BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknik budidaya tanaman dengan menggunakan metode
konvensional dalam medium tanah atau pasir seringkali
menghadapi kendala teknis, lingkungan maupun waktu. Sebagai
contoh perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji memerlukan
waktu yang relative lama dan seringkali hasilnya tidak seperti
tanaman induknya. Kendala lain yang juga sering muncul adalah
gangguan alam, baik yang disebabkan oleh jasad hidup, misalnya
hama dan penyakit, maupun cekaman lingkungan yang dapat
mengganggu keberhasilan perbanyakan tanaman di lapangan.
Kebutuhan akan bibit tanaman dalam jumlah besar, berkualitas,
bebas hama dan penyakit serta harus tersedia dalam waktu
singkat seringkali tidak dapat dipenuhi dengan menggunakan
metode konvensional baik secara generatif maupun vegetatif.
Pada tahun 1901 Morgan mengemukakan bahwa setiap sel
mempunyai kemampuan untuk berkembang menjadi suatu jasad hidup
yang lengkap melalui proses regenerasi. Kemampuan ini oleh
morgan disebut sebagai totipotensi (totipotency). Konsep
totipotensi tersebut mempunyai makna sangat penting dalam
bidang kultur jaringan. Istilah kultur jaringan mengacu pada
teknik untuk menumbuhkan jasad multiseluler dalam medium padat
maupun cair menggunakan jaringan yang diambil dari jasad
tersebut. Teknik kultur jaringan tersebut dilakukan sebagai
alternative perbanyakan tanaman bukan dengan menggunakan media
tanah, melainkan dalam medium buatan di dalam tabung.teknik
ini sekarang sudah berkembang luas sehingga bagian tanaman
yang digunakan sebagai awal perbanyakan tidak hanya berupa
jaringan melainkan juga dalam bentuk sel sehingga juga dikenal
teknik kultur sel. Berdasarkan dari hal tersebut diatas, maka
diadakanlah penulisan makalah ini dengan tujuan untuk
mengetahui teknik kultur jaringan tumbuhan dengann menggunakan
kultur kalus atau kutur sel.
Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya
(perbanyakan) sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu
lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau
bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman
berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu perbanyakan secara seksual dan perbanyakan
secara aseksual.
Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih
spesifik terdapat tipe-tipe kultur yaitu, kultur kalus, kultur
suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas,
kultur embrio, kultur ovul, dan kultur kuncup bunga. Kultur
jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel,
yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan
informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk
tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika berada dalam
kondisi yang sesuai. Penemuan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan
upaya pengembangan formulasi media sangat berperan penting
dalam menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan. Prinsip
utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman
dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan
media buatan yang dilakukan di tempat yang steril.
Inisiasi pembentukan kalus merupakan salah satu langkah
penting yang menentukan keberhasilan teknik kultur in vitro.
Kalus merupakan massa sel yang tidak terorganisir, pada
mulanya sebagai respon terhadap pelapukan (wounding).
Pembelahan selnya menjadi tidak terkendali, sel-selnya
mengalami proliferasi yaitu membelah terus menerus dengan
sangat cepat, hal ini dimungkinkan karena sel-sel tumbuhan
yang secara alamiahnya bersifat autotrof dikondisikan menjadi
heterotrof oleh adanya nutrisi yang cukup komplek dan zat
pengatur tumbuh didalam medium kultur. Selain dari luka bekas
irisan, kalus juga dapat berasal dari pembelahan sel-sel
kambium yang terus membelah dan berpoliferasi.
Poliferasi sel-sel akan menjadi lebih baik jika eksplan
yang digunakan berasal dari jaringan yang masih muda. Sel-sel
kalus secara fisiologis dan biokimia sangat berbeda dengan
sel-sel eksplannya yang sudah terdiferensiasi. Sel-sel pada
kalus bersifat meristematik dan merupakan salah satu wujud
dari dediferensiasi. Dediferensiasi merupakan reversi dari
sel-sel hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak
terdiferensiasi, atau dengan kata lain menjadi meristematik
kembali. Dediferensiasi merupakan langkah awal bagi
perbanyakan vegetatif dengan teknik kultur in vitro karena
merupakan dasar terjadinya primerdia tunas dan akar.
Kalus dapat diperbanyak secara tidak terbatas dengan cara
memindahkan sebagian kecil kalus kedalam medium baru (sub
kultur). Kalus dengan sel-selnya yang bersifat meristematik,
dapat didispersikan didalam medium cair sehingga dapat
diperoleh kultur suspensi sel.
