
naungan dalam termoregulasi sapi perah di daerah berudara panas dalam
manajemen sapi perah.
Berdasarkan tujuan mengurangi radiasi langsung dari sinar matahari dalam
pembuatan kandang sapi perah, perlu dipilih bahan-bahan yang mampu
memantulkan dan menyerap radiasi langsung, sehingga dapat mengurangi
penghantaran panas ke dalam kandang. Semua bahan akan memantulkan,
meneruskan dan menyerap radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang
dengan proporsi berbeda-beda, tergantung pada jenis bahan. Perbedaan ini
disebabkan berbedanya suhu absolut bahan, sifat fisik dan kimiawi bahan serta
daya hantar energi panas (bahang) dan panjang gelombang radiasi matahari
(Charles 1981). Hahn (1985) menyatakan bahwa bahan atap rumput kering atau
jerami paling efektif menahan radiasi matahari yang terpancar langsung,
sedangkan bahan padat kurang efektif kecuali kalau dicat putih. Demikian pula,
bahan atap dari bilah-bilah kayu yang disusun tidak rapat kurang efektif untuk
menahan radiasi matahari.
Radiasi matahari yang diabsorbsi bahan akan diubah menjadi bahang,
kemudian dihantar ke bagian lebih dingin atau dipancarkan kembali sebagai
radiasi gelombang panjang. Kemampuan menghantar bahang (konduktivitas)
masing-masing bahan dari terendah hingga tertinggi berturut-turut adalah asbes,
beton, baja, seng, dan alumunium (Charles 1981). Bahan tipis seperti kebanyakan
logam mempunyai koefisienan konduksi yang besar, sehingga suhu di atas dan di
bawah bahan hampir sama (Esmay 1978). Hasil penelitian Santoso (1996)
13
memperlihatkan bahwa lingkungan mikro di dalam kandang beratap rumbia
dengan ketinggian 2 meter paling nyaman dibandingkan dengan lingkungan mikro
di dalam kandang dengan atap ketinggian 2 meter, serta kandang dengan atap
rumbia dan genteng ketinggian 3 meter pada siang hari.
Konduktivitas bahang bahan dipengaruhi jenis dan ketebalan bahan (Whates
1981). Semakin tinggi suhu di bagian bawah bahan atap, semakin tinggi pula suhu
di dalam kandang. Hal ini disebabkan penyebaran bahang lebih cepat pada bahan
tersebut, baik secara konduksi, konveksi maupun radiasi. Kandang beratap rumbia
dan genteng ketinggian 2 meter menyebabkan respon termoregulasi sapi-sapi di
dalamnya lebih rendah, pertambahan bobot badan serta efisiensi pakan lebih
tinggi dibanding dengan sapi-sapi yang tidak di dalam kandang beratap rumbia
dan genteng 3 meter (Santoso 1996).
Berkaitan dengan hantaran bahang dan konduksi, yang perlu diperhatikan
adalah konduktivitas dan kapasitas bahang tersebut. Perbandingan antara
konduktivitas dan kapasitas bahang merupakan daya difusivitas bahan yang
mencerminkan kemampuan bahan untuk melakukan difusi bahang ke lingkungan
sekitarnya (Mount 1979). Whates (1981) menyatakan kapasitas bahang dari bahan
tergantung pada kadar air bahan. Makin tinggi kadar air bahan, kapasitas
bahangnya makin tinggi. Santoso (1996) melaporkan bahwa tidak terjadi
perbedaan respon termoregulasi, konsumsi pakan, dan air minum dalam kandang
beratap rumbia dengan genteng pada ketinggian atap sama.
Selain memilih bahan atap berkonduktivitas rendah, usaha lain yang
ditempuh untuk memanipulasi lingkungan mikro di dalam kandang adalah dengan
memperbesar ukuran kandang. Salah satu caranya adalah dengan meninggikan
atap kandang, sehingga volume udara dan aliran udara masuk ke dalam kandang
lebih besar dan pergantian udara lebih cepat (Carpenter 1981). Pengaruh
ditimbulkan dari keadaan tersebut adalah terjadinya penurunan suhu di dalam
kandang. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa cekaman panas di dalam
kandang berkurang, di samping itu terjadi pelepasan panas dari tubuh ternak
melalui kulit (sweating) berjalan lebih baik.
Daerah-daerah yang cerah dengan sinar matahari penuh, tinggi atap kandang
sebaiknya antara 3.6 dan 4.2 m dan untuk daerah berawan, ketinggian atap
kandang antara 2,1 dan 2,7 m lebih efektif membatasi difusi radiasi matahari yang
diterima ternak di dalam kandang (Hahn 1985). Ketinggian atap antara 2 dan 3 m
untuk daerah tropis basah dan antara 4 dan 5 m untuk daerah beriklim panas
kering (McDowell 1972), antara 3 dan 4 m untuk daerah semi arid (Wiersma et al.
1984; Marai dan Forbes 1989). Sastry dan Thomas (1980) menyarankan
pengaturan ketinggian atap kandang sapi perah untuk daerah panas dengan curah
hujan sedang sampai curah hujan tinggi adalah 175 cm, yang diukur dari sisi atap
terendah ke lantai.
