Post on 30-Oct-2020
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroba Endofit
Mikroba endofit merupakan mikroorganisme hidup dalam jaringan vaskuler
tumbuhan (xylem dan phloem) yang memiliki ukuran mikroskopis yang terdapat
pada akar, batang, daun dan buah. Mikroba endofit memiliki peranan, seperti
meningkatkan pengambilan nutrien tumbuhan (Chanway, 1996 ; Suciatmih,
2015), meningkatkan pertumbuhan dan vigor tumbuhan (Ting et al., 2008 ;
Suciatmih, 2015), memberikan resistensi tumbuhan melawan infeksi patogen
(Ting et al., 2008 ; Suciatmih, 2015) dan sumber metabolit sekunder (Strobel dan
Deasy, 2003 ; Suciatmih, 2015).
Mikroba endofit memiliki potensi menghasilkan metabolit sekunder yang
memiliki daya antimikroba, antimalaria, antikanker, dan sebagainya. Metabolit
sekunder yang hidup pada biotop yang spesifikakan lebih aktif dan spesifik jika
diisolasi dari mikroba. Mikroba endofit yang hidup dalam lingkungan spesifik
ataupun lingkungan ekstrim sering ditemukan sumber penemuan senyawa
bioaktif baru.Habitat mikroba endofit mempengaruhi metabolit sekunder yang
dihasilkan. Beberapa tumbuhan dapat menurunkan senyawa bioaktif kepada
mikroba endofit yang hidup di inangnya, seperti contoh senyawa taxol yang
ditemukan pada tahun 1993 yang dihasilkan dari fungi yang tumbuh di tanaman
Taxomyces andreanae yang memiliki peranan sebagai antikanker (Strobel, 2003;
Prihatiningtias, 2003). Contoh lainnya yaitu senyawa Oleandrinmemiliki
kemampuan sebagai senyawa antikanker yang juga dihasilkan oleh fungi endofit
yang berhasil diisolasi dari daun Nerium indicum (Prihatiningtias, 2003).
5
2.2 Mangrove Sonneratia alba
Mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang surut,
tumbuhan yang hidup diantara laut dan daratan. Kata mangrove mempunyai dua
arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau tumbuhan yang
tahanterhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai
individu spesies (Supriharyono, 2000). Beberapa spesies mangrove yang
menyusun komunitas hutan mangrove salah satunya spesies Sonneratia alba
(family Lythraceae, genus Sonneratia). Sonneratia alba merupakan jenis
mangrove yang menempati bagian pantai paling depan di sisi laut. Tumbuhan
mangrove Sonneratia alba (pidada) telah digunakan oleh masyarakat tradisional
Indonesia untuk pengobatan luka, diare dan demam (Noor et al., 2006; Harizon
et al., 2014).
Pohon mangrove pidada (Sonneratia alba) memiliki ciri pohon yang selalu
hijau, tangkai dan ranting cenderung melebar, tinggi 3-20 m, memiliki akar nafas
yang tebal berbentuk kabel di bawah tanah dan muncul ke permukaan berbentuk
kerucut tumpul dan tingginya mencapai 25 cm (pneumaofor). Karakterstik daun
dari mangrove ini meliputi, jumlahnya tunggal, tidak bersisik, memiliki bentuk
yang seragam, tidak ada kelenjar minyak, tidak berduri, bentuk simetris, tidak
terbelah, halus atau rata, kulit daun tidak berlilin, berukuran 5-12,5 x 3-9 cm
(Giesen, 1993).Mangrove pidada tumbuh di pesisir pantai yang berkarang dan
tersebar secara vegetatif. Habitatnya di tanah berpasir dan berlumpur. Kulit
batangnya memiliki warna abu-abu atau kecoklatan, permukaannya kasar serta
retak-retak. Pada pohon muda, kulit batangnya dilapisi semacam lapisan lilin
untuk mengurangi penguapan air dari jaringannya. Bila dipangkas rantingnya
mudah beregenerasi (Noor et al., 1999).
6
.
Tumbuhan mangrove dapat hidup di daerah tropis dan subtropis dengan
menyediakan niches (relung ekologi) yang dibutuhkan flora, fauna dan mikroba.
Mikroba endofit merupakan salah satu mikroba yang ditemukan hampir semua
keluarga tumbuhan, termasuk tumbuhan mangrove. Komunitas mikroba endofit
memilikiperanan yang sangat penting dari suatu ekosistem hutan dan
berkontribusi nyata pada keanekaragaman dan struktur tumbuhan (Giordano et
al., 2009 ; Suciatmih, 2015).
2.3 Enzim
Enzim merupakan biokatalisator atau senyawa yang dapat mempercepat
jalannya suatu reaksi tanpa habis bereaksi. Keberadaan enzim akan
mempercepat perubahan substrat menjadi molekul lain yang disebut produk.
(Smith, 1997; Grisham dan Reginald, 1999). Enzim merupakan biomolekul
protein berbentuk globular yang memiliki satu rantai polipeptida atau lebih
(Wirahadikusuma, 1989). Enzim dapat mempercepat reaksisekitar 108 sampai
1011 kali lebih cepat dibandingkan dengan reaksi yang tidak dikatalisis (Poedjiadi,
1994).
Gambar 1. Mangrove Sonneratia alba. (A). Batang mangrove, (B). Daun Mangrove, dan (C). Akar Mangrove (Susmalinda, 2013).
7
Keunggulan enzim sebagai biokatalisator antara lain memiliki spesifitas
tinggi, mempercepat reaksi kimia tanpa pembentukan produk samping,
prduktivitas tinggi dan dapat menghasilkan produk akhir yang tidak
terkontaminasi sehingga mengurangi biaya purifikasi dan efek kerusakan
lingkungan (Chaplin dan Bucke, 1990).
