i
PAPER
KARAKTERISASI RESERVOAR MENGGUNAKAN METODE INVERSI
SIMULTAN PADA LAPANGAN “ALMULK”, FORMASI TALANG AKAR
CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
RESERVOIR CHARACTERIZATION USING SIMULTANEOUS INVERSION
METHOD IN “ALMULK” FIELD, TALANG AKAR FORMATION SOUTH SUMATERA
BASIN
Fathul Mubin
08/270187/PA/12238
INTISARI
KARAKTERISASI RESERVOAR MENGGUNAKAN METODE INVERSI
SIMULTAN PADA LAPANGAN “ALMULK”, FORMASI TALANG AKAR
CEKUNGAN SUMATERA SELATAN
Studi inversi impedansi akustik telah dikenal dan sering digunakan sebagai salah satu
metode dalam karakterisasi reservoar, baik dalam membedakan litologi maupun fluida.
Metode inversi impedansi akustik ini memiliki keterbatasan dalam membedakan litologi dan
fluida, sering dijumpai kasus dimana antara batupasir (porous sand) dan batulempung
(shalestone) memiliki nilai impedansi yang hampir sama. Oleh karena itu diperlukan suatu
metode baru yang dapat membedakan litologi dan mendeteksi kandungan fluida hidrokarbon
dengan baik.
Metode inversi simultan menggunakan data berupa angle gather yang kemudian
diinversikan untuk menghasilkan impedansi P, impedansi S dan densitas. Parameter
impedansi P dan impedansi S kemudian diturunkan menjadi parameter lambda-rho dan mu-
rho yang sensitif terhadap adanya fluida. Hasil analisis crossplot menunjukkan bahwa
parameter impedansi P, impedansi S, densitas, lambda-rho dan mu-rho dapat mengidentifikasi
litologi dan fluida dengan baik. Map hasil inversi simultan menunjukkan bahwa parameter
impedansi P, densitas dan lambda-rho mampu mengidentifikasi adanya zona reservoar dan
fluida pada porous sand dengan baik. Pada area tersebut ditunjukkan dengan nilai impedansi
P rendah, densitas rendah, lambda-rho rendah, impedansi S tinggi dan mu-rho tinggi.
Kata kunci: Inversi simultan, Impedansi P, Impedansi S, Lamda-Mu-Rho.
ii
RESERVOIR CHARACTERIZATION USING SIMULTANEOUS INVERSION
METHOD IN “ALMULK” FIELD, TALANG AKAR FORMATION
SOUTH SUMATERA BASIN
Study of acoustic impedance inversion method has been known and utilized as a
method in reservoir characterization, for lithology and fluid discrimination. This Acoustic
Impedance inversion has a limitation in discriminating lithology and fluid effects, and it is
often found in many cases where the porous sand and shalestone have a similar impedance
value. Because of that reason, there is needs a new invention method that can discriminate
lithology and fluid effect better.
The simultaneous inversion method was used in this research, using angle stack data
as the input and then it was inverted simultaneously together to produce P impedance, S
impedance, and density. The P impedance and S impedance were derived to produce lambda-
mu-rho which are sensitive to the presence of fluid. The results of the sensitivity analysis
showed that parameter of P impedance, S impedance lambda-rho and mu-rho could define
lithology differences and fluid properly. Map of inversion result show that P impedance,
density, and lamda-rho are able to identify the zone of reservoir and fluid in the porous sand
clearly. In this area, the inversion result was were indicated by low P Impedance, low density,
low lambda-rho, high S Impedance and high mu-rho.
Key words: Lamda-Mu-Rho, P-impedance, S-impedance, Simultaneous inversion.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karakterisasi reservoar didefinisikan
sebagai suatu proses untuk menjabarkan
secara kualitatif dan atau kuantitatif karakter
reservoar menggunakan semua data yang
ada. Sedangkan karakterisasi reservoar
seismik adalah suatu proses untuk
menjabarkan secara kualitatif dan atau
kuantitatif karakter reservoar menggunakan
data seismik sebagai data utama (Sukmono,
2000).
Seismik inversi adalah satu dari
sekian banyak metode yang sudah digunakan
ahli geofisika untuk karakterisasi reservoar.
Seismik inversi adalah suatu teknik
pembuatan model geologi bawah permukaan
dengan data seismik sebagai input dan data
geologi sebagai kontrol (Sukmono, 2000).
Metode seismik inversi simultan merupakan
proses inversi data seismik angle gather
dengan melibatkan pengaruh wavelet dari
seismik partial stack Near, Midlle, Far offset
untuk menghasilkan secara langsung
parameter fisik batuan P-impedance (Zp), S-
impedance (Zs) dan Density untuk kemudian
ditransformasi menjadi parameter Lambda-
Mu-Rho. (Hampson dan Russell, 2005).
Lamda-rho (λρ) yang juga dikenal sebagai
incompressibility yang digunakan sebagai
indikator porositas fluida yang mengandung
hidrokarbon dan Mu-rho (μρ) yang dikenal
sebagai rigiditas yang dapat digunakan untuk
indikator batuan dimana parameter ini
sensitif terhadap karakter matrik batuan.
1.2. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui karakter reservoar
dengan melakukan analisis kualitatif
dan kuantitatif berdasarkan data hasil
inversi simultan dan turunannya.
2. Mengetahui persebaran reservoar
pada zona target melalui parameter-
parameter yang dihasilkan oleh
inversi simultan.
1.3. Batasan Masalah
Beberapa batasan masalah yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi
beberapa hal, antara lain:
1. Data Sumur yang digunakan adalah
data sumur yang dilengkapi log P-
wave (sonic), log S-wave (sonic),
log Densitas (density), log Gamma
Ray, log Porositas.
2. Data seismik yang digunakan adalah
data seismik 3D pre-stack time
migration (PSTM) gather.
3. Zona target reservoar merupakan
batupasir pada formasi Talang Akar.
4. Proses inversi simultan pada
reservoar batupasir menggunakan
parameter Impedansi P, Impedansi
S, densitas, lamda-rho dan mu-rho.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
Cekungan Sumatera Selatan yang
merupakan lokasi penelitian dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Peta Cekungan Sumatera Selatan
(Bishop, 2001)
Cekungan Sumatera Selatan dibatasi
oleh Paparan Sunda di sebelah timurlaut,
daerah ketinggian Lampung di sebelah
Tenggara, Pegunungan Bukit Barisan di
sebelah baratdaya serta Pegunungan Dua
Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah
baratlaut. Evolusi cekungan ini diawali sejak
Mesozoic (Pulunggono dkk, 1992) dan
merupakan cekungan busur belakang (back
arc basin). Tektonik cekungan Sumatera
dipengaruhi oleh pergerakan konvergen
antara Lempeng Hindia-Australia dengan
Lempeng Paparan Sunda.
Berdasarkan unsur tektonik, maka
fisiografi regional cekungan Sumatera
Selatan mempunyai daerah tinggian dan
depresi, yaitu:
1. Tinggian Meraksa, yang terdiri dati
Kuang, Tinggian Palembang,
Tinggian Tamiang, Tinggian
Palembang bagian utara dan Tinggian
Sembilang.
2. Depresi Lematang (Muaraenim
Dalam)
3. Antiklinorium Pendopo Limau dan
Antiklinorium Palembang bagian
utara.
Ketiga fisiografi di atas membagi
cekungan Sumatera Selatan menjadi tiga
bagian, yaitu sub-cekungan Palembang
bagian selatan, sub-cekungan Palembang
bagian tengah dan sub-cekungan Jambi.
2.2. Stratigrafi Struktur Cekungan
Sumatera Selatan
Pada dasarnya stratigrafi cekungan
Sumatera Selatan terdiri dari satu siklus besar
sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi
pada awal siklus dan fase regresi pada akhir
siklusnya. Awalnya siklus ini dimulai dengan
siklus non-marine, yaitu proses
diendapkannya formasi Lahat pada oligosen
awal dan setelah itu diikuti oleh formasi
Talang Akar yang diendapkan diatasnya
secara tidak selaras. Fase transgresi ini terus
berlangsung hingga miosen awal, dan
berkembang formasi Baturaja yang terdiri
dari batuan karbonat yang diendapkan pada
lingkungan back reef, fore reef dan intertidal.
Sedangkan untuk fase transgresi maksimum
diendapkan formasi Gumai bagian bawah
yang terdiri dari shale laut dalam secara
selaras diatas formasi Baturaja. Fase regresi
terjadi pada saat diendapkannya formasi
Gumai bagian atas dan diikuti oleh
pengendapan formasi Air Benakat secara
selaras yang didominasi oleh litologi
batupasir pada lingkungan pantai dan delta.
Pada pliosen awal, laut menjadi semakin
dangkal karena terdapat dataran delta dan
non-marine yang terdiri dari perselingan
batupasir dan claystone dengan sisipan
berupa batubara. Pada saat pliosen awal ini
menjadi waktu pembentukan dari formasi
Muara Enim yang berlangsung sampai
pliosen akhir yang terdapat pengendapan
batuan konglomerat, batu apung dan lapisan
batupasir tuffa. Penjelasan dengan
menggunakan kolom stratigrafi dapat dilihat
pada gambar 2.2.
3
Gambar 2.2. Kolom stratigrafi cekungan Sumatra
Selatan (Satyana, 2005).
2.2.1. Batuan Dasar (Basement)
Pada dasarnya stratigrafi cekungan
Sumatera Selatan terdiri dari satu siklus besar
sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi
pada awal siklus dan fase regresi. Batuan
dasar (pra tersier) terdiri dari batuan
kompleks paleozoikum dan batuan
Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku,
dan batuan karbonat. Batuan dasar yang
paling tua, terdeformasi paling lemah,
dianggap bagian dari lempeng-mikro Malaka,
mendasari bagian utara dan timur cekungan.
Lebih ke selatan lagi terdapat Lempeng-
mikro Mergui yang terdeformasi kuat,
kemungkinan merupakan fragmen
kontinental yang lebih lemah. Lempeng-
mikro Malaka dan Mergui dipisahkan oleh
fragmen terdeformasi dari material yang
berasal dari selatan dan bertumbukan.