Teknik kultur jaringan melalui kultur kalus merupakan
salah satu metode untuk budidaya tanaman untuk mendapatkan
metabolit sekunder dalam waktu yang relatif singkat.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat menjelaskan prinsip dasar dari pelaksanaan teknik
kultur kalus dan suspensi sel.
2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan pada kultur kalus dan suspensi sel.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kultur Jaringan
Kultur Jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan
cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas,
serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan
secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam
wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman
dapat memperbanyak diri & bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Prinsip utamanya adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan
bagian vegetatif tanaman, menggunakan media buatan yang
dilakukan di tempat steril.
Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi
teknik perkembangbiakan tanaman yang sangat penting pada
berbagai spesies tanaman.
Kultur jaringan tanaman pertama kali berhasil dilakukan
ole White pada tahun 1934. Pada tahun 1939, Whiter melaporkan
keberhasilannya dalam membuat kultur kalus dari wortel dan
tembakau. Pada tahun 1957, tulisan penting Skoog dan Miller
dipublikasikan dimana mereka menyatakan bahwa interkasi
kuantitatif antara auksin dan sitokinin menentukan tipe
pertumbuhan dan morfogenik yang akan terjadi. Penelitian
mereka pada tembakau mengindikasikan bahwa perbandingan auksin
dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi pengakaran,
sedangkan rasio sebaliknya akan menginduksi pembentukan tunas.
Akan tetapi pola respon ini tidak berlaku universal.
Temuan penting lainnya adalah hasil penelitian Morel
tentang perbanyakan anggrek melalui kultur jaringan pada tahun
1960, dan penggunaan yang meluas media kultur dengan
konsentrasi garam mineral yang tinggi, dikembangkan oleh
Murashige dan Skoog tahun 1962.
Teknik kultur jaringan selain perbanyakan mikro umumnya
memerlukan pelaksanaan yang lebih canggih tapi memberi
keuntungan yang lebih besar di masa depan. Beberapa teknik
sudah menjadi alat berharga untuk mengeliminai penyakit dan
perbaikan tanaman, termasuk ‘rekayasa genetika’. Kultur
jaringan tanaman mencakup : kultur sel, kultur jaringan,
kultur organ, proses proliferasi, diferensiasi dan regenerasi,
medium kultur dan faktor pertumbuhan lain, perbanyakan klonal,
teknik sanitasi tanaman, serta penyelamatan plasma nutfah.
2.2 Kultur Kalus
Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan
teknik kultur in vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur
sel.
Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil tanaman
dalam lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang
terkontrol. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang
terjadi dari sel-sel jaringan yang berproliferasi secara terus
menerus dan tidak terorganisasi sehingga memberikan penampilan
sebagai massa sel yang bentuknya tidak teratur. Proliferasi
jaringan ini dapat dilakukan secara tidak terbatas dengan cara
melakukan subkultur sepotong kecil jaringan kalus pada medium
yang segar dengan interval waktu yang teratur.
Penelitian pembentukan kalus pada jaringan terluka pertama
kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus
pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan
sitokinin endogen. Secara in vivo, kalus pada umumnya
terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro
organisme seperti Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau
tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat terbentuk
sebagai akibat stress. Kalus yang diakibatkan oleh hasil dari
infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut tumor.
Kalus adalah jaringan meristematik yang merupakan wujud
dari dediferensiasi. Dalam kultur jaringan menginduksi
terbentuknya kalus merupakan langkah yang penting. Setelah
terbentuknya kalus baru diberikan perlakuan/rangsangan untuk
berdiferensiasi membentuk akar atau tunas.
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari
eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan
terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa
selnya) secara terus menerus.
Jika suatu eksplan ditanam pada medium yang sesuai, dalam
waktu 2-4 minggu, tergantung spesiesnya, akan terbentuk massa
kalus yaitu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim
berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil proliferasi
sel-sel jaringan induk. Kalus dapat disubkultur dengan cara
mengambil sebagian kalus dan memindahkannya pada medium baru.
Dengan sistem induksi yang tepat, kalus dapat berkembang
menjadi tanaman yang utuh (plantlet).