Dalam mengkatalisis suatu reaksi, enzim bekerja sangat spesifik hanya
pada substrat tertentu dan bentuk reaksi tertentu (Girindra, 1986). Adanya
gugus-gugus polar atau non-polar dalam struktur enzim inilah yang
menyebabkan kespesifikan kerja enzim (Fessenden, 1992). Enzim memiliki
peranan khusus, diantaranya enzim dapat menurunkan energi aktivasi,
mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan seimbangnya dan mengendalikan reaksi (Page, 1997).
Manfaat enzim telah digunakan dalam bidang industri pangan, farmasi, dan
industri kimia. Enzim digunakan dalam bidang pangan misalnya amilase,
glukosa-isomerase, papain dan bromelin. Sedangkan dalam bidang kesehatan
contohnya amilase, lipase dan protease. Aplikasi enzim di bidang bioteknologi
seperti selulase digunakan dalam proses sakarifikasi bahan berselulosa,
deterjen, industri makanan, dan pengolahan limbah pabrik kertas (Busto et al.,
1995 ; Akiba et al., 1995). Enzim dapat diisolasi dari hewan, tumbuhan dan
mikroorganisme (Crueger et al, 1982). Namun, secara umum kebanyakan enzim
diisolasi dari mikroorganimse karena pertumbuhan mikroorganisme relatif cepat
sehingga menghasilkan enzim yang lebih banyak.
2.3.1 Klasifikasi Enzim
Menurut Lehninger (1982), Enzim dapat diklasifikasikan berdasarkan reaksi
kimia yang dikatalisis, yaitu :
8
1. Oksidoreduktase : Mengkatalisis reaksi oksidasi/reduksi yang umumnya
melibatkan transfer elektron. Contoh ; Oksidase dan dehidrogenase
2. Transferase : Mentrasnfer gugus fungsional (metil atau gugus fosfat). Contoh ;
transglikosidase, transmetilase, dan transasetilase
3. Hidrolase : Mengkatalis reaksi hidrolisis dari berbagai ikatan yang umumnya
melibatkan perpindahan air (H2O), Contoh : esterase, nuklease, deaminase,
amidase, dan protease.
4. Lyase : Memotong berbagai ikatan kimia selain hidrolisis dan oksidasi. Contoh
: desmolase.
5. Isomerase : Mengkatalisis isomerase pada molekul yang mengakibatkan
perubahan struktur molekul
6. Ligase : Menggabungkan dua molekul menjadi ikatan kovalen.
2.3.2 Sifat Katalitik Enzim
Menurut Page (1989) sifat-sifat katalitik dari enzim ialah sebagai berikut :
a. Enzim mampu meningkatkan laju rekasi pada kondisi biasa (fisiologik)
dari tekanan, suhu dan pH.
b. Enzim memiliki sifat selektifitas yang tinggi terhadap substrat yang akan
dikatalisis.
c. Enzim memberikan peningkatan laju reaksi yang tinggi dibanding dengan
katalis biasa.
2.3.3 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah sebagai berikut :
a. Suhu
Enzim berfungsi sebagai biokatalisator atau mempercepat jalannya suatu
reaksi pada suatu sel hidup pada batas suhu tertentu, kecepatan reaksi yang
dikatalisis enzim akan meningkat seiring dengan naiknya suhu. Reaksi terjadi
9
paling cepat pada suhu optimum (Rodwell,1987). Sedangakan jika suhu terlalu
tinggi, menyebabkan enzim terdenaturasi (Poedjiadi, 1994). Pada suhu 0oC,
enzim menjadi tidak aktif dan dapat kembali aktif pada suhu normal (lay dan
Sugyo, 1992). Hubungan antara aktivitas enzim dengan suhu ditunjukkan dalam
Gambar 2.
Gambar 2.Hubungan aktivitas enzim dengan suhu (Rodwell, 1987)
Enzim memiliki suhu optimal antara 35oC-50oC, yaitu suhu tubuh. Aktivitas
enzim dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu di atas dan di bawah optimalnya, maka
aktivitas enzim berkurang. Diatas suhu 50oC, secara bertahap enzim akan
menjadi inaktif karena terdenaturasinya protein. Pada suhu 100oC semua enzim
rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi
aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman dan Sherrington, 1994).
b. pH
Sifat yang dimiliki enzim yaitu amfolitik dimana enzim mempunyai gugus
terminal karboksil dan gugus terminal asam amino serta memiliki konstanta
disosiasi pada gugus basa maupun gugus asamnya. Perubahan pH lingkungan
mempengaruhi kereaktifan enzim (Winarno, 1989). Hubungan kecepatan reaksi
dengn pH ditunjukkan pada Gambar 3.
Aktivitas
Enzim
Suhu
10
Gambar 3. Hubungan kecepatan reaksi dengan pH (Winarno, 1989)
Enzim memiliki pH optimal sekitar pH7 (netral) dan jika medium menjadi
sangat asam atau sangat alkalis, maka enzim akan mengalami inaktivasi. Akan
tetapi beberapa enzim hanya aktif dalam keadaan asam atau alkalis. Contohnya
enzim pepsin yang bekerja pada lambung jika kondisi optimal pada pH 2 (Gaman
dan Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa
terutama pada residu terminal karboksil dan asam aminonya. Tetapi jika enzim
bekerja pada pH yang terlalu asam ataupun terlalu basa akan menyebabkan
penurunan kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. pH optimum enzim
sekitar 4,5 sampai 8, dimana enzim mempunyai kemampuan kestabilan yang
tinggi (Williamson dan Fieser, 1992).
c. Konsentrasi Enzim
Pengaruh konsentrasi enzim terhadap aktivitas enzim yaitu, semakin tinggi
konsentrasi enzim maka akan mempercepat reaksi pada batas konsentrasi
tertentu. Namun, hasil hidrolisis substrat akan konstan dengan naiknya
konsentrasi enzim. Hal ini disebabkan karena penambahan enzim sudah tidak
efektif lagi (Reed, 1975). Hubungan antara laju reaksi enzim dengan konsentrasi
enzim ditunjukkan dalam Gambar 4.
pH
Kecepatan
reaksi
11
Gambar 4.Hubungan laju reaksi dengan konsentrasi enzim (Reed, 1975)
d. Konsentrasi Substrat
Kecepatan reaksi enzimatis pada umumnya tergantung pada konsentrasi
substrat. Kecepatan reaksi akan meningkat jika konsentrasi substrat meningkat.