Bebatuan granit, vulkanik, dan metamorf
yang terdeformasi kuat (berumur Kapur
Akhir) mendasari bagian lainnya dari
cekungan Sumatera Selatan. Morfologi
batuan dasar ini dianggap mempengaruhi
morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi
dan luasnya gejala inversi/pensesaran
mendatar pada Plio-Pleistosen, karbon
dioksida lokal yang tinggi yang mengandung
hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang
terbentuk di batuan dasar (Ginger dan
Fielding, 2005).
2.2.2. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar diperkirakan
berumur oligosen akhir sampai miosen awal.
Formasi ini terbentuk secara tidak selaras dan
kemungkinan paraconformable di atas
Formasi Lahat dan selaras di bawah Formasi
Gumai atau anggota Basal Telisa/formasi
Baturaja. Formasi Talang Akar pada
cekungan Sumatera Selatan terdiri dari
batulanau, batupasir dan sisipan batubara
yang diendapkan pada lingkungan laut
dangkal hingga transisi. Bagian bawah
formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih
dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian
atasnya berupa perselingan antara batupasir
dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar
berkisar antara 460 – 610 m di dalam
beberapa area cekungan. Variasi lingkungan
pengendapan formasi ini merupakan fluvial-
deltaic yang berupa braidded stream dan
point bar di sepanjang paparan (shelf)
berangsur berubah menjadi lingkungan
pengendapan delta front, marginal marine,
dan prodelta yang mengindikasikan
perubahan lingkungan pengendapan ke arah
cekungan (basinward). Sumber sedimen
batupasir Talang Akar Bawah ini berasal dari
dua tinggian pada kala oligosen akhir, yaitu
di sebelah timur (Wilayah Sunda) dan
sebelah barat (deretan Pegunungan Barisan
dan daerah tinggian dekat Bukit Barisan).
2.3. Petroleum System Cekungan
Sumatera Selatan
Cekungan Sumatera Selatan
merupakan cekungan yang produktif sebagai
penghasil minyak dan gas. Hal itu dibuktikan
dengan banyaknya rembesan minyak dan gas
yang dihubungkan oleh adanya antiklin.
Letak rembesan ini berada di kaki bukit
Gumai dan pegunungan Barisan. Sehingga
dengan adanya peristiwa rembesan tersebut
dapat digunakan sebagai indikasi awal untuk
eksplorasi adanya hidrokarbon yang berada
4
di bawah permukaan berdasarkan petroleum
system.
2.3.1. Batuan Induk (Source Rock)
Hidrokarbon pada cekungan
Sumatera Selatan diperoleh dari batuan induk
lacustrine formasi Lahat dan batuan induk
terrestrial coal dan coaly shale pada formasi
Talang Akar. Batuan induk lacustrine
diendapkan pada kompleks half-graben,
sedangkan terrestrial coal dan coaly shale
secara luas pada batas half-graben. Selain itu
pada batu gamping formasi Baturaja dan
shale dari formasi Gumai memungkinkan
juga untuk dapat menghasilkan hirdrokarbon
pada area lokalnya (Bishop, 2001).
2.3.2. Reservoir
Dalam cekungan Sumatera Selatan,
beberapa formasi dapat menjadi reservoir
yang efektif untuk menyimpan hidrokarbon,
antara lain adalah pada basement, formasi
Lahat, formasi Talang Akar, formasi
Baturaja, dan formasi Gumai. Sedangkan
untuk sub cekungan Palembang Selatan
produksi hidrokarbon terbesar berasal dari
formasi Talang Akar dan formasi Baturaja.
Untuk formasi Talang Akar secara umum
terdiri dari quarzone porous sand, siltstone,
dan pengendapan shale. Sehingga pada
porous sand sangat baik untuk menjadi
reservoir. Porositas yang dimiliki pada
formasi Talang Akar berkisar antara 15-30 %
dan permeabilitasnya sebesar 5 Darcy.
Formasi Talang Akar diperkirakan
mengandung 75% produksi minyak dari
seluruh cekungan Sumatera Selatan (Bishop,
2001).
2.3.3. Batuan Penutup (Seal)
Batuan penutup cekungan Sumatra
Selatan secara umum berupa lapisan shale
cukup tebal yang berada di atas reservoir
formasi Talang Akar dan Gumai itu sendiri
(intraformational seal rock).
2.3.4. Jebakan (Trap)
Jebakan hidrokarbon utama
diakibatkan oleh adanya antiklin dari arah
baratlaut ke tenggara dan menjadi jebakan
yang pertama dieksplorasi. Antiklin ini
dibentuk akibat adanya kompresi yang
dimulai saat awal miosen dan berkisar pada
2-3 juta tahun yang lalu (Bishop, 2001).
2.3.5. Migrasi
Migrasi hidrokarbon ini terjadi secara
horisontal dan vertikal dari source rock
serpih dan batubara pada formasi Lahat dan
Talang Akar. Migrasi horisontal terjadi di
sepanjang kemiringan slope, yang membawa
hidrokarbon dari source rock dalam kepada
batuan reservoir dari formasi Lahat dan
Talang Akar sendiri. Migrasi vertikal dapat
terjadi melalui rekahan-rekahan dan daerah
sesar turun mayor.
2.4. Inversi Simultan
Contreras et al (2006) dalam
papernya menjelaskan kesuksesan dari
aplikasi amplitude-versus-angle (AVA)
simultaneous inversion dari data amplitudo
seismik pre-stack untuk mendeteksi dan
mendelineasi reservoir hidrokarbon. Analisis
sensitivitas yang detail dilakukan untuk
menilai sifat dari efek AVA pada area studi,
berdasarkan data log sumur. Pada
penelitiannya, Contreras terlebih dahulu
melakukan krosplot data log sumur.
Impedansi P dan S (Zp dan Zs) yang
merupakan hasil perkalian densitas dengan
kecepatan P dan S, dihitung dari log densitas
dan dipole-sonic. Setelah itu, diaplikasikan
metode lambda-mu-rho untuk menghasilkan
atribut modulus lambda-rho dan mu-rho
yang sensitif terhadap fluida dan litologi,
yang ditentukan dari hasil perkalian antara
parameter elastic Lame (λ dan μ) dengan
densitas bulk (ρ). Atribut modulus ini
dihitung dan dicrossplot dengan log
impedansi P dan S menggunakan persamaan:
2
sZ
(2.1)
5
222 sp ZZ
(2.2)
Deskripsi skematik dari metode
inversi simultan AVA dapat ditampilkan
pada gambar 2.3. Volume frekuensi rendah
dari impedansi P, impedansi S dan densitas
dibutuhkan untuk inversi 1D trace-based (1D
trace-based inversion) karena informasi
frekuensi rendah yang diperlukan untuk
mengikutsertakan pola kompaksi (0-6 Hz
pada kasus ini), tidak dimiliki oleh data
amplitudo seismik. Sebagai tambahan,
volume frekuensi rendah digunakan untuk
menuntun konstrain pola soft. Volume ini
diperoleh dengan melakukan interpolasi
lateral berbobot pada log sumur dengan
menggunakan model geologi yang
dikonstruksi berdasarkan interpretasi horizon
top formasi geologi. Terakhir, model
terinterpolasi difilter low-pass dengan
frekuensi cut-off 6 Hz untuk menghasilkan
volume frekuensi rendah terakhir.
Gambar 2.3. Skema metode inversi simultan AVA
(Contreras et al, 2006).
7
BAB III
DASAR TEORI
3.1. Gelombang Seismik
Gelombang seismik merupakan
gelombang yang merambat melalui bumi.
Perambatan gelombang ini bergantung pada
sifat elastisitas batuan. Gelombang seismik
dapat ditimbulkan dengan dua metode yaitu
metode aktif dan metode pasif. Metode aktif
adalah metode pengusikan gelombang seismik
secara aktif atau disengaja menggunakan
gangguan yang dibuat oleh manusia, biasanya
digunakan untuk eksplorasi. Metode pasif
adalah gangguan yang muncul terjadi secara
alamiah. Metode seismik merupakan metode
yang banyak dipakai dalam menentukan lokasi
prospek hidrokarbon. Dengan metode ini dapat
diperoleh informasi mengenai litologi dan fluida
bawah permukaan dalam bentuk waktu rambat,
amplitudo refleksi, dan variasi fasa.
3.1.1. Gelombang Badan (Body Wave)
Gelombang badan merupakan
gelombang seismik yang menjalar pada media
elastik dan arah perambatannya keseluruh
bagian interior bumi. Berdasarkan gerak partikel
dan arah penjalarannya gelombang badan
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gelombang P
dan gelombang S.
Gelombang P (primary wave)
merupakan gelombang kompresi
(compressional wave) atau gelombang
longitudinal, yang menjalar dengan arah gerak
partikel sejajar dengan arah rambatan
gelombangnya. Gelombang S (secondary wave)
adalah gelombang geser (shear wave) atau
gelombang transversal yang menjalar dengan
arah gerak partikel tegak lurus dengan arah
rambatan gelombangnya. Berbeda dengan
gelombang P yang dapat merambat baik di
medium padat, cair, maupun gas, gelombang S
hanya menjalar pada medium padat.
Persamaan kecepatan gelombang P dan
gelombang S untuk batuan non-porous dan
isotropic, menggunakan konstanta Lame λ,
modulus Bulk K dan modulus Shear μ yang
dituliskan sebagai:
342
K
VP
(3.1)
SV
(3.2)
dengan
Vp = kecepatan gelombang P
Vs = kecepatan gelombang S
K = modulus bulk
ρ = densitas
μ = modulus shear
3.1.2. Gelombang Permukaan (Surface
Wave)
Gelombang permukaan merupakan
gelombang seismik yang merambat pada
permukaan suatu medium. Berdasarkan pada
sifat gerakan partikel media elastik, gelombang
permukaan merupakan gelombang yang
kompleks dengan frekuensi yang rendah dan
amplitudo yang besar, yang menjalar akibat
adanya efek free survace dimana terdapat
perbedaan sifat elastik. Jenis dari gelombang
permukaan ada dua yaitu gelombang Reyleigh
dan gelombang Love.
Gelombang Reyleigh merupakan
gelombang permukaan yang orbit gerakannya
elips tegak lurus dengan permukaan dan arah
penjalarannya.
Gelombang Love merupakan gelombang
permukaan yang menjalar dalam bentuk
gelombang transversal yang merupakan
gelombang S horizontal yang penjalarannya
paralel dengan permukaannya (Gadallah and
Fisher, 2009).
