Post on 03-Apr-2019
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GAMBARAN UMUM TINDAK PIDANA TERORISME
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Terorisme
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan
perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil.
Terorisme berasal dari kata latin “terre” yang artinya dasar
mengancam. Berasal dari kata terror sebagai tindakan untuk mengancam pihak
lain, sebagai upaya menciptakan efek atau kondisi psikologis seseorang untuk
mengambil keputusan di tengah kekhawatiran akan sesuatu hal. Secara lebih
cermat terorisme dikaitkan dengan konsep militansi, radikalisme yang
dipopulerkan oleh media Barat, dilekatkan dengan suatu wilayah seperti Timur
Tengah maupun Irlandia Utara dan Kolombia yang tidak disukai oleh Barat.
Menurut J. Bowyer Bell, terorisme adalah sebagai senjata kaum lemah,
tapi senjata yang ampuh untuk mempengaruhi pihak lain yang kuat, sedangkan
David Fromkin lebih meninjau dari sisi target dan sarana, terorisme adalah sutau
upaya mempengaruhi pihak lain dengan mengandalkan perubahan psikologis
pihak lain. Terorisme terjebak dalam aksi kekerasan dan sadisme. Keterjebakan
33
itulah menjadikan aksinya menjadi crime secara universal, sehingga tujuamn luhur
kemudian menjadi pudar karena kurangnya tranparansi40.
Pengertian Teror yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention
of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism
means the use of violence for political ends and includes any use of violence for
the purpose putting the public or any section of the public in fear .” Kegiatan
Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan
sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu
bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Kata “terror” menurut arti bahasa arab disebut dengan istilah “irhab”.
Kamus Al-Munawwir mendefinisikan Rahiba-Ruhbatan, waruhba- nan, wa
rohabban, ruhbanan sebagai khaafa“takut”. Sedangkan kata Al-irhab diterjemah
kan dengan intimidasi41
Istilah teror (isme), pertama kali, populer pada masa Revolusi Perancis
(1789-1794). Akan tetapi, praktik terorisme itu sendiri terjadi jauh sebelumnya.
Dalam catatan sejarah, terorisme telah dipraktikkan manusia sejak zaman Yunani
kuno. Xenophon (431-350 SM) misalnya, menuliskan dalam bukunya tentang
terorisme dalam term "perang psikologis" untuk menaklukkan musuh. Pada awal
abad masehi tercatat nama Kaisar Rome Tiberius (14-37) dan Caligula (37-41)
yang melakukan terorisme terhadap lawan-lawan politiknya.
40 Nugroho Notosusanto, Terorisme Berjubah Agama. tangggal 12 Mei 2007. http/kompak.com.
41 Adian Husaini, 2001, Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani Pers, Jakarta, hal.83
34
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan
perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu
pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali
merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada
para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau
tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, oleh karena itu para pelaku
teroris layak mendapatkan pembalasan yang kejam42.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris"
dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,
pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain.
Adapun makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan
terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang.
Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara
atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti
dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam
kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang
awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut
teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media
42 Ali Masyhar, ibid, hal 51-52
35
menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang
mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi
aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New
York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai
“September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui
udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat
komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar
Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua
diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan
gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan
Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang
menjadi korban utama dalam masa dua jam itu tak lain adalah kurang lebih 3.000
orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan
tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang
terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189
orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat
keempat yang jatuh didaerah pedalaman Pennsylvania.
Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World
Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun,
gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang
melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari
36
berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya
mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika Serikat
menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan
politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk
memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut
telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Inter- nasional. Terlebih lagi
dengan terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan
tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan 184
orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula
mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk
yang pertama mengeluarkan anti Terrorism, Crime and Security Act, December
2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah
melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan
mengeluarkan anti Terrorism Bill.
Pengertian Teror yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention
of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism
means the use of violence for political ends and includes any use of violence for
the purpose putting the public or any section of the public in fear.”
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain
merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang,
kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada
jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
37
Kata “terror” menurut arti bahasa arab disebut dengan istilah “irhab”.
Kamus Al-Munawwir mendefinisikan Rahiba-Ruhbatan, wa ruhbanan, wa rohab
ban, ruhbanan sebagai khaafa “takut”. Sedangkan kata Al-irhab diterjemahkan
dengan intimidasi43
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan
suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat
terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok
tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.
Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi
perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang
lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar
perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan
lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum
Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian
yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan
pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Brian Jenkins,
Terorisme merupakan pandangan subjektif, didasar- kan pada siapa saja yang
memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Sedangkan A.C. Manullang memberikan pengertian terorisme sebagai
suatu cara untuk merebut kekuasaan dari kelompok lain44. Kelompok Negara-
negara Eropa Timur beserta beberapa negara-negara berkembang lainnya memberi
43 Adian Husaini, 2001, Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani Pers, Jakarta, h.83
44 A.C. Manullang, 2001, Menguak Tabu Intelijen: Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, h. 151
38
batasan teror dalam dua kategori, yaitu terror individual (organisasi terror yang
dijadikan bisnis/bayaran untuk mencapai target sponsor) dan terror Negara
(Negara kolonialis terhadap Negara-negara jajahan atau sebaliknya)45.
US FBI (federal Bureaau of Investigation) mendefinisikan terorisme
adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil san elemen-elemennya
untuk mencapai tujuan-tujuan social atau politik46.
Menurut konvensi PBB tahun 1939 terorisme adalah segala bentuk
tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada Negara dengan amksud
menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas. Dalam kamus Webster”s New School and Office Dictionary
dijelaskan “ terrorism is the use of violence, intimidation, etc to gain to end;
especially a system of government ruling by terror,” artinya bahwa terorisme
adalah penggunaan kekerasan, intimidasi, dan sebagainya untuk merebut atau
menghancurkan, terutama sistem pemerintahan yang berkuasa melalui terror….).
James Adam memberikan batasan terorisme adalah penggunaan atau
ancaman kekerasan fisik oleh individu-individu atau kelompok-kelompok untuk
tujuan-tujuan politik, baik untuk kepentingan atau untuk melawan kekuasaan yang
ada, apabila tindakan-tindakan terorisme itu dimaksudkan untuk mengejutkan,
melumpuhkan, atau mengintimidasi suatu kelompok assaran yang lebih besar
daripada korban-korbam langsungnya47, terorisme melibatkan kelompok-kelompok
45 Ibid, hal.15346 Muladi, 2002, Demokratisasi, HAM da Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie
Center, Jakarta47 James Adams, 2002, The Financing of terror: How the Groups That are
Terorrizing the World et the Money to Do it. Sebagaimana dikutip oleh Simela Victor Muhammad, dalam Poltak Partogi Naingolan (ed), Terorisme dan Tata Dunia Baru, dalam Ali Mashar, 2005, Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia, Tesis, hal 52.
39
yang berusaha untuk menumbangkan rezim-rezim tertentu, untuk mengoreksi
keluhan kelompok/nasional, atau untuk menggerogoti tata politik yang ada.
Sedangkan Kent Leyne Oots, mendefinisikan “terorisme” sebagai
berikut : (1) sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang menciptakan
ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material, (2) sebuah metode
pemaksaan tingkah laku pihak lain, (3) sebuah tindakan kriminal bertendensi
publisitas, (4) tindakan criminal bertujuan politis, (5) kekerasan bermotifkan
politis dan, (6) sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis48.
Menurut Majelis Ulama Indonesia, Terorisme adalah tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman
serius terhadap keadulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia
serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk
kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transnasional
dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak
membeda-bedakan sasaran (indiscriminative)49.