Peningkatan kecepatan reaksi ini akan semakin kecil hingga tercapai suatu titik
batas yang pada akhirnya penambahan konsentrasi substrat hanya akan sedikit
meningkatkan kecepatan reaksi (Lehninger, 1982).
e. Aktivator dan Inhibitor
Beberapa enzim memerlukan aktivator dalam reaksi katalisnya. Aktivator
merupakan senyawa atau ion yang dapat meningkatkan terjadinya reaksi
enzimatis. Komponen kimia yang membentuk ion-ion anorganik seperti Zn, Fe,
Ca, Mn, Cu, Mg atau dapat pula sebagai molekul organik kompleks yang disebut
koenzim (Martoharsono, 2006).
Menururt Wirahadikusuma (1989), inhibitor adalah zat kimia tertentu yang
menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja inhibitor adalah dengan
menyerang sisi aktif enzim sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan
substrat sehingga fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1989).
Kecepatan
reaksi
Konsentrasi Enzim
12
2.3.4 Teori Pembentukan Kompleks Enzim Substrat
Teori pembentukan kompleks enzim susbtrat sering disebut teori lock and
key dan teori induced-fit (Shahib, 2005) yang dapat diilustrasikan pada Gambar
5.
a. Teori lock and key (Gembok dan kunci)
Teori ini menerangkan bahwa substrat yang spesifik akan terikat pada daerah
spesifik di molekul enzim yang disebut sisi aktif. Substrat memiliki daerah
polar dan non polar pada sisi aktif yang baik bentuk maupun muatannya
merupakan pasangan substrat. Hal ini terjadi karena adanya rantai peptida
yang mengandung rantai residu yang menuntun substrat untuk berinteraksi
dengan residu katalitik. Ketika katalisis berlangsung, produk masih terikat
pada molekul enzim. Sehingga produk akan bebas dari sisi aktif dengan
terbebasnya enzim.
b. Teori induced-fit (Ketepatan induksi)
Teori ini menerangkan bahwa enzim bersifat fleksibel, dimana sebelumnya
bentuk sisi aktif tidak sesuai dengan bentuk substrat, tetapi setelah substrat
menempel pada sisi aktif, maka enzim akan terinduksi dan menyesuaikan
dengan bentuk substrat.
Gambar 5.Teori kunci gembok dan teori Induksi (Shahib, 2005).
Enzim
Substrat enzim (Active site)
substrat Enzim
Substrat enzim (Active site)
substrat
Teori Kunci Gembok Sisi Aktif Cenderung kaku
Teori Kecocokan Induksi Sisi Aktif lebih fleksibel
13
2.4 Enzim L-Asparaginase
L-asparaginase (L-asparagineamidohydrolase; E.C. 3.5.1.1.) merupakan
enzim yang dapat mengkatalis proses hidrolisis L-asparagin menjadi L- aspartat
dan amonia (Hegazy dan Moharam, 2010; Soniyamby et al., 2011). Keduanya
baik substrat maupun produk dan reaksi tersebut memegang peranan penting
dari sejumlah proses metabolisme dalam semua organisme, dari bakteri sampai
mamalia. L-asaparagin yang berlebihan pada tanaman akan disimpan dan pada
transport nitrogen digunakan untuk biosintesis protein. L-aspartat dalam tubuh
manusia berperan penting sebagai prekursor ornitin dalam siklus urea dan dalam
reaksi transaminasi membentuk oksaloasetat di jalur glukoneogenik
menghasilkan glukosa (Borek dan Jaskolski, 2001).
Gambar 6.Rekasi Enzim L-asparaginase (Borek dan Jaskolski, 2001).
2.4.1 Sejarah Enzim L-asparaginase
Awal mula ditemukannya enzim L-asparaginase sebagai agen kemoterapi
pada tahun 1953 oleh Kidd, yang pertama kali menemukan adanya aktivitas
antikanker (antilimfoma) pada serum darah marmut (serum pig). Selanjutnya,
hasil penemuan Kidd tersebut dikonfirmasi oleh Neuman dan McCoy (1956) yang
mendemonstrasikan perbedaan metabolisme serta pertumbuhan sel normal dan
sel kanker sebagai respon tidak adanya L-asparagin secara in vitro. Broome
(1961) menyimpulkan kedua penemuan tersebut, bahwa kemampuan antikanker
serum marmut yang dilaporkan oleh Kidd tersebut terjadi karena kadar L-
L-asparaginase
+ H2O
NH4-
L-aspartate L-asparagine
14
asparagin yang esensial untuk pertumbuhan sel kanker berkurang karena
aktivitas hidrolitik L-asaparaginase.
Aplikasi enzim L-asparaginase sebagai kemoterapi memiliki masalah.
Permasalahannya yaitu penggunaan marmut (guinea pig) sebagai satu-satunya
sumber L-asparaginase pada tahun 1960-an bersifat terbatas (Nagarethinam,
2012). Pada tahun 1964, Mashburn dan Wriston menemukan bahwa bakteri
E.coli mampu menghasilkan enzim L-asparaginase dalam jumah besar. E.coli
menghasilkan ensim L-asparaginase dalam jumlah yang banyak. E.coli
menghasilkan dua jenis enzim L-asparaginase yakni EC-1 yang ditemukan pada
sitoplasma sel dan EC-2 yang ditemukan pada perisplasmik. Diantara kedua
jenis enzim L-asparaginase tersebut, enzim L-asparaginase periplasmik lah yang
memiliki aktivitas antikanker. Penemuan tersebut mendorong penggunaan L-
asparaginase sebagai agen kemoterapi kanker. Pada tahun 1978, FDA
mengkonfirmasi efikasi klinis enzim L-asparaginase melalui serangkaian uji klinis
pada pasien (Nagarethinam, 2012).