3.1.3. Penjalaran Gelombang Seismik
Gelombang seismik dalam medium
berlapis (seperti halnya bumi) penjalarannya
mengikuti hukum Snellius. Hukum ini
mengatakan bahwa gelombang seismik yang
melewati bidang batas antara dua medium akan
dipantulkan atau dibiaskan dengan mengikuti
relasi:
8
konstaanpv
i
sin
(3.3)
dengan i dapat berupa sudut datang, sudut
pantul atau sudut bias gelombang, v adalah
kecepatan gelombang dalam medium yang
bersangkutan dan p adalah konstanta yang
disebut parameter gelombang. Parameter
gelombang ini besarnya tertentu dan tetap untuk
semua gelombang yang berasal dari satu berkas
gelombang.
Hukum Snell, yaitu:
pVVVVV SSPPP
2
2
1
1
2
2
1
'
1
1
1 sinsinsinsinsin
(3.4)
dengan
1 = sudut datang gelombang P,
2’, 2 = sudut pantul dan sudut bias
gelombang P,
1, 2 = sudut pantul dan sudut bias
gelombang S,
VP1, VP2 = kecepatan gelombang P pada
medium pertama dan medium
kedua,
VS1, VS2 = kecepatan gelombang S pada
medium pertama dan medium
kedua,
p = parameter gelombang,
dan 1 = 1’.
3.2. Koefisien Refleksi
Koefisien refleksi adalah perbandingan
antara amplitudo gelombang pantul dengan
amplitudo gelombang datang. Besarnya
koefisien refleksi pada sudut datang nol derajat
atau gelombang yang datang tegak lurus
terhadap bidang pemantul disebut juga koefisien
refleksi sudut datang normal atau koefisien
refleksi sudut datang nol yang dapat dirumuskan
sebagai :
2211
1122
0
10
PP
PP
VV
VV
A
AR
(3.5)
dengan
R0 = koefisien refleksi sudut datang nol,
A1 = amplitudo gelombang yang dipantulkan
pada medium 1,
A0 = amplitudo gelombang datang,
1 = densitas medium 1,
2 = densitas medium 2,
V P1 = kecepatan gelombang P pada medium 1,
VP2 = kecepatan gelombang P pada medium 2,
VP impedansi akustik.
3.3. Impedansi Akustik
Salah satu sifat akustik yang khas pada
batuan adalah Acoustic Impedance (Zp) yang
merupakan perkalian antara kecepatan (V) dan
densitas (ρ).
Zp = Vp ρ (3.6)
Dimana :
Zp = impedansi akustik
Vp = kecepatan gelombang P (m/s)
ρ = densitas (g/cm3)
Harga Zp ini lebih dikontrol oleh
kecepatan gelombang P dibandingkan densitas,
karena orde nilai kecepatan lebih besar
dibandingkan dengan orde nilai densitas. Jika
gelombang seismik ini melewati dua media
yang berbeda impedansi akustiknya maka akan
ada sebagian energi yang dipantulkan yang
kemudian direkam oleh receiver di permukaan.
3.4. Impedansi Shear
Secara umum Impedansi Shear hampir
sama dengan impedansi akustik, perbedaannya
pada kecepatan yang digunakan adalah
kecepatan gelombang S (Vs). Secara matematis
dirumuskan sebagai :
Zs = Vs ρ (3.7)
dimana :
Zs = Impedansi Shear
ρ = Densitas
Vs = kecepatan gelombang S
Karena sifat dari gelombang S hanya
mengukur rigiditas matriks batuan sehingga
keberadaan fluida tidak terdeteksi, gelombang
ini hanya akan melewati medium solid,
sehingga Zs dapat merepresentasikan variasi
litologi.
9
3.5. Seismogram Sintetik
Seismogram sintetik adalah hasil
konvolusi antara deret koefisien refleksi dengan
suatu wavelet. Untuk membuat seismogram
sintetik, wavelet yang dipakai diperoleh dengan
melakukan pengekstrakan pada data seismik
atau dengan wavelet buatan.
Seismogram sintetik merupakan sarana
untuk mengidentifikasi horizon seismik yang
sesuai dengan geologi bawah permukaan yang
diketahui dalam suatu sumur hidrokarbon
(Munadi dalam Fatimah, 2011). Identifikasi
permukaan atau dasar formasi pada penampang
seismik memungkinkan ditelusuri penerusan
formasi tersebut pada arah lateral dengan
memanfaatkan data seismik.
3.6. Inversi Seismik
Inversi seismik merupakan suatu teknik
untuk menggambarkan model geologi bawah
permukaan menggunakan data seismik sebagai
masukan dan data log sebagai pengontrol
(Sukmono, 2000). Veeken (2007) memberi
pengertian bahwa inversi seismik merupakan
suatu metode yang mengubah volum data
seismik menjadi volum data akustik atau elastik.
Pada dasarnya metode inversi seismik
digunakan untuk mengetahui kemenerusan
lateral dari data log, dan sangat membantu
dalam proses korelasi data sumur. Metode
inversi dapat memodelkan data sumur semu dari
data seismik seperti data log kecepatan, log
densitas, log impedansi akustik, yang memiliki
dimensi dan karakter yang sama dengan data
sumur konvensional.
Ilustrasi metode seismik inversi sebagai
proses pemodelan maju (forward modelling)
ditunjukan pada gambar 3.2. Gelombang
seismik yang ditangkap geofon sebenarnya
adalah konvolusi antara wavelet sumber dengan
deret koefisien refleksi di bawah permukaan
bumi. Pada metode inversi seismik, proses
tersebut dibalik menjadi proses dekonvolusi
data seismik dengan wavelet sumber sehingga
diperoleh koefisien refleksi.
Lindseth (1979) telah mengembangkan
metode inversi seismik sejak tahun 1970-an.
Prosedur dasarnya adalah :
1. Proses dekonvolusi data seismik menjadi
perkiraan deret koefisien refleksi
2. Proses inversi deret koefisien refleksi
menjadi impedansi akustik semu
3.7. Sifat Fisika Batuan
Sifat fisika batuan dapat digunakan
untuk mendeskripsikan kondisi batuan pada
suatu reservoir, serta dapat menentukan
bagaimana perilaku penjalaran gelombang di
dalam batuan. Sifat fisika batuan meliputi,
densitas, kecepatan gelombang P, kecepatan
gelombang S, porositas, dan lain sebagainya.
3.7.1. Porositas Batuan
Porositas batuan merupakan salah satu
sifat akustik dari reservoir yang didefinisikan
sebagai ukuran kemampuan batuan untuk
menyimpan fluida. Porositas batuan dinyatakan
dalam persen (%) atau fraksi. Dalam
karakterisasi reservoir, porositas terdiri dari dua
yaitu :
1. Porositas absolut didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume pori-pori
total batuan terhadap volume total
batuan.
2. Porositas efektif didefinisikan sebagai
perbandingan antara volume pori-pori
yang saling berhubungan dengan volume
batuan total.
3.7.2. Densitas
Densitas adalah karakter fisis yang
berubah secara signifikan terhadap perubahan
tipe batuan akibat perubahan mineral dan
porositas yang dimilikinya. Densitas (ρ)
didefinisikan sebagai massa (m) batuan per
satuan unit volume (V).
V
m
(3.10)
satuan densitas dalam SI adalah kg/m3 atau g/cc.
.
3.7.3. Inkompresibilitas (λ) dan Rigiditas (μ)
Inkompresibilitas (λ) merupakan tingkat
ketahanan suatu batuan terhadap gaya tekan
yang mengenainya. Semakin mudah dikompresi
maka semakin kecil nilai inkompresibilitas
begitu pula sebaliknya. Perubahan ini lebih
disebabkan oleh adanya perubahan pori
daripada perubahan ukuran butirnya. Hasil
perkalian λ dengan ρ atau dikenal dengan
10
lamda-rho (λρ) dapat mengindikasikan
keberadaan fluida karena nilainya
menggambarkan resistensi fluida terhadap
perubahan volume karena gaya compressional
stress. Batuan yang berisi gas akan memiliki
nilai lamda-rho yang kecil. Menurut Gray dan
Andersen (2001) dalam Sumirah (2003),
menyatakan bahwa rigiditas (μ) atau modulus
geser didefinisikan sebagai resistensi batuan
terhadap sebuah strain yang mengakibatkan
perubahan bentuk tanpa merubah volume total
dari batuan tersebut. Rigiditas sensitive terhadap
matriks batuan, semakin rapat matriksnya maka
akan semakin pula mengalami slide over satu
sama lain dan benda tersebut dikatakan
memiliki rigiditas yang tinggi.
)2().( 22 PP VZ
(3.13)
22).( PS VZ
(3.14)
22
SP ZZ
(3.15)
keterangan:
PV = Kecepatan gelombang P
SV = Kecepatan gelombang S
PZ = Impedansi gelombang P
SZ = Impedansi gelombang S
3.8. AVO (Amplitude Variations with
Offset)
3.8.1. Prinsip Dasar AVO
Konsep AVO didefinisikan sebagai
variasi perubahan amplitudo refleksi seiring
dengan bertambah besarnya sudut datang (angle
of incidence). Nilai reflektifitas pada sudut
datang kecil akan berbeda dengan nilai
reflektifitas pada sudut datang besar, dimana
nilai reflektifitas tersebut dapat menjadi lebih
besar atau kecil. Kasus perubahan nilai
reflektifitas ini dapat berupa brightspot, dimspot
atau pembalikan polaritas.
3.8.2. Persamaan Zoeppritz
Persamaan dasar AVO pertama kali
diperkenalkan oleh Zoeppritz (Hampson dan
Russel, 2008) yang menggambarkan koefisien
refleksi dan transmisi sebagai fungsi dari sudut
datang pada media elastik (densitas, kecepatan
gelombang P dan kecepatan gelombang S).
Konsep persamaan Zoeppritz adalah
menentukan koefisien refleksi dan transmisi
gelombang yang datang dari suatu medium ke
medium lain dengan sudut datang tidak sama
dengan nol. Dengan mengacu pada gambar 3.3,
persamaan Zoeppritz dapat dituliskan dalam
bentuk :
1
1
1
1
2
11
22
2
11
22
1
1
11
22
11
122
2
2
2
11
1
2
22
1
1
11
2211
2211
2cos
2sin
cos
sin
2sin.
