PRESENTASI KASUS
SEORANG LAKI – LAKI USIA 49 TAHUN DENGAN BEKAS TBDENGAN SINDROM OBSTRUKSI DAN HEMOPTISIS DD MIKOSIS PARU
Disusun Oleh:
Satria Adi P G99141062 Yunandia RahmawatiG99141122
Yohana Trissya A G99141063 Annisa Inayati MS G99141123
Totok Siswanto G99141064 Rizka Ratmilia G99141124
Ivan Setiawan G99141065 Melissa Donda HG99141125
Ibnu Kharisman G99141066 Hanne Dianta P G99141126
KEPANITERAAN KLINIK SMF/ BAGIAN ILMU KESEHATAN PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
STATUS PENDERITA
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. W
Usia : 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Status : Menikah
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Alamat : Kwagean RT 7 / 4 GentunganMojogedang Karanganyar,Jateng
Tanggal Masuk : 17 Oktober 2014
Jam Masuk : 14.00 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 17 Oktober 2014
No. RM : 01-27-23-11
2. Keluhan Utama
Batuk darah
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan diagnosis post TB dengan
sindrom obstruksi dan hemoptisis setelah pulang
modok 4 hari yang lalu. Setelah pulang modok
pasien mengeluh batuk darah pada malam harinya.
Batuk darah tidak berkurang sampe saat ini,
batuk darah 1-3x sehari -/+ ½ gelas aqua
berwarna merah segar, buih (+) sedikit, tidak
ada makanan. Pasien sudah minum obat asam
traneksamat , codein 2x10mg, vit. C 3x1, SF 2x3
namun batuk darah tetap, sesak kadang – kadang,
mengi (-), penurunan nafsu makan (-), penurunan
berat badan (-), mual muntah (-), BAB dan BAK
tidak ada keluhan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat OAT : (+) 20 thn yang
lalu (di BKPM Jajar ) dan 3 tahun lalu di RSU
Karanganyar dinyatakan sembuh. Sputum BTA
tanggal 9 Oktober 2014 di RSDM (-) 3x, kultur
telah dilakukan namun hasil belum ada. Candida
albicans (+)
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus :disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung :disangkal
Riwayat Mondok : (+) 3 thn yanglalu di RSKaranganyar, 4hari yang lalu diRSDM
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Sesak Napas : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung :disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Alergi Obat/makanan : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Riwayat Merokok : (+) IB 240(sedang)
Riwayat Minum alkohol : disangkal
Riwayat Olahraga : jarang
Riwayat memasak dengan kayu bakar: disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang buruh. Pasien berobat
menggunakan pelayanan BPJS.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum: sakit sedang, compos Mentis
2. Tanda Vital
T. darah :120/80 mmHg
Nadi :95x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi : 20 x/menit
Suhu :36,4oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruangan
3. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-),
petechie (-), venectasi (-), spider naevi (-),
hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris,
luka (-), rambut tidak beruban semua, tidak
mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot
(+)
5. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+),
pupil isokor, oedem palpebra (-/-), sekret
(-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-),
darah (-/-), sekret (-/-).
7. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
8. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor
(-), lidah simetris, lidah tremor (-), tonsil
T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-),
mukosa pucat (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-).
9. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak
meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri
tekan (-), benjolan (-), kaku (-).
10. Thoraks
Retraksi (-)
a. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak
tampak.
Palpasi :Ictus Cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :Konfigurasi jantung kesan tidak
melebar.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II
intensitas normal, reguler,
bising (-).
b. Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :redup spatium intercostalis
I-III/sonor
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+/+),
RBK (-/-), wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :redup spatium intercostalis
I-III/sonor
Auskultasi :Suara dasar vesikuler (+/+),
RBK (-/-), wheezing (-/-)
11. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-),
kifosis (-), lordosis(-).
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem
(-).
Perkusi : nyeri ketok kosto vertebra (-).
12. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar
dinding dada.
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan epigastrium
(+), hepar dan lien tidak teraba.
