Post on 09-Jun-2018
KATA PENGANTAR
Bismillahi-rahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan rahmat-Nya kami telah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya yang berjudul “Seni Dan Pariwisata Aceh Tengah (Suku Gayo)”.
Penulisan makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah “ Seni, budaya dan
kepariwisataan”. Pada semester 6 program studi S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi-FIB.
Penulisan karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan karena terjalinnya kerja sama yang
baik dan juga atas bimbingan dari orang-orang terdekat. Dan dalam penulisan makalah ini
tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi baik saat perencanaan, pelaksanaan, maupun
pengolahan. Saya menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat positif dan membangun, untuk penulisan karya tulis ilmiah yang lebih
baik lagi di kedepannya.
Medan, 6 Mei 2015
PENYUSUN
SENI DAN PARIWISATA ACEH TENGAH (SUKU GAYO)
1. Kesenian Gayo
A. Didong
a. Sejarah Didong
Kata didong berasal dari bahasa Gayo, yaitu dari akar kata dik dan dong. Dik artinya
menghentakkan kaki ke tanah (lantai atau papan) yang berbunyi dik-dik-dik. Kemudian akar
kata dong berarti berhenti di tempat, tidak berpindah. Jadi, kata didong dapat diartikan
bergerak (menghentakkan kaki) di tempat untuk mengharapkan bunyi dik-dik-dik. Bunyi dik-
dik-dik selalu dibunyikan untuk menyelingi dalam pertandingan didong. Menurut kamus
Bahasa Gayo – Indonesia, didong ialah sejenis kesenian tradisional yang dipertandingkan
antara dua guru didong yang berasal dari dua desa yang berbeda, Disembahan dimulai setelah
selesai shalat Isa dan berakhir sebelum shalat subuh .
Kata didong menjadi nama kesenian tradisional di Gayo Lues berdasarkan cerita
rakyat (foklore), yaitu “Asal - Usul Gajah Putih” yang dikumpulkan oleh Sulaiman Hanafiah
dkk (1984 : 140 – 148). Gajah putih merupakan penjelmaan seorang sahabat yang sudah
meninggal dunia, ketika Gajah Putih ini akan dibawa ke istana raja Aceh oleh orang-orang
yang diperintahkan raja. Gajah Putih tidak mau berjalan dan melawan, Gajah Putih
menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dan menimbulkan bunyi dik-dik-dik. Namun ketika
sahabatnya yang membawa, Gajah Putih pun berjalan dan sampai ke istana raja Aceh.
Gerakan Gajah Putih yang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah dan
menimbulkan bunyi dik-dik-dik, selalu ditirukan oleh orang-orang yang melihat kejadian itu.
Akhirnya kebiasaan tersebut digunakan pada saat merasa gembira atau pada saat
menyampaikan pesan dan nasihat kepada anak-anak, teman, masyarakat atau kepada siapa
saja yang dianggap perlu untuk disampaikan. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut berlangsung
sampai saat ini dan disebut dengan kesenian didong.
b. Pembagian Didong
Didong dapat dibagi dua, yaitu: didong Gayo Lues dan didong lut (laut). Didong
Gayo Lues dapat dibagi tiga macam, yaitu didong alo ; didong belang (didong penyambutan
tamu), didong jalu (didong laga), dan didong niet (didong niat). Didong Gayo Lues
berkembang di Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara. Didong Lut
berkembang di Aceh Tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
1) Didong Alo
Didong alo ; didong belang (didong penyambutan tamu) Persembahan dilakukan pada
saat penyambutan tamu yang diundang untuk pesta tari saman. Pemain didong alo berjumlah
antara 5 sampai 10 orang dari pihak tuan rumah dan begitu pula dari pihak tamu. Tamu selalu
dijemput, jarak tempat mengadakan persembahan didong alo biasanya satu atau dua kilo
meter atau sesuai dengan keadaan lapangan. Persembahan dilakukan berbaris sambil berlari
dan berbentuk melingkar arah ke kiri atau ke kanan, begitu juga dari pihak tamu untuk
mengikuti tuan rumah.
2) Didong Jalu
Didong jalu (didong laga) dilakukan dengan mempertemukan dua penutur (guru
didong ; pegawe) yang berasal dari dua kampung berbeda.Satu guru didong mewakili ralik
(pihak keluarga istri) dan satu guru didong mewakili juelen (pihak menantu pria).
Persembahan didong jalu dilakukan untuk merayakan pesta pernikahan dan sunat rasul.
Persembahan dimulai setelah shalat isya dan berakhir sebelum shalat shubuh ( lebih kurang 9
jam). Masing-masing guru didong didanpingi 10 sampai 15 orang untuk mengiringi cerita
pada bagian-bagian tertentu. Guru didong memakai topi (bulang teleng), kain ulos (upuh
kerawang) Gayo (warna menonjol merah, kuning, hijau dan warna dasar hitam), dan kain
sarung berwarna merah serta celana panjang berwarna hitam. Didong dimainkan di atas
papan sepanjang 3 meter dan di bawahnya digali lubang supaya dapat menimbulkan bunyi.