Kultur kalus dapat dikembangkan dengan menggunakan eksplan
yang berasal dari berbagai sumber, misalnya tunas muda, daun,
ujung akar, buah, dan bagian bunga. Kalus dihasilkan dari
lapisan luar sel-sel korteks pada eksplan melalui pembelahan
sel-sel berulang. Kultur kalus tumbuh berkembang lebih lambat
dibanding kultur yang berasal dari suspensi sel. Kalus
terbentuk melalui tiga tahapan, yaitu induksi, pembelahan sel,
dan diferensiasi. Pembentukan kalus ditentukan sumber eksplan,
komposisi nutrisi pada medium dan faktor lingkungan.eksplan
yang berasal dari jaringan meristem berkembang lebih cepat
dibanding jaringan dari sel-sel berdinding tipis dan
mengandung lignin. Untuk memelihara kalus, maka perlu
dilakukan subkultur secara berkala, misalnya setiap 30 hari.
Eksplan terbaik untuk induksi kalus adalah jaringan
bagian-bagian semai (seedling) yang dikecambahkan secara in
vitro, jaringan yang mengandung parenkim tidak hijau, seperti
parenkim empulur, mempunya respon yang lebih baik dibandingkan
dengan sel-sel daun yang mengandung kloroplas. Ukuran eksplan
juga penting untuk diperhatikan, idealnya ukuran eksplan yang
dikehendaki adalah yang kecil tetapi mempunyai kemampuan yang
tinggi untuk membelah, hal ini dimaksudkan agar diperoleh sel-
sel yang relatif homogen.
Sel yang berasal dari tanaman apapun dapat dibiakkan atau
dikulturkan secara aseptic pada atau dalam medium hara. Kultur
biasanya dimulai dengan menanamkan satu iris jaringan steril
pada medium hara yang dipadatkan dengan agar. Dalam waktu 2-3
minggu akan berbentuk kalus. Kalus semacam ini dapat
disubkulturkan dengan memindahkan potongan kecil pada medium
agar segar. Proses terbentuknya kalus sampai terjadi
diferensiasi berbeda-beda tergantung macam dan bagian tanaman
yang dipakai untuk eksplan, bahan kimia atau hormon yang
terkandung pada media kultur.
Dalam perbanyakan mikro, produksi kalus biasanya dihindari
karena dapat menimbulkan variasi dan, terutama pada zona
perakaran, mengakibatkan diskontinyuitas dengan sitem berkas
pengangkut utama. Kadang-kadang eksplan menghasilkan kalus,
bukan tunas baru, khususnya jika diberikan hormon dengan
konsentrasi tinggi pada media. Dalam hal lain, kalus sengaja
diinduksi karena potensinya untuk produksi massal plantlet
baru. Faktor pembatasnya adalah sulitnya menginduksi inisiasi
tunas baru, terutama pada tanaman berkayu dan tingginya
kejadian mutasi somatik.
Potensi terbesar penggunaan kultur kalus adalah dimana
sel–sel kalus dapat dipisahkan dan diinduksi untuk
berdiferensiasi menjadi embrio somatic. Secara morphologi,
embryo ini mirip dengan yang ada pada biji, tapi tidak seperti
embrio biji, mereka secara genetik bersifat identik dengan
tanaman tetua, jadi, segregasi seksual materi genetik tidak
terjadi. Karena 1 milimeter kalus berisi ribuan sel, masing–
masing memiliki kemampuan untuk membentuk embrio, sehingga
kecepatan multiplikasi sangat tinggi.
Kultur kalus dapat dilakukan pada media cair dan embrio
berkembang sebagai individu terpisah, sehingga penanganan
kultur relatif mudah.
2.3 Sel-Sel Penyusun Kalus
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai
ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur
jaringan, kalus dapat dihasilkan dari potongan organ yang
telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan
kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa
kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle,
kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus
mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk
berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan
dapat membentuk plantlet.
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi
sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan
kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi
fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan
kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam
tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti
warna kekuning-kuningan, putih, hijau, atau kuning kejingga-
jingaan. (karena adanya pigmen antosianin ini terdapat pada
kalus kortek umbi wortel).
Dalam kultur kalus, kalus homogen yang tersusun atas sel-
sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur sel. Untuk
memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan eksplan
jaringan yang mempunyai sel-sel yang seragam. Dalam
pertumbuhan kalus, citodiferensiasi terjadi untuk membentuk
elemen trachea, buluh tapis, sel gabus, sel sekresi dan
trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses
hitogenesis dari kultur kalus. Anyaman kecil dari pembelahan
sel-sel membentuk meristemoid atau nodul vaskular yang
nantinya menjadi pusat dari pembentukan tunas apikal,
primordial akar atau embrioid.
