Post on 12-Mar-2019
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pakar psikologi sosial antara lain: Cattel, Bennis dan Sheppard, Schutz
(Sarwono, 2005) menempatkan penelitian dan pembahasan tentang perilaku kelompok
dalam prioritas yang cukup tinggi. Keterpaduan kelompok (group cohesiveness)
diterangkan oleh berbagai teori. Sebagian tidak berdasarkan eksperimen seperti diusung
Le Bon, Mc Dougall, dan Bion, sebagian lagi berdasarkan eksperimen seperti yang
diusung oleh Festinger dan Lott dan Lott.
Menurut Mc Dougal (dalam Sarwono, 2005) kohesivitas kelompok dipengaruhi
oleh faktor-faktor, antara lain kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut untuk
waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota, adanya tradisi dan
kebiasaan, ada organisasi dalam kelompok (ada deferensiasi dan spesialisasi fungsi),
dan kesadaran diri kelompok (setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk kelompok,
bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok, bagaimana struktur dalam
kelompok), pengetahuan tentang kelompok, keterikatan (attachment) kepada
kelompok.
Menurut Festinger (dalam Sarwono, 2005) keterpaduan kelompok diawali oleh
ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan
interaksi sosial dan tujuan-tujuan pribadi yang menuntut adanya saling ketergantungan.
Pada gilirannya kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku
kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaan dan penyesuaian terhadap standar
kelompok, misalnya kelompok suporter tim sepak bola yang tetap konsisten dengan
standar kelompoknya untuk memberikan dukungan terhadap tim tersebut.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan
masalahnya adalah apakah ada hubungan antara konformitas terhadap fanatisme pada
1
supporter tim sepak bola yang menimbulkan agresifitas?.
3. TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah agar dapat mengerti lebih
jauh masalah dalam suatu kelompok.
4. MANFAAT
Makalah ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang positif yaitu dapat
menambah wawasan yang lebih mendalam tentang agresivitas dalam suatu kelompok.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KONFLIK
A. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu masyarakat pun
yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok
masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya
masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di
masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi
yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Konflik Menurut Robbin (1996) mengatakan konflik dalam organisasi disebut
sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat
meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan
organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi
tiga bagian, antara lain:
3
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irra-
tionality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi
yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang- orang, dan kega-
galaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi
di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang
tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi
perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik
harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong pen-
ingkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai
motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok
atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung
mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini dise-
babkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung
menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menu-
rut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara
berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap seman-
gat, kritis – diri, dan kreatif.
B. Faktor Penyebab Konflik
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian
dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor
penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu
4
sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan
pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-prib-
adi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan
pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan
menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau
kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat
melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh,
misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para
tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian
dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka
untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang
dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan.
Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di
masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut
bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok
atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh
dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para
buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan
pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume
usaha mereka.
5
Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu
berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya
konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses
industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama
pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah
menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan
menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan
struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan
berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal
kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara
cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat,
bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena
dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
C. Jenis-Jenis Konflik
Menurut Dahrendorf, konflik dibedakan menjadi 4 macam :
konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-
peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
konflik antar atau tidak antar agama
konflik antar politik.
6
D. Akibat Konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai berikut :
meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami
konflik dengan kelompok lain.
keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci,
saling curiga dll.
kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat
memghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian
terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini
akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan per-
cobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan per-
cobaan untuk "memenangkan" konflik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan per-
cobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
menghindari konflik.
2.2 AGRESIVITASA. Pengertian Agresivitas
Agresivitas adalah istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan marah
permusuhan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan fisik,
verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh. Tindakan agresi
7
merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tertentu. Heri
Widodo (Anantasari, 2006) perilaku agresif pada anak agaknya cukup meresahkan
apalagi bila kita melihat dari akibat yang mungkin ditimbulkannya. Orang tua
hendaknya lebih bijak untuk melihatnya dalam perspektif yang lebih lengkap dari
berbagai sudut pandang. Dengan demikian akan dapat dilakukan langkah-langkah yang
tepat dalam menghadapi anak dengan perilaku agresifnya.