Respon Fisiologis
Semua ternak termasuk homoitherm, dalam keadaan sehat mempunyai suhu
tubuh praktis konstan. Untuk pengaturan suhu tubuh, terdapat pusat pengatur
suhu yang terletak di bagian anterior hipotalamus, yakni di daerah supraoptik dan
preoptik yang mudah dirangsang bila suhu tubuh naik. Begitu juga, pusat
14
pengaturan suhu di daerah posterior hipotalamus sangat mudah dirangsang,
apabila suhu tubuh menurun. Kedua pusat yang masing-masing terletak di
hipotalamus anterior dan posterior ini merupakan pusat suhu yang berlawanan,
artinya bila satu aktif maka lainnya dengan sendirinya menjadi pasif.
Pengaturan suhu tubuh bergantung pada produksi panas melalui
metabolisme dan pelepasan panas ke lingkungan. Hensel (1981) mengemukakan
bahwa adanya kontinuitas produksi panas oleh tubuh, maka keseimbangan hanya
terjadi bila ada kontinuitas aliran panas pada perbedaan temperatur antara tubuh
dan lingkungan. Menurut Isnaeni (2006), kesulitan dalam pelepasan panas secara
sensible menyebabkan ternak untuk melepaskan panas secara insensible
(evaporasi). Alfarez-Rodriguez dan Sanz (2009), bahwa sapi meningkatkan panas
secara evaporasi dengan panting dan sweting. Evaporasi pada dasarnya dikontrol
oleh ternak dan stres panas yang secara tiba-tiba, dapat segera menyebabkan
proses fisiologis pada sapi (Schutz et al. 2008). Pada saat istirahat, ternak lebih
toleransi pada suhu tinggi.
Temperatur mengacu pada kemampuan tubuh untuk menyerap panas. Pada
ternak lebih aktif, maka lebih banyak energi dikeluarkan untuk aktivitasnya dan
faktor ekstrinsik berupa temperatur yang paling besar mempengaruhi metabolisme
(Tyler dan Enseminger 2006). Homeotermi adalah hasil dari keseimbangan antara
produksi panas dengan pelepasan panas (Gambar 2), serta faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi panas yaitu ukuran tubuh, spesies dan bangsa,
lingkungan, pakan, dan air.
Hipotermia Hipertermia
Normal
Suhu tubuh, 0C
Gambar 2 Suhu tubuh sebagai keseimbangan antara pelepasan panas dengan
produksi panas
Dipengaruhi oleh:
Luas permukaan tubuh
Penutup tubuh
Pertukaran air
Aliran darah
Lingkungan :
Suhu
Kecepatan angin
Kelembaban
Dipengaruhi oleh:
Hormon kalorigenik
Produksi :
susu
daging
wool
aktivitas otot
kebutuhan pokok
Sumber :
Makanan
Cadangan tubuh
Permentasi
rumen/sekum
Lingkungan
Sensible Radiasi Konveksi Konduksi
Non sensibel Evaporasi Evaporasi -respirasi -kulit -
Pelepasan panas
Pelepasan panas
15
Suhu tubuh menunjukkan kemampuan tubuh untuk melepas dan menerima
panas. Pengukuran suhu tubuh sapi pada dasarnya sulit dilakukan, karena
pengukuran suhu tubuh merupakan resultan dari berbagai pengukuran di berbagai
tempat (Schmidt-Nielsen 1997). Suhu tubuh dapat dihitung pada beberapa lokasi
yaitu salah satunya pada rektal, karena cukup mewakili dan kondisinya stabil.
Temperatur rektal dan kulit saat siang hari meningkat akibat dehidrasi, frekuensi
respirasi dan suhu tubuh berfluktuasi lebih besar (Weeth et al. 2008).
Suhu tubuh diukur dengan termometer klinis bukan indikasi dari jumlah
total panas yang diproduksi, tetapi hanya merefleksikan keseimbangan antara
panas yang diproduksi dengan panas yang dilepaskan. Walaupun temperatur
rektal tidak mengindikasikan suhu tubuh pada ternak, tetapi rektal adalah tempat
yang tepat untuk menginformasikan suhu tubuh . Suhu rektal ternak berumur di
atas satu tahun berkisar 37.8-39.2 0C (Kelly 1984).
Pelepasan panas dari tubuh akan tergantung pada sistem pengendalian panas
tubuh sebagai reaksi terhadap perubahan-perubahan faktor iklim sekitarnya.
Kisaran suhu lingkungan pada kondisi tropis, umumnya lebih tinggi dibandingkan
dengan kisaran suhu lingkungan yang serasi bagi ternak. Kenaikan suhu
lingkungan akan diikuti oleh peningkatan suhu tubuh, yang akan menyebabkan
terganggunya keseimbangan panas tubuh (Sudarmoyo 1988). Perubahan-
perubahan fisiologis pada tubuh sapi FH yang menderita cekaman panas disajikan
pada Tabel 3. Pengaruh cekaman panas terhadap respon fisiologis sapi perah
sangat jelas pada peningkatan suhu rektal, frekuensi pernafasan, dan denyut
jantung.