Pada umumnya untuk eksplan yang mempunyai kambium tidak
perlu penambahan ZPT untuk menginduksi terbentuknya kalus
karena secara alamiah pada jaringan berkambium yang mengalami
luka akan tumbuh kalus untuk menutupi luka yang terbuka. Namun
pada kasus lain, keberadaan kambium di dalam eksplan tertentu
dapat menghambat pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat
pengatur tumbuh eksogen. Penambahan ZPT tersebut dapat satu
macam atau lebih tergantung dari jenis eksplan yang digunakan.
Pembelahan sel di dalam eksplan dapat terjadi tergantung dari
ZPT yang digunakan, seperti auksin, sitokinin, auksin dan
sitokinin, dan ekstrak senyawa organik komplek alamiah.
Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk
membentuk kalus, jaringan tanaman digolongkan dalam 4
kelompok:
1) Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin
selain gula dan garam-garam mineral untuk dapat membentuk
kalus seperti umbi artichoke.
2) Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin
selain gula dan garam-garam mineral.
3) Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin,
hanya gula dan garam-garam mineral seperti jaringan kambium.
4) Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan
garam-garam mineral seperti parenkim dan xylem akar turnip.
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan
tergantung juga dari:
1) Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
2) Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
3) Bagian tanaman yang dipakai.
4) Jenis tanaman.
Kalus dari eksplan yang berasal dari satu macam tipe sel
akan mengandung sel-sel yang seragam pula, misalnya sel-sel
parenkim floem dari wortel. Eksplan batang, akar dan daun sel-
sel penyusunnya sangat heterogen, kalus yang terbentuk dari
eksplan tersebut sel-selnya juga sangat heterogen dan terdiri
dari bermacam-macam tipe sel misalnya sel-sel meristematik
(ditengah), sel-sel yang parenchymatous, sel-sel yang
mengandung vakuola, sel-sel raksasa, sel-sel seperti trakeid
dan sebagainya, heterogenitas ini mencerminkan asal dari
eksplannya. Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang kompleks
menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah
komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat
khusus. Media seleksi dapat didasarkan pada unsur-unsur hara
atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan kedalam media.
Selain dari eksplannya, sel-sel yang heterogen pada kalus juga
dapat disebabkan karena masa kultur yang terlalu lama melalui
serangkaian subkultur yang berulang-ulang.
2.4 Inisiasi Kalus
Inisiasi pembentukan kalus dimulai dari hasil pembelahan
sel yang terus menerus pada jaringan induk yang tidak perlu
harus berhubungan langsung dengan medium kultur. Pertumbuhan
yang tercepat terjadi didaerah perifer. Hal ini disebabkan
karena pada daerah tersebut ketersediaan hara dan oksigennya
lebih baik. Pertumbuhan kalus merupakan hasil interaksi yang
sangat komplek antara eksplan, komposisi medium dan kondisi
lingkungan selama periode inkubasi. Sel-sel memperlihatkan
peningkatan aktivitas sitoplasmik yang ditandai dengan
meningkatnya respirasi dan jaringan kembali kekeadaan
meristematik (dediferensiasi). Selama pertumbuhannya kalus
dapat mengalami lignifikasi yang cukup kuat hingga menyebabkan
kalus bertekstur keras dan kompak, ada juga yang friabel dan
lunak sehingga mudah terpecah-pecah menjadi serpihan-serpihan
kecil. Kalus dapat berwarna kekuningan, putih, hijau atau
terpigmentasi oleh antosianin. Pigmentasi dapat seragam pada
keseluruhan kalus atau sebagian daerah tidak terpigmentasi.
Sel-sel pembentuk antosianin dan non-antosianin telah berhasil
diisolasi dari kalus wortel.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman,
tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel
yang berbeda pula. Jenis tanaman yang menghasilkan kalus,
meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, gymnospermae, pakis
dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil,
kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk
dediferensiasi dan menghasilkan kalus.
Pada perbanyakan tanaman hortikultura, dianjurkan melalui
tunas aksilair, karena dapat menghasilkan bibit yang true-to-
type (sesuai dengan sifat induknya). Tunas adventif, terutama
yang melalui fase kalus, tidak dianjurkan dalam perbanyakan
tanaman hortikultura, kecuali untuk tujuan seleksi dan
variasi. Tunas adventif langsung, juga menunjukkan kemungkinan
variasi, hanya dalam taraf lebih rendah daripada regenerasi
melalui fase kalus. Suatu sifat yang diamati dalam jaringan
yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi
pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di
lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel
di tengah tetap quiscent.
Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel
hanya terbatas di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah:
1) Ketersediaan oksigen yang lebih tinggi.
2) Keluarnya gas CO2.
3) Ketersediaan hara yang lebih banyak.
4) Penghambat yang bersifat folatik lebih cepat
menguap.