Perilaku agresif lebih menekan pada suatu yang bertujuan untuk menyakiti
orang lain dan secara sosial tidak dapat diterima. Ada dua utama agresi yang saling
bertentangan yakni untuk membela diri dan di pihak lain adalah untuk meraih
keuntungan dengan cara membuat lawan tidak berdaya. Istilah kekerasan (violence) dan
agresif (agresion) memiliki makna yang hampir sama, sehingga sering kali
dipertukarkan. Perilaku - perilaku agresif selalu dipersepsi sebagai kekerasan terhadap
pihak yang dikenai perilaku tersebut. Pada dasarnya perilaku agresif pada manusia
adalah tindakan yang bersifat kekerasan yang dilakukan oleh manusia terhadap
sesamanya. Menurut Sadorki dan Sadock (2003) bahaya atau pencederaan yang
diakibatkan oleh perilaku agresif bisa berupa pencederaan fisikal, namun pula bisa
berupa pencederaan non fisikal atau semisal yang terjadi akibat agresi verbal
(Anantasari, 2006). Dampak buruk bagi korban perilaku agresif ;
(1) perasaan tidak berdaya,
(2) kemarahan setelah menjadi korban perilaku agresif,
(3) perasaan bahwa dirinya sendiri mengalami kerusakan permanent,
(4) ketidakmampuan mempercayai orang lain,
(5) terpaku pada tindakan agresif atau kriminal,
(6) hilangnya keyakinan bahwa dunia bisa berada dalam tatanan yang adil.
B. Jenis-jenis Agresivitas
Perilaku agresif ditujukan pada orang lain yang bertujuan untuk menyakiti dan
merugikan orang lain. Agresivitas dilakukan secara fisik dan secara verbal. Fisik yakni
mendorong, memukul, menggigit, menggoda, membantah, dan memperolok - olok.
Buss dan Perry (Rita, 1992) menambahkan dua bentuk agresivitas, yakni kemarahan
dan kebencian. Agresi umumnya terjadi adalah Hostile Aggression yaitu agresi yang
8
ditujukan kepada orang lain akibat kesal atau marah kepada seseorang. Sikap agresif
dominasi terjadi pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, Hal ini berkaitan
erat dengan pandangan anak laki-laki tidak boleh cengeng atau menangis.Merasa
pelampiasannya dibatasi maka anak laki-laki mengalihkan dengan perilaku agresif.
Sasaran perilaku agresif ini adalah pendidik atau teman,serta sasaran fisik. Bentuk-
bentuk agresivitas ini perlu dicermati pada anak sejak usia ini karena secara potensial
dapat menjadi pemicu timbulnya permasalahan perilaku pada tahap selanjutnya.
C. Penyebab Tingkah Laku Agresif
Agresi adalah bagian normal dalam perkembangan anak yang belajar berjalan.
Selama masa tersebut keterampilan berbahasa anak belum berkembang baik. Bila
mereka berniat melakukan tindakan secara fisik, mereka belum memliki kendali diri
untuk memehami bahwa ia harus menghindari perbuatan yang mereka lakukan. (sering
kali anak merasa ingin mencekik atau memukul, anak tahu bahwa orang beradab tidak
boleh melakukan hal itu akan tetapi anak tidak menghiraukannya (Kate, 2005).