3) Didong Niet
Didong Niet (didong niat) dimainkan oleh dua orang guru didong. Kedua guru didong
berdiri berdampingan dan pakaian sama dengan didong jalu. Didong niet selalu
dipersembahkan berdasarkan niat seseorang. Misalnya niat seseorang yang ingin mempunyai
keturunan atau keinginan punya anak laki-laki atau anak perempuan. Jika keinginan ini
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, maka didong niet pun dipersembahkan.
c. Hubungan Didong dan Masyarakat Gayo Lues
Budaya dan masyarakat tidak dapat dipisah-pisahkan. Budaya lahir dari masyarakat
dan masyarakat memiliki budaya. Budaya atau kebudayaan adalah segala daya upaya
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup baik kebutuhan rohani maupun kebutuhan
jasmani. Kebudayaan yang diperoleh manusia melalui belajar dan budaya menjadi milik
masyarakat yang menganutnya
Didong sebagai karya seni sastra merupakan hasil dan milik masyarakat Gayo Lues.
Didong merupakan gambaran dan pancaran jiwa masyarakat Gayo. Di dalam didong selalu
berisi tentang kebudayaan masyarakat Gayo. Gambaran budaya Gayo yang ada di dalam
didong seperti sistem kekerabatan, status sosial, sitem perkawinan, dan lain-lain. Masing-
masing daerah mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri dan memiliki berbagai bentuk
kesenian yang khas
a. Didong Sebagai Hiburan
Menurut Sidi Gazsalba, tentang fungsi seni sebagai haiburan mendapat nilai yang tak
terkira peranannya dan menambah kenyamanan hidup. Nyanyian, musik, tarian, drama,
sastra, lukisan merupakan tempat pelarian dari jiwa dan semangat yang penat karena kerja
sehari-hari, karena tugas ekonomi, politik, dan lain-lain. Semangat yang sudah kendor
disegarkan kembali oleh nilai-nilai yang kita nikmati dalam karya seni.
Menurut Wadjiz Anwar ,keindahan itu terdapat di mana-mana, kita memandang alam
di sekeliling kita dan kita menjumpai keindahan dan kecantikan. Keindahan pemandangan
pohon bambu yang menjulang tinggi di atas desa-desa di negeri kita.
Walaupun nuansa agama Islam tetap terasa pada persembahan didong, namun didong
tidak pernah dipersembahkan untuk menyambut hari besar agama Islam. Bagi masyarakat
Gayo untuk perayaan agama Islam selalu disambut dalam bentuk ceramah (berhubungan
dengan hari perayaan), kunjungan antarkampung dalam rangka membacakan selawat nabi.
b. Didong Sebagai Sarana Pendidikan
Menurut Aning Retnaningsih (1982 : 21) karya seni diciptakan pengarang, karena
pengarang memiliki niat baiknya untuk mengemukakan beberapa persoalan, cita-cita, serta
paham-paham yang terkandung di dalam kalbunya berupa pesan atau tujuan yang tertentu
yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Seorang pengarang menciptakan karya sastra
ada pesan atau amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pengarang ingin berbagi
pengalaman batin dengan pembaca. Pengalaman batin yang disampaikan ada yang berupa
pendidikan kepada masyarakatnya. Pendidikan yang disampaikan ada bersifat langsung dan
ada yang tidak langsung.
Didong jalu yang lahir dari masyarakat Gayo Lues merupakan gambaran kehidupan
masyarakat Gayo Lues. Oleh karena itu, didong jalu dapat berperan untuk membina
pendidikan kepada masyarakat Gayo Lues, terutama pendidikan yang bersifat informal.
Dalam persembahan didong jalu Gayo Lues selalu mengulang-ulang persoalan yang sama
pada bahagian tertentu dan bersifat dinamis pada bagian yang lain. Oleh karena itu, didong
jalu dapat menjadi sarana pendidikan kepada masyarakat Gayo Lues.
c. Didong sebagai Nasihat
Melalui karya sastera pengarang berusaha memberikan nasihat kepada pembaca, agar
pembaca dapat berkembang dan mengusai segala seluk-beluk di dalam kehidupan
masyarakat. Karya sastra dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi dan
lebih bertanggung jawab, baik tanggung jawab kepada diri sendiri maupun tanggung jawab
bagi orang lain, bangsa, negara , dan agama (MJA Nashir, 2001 : 194).