5) Cahaya.
Eksplan batang, akar dan daun menghasilkan kalus yang
heterogen dengan berbagai macam sel. Kadang-kadang jaringan
yang kelihatannya seragam histologinya, ternyata menghasilkan
kalus dengan sel yang mempunyai DNA yang berbeda yang
mencerminkan level ploidi yang berbeda. Begitupun pada kultur
akar kalus yang dihasilkan dapat berupa campuran sel dengan
tingkat ploidi yang berbeda.
Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang komplek
menunjukkan pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah
komposisi media, terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai sifat
khusus. Hal ini berarti bahwa media tumbuh menentukan
komposisi kalus. Sel yang jumlahnya paling banyak merupakan
sel-sel yang paling cepat membelah dan sel yang paling sedikit
adalah sel yang paling lambat pertumbuhannya. Media seleksi
dapat berdasarkan unsur-unsur hara atau zat pengatur tumbuh
yang ditambahkan ke dalam media. Sel heterogen berasal dari
materi asal yang heterogen pula, atau dapat terjadi karena
massa kultur yang panjang melalui sub kultur yang berkali-
kali.
Perubahan yang terjadi dapat merupakan:
a) Aberasi kromosom.
b) endo-reduplikasi yang menghasilkan poloploidi.
c) Amplifikasi gen, jumlah gen untuk suatu sifat
tertentu per genome haploid bertambah.
d) Hilangnya suatu gen (deletion).
e) Mutasi gen.
f) Transposisi urutan DNA (DNA sequences
transposition).
2.5 Fase-Fase Pertumbuhan Pada Kalus
Agar kalus dapat dijaga pertumbuhannya dan dapat
diperbanyak secara berkesinambungan, maka perlu dipindahkan
secara teratur pada media baru dalam jangka waktu terentu
(subkultur). Apabila kalus disubkultur pada media agar yang
dilakukan secara regular, maka akan menunjukkan fase
pertumbuhan kurva S (sigmoid). fase pertumbuhan kalus terbagi
menjadi lima fase, yaitu:
1) Fase lag, dimana sel-sel mulai membelah.
2) Fase eksponensial, dimana laju pembelahan sel
berada pada puncaknya.
3) Fase linear, dimana pembelahan sel mengalami
perlambatan tetapi laju ekspansi sel meningkat.
4) Fase deselerasi, dimana laju pembelahan dan
pemanjangan sel menurun.
5) Fase stationer, dimana jumlah dan ukuran sel tetap.
Kecepatan perubahan-perubahan dalam kromosom ini,
tergantung juga dari macam media yang digunakan, serta jenis
tanamannya. Ketidakstabilan kromosom ini menyulitkan aplikasi
kultur kalus untuk perbanyakan maupun untuk produksi bahan-
bahan/persenyawaan sekunder. Sebaliknya ketidak-stabilan
tersebut dapat dipergunakan dalam seleksi dan pemuliaan
invitro, untuk memperoleh sifat-sifat baru yang menguntungkan
seperti resistensi terhadap penyakit, hilangnya morfologi yang
memang tidak diinginkan seperti duri atau warna pada bunga.
Kalus yang tumbuh secara invivo pada batang tanaman
biasanya disebut dengan tumor, ciri-ciri tumor adalah sebagai
berikut:
1) Terjadi penyakit yang infeksinya melalui luka
(Crown gall disease).
2) Jaringan tumor yang terjadi dapat tumbuh terus,
walaupun penyebabnya yang berupa bakteri Agrobacterium
tumefacien telah dihilangkan.
3) Tumor ini bila ditumbuhkan pada media buatan tidak
memerlukan auksin maupun sitokinin. Ketidaktergantungan
jaringan tanaman untuk tumbuh dan terus membelah disebut
habituation.
2.6 Kultur Suspensi Sel
Kultur suspensi sel adalah pemeliharaan sel, tunggal
maupun gabungan beberapa sel, dalam medium cair dan lingkungan
buatan yang steril. Kultur suspensi sel terdiri atas populasi
sel dengan laju pertumbuhan yang cepat karena seluruh
permukaan sel dapat kontak langsung dengan medium nutrisi. Hal
ini menyebabkan metabolisme sel lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kultur kalus.
