Post on 23-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) sebagai tubuh Kristus adalah salah satu
denominasi gereja tertua dan terbesar di Sumatera Utara yang kantor pusatnya berada di
Pearaja Tarutung, Tapanuli Utara. HKBP berdiri sejak tahun 18611 dengan mayoritas
jemaat adalah masyarakat suku Batak Toba, masyarakat yang menganut tatanan paham
patriarkhi.2 Sejak tahun 2002, HKBP memiliki visi,misi dan tujuan yangtercantum dalam
pembukaan AP HKBP 2002. Visi, misi dan tujuan HKBP dicantumkan dalam AP HKBP
2002 tersebut adalah untuk menjawab kekeliruan atas dasar-dasar iman yang
mengakibatkan HKBP menjadi eksklusif.
Sesungguhnya seringkali sebuah kekeliruan terjadi bukan karena disengaja, bukan
pula karena ada motivasi untuk merusak. Ada kalanya kekeliruan itu terjadi karena
perbedaan penafsiran dan situasi zamannya. Situasi seperti ini bisa saja terjadi dalam
konteks pelayanan gereja. HKBP sebagai tubuh Kristus, juga tidak luput dari
problematika seperti ini. Pemahaman teologi yang didasarkan kepada iman dan
penghayatan akan firman Tuhan, ada kalanya akan berbenturan dengan perbedaan
penafsiran. Hal ini lumrah, mengingat gereja adalah persekutuan orang percaya di segala
tempat, di segala zaman dan di segala waktu. Gereja adalah sebuah persekutuan lintas
generasi. Pemahaman teologis di masa generasi tertentu bisa saja berbeda dengan
generasi sesudahnya. Ini adalah konsekuensi realita bahwa setiap generasi adalah anak
zamannya sendiri.3
1 Tim Perumus , Almanak HKBP 2013, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2013), h. 513
2Menurut Rosemary Radfort Ruether, masyarakat patriarkhi adalah masyarakat di mana bapak
menjadi dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara
keseluruhan. Lihat Lisa Isherwood & Dorothea McEwan Ruether, setidaknya ada 6 kriteria/ciri masyarakat
patriarkhi : Pertama, garis keturunan mengikuti ayah; kedua, suami memiliki kekuasaan atas istri, termasuk
hal memukul dan menganiaya, bahakan menjual istri dalam perbudakan; ketiga, anak laki-laki lebih disukai
daripada anak perempuan; keempat, peran perempuan umumnya terbatas pada ketrampilan rumah tangga,
bukan dalam politik dan budaya, kelima, sebagai istri, tubuh, seksualitas dan kemampuan reproduksi
perempuan dimiliki oleh suaminya dan keenam, hak untuk menerima warisan sebagai janda dan anak
perempuan sangat dibatasi. Lih. Rosemary Radford Ruethes, The Dictionary of Feminist
Theologies,(Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press, 1966), h. 85 3
Bonar Napitupulu, Beberapa catatan tentang beberapa topik pemahaman Teologi HKBP,
(Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2012), h. xvi
@UKDW
2
Tidak dapat dipungkiri, kesadaran untuk mencetuskan visi HKBP tersebut, adalah
karena kesadaran akan kekeliruan yang terjadi dalam konteks pelayanan HKBP, serta
kesadaran akan sejarah perjalanan dan pelayanan HKBP yang senantiasa dikaitkan
dengan ke-Batak-an sehingga terkesan eksklusif. Kata Batak pada HKBP itu telah
menjadikan HKBP selama ini eksklusif, sehingga kecenderungannya hanya
mengakomodasi suku Batak saja. Eksklusivisme HKBP tidak hanya berasal dari
keberadaannya sebagai gereja suku Batak melainkan juga merupakan warisan teologi para
misionaris yang dididik dalam gerakan-gerakan kebangunan rohani dan pietisme abad 19
yang pemahamannya eksklusif. Ulrich Beyer dalam ceramah Tema rapat Pendeta HKBP
tahun 2005, mengatakan bahwa : “ungkapan HKBP adalah HKBP”, juga lahir dari jiwa