Dengan demikian terorisme adalah kejahatan (crime) yang mengancam
kedaulatan negara (against state/nation), melawan kemanusiaan (against
humanity) dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan kekerasan. RAND
Corporation, sebuah lembaga penelitian dan pengembangan swasta terkemuka di
AS, melalui sejumlah penelitian dan pengkajiannya, menyimpulkan bahwa setipa
tindakan kaum teroris adalah tindakan kriminal. Definisi lain menyatakan bahwa
(1) terorisme bukan bagian dari tindakan perang, sehingga seyogyanya tetap
dianggap sebagai tindakan kriminal, termasuk juga situasi diberlakukannya 48 M. Riza Sihbudi, 1991, Bara Timur Tengah, Bandung, hal. 9449 Ma’ruf Amin, 2007, Meluruskan Makna Jihad Mencegah Terorisme, tim
penanggulangan Terorisme MUI, Jakarta. Hal. 26
40
hukum perang; (2) sasaran sipil merupakan sasaran utama terorisme, dan dengan
demikian penyerangan terhadap sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai
tindakan terorisme; (3) meskipun seringkali dilakukan untuk menyampaikan
tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat disebut sebagai aksi politik50
Terorisme adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),
dipandang belum mampu ditanggulangi melalui hukum positif yang ada, berbagai
pasal dalam KUHP, tidak dapat mengantisipasi serta menindak dengan cepat, tepat
dan menyeluruh pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme. Pola
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia, dalam aspek peraturan
perundang-undangan ataupun hukum positif yang bersifat represif terlihat tidak
ada masalah. Dalam arti lain, sudah selesai final, namun dalam arti luas, mulai dari
identifikasi penduduk, pengawasan dan partisipasi masyarakat masih perlu
ditingkatkan.
Pemerintah dan bangsa Indonesia harus dapat menunjukan dan
mengambil langkah-langkah yang bersifat pro aktif tegas, dan wajar dalam
menghadapi kegiatan terorisme, baik bersifat internasional maupun nasional.
Beberapa permasalahan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pelaksanaan
pemberantasan terorisme di Indonesia menurut hukum positif yang berlaku serta
bagaimana pelaksanaan perlindungan HAM dalam pemberantasan terorisme.
Pola koordinasi aparatur pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam
pemberantasan terorisme juga perlu diperhatikan. Komitmen pemerintah dan
rakyat Indonesia dalam memberantas terorisme, harus terus menerus dibangun.
Kerjasama internasional mutlak dilakukan secara konsisten51.50 Ibid.hal 27-2851 Abdul Gani Abdullah, 2006, Penelitian Hukum tentang Pola Pemberantasan
Tindak Pidana terorisme Dalam Hukum Indonesia dalam abstrak, Jakarta.
41
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme
tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha
memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan
abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana
Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State.
Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST)
tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan
paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai
Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala
Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana
yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.
Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human
Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang
meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak
bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.
Dari berbagai batasan pengertian teroroisme di atas, jelad belum
adanya keseragaman definisi terorisme. Namun demikian terorisme mempunyai
ciri dasar sebagai berikut: penggunaan atau ancaman kekerasan, adanya unsur
penda- dakan/kejutan, direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang,
menimbulkan ketakutan yang meluas atau membuat kehancuran material atau
perekonomian, mempunyai tujuan politik yang jauh lebih luas dari sasaran/korban
langsungnya.
42
Oleh karena itu, terorisme mempunyai makna penggunaan atau
ancaman kekerasan dilakukan baik individu atau kelompok yang bersifat
mendadak, direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang sehingga
menimbulkan ketakutan meluas atau membuat hilangnya nyawa manusia dan
kehancuran material, dengan maksud/tujuan politis yang jauh lebih luas dari
sasaran korban langsungnya.
Undang-undang Terorisme, dalam ketentuam umumnya memberikan
definisi yuridis tentang terorisme yaitu tindak Pidana Terorisme adalah segala
perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan
Undang-undang ini. Dengan demikian Undang-undang tersebut menunjuk bahwa
Tindak Pidana Terorisme adalah keseluruhan tindak pidana yang terumus dala Bab
III tentang tindak pidana terorisme.
2. Sejarah Asal Usul Terorisme
Terorisme pertama kali dipopulerkan saat revolusi Perancis. Pada
waktu itu, terorisme memiliki makna positif. Sistem atau rezim de la terreur pada
tahun 1793-1794 diartikan sebagai cara memulihkan tatanan saat periode
kekacauan dan pergolakan anarkhis setelah peristiwa pemberontakan rakyat pada
tahun 1789. jadi rezim teror ketika itu adalah instrumen pemerintahan dari negara
revolusioner. Rezim itu dirancang untuk mengkonsolidasi kekuasaan pemerintahan
baru dengan cara mengintimidasi gerakan kontra revolusioner, subversif dan
semua pembangkang lain yang oleh rezim tersebut dianggap sebagai “musuh”
rakyat .
Aksi teror juga dilakukan Zealot (hidup pada 66-73 M), sebuah
organisasi partai politik yang beroposisi dengan pemerintahan Herodes yang
43
menentang penjajah Roma. Mereka menuntut kemurnian religius dan menentang
segala tindakan asusila dan tindakan yang bersifat anti Yahudi. Mereka
menggunakan pisau kecil yang disebut sica yang disembunyikan di balik jaket.
Dengan senjata sica tersebut, aksi Zealot sering disebut Sicarii. Aksi sicarri
dilakukan dengan cara bercampur orang-orang dipasar. Jika mereka melihat suatu
pelanggaran mereka langsung mengambil pisau dan menikam si pelanggar.
Metode yang mereka gunakan adalah praktek pembunuhan teroganisir di zaman
kuno. Tindakan ini bersifat acak dan menimbulkan ketakutan masyarakat.
Motivasi kelompok Zealot adalah agama dan didukung oleh kitab suci.
Jadi teror sebagai sebuah aksi yang sistematis dikenal sejak Revolusi
Perancis (1789-1794). Pada masa itu, muncul apa yang dikenal dengan French
Revolution’s terrorism atau regime de la terreur pimpinan Maximilien
Robespierre. Regime de la terreur digunakan sebagai instrumen untuk mendirikan
Revolusionary State yaitu membentuk sebuah masyarakat baru yang lebih baik.
Selain mempunyai kaitan erat dengan revolusi, Maximilien Robespierre, sang
pemimpin gerakan, mengaitkan teror dengan kebaikan (virtue) dan demokrasi
(democracy). Robespierre menyebutkan : virtue, without which terror is evil;
terror, without which virtue is helpless. … terror is nothing but justice, prompt,
severe and inflexible; its therefore an emanation of virtue.
Terdapat dua karakteristik utama dari French Revolution’s terrorism.
Pertama, regime de la terreur tidak dilakukan dengan acak random dan tidak juga
indiskriminasi (neither random nor indiscriminate), tetapi dilakukan secara
terorganisir (organized), terarah dan berhati-hati (deliberate), serta sistematis
(systematic). Karakteristik ini yang membedakan regime de la terreur dengan aksi
44
terror yang digambarkan saat ini. Kedua, tujuan French Revolution’s terrorism
(regime de la terreur) adalah untuk membentuk sebuah masyarakat baru yang
lebih baik (a new and batter society).
Pertengahan abad ke-19, di Eropa, revolusi Perancis mengilhami
munculnya sentimentil anti monarki (anti penguasa). Pada abad ini, muncul aksi
era terorisme baru di mana terorisme dikonotasikan dengan gerakan anti
pemerintahan. Aksi-aksi teror digunakan sebagai taktik untuk menggulingkan
orang-orang berkuasa. Carlo Pisacane, seorang extrim Republika Italia, melakukan
gerakan revolusioner yang disandarkan pada teori “the propaganda by deed”.
Hingga menjelang perang dunia I, terorisme berkonotasi revolusioner.
Bersamaan dengan perang dunia II dan semangat pergerakan kemerdekaan,
penggunaan istilah terorisme digunakan dalam perspektif berbeda. Pertama,
teroris dikonotasikan dengan gerakan revolusioner. Pada saat itu terorisme dipakai
untuk menyebut revolusi dengan kekerasan oleh kelompok nasionalis anti
kolonialis di Asia, Afrika dan Timur Tengah selama kurun 1940 dan 1950-an.
Kedua, mengacu pada pemberontakan yang dilakukan kaum nasionalis/anti-
kolonialis. Konotasi kedua memicu ketidaksenangan para pejuang kemerdekaan
(negara dunia ketiga) dengan stigma teroris. mereka dengan tegas menolak stigma
teroris yang melekat pada mereka. Bagi mereka (pejuang kemerdekaan) berjuang
untuk kemerdekaan dan kebebasan demi tanah air dari penjajahan bukan terorisme
tetapi freedom fighters.