Didong jalu salah satu karya sastra lisan dari suku Gayo Lues yang telah banyak
menyampaikan nasihat kepada penonton persembahan. Penonton seolah-olah menjadi objek
bagi penutur persembahan ini. Penonton memberikan nasihat-nasihat yang berharga di dalam
kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kelompok.
d. Didong sebagai Alat Melestarikan Budaya
Menurut Korrie Layun Rampan,apa yang terjadi di dalam kehidupan masyrakat akan
mempengaruhi karya sastra, karena karya sastra merupakan cerminan masyarakat pada saat
diciptakan. Di sadari atau tidak, pengarang langsung terpengaruh dengan keadaan kehidupahn
masyarakat. Bahkan ada pendapat bahwa karya sastra itu dapat benar-benar menggambarkan
kehidupan masyarakat, maka karya sastra itu dapat dikatakan baik atau berhasil. Oleh karena
itu, karya sastra yang baik adalah karya sastra yang berhubungan dengan kehidupan.
B. Alat musik Gayo
a. Canang Gayo
Canang Gayo merupakan alat musik tradisional mirip gong yang dibunyikan dengan cara dipukul berirama. Canang Gayo dimainkan pada acara perkawinan (Mungerje) dan upacara adat lainnya. Sejumlah wanita Gayo sedang memukul Canang di Kampung Serule, Kecamatan Bintang, Kabupaten Aceh Tengah.
b. Musik Teganing
Alat Teganing merupakan alat musik pukul berasal dari Suku Gayo, Kabupaten Aceh Tengah. Alat musik tradisional ini terbuat dari bambu dimainkan dengan cara memukul pada
tali senarnya secara berirama. Bunyi-bunyian alat musik perkusi ini biasanya diringi dengan alunan suara Didong (Seni Tutur Bahasa Gayo) dan Jangen Gayo.
2. Tari gayo
A. Tari Guel
Tari guel adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti
membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo, tarian ini memiliki kisah panjang
dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari.
Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tari guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari
tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam,
lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari
ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara,
gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan
perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah
kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor
dalam dan luar negeri.
Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah
koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli
Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan
survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman, budayawan untuk
menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari guel. Sebagian hasil
penelitian ini yang saya coba kemukakan, apalagi memang dokumen/literatur tarian ini
sedikit bisa didapatkan.
a. Sejarah Tari Guel
Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di tanah Gayo. tari guel berawal dari
mimpi seorang pemuda bernama Sengeda anak Raja Linge ke XIII. Sengeda bermimpi
bertemu saudara kandungnya Bener Meria yang konon telah meninggal dunia karena
pengkhianatan. Mimpi itu menggambarkan Bener Meria memberi petunjuk kepada Sengeda
(adiknya), tentang kiat mendapatkan Gajah putih sekaligus cara meenggiring Gajah tersebut
untuk dibawa dan dipersembahakan kepada Sultan Aceh Darussalam. Adalah sang putri
Sultan sangat berhasrat memiliki Gajah Putih tersebut.
Berbilang tahun kemudian, tersebutlah kisah tentang Cik Serule, perdana menteri Raja
Linge ke XIV berangkat ke Ibu Kota Aceh Darussalam (sekarang kota Banda Aceh).
Memenuhi hajatan sidang tahunan Kesutanan Kerajaan. Sengeda yang dikenal dekat dengan
Serule ikut dibawa serta. Pada saat-saat sidang sedang berlangsung, Sengeda rupanya
bermain-main di Balai Gading sambil menikmati keagungan Istana Sultan.
Pada waktu itulah ia teringat akan mimpinya waktu silam, lalu sesuai petunjuk
saudara kandungnya Bener Meria ia lukiskan seekor gajah berwarna putih pada sehelai daun
Neniyun (Pelepah rebung bambu), setelah usai, lukisan itu dihadapkan pada cahaya
matahari. Tak disangka, pantulan cahaya yang begitu indah itu mengundang kekaguman sang
Puteri Raja Sultan. Dari lukisan itu, sang Putri menjadi penasaran dan berhasrat ingin
memiliki Gajah Putih dalam wujud asli.
Permintaan itu dikatakan pada Sengeda. Sengeda menyanggupi menangkap Gajah
Putih yang ada dirimba raya Gayo untuk dihadapkan pada tuan puteri dengan syarat Sultan
memberi perintah kepada Cik Serule. Kemudian dalam prosesi pencarian itulah benih-benih
dan paduan tari guel berasal: Untuk menjinakkan sang Gajah Putih, diadakanlah kenduri
dengan meembakar kemenyan; diadakannya bunyi-bunyian dengan cara memukul-mukul
batang kayu serta apa saja yang menghasilkan bunyi-bunyian. Sejumlah kerabat Sengeda pun
melakukan gerak tari-tarian untuk memancing sang Gajah.
Setelah itu, sang Gajah yang bertubuh putih nampak keluar dari persembunyiaannya.
Ketika berpapasan dengan rombongan Sengeda, sang Gajah tidak mau beranjak dari
tempatnya. Bermacam cara ditempuh, sang Gajah masih juga tidak beranjak. Sengeda yang
menjadi pawang pada waktu itu menjadi kehilangan ide untuk menggiring sang Gajah.