.2cos
.
.2sin2cos
2cos.
..2sin
..
..2cos2sin
sincossincos
cossincossin
Tps
Tpp
Rps
Rpp
V
V
V
V
V
V
V
VV
VV
VV
V
V
p
s
p
p
p
s
s
ps
ps
ps
s
p
(3.16)
Keterangan:
Rpp = koefisien refleksi gelombang P,
Rps = koefisien refleksi gelombang S,
Tpp = koefisien transmisi gelombang
P,
Tps = koefisien transmisi gelombang
S,
Vp = kecepatan gelombang P (m/s)
1,2 = indeks medium lapisan 1 dan 2
1 = sudut datang gelombang P
2 = sudut transmisi gelombang P
1 = sudut datang gelombang S
2 = sudut transmisi gelombang S
Vs = kecepatan gelombang S (m/s)
ρ = densitas (kg/m3)
Aki-Richard menyederhanakan
persamaan Zoeppritz seperti persamaan (3.17).
12
12222 sin41sin8tan1
12
12
12
12
K
VV
VVK
VV
VVKR
ss
ss
pp
pp
pp
(3.17)
dengan :
2
2
p
s
V
VK
(3.18)
Pada persamaan (3.17) terlihat bahwa
koefisien refleksi pada setiap sudut datang
hanya dipengaruhi oleh densitas, kecepatan
gelombang P, dan kecepatan gelombang S pada
setiap lapisan.
3.8.3. Persamaan Aki-Richard
Aki dan Richard (1980) melakukan
penyerdehanaan pada persamaan Zoeppritz
11
menjadi persamaan orde-1 untuk koefisien
refleksi. Pendekatan yang dilakukan merupakan
linearisasi dari persamaan Zoeppritz yang
kompleks dengan memisahkan komponen
kecepatan dan densitas. Hal ini berfungsi untuk
memberikan perkiraan reflektivitas variasi
offset pada domain data pre-stack. Hasil
penyederhanaan oleh Aki-Richard diberikan
oleh persamaan:
S
S
P
PPP
V
Vcb
V
VaR
)(
(3.19)
dengan
2
2
2
2
2
sin4
sin2
2
1
cos2
1
P
S
P
S
V
Vc
V
Vb
a
21
21
21
21
21
21
2
)(
2
)(
2
)(
SSS
PPP
SS
S
PPP
VVV
VVV
VVV
VVV
SP,PP V,VR masing-masing adalah
koefisien refleksi sebagai fungsi sudut , rata-
rata kecepatan gelombang P dan kecepatan
gelombang S, dan densitas; ,SP V,V
masing-masing adalah perbedaan kecepatan
gelombang P, gelombang S dan densitas dari
dua medium yang berbeda, adalah rata-rata
sudut datang dan sudut transmisi atau bias.
3.9. Inversi Simultan
3.9.1. Prinsip Dasar Inversi Simultan
Inversi seismik merupakan suatu teknik
untuk menggambarkan model geologi bawah
permukaan menggunakan data seismik sebagai
masukan dan data log sebagai pengontrol
(Sukmono, 2000). Metode inversi seismik
dibagi menjadi dua jenis berdasarkan data yang
digunakan, yaitu: post stack seismic inversion
dan pre stack seismic inversion. Pada data
seismik post stack, diasumsikan bahwa
amplitudo seismik hanya dihasilkan oleh
reflektifitas pada sudut datang nol yaitu R(0),
sehingga post stack seismic inversion hanya
dapat digunakan untuk menghasilkan tampilan
model impedansi akustik. Data seismik pre
stack masih mengandung informasi sudut
(R(θ)), sehingga dapat digunakan untuk
manghasilkan parameter-parameter selain
impedansi P, seperti impedansi S, Vp/Vs serta
Lambda-Rho dan Mu-Rho.
Metode inversi simultan yang
dikembangkan Russel et.al. (2005)
menggunakan data pre-stack berupa partial
stack yang kemudian diinversikan secara
bersama (simultan) dengan wavelet hasil
estimasi dari masing-masing partial stack,
menggunakan persamaan Fatti yang telah
dimodifikasi sehingga diperoleh nilai impedansi
gelombang P, impedansi gelombang S dan
densitas.
3.9.2. Persamaan Fatti
Fatti et. al (1994) dalam Hampson et. al
(2006) memodifikasi persamaan Aki-Richard
sehingga diperoleh hubungan koefisien refleksi
sebagai berikut:
DSPPP RcRcRcR 321
(3.20)
dengan
,
,2
1
,2
1
DR
SV
SVSR
PV
PVPR
,2sin222tan
2
13
,2sin282
,2tan11
c
c
c
dan PV
SV .
12
Dengan melakukan pendekatan terhadap
reflektifitas kecil, Rpi<0.1 maka:
)(2
)(
)()1(
)()1(
iZ
iZ
iZiZ
iZiZPiR
(3.21)
dengan 2
)()1()(
iZiZiZ
.
Dengan menggunakan operasi kalkulus
sederhana, turunan dari logaritma natural
impedansi dapat dituliskan sebagai:
dttdZ
tZdt
tZd 1ln
(3.22)
Dengan menghilangkan dt pada
persamaan (3.30) kemudian menggunakan Δ
sebagai pengganti d, maka diperoleh persamaan
baru:
iPZ
iPZiPZ
iPR ln1
ln2
1ln
2
1
(3.23) dengan I merepresentasikan batas lapisan ke-i.
Persamaan (3.23) dapat diterapkan untuk
RS dan RD sehingga diperoleh persamaan baru :
SiPZ
iSZiSZ
iSR ln1
ln2
1ln
2
1
(3.24)
iDZ
iDZiPZ
iDR ln1
lnln
(3.25)
Jika ada N reflektifitas maka persamaan
(3.23) dapat dituliskan dalam bentuk persamaan
matriks sebagai:
NN
i
P
P
P
P
P
P
L
L
L
R
R
R
2
1
2
1
1
1
0
0
1
1
0
0
1
2
1 (3.26)
dengan iPZ
iPL ln.
Persamaan matriks di atas secara singkat
dapat ditulis:
PP DLR2
1 (3.27)
Dengan melakukan langkah yang sama
ke dalam persamaan 3.25 dan 3.26 maka dapat
diperoleh persamaan baru yaitu :
SS DLR2
1
(3.28)
DD DLR (3.29)
Jika seismic trace (S) direpresentasikan
sebagai konvolusi dari wavelet seismic (W)
dengan reflektifitas bumi (R) maka diperoleh
persamaan matriks sebagai:
NP
P
P
N R
R
R
WW
W
W
W
W
S
S
S
2
1
12
1
3
2
1
2
1
0
00
2
1 (3.30)
Persamaan matriks di atas secara singkat
dapat ditulis:
PWDRS2
1 (3.31)
Dengan mendefinisikan reflektifitas
( PR ,SR , dan DR ) sebagai fungsi dari matriks
derivative dan logaritma dari impedansi seperti
pada persamaan matriks (3.31) maka akan dapat
dituliskan persamaan:
DDLWcSDLWcPDLWcS )(3)(22
1)(1
2
1)(
(3.32)
Keterangan :
W = wavelet berdasarkan angle
tertentu
PL = logaritma natural impedansi
gelombang P
SL
= logaritma natural impedansi
gelombang S
DL = logaritma natural densitas
= sudut datang
S = seismic trace berdasarkan angle
tertentu
17
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Kelengkapan Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian
ini meliputi:
1. Data seismik 3D Pre Stack Time
Migration format CDP gather.
2. Data log 3 buah sumur pada area
penelitian, yaitu: FM-D2, FM-E1, FM-
E2. Adapun data log utama yang
digunakan adalah data Log P-wave
(sonic), Log S-wave (sonic), log
Densitas (density), log Gamma Ray, log
Porositas, dan log Resistivitas.
3. Checkshot 3 buah sumur, yaitu: FM-D2,
FM-E1, FM-E2.
4. Data Marker meliputi : Top BRF, Top
TAF, Top LAF, dan Top BSMN.
5. Data geologi yang meliputi geologi
regional daerah penelitian, dan
stratigrafi.
6. Basemap daerah penelitian (gambar 4.2)
4.2. Pengumpulan Data
4.2.1. Data Seismik
Data seismik awal yang digunakan dan
menjadi masukan berupa data 3D Pre-Stack
Time Migration, CDP gather yang telah
dikoreksi NMO (Normal Move Out) dan
supergather yang ditampilkan pada gambar 4.3.
Adapun jangkauan lintasan seismiknya yaitu
mulai dari Inline 1001 s.d 1304 dan Crossline
5001 s.d 5300. Dengan masukan berupa data
seismik Pre-Stack Time Migration, diharapkan
akan didapatkan titik reflektor yang
sesungguhnya, serta ini sebagai syarat dalam
pengolahan inversi simultan. Jika reflektor
berupa garis miring, di mana CMP ≠ CDP maka
efek point smearing dapat dihindari dan akan
merepresentasikan titik reflektor yang sama,
meskipun dengan sudut datang yang berbeda.
4.2.2. Data Sumur
Pada penelitian ini data sumur yang
dipakai berupa 3 sumur pada area penelitian,
yaitu: FM-D2, FM-E1, FM-E2. Adapun
kelengkapan data log pada tiap sumur dapat
dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.4.
Table. 4.1. Kelengkapan data log pada setiap
sumur.
Log Sumur
FM-D2 FM-E1 FM-E2
P-wave √ √ √
S-wave √ √ √
Densitas √ √ √
Gamma ray √ √ √
Neutron
porosity √ √ √
4.2.3. Data Marker
Data marker digunakan sebagai acuan
batas lapisan dan top formasi yang digunakan
sebagai acuan dalam melakukan pengikatan data
sumur dan data seismik yang selanjutnya
digunakan untuk picking horizon dari tiap batas
formasi. Marker tersebut yaitu Top BRF, Top
TAF dan Top LAF.
4.2.4. Data Geologi
Pada penelitian ini fungsi data geologi
sangat penting yang menjadi data pendukung
dalam pengolahan dan interpretasi hasil inversi.
Adapun data geologi didapat dari beberapa
literature yang melingkupi informasi geologi
regional, sistem tektonik, serta stratigrafi daerah
penelitian yang berasal dari hasil penelitian
sebelumnya.