Penyebab perilaku agresif digolongkan dalam beberapa factor yakni :
1. Faktor Biologis
a. Sistem Otak
Para peneliti yang menyelidiki kaitan antara cedera kepala dan perilaku
kekerasan mengidentifikasikan betapa kombinasi pencederaan fisikal yang pernah
dialami. Cedera kepala mungkin ikut melandasi perilaku agresif. Sistem otak yang
tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau memperlambat sirkuit
neural yang mengendalikan agresi. Prescott (Davidoff, 1991) menyatakan bahwa orang
yang berorientasi pada kenikmatan akan sedikit melakukan agresi sedangkan orang
yang pernah mengalami kesenangan, kegembiraan cenderung untuk melakukan
kekejaman atau penghancuran. Prescott yakin bahwa keinginan yang kuat untuk
menikmati sesuatu hal yang disebabkan cedera otak karena kurangnya rangsangan
sewaktu bayi.
b. Gen
Merupakan faktor yang tampaknya berpengaruh pada ditemukan pada faktor
9
keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresif (Rita, 2005).
2. Faktor Lingkungan
a. Kemiskinan
Bila seorang anak dibesarkan dalam lingkungan kemiskinan, maka perilaku
agresif mereka secara alami mengalami perbuatan (Byod Mc Cendles dalam Davidoff).
Hal ini dapat dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari apalagi di kota-kota
besar, dalam antrian lampu merah, perempatan jalan. Model agresi modeling sering kali
diadopsi anak-anak sebagai model pertahanan diri dan pertahanan hidup.
b. Anonimitas
Terlalu banyak rangsangan indra kognitif membuat dunia menjadi sangat
impersonal artinya antara satu orang dengan orang yang lain tidak saling mengenal.
Setiap individu menjadi anonim tidak mempunyai identitas. Bila seorang mempunyai
anonim ia cenderung berperilaku menyendiri.
c. Suhu Udara Panas
Pengaruh polusi udara, kebisingan dan kesesakan karena kondisi manusia yang
terlalu berjejal. Kondisi-kondisi itu bisa melandasi perilaku agresif (Rita, 2005)
3. Faktor Psikologis
a. Perilaku Naluriah
Menurut Sigmund Freud, dalam diri manusia ada naluri kematian yang ia sebut
pula thanatos yaitu energi yang tertuju untuk perusakan. Agresi terutama berakar dalam
naluri kematian yang diarahkan bukan ke dalam diri sendiri melainkan diarahkan pada
orang lain.
b. Perilaku Yang Dipelajari
Menurut Albert Bandura perilaku agresif berakar dalam respons-respons yang
dipelajari manusia lewat pengalamanpengalaman di masa lampau (Anantasari, 2006).
10
4. Faktor Sosial
a. Reaksi Emosi Terhadap Frustasi
Tidak diragukan lagi pengaruh frustasi dalam peryakan perilaku agresif. John
Dollad berpendapat frustasi bias mengakari agresif. Kendati demikian tidak setiap anak
yang mengalami frustasi seta merupakan agresi. Agresivitas muncul akibat banyaknya
larangan yang diperbuat guru dan orang tua. (Rosmala, 2005).
b. Provokasi Langsung
Pencederaan fiskal dan ejekan verbal dari orang-orang lain bisa memicu
perilaku agresif. Perilaku ini biasanya dilakukan karena anak kurang mendapatkan
perhatian dari orang-orang di sekelilingnya dan anak akan terus akan mencari
perhatian. Orang tua anak yang agresif biasanya mempunyai gejolak emosi yang buruk
dan situasi emosional perkawinan sebagai reaksi dari penolakan. Akibatnya anak
melakukan agresi sebagai reaksi dari penolakan oleh orang tua.
c. Peniruan (Modeling)
Semua perilaku tidak terkecuali agresif lingkungan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Peniruan tidak dilakukan pada semua orang tetapi terhadap
figur tertentu seperti ayah, ibu, kakak, atau teman bermainnya yang memiliki perilaku
agresif. Orang tua sering bertengkar menyebabkan anak juga akan sering bertengkar.
Terdapat kaitan antara agresi dan paparan tontonan kekerasan lewat televisi. Semakin
banyak anak menonton kekerasan lewat televisi, maka tingkatan agresi anak terhadap
orang lain bisa meningkat pula. Ternyata pengaruh tontonan kekerasan lewat televisi
bersifat komulatif artinya makin panjang paparan tontonan kekerasan semakin
meningkat pula perilaku agresinya.