Selama akhir 1960 dan 1970-an, terorisme masih terus dipandang
dalam konteks revolusioner. Namun cakupannya diperluas hingga meliputi
kelompok separatis etnis dan organisasi ideologis radikal. Pada tahun 1980-an
45
terorisme dianggap sebagai sarana untuk mendestabilisasi barat yang dituduh
sebagai sponsor utama kospirasi global. Dengan pemaknaan terorisme seperti
inilah maka pada saat itu negara Barat, terutama Amerika, gencar
mengkampanyekan antiterorisme ke seluruh penjuru dunia, sampai ke Indonesia.
Setiap negara diminta segera membuat aturan perundang-undangan perihal
pemberantasan terorisme ini. Akhirnya Indonesiapun mengatur tentang
pemberantasan terorisme tersebut.
Secara yuridis, sebelum mengenal istilah terorisme, Indonesia telah me-
ngenal dan mengatur tindak pidana subversi. Pengaturan pemberantasan kegiatan
subversi di Indonesia dituangkan dalam bentuk Penetapan Presiden (Penpres)
Nomor 11 tahun 1963 berubah Undang-undang Nomor 11/pnps/1963 yang
bertujuan melindungi dan mengamankan sistem politik waktu itu yaitu politik
NASAKOM52.
Pada awal tahun 1990, muncul istilah narco terrorism dan istilah gray
area phenomenon. Istilah Pertama muncul bersamaan dengan gerakan sekelompok
orang dengan motivasi ekonomi yang bergelut dalam peragangan obat terlarang.
Narco terrorism muncul akibat pertemuan antara penjualan obat terlarang dengan
penjualan senjata. Sedangkan istilah gray area phenomenon digunakan pada
gerakan yang mengancam stabilitas nasional oleh orang atau kelompok bukan
negara.
Tahun 1998, peta politik nasional kembali berubah. Banyak tuntutan
untuk meninjau ulang perundan-undangan yang menghambat nilai-nilai
demokrasi. Undang-undang Nomor 11/Pnps/1963 dicabut dengan dikeluarkannya
52 Tjipto Soeroso, 1990, Diktat Kuliah Hukum Pidana Khusus (Hukum Pidana Politik), hal 3-4
46
Undang-undang Nomor 26 tahun 1999 tentang pencabutan Undang-undang
Nomor 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Peristiwa WTC yang dahsyat pada tahun 2001, membuat isu terorisme
menjadi agenda internasional yang penting untuk segera ditangani. Sebelum itu
terorisme yang terjadi di Indonesia diantaranya : Peledakan digedung Atrium
Senen tanggal 1 Desember 1998, Peledakan di Plaza Hayam Wuruk tanggal 15
April 1999, Peledakan di Masjid Istiqlal 1999, Peledakan di Gereja (GKPI) Medan
tanggal 28 Mei 2000, Peledakan di Gereja Katolik Medan tanggal 18 Mei 2000,
Peledakan di Rumah Dubes Filipina tanggal 1 Agustus 2000, Peledakan di Gedung
Atrium Senen (tanggal 1 Agustus 2001 dan tanggal 23 April 2001), Peledakan di
beberapa Gereja di Malam Natal (2000 dan 2001), kemudian tahun berikutnya aksi
terorisme yang terjadi yaitu Peledakan di Kuta-Bali tanggal 12 Oktober 2002,
Peledakan di Menado, November 2002, Peledakan di Mc Donald Makasar tanggal
5 Desember 2002, Peledakan di Hotel JW Marriot Jakarta, tanggal 5 Agustus
2003, Peledakan di depan Kedubes Australia di Jakarta tanggal 9 September 2004,
Peledakan Bom Bali II tanggal 1 Oktober 2005.
Pemerintah dalam menangani peristiwa-peristiwa tersebut menge-
luarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (perppu) Nomor 1 tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dan perppu akhirnya
ditingkatkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang Nomor 15 tahun
2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-
undang.
3. Ciri-ciri Terorisme.
47
Matrik perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak kekerasan
guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri - ciri terorisme adalah sbb:
a. Organsisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan. Organsisasinya merupakan
kelompok- kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanamnkan melalui
indoktrinasi dan latihan yang bertahun - tahun.
b. Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk
mencapai tujuan.
c. Tidak mengindahkan norma - norma yang berlaku, seperti agama, hukum ,dan
lain-lain.
d. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk
menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.
4. Karakteristik Terorisme
Dapat ditinjau dari 4 macam pengelompokan yaitu :
a. Karakteristik Organisasi yang meliputi : organisasi, rekrutmen, pendanaan dan
hubungan intemasional. Karakteristik operasi yang meliputi : perencanaan,
waktu, taktik dan kolusi.
b. Karakteristik Perilaku yang meliputi : motivasi, dedikasi , disiplin , keinginan
membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.
c. Karakteristik Sumber daya yang meliputi : latihan / kemampuan, pengalaman
perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.
5. Motif Terorisme.
Tindak Pidana terorisme merupakan tindak pidana yang unik, karena
motif dan faktor penyebab dilakuaknnya tindak pidana ini sangat berbeda dengan
motif-motif dari tindak pidana lain. Salahudin Wahid menyatakan bahwa terorisme
48
bisa dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan
ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan
diri dari ketidakadilan, dan karena adanya kepentingan.
Senada dengan yang dikemukakan oleh AC. Manullang53 menyatakan
bahwa pemicu terorisme adalah pertentangan agama, ideologi, dan etnis serta
makin melebar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Disamping itu,
tersumbatnya komunikasi antara rakyat dengan pemerintah, jumlah penduduk yang
melonjak tajam, makin panjangnya barisan pengangguran, jumlah generasi frustasi
yang makin meningkat, munculnya orang-orang kesepian, munculnya ideologi
fanatisme baru, dan paham separatisme merupakan ladang subur beraksinya
terorisme.
Teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kategori : rasional, psikologi dan budaya yang
kemudian dapat dijabarkan lebih luas menjadi :
a. Membebaskan Tanah Air. Pejuang - pejuang Palestina pada 15 Nopember
1988 memproklamasikan kemerdekaan-nya di Aljazair. Dalam mencapai
tujuan tersebut pada akhirnya PLO terbagi atas dua front yaitu front Intifada
dan gerakan radikal garis keras (HAMAS). Bagi negara Israel, PLO
bagaimanapun bentuknya digolongkan ke dalam kelompok teroris.
b. Memisahkan diri dari pemerintah yang sah ( separatis ). IRA (Irish
Republica Army) dengan segala bentuk kegiatannya dicap sebagai teroris oleh
pemerintah Inggris.
53 AC Manullang, Loc.cit, hal. 151
49
c. Sebagai protes sistem sosial yang berlaku. Brigade Merah Italia, yang
bertujuan untuk membebaskan Italia dari kaum kapitalis multinasionalis, oleh
pemerintah Italia dimasukkan ke dalam kelompok teroris.
d. Menyingkirkan musuh-musuh politik. Banyak digunakan Kadafi untuk
menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara mengirirnkan Dead Squad
untuk membunuh . Yang paling menonjol usaha membunuh bekas PM Libya
A. Hamid Bakhoush di Mesir yang menggunakan pembunuh-pembunuh
bayarandari Eropa.
6. Sifat Internasional dari Terorisme.
a. Melaksanakan tindakan kekerasan dengan melibatkan lebih dari satu negara.
Kasus pembajakan pesawat komersil tidak dapat ditangani oleh satu negara
saja.
b. Kekerasan yang menarik perhatian dunia. Aksi-aksi yang dilakukan oleh
gerakan teroris senantiasa akan mengundang publikasi yang luas.
c. Tidak memperdulikan kepen-tingan negara dimana aksi teror itu dilaksanakan.
7. Tujuan Terorisme.
Tujuan dari teroris dapat dibedakan menjadi tujuan jangka panjang dan
tujuan jangka pendek.
a. Tujuan jangka pendek.
1) Memperoleh pengakuan dari lokal, nasional maupun dunia internasional
atas perjuangan-nya.