2.4.2 Klasifikasi Enzim L-Asparaginase
Secara umum menurut Borek dan Jaskolski (2001), enzim L-asparaginase
diklasifikasikan menjadi tiga tipe berdasarkan sekuen asam aminonya yaitu tipe
asparaginase bakteri, tipe asparaginase tanaman, dan asparaginase Rhizobium
etil. Enzim L-asaparaginase dari bakteri dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
L-asparaginase tipe I dan L-asaparaginase tipe II (Roth et al., 2009). Perbedaan
utama antara enzim L-asaparginase tipe I dan enzim L-asparaginase tipe II
adalah bentuk konformasi dan afinitasnya.
Enzim L-asparaginase tipe I memiliki konformasi dimer dan memiliki
afinitas yang rendah terhadap substrat L-asparagin (Km= 10-3 M) serta bersifat
konstitutif. Enzim L-asparaginase tipe II memiliki konformasi tetramer dengan
15
empat sisi aktif dimana setiap sisi aktif dibentuk oleh asam amino dari satu
monomer serta memiliki afinitas yang tinggi terhadap substrat L-asparagin (Km=
10-5 M). Enzim L-asparaginase tipe II disekresikan sebagai respon terhadap
kekurangan nitrogen selain itu ekspresi gen penyandi L-asparaginase II juga
dipengaruhi oleh perubahan aerasi, sumber karbon, dan variasi dari asam amino
(Ghasemi et al., 2008).
Enzim L-asparaginase tipe I dan tipe II juga dibedakan berdasarkan lokasi
di dalam sel, solubilitas di dalam ammonium sulfat, sensitivitas terhadap
inaktivasi suhu dan kondisi untuk ekspresi (Yano et al., 2008). Enzim L-
asparaginase tipe I merupakan enzim sitoplasmik, sedangkan enzim L-
asparaginas tipe II bersifat periplasmik (Ghasemi et al., 2008). Aktivitas enzim L-
asparaginase tipe I optimal pada pH 6.98, sedangkan enzim L-asparaginase tipe
II pada pH 7.5-9 (Youssef dan Al-Qomar, 2008).
Lebih dari 30 tahun L-asparaginase tipe II dalam dunia medis digunakan
untuk treatment acute lymphoblastic leukimia. L-asparaginase tipe II dapat
diisolasi dari E.coli dan Erwinia sp. (Roth et al., 2009). Gen yang menyandi L-
asparaginase tipe II dari Escherichia coli adalah EcAll,sedangkan L-
asparaginase tipe I adalah Ecal (Borek dan Jaskolski, 2001).
2.4.3 Sumber L-asparaginase
L-asparaginase terdapat pada banyak jaringan hewan, mikroba, tumbuhan
dan dalam serum hewan pengerat tertentu (El-Besscoumy et al., 2004; Jain et
al., 2012). L-asparaginase yang diproduksi dari mikroba memperlihatkan biaya
yang efektif dan ramah lingkungan. Mikroorganisme yang digunakan seperti
filamens dari jamur, khamir dan bakteri merupakan sumber yang bermanfaat
untuk produksi enzim L-asparaginase (Soniyamby et al., 2011).
16
Mikroba yang dapat menghasilkan enzim L-asparaginase diantaranya
adalah Escherichia coli (Ghasemi et al., 2008; Onishi et al., 2011), Bacillus
subtilis (Shukla dan Mandai, 2012), Bacillus circulans (Prakasham et al., 2010),
Serratia marcescens (Vanil et al., 2009), Pseudomonas aerogenes (Yasser et al.,
2002), Pseudomonas florescens (Al-Mazini, 2007), Streptomyces nourseii
(Dharmaraj, 2011), Aspergillus tamari (Basha et al., 2009), Asperigillus oryzae
(Olempska-Beer, 2007; Basha et al., 2009), , Aspergillus terreus (Baskar dan
renganathan, 2009), Asperigillus niger (Olempska-Beer, 2007), Erwinia aroideae
dan Proteus vulgaris (Al- Mazini, 2007), dan Fusarium egulseti (Hosamani dan
Kaliwal, 2011).
2.4.4 Aplikasi Enzim L-Asparaginase
1. Bidang Industri Farmasi
L-asparaginase digunakan dalam kemoterapi bagi penderita leukimia
terutama Acute Lymphoblastic Leukimia (ALL), chronic lymphocytic leukimia,
penyakit Hodgkin’s dan melonosarcomaand non-Hodgkin’s lymphoma (Basha et
al., 2009 ; Pandey, 2015). Acute L-asparagin dibutuhkan oleh sel leukimia untuk
pertumbuhan sel malignannya, sehingga pemberian L-asparaginase akan
mengurangi konsentrasi L-asparagin dalam sel dan pertumbuhan sel leukimia
menjadi terhambat (Siddalingeshawara dan Lingappa, 2011; Jain et al., 2012).
Sel leukimia mempunyai perbedaan dengan sel normal yaitu ekspresi yang
rendah untuk L-asparagin. Oleh karena itu, sel leukimia tidak mampu
memproduksi L-asparagin. Sebagian besar L-asparagin didapatkan dari sirkulasi
plasma darah. Jika L-asparaginase diberikan kepada pasien yang menderita
leukimia maka jumlah L-asparagin berkurang sehingga sel leukimia akan rusak
(Manikandan et al., 2010; Siddalingeshwara dan Lingappa, 2011; Jain et al.,
2012). Acute Lymphoblastic Leukimia (ALL) mempunyai karakteristik
17
pembelahannya yang berlebihan dari malignant dan lymphoblast yang tidak
matang dalam sumsum tulang belakang. Terapi yang dilakukan untuk penderita
leukimia akut adalah kemoterapi, steroid, terapi mennggunakan radiasi,
kombinasi yang intensif dengan melakukan transplantasi sumsum tulang
belakang atau sel. Dari semuanya yang paling disukai adalah kemoterapi (Jain et
al., 2012).