Metode kultur suspensi sel dapat digunakan sebagai sarana
untuk produksi metabolit sekunder. Hal ini dapat terjadi
karena setiap sel tumbuhan yang diisolasi dari tumbuhan
induknya mempunyai potensi genetik dan fisiologi yang sama
dengan induknya, atau yang dikenal dengan nama sifat
totipotensi. Sifat ini menyebabkan metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh tanaman induk dapat pula dihasilkan pada sel
yang dikultur secara in vitro.Potensi kultur sel untuk memproduksi
metabolit telah dibuktikan pertama kali oleh perusahaan
farmasi Amerika Pfizer Inc pada tahun 1956. Sedangkan potensi
kultur sel untuk memproduksi senyawa bermanfaat terutama untuk
obat-obatan, telah dimulai pada akhir tahun 1960.
Kultur suspensi sel dapat diperoleh dengan cara
memindahkan kalus dari medium padat ke medium cair dalam
kondisi agitasi selama periode kultur dalam waktu tertentu.
Dalam kondisi agitasi, kalus meremah akan terpisah membentuk
kelompok sel dan sel-sel tunggal. Sel-sel tunggal akan
mengadakan pembelahan membentuk kelompok-kelompok sel yang
kemudian terpisah lagi membentuk sel-sel tunggal dan kelompok-
keompok sel yang lebih kecil. Agitasi dalam kultur suspensi
sel dapat meningkatkan aerasi, reduksi polaritas tanaman dan
dapat mempertahankan keseragaman distribusi sel-sel dan
kelompok sel di dalam medium. agitasi atau pengocokan pada
kultur suspensi sel dapat mempengaruhi ukuran agregat,
viabilitas dan pertumbuhan sel. Selain itu pengocokan
berfungsi untuk meningkatkan oksigen.
Diameter sel pada kultur suspensi sel pada umumnya
berkisar antara 20-150 µm dan panjang 100-200 µm. Ukuran ini
setara dengan 10-100 kali bakteri atau fungi dan mempunyai
panjang maksimal 2 mm serta mengandung 2-200 sel. ada fase
pertumbuhan logaritmik pada masa awal kultur sel, sel-sel
berbentuk kecil dan dipenuhi dengan sitoplasma. Namun pada
fase stasioner, sel-sel ini memiliki ukuran tertentu, sel
lebih tua dan memiliki vakuola besar di pusat sel.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Massa Pada Kultur Kalus
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media
yang tetap, akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan
air. Kehabisan hara dan air dapat terjadi karena selain
terhisap untuk pertumbuhan juga karena media menguapkan air
dari masa ke masa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur
hara, kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil
metabolisme yang menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri.
Untuk menjaga kehidupan dan perbanyakan yang berkesinambungan,
kalus yang dihasilkan perlu disubkulturkan.
Massa sel yang dipindahkan pada subkultur harus cukup
banyak antara 5-10 mm atau seberat 20-100 mg, supaya ada
pertumbuhan yang cepat dalam media baru. Subkultur sebaiknya
dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu sekali). Namun waktu yang
tepat untuk memindahkan kultur, tergantung dari kecepatan
pertumbuhan kalus. Massa kalus ada 2 macam yaitu massa yang
remah (friable) dan kompak. Bila massa kalus remah maka
pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyendok kalus dengan
spatula atau skapel langsung disubkultur ke media baru. Namun
bila kalus kompak mesti dipindah ke petridish steril untuk
dipotong-potong dengan skapel baru disubkultur ke media baru.
Kalus yang sudah mengalami nekrosis (pencoklatan) sebaiknya
tidak ikut disubkultur karena tidak akan tumbuh dengan baik.
Inti keberhasilan system in vitro tergantung pada
kemampuan manipulasi regenerasi melalui pengaturan komposisi
medium, lingkungan, dan sumber eksplan. Regenerasi eksplan
dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
1) Pembentukan pucuk adventif langsung dari permukaan
eksplan.
2) Pembentukan pucuk adventif melalui fase kalus.
3) Pembentukan embrio somatic langsung dari eksplan.
4) Pembentukan embrio somatic melalui fase kalus.
5) Pembentukan protocorm-like bodies (khusus pada
anggrek).
Regenerasi tanaman setelah melalui fase kalus , dapat
terjadi melalui salah satu dari keadaan di bawah ini:
1) Regenerasi melalui dua langkah prosedur:
a) Masa inkubasi pada medium yang mengandung auksin +
sitokinin.
b) Masa regenerasi dengan memindahkan kalus ke medium
tanpa auksin tapi mengandung sitokinin.
2) Regenerasi terjadi melalui medium dengan
perbandingan sitokinin dan auksin yang tepat. Pada Solanaceae
dibutuhjan sitokinin lebih tinggi daripada auksin.
3) Regenerasi terjadi pada konsentrasi absolute auksin
dan sitokinin tertentu, misalnya NAA 2 µM + kinetin 2µM.