2) Memicu reaksi pemerintah, over reaksi dan tindakan represif yang dapat
mengakibatkan keresahan di masyarakat.
50
3) Mengganggu, melemahkan dan mempermalukan pemerintah, militer atau
aparat keamanan lainnya.
4) Menunjukkan ketidak-mampu-an pemerintah dalam melin-dungi dan
mengamankan warganya.
5) Memperoleh uang ataupun perlengkapan.
6) Mengganggu atau menghancurkan sarana komunikasi maupun transportasi.
7) Mencegah ataupun menghambat keputusan dari badan eksekutif atau
legislatif.
8) Menimbulkan mogok kerja
9) Mencegah mengalirnya investasi dari pihak asing atau program bantuan
dari luar negeri.
10) Mempengaruhi jalannya pemilihan umum
11) Membebaskan tawanan yang menjadi kelompok mereka
12) Memuaskan atau membalaskan dendam.
Beberapa kelompok teroris menggunakan aksi-aksi teror yang bertujuan
jangka pendek tersebut untuk melemahkan pihak pemerintah untuk mencapai
tujuan jangka panjang mereka.
b. Tujuan Jangka Panjang
1) Menimbulkan perubahan dramatis dalam pemerintahan seperti revolusi, perang
sa- udara atau perang antar negara.
2) Menciptakan kondisi yang menguntungkan pihak teroris selama perang
gerilya.
51
3) Mempengaruhi kebijaksanaan pembuat keputusan baik dalam lingkup lokal,
nasional atau internasional.
4) Memperoleh pengakuan politis sebagai badan hukum untuk mewakili suatu
suku bangsa atau kelompok nasional.
8. Cara kerja jaringan terorisme international.
Dari fakta-fakta yang ada diketahui bahwa hubungan antara kelompok-
kelompok terorisme secara tertutup telah terjalin. Kerjasama antara kelompok
terorisme. Meskipun tidak ada konspirasi internasional yang jelas antar kelompok
terorisme, namun trend yang ada menunjukkan peningkatan kerjasama antara
kelompok teroris di dunia.Kerjasama ini meliputi bantuan dalam hal sumber daya,
tenaga ahli, tempat perlindungan bahkan partisipasi dalam operasi bersama.
Seiring dengan berkembangnya kerjasama antar kelompok teroris, efisiensi dari
operasional kelompok terorisme tersebut serta daerah operasional aksi terornya
juga meningkat.
Di beberapa negara tertentu pemerintah justru mendukung kerjasama
antar kelompok teroris ini. Mereka memberikan dukungan logistik, mengorganisir
pertemuan antar pimpinan dari kelompok yang berbeda serta memberikan bantuan
pelaksanaan operasi yang dilakukan. Pemerintah menganggap penggunaan
terorisme
ini sebagai alternatif dari perang konvensional. Pada intinya pemerintah
memanfaatkan kelompok teroris ini sebagai tentara cadangan mereka.Ada
beberapa peristiwa penting mengenai kerjasama antar kelompok teroris dunia
antara lain :
52
a. Pertemuan Di Badawi. Sesudah pertemuan di Badawi pada tahun 1971 yang
dihadiri berbagai perwakilan organisasi teroris Eropa dan Timur Tengah.
Menimbulkan kerja sama dalam pelaksanaan aksi teroris. ( Peristiwa serangan
lapangan terbang Tel Aviv, Mei 1972 )
b. Pertermuan Larnaca. Kerja sama yang di bangun dalam pertemuan di
Badawi dilanjutkan kemudian dengan pertemuan di Larnaca (Siprus) dalam
tahun1997 yang mengembangkan kerja sama taktis dalam hubungan saling
bantu dan saling memperkuat. Usaha tersebut diarahkan untuk menjamin
sukses yang lebih besar dalam aksi-aksi teror, karena disadari bahwa di
samping kemampuan masing-masing organisasi, dibutuhkan pula kerja sama
yang lebih luas dengan organisasi lain yang serupa.
c. Kasus pemboman Konsulat Amerika di Pakistan. Al Qaeda membayar
sejumlah teroris sektarian lokal Pakistan untuk merencanakan peledakan bom
di luar gedung Konsulat Amerika yang menewaskan 12 warga Pakistan (8 Mei
2002).
9. Operasi Teroris.
Operasi teroris biasanya dilaksanakan oleh elemen klandestin yang
dilatih dan diorganisir secara khusus. Tindakan pengamanan yang ketat biasanya
diberlakukan setelah sasaran operasi dipilih. Anggota tim biasanya tidak
dipertemukan sebelum pelaksanaan latihan pendahuluan sesaat sebelum berangkat
menuju sasaran. Pengintaian biasanya dilaksanakan oleh elemen atau personel
yang bertugas khusus sebagai intelijen khusus. Untuk memperbesar kemungkinan
keberhasilan pelaksanaan operasi lebih banyak serangan yang direncanakan dari
pada yang dilancarkan. Teroris senantiasa mencari dan mengeksploitir titik lemah
53
dari sasaran. Mereka seringkali menyerang sasaran yang tidak dilindungi atau
kurang pengamanannya. Karakteristik dari operasi teroris adalah kekerasan,
kecepatan dan pendadakan.
10. Metode.
Teroris biasanya beroperasi dalam hubungan unit kecil yang terdiri dari
personel yang terlatih menggunakan senapan otomatis ringan, granat tangan, bahan
peledak munisi, dan radio transistor. Sebelum pelaksanaan operasi teroris biasanya
berbaur dengan masyarakat setempat untuk menghindari deteksi dari aparat
keamanan. Setelah pelaksanan operasi mereka kembali bergabung dengan
masyarakat untuk memperbesar kemungkinan pelolosan mereka.
11. Taktik Teroris
a. Bom. Taktik yang sering digunakan oleh kelompok teroris adalah pengeboman
dalam dekade terakhir ini tercatat 67 % dari aksi teror yang dilaksanakan
berhubungan de-ngan bom.
b. Pembajakan. Pembajakan sa-ngat populer dilancarkan oleh kelompok teroris
selama periode 1960-1970. Pembajakan terhadap kendaraan yang membawa
bahan makanan adalah taktik yang digunakan oleh kelompok Tupamaros di
Uruguay untuk mendapatkan kesan Robinhood dan menghancurkan
propaganda dari pemerintah. Tetapi jenis pembajakan yang lebih populer saat
ini adalah pembajakan pesawat terbang komersil.
c. Pembunuhan. Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan masih
digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini seringkali telah
diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggung jawab atas pembunuhan yang
dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini biasanya adalah pejabat
54
pemerintah, pengusaha, politisi dan aparat keamanan. Dalam 10 tahun terakhir
tercatat 246 kasus pembunuhan oleh teroris di seluruh dunia.
d. Penghadangan. Penghadangan yang telah dipersiapkan jarang sekali gagal.
Hal ini juga berlaku bagi operasi yang dilaksanakan oleh kelompok teroris.
Aksi ini biasanya direncanakan secara seksama, dilaksanakan latihan
pendahuluan dan gladi serta dilaksanakan secara tepat. Dalam bentuk operasi
ini waktu dan medan berpihak kepada kelompok teroris.
e. Penculikan. Tidak semua peng-hadangan ditujukan untuk membunuh. Dalam
kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan lebih ditujukan
untuk menculik personil. Penculikan biasanya akan diikuti oleh tuntutan
tebusan berupa uang, atau tuntutan politik lainnya.
f. Penyanderaan. Perbedaan anta-ra penculikan dan penyanderaan dalam dunia
terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali memiliki pengertian
yang sama. Penculik biasanya menahan korbannya di tempat yang tersembunyi
dan tuntut-annya adalah berupa materi dan uang, sedangkan penyanderaan
berhadapan langsung dengan aparat dengan menahan sandera di tempat umum.