Aletha Stein (Davidoff, 1991) mengemukakan bahwa anak yang memiliki kadar
agresi di atas normal akan lebih cenderung berlaku agresif. Maka setelah menyaksikan
adegan kekerasan ia akan bertindak seperti terhadap orang lain. (Anantasari, 2006).
5. Faktor Situasional
11
Termasuk dalam faktor ini antara lai adalah rasa sakit, terluka yang dialami
anak. Perasaan anak yang terluka entah karena rasa kesal, marah, kecewa, sedih dan ia
tidak tahu bagaimana cara semestinya untuk mengungkapkan perasaan-perasaan itu,
maka ia melampiaskan dengan perilaku agresif. (Anantasari, 2006).
D. Karakteristik Perilaku Agresif (Anantasari, 2006)
Individu yang sering mengalami perilaku yang menyimpang atau perilaku agresifnya
biasanya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Menyakiti/merusak diri sendiri, orang lain. Perilaku agresif termasuk yang di-
lakukan individu hampir pasti menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan
yang dapat dialami oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain.
2. Tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasarannya. Perilaku agresif,
terutama agresi yang keluar pada umumnya juga memiliki sebuah ciri yaitu
tidak diinginkan oleh organisme yang menjadi sasarannya.
3. Seringkali merupakan perilaku yang melanggar norma sosial.Perilaku agresif
pada umumnya selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma sosial.
2.3 PEMBAHASAN JURNALTheodore Caplov (dalam Sarwono, 2005) membagi kelompok kecil menjadi
dua jenis berdasarkan ukurannya antara lain, kelompok primer dan non-primer.
Kelompok primer adalah kelompok yang jumlah anggotanya 2-20 orang dan tiap
anggota berinteraksi dengan setiap anggota lainnya dalam kelompok (keluarga,
sahabat). Sedangkan, kelompok non-primer adalah kelompok yang jumlah anggotanya
3-30 orang dan interaksi antar anggotanya tidak seintensif pada kelompok primer
(teman sekelas, kelompok arisan, panitia kecil). Aristoteles (dalam Budiyanto, 2004)
mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau makhluk yang pada dasarnya
selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Status makhluk
social melekat pada diri setiap individu. Ia tidak dapat bertahan hidup secara utuh
hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri saja. Sejak lahir sampai meninggal dunia
manusia memerlukan bantuan atau kerja sama dengan orang lain.
12
Dalam ilmu-ilmu sosial seperti Ekonomi, Hukum, Sosiologi, dan sebagainya,
termasuk juga Psikologi Sosial, sering memasukkan istilah-istilah seperti kelompok
umur, kelompok urban, kaum imigran, generasi muda, golongan menengah, dan
sebagainya. Istilah-istilah itu bermaksud untuk menggambarkan satu kumpulan
(agregat) manusia dengan ciri-ciri tertentu walaupun individu-individu manusia
anggota kumpulan itu sama sekali belum pernah saling berhubungan, dan sebagaimana
kita ketahui tidak setiap kumpulan orang dapat dipertimbangkan sebagai kelompok.
Pengertian kelompok berbeda dengan pengertian agregat. Agregat lebih
menunjuk pada kumpulan individu yang tidak berinteraksi satu sama lain namun
bagaimanapun juga dapat terjadi bahwa suatu agregat dapat berubah menjadi sebuah
kelompok (Sarwono, 2005). Menurut Johnson (Sarwono, 2005) kelompok adalah dua
individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang
masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing
menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing
menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mancapai tujuan bersama.