4.3. Persiapan Data
Persiapan data perlu lakukan sebelum
proses inversi simultan, data tersebut sebagai
masukan sebelum diproses. Data-data yang
perlu disiapkan terdiri dari data sumur dan data
seismik, meliputi pembuatan crossplot untuk
analisis sensitifitas data sumur, super gather,
angle gather (near, middle, far), angle stack
dari data angle gather, full stack, picking
horizon dan wavelet yang diekstraksi dari tiap
angle stack.
4.3.1. Analisis Sensitivitas Data Sumur
Pada tahap awal sebelum inversi perlu
dilakukan analisa sensitifitas dari data sumur
untuk dapat mengetahui parameter fisis yang
paling sensitif terhadap data dalam
membedakan litologi dan fluida. Uji sensitifitas
dilakukan dengan cara melakukan crossplot dari
beberapa parameter fisis yang bersumber dari
data sumur. Parameter yang dianggap sensitif
terhadap data akan dapat memisahkan litologi
18
maupun fluida dengan baik dilihat dari hasil
crossplot.
4.3.2. Super Gather
Proses super gather dilakukan untuk
menganalisis tiap-tiap trace dalam CDP gather,
dimana setiap trace-nya akan menggambarkan
kisaran dari nilai offset. Super gather adalah
suatu proses perataan trace yang bertujuan
untuk memperkuat respon amplitudo.
4.3.3. Angle Gather
Proses pada angle gather adalah untuk
membawa tiap-tiap trace dalam kawasan offset
ke dalam kawasan sudut (angle), dimana proses
ini dilakukan dengan ray tracing menggunakan
fungsi kecepatan.
4.3.4. Full Stack
Proses stacking pada data PSTM gather
adalah dengan menjumlahkan trace-trace
seismik pada hasil angle gather. Proses ini
dilakukan untuk meningkatkan rasio sinyal
terhadap noise (S/N ratio). Data hasil stacking
akan digunakan dalam pembuatan earth model
yang berperan sebagai model awal inversi
simultan.
4.3.5. Angle Stack
Pada inversi simultan perlu digunakan
data seismik angle gather pada sudut near,
middle, dan far. Adapun pembagian sudutnya
sebagai berikut: Near stack (6O-17O), Middle
stack (14O-27O), Far stack (24O-35O).
Pemilihan sudut sengaja dibuat overlap
dengan tujuan mengover semua sudut yang ada,
sehingga tidak ada faktor sudut yang tidak
terlibatkan. Hal ini diharapkan memberikan
hasil yang lebih baik.
4.3.6. Ekstraksi Wavelet
Wavelet merupakan komponen penting
yang nantinya akan digunakan dalam proses
well seismic tie maupun pada saat proses
inversi. Ekstraksi wavelet dapat dilakukan
dengan menggunakan data sumur maupun data
seismik secara statistik. Wavelet yang diekstrak
pada saat proses well seismic tie akan
dikonvolusikan dengan reflektifitas sehingga
didapatkan seismik sintetik atau sintetik
seismogram. Adapun wavelet pada proses
inversi simultan digunakan untuk
mendekonvolusikan data seismik sehingga
didapatkan reflektifitas yang kemudian akan
didapatkan model impedansi P litologi bawah
permukaan.
4.3.7. Well Seismic Tie
Proses ini merupakan suatu proses
pengikatan data sumur yang ada dengan data
seismik dengan maksud supaya informasi data
sumur sesuai dengan data seismik. Proses ini
hanya dapat dilakukan apabila sumur yang kita
miliki terdapat data log sonic (Vp) dan data log
densitas. Adapun sebagai pengontrol kualitas
pengikatan yang kita lakukan antara data
seismik dengan data sumur akan dinyatakan
dalam bentuk korelasi antara data jejak seismik
dengan data seismiknya. Nilai korelasi
mendekati 1 merupakan kualitas korelasi yang
paling baik dari kisaran antara 0 – 1, namun
nilai korelasi lebih dari 0.7 sudah dikategorikan
baik.
4.3.8. Picking Horizon
Setelah dilakukan well seismic tie maka
langkah selanjutnya adalah melakukan picking
horizon. Pada penelitian ini menggunakan 2
buah horizon dengan tujuan untuk membatasi
nilai saat pembuatan model impedansi P dan
impedansi S. Horizon yang digunakan yaitu:
Horizon Top BRF, Horizon Top TAF, dan
Horizon Top LAF. Horizon Top TAF dan Top
LAF merupakan horizon target pada penelitian
ini yang merupakan reservoar batupasir yang
disisipi shale.
(a)
(b)
19
Gambar 4.3. Hasil map horizon (a) Top TAF dan (b)
Top LAF.
4.4. Proses Inversi Simultan
4.4.1. Pembuatan Model Awal
Pembuatan model awal Impedansi P dan
Impedansi S sebagai pengontrol agar hasil
inversi tidak bergeser jauh dari model. Input
yang digunakan pada proses ini adalah log Vp,
Vs, Densitas, impedansi P, dan impedansi S.
Data sumur berfungsi sebagai acuan nilai
Impedansi, sementara data horizon digunakan
sebagai panduan dalam melakukan ekstrapolasi
nilai Impedansi P dan impedansi S untuk
seluruh penampang seismik secara lateral. Pada
penelitian ini digunakan empat buah horizon,
yaitu Horizon Top BRF, Horizon Top TAF, dan
Horizon Top LAF.
4.4.2. Parameter Inversi Simultan
Parameter inversi simultan diperoleh
dengan mencari koefisien regresi hubungan
linier Ln Zp dengan Ln Zs dan Ln Zp dengan
Ln densitas seperti yang ditunjukkan pada
persamaan 3.36 dan persamaan 3.37. Koefisien-
koefisien ini dapat diperoleh dengan melakukan
crossplot pada data sumur. Adapun data log
yang diperlukan adalah Ln( ), Ln(Zp), dan
Ln(Zs).
a. Koefisien regresi linier Impedansi P
dan Impedansi S
Koefisien regresi hubungan linier
impedansi P dan impedansi S dapat
ditentukan dari crossplot data log Lp dan
Ls. Crossplot Log Lp dan Ls
ditunjukkan pada gambar 4.18.
Kemudian dengan melakukan regresi
linier pada trend utama (garis merah),
maka diperoleh nilai koefisien k dan kc
dimana k = 1,088 dan kc = -1,432.
b. Koefisien regresi linier Impedansi P
dan Densitas
Koefisien regresi hubungan linier
impedansi P dan densitas dapat
ditentukan dari crossplot data log Lp dan
Ld. Crossplot Log Lp dan LD
ditunjukkan pada gambar 4.4.
Gambar 4.4. Crossplot Ln Zs vs Ln Zp (kiri) dan
Crossplot Ln densitas vs Ln Zp (kanan).
Kemudian dengan melakukan regresi
linier pada trend utama (garis merah) maka
diperoleh nilai koefisien m = 0,253 dan mc = -
1,413. Begitu juga dengan
2260.Lp , 0880.Ls ,
dan 0530.Ld .
c. Perbandingan Vs dengan Vp
Dari data log Vp/Vs, nilai rata-
rata perbandingan kecepatan gelombang
P (Vp) terhadap kecepatan gelombang S
(Vs) pada daerah target antara Top BRF
– Top LAF yaitu 0,538.
4.4.3. Analisis Inversi Simultan
Proses inversi seismik diawali dengan
menganalisis parameter-parameter yang akan
diterapkan pada proses inversi. Analisis inversi
dilakukan dengan cara melakukan simulasi
secara iteratif terhadap parameter yang akan
digunakan dalam proses inversi sehingga dapat
20
diperoleh perkiraan hasil inversi dengan nilai
korelasi yang tinggi dan kesalahan (error) yang
paling kecil. Analisis ini berguna untuk
mengetahui sejauh mana kesesuaian perkiraan
hasil inversi terhadap data seismik dengan
melihat besarnya nilai korelasi dan kesesuaian
(kualitatif) antara data log, model awal dan hasil
inversi. Pada gambar 4.5 menunjukkan proses
quality control analisis parameter inversi
seismik pada sumur FM-D2 yang digunakan
adapun untuk sumur FM-E1 dan FM-E2
gambarnya terdapat pada lembar lampiran
(halaman A.5).
Gambar 4.5. Proses analisis inversi pada sumur FM-
D2.
24
BAB V
ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Sensitifitas Data Sumur
Analisis sensitifitas data sumur
dilakukan dengan cara membuat crossplot
antara dua buah parameter log dalam sistem
kartesian sumbu x dan y, selanjutnya dilakukan
zonasi terhadap data yang mempunyai
kecenderungan tertentu. Hasil dari zonasi ini
kemudian akan ditampilkan melalui cross-
section sehingga dapat dilihat zonasi data secara
lateral. Analisis sensitifitas ini penting
dilakukan untuk mengetahui parameter-
parameter yang dapat dijadikan indikator
litologi dan indikator fluida. Pada menganalisis
crossplot, parameter yang dianalisis antara lain:
impedansi S, impedansi P, densitas, lamda-rha
dan mu-rha. Dengan melakukan zonasi terhadap
data parameter yang digunakan, diharapkan
dapat mengetahui keberadaan fluida serta
karaketerisasi reservoir pada daerah sekitar
sumur. Hasil dari analisis crossplot ini
kemudian dapat dijadikan panduan dalam
mengkarakterisasi fluida pada keseluruhan
lapangan ALMULK.
5.1.1. Crossplot Vp dan Vs
Hasil analisis crossplot antara log Vp
terhadap Vs pada sumur FM-E2 ditunjukkan
pada gambar 5.1, digunakan untuk
mengkorelasikan antara log Vp dengan log Vs
pada FM-E2 yang didapat dari pengukuran.
Gambar 5.1. Hasil crossplot hubungan linier antara
Vp dengan Vs pada sumur FM-E2
Pada grafik diatas, yang mana sumbu y
merupakan kecepatan gelombang S dan sumbu
x merupakan besar kecepatan gelombang P pada
kedalaman yang sama, menggunakan regresi
linear maka didapat persamaan linier y =
0.861423 x -1113.09. persamaan linear tersebut
kemudian digunakan untuk membuat log Vs
pada sumur FM-E1 dan FM-D2. Log Vs ini
begitu penting karena digunakan sebagai salah
satu parameter dalam inversi simultan.