13. Ekstremitas
Oedem _ _ Akral dingin _
_
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Laboratorium 17 Oktober 2014
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin : 9,9 gr/dl (13,5-17,5)
Hematokrit : 30 % (33-45)
Antal Eritrosit : 3,82 x 106/uL (4,5-5,9)
Antal Leukosit : 10,1 x 103/uL (4,5-11,0)
Antal Trombosit : 389 x 103/uL(150-450)
Golongan Darah : AB
KIMIA KLINIK
Ureum : 26 mg/dL (<50)
Creatinin : 0,8 mg/dL (0,8-1,3)
ELEKTROLIT
Natrium darah : 136 mmol/L (136-145)
Kalium darah : 4,2 mmol/L (3,7-5,4)
Kalsium ion : 1.11 mmol/L (1.17-1.29)
2. Foto Thorax
Hasil pemeriksaan foto thorax PA Lateral, 17
Oktober 2014
Foto dengan identitas Tn.W 49 tahun. Foto
diambil di ruang radiologi RSUD Dr.Moewardi. Foto
thorax dengan proyeksi PA dan lateral. Kekerasan
cukup, asimetris. Trakhea ditengah. Sistema tulang
baik.
Cor : Kesan tertarik ke superior
Pulmo: Tampak fibroinfiltrat disertai multiple
cavitas di suprahiller kanan kiri yang menyebabkan
penarikan hilus kanan kiri ke superior. Sinus
costophrenicus kanan kiri anterior posterior
tumpul. Retrosternal dan retrocardiac space dalam
batas normal. Hemidiaphragma kanan kiri normal.
Kesan:
TB Paru aktif lesi luas disertai efusi pleura
bilateral
D. RESUME
Pasien datang dengan diagnosis post TB dengan
sindrom obstruksi dan hemoptisis setelah pulang
modok 4 hari yang lalu. Setelah pulang modok pasien
mengeluh batuk darah pada malam harinya. Batuk darah
tidak berkurang sampe saat ini, batuk darah 1-3x
sehari -/+ ½ gelas aqua berwarna merah segar, buih
(+) sedikit, tidak ada makanan. Pasien sudah minum
obat asam traneksamat , codein 2x10mg, vit. C 3x1,
SF 2x3 namun batuk darah tetap, sesak kadang –
kadang, mengi (-), penurunan nafsu makan (-),
penurunan berat badan (-), mual muntah (-), BAB dan
BAK tidak ada keluhan.
Pasien pernah mendapat pengobatan OAT 20 tahun
lalu (di BKPM Jajar ) dan 3 tahun lalu di RSU
Karanganyar dinyatakan sembuh. Sputum BTA tanggal 9
Oktober 2014 di RSDM (-) 3x, kultur telah dilakukan
namun hasil belum ada. Pasien pernah mondok di RSU
Karanganyar 3 tahun yang lalu dan pernah dirawat di
RSDM 4 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tensi :120/80 mmHg, nadi: 95x/menit, respirasi : 20
x/menit, suhu: 36,4 oC per aksiler, SiO2 : 98 %
dengan O2 ruang. Pada inspeksi statis didapatkan
dinding dada kanan = kiri, inspeksi dinamis
didapatkan pengembangan dada kanan = kiri, pada
palpasi didapatkan fremitus raba kanan = kiri, pada
perkusi didapatkan paru kanan kiri sonor, pada
auskultasi didapatkan paru kanan kiri suara dasar
vesikuler, tidak ditemukan suara tambahan, ronki
basah kasar dan wheezing.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb :
9,9 gr/dl, Hct: 30 %, AE: 3,82 x 106/Ul, Creatinin
0,8 mg/dL, Calsium ion 1,11 mmol/L. Pada pemeriksaan
radiologis pada cor kesan tertarik ke superior.
Pulmo tampak fibroinfiltrat disertai multiple
cavitas di suprahiller kanan kiri yang menyebabkan
penarikan hilus kanan kiri ke superior. Sinus
costophrenicus kanan kiri anterior posterior tumpul.
Retrosternal dan retrocardiac space dalam batas
normal. Hemidiaphragma kanan kiri normal. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang hasil pemeriksaan tersebut mengarah ke
diagnosis bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis dengan diagnosis banding mikosis paru.