dan semangat eksklusivisme yang menimbulkan kecenderungan menilai di luar HKBP,
tidak ada kebenaran. Eksklusivisme ini juga menimbulkan ketertutupan HKBP terhadap
pembaharuan.4
Sesuai dengan perkembangan zaman perjalanan panjang HKBP dalam
pelayanannya, kemudian menimbulkan kesadaran untuk merumuskan dan menata aturan
dan peraturan HKBP demi membongkar pemahaman tentang gereja HKBP yang eksklusif
tersebut. Oleh sebab itu, dalam aturan dan peraturan HKBP 2002 terpatrikan visi, misi
dan tujuan HKBP, sebagai berikut :
Bahasa Indonesia :
HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan terbuka, serta
mampu dan bertenaga mengembangkan kehidupan yang bermutu di dalam kasih
Tuhan Yesus, bersama-sama dengan semua orang di dalam masyarakat global,
terutama masyarakat Kristen, demi kemuliaan Allah Bapa yang Maha Kuasa.5
Bahasa Batak Toba :
HKBP mangerbang gabe huria na inklusif, dialogis jala ungkap huhut marhatauon
jala marhagogoon pahembangkon parngoluon na marmutu di bagasan holong ni
Tuhan Jesus Kristus, rap dohot sude halak di bagasan masyarakat global, tarlumobi
masyarakat kristen, asa gabe hasangapon di Debata Ama Pargogo na so hatudosan.6
4 Ulrich Beyer,” Pendeta HKBP Terpanggil Membaharui Diri dalam Rangka Memberdayakan Warga
dan Massyarakat di Tengah Era Globalisasi, Notulen Rapat Pendeta HKBP Tahun 2005, (Tarutung : Kantor
Pusat HKBP, 2005), h. 231 5 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, (Tarutung : Kantor Pusat HKBP, 2002), h. 95
6Ibid., h. 3
@UKDW
3
Untuk mengerti dan memahami lebih detail tentang visi HKBP di atas, perlu lebih dahulu
memahami kata-kata kunci dalam visi tersebut dengan sebaik-baiknya. Kata-kata kunci
dalam visi tersebut, ialah :7
a. Berkembang menjadi = menyatakan bahwa pencapaian visi ini adalah suatu proses
berjangka panjang dan yang penuh harapan.
b. Inklusif = tidak eksklusif, dalam arti bukan hanya bagi suku Batak, tetapi juga bagi
suku-suku dan bangsa-bangsa lain; bukan lagi hanya di tanah Batak atau Indonesia,
tetapi di seluruh dunia; bukan lagi hanya berbahasa Batak Toba tetapi juga berbahasa
lain.
c. Dialogis = mampu dan ingin berkomunikasi serta bergaul dengan semua orang,
golongan, suku dan bangsa dalam masyarakat global, termasuk sesama umat
beragama; di samping itu juga mengutamakan dialog dalam mengatasi masalah dalam
berbagai pelayanan gerejawi; dalam organisasi dan kepemimpinan serta pelayanan
selalu mengutamakan kebersamaan melalui tim kerja (team work) dan bukan birokratis
– sentralistis dan mengutamakan manajemen berbasis jemaat, bukan manajemen
berbasis pimpinan.
d. Terbuka = tidak menutup diri terhadap perubahan zaman yang berpengaruh pada
kebutuhan jemaat dan masyarakat, tetapi dapat menerima perubahan untuk
peningkatan mutu pelayanan gerejawi sesuai dengan firman Tuhan; selalu berpegang
pada prinsip transparansi ( keterbukaan) dalam pengelolaan berbagai pelayanan
terutama pengelolaan keuangan.
e. Kehidupan yang bermutu = kehidupan yang sesuai dengan perkembangan zaman dan
kehendak Allah.
f. Bersama-sama = mengutamakan kebersamaan yang sehati, sepikir, baik dalam jemaat
maupun dalam pergaulan dalam masyarakat Indonesia dan global; juga mengutamakan
kepentingan bersama, bukan kepentingan diri sendiri; dan mengutamakan pelayanan,
bukan kehormatan diri atau jabatan.
g. Untuk kemuliaan Allah Bapa Yang Maha Kuasa = kehidupan HKBP, dalam arti semua
pelayanannya adalah untuk kemuliaan Tuhan.