5.1.2. Crossplot Densitas dan Impedansi P
Dari hasil analisis crossplot antara log
impedansi P terhadap densitas pada sumur FM-
E2 ditunjukkan pada gambar 5.2 dengan
menggunakan color key berupa gamma ray
dapat digunakan sebagai indikator litologi. Dari
hasil crossplot ini diharapkan dapat
membedakan porous sand dan shale. Maka
kemudian dilakukan zonasi pada daerah tersebut
yang dianggap sebagai zona interest pada
penelitian ini. Hasil analisis crossplot log
densitas dan impedansi P pada gambar 5.2
menunjukkan anomali berupa shale (warna
hijau), porous sand (warna kuning) dan tight
sand (warna orange). Pada sumur FM-D2
(lampiran hal. A.1), FM-E1 (lampiran hal. A.1)
juga memiliki pola yang cukup sama dengan
sumur FM-E2. Zona interest berupa porous
sand memiliki nilai gamma ray yang relatif
lebih rendah dari tight sand dengan impedansi P
sedang dan densitasi rendah. Analisis crossplot
sumur FM-D2, FM-E1 dan FM-E2
menghasilkan rentang nilai impedansi P untuk
lapisan porous sand 7200 – 8800 m/s*gr/cc dan
densitas 2.18 - 2.33 gr/cc.
Hasil crossplot impedansi P terhadap
densitas menunjukkan nilai cut off densitas
sebesar 2.33 gr/cc. Berdasarkan analisis
crossplot ini dapat dikembangkan lebih lanjut
untuk crossplot yang lain agar dapat
mengidentifikasi keberadaan fluida pada tiap
sumur.
Gambar 5.2. Hasil crossplot Densitas dan Impedansi P
dengan color key gamma ray dan cross
section pada sumur FM-E2.
Penampang log berupa cross section dari
hasil zonasi yang dilakukan pada crossplot di
atas menunjukkan adanya pemisahan yang
Tight sand
Shale
Porous sand
25
cukup baik antara zona interest yang
diasumsikan berupa porous sand dengan daerah
di sekitarnya yang merupakan shale dan tight
sand. Dari hasil crossplot ini dapat disimpulkan
bahwa parameter impedansi P dan densitas
cukup baik dalam memisahkan daerah target.
5.1.3. Crossplot Impedansi P dan Impedansi
S
Hasil crossplot tersebut menunjukkan
shale (warna hijau), porous sand (warna
kuning) dan tight sand (warna orange) dapat
terseparasi dengan cukup baik. Hal ini didukung
oleh nilai impedansi P dan impedansi S yang
tinggi untuk tight sand. Sedangkan porous sand
ditunjukkan dengan nilai impedansi P dan
impedansi S yang lebih rendah dari tight sand.
Pada hasil crossplot sumur FM-E2
indikasi adanya fluida sudah cukup terlihat,
karena jika terdapat fluida maka nilai Impedansi
P akan turun secara drastis. Pada sumur FM-E2
secara zonasi shale (warna hijau), porous sand
(warna kuning) dan tight sand (warna orange)
terpisah dengan cukup baik. Hal ini dapat
mengindikasikan porous sand pada umur FM-
E2 telah tersaturasi dengan fluida. Analisis
crossplot sumur FM-D2, FM-E1 dan FM-E2
menghasilkan rentang nilai impedansi P untuk
lapisan porous sand 7200 – 8800 m/s*gr/cc dan
impedansi S 4000 – 5200 m/s*gr/cc.
Hasil crossplot impedansi P terhadap
impedansi S menunjukkan tidak adanya nilai cut
off antara porous sand dengan shale.
Gambar 5.3. Hasil crossplot Impedansi P dan
Impedansi S dengan color key gamma
ray dan cross section-nyapada sumur
FM-E2
Penampang log berupa cross section dari
hasil zonasi yang dilakukan pada crossplot di
atas menunjukkan adanya pemisahan yang
cukup baik antara zona interest yang
diasumsikan berupa porous sand dengan daerah
di sekitarnya yang merupakan shale dan tight
sand. Dari hasil crossplot ini dapat disimpulkan
bahwa parameter impedansi P dan impedansi S
cukup baik dalam memisahkan daerah target.
5.1.4. Crossplot Porositas dan Densitas
Dari hasil analisis crossplot antara log
neutron porosity dan densitas pada sumur FM-
E2 ditunjukkan pada gambar 5.4 dengan
menggunakan color key berupa gamma ray.
Dari hasil crossplot tersebut dapat dilihat bahwa
ada sekumpulan data yang memiliki trend (pola)
yang berbeda dengan yang lain atau biasa
disebut sebagai outlier yang biasanya
merepresentasikan adanya anomali. Maka
kemudian dilakukan zonasi, zonasi sebagai zona
interest pada penelitian ini dengan warna
kuning yang diasumsikan sebagai porous sand
sebagaimana memenuhi parameter porous sand
yaitu memiliki nilai densitas cukup kecil serta
neutron porosity kecil. Maka cukup untuk dapat
mengasumsikan area batupasir yang berpori
maupun lapisan batuan yang tidak berpori.
Gambar 5.4. Hasil crossplot porositas dan densitas
dengan color key gamma ray dan cross
section-nya pada sumur FM-E2
Analisis crossplot sumur FM-D2, FM-
E1 dan FM-E2 menghasilkan rentang nilai
neutron porosity untuk lapisan porous sand 0.19
– 0.29% sedangkan untuk densitas 2.18 – 2.33
gr/cc. Hal ini dapat mengindikasikan porous
sand pada umur FM-E2 telah tersaturasi dengan
fluida berupa hidrokarbon. Penampang log
berupa cross section dari hasil zonasi yang
dilakukan pada crossplot di atas menunjukkan
adanya pemisahan yang cukup baik antara zona
interest yang diasumsikan berupa porous sand
dengan daerah sekitarnya yang dimungkinkan
kurang berpori. Dari hasil crossplot ini dapat
disimpulkan bahwa parameter neutron porosity
Tight sand
Shale
Porous sand
Porous sand
26
dan densitas cukup baik dalam memisahkan
daerah target.
5.1.5. Crossplot Lambda-Rho dan Mu-Rho
Hasil crossplot antara parameter
Lambda-Rho dan Mu-Rho dengan color key
berupa parameter neutron porosity ditunjukkan
pada gambar 5.5. Crossplot tersebut cukup
dapat memisahkan daerah target dengan baik.
Hasil zonasi memperlihatkan nilai Mu-Rho yang
tinggi dan Lambda-Rho yang rendah sebagai
representasi dari porous sand yang terisi fluida
berupa hidrokarbon. Parameter neutron porosity
digunakan sebagai color key dapat
menginterpretasikan litologi yang memiliki
kandungan hidrokarbon, berdasarkan referensi
porous sand akan memiliki neutron porosity
rendah jika terisi fluida hidrokarbon, sedangkan
shale memiliki neutron porosity cukup tinggi.
Gambar 5.5. Hasil crossplot Lambda-Rho dan Mu-Rho
dengan color key resistivity dan cross
section-nya pada sumur FM-E2.
Berdasarkan hasil crossplot diatas, salah
satu anomali keberadaan fluida jelas
ditunjukkan pada crossplot sumur FM-E2.
Adapun pada sumur yang lain sumur FM-D2
(lampiran hal. A.4) dan FM-E1 (lampiran hal.
A.4) memiliki trend yang sama dengan sumur
FM-E2. Indikasi adanya fluida pada crossplot
FM-E2 ditunjukkan dengan separasi yang baik
antara shale (warna hijau), porous sand (warna
kuning) dan tight sand (warna orange). Nilai
mu-rho yang lebih tinggi dari shale dapat
mengkarakterisasikan porous sand sebagai
reservoir pada sumur FM-E2 dan lambda-rho
yang lebih rendah dari shale dapat
mengindikasikan bahwa pada zona tersebut
mengandung fluida yang mengisi reservoir.
Nilai mu-rho berdasarkan hasil crossplot pada
sumur FM-E2 diperoleh untuk porous sand
adalah 17 – 28 Gpa*g/cc dan lambda-rho 20 -
25 Gpa*g/cc.
5.2. Analisis Hasil Inversi Simultan
5.2.1. Impedansi P Hasil inversi simultan pada penelitian ini
menghasilkan 3 volume, yaitu impedansi P
(Zp), impedansi S (Zs) dan densitas. Hasil
inversi simultan untuk parameter Zp pada tiap
sumur penelitian diperlihatkan pada gambar 5.6.
Secara umum penampang Zp pada tiap sumur
sudah dapat memisahkan litologi yang ada
berdasarkan nilai impedansinya. Berdasarkan
penampang hasil inversi simultan pada daerah
horizon Top TAF- Top LAF sebagian besar
memiliki impedansi P pada rentang 5000 –
10400 m/s*gr/cc. Nilai impedansi P porous
sand berdasarkan hasil analisis crossplot pada
kisaran 7300-8500 m/s*gr/cc (warna merah).
Pada gambar 5.6 secara keseluruhan penampang
hasil inversi dengan well log FM-E1 dan FM-E2
relatif terlihat kecocokannya, hal ini
mengindikasikan bahwa hasil inversi dapat
memisahkan litologi yang ada pada horizon
target. Area target inversi cukup kecil sehingga
perlu dilakukan slicing untuk melihat secara
keseluruhan sebraran porous sand pada horizon
target.
Anomali impedansi P rendah pada
horizon Top-TAF dan Top-LAF
mengindikasikan terdapat porous sand yang
tersaturasi dengan fluida sehingga menyebabkan
nilai impedansi P menjadi rendah. Hal ini
bersesuaian dengan hasil analisis crossplot
dimana pada sumur FM-E1 dan FM-E2 terdapat
porous sand yang tersaturasi dengan fluida.
Untuk lebih memastikan mengenai keberadaan
fluida pada porous sand tersebut maka
dilakukan analisis terhadap volume lamda-rho
hasil turunan inversi simultan.
Persebaran dan kemenerusan porous
sand pada horizon Top-TAF dan Top-LAF
dapat dilakukan arbitrary line pada daerah
tersebut yang ditunjukkan pada Gambar 5.6.