Bebearapa ahli psikologi sosial seperti Durkheim dan Warriner berpandangan
bahwa kelompok merupakan sesuatu yang riil yang dapat diperlakukan sebagai objek di
dalam lingkungan kita (dalam Sarwono, 2005). Sejalan dengan pandangan ini, adalah
pandangan yang mendukung bahwa perilaku sosial lebih dapat dijelaskan dengan
menekankan keunikan proses-proses kelompok daripada dijelaskan dalam tingkat
individu. Dengan demikian, sebuah kelompok itu lebih dari sekedar berkumpulnya
secara kebetulan orang-orang yang bersama-sama berbagi ide. Sebagai contoh, sebuah
kerusuhan yang muncul setelah selesainya suatu pertandingan olah raga. Interaksi
sosial semacam ini hanya dapat dipahami dengan menganalisa perilaku dalam tingkat
kelompok, sebagai kebalikan dari tingkat individual. Tajfel (dalam Sarwono, 2005)
mendukung analisa perilaku kelompok, dan berpandangan bahwa untuk perilaku sosial
perlu mempertimbangkan kelompok sebagai entitas sederhana yang nyata, karena
keanggotaan dalam kelompok merupakan bagian integral dari konsep diri (self-
concept).
Analisa perilaku kekerasan penonton sepak bola di luar dan di dalam negeri:
1. Peristiwa perkelahian antarpenonton ada pertama sekali tahun 1980-an pada
13
Liga SepakBola Indonesia yang dalam pertandingan ini diikuti oleh
kesebelasan kota-kota besar di Indonesia dan hal ini yang mengundang para
fanatic dari tiap kesebelasan datang untuk memberi dukungan dalam jumlah
yang besar.
2. Para penonton tidak hanya menyukai tim kesebelasannya, namun menyukai
pemain dari tim tersebut. Seperti yang telah diketahui adanya terbentuk
‘fans’ Persija yang bernama ‘The Jak’, Persib ‘Viking’, Panser Biru
‘Bobotoh’, dll. Tidak disangka bahwa pembentukan fans klub dari tiap tim
ini menyebabkan perselisihan seperti : The Jak dan Viking yang telah terjadi
distadium Cimahi, Jawa Barat; stadion Benteng Tangerang, kemudian di
stadion Gelora Bung Karno yang menyebabkan banyak korban tewas dan
luka-luka serta membuat jalan raya menjadi terhambat karena massa
diantara kedua tim yang cukup besar.
3. Kekerasan dianggap suatu ancaman bagi masyarakat karena menyangkut
dengan ancaman dan mengubah pola hubungan yang ada di masyarakat.
4. Ditarik kesimpulan pendapat dari Neal, Syneder dan Spreitzer mengatakan
bahwa kekerasan merupakan ancaman dan meyebabkan ketakutan. Dan
dalam olahraga, kekerasan yang terjadi dapat melanggar aturan olahraga itu
sendiri.
5. Negara-negara di Benua Eropa banyak melahirkan para pemain dan tim
sepakbola yang professional dan banyak menggelar acara pertandingan
internasional yang banyak melibatkan pemain kelas dunia untuk bermain di
liga eropa serta disaksikan oleh ribuan penonton.
6. Dalam liga eropa sering terjadi kerusuhan dalam pertandingan, terutama di
Negara inggris. Inggris mempunyai catatan sejarah terpanjang dengan
kerusuhan yang terjadi. Peristiwa yang paling dramatis di Stadion Heysel
Brussel Belgia yang menewaskan 39 orang dari Negara Italia, kejadian
tersebut telah diketahui dari seluruh dunia.
7. Kerumunan penonton olahraga awalnya memperlihatkan gejolak dan
reaksinya dengan proses yang disebut milling, yakni proses dimana individu
menjadi tegang, takut, dan menjadi gairah dan semakin meningkat dapat
14
membuat bertindak impulsive di bawah pengaruh impuls bersama. Gejolak
dan reaksi yang semakin meningkat dapat mempengaruhi orang sekitar dan
dapat menyebabkan kerusuhan.