Enzim asparaginase sebagai terapi diproduksi secara komersial dari E.coli
dan Erwinia (Borisova et al., 2003). Produk-produk yang ada di pasaran yang
berasal dari Escherichia coli diantaranya adalah Asparaginase medac, Kidrolase,
Paronal Leunase, Elspar. Sedangkan produk dipasaran yang berasal dari
Erwinia chrysanthemi (Erwinase) adalah Oncaspar(Pieters et al., 2008).
Faktanya tidak semua L-asparaginase memiliki sifat antitumor, hal ini
berhubungan dengan afinitas dari enzim pada substrat dan faktor yang
mempengaruhi kecepatan reaksi dari sistem. Baru-baru ini diketahui bahwa L-
asparaginase yang diperoleh dari E.coli dan Erwinia carotovora memiliki aktivitas
antitumor untuk melawan acute lymphoblastic leukimia (Jain et al., 2012).
Pemberian protein enzim dalam waktu yang lama, pada umumnya
menghasilkan antibodi yang sama dalam jaringan, menghasilkan anaphylactic
shock dan mungkin juga menyebabkan efek obat menjadi netral (Jain et al.,
2012). Disamping sebagai agen terapi, obat ini juga menyebabkan reaksi
imunologi (Ebeid et al., 2008), menghasilkan sejumlah toksisitas, termasuk
trombosis, pankreatitis hiperglikemia, dan hepatotoksisitas (Earl, 2009), Tetapi
sejauh ini penghambatan aktivitas tumor telah didemonstrasikan hanya
asparaginase dari E.coli, Erwinia acroideae dan Serratia marcescens. Oleh
karena itu, L-asparaginase yang berasal dari mikroba lain dengan efek sama
sebagai agen terapi sangat diperlukan (Jain et al., 2012).
18
Gambar 7. Mekanisme penghambatan sel tumor (Sinha et al., 2013)
2. Bidang Industri Pengolahan Makanan
Selain dalam bidang farmasi, L-asparaginase juga banyak diaplikasikan
dalam bidang industri pengolahan makanan sebagai agen dalam mengurangi
terbentuknya senyawa akrilamid dalam beberapa tahun terakhir ini. Akrilamid
terbentuk oleh reaksi Maillard, yang mana terjadi antara gula pereduksi dan
asparagin bebas dengan temperatur diatas 100-120oC (Bordaet al., 2011; Sun et
al., 2016). Akrilamid adalah senyawa yang berpotensi kanker terhadap manusia.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa akrilamid terbentuk akibat pengolahan
pada suhu tinggi terhadap asam amino asparagin, terutama apabila
dikombinasikan dengan gula pereduksi dan produk antara reaksi Maillard. Pada
tahapan intermediet reaksi Maillard, asam amino mengalami dekarboksilasi dan
deaminasi untuk membentuk senyawa aldehid yang selanjutnya akan
membentuk senyawa akrilamid (Gambar 8). Senyawa akrilamid terbentuk apabila
setelah diproses dengan suhu tinggi, permukaan pangan membutuhkan aW
(water activity, molekul air yang tidak terikat pada suatu molekul) yang relatif
Pertumbuhan
tumor
Pertumbuhan
tumor terhambat
Aspartat +
NH4-
L-Asparagine L-Asparaginase
19
rendah serta prosesnya pada temperatur ±120oC (Weisshar dan Gutsche, 2005).
Seperti gambar 8, asparagin dan gula pereduksi mengalami reaksi konjugasi
menghasilkan bentuk N-glycosylasparagine sebagai hasil akibat pengolahan
suhu tinggi melalui reaksidecarboxylated Schiff base. Reaksi deacarboxylated
Schiff Base dengan cepat membentuk senyawa akrilamid dan juga
menghidrolisis membentuk senyawa 3-aminopropionamide. Senyawa 3-
minipropionamide dipercaya merupakan prekursor yang sangat penting untuk
akrilamid (Hedgaard et al., 2008; Xu et al., 2016)
Gambar 8. Mekanisme terbentuknya senyawa akrilamid (Parker et al., 2012; Xuet al., 2016)
Sejak tahun 2002, Industri makanan telah bekerja sama dengan para
peneliti untuk mengurangi terbentuknya senyawa akrilamid dalam makanan yang
diolah dengan suhu tinggi. Teknik Mitigasi dibedakan menjadi 3 jenis. Pertama,
mereduksi bahan prekursor akrilamid dapat mengurangi terbentuknya senyawa
20
akrilamid diakhir proses, kedua pengkondisian proses selama berlangsung untuk
mengurangi jumlah terbentuknya akrilamid, dan ketiga pengkondisian setelah
proses berlangsung dapat mengurangi akrilamid (Pedreschi et al., 2014; Xu et
al., 2016). Ketiga proses tersebut sejauh ini masih dipertimbangkan oleh para
peneliti, seperti contoh penggunaan superkritikal ekstraksi CO2 untuk mengurangi
akrilamid dalam kopi. Hampir 80% senyawa akrilamid dalam kopi terbuang
menggunakan teknik ini (Banchero et al., 2013), namun uji sensori diperlukan
untuk mengetahui efek dari teknik ini.
Penggunaan L-asparaginase dalam mengurangi pembentukan senyawa
akrilamid termasuk teknik yang pertama, yaitu L-asparaginase berfungsi sebagai
prekursor penghambat terbentuknya senyawa akrilamid dalam pengolahan
makanan bersuhu tinggi. Penelitian tentang proses mitigasi senyawa akrilamid
dengan enzim L-asparaginase telah dilakukan oleh Dias et al (2017),
menjelaskan bahwa penambahan enzim L-asparaginase dari bakteri A.oryzae
CCT3940 mampu mengurangi terbentuknya senyawa akrilamid pada pengolahan
kentang goreng sebesar 72%, jika dibandingkan dengan L-asparaginase
komersial mampu menghambat terbentuknya senyawa akrilamid sebesar 92%.