Dengan adanya visi seperti yang tertera di atas, HKBP juga menetapkan misi yang
harus dilaksanakan HKBP dalam rangka mencapai visi tersebut, yakni :
7 Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, (P. Siantar : L-SAPA, 2008), h. 146-147
@UKDW
4
Berusaha meningkatkan mutu segenap warga masyarakat, terutama warga
jemaat HKBP, melalui pelayanan-pelayanan gereja yang bermutu agar
mampu melaksanakan amanat Tuhan Yesus dalam segenap perilaku
kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun kehidupan bersama segenap
masyarakat manusia di tingkat lokal dan nasional, di tingkat regional dan
global dalam menghadapi tantangan abad-21.8
Dalam Aturan Peraturan HKBP 2002 sangat jelas dinyatakan, bahwa HKBP dalam
mewujudkan visi dan misi HKBP berpegang teguh pada prinsip : 1) melayani, bukan
dilayani (Mrk. 10:45), 2) Menjadi garam dan terang (Mat. 5 :13-14), 3) Menegakkan
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (Mrk 16:15, Luk 4 : 18-19).9Selanjutnya,
dalam Aturan Peraturan HKBP 2002, bab II pasal 2, dikatakan, bahwa HKBP adalah satu
wujud nyata tubuh Kristus yang mencakup segenap orang percaya dan bersaksi di
seluruh dunia.10
Dari penjelasan di atas, terlihat jelas identitas gereja HKBP adalah
terbuka, universal (Am) dan Inklusif.11
Namun dalam kenyataannya, gereja HKBP masih
dalam proses menjadi gereja yang terbuka, universal dan inklusif.
Setelah 12 tahun visi HKBP lahir dan dicantumkan dalam AP HKBP, maka
tembok-tembok eksklusivisme dan rohnya sudah selayaknya hancur serta runtuh dari
seluruh aras pelayanan HKBP. Sejak lahirnya visi ini, HKBP sudah seharusnya
menghancurkan serta meruntuhkan pemahaman, stereotipe, tradisi dan sebagainya, yang
masih mendukung adanya tembok pemisah antara pendeta laki-laki dan pendeta
perempuan di HKBP. Sudah selayaknya,HKBP terhindar dan jauh dari pola hidup yang
memarginalkan.
Visi HKBP ini, adalah merupakan suatu impian yang harus diwujudnyatakan dalam
seluruh aras pelayanan HKBP. Harapan supaya gereja HKBP sungguh-sungguh
mengembangkan pelayanan yang bersifat menyeluruh (“holistic ministry”) dengan
melibatkan warganya yang plural itu. Gereja HKBP sungguh-sungguh siap menyambut
pelayanan pendeta perempuan di dalam struktur dan dalam segala aras pelayanan di
HKBP. Akan tetapi nampaknya, pendeta perempuan di HKBP masih hidup dalam suasana
dilematis. Hal ini terbukti dari minimnya pendeta perempuan yang ditempatkan pada
8 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002, h. 92-93
9 Darwin Tobing, Teologi Kehidupan Terkini, h. 96
10 Tim Perumus, Aturan dan Peraturan HKBP 2002, h. 100
11 Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia,
Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka” dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005,
(Tarutung : kantor Pusat HKBP, 2005), h. 255
@UKDW
5
posisi pengambil keputusan, bahkan dalam unsur pimpinan pusat HKBP belum ada
pendeta perempuan dan pimpinan dalam pelayanan yang non struktural di HKBP.
Selain itu, suasana dilematis terhadap keberadaan dan kepemimpinan pendeta
perempuan di HKBP adalah dengan masih adanya pemahaman dan sikap penolakan
warga jemaat terhadap pendeta perempuan. Pemahaman bahwa pelayan laki-laki sebagai
pelayan ideal dalam gereja telah tertanam dalam pikiran jemaat sejak lama dan
diwariskan secara turun temurun. Pendeta perempuan itu, kurang berwibawa. Jika
pendeta perempuan hamil dan melahirkan, bagaimana dengan pelayanannya di jemaat.
Bagaimana dia melayani jika medan pelayanannya, dengan jarak yang jauh dan tidak
didukung oleh infrastruktur yang baik, jalannya sulit dan sunyi, atau bagaimana dia
melayani pada malam hari. Wah... pelayan perempuan itu repot.12
Resistensi terhadap
pelayan perempuan terkadang justru datang dari kaum ibu dalam jemaat itu sendiri.