Tuntutan pe-nyanderaan biasanya lebih dari sekedar materi. Biasanya tuntutan
politik lebih sering dilemparkan teroris pada kasus pe-nyanderaan ini.
g. Perampokan. Operasi yang di-laksanakan oleh kelompok teroris adalah
sangat mahal. Untuk mendanai kegiatan mereka teroris merampok bank atau
mobil lapis baja yang membawa uang dalam jumlah besar. Perampokan bank
juga dapat digunakan sebagai ujian bagi program latihan personil baru.
h. Ancaman / Intimidasi. Merupakan suatu usaha, pekerjaan, kegiatan dan
tindakan untuk menakut-nakuti atau mengancam dengan menggunakan
55
kekerasan terhadap seseorang atau kelompok, di daerah yang dianggap lawan,
sehingga sasaran terpaksa menuruti kehendak pengancam untuk tujuan dan
maksud tertentu.
12. Pengaruh Terorisme
Mengacu pada aksi terorisme yang pa-ling faktual saat ini, yaitu Tragedi
World Trade Centre (WTC) di New York USA tanggal 11 September 2001, dapat
dirasakan pengaruh terorisme secara global yaitu :
a. Pengaruh pada Idiologi. Kaum fanatis/ radikal agama Islam di- tuduh
bertanggung jawab terhadap serangan gedung kembar WTC. Osama bin Laden
beserta organisasi AI-Qaeda dituduh sebagai kelompok yang anti kapitalisme
barat, berhasil meya-kinkan dunia intemasional tentang keberadaan
organisasinya dengan tujuannya menghancurkan Amerika sebagai simbol
kapitalisme negeri barat.
b. Pengaruh pada Agama. Jelas sekali dampak yang ditimbulkan oleh tragedi
WTC "Islam" sebagai agama disudutkan sebagai biang keladi semua kegiatan
terorisme yang berdampak pula kepada negara-negara Islam, termasuk negara
Indonesia disi-nyalir sebagai tempat bersembunyi dan pelatihan Al Qaeda.
c. Pengaruh pada Politik. Tanggapan pemerintah Amerika terhadap Tragedi
WTC, sudah sangat jelas bahwa jaringan teroris Osama bin Laden bersama
organisasi Al Qaeda adalah musuh utama mereka, dan lewat seruan politiknya
mereka minta dukungan dari negara lain yang mengental menjadi bentuk :
berdiri bersama Amerika atau menjadi lawan. Pasca tragedi WTC, tidak hanya
berdampak negatif terhadap negara kita, tetapi ada pula dampak positifnya,
bahwa dalam menangani masalah terorisme tidak bisa dilakukan secara
56
sendirian, tapi butuh kerjasama dengan negara-negara lain. Pemerintah
Amerika mulai membuka kran-kran bantuan luar negerinya terhadap
Indonesia, karena Amerika butuh kerjasama dengan Indonesia dalam rangka
memerangi terorisme.
d. Pengaruh pada segi Ekonomi. Kegiatan terorisme dalam bentuk pembajakan
pesawat memang sudah sering terjadi, tetapi tragedi WTC benar-benar
melahirkan semacam "trauma berpergian" dengan pesawat terbang bagi
sebagian kalangan masyarakat, tidak hanya di Amerika, tetapi juga dibelahan
dunia yang lain yang berakibat puluhan maskapai penerbangan menga-lami
kerugian bahkan sampai terjadi penutupan perusahaan penerbangan tersebut.
e. Pengaruh pada bidang Hankam. Terorisme dianggap musuh semua negara.
Amerika membentuk aliansi bersenjata untuk memburu Osama bin Laden dan
organisasi Al Qaeda. Aliansi yang dibentuk tersebut akhirnya menyerbu
Afghanistan dan menyebabkan jatuhnya pemerintahan Taliban. Dari uraian di
atas, nyata bahwa pengaruh aksi terorisme melampaui batas wilayah domestik
suatu negara karena memang terorisme tidak mengenal batas wilayah baik itu
aksi maupun dampak yang ditimbulkan54.
13. Tipologi Terorisme
Menurut Muladi, ada 5 Tipologi Terorisme yaitu :
54 Kolonel Inf Loudewijk F Paulus, Kopassus, Terorisme, www. Geoogle.co.id.
57
a. Politik; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan dengan kekerasan
yang didesain terutama untuk menimbulkan ketakutan di lingkungan
masayarakat dengan tujuan politis;
b. Terorisme non politik; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan
pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi;
c. Quasi Terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat insidental
untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya
menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur esensialnya.;
d. Terorisme Politik Terbatas; menunjuk kepada perbuatan terorisme
yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak merupakan
bagian dari suatu kampanye bersama untuk menguasai pengendalian
negara;
e. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism); terjadi di
suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan
Wilkison, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Permadi, ada tiga jenis
terorisme secara umum, yaitu :
a. Terorisme Revolusioner yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis
dengan tujuan akhir mewujudkan perubahan radikal dalam tatanan politik;
b. Terorisme subrevolusioner yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk
menimbulkan perubahan dalam kebijakan publik tanpa mengubah tatanan
politik
c. Terorisme Represif yaitu penggunaan kekerasan teroristik untuk menekan
atau membelenggu individu atau kelompok dari bentuk-bentuk perilaku
yang dianggap tidak berkenan oleh negara.
58
Terorisme terbelah menjadi dua yaitu State Terrorism (state
sponsored terrorism) dan Non State Terrorism State Terrorism atau state
sponsored terrorism merupakan bentuk terrorism by government. Terorisme
ini diintepre- tasikan sebagai suatu kegiatan atau alat yang digunakan
pemerintah (bertindak atas nama negara) sebagai sarana paksa untuk
menundukkan pihak lain, sehingga dapat diatur seperti yang dikehendaki
pemerintah. Motif paling dominan dalam state terrorism dalah motif politik
dan ekonomi, yaitu untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaan.
Terorisme jenis ini akan semakin berbahaya dan kokoh apabila act of teror
tersebut dibungkus dengan hukum.
State terrorism selalu terjadi pada setiap pemerintahan yang otoriter
dan represif. Artinya, pemerintahan tipe otoriter dan represif selalu
menggunakan instrumen teror untuk melakukan intimidasi terhadap siapapun
saja yang dianggap dapat mengusik kekuasaannya. Ketika stallin berkuasa di
Uni Soviet, ia menggunakan institusi polisi rahasia di bawah pimpinan Beria
untuk melancarkan teror dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan, penculikan
dan pembuangan ke Siberia terhadap puluhan juta orang yang dianggap
menentang sistem komunis diktator proletariat55. Kejadian lain seperti Hitler
dengan polisi rahasianya “Gestapo (Geheim State Polizei)” di bawah pimpinan
Himler, serta Mao Zedong dengan Kementerian Keamanan Publiknya juga
melakukan teror yang keji terhadap kelompok-kelompok yang dianggap
membangkang.
55 Abduh Zulfidar Akaha (ed), Terorisme dan Konspirasi Anti Islam, Pusata Al –Kautsar, Jakarta, h. 32
59
State Sponsored Terrorism juga dapat bersifat transnasional yaitu
suatu negara melakukan act of teror terhadap negara lain, atau memberi
bantuan perlindungan, perencanaan, persiapan terorisme yang dilakukan
terhadap negara lain.
Non State Terrorism merupakan terrorism against government,
merujuk pada setiap tindakan teror yang dilakukan baik secara individual
maupun kelompok (yang bukan negara) terhadap pihak lain (pemerintahan)
apapun motifnya. Termasuk dalam kategori ini adalah Brigade Merah di Italia,
Red Army Fraction di Jerman tahun 1960-an, gerakan Sikh di India, dan teror
gas beracun di jaringan kereta api bawah tanah di Tokyo56.
Berdasar pada ruang lingkup, latar belakang, motif, tipologi terorisme
yang mendorong dilakukannya tindak pidana terorisme, yang kenyataannya
berbeda dengan pelaku-pelaku kejahatan konvensionel, maka kebijakan
legislasi penanggulangannya perlu memperhatikan covering both side antara
sisi pelaku dan korban dalam perumusan kebiajkan kriminalnya.
Penanggulangan terorisme akan lebih baik, apabila sebelum langkah
penal ditempuh, diupayakan dahulu langkah-langkah alternatif non penal
lainnya. Kriminalisasi terorisme harus emmperhatikan kepentingan dua pihak
yaitu pihak pelaku dan pihak korban, karena terorisme bukanlah kejahatan
biasa. Terorisme lebih sering dilakukan karena motif politik, tindak pidana
dengan motif politik atau tindak pidana dengan tujuan politik.