2.5 Isolasi MikroorganismePenghasil Enzim L-asparaginase
Isolasi merupakan proses untuk mendapatkan mikroorganisme yang
diinginkan dari sekelompok mikrooganisme yang terdapat dalam habitat yang
sama. Isolasi bertujuan untuk mendapatkan isolat murni yang hanya terdiri dari
satu spesies saja. Isolat murni yang didapatkan kemudian ditumbuhkan dalam
media pertumbuhan untuk mendapatkan kultur isolat dalam jumlah banyak.
Hadioetomo (1995) menyebutkan bahwa terdapat tiga cara yang umum
digunakan untuk mengisolasi mikroorganisme, antara lain :
1. Metode goresan (streak plate method)
21
Metode goresan merupakan metode isolasi dengan cara menggoreskan
suspensi bahan yang mengandung bakteri pada permukaan media agar dalam
petridish steril. Setelah inkubasi, pada bekas goresan akan tumbuh koloni-koloni
terpisah pada permukaan media yang berasal dari satu biakan murni.
Gambar 9. Metode Goresan (streak plate method) (Bergey et al., 1994)
Metode ini praktis, hemat biaya dan waktu, hanya membutuhkan
ketrampilan. Kesalahan-kesalahan umum yang dilakukan dalam metode ini
adalah permukaanmedium tidak digunakan dalam proses penggoresan
menyebabkan pengenceran tidak optimal, inokulum yang digunakan banyak
menyebabkan kesulitan dalam pemisahan sel.
2. Metode Sebaran (spread plate method)
Metode sebaran merupakan metode isolasi dengan cara menyebarkan
sampel cair yang mengandung mikroorganisme pada permukaan media agar
dalam petridish steril menggunakan spreader atau hockey glass. Setelah
inkubasi, pada permukaan media akan tumbuh koloni-koloni terpisah sehingga
didapatkan biakan murni.
3. Metode Agar Tuang (pour plate method)
22
Metode agar tuang adalah metode dengan menginokulasikan suspensi
bahan yang mengandung bakteri dalam petridish steril kemudian dituang dalam
media agar dalam bentukcair pada suhu kurang dari 45oC, bertujuan agar bakteri
masih mampu hidup. Setelah inkubasi, pada permukaan media akan tumbuh
koloni-koloni terpisah sehingga didapatkan bakteri murni.
Kelemahan dari metode ini adalah membutuhkan waktu dan bahan yang
lama dan banyak akan tetapi tidak membutuhkan keterampilan tinggi. Biakan
campuran diencerkan dengan menggunakan medium agar yang telah dicairkan
dan didinginkan. Pengenceran dilakukan dalam beberapa tahap hingga diperoleh
koloni tunggal.
Gambar 10. Metode Sebaran (spread plate method) dan Metode Agar Tuang
(pour plate method) (Bergey et al., 1994)
Isolasi menggunakan metode gores dilakukan dengan cara menggoreskan
inokulum di permukaan medium nutrient agar secara steril (Lay, 1994). Isolasi
metode tuang dilakukan menggunakan media cair sebagai medium pengenceran
mikroba. Dasar melakukan pengenceran adalah penurunan jumlah
mikroorganisme, sehingga pada pengenceran terakhir akan didapatkan jumlah
sel yang semakin sedikit di dalam media. Oleh karena itu, dengan cara agar
23
tuang akan diperoleh lempengan jumlah bakteri yang optimum untuk isolasi (Lay,
1994). Penggunaan media khusus bersifat memberi kemudahan bagi tumbuhnya
galur mikroba tertentu yang dikehendaki dan dapat menghalangi tumbuhnya
galur lain yang tidak dikehendaki. Namun cara ini masih memungkinkan
tumbuhnya galur yang lain dengan sifat hampir bersamaan, akan lebih baik bila
dilanjutkan dengan pengenceran sehingga hasilnya akan lebih meyakinkan
terutama dalam hal kemurniannya (Judoamidjojo et al., 1990).
2.6 Identifikasi Molekuler 16S rRNA
Pada tahun 1980-an, standar baru identifikasi bakteri mulai dikembangkan
oleh Woose. Hubungan kekerabatan filogenetik diantara bakteri dapat ditentukan
oleh kode genetik pada daerah gen yang disebut dengan unit 5S, 16S dan 23S
rRNA dan daerah diantaranya. Gen 16S rRNA paling akurat untuk menentukan
taksonomi suatu bakteri dibandingkan dengan gen 5S dan 23S. Panjang urutan
basa gen 16S rRNA adalah 1500-1550 pasang basa. Adanya mutasi ataupun
perbedaan basa pada urutan basa tersebut dijadikan sebagai penentu identifikasi
suatu bakteri pada tingkat genus, spesies bahkan sampai galur (Clarridge, 2004).
16S rRNA paling sering digunakan karena molekul ini bersifat ubikuitus
dengan fungsi yang identik pada seluruh organisme sehingga lebih mudah untuk
dianalisa. Analisis gen penyandi 16S rRNA telah banyak digunakan sebagai
prosedur untuk menentukan hubungan filogenik (Pangestuti, 2006).
Perabandingan urutan basa gen 16S rRNA diantara genus bakteri menunjukkan
bahwa urutan basa tersebut mengandung informasi spesifik spesies. Untuk
tujuan identifikasi, diperlukan amplifikasi dengan menggunakan PCR dan analisis
urutan basa sedikitnya 500 pasang basa (Petrosino et al., 2009). Urutan basa
antar isolat dinyatakan homolog jika nilai kemiripannya (similiaritasnya) minimal
94% (Tannock, 2004). Gen 16S rRNA terbagi menjadi sembilan bagian yang
24
disebut dengan daerah V1 sampai V9. Disamping daerah V1-V3, daerah V6-V9
merupakan daerah divergen yang menentukan heterogenitas atau adanya
mutasi gen yang mengarah pada perbedaan spesies suatu bakteri (Cai et al.,
2003).