Tabel 3 Suhu rektal, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan sapi FH
Parameter Sumber Suhu lingkungan
Netral Cekaman
Suhu rektal (oC) 1
2
38.7
38.8
40.0
39.8
Denyut jantung (kali per menit) 1
2
77.0
64.0
79.0
67.0
Pernapasan (kali per menit) 1
2
48.0
31.0
87.0
75.0
Sumber : 1) Kibler (1962). Sapi FH dengan suhu netral 21.6oC dan suhu cekaman
32.2oC. 2) Purwanto (1993a). Sapi FH dengan suhu netral 15
oC dan
suhu cekaman 30oC.
Sistem respirasi memiliki fungsi untuk memasok oksigen ke dalam tubuh
serta membuang karbondioksida dari dalam darah. Fungsi-fungsi sekunder
membantu dalam regulasi keasaman cairan ekstraseluler dalam tubuh, membantu
pengendalian suhu , eliminasi air, dan pembentukan suara. Sistem respirasi dapat
mengatur kelembaban dan suhu udara yang masuk (dingin atau panas) agar sesuai
dengan suhu tubuh.
Frekuensi respirasi normal pada ternak sapi dewasa adalah 10-30 kali/menit,
sedangkan pada pedet sebanyak 15-40 kali/menit. Mekanisme respirasi dikontrol
16
oleh medulla yang sensitif terhadap CO2 pada tekanan darah. Jika tekanan darah
meningkat sedikit, pernafasan menjadi lebih dalam dan cepat. Peningkatan
frekuensi respirasi terjadi ketika ada peningkatan permintaan oksigen, yaitu
setelah olah raga, suhu lingkungan dan kelembaban relatif tinggi, dan kegemukan
(Kelly 1984).
Respon pernafasan dan denyut jantung merupakan mekanisme dari tubuh
sapi perah untuk mengurangi atau melepaskan panas yang diterima dari luar tubuh
ternak. Frekuensi pernafasan dan denyut jantung akan meningkat sejalan dengan
peningkatan suhu lingkungan. Peningkatan denyut jantung merupakan respons
dari tubuh ternak untuk menyebarkan panas yang diterima ke dalam organ-organ
yang lebih dingin, sedangkan pernafasan merupakan respon tubuh ternak untuk
membuang panas atau mengganti panas dengan udara di sekitarnya. Apabila
kedua respons tersebut tidak berhasil menghilangkan atau mengurangi tambahan
panas dari luar tubuh, maka akan berakibat terhadap peningkatan suhu organ
tubuh (Anderson 1983). Selain itu, mekanisme pengurangan beban panas terutama
ditempuh melalui permukaan tubuh dengan cara pengeluaran keringat dan
sebagian lagi melalui pengeluaran urin (Tabel 4).
Roman-Ponce et al. (1982) mengemukakan bahwa sapi perah yang
ditempatkan pada kandang sebagai pelindung dari sengatan matahari pada suhu
lingkungan 28.4 oC menghasilkan suhu tubuh 38.9
oC, dan sapi-sapi tanpa
kandang pelindung pada suhu lingkungan 36.7 oC diperoleh suhu tubuh 39.4
oC.
Wolfenson et al. (1988) mengemukakan bahwa pendinginan tubuh dengan
pembasahan dan hembusan angin terhadap sapi perah Israel-Holstein pada musim
panas pada suhu lingkungan 31 oC, suhu tubuhnya meningkat 0.2
oC, dari suhu
tubuh 38.7 oC menjadi 38.9
oC. Sapi-sapi tanpa perlakuan pendinginan, suhu
tubuhnya meningkat 0.5 oC, dari suhu tubuh 38.7
oC menjadi 39.2
oC.
Tabel 4 Konsumsi minum, volume urine, dan evaporasi sapi FH laktasi dalam
kondisi suhu lingkungan yang berbeda
Parameter Suhu
18 oC 30
oC
Konsumsi minum (kg/hari)
Volume urine (kg/hr)
Evaporasi melalui (g m-2
hari-1
)
a. permukaan tubuh
b. respirasi
57.9
11.2
94.6
60.6
74.7
12.8
150.6
90.9
Sumber : McDowell (1972).
Upaya untuk mengatasi cekaman panas pada sapi perah, di antaranya
melalui perbaikan sistem perkandangan dan pendinginan tubuh. Gomila et al.
(1976) menjelaskan bahwa rataan frekuensi pernafasan sapi Fries Holland dan
Guernsey yang mendapatkan perlakuan pendinginan tubuh pada suhu lingkungan
17
27.4 – 29.2 oC adalah 64.7 kali per menit, sedangkan pada sapi tanpa pendinginan
tubuh adalah 76.5 kali per menit.