Paham patriarkhi yang telah tertanam dalam alam pikiran jemaat dan diwariskan secara
turun temurun, sangat berpengaruh dalam hidup pelayan gereja, sehingga jemaat lebih
senang jika pelayan mereka adalah laki-laki. Hal ini sangat bersesuaian dengan cara pikir
dari teolog Thomas Aquinas, yang menganggap, bahwa hanya seorang laki-laki yang
dapat mencerminkan “gambar dan citra” Allah.13
Ini adalah ironi dalam perjalanan dan
perjuangan yang panjang untuk meruntuhkan dominasi paham patriarkhi, untuk
mengupayakan kesetaraan gender dalam pelayanan pendeta perempuan dalam gereja
HKBP.
Dari realita di atas dan ditambah dengan pengalaman pribadi penulis sebagai
Pendeta perempuan di HKBP, ada sebuah kegelisahan bahwa sesuai dengan visi HKBP
yang mengatakan bahwa, HKBP berkembang menjadi gereja yang inklusif, dialogis dan
terbuka. Seharusnya pendeta perempuan tidak perlu lagi mengalami berbagai hambatan
dalam mengembangkan pelayanannya dalam struktur HKBP dan dalam aras
pelayanannya sebagai pendeta HKBP, apabila seluruh pelayan dan jemaat di HKBP dapat
menerima dan menerapkan visi dan misi HKBP 2002 secara murni dan konsekwen.
Memang harus diakui bahwa implementasi visi HKBP terhadap keberadaan dan
kepemimpinan pelayan pendeta perempuan di HKBP, sebenarnya belum begitu terasa.
12
Pengalaman seorang Pendeta perempuan yang ditolak melayani sebagai Pendeta Ressort di salah
satu gereja HKBP di daerah pedesaan. 13
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita Dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta :
Kanisius, 1992 & Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1992), h. 81
@UKDW
6
Hal ini disebabkan HKBP masih pertama sekali memiliki visi tersebut. Visi ini belum
cukup dikenal dan dipahami oleh warga jemaat dan bahkan para pelayan di HKBP,
sehingga visi ini, belum betul-betul meresap dalam segala aras pelayanan di HKBP.
Di samping itu juga, sosialisasi visi HKBP ini terhadap pelayan dan warga jemaat di
HKBP, kurang begitu intens dilakukan, sehingga di dalam seluruh aras pelayanan HKBP,
visi ini belum begitu dirasakan implementasinya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan atas
visi HKBP ini masih terbatas pada kalangan birokrat gereja. Pada hal, visi ini adalah visi
yang harus disosialisasikan hingga aras warga jemaat serta dalam seluruh aras pelayanan
di HKBP, karena visi ini sangat bermanfaat untuk membantu HKBP dalam
memperbaharui diri, keluar dari sikap yang eksklusif menjadi inklusif.
Melihat permasalahan yang ada di atas, maka penulis mencoba memberi
sumbangan dari pemahaman Paulus terhadap gereja sebagai tubuh Kristus dalam 1
Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, dalam upaya memahami makna visi inklusivitas
HKBP. Dengan pemahaman yang benar tentang gereja sebagai tubuh Kristus akan
mempermudah implementasi visi tersebut pada seluruh aras pelayanan di HKBP secara
khusus terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP.
Walaupun tidak secara implisit dinyatakan bahwa visi inklusif HKBP merupakan
implementasi dari surat Paulus ke jemaat Korintus, seperti tertulis dalam 1 Korintus
12:12-31 dan Galatia 3:28, namun dalam perjalanannya, pemahaman teologis rasul Paulus
ini banyak mempengaruhinya. Pemahaman Paulus mengenai gereja sebagai tubuh kristus
(1 Korintus 12:12-31), adalah barangkali gambaran yang paling kuat mengenai
persekutuan orang percaya dalam satu tubuh. Gambaran tubuh yang terdiri dari berbagai
organ tubuh yang berbeda-beda, menentang perasaan rendah diri di satu pihak (1 kor 12 :
21-25) dan di pihak lain menentang perasaan congkak. Masing-masing anggota tubuh
mempunyai fungsi dan tidak ada yang hanya menjadi penonton. Setiap anggota menjadi
partisipan aktif dalam hidup, pelayanan, persekutuan dan pembangunan gereja. Perbedaan
yang ada adalah melulu dalam pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang
satu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain. Mereka saling bertautan satu sama lain.