Tight sand
Shale
Porous sand
B
27
Hasil inversi simultan impedansi P pada
penampang arbitrary line seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 5.7 memperlihatkan
kemenerusan anomali Zp rendah di sepanjang
horizon sumur FM-E2 hingga FM-D2. Zona
adanya fluida dapat terpisahkan baik secara
horizontal maupun vertikal.
5.2.2. Impedansi S
Hasil inversi simultan untuk penampang
impedansi S (Zs) menunjukkan hasil yang
relatif sama dengan hasil inversi simultan untuk
penampang impedansi P seperti yang
diperlihatkan gambar 5.7. Secara umum
penampang inversi impedansi S dengan well log
cukup menunjukkan kecocokkan pada area
sekitarnya.
Gelombang S hanya dapat mengukur
rigiditas ( ) dari matriks batuan sehingga
keberadaan fluida tidak terdeteksi, gelombang
ini hanya akan melewati medium padat
sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi variasi litologi.
Hasil inversi impedansi S pada horizon
target ditemukan kontras impedansi S (Zs)
dengan rentang berkisar antara 2800 – 5600
m/s*gr/cc. Berdasarkan analisis crossplot
kontras impedansi S rendah merepresentasikan
litologi pada horizon tersebut berupa shale,
sedangkan untuk nilai impedansi S sedang-
tinggi berupa sand. Tight sand memiliki nilai
impedansi S yang lebih tinggi dari pada porous
sand. Nilai impedansi S porous sand
berdasarkan hasil analisis crossplot pada kisaran
4200-5200 m/s*gr/cc (warna merah). Dengan
demikian secara umum pada sumur FM-E1 dan
FM-E2, hasil inversi simultan untuk parameter
impedansi S mampu mengidentifikasi porous
sand tersaturasi fluida pada target horizon Top-
TAF dan Top-LAF.
Log Zp Log GR
A
B
A
Gambar 5.6. Penampang hasil inversi untuk parameter impedansi P pada
sumur FM-E2.
Gambar 5.7. Penampang hasil inversi untuk parameter impedansi S pada
sumur FM-E2.
B
A
B
A B
28
5.2.3. Densitas ( )
Hasil inversi simultan untuk penampang
densitas menunjukkan hasil yang relatif sama
dengan hasil inversi simultan untuk penampang
impedansi P (Zp) seperti yang diperlihatkan
Gambar 5.8. Variasi densitas baik secara
vertikal maupun secara horizontal dapat
dipisahkan dengan baik.
Hasil volume densitas pada horizon
target ditemukan kontras densitas dengan
rentang berkisar antara 2.12 – 2.60 gr/cc.
Berdasarkan analisis crossplot kontras densitas
rendah merepresentasikan litologi pada horizon
tersebut berupa porous sand, sedangkan untuk
nilai densitas tinggi berupa shale. Tight sand
memiliki nilai densitas yang lebih tinggi dari
pada porous sand. Nilai densitas porous sand
berdasarkan hasil analisis crossplot pada kisaran
2.18 – 2.3 gr/cc. Dengan demikian secara umum
pada sumur FM-D2, FM-E1 dan FM-E2, hasil
inversi simultan untuk parameter densitas cukup
mampu mengidentifikasi porous sand
tersaturasi fluida pada target horizon Top-TAF
dan Top-LAF.
5.3. Analisis Turunan Hasil Inversi
Simultan
5.3.1. Mu-Rho
Volume mu-rho berasal dari turunan
antara impedansi P dan impedansi S.
Penampang mu-rha dapat dilihat pada gambar
5.9. Nilai Mu-Rho yang lebih tinggi dari shale
dapat mengkarakterisasikan porous sand
sebagai reservoir. Nilai Mu-Rho berdasarkan
hasil crossplot pada sumur FM-E2 diperoleh
untuk porous sand adalah 17 – 28 Gpa*g/cc.
Hasil volume mu-rho pada horizon
target ditemukan kontras dengan rentang
berkisar antara 5 – 35 Gpa*gr/cc. Berdasarkan
analisis crossplot kontras mu-rho tinggi
merepresentasikan litologi pada horizon tersebut
berupa porous sand yang menjadi reservoir
pada zona target. Secara umum penampang
hasil turunan berupa mu-rho dengan well log
cukup menunjukkan kecocokkan dengan area
sekitarnya, namun selisih nilai mu-rho-nya tidak
terlampau jauh. Dengan demikian secara umum
pada sumur FM-D2, FM-E1 dan FM-E2, hasil
penurunan inversi simultan untuk parameter mu-
rho cukup mampu mengidentifikasi porous sand
tersaturasi fluida pada target horizon Top-TAF
dan Top-LAF.
Log Density
A
B
A B
B
Gambar 5.8. Penampang hasil inversi untuk parameter densitas pada
sumur FM-E2.
29
5.3.2. Lamda-Rho
Volume lamda-rho berasal dari turunan
antara impedansi P dan impedansi S.
Penampang lamda-rho dapat dilihat pada
gambar 5.10. Nilai lambda-rho yang lebih
rendah dari shale dapat mengindikasikan bahwa
pada zona tersebut mengandung fluida
hidrokarbon yang mengisi reservoir.
Hasil volume lamda-rho pada horizon
target ditemukan kontras dengan rentang
berkisar antara 5 – 56 Gpa*gr/cc. Berdasarkan
analisis crossplot kontras lamda-rho rendah
merepresentasikan fluida hidrokarbon pada
horizon tersebut yang mengisi porous sand.
Nilai lamda-rho rendah pada porous sand
berdasarkan hasil analisis crossplot pada kisaran
20 – 25 Gpa*gr/cc. Secara keseluruhan
penampang hasil turunan berupa lamda-rho
dengan well log mampu menunjukkan
kecocokkan pada zona target, Dengan demikian
secara umum pada sumur FM-D2, FM-E1 dan
FM-E2, hasil penurunan inversi simultan untuk
parameter lamda-rho cukup mampu
mengidentifikasi porous sand tersaturasi fluida
pada target horizon Top TAF – Top LAF.
5.4. Analisis Slice
5.4.1. Impedansi P
Pembuatan map slicing pada tiap volume
hasil inversi simultan dan turunan hasil inverse
simultan dilakukan untuk mengetahui pola
penyebaran anomalinya. Hasil slicing untuk
volume impedansi P ditunjukkan pada gambar
5.11.
Hasil slicing untuk volume impedansi P
Log GR
Log MR
Log LR
A
B
A
B
Gambar 5.9. Penampang hasil inversi untuk parameter mu-rho pada
sumur FM-E2.
A B
Gambar 5.10. Penampang hasil inversi untuk parameter lambda-rho
pada sumur FM-E2.
B
30
memperlihatkan adanya persebaran anomali
impedansi P yang rendah dengan cukup jelas.
Daerah dengan nilai impedansi yang rendah
menerus diantara sumur FM-E2 dan sumur FM-
E1, kemudian menerus menjauhi sumur FM-E1
relatif ke arah selatan. Zona anomali ini terlihat
sangat kontras dan terseparasi dengan nilai
impedansi yang rendah. Sumur FM-E1 dan FM-
E2 berada di tepi zona anomali.
Berdasarkan map hasil slicing volume
impedansi P dapat diambil kesimpulan bahwa
anomali rendah (warna merah) yang nampak
pada map tersebut mengindikasikan adanya
porous sand yang tersaturasi fluida. Nilai
rentang porous sand untuk map ini sesuai
dengan rentang hasil analisis crossplot, yakni
berkisar antara 7300-8500 m/s*gr/cc.
Sedangkan tight sand ditunjukkan kontras
impedansi sedang hingga tinggi dan
mengelilingi zona anomali impedansi P rendah.
Gambar 5.11. Map hasil slicing volume impedansi P
5.4.2. Impedansi S
Hasil dari map slicing volume impedansi
S ditunjukkan pada gambar 5.12 cukup mampu
menunjukkan adanya anomali yang dapat
melokalisasi adanya fluida pada lapangan. Hal
ini sesuai dengan hasil penampang impedansi S
yang juga tidak memperlihatkan adanya anomali
impedansi S yang rendah. Dengan
menggunakan skala warna dengan nilai
impedansi sesuai dengan analisis crossplot,
yakni berkisar 4200-5200 m/s*gr/cc
ditunjukkan dengan warna merah pada skala
warna. Dengan menggunakan hasil analisis
crossplot dan map slicing dapat membantu kita
menginterpretasikan map impedansi S lebih
lanjut.
Pada daerah disekitar sumur FM-E1 dan
FM-E2, terlihat kontras impendansi S yang
tinggi. Nilai impendansi S yang tinggi dapat
diinterpretasikan sebagai porous sand dengan
nilai rentang impedansi S berkisar antara 4200-
5200 m/s*gr/cc. Secara umum map impedansi S
dapat mengidentifikasi variasi litologi pada
lapangan ALMULK dengan baik. Hal ini dapat
disebabkan karena Log Vs yang digunakan
cukup sensitif terhadap variasi litologi pada
lapangan ALMULK.
Gambar 5.12. Map hasil slicing Top TAF – Top LAF
pada volume impedansi S
5.4.3. Densitas
Map densitas hasil inversi simultan
dapat dilihat pada Gambar 5.13. Proses slicing
dilakukan antar horizon dari Top TAF – Top
LAF dengan menggunakan perhitungan
minimum amplitude. Dari hasil slicing terlihat
adanya daerah yang memiliki perbedaan nilai
densitas yang signifikan dengan daerah
sekitarnya. Kontras densitas rendah muncul
dalam area yang cukup lebar di antara sumur
FM-D2, FM-E1 dan FM-E2 dengan pola arah
penyebaran arah utara dan selatan. Zona
anomali pada area di antara sumur FM-D2, FM-
E1 dan FM-E2 teridentifikasi dan terpisahkan
dengan baik untuk porous sand. Berdasarkan
analisis crossplot nilai densitas rendah yang
teridentifikasi sebagai porous sand memiliki
rentang nilai berkisar 2.18 – 2.30 gr/cc. Pada
map hasil slice pada range 2.18 – 2.30 gr/cc
ditunjukkan dengan warna merah pada skala
warna.