Jantung merupakan struktur otot berongga yang bentuknya menyerupai
kerucut, dan siklusnya adalah urutan peristiwa yang terjadi selama suatu denyut
lengkap. Jantung memiliki suatu kapasitas yang kompleks untuk berkontraksi
tanpa stimulus eksternal. Faktor-faktor yang mempengaruhi denyut jantung pada
ternak normal, yaitu spesies, ukuran, umur, kondisi fisik, jenis kelamin, tahap
kebuntingan, ransangan, tahap laktasi, posisi tubuh, aktivitas sistem pencernaan,
ruminasi, dan temperatur lingkungan (Frandson 1992). Denyut jantung normal
pada sapi dewasa 55-80 kali/menit dan pada pedet 100-120 kali/menit.
Perubahan dalam kardiovaskular terjadi hampir pada setiap perubahan
kondisi lingkungan sekitar ternak (Soeharsono 2008). Bila thermostat yang
terdapat pada hipothalamus posterior didinginkan, maka akan timbul
vasokontriksi di seluruh tubuh. Terjadinya vasokontriksi ini ternyata mencegah
sistem radiator dalam pengeluaran panas. Secara umum, kerja dari pusat panas ini,
apabila keadaan cuaca dingin, mula-mula thermoreceptor yang terdapat dalam
sistem di permukaan tubuh menderita terlebih dahulu. Dalam hal ini, darah yang
terdapat di periferi menerima rangsangan tersebut dan membawanya ke seluruh
tubuh. Suhu yang disebarkan tersebut sampai di pusat pengaturan suhu. Pusat ini
sangat sensitif terhadap setiap perubahan suhu darah. Sewaktu suhu darah
menurun, terjadi suatu reaksi tertahan, sehingga semua pembuluh darah di periferi
mengecil karena kerja hormon.
Reaksi kardiovaskuler terhadap perubahan suhu lingkungan terjadi adanya
penyempitan (kontriksi) dan pembesaran (dilatasi) pembuluh darah. Hal ini terjadi
sebagai manifestasi kerja pusat pengatur suhu yang terletak di dalam hipotalamus
(Soeharsono 2008). Denyut nadi merupakan manifestasi denyut jantung, yang
secara normal keduanya mempunyai ritme yang bersamaan. Denyut nadi
meningkat dengan meningkatnya suhu lingkungan, tetapi ada pula denyut nadi
yang menurun dengan meningkatnya suhu lingkungan. Soeharsono (2008)
mengemukakan dari hasil penelitiannya pada sapi perah Fries Holland, bahwa
pada suhu lingkungan 28.3 oC, frekuensi denyut nadi 72.3 kali per menit dan pada
suhu lingkungan 30.2 oC naik menjadi 76.6 kali per menit. Seath dan Miller
(2008), perubahan pada suhu udara memiliki efek yang relatif kecil terhadap
denyut jantung, dengan nilai korelasi kurang dari 0.2.
Manajemen Pakan
Manajemen pakan merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan
produktivitas dan keuntungan sapi perah. Pemberian pakan pada sapi perah
hendaknya memperhatikan dua hal, yaitu kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan
produksi. Pada sapi dara, pemberian pakan dapat menunjang kebutuhan hidup
pokok dan produksi, dengan fokus utama adalah pertambahan berat badan (PBB).
Manajemen pemberian pakan kepada ternak, terutama berdasarkan waktu dan
jumlah pemberian pakan, dan kualitas pakan. Tiga hal tersebut, perlu diperhatikan
mengenai jumlah dan kualitas pakan, yaitu bahan kering (BK), protein kasar, dan
energi (TDN), karena komposisi tersebut berperan penting untuk kelangsungan
hidup dan produksi sapi dara.
18
Pemberian pakan pada sapi perah yang ideal ditinjau dari segi respon
fisiologis dan ekonomis, terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat sebagai
tambahan. Pakan yang hanya terdiri dari hijauan saja akan sulit untuk mencapai
produksi tinggi. Begitu juga, bila sapi perah hanya diberikan konsentrat, produksi
akan tinggi, dengan biaya akan menjadi relatif mahal dan terjadinya gangguan
pencernaan.
Pemberian pakan hijauan dan konsentrat pada sapi perah merupakan
makanan yang dibutuhkan sapi perah untuk berbagai fungsi tubuhnya. Agar
pemberian pakan yang dibutuhkan itu dapat terpenuhi, hijauan dan konsentrat
perlu diformulasikan menjadi suatu ransum. Dengan demikian, formulasi ransum
sapi perah bertujuan untuk menyusun suatu ransum dapat memenuhi zat-zat
makanan dibutuhkan sapi perah. Dalam formulasi ransum, kebutuhan air tidak
diikutsertakan. Hal ini dikarenakan air minum pada sapi perah terutama sedang
laktasi, harus selalu cukup tersedia (Siregar 1992).
Berkenaan hubungan antara waktu, jumlah, dan konsumsi pakan dengan
faktor iklim terutama suhu lingkungan perlu diperhatikan. Purwanto et al. (1993)
mengemukakan bahwa faktor iklim berpengaruh langsung terhadap konsumsi
pakan dalam hal perilaku merumput, pengambilan dan penggunaan makanan (feed
intake), pengambilan dan penggunaan air minum (water intake), efisiensi
penggunaan makanan, dan hilangnya zat-zat makanan karena berkeringat dan air
sumber makanan di wilayah tersebut.
Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat diberikan kepada ternak,
baik berupa bahan organik maupun anorganik yang sebagian atau seluruhnya
dapat dicerna tanpa mengganggu kesehatan ternak. Albright (1992)
mengemukakan bahwa palatabilitas memiliki pengaruh besar terhadap konsumsi
pakan pada ruminansia dan sensor terhadap rasa sangat berkembang pada ternak
sapi. Chiy dan Philips (1999) melaporkan hasil penelitian, konsentrat yang manis,
dengan kadar karbohidrat larut air yang sama (198g/kg bk), dikonsumsi ternak
lebih cepat dibanding konsentrat yang asin dan pahit tanpa bahan aditif lain.
Fungsi fisiologis daripada pakan adalah menyediakan bahan-bahan untuk
membangun dan memperbaharui jaringan tubuh aus terpakai, mengatur
kelestarian proses-proses dalam tubuh dan kondisi lingkungan dalam tubuh, dan
menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses dalam tubuh. Energi
dibutuhkan untuk mendukung fungsi normal tubuh ternak seperti respirasi,
pencernaan, dan metabolisme untuk pertumbuhan dan produksi susu. Sapi dara
sedang tumbuh memerlukan ekstra energi untuk jaringan tubuhnya selama
pertumbuhan dari anak hingga menjadi ternak dewasa (Etgen 1987; Lawrence dan
Fowler 2002).
Kandungan pakan dapat berfungsi baik bagi tubuh sebagai sumber energi
adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Bahan-bahan pakan tersebut memiliki
karakter nutrisi dan efek berbeda-beda terhadap kondisi fisiologis ternak.
Makanan berserat menghasilkan panas paling tinggi dalam proses pencernaannya,
selanjutnya diikuti oleh protein, karbohidrat dan disusul lemak. Lemak memiliki
kadar energi paling tinggi, akan tetapi lemak menghasilkan panas terbuang (heat
increament) relatif lebih rendah dibanding protein dan karbohidrat (Parakkasi
1995). Penambahan lemak dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi energi.
19
Zat pakan yang memiliki kandungan kalori tinggi dan heat increament rendah
seperti lemak sangat sesuai diberikan bila ada cekaman panas.
Kebutuhan pakan pada makhluk hidup berbeda-beda sesuai dengan
karakter fisiologisnya, diantaranya bergantung pada tingkat stress terhadap
cekaman panas dan fase pertmbuhan. Pada ruminan, seperti sapi perah, hasil
fermentasi karbohidrat berupa VFA (volatile fatty acid) diserap langsung melalui
dinding rumen, hanya sedikit bagian dari VFA yang termetabolisme dalam
dinding rumen (Parakkasi 1995). VFA merupakan sumber energi utama pada
ruminansia. Lemak pakan dalam rumen ruminansia dewasa mengalami proses
hidrolisis, fermentasi gliserol dan galaktosa, dan hidrogenasi asam lemak tak
jenuh oleh mikroorganisme rumen. Hidrolisis lemak pada anak sapi sangat
terbatas kesanggupannya, sehingga banyak di antara lemak tersebut harus diserap
secara langsung masuk ke dalam saluran limfe (Parakkasi 1995).
Kandungan energi pakan harus dimodifikasi selama suhu tinggi. Rao et al.
(2002) melaporkan bahwa konsentrasi energi harus ditingkatkan 10 % selama
stress panas dan konsentrasi nutrisi lain juga ditingkatkan 25 %. Konsentrasi
energi (DE atau TDN) yang baik lebih tinggi pada pakan disuplementasi lemak
dibanding tidak disuplementasi. Sapi diberi pakan dengan lemak dengan
suplementasi sebanyak 1.2 Mkal/hari, energinya lebih banyak tercerna
dibandingkan tidak disuplementasi lemak (Weiss dan Wyatt 2004).
Energi metabolis sesuai dengan karakter metabolisme hewan dan juga
bergantung pada panas, aktivitas, dan pertumbuhan (Lawrence dan Fowler 2002).
Aktifitas dapat meningkatkan panas tubuh metabolis. Pada kasus yang biasa
dilakukan seperti aktivitas berdiri dari posisi duduk, dapat meningkatkan produksi
panas metabolis dari 40 % menjadi 45 % berdasarkan pengukuran menggunakan
calorimeter. Produksi panas metabolis pada saat diam, lebih rendah, karena terjadi
perubahan postur saat berlari, perubahan pada pelepasan panas sensible, dan atau
peningkatan suhu tubuh karena berlari (Yousef 1985).
Hasil penelitian Sporndly (2003), dengan penambahan 10 % kadar lemak
pada konsentrat atau 3 % dari seluruh ransum tidak memberikan efek yang relatif
besar pada konsumsi bahan kering atau kecernaan, dan terbaik pada penambahan
lemak dengan kadar maksimal 5 % telah direkomendasikan untuk sapi perah di
Swedia. Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak ruminansia
mampu mentoleransi kandungan lemak hingga 10 % tanpa mengalami gangguan
pencernaan.