Lagi-lagi Sengeda teringat akan mimpi waktu silam tentang beberapa petunjuk yang
harus dilakukan. Sengeda kemudian memerintahkan rombongan untuk kembali menari
dengan niat tulus dan ikhlas sampai menggerakkan tangan seperti gerakan belalai gajah:
indah dan santun. Disertai dengan gerakan salam sembahan kepada Gajah ternyata mampu
meluluhkan hati sang Gajah. Gajah pun dapat dijinakkan sambil diiringi rombongan.
Sepanjang perjalanan pawang dan rombongan, Gajah putih sesekali ditepung tawari dengan
mungkur (jeruk purut) dan bedak hingga berhari-hari perjalanan sampailah rombongan ke
hadapan Putri Sultan di Pusat Kerajaan Aceh Darussalam.
Begitulah sejarah dari cerita rakyat di Gayo, walaupun kebenaran secara ilmiah tidak
bisa dibuktikan, namun kemudian Tari guel dalam perkembangannya tetap mereka ulang
cerita unik Sengeda, Gajah Putih dan sang Putri Sultan. Inilah yang kemudian dikenal temali
sejarah yang menghubungkan kerajaan Linge dengan Kerajaan Aceh Darussalam begitu
dekat dan bersahaja.
Begitu juga dalam pertunjukan atraksi Tari guel, yang sering kita temui pada saat
upacara perkawinan, khususnya di Tanah Gayo, tetap mengambil spirit pertalian sejarah
dengan bahasa dan tari yang indah: dalam Tari guel. Reingkarnasi kisah tersebut, dalam tari
guel, Sengeda kemudian diperankan oleh Guru Didong yakni penari yang mengajak Beyi
(Aman Manya ) atau Linto Baroe untuk bangun dari tempat persandingan (Pelaminan).
Sedangkan Gajah Putih diperankan oleh Linto Baroe (Pengantin Laki-laki). Pengulu
Mungkur, Pengulu Bedak diperankan oleh kaum ibu yang menaburkan breuh padee (beras
padi) atau dikenal dengan bertih.
b. Penari
Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di
Kampung Kutelintang-Pegasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di
Toweren. Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup
adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara Angkup,
Safie-Gelu Gele Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu rata-rata sudah
berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan
serius.
Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara
teori dan praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak
sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti
Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum
Syeh Kilang di Kemili Bebesen.
Tari guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II
Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah
Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang),
Dah-Papan.
Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan
wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan
selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe
dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh canang, gong,
gegedem, dan memong.
Tari guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan
karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar
mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan
merasakan ketakjuban luar biasa.
Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan
Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di
Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari
babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian
sepasang kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. Tidak ada yang menang dan kalah
dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang
Cinta. Tapi sayang, kini tari guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat
perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboard pada setiap pesta
perkawinan di daerah itu.
B. Tari Saman
Tari Saman merupakan tarian yag berasal dari tanah Gayo, alam Gayo terletak
dipedalaman Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai
Daftar Representatif Budaya Tak benda Warisan Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-
Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Bali, 24 November
2011.
Tari ini adalah penari harus berlutut waktu latihan. Ada seorang penyanyi dan 2 baris
orang yang menyanyi sambil bertepuk tangan. Tari ini unik dan menarik dan penuh budaya
Indonesia.
Untuk menjaga kelestarian Saman di hati masyarakat, setiap saat diadakan pentas tarian
saman, baik antar kecamatan maupun antar sekolah. Pemerintah juga ikut ambil peranan
dalam penggalakan tradisi ini dengan pemberian insentif bagi setiap kelompok tarian dalam
setiap pentasnya.
Di antara beraneka ragam tarian dari pelosok Indonesia, tari saman termasuk dalam
kategori seni tari yang sangat menarik. Keunikan tari saman ini terletak pada kekompakan
gerakannya yang sangat menakjubkan. Para penari saman dapat bergerak serentak mengikuti
irama musik yang harmonis. Gerakan-gerakan teratur itu seolah digerakkan satu tubuh, terus
menari dengan kompak, mengikuti dendang lagu yang dinamis. Tak salah jika tari saman
banyak memikat hati para penikmat seni tari. Bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari
mancanegara.
Tari Saman dimainkan oleh beberapa laki – laki yang menggunakan pakaian adat
masyarakat gayo. Biasanya jumlah penarinya lebih dari sepuluh orang, tetapi harus ganjil.
Pada umumnya, tari saman ditampilkan tidak menggunakan iringan alat music, namun
menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka, yang biasanya dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan
badan ke berbagai arah.