4) Regenerasi terjadi pada kalus yang diinduksi dengan
jenis auksin tertentu, misalnya asparagus dengan NAA atau IAA,
bukan 2,4-D.
5) Regenerasi terjadi bila ada penambahan zat-zat
tertentu, misalnya ABA atau giberelin.
Massa kultur yang terlalu lama juga dapat menyebabkan
adanya heterogenitas karyologis, yang dicerminkan dengan
adanya perubahan dari siklus sel dan ketidak teraturan
pembelahan mitosis selama massa kultur. Perubahan-perubahan
yang terjadi dapat berupa :
1) Poliploidi meningkat secara progresif sejalan
dengan lamanya kultur kalus, zat pengatur tumbuh 2,4-D dapat
meningkatkan frekuensi poliploidi.
2) Aneuploidi yang kerapkali berkaitan dengan
fragmentasi inti dan abnormalitas dari mitotic spindle.
3) Perubahan struktural pada kromosom, misalnya
disentrik, fragmen aksentrik, cincin kromosom dan sebagainya.
4) Transposisi urutan DNA.
5) Amplifikasi gen, jumlah gen untuk sifat tertentu
per genom haploid bertambah.
6) Delesi, hilangnya suatu gen.
Adanya perubahan-perubahan karyologis ini menyulitkan
aplikasi kultur kalus untuk mikropropagasi dan produksi
metabolit sekunder, tetapi dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan
in vitro karena dapat menambah keragaman genetik.
Setelah periode waktu tertentu, biasanya 2 minggu sampai 3
bulan, pertumbuhan kalus akan menurun, kalus akan menunjukkan
gejala-gejala penuaan seperti nekrosis atau menjadi coklat dan
akhirnya mengering. Hal tersebut sebagai akibat dari beberapa
faktor berikut :
1) Kandungan nutrisi media menyusut.
2) Penguapan (evaporasi) yang mengakibatkan agar-agar
semakin mengeras sehingga menghambat difusi nutrien dan
meningkatnya konsentrasi dari beberapa komponen medium.
3) Sel-sel pada kalus juga mengeluarkan persenyawaan-
persenyawaan hasil metabolisme yang menghambat karena
terakumulasinya sejumlah senyawa toksik pada medium disekitar
eksplan.
4) Sel-sel yang terdapat ditengah-tengah massa sel
mengalami kekurangan oksigen.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, kalus harus
disubkultur pada medium baru, tergantung dari tujuannya medium
baru yang digunakan untuk subkultur dapat sama atau berbeda
dengan medium semula. Secara umum dapat dikatakan, tujuan
dilakukannya subkultur adalah untuk menjaga kehidupan dengan
mempertahankan laju pertumbuhan sel terhadap konstan sehingga
dapat diperoleh kalus dengan sel-sel yang homogen, untuk
memperbanyak kalus dan untuk diferensiasi kalus.
Hal yang perlu diperhatikan pada subkultur adalah massa
sel yang dipindahkan harus cukup banyak. Hal ini dapat
dilakukan dengan membiarkan kalus tumbuh hingga mencapai
diameter 2-3 cm sebelum dipisahkan dari eksplan dan membaginya
menjadi 4-8 inokula untuk disubkulturkan pada medium baru.
Bila kalus menunjukkan rupa yang heterogen, maka harus dipilih
sebagai inokulum adalah kalus yang menunjukkan pertumbuhan
tercepat, biasanya yang berwarna agak pucat dan lunak.
3.2 Manfaat Kultur Kalus
Kultur kalus bermanfaat untuk mempelajari beberapa aspek
dalam metabolisme tumbuhan dan diferensiasinya, antara lain:
1) Mempelajari aspek nutrisi tanaman.
2) Dalam beberapa hal, perlu fase pertumbuhan kalus
sebelum regenerasi via somatic embryogenesis atau
organogenesis. Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic
embryo) adalah embrio yang terbentuk bukan dari penyatuan sel-
sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio yang
terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat
terbentuk dari jaringan tanaman yang dikulturkan tanpa melalui
proses yang dikenal dengan nama somatic embryogenesis. Jika
proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa melalui
proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya
disebut somatic embryogenesis langsung (direct somatic
embryogenesis).
3) Untuk menghasilkan varian somaklonal (genetic atau
epigenetic).
4) Sebagai bahan awal kultur protoplast dan kultur
suspensi.
5) Untuk produksi metabolit sekunder dan regulasinya.
6) Transformasi genetik menggunakan teknik biolistik.