Efisiensi penggunaan bahan kering ransum tertinggi dicapai pada pemberian
minyak kelapa 200 gr/ekor/hari, yang setara dengan penambahan 3.73 % lemak
dari bahan kering ransum (Anggarawati 1980). Kandungan energi tercerna
minyak kelapa sebesar 0.8 kcal/kg dan koefisien cerna protein dan ether extract
lebih besar saat pakan mengandung minyak kelapa sebanyak 10 % (Creswell dan
Brooks 1971). Hasil penelitian Sitoresmi (2009) menunjukkan, penambahan
minyak hingga level 5 % mampu menurunkan produksi metan hingga 15.80 %
tanpa berefek negatif terhadap kadar NH3, kadar VFA, aktivitas CMC-ase, dan
kadar protein mikrobia. Nilai kalori tinggi dari lemak sangat sesuai digunakan
sebagai pakan, untuk meningkatkan rasio densitas energi pakan tanpa terlalu
menambah peningkatan panas hasil fermentasi sistem pencernaan (Wang et al.
2010).
20
Ruminasi dipengaruhi faktor-faktor nutrisi berupa kecernaan pakan,
konsumsi NDF, komposisi pakan, dan kualitas bahan baku pakan. Peningkatan
efisiensi mengunyah saat ruminasi adalah salah satu faktor dapat meningkatkan
daya konsumsi atau cerna setelah ternak disapih, dan bersamaan dengan
meningkatnya fungsi-fungsi rumen lain (Hooper dan Welch 1983). Peningkatan
mengunyah pada saat ruminasi seiring dengan meningkatnya konsumsi hay (Bae
et al. 1979). Peningkatan ruminasi pada sapi perah berpengaruh terhadap
peningkatan produksi saliva dan peningkatan kesehatan rumen. Peningkatan
jumlah lemak jenuh yang melintasi duodenum, dapat meningkatkan waktu
ruminasi harian (Harvatine dan Allen 2005). Hasil Observasi menggunakan Hi-
Tag rumination monitoring system yang dilakukan Schirmann (2009), waktu
yang diperlukan untuk ruminasi selama 35.1 ± 3.2 menit, waktu tersebut hampir
sama dengan pengamatan langsung, yaitu 34.7 ± 2.3 menit.
Konsumsi Pakan
Upaya mencapai tingkat produksi tinggi sesuai dengan potensi genetiknya,
sapi perah perlu memperoleh zat gizi yang diperlukan. Pakan diberikan kepada
sapi perah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan kebutuhan
produksi. Sebagai pakan untuk hidup pokok harus mengandung sejumlah zat gizi
yang mencukupi untuk mempertahankan fungsi-fungsi tubuh dalam keadaan
normal yaitu pernapasan, pencernaan makanan serta memperbaiki bagian-bagian
tubuh yang rusak (Foley et al. 1973). Kandungan zat gizi yang tersedia di dalam
pakan terlebih dahulu akan digunakan tubuh untuk memenuhi kebutuhan hidup
pokok, selanjutnya untuk kebutuhan pertumbuhan dan reproduksi, serta sisanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi. Energi dan protein dibutuhkan
sapi perah dalam jumlah cukup banyak, tetapi vitamin dan mineral dibutuhkan
dalam jumlah sedikit. Air dibutuhkan sangat banyak, karena berfungsi sebagai
media pengangkut dan pembentukan energi dalam tubuh.
Jumlah bahan kering dikonsumsi sapi perah sangat beragam sesuai dengan
kondisi lingkungannya, yaitu berkisar antara 2.2 – 3.0 % dari bobot hidup. Pakan
dikonsumsi sapi perah tergantung pada selera makan serta dipengaruhi oleh
bangsa sapi, periode laktasi, efisiensi metabolisme dan perkembangan rumen,
suhu lingkungan, kandungan air bahan makanan, dan adanya bahan makanan
tambahan (Sudono et al. 2003).
Konsumsi pakan sapi perah dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya suhu
dan kelembaban udara, umur ternak, jenis makanan, dan bangsa sapi perah. Di
antara faktor-faktor tersebut, suhu dan kelembaban udara merupakan salah satu
faktor yang sangat penting dan berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Sudono
et al. (2003) mengemukakan bahwa suhu lingkungan tinggi dapat menurunkan
konsumsi pakan pada seluruh bangsa sapi perah. Konsumsi ransum mulai turun
apabila suhu lingkungan naik dari 24 – 25 0C pada sapi Fries Holland, 26 – 29
0C
pada sapi Jersey, di atas 29.5 0C pada sapi Brown Swiss, dan 32-35
0C pada
Brahman. Konsumsi pakan sapi Fries Holland laktasi akan menurun 20 % pada
suhu 32 0C dan akan berhenti makan pada suhu di atas 40
0C.