Tari Saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan / pertunjukan, karena penampilan
tari tidak terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu, yang dapat ditampilkan pada
setiap kesempatan yang bersifat keramaian dan kegembiraan. Tari saman sendiri adalah
kolaborasi antara seni dan suara yang dijuluki dengan tari Tangan Seribu.
Saman Gayo Lues berhasil membuktikan bahwa tarian asli yang tetap menjaga
ketentuan-ketentuan dalam menari lebih dihargai dibanding tarian saman yang agak
dimodern-kan. Tarian Saman di Gayo Lues hanya ditarikan oleh laki-laki.
a. Sejarah Tari Saman
Tarian ini di namakan Saman karena diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama
Syekh Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini
hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Kemudian oleh Syekh Saman
kesenian Pok pok Ane tersebut dirubah dan diperindah dengan berbagai ragam variasi. Ada
gerakan tepuk tangan, tepuk dada, paha dengan tangan kanan dan kiri, berganti-gantian,
sehingga lahirlah saman Uman Sara, Saman Manjik dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, syekh saman mulai menyisipkan pujian – pujian kepada Allah
SWT dalam syair-syair yang digunakan dalam tari saman tersebut. Serta diiringi pula oleh
kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media
dakwah.
Pada mulanya, tari saman hanya ditampilkan untuk even-even tertentu, khususnya
pada saat merayakan Hari Ulang Tahun Nabi Besar Muhammad SAW atau disebut
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya, tari saman ditampilkan di bawah
kolong Meunasah (sejenis surau panggung). Namun seiring perkembangan zaman, tari Saman
pun ikut berkembang hingga penggunaannya menjadi semakin sering dilakukan. Kini, tari
saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan/pertunjukan, karena penampilan tari tidak
terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu. Tari Saman biasanya ditampilkan
dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syekh. Penari Saman dan Syekh
harus bisa bekerja sama dengan baik agar tercipta gerakan yang kompak dan harmonis.
Sejalan kondisi Aceh dalam peperangan maka syekh menambahkan syair-syair yang
menambah semangat juang rakyat Aceh. Tari ini terus berkembang sesuai kebutuhannya.
Sampai sekarang tari ini lebih sering ditampilkan dalam perayaan- perayaan keagamaan dan
kenegaraan. Tarian ini pada awalnya kurang mendapat perhatian karena keterbatasan
komunikasi dan informasi dari dunia luar. Tari ini mulai mengguncang panggung saat
penampilannya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II dan peresmian pembukaanTaman
Mini Indonesia Indah (TMII). Gemuruh Saman di TMII menggemparkan tidak hanya
nusantara namun sampai ke manca negara.
Sekarang ini Tari Saman dapat ditampilkan pada setiap kesempatan yang bersifat
keramaian dan kegembiraan, seperti pesta ulang tahun, pesta pernikahan, atau perayaan-
perayaan lainnya. Untuk tempatnya, Tari Saman biasa dilakukan di rumah, lapangan, dan ada
juga yang menggunakan panggung.
Tari saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan/pertunjukan, karena penampilan
tari tidak terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu. Dapat ditampilkan pada setiap
kesempatan yang bersifat keramaian dan kegembiraan.
Selain itu, gerakan Tari Saman, didong, dan bines berasal dari satu peristiwa atau
sejarah yang sama, yang terkisah memalui cerita rakyat (folklore). Yaitu, Asal usul Gajah
Putih yang dikumpulkan oleh Sulaiman Hanafiah dkk (1984:140-149). Gajah putih
merupakan penjelmaan dari seorang sahabat yang sudah meninggal dunia. Pada saat Gajah
Putih dibawa ke Istana Raja Aceh, Gajah Putih tidak mau jalan dan melawan, Gajah Putih
menghentak – hentakkan kakinya ke tanah, sehingga mengeluarkan bunyi dik-dik-dik.
Orang – orang yang melihat hal tersebut ikut membantu mengusir supaya Gajah Putih itu
mau berjalan. Kaum lelaki berusaha mengusir sambil menggerakkan atau mengayunkan
tangan, kaum wanita juga ikut mengusir dengan cara mengipas – ngipaskan kain panjang,
tapi Gajah Putih tetap saja tidak mau berjalan, namun ketika sahabatnya yang membawa,
Gajah Putih pun berjalan dan sampailah di Istana Raja Aceh.
Gerakan tangan para lelaki yang ikut mengusir Gajah Putih selalu diulang – ulang
sehingga menjadi kebiasaan (kesenian) para pemuda pada waktu itu gerakan Gajah Putih
yang menghentak – hentakkan kakinya ke tanah menimbulkan bunyi dik- dik-dik selalu
ditirukan orang – orang yang melihat kejadian itu. Begitu juga gerakan kaum wanita yang
mengipas – ngipaskan kain panjang sering diulangi sambil menceritakan kejadian itu kepada
orang lain. Akhirnya kebiasaan tersebut dilaksanakan dan digunakan pada saat merasa
gembira atau pada saat menyampaikan pesan dan nasehat kepada anak, teman, masyarakat,
atau kepada siapa saja yang dianggap perlu untuk disampaikan. Karena kebiasaan tersebut
berlangsung secara terus menerus, akhirnya gerakan itu disebut sebagai Tari Saman.
b. Makna dan Fungsi Tari Saman
Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini
mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan
kebersamaan.