Kekuatan dan kecenderungan dari gambaran satu tubuh ini bukan saja adalah pengakuan
“singleness” tetapi juga “pluralism”.1 Korintus 12:12-31 ini didukung dengan tulisan
@UKDW
7
Paulus dalam Galatia 3:28, yang mengatakan tidak ada perbedaan laki-laki dan
perempuan. 14
Selanjutnya Robinson mengatakan bahwa komunitas Kristen sekarang dihadapkan
dengan kesadaran akan keberadaan dan tuntutan yang sangat beragam di antara
anggotanya: menuntut lebih banyak keterbukaan dalam kaitannya dengan gender,
perbedaan seksual atau pengertian feminisme dalam arti “equality” dan bukan lagi
subordinasi, termasuk dalam pembagian kekuasaan. 15
Berdasarkan hal tersebut, maka menurut penulis, pemahaman Paulus tentang gereja
sebagai tubuh Kristus dapat bermakna dan bahkan dalam wujudnyata visi HKBP,sehingga
pendeta HKBP memperoleh kesadaran bahwa perbedaan yang ada adalah melulu dalam
pengertian fungsional, bukan dalam arti kualitatif yang satu lebih tinggi atau lebih rendah
dari yang lain. Oleh karena itu penulis, memilih 1 Korintus 12:12-32 dan Galatia 3:28,
untuk dikaji secara kritis, sehingga jelas terlihat fungsi teks dalam memahami visi HKBP.
Berdasarkan uraian deskripsi di atas, penulis termotivasi untuk melakukan
penelitian dengan judul: “VISI HKBP DIPERHADAPKAN DENGAN
KEBERADAAN PENDETA PEREMPUAN DI HKBP”. (Suatu Studi Exegetis Kritis
Pandangan Paulus dalam Surat 1 Korintus 12-12-31 & Galatia 3 : 28, Diperhadapkan
Dengan Keberadaan Pelayanan dan Kepemimpinan Pendeta Perempuan di HKBP)
II. Rumusan Masalah
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pendeta HKBP, bahwa implementasi visi
HKBP khususnya mengenai pendeta perempuan belum berjalan dengan baik, karena itu
penulis sangat terdorong untuk menggumuli masalah ini, berdasarkan studi exegetis kritis
1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dengan memakai hermeneutika feminis. Bertolak
dari latar belakang masalah di atas, maka masalah pokok yang dapat dirumuskan dalam
tulisan ini adalah sebagai berikut: “Apakah HKBP telah mengimplementasikan visi
HKBP khususnya mengenai kesetaraan gender terhadap pendeta perempuan di
HKBP?”
14
Robinson Rajagukguk, Pendeta HKBP Menjadi Pelayan Yang Menghayati Pelayanan Koinonia,
Marturia, Diakonia Yang Inklusif, Dialogis dan Terbuka” dalam Notulen Rapat Pendeta HKBP tahun 2005,
h. 246 15
Ibid , h.247
@UKDW
8
III. Pertanyaan Penelitian
Untuk meneliti lebih dalam maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di
HKBP?
2. Bagaimana pandangan budaya Batak tentang pelayanan dan kepemimpinan
perempuan?
3. Bagaimana studi kritis 1 Korintus 12 : 12-31 dan Galatia 3:28 berdasarkan
hermeneutik feminisyang menjadi landasan teologis mengimplementasikan visi
HKBP tersebut.
IV. Tujuan Penelitian
Bertolak dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
- Agar HKBP mengetahui sejauh mana sosialisasi dan pengimplementasian visi
HKBP tersebut.
- Mengetahui dampak implementasi visi HKBP khususnya dalam kesetaraan gender
di HKBP.
V. Kegunaaan Penelitian dalam
Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat untuk :
- Memberikan masukan dan pemikiran kepada HKBP dalam rangka
mengimplementasikan visi HKBP, terhadap pendeta perempuan.
- Memberikan semangat dan dorongan bagi pendeta perempuan HKBP, untuk
mengembangkan diri demi mencapai posisi strategis di HKBP.
- Memberikan sumbangan/kontribusi pemikiran dari hasil studi exegetis kritis
berdasarkan hermeneutik feminis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28,
dalam rangka mengimplementasikan visi HKBP tersebut.