8. Contagion Teori berguna untuk meneliti perilaku penonton dan menegaskan
bahwa individu-individu penonton telah berubah menjadi individu yang
sukar untuk di control setelah dijangkiti oleh penularan social. Sedangkan
convergen teori adalah kerumunan penonton terdiri dari kelompok orang-
orang yang datang dengan kemauan sendiri dan berkumpul bersama-sama
dan menunjukan sifat kebersamaan.
9. Perbedaannya : liga pertandingan di Negara-negara Eropa sering terjadi
kerusuhan yang menewaskan penonton yang bukan hanya berasal dari
Negara inggris melainkan penonton dari luar Negara inggris , dan banyak
disaksikan seluruh dunia. Di salah satu Negara di Eropa terdapat julukan
BLACK WEDNESDAY dikarenakan pada hari itu bertepatan dengan
rusuhnya di stadion Italia yang menewaskan puluhan penonton yang berada
di tempat.
10.Di Indonesia, kerusuhan dalam pertandingan olahraga sepakbola jarang
terjadi sesuatu yang berujung kematian.
11.Kebanyakan para penonton sepakbola merupakan sekelompok orang-orang
yang fanatic terhadap tim sepakbola yang didukungnya. Orang-orang ini
sering menggunakan atribut kesayangannya, seperti mempunyai foto
idolanya, selalu membeli tiket untuk menyaksikan kesebelasan
kesayangannya dimanapun bertandingan. Bahkan para penonton ini rela
melakukan tindak apa saja demi tim kesayangannya. Tindakan-tindakan
tersebut misalya: berkelahi dengan para penonton pendukung kesebelasan
lain, mencemooh atau melempar wasit yang dianggap berat sebelah
memihak lawan dan bahkan rela melawan pihak keamanan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1KESIMPULAN
Suporter sebuah tim adalah salah satu faktor pendukung yang tidak bisa
dilepaskan dari sisi luar lapangan pertandingan. Bahkan keberadaan supporter ini
sendiri mampu memberikan dukungan moral yang cukup besar bagi para pemainnya.
Gemuruh suara para supporter ketika pertandingan seringkali terdengar sebelum hingga
pertandingan berakhir, bahkan dukungan pun terus diberikan oleh para supporter yang
tidak dapat menyaksikan pertandingan secara langsung. Inilah mengapa dukungan
supporter menjadi hal yang sangat penting bagi semangat para pemain. Sepak bola
adalah permainan yang sangat lekat dengan masyarakat Indonesia. Olah raga ini
digemari oleh berbagai kalangan masyarakat, terlepas dari faktor umur, jenis kelamin,
dan status sosial di masyarakat.
Menurut McDougall (dalam Sarwono, 2005) kohesivitas dalam kelompok dapat
dipengaruhi oleh kelangsungan keberadaan kelompok (berlanjut dalam waktu yang
lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota, adanya tradisi kebiasaan dan
adat, ada organisasi dalam kelompok, kesadaran diri kelompok (setiap anggota tahu
siapa saja yang termasuk dalam kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam
kelompok, bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya), pengetahuan tentang
kelompok, keterikatan (attachment) kepada kelompok.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bilal, dkk. 2005. Aggressiveness Behaviours of Soccer Spectators and Preven-
tion of these Behaviours. University of Firat. The Online Journal of Social Science.
Kirchler Zani. 1991. When Violence Overshadows of the Spirit of Sporting
Competition: Italian Football Fans and their Clubs. University of Bologna. The Online
Journal Community and Applied Social Psychology.
Sunaryadi,dkk. 2010. Analisis Perilaku Kekerasan Penonton Sepak Bola. Ban-
dung. Jurnal Psychology.
Walgito, B. (2007). Psikologi kelompok. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Wicaksono, B. 2010. Kohesivitas Suporter Tim Sepak Bola Persija. Universitas
Gunadarma.The Online Journal of Psychology.
Wikipedia. (2007). Jakmania. http://id.wikipedia.org/wiki/the_jakmania.ht m.
23 Okteber 2010.
17