7) Digunakan untuk seleksi in-vitro.
3.3 Mutasi Kalus
Mutasi kalus adalah teknik kultur jaringan untuk
menghasilkan individu baru yang bersifat lain dari induknya
melalui cara-cara trial and error dan pasti.
Trial and error merupakan teknik coba-coba karena hasilnya
baru diketahui setelah individu dewasa. Cara ini dengan
menggunakkan radiasi sinar X, pemanasan gelombang mikro dan
pemanasan dengan alat solder. Individu yang dihasilkan
biasanya menyimpang dari induknya sehingga memberikkan nilai
plus (mutan atau albino).
Teknik yang memberikan kepastian terhadap percobaaan yang
diinginkan dapat dari kalus yang ditanam dimedia yang sengaja
diberi kondisi yang tidak diinginkan sehingga jika kalus
tersebut bisa bertahan, maka individu yang dihasilkan akan
resisten terhadap kondisi yang tidak diinginkan tersebut.
Teknik mutasi anggrek di dalam kultur bertujuan untuk
meningkatkan peluang mutasi dengan cara memberikan perlakuan
atau rangsangan yang dapat berupa bahan kimia, fisik/
lingkungan atau radiasi. Mutasi anggrek diharapkan akan memeri
peluang munculnya sifat-sifat anggrek yang baru yang belum ada
sebelumnya yang mempunyai nilai komersial. Bahan kultur
anggrek yang biasa digunakan untuk perlakuan mutasi adalah
kalusnya. Setelah Anda mempunyai stok kalus anggrek tertentu
maka kalus tersebut diberi perlakuan mutasi dan kemudian
diamati mana yang memperlihatkan pertumbuhan yang berbeda dan
memperlihatkan sifat yang baik.
Untuk pemberian perlakuan radiasi maka anda dapat membawa
spesimen kalus anggrek Anda ke BATAN (Badan Tenaga Atom
Nasional) yang berlokasi di Pasar Jumat Jakarta Selatan.
Setelah itu biarkan kalus-kalus tersebut tumbuh dan
diperbanyak sampai jumlah yang memadai. Kemudian sebagian
diakarkan dan ditumbuhkan sampai besar.
Kemudian dicari anggrek mana yang memperlihatkan mutasi
dengan sifat yang baik dan mempunyai nilai komersial yang
tinggi. Memang dalam hal ini kita tidak dapat mengontrol arah
mutasi atau kita tidak dapat mengatur mutasi ke arah sifat
yang kita harapkan/inginkan.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan pembahasan yang telah
diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Kultur kalus merupakan pemeliharaan bagian kecil
tanaman dalam lingkungan buatan yang steril dan kondisi yang
terkontrol.
2) Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang
terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah diri secara terus
menerus.
3) Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus
dari eksplan yang diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan
terkendali. Kalus diharapkan dapat memperbanyak dirinya (massa
selnya) secara terus menerus.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diajukan pada penulisan makalah
ini yaitu, sangat dibutuhkan banyaknya referensi yang relevan
dari berbagai sumber sehingga mempermudah dalam penyusunan
makalah ini. Selain itu, agar bisa dijadikan sebagai pustaka
untuk penyusunan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz L.M. Siregar, Chan Lai Keng, dan Boey Peng
Lim, 2006, Pertumbuhan dan Akumulasi Alkaloid dalam Kalus dan
Suspensi Sel Eurycoma longifolia Jack, Jurnal Ilmiah Pertanian
Kultura, Vol. 41, No. 1, Hal. 19-27.
Gunawan, L.W., 1987, Teknik Kultur Jaringan, Laboratorium Kultur
Jaringan PAU Biotekbologi IPB, Bogor.
Heddy, S., 1986, Hormon Tumbuhan, Rajawali Press, Jakarta.
Moega, J.P., 1991, Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman,
Erlangga, Jakarta.
Rahardjo P.C., 1989, Kultur Jaringan. Teknik Perbanyakan Tanaman
Secara Modern, Penebar Swadaya, Jakarta.
Siti D.H. Hoesen, Witjaksono dan L.A Sukamto, 2008, Induksi Kalus
dan Organogenesis Kultur In Vitro Dendrobium lineale Rolfe, Berita
Biologi, Vol. 9, No. 3, Hal. 333-341.
Sudarmadji, 2003, Penggunaan Benzil Amino Purine Pada Pertumbuhan
Kalus Kapas Secara In Vitro, Buletin Teknik Pertanian, Vol. 8,
No. 1, Hal. 8-10.
Top Related