VI. Batasan Masalah
Meskipun ketidakadilan dan diskriminasi akibat struktur HKBP, bisa terjadibaik
pendeta laki-laki maupun pendeta perempuan di HKBP. Namun, tulisan ini difokuskan
pada penelitian tentang ketidakadilan dan diskriminasi yang terjadi terhadap keberadaan
dan kepemimpinan pendeta perempuan, oleh karena yang menduduki jabatan dalam
@UKDW
9
struktur HKBP didominasi oleh pendeta laki-laki. Dalam masyarakat Batak Toba,
pembeda-bedaan antara laki-laki dan perempuan masih sangat kuat,hal ini juga
mempengaruhi kehidupan dan pelayanan di gereja HKBP. Oleh karena itu, sumbangan
teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28, sangat diharapkan untuk
menyadarkan semua pihak, baik semua pendeta maupun warga jemaat HKBP tentang
karunia-karunia yang berbeda-beda, yang dimiliki setiap anggota jemaat dapat
dipergunakan dalam pembangunan gereja sebagai tubuh Kristus. Esensi studi ini ialah,
untuk memberikan sumbangan pemikiran teologis dari nas 1 Korintus 12:12-31 dan
Galatia 3:28, untuk mendapatkan pemahaman bahwa setiap warga jemaat dapat
mempergunakan karunia-karunia masing-masing untuk membangun tubuh Kristus. Setiap
warga jemaat dapat mengekspresikan diri dalam pelayanan dan kepemimpinan di gereja
sebagai tubuh Kristus, tanpa membeda-bedakan laki-laki maupun perempuan, karena
semua mereka adalah anggota tubuh Kristus. Karena itu, dalam penelitian atau pengkajian
teks digunakan metode penafsiran historis kritis dengan memakai hermeneutika feminis.
VII. Metodologi Penulisan
Di satu pihak, tulisan ini merupakan suatu studi exegetis kritis yang didasarkan pada
hermeneutik feminis namun di pihak lain, berusaha mendeskripsikan dan mengkaji
implementasi visi HKBP terhadap pelayan pendeta perempuan di HKBP. Maka metode
penelitian yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan observasi
partisipatoris. Terkait dengan bagian exegetis surat Paulus, maka metode penulisan yang
digunakan adalah penafsiran Alkitab dengan metode penafsiran historis kritis
berdasarkan hermeneutik feminis. Metode penafsiran historis kritis merupakan satu cara
sistematis untuk menafsirkan sebuah teks, guna memperoleh pemahaman yang tepat dan
memadai mengenai teks tersebut.16
Namun dalam metode penafsiran historis kritis
tersebut, penulis mempertimbangkan sudut pandang perempuan. Meskipun pengalaman
dan pemahaman perempuan dipertimbangkan dalam penggalian teks tersebut, namun hal
itu tidak akan mengurangi kekritisan dalam menganalisis dan memahami teks. Sebaliknya
pengalaman dan pemahaman perempuan tersebut merupakan alat bantu untuk
menganalisis dan memahami teks. Penafsiran historis kritis secara metodologis
menggunakan metode penelitian sejarah, yaitu dengan melakukan rekonstruksi sejarah
16
John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman Penafsiran Alkitab, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,
1988), h. 24
@UKDW
10
untuk memperkenalkan dan menggambarkan makna yang dimiliki teks sebagaimana
adanya di dalam konteks sejarah kekristenan mula-mula, sehingga dapat dipahami sebagai
penyataan masa kini. 17
Secara khusus sejarah Alkitab memiliki dua aspek yang harus diteliti, yaitu : 1)
Alkitab memiliki sebuah sejarah yang disusun di dalam kerangka sejarah Israel dan
sejarah kekristenan mula-mula. 2) Alkitab juga menceritakan sebuah sejarah yang usianya
lebih awal daripada Alkitab itu sendiri. Di samping itu penulisan sejarah Alkitab juga
memperlihatkan kompleksitas Alkitab. Penulisan ini menjelaskan kepelbagaian pemikiran
dan tindakan yang muncul dalam kehidupan Israel dan gereja, baik dari prespektif politik,
sosial, maupun agama. Oleh karena itu, penelitian terhadap Alkitab bukan hanya mencari
apa yang unik dalam Alkitab, tetapi juga menjelaskan rekonstruksi peristiwa sebagai cara
untuk memahami berbagai pemikiran dan tindakan yang muncul dan berkembang di
dalam sejarah Israel dan gereja di berbagai waktu dan tempat. 18
Dalam metode penelitian historis kritis perlu dilakukan penelitian dan evaluasi
terhadap sumber-sumber sejarah. Dalam proses ini ada dua hal yang perlu dilakukan : 1)
External Criticism, perlu dilakukan pengujian terhadap keabsahan saksi mata untuk
mempertimbangkan kredibilitas seseorang dan apakah peristiwa yang disampaikan tidak
cacat. 2) Internal criticism, tugas kritis dimulai dari teks sebagai suatu kesaksian tentang
pengalaman dan tindakan manusia di masa lalu. Langkah selanjutnya adalah evaluasi
terhadap posisi penulis, secara khusus mengenai konsistensi internalnya, bias yang ada
padanya dan kemampuan serta keakuratannya dalam melaporkan apa yang dia ketahui.19
Melakukan studi exegetis kritis terhadap 1 Korintus 12 : 12-31 dan Galatia 3:28
dengan memakai hermeneutik feminis dalam tulisan ini, berarti mencoba menggali makna
kesatuan tubuh Kristus dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis
berdasarkan prinsip-prinsip/ nilai-nilai feminis.