Molekul 16S rRNA memiliki beberapa daerah yang memiliki urutan basa
yang relatif konservatif dan urutan basa variatif. Perbandingan urutan basa yang
konservatif umumnya digunakan untuk mengkonstruksi pohon filogenik universal
karena mengalami perubahan yang relatif lambat. Sedangkan pada urutan basa
yang bersifat variatif digunakan untuk melacak keragaman dalam satu spesies.
Apabila urutan basa 16S rRNA menunjukkan derajat keasaman yang rendah
antara dua taksa, deskripsi suatu takson dapat dilakukan tanpa hibridisasi DNA.
Selain itu, apabila derajat kesamaan urutan basa gen penyandi 16S rRNA
kurang dari 95% dapat dianggap sebagai spesies baru (Masapho, 2005).
Sifat spesifik dari 16S rRNA yang khas dimiliki oleh setiap spesies bakteri.
Oleh karena itu, gen yang mengkode pembentukan 16S rRNA bisa dijadikan alat
identifikasi spesies bakteri tertentu (Tamarin, 2001). penggunaan metode analisis
gen 16S rRNA sebagai acuan identifikasi bakteri secara molekuler memiliki
keunggulan, dimana gen ini realtif konstan dan tidak berubah dalam jangka
waktu yang sangat lama atau dengan kata lain laju mutasinya sangat kecil
(Janda dan Abot, 2007).
Pada metode molekuler untuk mendeteksi gen 16S diperlukan beberapa
tahapan yang dilakukan untuk menentukan hubungan filogenik, antara lain:
1. Ekstraksi DNA
Karakterisasi molekuler merupakan karakterisasi dengan menggunakan
data molekuler. Salah satu data molekuler yang digunakan untuk
mengindentifikasi mikroorganisme adalah asam nukleat. Pada dasarnya sel
mengandung dua jenis asam nukleat yaitu DNA dan RNA. DNA yang terdapat di
25
dalam nukleus disebut dengan DNA kromosomal, sedangkan DNA yang terdapat
di luar nukleus antara lain DNA ekstrakromosomal (Davidson dan Sittman, 1999).
Beberapa metode yang digunakan untuk mengekstraksi DNA telah banyak
digunakan, antara lain metode dengan menggunakan kit ekstraksi DNA seperti
Wizard Genomic Purification buatan Promega; metode CTAB (Cationic
Hexadecyl Trimethyl Ammonium Bromide); dan metode thermal lysis. Beberapa
metode diatas memungkinkan hasil ekstraksi DNA yang berbeda. Hal ini
bergantung terhadap efektifitas metode tersebut dalam menghasilkan isolat DNA
baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta efisiensi waktu pengerjaannya
(Mulyani et al., 2011).
2. Polymerase Chain Reaction(PCR)
Polymerase Chain Reaction atau PCR merupakan metode in vitro untuk
mengamplifikasi fragmen DNA atau RNA target dengan memanfaatkan proses
inkubasi pada suhu yang berbeda-beda (Hsu et al., 1996). Dalam proses PCR
memerlukan beberapa bahan yaitu DNA template,sepasang primer (forward dan
reverse), nukleotida, dNTP, Taq polymerase, buffer Taq PCR, ddH2O dan ion
Mg.
Metode PCR sendiri terdiri dari beberapa tahapan, antara lain proses
denaturasi, annealing dan elongasi. Pada tahap denaturasi menggunakan suhu
tinggi, seluruh reaksi enzimatis akan berhenti dan untai ganda pada DNA akan
terpisah menjadi untai tunggal. Suhu yang digunakan adalah sekitar 90-94oC.
Pada tahap annealing, primer akan menempel pada titik tertentu pada DNA
template. Kondisi ini merupakan tahapan yang kritis, dikarenakan primer akan
menempel pada posisi tertentu dan bila menempel pada posisi target yang
diinginkan, maka didapatkan sintesis produk PCR yang diinginkan. Suhu yang
digunakan adalah 50-55oC. Kemudian pada tahap terakhir adalah elongasi
dimana enzim taq polymerase akan mensintesis DNA target hingga selesai.
26
Pada tahap ini, suhu yang digunakan disesuaikan dengan suhu optimum enzim
tag polymerase yaitu suhu 72oC (Hsu et al., 1996).
3. Elektroforesis Gel Agarosa
Elektroforesis merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan
molekul berdasarkan muatan molekul yang dialiri dengan larutan elektrolit. Hasil
dari produk PCR dapat dilihat dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa.
Agarosa merupakan polisakarida yang tersusun atas unit agarobiosa yang
berulang dengan ikatan 1,3 β-D-galaktopiranosa dan 1,4-terikat 3,6-anhidro-α-L-
galaktopiranosa dengan berat molekul 1200000 Dalton. Menurut Surzicky (2000),
migrasiselama proses elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain ukuran molekul DNA, konsentrasi gel agarosa, larutan buffer, konformasi
DNA, dan besar tegangan (voltage). Pada umumnya gel agarosa yang
digunakan memiliki konsentrasi sebesar 0,8-1% yang dapat memberikan hasil
fragmen DNA ukuran 800-10000bp.
Sebelum atau sesudah proses elektroforesis ditambahkan agen pewarna
etidium bromida yang digunakan untuk mengidentifikasi fragmen DNA yang
terpisah secara semi-kuantitatif. Pewarna ini mengandung zat fluorscene yang
terikat diantara untai ganda DNA sehingga pita DNA akan terlihat berpendar
ketika dianalisa dengan menggunakan UV-transiluminator (Surzicky, 2000).
4. Sekuensing DNA
Sekuensing DNA adalah suatu proses untuk menentukan susunan basa (A,
T, G, dan C) yang membentuk DNA. Sekuensing DNA pada umumnya
menggunakan primer untuk mengawali sisntesis DNA. Primer tersebut
menentukan titik awal sintesis dan arah reaksi sekuen DNA. Metode sekuensing
yang umumnya digunakan yaitu metode Maxam-Gilbert dan Sanger. Metode
Maxam-Gilbert merupakan metode sekuensing yang menggunakan bahan kimia
spesifik untuk memotong untai fragmen DNA target, sedangkan metode Sanger
27
menggunakan enzim DNA polimerase untuk membentuk salinan komplementer
dari fragmen DNA target (Sambrook et al., 1989).