21
Kadar lemak susu sebagian besar diperoleh dari sapi yang mengkonsumsi
pakan berserat kasar tinggi, karena serat kasar merupakan makanan ternak
ruminansia yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energi tinggi (Quinn
1980). Kadar serat kasar dalam pakan sapi perah biasanya berkisar antara 16 – 18
% dari total bahan kering yang diberikan. Kadar serat kasar terlalu tinggi di dalam
rumen mengakibatkan ransum sulit dicerna, sedangkan kadar serat kasar terlalu
rendah dalam pakan dapat mengakibatkan gangguan pencernaan (Cullison 1978;
Suherman 2003).
Sapi perah tidak terlalu bergantung pada protein yang tersedia dalam
ransum, karena urea atau nitrogen non protein dapat dibentuk menjadi asam
amino essensial yang dibutuhkan. Kandungan protein tinggi secara utuh akan
difermentasi oleh mikroorganisme rumen dan sebagian lagi akan diubah menjadi
protein mikroba yang mempunyai nilai biologis dan kecernaan sangat rendah
(Czerkawski 1985).
Suhu lingkungan tinggi menurunkan nafsu makan dan mengurangi
konsumsi ransum serta meningkatkan konsumsi air minum. Hal tersebut akan
menghambat pertumbuhan dan produksi susu. Turunnya konsumsi ransum
sebagai respon terhadap peningkatan suhu lingkungan, untuk mempertahankan
keseimbangan panas tubuh dengan cara mengurangi panas tambahan dari ransum.
McDowell et al. (1976) mengemukakan bahwa musim panas produksi susu sapi
perah turun sebesar 21 % dan konsumsi ransum turun sebesar 14 % dibanding
musim dingin.
Kelembaban udara tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi
susu pada suhu 24 0C, sedangkan pada suhu 34
0C akan menyebabkan penurunan
produksi (Johnson dan Vanjonack 1975). Selanjutnya dijelaskan bahwa sapi perah
Fries Holland lebih besar penurunan produksinya di daerah tropis dan relatif
sensitif terhadap perubahan kelembaban udara dibanding sapi Jersey dan Brown
Swiss. Pada ISK tinggi, penurunan produksi susu tampak jelas terjadi pada sapi
yang menghasilkan susu tinggi (25 kg per hari). Sapi-sapi yang menghasilkan
susu 25 kg per hari mengalami penurunan produksi 0.8 kg per hari untuk setiap
kenaikan ISK satu satuan ISK, sementara sapi perah produksinya 15 kg per hari
mengalami penurunan produksi sekitar 0.3 kg per hari, untuk setiap kenaikan satu
satuan ISK di atas 74.5 (Esmay 1986).
Peningkatan suhu lingkungan mempengaruhi konsumsi ransum, air
minum, produksi susu, kadar lemak, bahan kering tanpa lemak, untuk lebih
jelasnya disajikan pada Tabel 5. Di Indonesia, temperatur lingkungan mencapai
29 oC menurunkan produksi susu menjadi 10.1 kg/ekor/hari dari produksi susu
11.2 kg/ekor/hari pada saat temperatur lingkungan hanya berkisar 18 – 20 oC
(Talib et al. 2002). Penelitian Roman-Ponce et al. (1977) bahwa konsumsi hijauan
turun sebesar 10 % pada sapi perah yang dipelihara tanpa memakai peneduh
dibanding memakai peneduh, dan produksi susu lebih rendah sebesar 6%.
Komposisi susu sangat dipengaruhi stres panas. Sapi perah yang mengalami
stres panas akan mendapatkan pengaruh negatif terhadap komposisi susu, seperti
kadar lemak, protein, dan laktosa susu (Anderson 1985). Hasil penelitian Talib et
al. ( 2002), mendapatkan penurunan kadar lemak susu sapi perah di Indonesia
menjadi 3.2 % pada temperatur lingkungan mencapai 29 oC, jika dibandingkan
dengan kadar lemak susu 3.7 % pada temperatur lingkungan 18–20oC. Demikian
halnya hasil penelitian di Taiwan yang dilakukan oleh Mei dan Hwang (2002),
22
mendapatkan lemak susu (3.58 %), protein susu (3.13 %), dan bahan padat bukan
lemak (8.87 %) dari susu pada sapi yang menderita stres panas, hasil ini lebih
rendah dibanding sapi tidak mengalami stres panas, namun kemudian dapat diatasi
dengan pemberian ransum pada keseimbangan energi dan protein.
Tabel 5 Perbandingan konsumsi pakan, air minum, produksi susu, dan bobot
badan pada suhu 18 0C dan suhu 30
0C
Parameter 18 0C 30
0C % perbedaan
Konsumsi rumput kering per hari (kg) 5.8 4.5 -22.4
Konsumsi konsentrat per hari (kg) 9.7 9.2 -5.1
Konsumsi air minum per hari (kg) 56.99 74.7 29.0
Produksi susu per hari (kg) 18.4 15.7 -14.6
Lemak susu 0.63 0.38 -39.7
Bahan kering tanpa lemak 1.59 1.29 -18.9
Protein susu 0.59 0.49 -16.9
Bobot badan (kg) 486.0 482.0 -0.9
Efisiensi (Mcal milk) 59.0 38.1 -35.4
Sumber : McDowell (1972)
Igono et al. (1985) telah meneliti pengaruh penyiraman air pada sapi perah
di musim panas terhadap produksi susu, kualitas susu, suhu rektal. Hasilnya
adalah terjadi perbedaan suhu rektal antara sapi perlakuan dan sapi kontrol, yaitu
masing-masing sebesar 38.8 0C dan 39.1
0C, serta produksi susu meningkat
sebesar 0.7 kg dibandingkan dengan sapi tanpa perlakuan.
Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) atau Artificial Neural Network merupakan
suatu metode komputasi yang meniru sistem jaringan syaraf biologis. Metode ini
menggunakan elemen perhitungan tidak linier dasar yang disebut neuron, serta
diorganisasikan sebagai jaringan saling berhubungan, sehingga mirip dengan
jaringan syaraf manusia. Eliyani (2005) mengemukakan bahwa JST dibentuk
untuk memecahkan suatu masalah tertentu, seperti pengenalan pola atau
klasifikasi karena proses pembelajaran.
Sejak ditemukan pertama kali oleh McCullochme dan Pitts pada tahun 1948,
JST telah berkembang pesat dan telah digunakan pada banyak aplikasi. Teori yang
menginsipirasi lahirnya JST muncul dari bermacam disiplin ilmu, terutama dari
neuron science, teknik, komputer, psikologi, matematika, fisika, dan ilmu bahasa.
Ilmu-ilmu ini bekerja bersama untuk satu tujuan yaitu pengembangan sistem
kecerdasan (Kusumadewi 2003).
Beberapa hal ingin dicapai dengan melatih JST adalah untuk mencapai
keseimbangan antara kemampuan memorisasi dan generalisasi (Puspatiningrum
2006). Kemampuan memorisasi adalah kemampuan JST untuk mengambil
kembali secara sempurna sebuah pola yang telah dipelajari. Kemampuan
generalisasi adalah kemampuan JST untuk menghasilkan respon yang bisa
23
diterima terhadap pola-pola input serupa (tidak identik) dengan pola-pola
sebelumnya telah dipelajari. Hal tersebut sangat bermanfaat bila pada suatu saat
ke dalam JST diinputkan informasi baru yang belum pernah dipelajari, maka JST
masih tetap dapat memberikan tanggapan baik dan memberikan keluaran paling
mendekati.
Prinsip kerja JST tersebut mengadopsi prinsip kerja penyaluran informasi
sistem jaringan syaraf manusia. Namun demikian, keterbatasan yang dimiliki JST
merupakan sebagiankecil dari kemampuan sistem syaraf pada manusia.
Kusumadewi (2003) mengemukakan bahwa setiap pola-pola informasi input dan
output yang diberikan ke dalam JST diproses dalam neuron. Neuron-neuron
tersebut terkumpul di dalam lapisan-lapisan yang disebut Neuron layer, terdiri
dari lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output.
Konsep kerja informasi tersalurkan dalam JST dimulai dari node-node
input. Bila ada sinyal yang masuk ke node input, maka node-node input ini
memiliki fungsi untuk menerima sinyal informasi dari luar dan meneruskannya ke
node-node pada lapisan tersembunyi. Besarnya sinyal yang disampaikan
tergantung pada tingkat kekuatan hubungan antara tiap- tiap node input dengan
masing-masing node tersembunyi. Tingkat kekuatan hubungan node digunakan
faktor pembobot (weight), sehingga sinyal yang diterima node-node di lapisan
tersembunyi merupakan sinyal terbobot atau weigthed signal.
Metode propagasi balik perambatan galat mundur (back propagation)
merupakan sebuah metode sistematik untuk pelatihan multilayer JST. Metode
back propagation memiliki dasar matematis yang kuat, obyektif, dan algoritma ini
mendapatkan bentuk persamaan dan nilai koefisien, dalam formula dengan
meminimalkan jumlah kuadral galat error melalui model yang dikembangkan
(training set) (Brace 1977). Langkah pada lapisan masukan, dihitung keluaran dari
setiap elemen pemroses melalui lapisan luar. Dihitung kesalahan pada lapisan luar
yang merupakan selisih antara data aktual dan target. Kesalahan tersebut
ditransformasikan pada kesalahan yang sesuai di sisi masukan elemen pemroses.
Propagasi balik dilakukan terhadap kesalahan tersebut, pada keluaran setiap
elemen pemroses kesalahan yang terdapat pada masukan, proses ini diulangi
sampai masukan tercapai. Seluruh bobot diubah dengan menggunakan kesalahan
pada sisi masukan elemen dan luaran elemen pemroses yang terhubung.
Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses ditunjukkan
pada Gambar 3 (Eliyani 2005).
aj ai = g(ini)
Wj,I
Input Output
Links Links
Input Activation Output
Function function
Gambar 3 Tiruan neuron dalam struktur JST sebagai elemen pemroses
Ini g ai
∑ ∫