Syair saman sendiri dipergunakan dalam bahasa Arab dan Aceh. Sebelum saman
dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau
pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasehat-nasehat yang
berguna kepada para pemain dan penonton. Syair-syair yang di lantunkan dalam tari Saman
juga berisi petuah-petuah dan dakwah.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari
pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut
dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan group sepangkalan ( dua
group ). Penilaian ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing group dalam mengikuti
gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.
Namun dewasa ini, fungsi tarian saman menjadi bergeser. Tarian ini jadi lebih sering
berfungsi sebagai media hiburan pada pesta-pesta, hajatan, dan acara-acara lain.
c. Nyanyian Tari Saman
Pada tari Saman, terdapat 5 macam nyanyian :
1) Rengum, yaitu sebagai pembukaan atau mukaddimah dari tari Saman (yaitu setelah
dilakukan sebelumnya keketar pidato pembukaan). Rengum ini adalah tiruan bunyi. Begitu
berakhir langsung disambung secara bersamaan dengan kalimat yang terdapat didalamnya,
antara lain berupa pujian kepada seseorang yang diumpamakan, bisa kepada benda, atau
kepada tumbuh-tumbuhan.
2) Dering, yaitu rengum yang segera diikuti oleh semua penari.
3) Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada
bagian tengah tari.
4) Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi
melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak
5) Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari
solo.
d. Gerakan dan Penari Tari Saman
a) Gerakan
Tarian Saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian
saman: Tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama islam,syeikh
saman mempelajari tarian melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang
disertai dengan syair-syair dakwah islam demi memudakan dakwahnya.Dalam konteks
kekinian, tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.
Tarian Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik, kerena hanya menampilkan
gerak tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang -
saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo). Selain itu, ada 2 baris orang yang menyanyi
sambil bertepuk tangan dan semua penari Tari Saman harus menari dengan harmonis. Dalam
Tari Saman biasanya, temponya makin lama akan makin cepat supaya Tari Saman menarik.
b) Penari
Pada umumnya, Tarian Saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi
jumlahnya harus ganjil. Pendapat lain mengatakan Tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10
orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
Namun, dalam perkembangan di era modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan
semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk
mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syeikh. Selain
mengatur gerakan para penari, Syeikh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman
yaitu ganit.
Karena keseragaman farmasi dan ketetapan waktu maka para penari dituntut untuk
memilki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna,
tarian ini khususnya dimainkan oleh para pria.
Kostum atau busana Saman terbagi dari tiga bagian yaitu:
o Pada kepala : bulung teleng atau tengkuluk dasar kain hitam empat persegi. Dua segi
disulam dengan benang seperti baju, sunting kepies.
o Pada badan : baju pokok/ baju kerawang (baju dasar warna hitam, disulam benang putih,
hijau dan merah, bahagian pinggang disulam dengan kedawek dan kekait, baju bertangan
pendek) celana dan kain sarung.
o Pada tangan : topeng gelang, sapu tangan. Begitu pula halnya dalam penggunaan warna,
menurut tradisi mengandung nilai-nilai tertentu, karena melalui warna menunjukkan identitas
para pemakainya. Warna-warna tersebut mencerminkan kekompakan, kebijaksanaan,
keperkasaan, keberanian dan keharmonisan.
e. Jenis – jenis Tari Saman
Jenis-jenis Saman diantaranya adalah:
1) Saman Jejunten, yaitu saman yang dilakukan malam hari dengan duduk di atas pohon
kelapa yang ditebang.
2) Saman Njik, yaitu saman yang dilakukan pada waktu istirahat pada kegiatan menggirik
padi.
3) Saman Ngerje (Umah Sara), saman yang dilakukan oleh pemuda pada acara pesta
perkawinan.
4) Saman Bejamu Besaman, yaitu saman yang dilakukan dengan mengundang grup saman
dari kampung lain. Bejamu Besaman dilakukan dengan dua cara, yaitu :
- Pertama Saman Sara Ingi (Saman satu malam) yaitu saman yang dilakukan semalam
suntuk. Saman ini dilakukan pada hari besan keagamaan (Aidul Fitri, Aidul Adha, dan
Maulid Nabi Muhammad SAW. Kedua, Saman Roa Lo Roa Ingi (Saman dua hari dua
malam), saman ini dilakukan secara terus menerus .