Penulis memakai hermeneutik feminis ini dengan pemahaman bahwa usaha
penafsiran ini tidak hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan perempuan, tetapi juga
oleh dan untuk kepentingan semua orang, laki-laki dan perempuan, dalam
memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan dan mutualitas. Menurut Margaret A. Farley
prinsip dasar bagi hermeneutik feminis yaitu perempuan adalah manusia sepenuhnya dan
17
Edgar Krentz, The Historical – Critical Method ( Philadelphia: Fortress Press, 1975), h. 33 18
Ibid. 19
Ibid., h.42-44
@UKDW
11
harus diperlakukan demikian.20
Selanjutnya Farley mengatakan bahwa prinsip dasar ini
harus dikaitkan secara erat dengan prinsip kesederajatan (equality) yaitu perempuan dan
laki-laki sama-sama manusia sepenuhnya dan harus diperlakukan demikian, dan
mutualitas didasarkan atas pandangan bahwa manusia adalah subjek yang mewujudkan
diri, mandiri dan saling berhubungan.21
Selanjutnya penulis tertarik memakai hermeneutik feminis didasarkan pada
pernyataan Marie Claire Barth – Frommel, bahwa Alkitab (Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru) bersifat androsentris. Naskahnya ditulis, ditafsirkan dan diturunalihkan
oleh laki-laki sebagai imam, pengajar dan pemberita. Alkitab dibentuk oleh kaum laki-
laki dalam budaya patrirakhi, sehingga banyak pengalaman dan pernyataan di dalam
Alkitab ditafsirkan oleh kaum laki-laki dari sudut pandang patriarkhat dan mengabaikan
sudut pandang perempuan.22
Apa yang dikatakan oleh Barth –Frommel sejajar dengan pendapat Paul K. Jewett
yang mengatakan bahwa ada banyak bagian Alkitab yang bersifat androsentris dan hal itu
sangat erat kaitannya dengan latar belakang Yudaisme yang begitu kuat mempengaruhi
proses pembentukan Alkitab. Dalam Yudaisme hubungan antara laki-laki dan perempuan
dipahami dalam konsep : laki-laki sebagai figur yang superior dan perempuan sebagai
figur yang inferior, laki-laki sebagai pembuat keputusan dan perempuan harus taat pada
keputusan laki-laki.23
Sebuah hermeneutika feminis yang kritis harus beralih dari teks-teks androsentrik
kepada konteks-konteks sosial historis mereka. sebuah rekonstruksi kritis tentang
penindasan historis kaum perempuan di dalam agama dan komunitas biblika yang
patriarkhi, serta analisis tentang pembenaran teologis, konseptualnya, harus didasarkan
pada sebuah visi alternatif Alkitabiah feminis tentang interaksi historis-budaya-
keagamaan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam komunitas Kristen.24
Bahasa
teks dan penafsiran Alkitab yang androsentris, mengakibatkan kaum perempuan
20
E. Sumargono, Hermeneutik : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), h. 24 21
Ibid., h. 39 22
Marie Claire Barth – Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu : Pengantar Teologi
Feminis, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), h. 27-29 23
Paul K. Jewett, MAN : As Male and Female, (Grand Rapids : WB. Eerdmans Publishing
Company, 1975), h. 93 24
Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis tentang
Asal-Usul Kekristenan, Terj. Stephen Suleeman, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), h. 60-63
@UKDW
12
termarginalkan secara historis-teologis.25
Perempuan tidak dianggap sebagai mahkluk
otonom. Laki-laki adalah subjek, yang mutlak, sedangkan perempuan adalah “yang lain”.