Dengan demikian terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa
faktor, yaitu faktor psikologis, ekonomi, politik, agama, sosiologis dan faktor
56 Ali Masyhar, 2002, Kebijakan Penanggulanagan terorisme di Indonesia dalam Tesis, Semarang, hal 64
60
lain. Oleh karena itu, pembuat undang-undang harus pandai-pandai menjaga
keseimbangan antara empat kepentingan yaitu perlindungan korban, keamanan
nasional, “due process of law”, dan “international peace and security”57
B. PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME
DI INDONESIA
Saat ini sebagian besar teroris sudah diadili dan divonis dengan
menggunakan pasal-pasal yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
UU Nomor 1 Tahun 2002 jo Pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan pasal tersebut, Hakim telah
menjatuhkan putusan dengan vonis bervariasi di antaranya : mati, penjara seumur
hidup, dan penjara selama waktu tertentu maksimal 20 tahun.
Putusan Pengadilan yang menvonis pelaku tindak pidana Terorisme,
juga dapat menggunakan salah satu aturan hukum pada umumnya yaitu Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang meliputi pasal –pasal berikut :
a. Tindak Pidana Makar (Pasal 104 – 129 KUHP);
b. Tindak Pidana Kejahatan terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
(Pasal 146 – 152 KUHP);
c. Tindak Pidana Pembakaran, Ledakan atau Penghancuran Bangunan Fasilitas
Umum (Pasal 187 – 201 KUHP);
d. Penculikan (Pasal 328 – 331 KUHP);
e. Pembunuhan (Pasal 338 – 340, 359 KUHP)
57 Muladi, Undang-undang Peberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam Kerangka Hak Azasi Manusia, makalah disampaikan pada Kuliah Umum S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 21 April 2003, hal 6
61
f. Penganiayaan (Pasal 351 – 355 KUHP)
g. Pembajakan di Laut (Pasal 438-478 KUHP)
h. Pembajakan di Udara (Pasal 479a-479r KUHP)
Pelaku-pelaku Terorisme dapat dijerat Tindak Pidana Pembakaran,
Ledakan atau Penghancuran Bangunan Fasilitas Umum (Pasal 187 – 201 KUHP);
Pembunuhan (Pasal 338 -340, 359) KUHP); dan Penganiayaan (pasal 351-355
KUHP), selain itu juga dapat dikenakan dengan pasal 1 ayat (1) UU Nomor
12/DRT/1951 mengenai larangan membuat, menyimpan, memiliki, membawa dan
menggunakan bahan peledak58.
Undang-Undang Terorisme sebagai hukum khusus (lex Spesialis),
memiliki kelebihan-kelebihan bila dibanding dengan KUHP. Kekhususan ini telah
dikonstruksikan sejak awal dalam pembahasan RUU Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme di DPR. Kekhususan ini dikarenakan Tindak Pidana Terorisme
dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan perdaban. Terorisme juga
dianggap sebagai salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara
karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang
menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan
kesejahteraan masyarakat59.
C. PIDANA MATI PADA TINDAK PIDANA
TERORISME DALAM
58 Martitah, dkk,2003, 2007, Implementasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-I/2003 dalam Penegakan Hukum Terhadap Perkara Bom Bali. Hasil Penelitian. PKK Unnes.
59 Penjelasan Umum Perpu Nomor 1 Tahun 2002
62
RUU KUHP
RUU KUHP 2006 mengeluarkan pidana mati dari stelsel pidana pokok
dan mencantumkannya sebagai pidana pokok yang bersifat khusus atau sebagai
pidana eksepsional. Penempatan pidana mati terlepas dari pidana pokok dipandang
penting.
Pidana Mati dalam RUU KUHP 2006 diatur dalam :
Pasal 87 Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pasal 88 (1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu
tembak.(2) Pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka
umum.(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa
ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pasal 89 (1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10
(sepuluh) tahun, jika: a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu
penting; dan d. ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pasal 90
63
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Dalam Rancangan Undang-undang KUHP 2006 terdapat beberapa
macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain:
a. Pasal 215 tentang Tindak Pidana Makar; makar terhadap Presiden dan Wakil
Presiden, bunyinya ; Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud
membunuh atau merampas kemerdekaan Presiden atau Wakil Presiden, atau
menjadikan Presiden atau Wakil Presiden tidak mampu menjalankan
pemerintahan, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun.
b. Pasal 228 ayat (3) tentang Pengkhianatan terhadap Negara dan Pem- bocoran
Rahasia Negara; Jika perbuatan permusuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) benar-benar dilakukan atau perang benar-benar terjadi, dipidana dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
c. Pasal 237 tentang tindak Pidana Sabotase dan pada Waktu Perang, tercantum
dalam ayat (3) Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 5 (lima ) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
1) berkhianat untuk kepentingan musuh, menyerahkan kepada kekuasaan
musuh, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakai lagi suatu
tempat atau tempat penjagaan yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
perhubungan, suatu perbekalan perang atau suatu kas perang, ataupun suatu
64
bagian dari itu atau menghalang-halangi atau menggagalkan suatu usaha
tentara yang direncanakan atau diselenggarkan untuk menangkis atau
menyerang; atau
2) menyebabkan atau memudahkan huru-hara, pemberontakan, atau desersi
di kalangan tentara.
d. Pasal 244 tentang Terorisme dengan menggunakan bahan-bahan kimia; Setiap
orang yang menggunakan bahan-bahan kimia, senjata biologis, radiologi,
mikroorganisme, radioaktif atau komponennya untuk melakukan terorisme
dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
RUU KUHP 2006 pengaturan tindak pidana terorisme dalam Pasal 242
s/d 251 yang merupakan adopsi sepenuhnya terhadap ketentuan UU No. 15 tahun
2003 perbedaan mengenai ancaman pidana sepenuhnya didasarkan atas konsistensi
rambu-ramu pemidanaan yang telah disepakati oleh tim RUU KUHP60.
D. PANDANGAN ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA TERORISME
Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat
atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti
yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang
dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya
(Munajad, 2004: 2).
60 Muladi, 2005, Beberapa Catatan Terhadap Buku II KUHP, disampaikan dalam Sosialisasi RUU KUHP di Hotel Sahid tanggal 23 – 24 Maret 2005, www.djpp.depkumham. Go.id.
65
Kata jinayat untuk perbuatan yang berkaitan dengan jiwa atau anggota
badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. Dengan demikian istilah
fiqh jinayat sama dengan hukum pidana.
Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam dikenal empat macam jarimah
(kejahatan), yaitu hudud, qishosh diyat, dan ta'zir. Kejahatan Hudud adalah
kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam. Ia adalah
kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak mempengaruhi
kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan dengan hak
Allah. Kejahatan ini diancam dengan pidana hadd. Kategori berikutnya adalah
qishosh yang berada pada posisi di antara hudud dan ta'zir dalam hal beratnya
hukuman. Kategori terakhir adalah ta'zir yang merupakan hukuman paling ringan
di antara jenis-jenis pidana yang lain (Santoso, 2003: 22).
Jenis-jenis pidana baik dalam Hukum Pidana Indonesia maupun Hukum
Pidana Islam, kedua-duanya memberlakukan pidana mati dalam delik-delik pidana
(jarimah) tertentu. Berbicara tentang pidana tentunya tidak bisa terlepas dari
tujuan diberlakukan hukum pidana sendiri. Pembuat hukum tidak menyusun
ketentuan-ketentuan hukum dari syari'at tanpa tujuan apa-apa, melainkan di sana
ada tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian, untuk memahami pentingnya
suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu (Santoso,
2003: 18).
Dalam perspektif teori tentang aliran-aliran pemikiran hukum pidana,
tiga konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana sebenarnya
termanifestasi dalam tiga aliran pokok yang pernah berkembang dalam hukum
pidana. Tiga aliran tersebut adalah Aliran Hukum Pidana Klasik (Daad
66
Strafrecht), Aliran Hukum Pidana Modern (Daader Strafrecht), dan Aliran Hukum
Pidana Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht).
Peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di tanah air selama ini, bukanlah
jihad, dan karenanya para pelakukanya bukanlah syahid (martir) yang
mendapatkan ganjaran surga. Sebaliknya, para pelaku bom bunuh diri itu adalah
penjahat yang harus dikecam.
Dari sekian banyak pendapat, yang menarik perhatian adalah
pandangan Achmad Junaidi Ath Thayyibi, salah seorang ketua HTI, yang
mengatakan bahwa pelaku peledakan bom di Indonesia tak sesuai dengan hukum
Islam, sebab aksi-aksi itu hanya menyengsarakan rakyat sipil. Menurut dia,
dalam Islam, para pelaku teroris yang tertangkap harus dihukum potong tangan
atau disalib untuk mempermalukan para pelakunya.
Pandangan Ath Thayyibi itu penting, karena selama ini para tokoh
Islam cenderung ragu-ragu dalam mengambil sikap terhadap terorisme dan bom
bunuh diri. Bahkan sebagian di antara mereka tampak mendukung, khususnya
jika obyek pengeboman adalah tempat-tempat yang dianggap musuh Islam,
seperti pengeboman WTC di Amerika atau pengeboman kafe dan diskotek di
Bali.
Konsep jihad adalah sebuah konsep Islam yang sangat kabur karena
telah menjadi topik wacana berbagai kelompok Islam. Oleh kalangan moderat,
jihad diartikan bukan hanya perang, tapi juga berbagai aktivitas yang mengarah
kepada kebaikan. Pendidikan, pengobatan, serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya
yang dapat memberikan maslahat bagi masyarakat juga bisa dianggap sebagai
jihad.
67
Sementara itu, oleh sebagian aktivis Islam, jihad diartikan sebagai
perjuangan fisik bersenjata melawan musuh-musuh Allah. Tidak jelas benar apa
yang mereka maksudkan dengan “musuh-musuh Allah.” Tapi, dalam praktinya,
“musuh-musuh Allah” yang mereka maksudkan adalah tempat-tempat publik
yang secara langsung maupun tak langsung berkaitan dengan dunia Barat dan
kemaksiatan, seperti kedutaan besar asing (milik orang-orang Barat kafir), kafe-
kafe dan bar (berkaitan dengan maksiat).
Bagi kelompok yang terakhir ini, melakukan perusakan dengan
mengebom, termasuk dengan meledakkan diri, adalah bagian dari jihad.
Pengakuan para pelaku bom Bali I seperti Imam Samudra dan Amrozi, sangat
terang-benderang bahwa mereka melakukan hal itu karena panggilan jihad.
Dualisme makna jihad memang bukan persoalan baru. Dalam wacana
pemikiran Islam, ada dua makna jihad yang selalu dipertentangkan, yakni antara
jihad dengan cara-cara damai (silmi) dan jihad lewat peperangan (harbi).
Sepanjang sejarah Islam, kaum Muslim bersaing dalam memperebutkan kedua
makna ini. Sementara kaum “Muslim moderat” berusaha memberikan citra
positif terhadap istilah jihad, kaum “Muslim radikal” memberikan citra yang
keras dan cenderung negatif terhadap konsep ini.
Jihad Negatif. Menarik untuk dicatat bahwa sejak 50 tahun terakhir,
jihad dalam maknanya yang negatif, yakni peperangan, kekerasan, dan
terorisme, mendominasi wacana dan pentas politik kehidupan kaum Muslim di
seluruh dunia. Dari Mesir hingga Indonesia, kata “jihad” selalu digunakan dan
diasosiasikan dengan kelompok atau organisasi radikal.
68
Di Mesir ada kelompok “al-Jihad al-Islami” yang dikenal, salah
satunya, karena berhasil membunuh presiden Anwar Sadat; di Pakistan ada
“Harakat ul-Jihad-i-Islami” yang populer karena aksi-aksi kekerasannya; di
Indonesia ada “Laskar Jihad” yang dikenal karena keterlibatannya dalam konflik
agama di Ambon.
Di dunia Barat dan di dunia luar Islam secara umum, jihad dalam
pengertian negatif lebih sering ditemukan ketimbang yang positif. Bagi sebagian
orang-orang non-Muslim, jihad bahkan identik dengan perang dan kekerasan.
Kelompok-kelompok Islam keras yang menggunakan nama “jihad” pada
organisasi mereka tentu saja sangat berperan penting dalam mendistorsi makna
jihad. Tapi, pada hemat saya, mereka bukan satu-satunya elemen dalam
menyumbangkan makna pejoratif terhadap jihad. Para tokoh Islam garis keras
secara umum juga turut menyumbangkan citra negatif terhadap konsep ini.
Sebelum polisi menggrebek dan menembak mati gembong teroris
Azahari, misalnya, kita hampir tak pernah mendengar ada tokoh Islam garis
keras yang secara terbuka mengecam terorisme. Mereka bahkan cenderung
mendukung atau paling tidak menyetujui tindakan-tindakan pengeboman yang
terjadi. Sebagian dari mereka bahkan menyatakan bahwa itu adalah salah satu
bentuk jihad dalam melawan Amerika dan Barat.
Pertemuan kelompok-kelompok radikal dengan keputusan mereka
menyatakan bahwa terorisme dan bom bunuh diri bukan bagian dari jihad
merupakan sebuah langkah maju, meski sangat terlambat. Saya katakan
terlambat karena pernyataan ini dikeluarkan setelah begitu banyak peristiwa
kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan jihad.
69
Soal keterlambatan pernyataan itu juga mengundang kecurigaan
sebagian orang. Ada yang mencurigai bahwa kelompok-kelompok radikal itu
mengeluarkan pernyataan simpatik hanya alasan politis belaka, yakni untuk
“cuci tangan” agar mereka tak dikaitkan dengan kelompok Azahari dan para
teroris lainnya. Di tengah gencarnya polisi memburu para pelaku teroris,
kelompok-kelompok radikal sepertinya ingin mencari selamat dengan ikut-
ikutan mengecam para teroris.
Ada dugaan yang menyatakan, kematian Dr. Azahari menimbulkan
dendam para teroris sehingga akan meningkatkan aksi terorisme di Indonesia.
Pembalasan tidak terlalu berpengaruh dalam aksi terorisme, karena terorisme
adalah gerakan politis dan idiologis. Itulah yang harus kita perhatikan. Dr.
Azahari bukan figur idiologis, ia hanya orang yang expert membuat bom.
Terorisme sangat terkait dengan kondisi sosial-politik internasional. Terorisme
merespons situasi yang menurut mereka salah, seperti ketidakadilan global.
Mereka menunjuk kondisi Timur Tengah, terutama konflik Palestina-
Israel, dan Barat, terutama Amerika, yang selalu memihak kepada Israel. Itulah
yang mereka kecam dan dijadikan pembenaran atas tindakan mereka. Kemudian
“agresi” Barat atas negara-negara di Timur Tengah, seperti di Afghanistan dan di
Irak, meningkatkan intensitas kemarahan mereka kepada Amerika. Aksi-aksi
terorisme bertujuan membalas dendam atas tindakan negara-negara Barat
tersebut. Demikian juga dalam skala domestik, faktor ketidakadilan mempunyai
peranan yang sangat penting.
Ketidakadilan yang menimpa suatu kelompok masyarakat dieksploitir
oleh kelompok tertentu untuk membenci kelompok atau negara tertentu dengan
70
menjadikan agama sebagai “baju”. Jadi kuncinya adalah menangkap tokoh-tokoh
yang menganjurkan melakukan tindakan kekerasan, sampai dengan bom bunuh
diri, yang mereka sebut jihad. Padahal menurut para ulama pengertian jihad
bukanlah seperti itu.
Kalau terorisme itu adalah wujud dari perlawanan dari sebuah
ketidakadilan dan kemiskinan, musuh para teroris adalah orang-orang yang
mereka nilai telah menciptakan ketidakadilan di masyarakat. Musuh para teroris
bisa suatu negara tertentu, bisa juga pemerintahannya sendiri. Kita sudah
mengalaminya sendiri. JI adalah salah satu sempalan dari banyak faksi-faksi
gerakan radikal yang didasari pada radikalisasi idiologi keagamaan.