- Saman Bale Asam adalah saman yang dilaksanakan pada siang hari dalam rangka
peringatan hari besar. Saman ini dilaksanakan secara bersama-sama di sebuah lapangan dan
setiap grup bebas memilih lawannya. Biasanya panitia acara akan mengaundang grup saman
dari berbagai kampung untuk bertemu dan bertanding.
Komposisi pemain saman sebagai berikut:
Penangkat yaitu: orang yang mengatur gerakan dan ritme saman, posisi berada di
tengah-tengah pemain.
Pengapit yaitu: tugasnya mengingatkan penangkat apabila lupa gerakan
berikutnya, umumnya 2 orang yang posisinya di kanan dan kiri
penangkat.
Penyepit yaitu : membantu pengapit untuk mengingatkan jika ada kesalah gerak,
umumnya dipilih orang yang bersuara merdu.
Penupan yaitu: menjaga keseimbangan kawan atau menopang temannya agar
keseimbangan terjaga.
Contoh :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
• Nomor 9 disebut Pengangkat
Pengangkat adalah tokoh utama (sejenis syekh dalam seudati) titik sentral dalam Saman,
yang menentukan gerak tari, level tari, syair-syair yang dikumandangkan maupun syair-syair
sebagai balasan terhadap serangan lawan main (Saman Jalu / pertandingan)
• Nomor 8 dan 10 disebut Pengapit
Pengapit adalah tokoh pembantu pengangkat baik gerak tari maupun nyanyian/ vokal
• Nomor 2-7 dan 11-16 disebut Penyepit
Penyepit adalah penari biasa yang mendukung tari atau gerak tari yang diarahkan
pengangkat. Selain sebagai penari juga berperan menyepit (menghimpit). Sehingga kerapatan
antara penari terjaga, sehingga penari menyatu tanpa antara dalam posisi banjar/ bershaf
(horizontal) untuk keutuhan dan keserempakan gerak.
• Nomor 1 dan 17 disebut Penupang
Penupang adalah penari yang paling ujung kanan-kiri dari barisan penari yang duduk
berbanjar. Penupang selain berperan sebagai bagian dari pendukung tari juga berperan
menupang / menahan keutuhan posisi tari agar tetap rapat dan lurus. Sehingga penupang
disebut penamat kerpe jejerun (pemegang rumput jejerun). Seakan-akan bertahan
memperkokoh kedudukan dengan memgang rumput jejerun (jejerun sejenis rumput yang
akarnya kuat dan terhujam dalam, sukar di cabut)
f. Peran Tari Saman dalam Masyarakat Gayo
Saman adalah salah satu tradisi yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Gayo
Lues, di Kabupaten Gayo Lues, masyarakat Gayo di Kecamatan Serbejadi (Kab. Aceh
Timur), dan masyarakat Gayo di Kecamatan Tamiang Hulu (Kabupaten Aceh Tamiang).
Saman adalah sebuah permaianan tradisi yang biasa dilakukan oleh anak-anak hingga dewasa
pada saat mengisi waktu luangnya. Baik pada saat di sawah, mersah, sepulang mengaji di
rumah pun mereka menyempatkan diri berlatih Saman.
Keberadaan saman pada masyarakat Gayo merupakan sebuah tradisi yang turun
temurun dan menjadi bagian dalam kehidupan mereka. Saman ada dan hidup pada
masyarakat Gayo Deret (Gayo Blang) dimanapun mereka berada. Selain dilaksanakan di
kampung halamannya, Saman juga dilakukan didaerah-daerah perantauan mereka, misalnya
di Banda Aceh, Medan, dan juga di Jakarta. Di kampung halamannya.
Dalam sebuah wawancara dengan masyarakat Gayo, penulis mendapatkan informasi,
beliau mengatakan “Tari Saman ini sudah menjadi tradisi mereka dalam bermasyarakat,
dimana Tari Saman ini memiki peran yang berfungsi sebagai sebuah atraksi seni pertunjukan
yang sering dipentaskan sebagai media silaturahmi, menjalin persahabatan, penyampaian
pesan-pesan moral, pantun muda-mudi, penggambaran dalam dan lingkungan sekitar”. (Zul
Helmi)
Di lain kesempatan penulis juga bertanya pada masyarakat lainnya, narasumber ini
menyebutkan bahwa “Tari Saman adalah sebuah seni, dimana media pengungkapannya
menggunakan gerakan tangan yang serentak, dari sini lah sebuah pertukaran komunikasi
terjadi yang menggambarkan komunikasi antara si penikmat dan si pelaku. Sebagai sarana
komunikasi Tari Saman ini banyak disuguhkan kepada masyarakat yang nantinya bisa
menjadi perwujudan dari sebuah rasa syukur / pernyataan terima kasih”. (Adi Gunawan).