E. USULAN PEMERIKSAAN
1. Bronkoskopi
F. DIAGNOSIS BANDING
1. Mikosis Paru
G. DIAGNOSIS
Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan hemoptisis DD Mikosis paru
H. TERAPI
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
I. PROGNOSA
Ad vitam :dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
J. FOLLOW UP
1. DPH 0 (17 Oktober 2014, 12.30)
S : Batuk darah
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi :95x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama tidak teratur,tipe thorakal
Suhu :36,4oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Thoraks
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis dd mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
P : Bronkoskopi
2. DPH 1 (18 Oktober 2014)
S : batuk darah (-), sesak (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 130/60 mmHg
Nadi :90x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,5oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis dd mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
Plan :
- Bronkoskopi
- Konsul Jantung
- Spirometri
Hasil Spirometri 18 Oktober 2014 :
Pemeriksaan
NILAI
HASIL PREDIKSI NORMAL UjiBronkodil
ator
Kenaikan VEP1
1 KapasitasVital (KV)
1 1840 ml
3326 ml 1720
1760
1820
70 ml
2 1620 ml
3 1560 ml
2 %KV (KV/KV Prediksi)
55,32 % 80%
3 KapasitasVital Paksa (KVP)
1 1760 ml
3326 ml
2 1650 ml
8,13 %
3 1710 ml
4 % KVP (KVP.KVP Prediksi)
52,9% 80%
5 Volume EkspirasiPaksa Detik 1 (VEP 1)
1 860 ml 2610 ml 860 ml
2 820 ml 930 ml
3 840 ml 920 ml
6 % VEP 1 (VEP 1/KVP)
32,95 % 80% 35, 63 %
7 VEP 1% (VEP 1/KVP)
48,8% 49%
8 Arus Puncak Ekspirasi(APE)
1 1,86 l/detik
1 1,58 l/detik
2 1,97 l/detik
2 1,90 l/detik
3 1,59 l/detik
3 1,59 l/detik
9 Air Tapping
Kesan : Normal
Retriksi : Sedang
Obstruksi : Sedang
Kenaikan VEP 1% post Bronkodilator: 78 ml ≈8,13
3. DPH 2 (19 Oktober 2014)
S : batuk darah (-), sesak (-), perut sebah (+)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi :80x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,7oC per aksiler
SiO2 :91 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : - Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- Mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
Plan :
- Bronkoskopi
- Konsul Jantung
- Spirometri
- Sputum tampung
- Evaluasi batuk darah
4. DPH 3 (20 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi :86x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,7oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : - Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- Mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
P : - Bronkoskopi
- Konsul Jantung
- Spirometri
- Sputum tampung
5. DPH 4 (21 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi :80x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,7oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : -Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
-Mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
P : - Bronkoskopi
- Sputum tampung
Hasil Laboratorium Rutin 21 Oktober 2014 :
HEMOSTATIS
PT : 14,2 detik (10,0-15,0)
APTT : 26,8 detik (20,0-40,0)
INR : 1.170
SEROLOGI
Hepatitis
HBsAg : non reactive
6. DPH 5 (22 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi :82x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,7oC per aksiler
SiO2 :97 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : - Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- Mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
P : - Bronkoskopi
Hasil Laboratorium 22 Oktober 2014
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin : 10,1 gr/dl (13,5-17,5)
Hematokrit : 31 % (33-45)
Antal Eritrosit : 3,82 x 106/uL (4,5-5,9)
Antal Leukosit : 11,6 x 103/uL (4,5-11,0)
Antal Trombosit : 421 x 103/uL(150-450)
7. DPH 6 (23 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi :80x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :22 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,5oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : -Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- mikosis paru
Tx :
1. Diet TKTP 1700 kkal
2. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
3. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
4. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
5. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
6. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
7. Codein 3 x 10 mg
P : - Bronkoskopi
Hasil Laboratorium Mikrobiologi Klinik Bilasan
Bronkus 23 Oktober 2014 :
1. Pengecatan Gram : (-)
2. Pengecatan BTA dari Sputum : S : (-)
P : (-)
S : (-)
3. Pengecatan BTA dari Bahan Lain : Negatif
4. Lain-lain
Hasil Bronkoskopi 23 Oktober 2014
Kesimpulan: LBKA orificium kompresi sebagian di
segmen B10, mukosa licin, tidak
hiperemis. Dilakukan bilasan bronkus.
Tidak didapatkan sumber perdarahan.
8. DPH 7 (24 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi :80x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :20 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,5oC per aksiler
SiO2 :98 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : - Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- mikosis paru
Tx :
1. O2 k/p
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
4. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
5. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
6. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
7. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
8. Codein 3 x 10 mg
9. DPH 8 (25 Oktober 2014)
S : batuk darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang, compos Mentis E4V5M6,gizi kesan kurang.