Struktur-struktur masyarakat, budaya dan juga ilmu pengetahuan, mendefenisikan
perempuan sebagai mahkluk yang muncul dari laki-laki dan menduduki tempat nomordua
dan inferior. Dalam konsep yang demikian maka prinsip hermeneutik feminis merupakan
suatu alternatif. Hermeneutik ini memberi ruang yang cukup bagi perempuan dan
memberi jawab terhadap berbagai penafsiran androsentris atas teks-teks Alkitab yang
mengandung bias patriarkhi. Melalui hermeneutik feminis kita dapat melihat kesaksian
Alkitab yang autentik, yang bermakna dalam pergumulan hidup umat Kristen dan
memberi makna keselamatan kepada semua ciptaan.
Terkait dengan itu, maka dalam penelitian ini ada beberapa proses yang akan
dilakukan untuk mencapai suatu penelitian ilmiah yang cukup memadai antara lain :
- Melakukan studi kritis memakai hermeneutik feminis terhadap 1 Korintus 12:12-
31 dan Galatia 3:28 dengan metode penafsiran historis kritis.
- Melakukan studi kepustakaan atau literatur dan studi lapangan dengan
menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Studi lapangan yang dimaksud
antara lain : wawancara, observasi, serta survei yang berkaitan dengan aspek-
aspek judul tesis ini. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari,
mendalami dan memanfaatkan teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah
literatur baik buku-buku, dokumen-dokumen tertulis di HKBP, jurnal, majalah
atau karya tulis lainnya yang relevan dengan judul tesis ini.
VIII. Sistematika Penulisan
Tulisan ini akan disajikan dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab I sebagai bab pendahuluan merupakan titik tolak dan landasan bagi
pembahasan bab-bab berikutnya. Bab ini menyajikan Pendahuluan (Latar belakang
Masalah, Perumusan Masalah, Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian, Batasan Masalah, Metodologi Penulisan dan Sistematika Penulisan).
25
Fiorenza, Elizabeth S., Untuk Mengenang Perempuan itu : Rekonstruksi Teologis Feminis
tentang Asal-Usul Kekristenan, h. 68
@UKDW
13
BAB II Analisa kritis terhadap visi HKBP: Menjadi Gereja Yang Inklusif, Dialogis
dan Terbuka diperhadapkan dengan keberadaan Pendeta HKBP
Bab ini mengenai latar belakang visi HKBP serta analisa kritis terhadap
implementasi visi HKBP yang diperhadapkan dengan keberadaan pendeta perempuan di
HKBP. Termasuk di dalamnya hasil studi lapangan berdasarkan wawancara, serta
observasi atas keberadaan pendeta perempuan pada daerah pedesaan dan perkotaan, dan
dokumen-dokumen HKBP. Kemudian data-data hasil penelitian tersebut akan dianalisa.
BAB III Studi Historis Kritis Terhadap 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28
dengan memakai hermeneutik feminis
Dalam bab ini akan diuraikan studi historis Kritis terhadap 1 Korintus 12:12-31
dan Galatia 3 :28 yang berisi, konteks kehidupan baik secara umum maupun secara
khusus dan tafsiran dengan memakai hermeneutuk feminis.
BAB IV Sumbangan dari studi exegetis kritis berdasarkan hermeneutik feminis dari
1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 terhadap Visi HKBP
Bab ini berisi sumbangan/kontribusi pemikiran hasil studi exegetis kritis
berdasarkan hermeneutik feminis 1 Korintus 12:12-31 dan Galatia 3:28 dalam rangka
mengimplementasikan visi HKBP tahun 2002.
BAB V Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran bagi HKBP dalam
melaksanakan dan melanjutkan pelayanan HKBP di segala aras dengan tetap teguh dalam
prinsip kesetaraan gender dalam membangun tubuh Kristus sesuai dengan visi HKBP.
@UKDW