3. Pariwisata Gayo
Potensi Danau Laut Tawar
Dua bukit yang mengepit Danau Laut Tawar, semakin memperlihatkan keindahan
danau. Penyatuan perairan dan dataran memberi banyak sumber penghidupan bagi
masyarakat, terutama disekitar dataran tinggi Gayo. Perbukitan hijau yang ditumbuhi pohon
Pinus awan bersih dan langit biru di pantulkan air danau yang tenang membuat permukaan
danau seperti kaca.
Keberadaan Danau Laut Tawar yang terletak tengah-tengah Kabupaten Aceh Tengah
menyimpan potensi pariwisata. Pemandangan alam danau yang dikelilingi oleh pegunungan
di sekitarnya memiliki pesona alam yang luar biasa. Belum lagi udara yang sejuk karena
berada di dataran tinggi. Selain pemandangan yang indah Danau ini juga punya banyak
legenda rakyat. Danau ini terbentuk akibat letusan gunung berapi purba. Terletak di sebelah
timur kota takengon secara fisik dari hasil penelitian yang terangkum dalam buku ekosistim
Danau Laut Tawar 2007, Danau ini mempunyai luas 5,472 hektar, panjangnya 17 kilometer
sedangkan lebarnya 3,219 kilometer diperkirakan volume airnya berjumlah 2,5 triliun liter.
Di sekitar danau saat ini dilengkapi prasarana jalan, yang merupakan jalan provinsi panjang
jalan utara 18 kilometer, panjang jalan selatan 24 kilometer, jumlah aliran air yang masuk ke
danau ini sebanyak 25 sumber aliran, terdiri dari sungai, alur, aliran dengin debit total 10.043,
liter/detik. Sementara air yang keluar, hanya satu melalui sungai Krueng Peusangan dengan
debit 5.664 liter/detik. Danau ini punya kedalaman rata-rata untuk jarak 35 meter dan 8,9
meter untuk 1000 meter. Dari pinggir kedalamannya rata-rata 19,27 meter, untuk jarak dari
pinggir 1.620 meter danau ini memiliki kedalaman 51,13 meter. Untuk suhu danau, 21 hingga
770 derajat celsius, mulai tempat paling dangkal hingga tempat paling dalam.
Potensi lain dari Danau Laut Tawar adalah hadirnya ikan Depik, ikan khas Aceh
Tengah. Konon ikan ini hanya ada di Danau Laut Tawar. Ikan ini mirip ikan Teri. Ikan ini
punya musim biasanya ikan ini muncul antara bulan April sampai Agustus. Di sebut Depik
karena pada bulan tersebut terjadi angin kencang musim angin ini disebut musim angin
Depik. Sebelum musim tiba, gerombolan Depik bersembunyi di selatan danau di kaki gunung
Bur kelieten, gunung tertinggi di sekitar Danau Laut Tawar. Cara menangkap ini juga cukup
unik, di buat semacam bendungan dari batu dilengkapi dengan alat khas bernama bubu, ikan
ini di jual dalam takaran bambu bukan kilo.
Disekeliling danau terdapat sejumlah gua yang sudah ditemukan antaranya Loyang
Peteri Pukes atau dikenal dengan loyang Sekam, Loyang Koro, Loyang Peteri Ijo, Loyang
Perupi atau Gua Ular, Loyang Ujung Karang dan Loyang Mendale. Gua-gua tersebut
memiliki sejarah serta legenda dan karakteristik tersendiri.
Dibeberapa lokasi Danau Laut Tawar, seperti di desa Pedemun terdapat lokasi untuk
panjat tebing hiking, tracking dan dengan latar belakang pemandangan danau yang permai.
Seiring dengan semakin berkembangnya kepariwisataan di Negeri penghasil kopi ini dapat
juga mengunjungi beberapa resort/objek wisata baik yang dikelola oleh pemerintah daerah
maupun swasta diantaranya objek Wisata Pante Menye Air terjun Mengayak, Pante Mepar,
Ujung Paking, Ujung Minang, Ujung Sere, Pante Gemasi, Pante Ketibung dan sejumlah
objek wisata lainnya.
Selain itu, di lokasi ini pengunjung dapat melihat masyarakat yang bercocok tanam
dan memancing. Suatu aktivitas yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari
masyarakat di sekitar danau. Komoditi unggulan yang di tanam di dataran tinggi Gayo antara
lain adalah kopi Gayo (kopi arabika) yang sangat terkenal di Jepang, kentang, markisa, tomat,
cabe, jagung dan sayur-sayuran. Hasil komoditi perkebunan yang cukup terkenal adalah jeruk
keprok Gayo dan alpukat.
Untuk akomodasi tersedia satu buah kapal motor yang digunakan untuk membawa
penumpang mengelilingi Danau Laut Tawar. Danau ini sangat alami dan tampak belum
banyak di sentuh tangan manusia, airnya yang jernih memperlihatkan terumbu karang dan
ikan yang berenang di dalamnya. Di sekitar danau terdapat tempat penginapan bagi para
wisatawan yang ingin bermalam di lokasi tersebut.