Area
Prospek
C
A B
Area
Prospek
C
A B
31
Gambar 5.13. Map hasil slicing volume densitas pada
Top TAF – Top LAF
5.4.4. Mu-Rho
Volume mu-rho merupakan turunan
antara impedansi P dan impedansi S. Volume
mu-rho dilakukan slicing pada zona target agar
diperoleh map mu-rho yang dapat dilihat pada
Gambar 5.14. Proses slicing dilakukan antar
horizon dari Top TAF – Top LAF dengan
menggunakan perhitungan maksimum
amplitude. Dengan menggunakan parameter
turunan ini diharapkan dapat mendukung
interpretasi sebelumnya dan memudahkan untuk
mengidentifikasi fluida pada lapangan
ALMULK.
Nilai Mu-Rho yang lebih tinggi dapat
mengkarakterisasikan porous sand sebagai
reservoir. Berdasarkan nilai mu-rho hasil
analisis crossplot diperoleh untuk porous sand
adalah 17 – 28 Gpa*g/cc. Berdasarkan analisis
crossplot kontras mu-rho tinggi
merepresentasikan litologi pada horizon tersebut
berupa porous sand yang menjadi reservoir
pada zona target yang ditunjukkan dengan
warna merah pada skala warna hasil slice. Dari
hasil slicing terlihat kontras mu-rho yang tinggi
berada disekitar sumur FM-E1 dan FM-E2,
sedangkan sekitar area sumur FM-D2 relatif
memiliki nilai mu-rho yang rendah. Analisis
mu-rho hanya mengidentifikasi keberadaan
reservoir, sehingga untuk mengidentifikasi
fluida yang mengisi perlu dicocokkan dengan
analisis lamda-rho.
Gambar 5.14. Map hasil slicing volume Mu-Rho pada
Top TAF – Top LAF
5.4.5. Lamda-Rho
Volume lamda-rho merupakan turunan
antara impedansi P dan impedansi S. Volume
lamda-rho dilakukan slicing pada zona target
agar diperoleh map lamda-rho yang dapat
dilihat pada gambar 5.15. Proses slicing
dilakukan antar horizon dari Top TAF – Top
LAF dengan menggunakan perhitungan
minimum amplitude. Dengan menggunakan
parameter turunan ini diharapkan dapat
mendukung interpretasi sebelumnya dan
memudahkan untuk mengidentifikasi fluida
pada lapangan ALMULK.
Berdasarkan nilai lamda-rho hasil
analisis crossplot diperoleh untuk porous sand
adalah 20 – 25 Gpa*g/cc. Berdasarkan analisis
crossplot kontras lamda-rho rendah
merepresentasikan fluida hidrokarbon yang
mengisi reservoir yang berupa porous sand pada
zona target yang ditunjukkan dengan warna
merah pada skala warna hasil slice. Dari hasil
slicing terlihat kontras lamda-rho yang rendah
berada disekitar sumur FM-E1 dan FM-E2,
sedangkan sekitar area sumur FM-D2 relatif
memiliki nilai lamda-rha yang tinggi.
Area
Prospek
C
A B Area
Prospek
C
A B
32
Gambar 5.15. Map hasil slicing volume Lamda-Rho
pada Top TAF – Top LAF.
Berdasarkan gambar 5.14 dan gambar
5.15 terlihat bahwa parameter mu-rho dan
lamda-rho mampu melokalisasi adanya fluida
pada porous sand yang ditunjukkan dengan
nilai mu-rho tinggi dan lamda-rho rendah.
Anomali nilai mu-rho tinggi dan lamda-rho
rendah muncul pada daerah di sekitar sumur
FM-D2 dan menerus relatif ke selatan.
Sedangkan untuk sumur FM-E1 dan FM-E2
tidak terlihat adanya anomali Mu-Rho tinggi dan
Lamda-Rho rendah. Dari map mu-rho dan
lamda-rho ini diperoleh nilai rentang untuk
porous sand tersaturasi dengan fluida.
Area
Prospek
C
A B
36
36
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Setelah dilakukan inversi simultan pada
lapangan ALMULK untuk mengkaraketerisasi
fluida pada horizon Top TAF – Top LAF
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil inversi simultan untuk parameter
impedansi P mampu memberikan hasil
yang cukup bagus dan mampu
mengidentifikasi litologi berupa shale,
porous sand dan tight sand. Nilai
impedansi P dari porous sand pada
horizon target relative rendah dari
sekitarnya, yaitu berkisar 7300-8500
m/s*gr/cc. Sedangkan parameter
impedansi S cukup mampu memberikan
hasil yang jelas untuk identifikasi variasi
litologi yang mengandung fluida, terlihat
pada hasil inversi dan analisis crossplot
juga mampu terpisahkan. Berdasarkan
analisis crossplot kontras impedansi S
sedang-tinggi merepresentasikan litologi
yang mengandung fluida pada horizon
target. Nilai impedansi P porous sand
berdasarkan hasil analisis crossplot pada
kisaran 4200-5200 m/s*gr/cc. Hasil
inversi simultan berupa parameter
densitas mampu memisahkan kontras
densitas pada area horizon target. Nilai
densitas rendah teridentifikasi sebagai
porous sand yang bernilai 2.18 – 2.3
gr/cc. Parameter turunan yang berupa
mu-rho dan lamda-rho merupakan
parameter yang baik untuk melokalisasi
adanya fluida pada reservoir. Hasil
persebaran nilai mu-rho tinggi dan
lamda-rho rendah merepresentasikan
penyebaran reservoir berupa porous
sand yang terisi fluida berupa
hidrokarbon pada area formasi target.
Nilai mu-rho berdasarkan analisis
crossplot dan inversi pada zona porous
sand didapat berkisar adalah 17 – 28
Gpa*g/cc, sedangkan lamda-rho 20 – 25
Gpa*g/cc.
2. Terdapat 3 area prospek yaitu Prospek-
A, Prospek-B dan Prospek-C pada
lapangan ALMULK yang berada di
sekitar sumur FM-E1 dan FM-E2 yang
menyebar ke arah barat dan utara. Pada
area Prospek-A dan Prospek-B
merupakan area prospek baru yang telah
dianalisis menggunakan metode inverse
simultan, sedangkan pada area Prospek-
C merupakan area yang telah terbukti
keberadaan hidrokarbonnya terbukti dari
terdapatnya sumur produksi. Pada daerah
sekitar FM-D2 kurang prospek terlihat
dari nilai lamda-rho yang besar pada
hasil slacing dan crossplot, selain itu
pada penampang hasil inversi sumur
FM-D2 terlihat litologi batupasir yang
cukup tipis sehingga kurang prospek
sebagai reservoir batupasir yang terisi
hidrokarbon untuk diproduksi.
6.2. Saran
Setelah dilakukan penelitian dan melihat
hasil yang didapat, maka beberapa saran untuk
penelitian lebih lanjut sebagai berikut:
1. Diperlukan data sumur yang lebih
banyak dan tersebar agar dapat
memberikan informasi kemenerusan
litologi dan karakterisasi reservoir secara
lateral dengan lebih baik.
2. Perlu dilakukan studi atribut seismik
untuk menganalisis potensi hidrokarbon
dengan lebih baik.
37
37
DAFTAR PUSTAKA
Aki, K. dan Richards, P.G., 1980, Quantitative
Seismology: Theory and Methods, Vol 1:
W.H. Freeman and Company.
Bishop, M.G., 2001, South Sumatra Basin
Province, Indonesia: The Lahat/Talang
Akar-Cenozoic Total Petroleum System,
Open-File Report of USGS.
De Coster., 1974, The Geology of The Central
South Sumatra Basins, Proceding of The
Third Annual Convention Indonesian
Petroleum Association: Jakarta.
Contreras, A., Carlos, T.V. dan Tim. F., 2006,
AVA Simultaneous Inversion of Partially
Stacked Seismic Amplitude Data for the
Spatial Delineation of Lithology and
Fluid Units of Deepwater Hydrocarbon
Reservoirs in the Central Gulf of
Mexico, Geophysics.
Fatti, J.L., Smith, G.C., Vail, P.J., Strauss, P.J.
dan Levitt, P.R., 1994, Detection of Gas
in Porous Sand Reservoirs Using AVO
Analysis: A 3-D Seismic Case History
Using the Geostack Technique.
Geophysics, Vol. 59.
Gadallah, R.M. dan Fisher, R., 2009,
Exploration Geophysics, Springer:
Berlin.
Ginger, D. dan Fielding, K., 2005, The
Petroleum System And Future Potensial
Of The South Sumatera Basin.
Indonesian Petroleum Association.
Gray, D. dan Andersen, E., 2001, The
Aplication of AVO and Inversion to the
Estimation of Rock Properties, CSEG
Recorder.
Hampson, D. dan Russell, B.H., 2005,
Simultaneous Inversion of Pre-stack
Seismic Data, Geohorizons.
Hampson, D.P. dan Russel, B.H, 2006, The Old
and The New in Seismic Inversion,
CSEG RECORDER.
Inabuy., 2008, Estimasi Sebaran Fluida dan
Litologi Menggunakan Kombinasi
Inversi AVO dan Multi-atribut. Institut
Teknologi Bandung: Bandung.
Lindseth, R.O., 1979, Synthetic Sonic Logs – A
Process for Stratigraphic Interpretation:
Geophysics, v.44, p.3-26.
Russell, B.H., Daniel, P.H., Keith, H. dan
Janusz, P., 2005, Joint Simultaneous
Inversion of PP and PS Angle Gathers,
CREWES Report Volume 17.
Sarjono, S. dan Sardjito, 1989, Hydrocarbon
Source Rock Identification in the South
Palembang Sub-Basin, Proceeding
Indonesian Petroleum Association. 18th
Annual convention.
Satyana, Awang H., 2005, Geology of
Indonesia: Current Concepts, pre-
Conventional Course, 34th
Annual
Convention, Indonesia Association of
Geologists (IAGI).
Sismanto., 2006, Dasar-dasar Akuisisi dan
Pengolahan Data Seismik, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sukmono, S., 2000, Seismik Inversi untuk
Karakterisasi Reservoar, Institut
Teknologi Bandung: Bandung.
Sumirah., Budi, E.N. dan Endro, H., 2003,
Deteksi Reservoar Gas Menggunakan
Analisis AVO dan Inversi λμρ. Jakarta.
Veeken. dan Paul, C.H., 2007, Seismic
Stratigraphy, Basin Analysis and
Reservoir Characterization, Oxford:
Elsevier Ltd.
Top Related