Gerakan ini sudah berumur lima puluh tahunan di republik ini. Dulu,
mereka merespons ketidakadilan di dalam negeri, seperti masalah kemiskinan,
sikap otoriter pemerintah, dan terpinggirkannya kelompok tertentu dari
panggung politik.
Revolusi informasi dan derasnya arus globalisasi serta menjamurnya
paham demokrasi, merupakan sebab yang sangat penting dalam menumbuh-
kembangkan aksi-aksi terorisme. Semua itu mereka anggap sebagai made in
Barat yang mengancam identitas kelompok mereka. Hal ini mereka sebut juga
sebuah ketidakadilan, mereka berkeyakinan bahwa mereka mempunyai ideologi
dan hukum-hukum sendiri tanpa harus mengimpor dari budaya lain, Barat.
Amerika menjadi musuh dan sasaran utama karena Amerika dianggap sebagai
polisi dunia yang sangat gencar menyebarkan paham demokrasi.
Mereka juga tidak senang dengan dominasi Amerika dalam setiap
bidang kehidupan, tapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
71
meruntuhkan hegemoni Amerika dengan cara-cara damai. Hal ini dapat kita
simak dari pengakuan Imam Samudra yang mengatakan bahwa jalan damai,
perundingan, dan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) adalan nonsense, sehingga
mereka bangkit dengan kemampuan yang mereka punya dan cara yang mereka
ketahui, salah satunya adalah dengan membuat bom dan meledakkannya.
Sebelum penghancuran WTC George W Bush tidak menyatakan
perang terhadap terorisme, tapi setelah para teroris berhasil menghancurkan
WTC, Bush langsung mengumandangkan lagu perang terhadap terorisme dan
melancarkan operasi meliter skala besar di Afghanistan dan di Irak untuk
memburu para teroris. Kemarahan para teroris pun bertambah, kemudian
mengaitkan “perjuangannya” dengan sejarah suram masa lampau, Perang Salib.
Mereka menamakan gerakannya sebagai “Perang Salib Baru”.
Kalau tujuan para teroris adalah menentang demokratisasi,
ketidakadilan, penjajahan ekonomi, mengapa mereka tidak melakukan aksinya di
Amerika? itulah yang menjadi misteri besar, sangat tidak logis membom bangsa
sendiri dan membunuh saudara sendiri untuk melawan Amerika. Ibarat kita
berperang menggunakan sebuah kapal, kita tidak menyerang kapal musuh, tapi
malah membom kapal kita sendiri.
Dalam menangani terorisme tidak cukup hanya dengan menangkap
para eksekutor bom saja. Imam Samudra dan kawan-kawan tidak sedih ketika
divonis mati, malah menganjurkan keluarganya untuk tidak mengajukan grasi ke
presiden, bahkan meminta hukuman matinya dipercepat. Kita harus bisa
menangkap tokoh-tokoh sentral yang menyebarkan idiologi radikal ini.
72
Aparat Kepolisian, Departemen Agama, MUI (Majelis Ulama
Indonesia), dan para tokoh agama diharapkan bisa mengeliminir paham
radikalisme. Pemerintah saat ini menggulirkan satu program bahwa polisi dan
instansi yang terkait harus bisa menangani, bahkan menangkap orang-orang yang
menyebarkan paham radikalisme agama jika mereka melanggar hukum.
Sebetulnya dalam RUU KUHP 2006 sudah ada hukumnya, bahwa
orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan di kalangan masyarakat
diancam dengan hukuman yang berat. Masalahnya, ada tantangan dari sebagian
masyarakat ketika polisi ingin menerapkan pasal itu. Mereka menganggap bahwa
hukum tersebut adalah hukum kolonial yang diterapkan untuk menekan laju
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan digunakan oleh Soeharto untuk
memberangus lawan politiknya.
Saat ini sebagian masyarakat menentang penerapan pasal tersebut
dengan dalih pelanggaran HAM. Untuk itulah perlu revisi-revisi atas hukum kita.
Zaman Orde Baru tidak banyak bom seperti ini, kehidupan bermasyarakat aman
dan tenteram, dan orang asing pun merasa nyaman tinggal di negeri ini. Dahulu
Indonesia adalah negara yang kuat dan ditakuti oleh para teroris atau kelompok
radikal. Banyak tokoh-tokoh radikal lari ke luar negeri, diantaranya adalah
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir.
Mereka melarikan diri ke Malaysia tahun 1985. Saat itu Indonesia
punya Undang-undang yang sangat keras sekali, yaitu UU Subversi. Namun
ketika reformasi bergulir tahun 1998 dan UU tersebut dicabut, kelompok-
kelompok radikal kembali lagi ke Indonesia. Sejak saat itulah Indonesia dilanda
bom.
73
Pencabutan UU Subversi ini adalah tuntutan dari gerakan reformasi
guna mengantarkan kita ke alam demokratis. Jadi apakah proses demokrasi,
yaitu pencabutan UU Subversi, menjadi boomerang bagi kita, alasan UU
Subversi dicabut karena dianggap melanggar HAM, tidak sesuai dengan jiwa
demokrasi. Orang tidak bebas mengeluarkan pendapat dan berwacana.
Demokrasi harus berjalan di atas pilar hukum. Tanpa ada hukum yang
mengatur tegas hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak, demokrasi tidak
akan berjalan sehat. Demokrasi yang berjalan saat ini sudah kebablasan,
kebebasan berpendapat yang menjurus pada pelegalan orang menganjurkan
kebencian, permusuhan, bahkan sampai pada tingkat terorisme.
Memang hukum tidak boleh memberikan kewenangan kepada
pemerintah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar HAM dan hak-hak
demokratis warga negaranya, tapi kita harus sadar bahwa tanpa adanya batasan
tegas dalam berdemokrasi, akan membuat demokrasi tidak akan berjalan sehat,
bahkan condong mengarah pada anarkisme.
Operasionalisasi dari UU tersebut mendapat tantangan yang keras dari
masyarakat sehingga tidak bisa berjalan dengan baik, sangat tergantung dari
keberanian dari aparat penegak hukum. Penegakan hukum tidak berjalan di
ruang hampa, tapi berjalan dengan dinamika kehidupan politik kita. Polisi
bekerja sudah berdasarkan undang-undang, tapi masih saja dikecam, misal
menangkap orang yang dicurigai selama tujuh hari.
Jadi terorisme tidak identik dengan Islam dan aktivis-aktivis Islam
sebagaimana opini yang berkembang, teroris tidak identik dengan salah satu
agama atau bangsa tertentu. Teroris adalah teroris dan tidak bisa dikaitkan
74
dengan agama tertentu. Teroris menggunakan agama sebagai tameng untuk
membenarkan tindakan mereka.
Tidak salah jika dikatakan bahwa mereka telah membajak agama atau
memperalat agama. Artinya, mereka menggunakan dalil-dalil agama atau nilai-
nilai radikal agama untuk melegitimasi aksi-aksi mereka. Padahal mereka keliru
salah memahami ajaran agama. Menurut KH. Hasyim Muzadi. jihad bukanlah
bom bunuh diri, ini adalah sebuah pemahaman yang keliru dan jauh dari
pengertian dan makna jihad..
Justru merekalah yang penghancur agama. Ada beberapa buku yang
mengkritik pemahaman keagamaan para teroris, salah satu buku berjudul Jamaah
Islam Merusak Islam yang ditulis oleh para ulama kita (Judul Bukunya “Jamaah
Islamiyah Meracuni Islam”, penulisnya adalah Moh. Abdus Salam, penerbit
Inqilab Press, Jakarta 2003-red) Tapi kerancuan tetap terjadi di masyarakat,
termasuk di beberapa kalangan penegak hukum di tingkat operasional, beberapa
orang aktivis Islam menjadi sasaran dalam memberantas terorisme.
Pemahaman bahwa para teroris bukan pejuang dan memperjuangkan
agama, tapi merusak agama dan citranya, teroris bukan pembela agama, tapi
musuh agama yang harus diperangi bersama-sama. Peran media sangat besar
sekali dalam membentuk opini publik semacam ini. Banyak sekali opini-opini
yang terbentuk menambah resistensi masyarakat terhadap tindakan pemerintah
dalam memerangi terorisme.
75