Sebagian besar proses sekuensing telah dimodifikasi menjadi program
komputer, sehingga dikenal sebagai automated DNA sequencing. Proses
tersebut merupakan modifikasi dari metode Sanger yang diawali oleh tahap
cyclesequencing. Cycle sequencing adalah metode amplifikasi DNA
menggunakan satu jenis primer dan dua jenis nukleotida yaitu deoksinukleosida
trifosfat (dNTP) dan dideoksinukleotida trifosfat (ddNTP). Pelekatan ddNTP pada
sekuen DNA hasil amplifikasi akan menyebabkan proses amplifikasi terhenti
akibat hilangnya gugus oksida pada untai 3’ sehingga enzim DNA polimerase
tidak dapat menempelkan dNTP pada basa berikutnya. Proses amplifikasi DNA
pada akhirnya akan menghasilkan fragmen yang berbeda-beda ukurannya yang
basa terakhirnya merupakan ddNTP. Automated NA sequencing menggunakan
ddNTP yang diberi pewarna berfluoresens. Pada saat produk hasil cycle
sequencing dijalankan pada mesin sekuensing, maka sinar laser yang mengenai
ddNTP akan berfluoresensi dan dibaca oleh detektor yang terhubung dengan
komputer dan menghasilkan grafik elektroferogram (Griffiths et al.,1996)
2.7 Analisis Hasil Sekuensing
Hasil sekuensing berupa elektroferogram dan urutan basa nukleotida
dianlisis dengan menggunakan program DNA yaitu BioEdit. Bioedit merupakan
program yang digunakan untuk mengedit dan menganalisis sequence alignment.
Bioedit dirancang untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan
waktu yang relatif lama dan kesulitan peneliti dalam mengatasi sekuen (Hall,
2007).
Hasil sequencingberupa urutan basa nukleotida kemudian dianalisis
dengan menggunakan program BLAST. Program BLAST (Basic Local Alignment
28
Search Tool) merupakan program yang berguna untuk mencari kesamaan
(similiarity) antara sekuen DNA atau protein yang ingin diketahui dengan
database sekuen lain yang terdapat pada GenBank (Bedell et al., 2003).
Program BLAST juga bekerja sangat cepat, dapat dipercaya, dan fleksibel
karena dapat diadaptasikan pada berbagai analisis sekuen. program BLAST
merupakan proram yang berasal dari National Center of Biotechnology
Information (NCBI) dan mulai banyak dikembangkan pada berbagai institusi, baik
institusi pendidikan maupun komersial (Bedell et al., 2003).
2.8 Analisis Filogenetik
Analisis filogenetik dari satu keluarga berdasarkan sekuen asam nukleat
atau protein merupakan penentuan bagaimana suatu keluarga mungkin
diturunkan selama proses evolusi. Hubungan evolusi berdasarkan sekuen
digambarkan dengan menempatkan sekuen sebagai outer branches pada suatu
pohon filogenik. Hubungan percabangan pada bagian dalam pohon
menggambarkan derajat perbedaan sekuen yang berhubungan. Dua sekuen
yang memilki banyak kemiripan akan ditempatkan dalam cabang yang sama di
bawahnya. Analisis filogenik bertujuan untuk menemukan semua hubungan
percabangan dari suatu pohon berdasarkan panjang cabang (Mount, 2001).
Program yang digunakan untuk menganalisis analisis filogenetik adalah
Phylogeny.fr. Phylogeny.fr merupakan program yang digunakan untuk membuat
pohon filogenetik bagi seorang non-spesialis secara cepat.Program Phylogeny.fr
didesain untuk memberikan layanan online dalam membuat rantai alignment dan
metodenya fleksibel. Program Phylogeny.fr mampu menganalisis sekuen DNA
dan protein (Dereeper et al., 2010).
29
2.9 Pewarnaan Gram
Pewarnaan Gram ditemukan oleh seorang dokter bernama Chirstian Gram
yang merupakan ahli Bakteriologi berkebangsaan Denmark. Pewarnaan Gram
merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menentukan jenis Gram
bakteri dan bentuk bakteri yang diamati dengan menggunakan mikroskop. Zat
pewarna dalam pewarnaan gram adalah pewarna diferensial, karena dapat
memabagi bakteri sejati menjadi dua kelompok fisiologi yaitu Gram Positif dan
Gram Negatif. Bakteri Gram positif bewarna biru atau ungu yang disebabkan oleh
kompleks warna kristal violet-iodin. Sedangkan bakteri Gram negatif berwarna
merah atau merah muda yang disebabkan tidak mampu mempertahankan
kompleks warna tersebut saat diberi larutan etanol 95% dan pewarna safranin
dapat masuk sehingga berwarna merah (Volk dan Wheeler, 1993).
Gambar 11. Tahapan pewarnaan Gram (Bergey et al, 1994).
Tabel 1. Penampilan sel sewaktu pewarnaan Gram
Gram positif Gram negatif
Setelah mendapat : Kristal violet Ungu muda Ungu muda Iodin Ungu muda Ungu muda Pencucian etanol 95% Ungu muda Tak berwarna Safranin Ungu muda Merah
Sumber :Volk dan Wheeler, 1993
30
Perbedaan hasil pewarnaan tersebut disebabkan oleh perbedaan struktur
dinding sel dan komposisi dinding sel dari kedua kelompok bakteri tersebut.
Dinding sel bakteri Gram positif memiliki peptidoglikan yang tebal sehingga
mampu mempertahankan warna kompleks tersebut. Sedangkan dinding sel
bakteri Gram negatif memiliki kandungan lipid yang banyak sehingga ketika
diberi larutan etanol 95% akan larut sehingga warna ungu dari kristal violet
menjadi luntur sehingga safranin dapat mewarnai bakteri tersebut (Volk dan
Wheeler, 1993).