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi :93x/menit, isi dan tegangan cukup,irama teratur
Respirasi :22 x/menit, irama teratur, tipethorakal
Suhu :36,4oC per aksiler
SiO2 :96 % dengan O2 ruang
Paru (anterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
Paru (posterior)
Inspeksi statis : dinding dada kanan =
kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada
kanan = kiri
Palpasi :Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi :sonor/sonor
Auskultasi :Suara dasar (+/+) vesikuler,
Ronki Basah Kasar (-/-),
Wheezing (-/-)
A : - Bekas TB dengan sindrom obstruksi dan
hemoptisis
- mikosis paru
Tx :
1. O2 k/p
2. Diet TKTP 1700 kkal
3. Nebulisasi F : I 1 mg: 0,25 mg /8 jam
4. Infus NaCl 0.9% 20 tpm
5. Injeksi As.traneksamat 50 mg amp/8 jam
6. Injeksi Vit. K 1 amp / 8 jam
7. Injeksi flukonazol 200 mg / 24jam
8. Codein 3 x 10 mg
9. Laxadin syr 3xC1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronis
a. Definisi
Menurut guideline Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (2011), definisi PPOK berubah menjadi
penyakit yang bisa dicegah dan bisa diobati, yang
dikarakterisasi oleh keterbatasan aliran udara
persisten yang biasanya progresif dan berhubungan
dengan peningkatan respon inflamasi kronis saluran
napas dan paru-paru terhadap partikel-partikel atau
gas-gas berbahaya.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah
penyakit paru heterogen dengan manifestasi klinis
bervariasi. Dasar penyakit berupa terhambatnya
jalan napas pada semua pasien PPOK. Para ahli dari
the Global Initiative for Obstructive Lung Diseases (GOLD) telah
menetapkan bahwa kriteria utama PPOK ditandai
dengan hasil pemeriksaan spirometri yaitu VEP1/KVP
< 70%. Sebelumnya, banyak definisi PPOK yang
menekankan pada gabungan kedua penyakit bronkitis
kronik dan emfisema, namun sekarang definisi
tersebut tidak digunakan lagi (WHO, 2007).
PPOK merupakan penyakit paru kronis
multikomponen yang dapat menyebabkan banyaknya
ketidakmampuan seseorang untuk beraktivitas,
sehingga mengurangi kualitas hidupnya, dan
meningkatkan risiko kematian pada tiap individu
yang mengalaminya. Walaupun PPOK tidak dapat
disembuhkan, GOLD telah menganjurkan bahwa PPOK
harus tetap dicegah dan diobati (Aisanov et al.,
2012).
b. Epidemiologi
Di seluruh dunia, sebanyak 210 juta orang
mengalami PPOK. Awalnya pada tahun 2002, PPOK
menduduki peringkat kelima sebagai penyebab
kematian terbanyak. Di tahun 2030 mendatang,
diperkirakan peringkat PPOK naik menjadi peringkat
keempat (WHO, 2007). Sementara SKRT Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 1995 menunjukkan
PPOK diperingkat kelima sebagai penyebab kematian
di Indonesia. Data di RS. Persahabatan sebagai
pusat rujukan paru nasional menunjukkan, PPOK
menduduki peringkat keempat dari jumlah pasien yang
dirawat (Depkes RI, 2004). Prevalensi kasus PPOK di
Provinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan yaitu
dari 0,08% pada tahun 2010 menjadi 0,09% pada tahun
2011 dan tertinggi di Kota Salatiga sebesar 4,04%
menurut laporan dari Dinas Kesehatan Jawa Tengah
(2011).
c. Patogenesis
Inflamasi saluran pernapasan pada pasien PPOK
terjadi akibat respons terhadap zat pengiritasi
seperti asap rokok. Mekanisme tersebut juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Pasien bisa saja
menderita PPOK tanpa riwayat merokok, tetapi sifat
dari respons inflamasi pada pasien ini belum
diketahui. Stres oksidatif dan jumlah proteinase
yang berlebih dapat menginduksi inflamasi paru-
paru. Inflamasi paru-paru terus berlanjut meskipun
kebiasaan merokok pada pasien sudah dihentikan,
autoantigen dan mikroorganisme berperan dalam
mekanismenya.
Inflamasi pada saluran napas pasien PPOK
merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok.
Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis
kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidakseimbangan pada protease dan antiprotease
serta defisiensi α-1 antitripsin menjadi dasar
patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan
neutrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi dan akan berinteraksi
dengan struktur sel pada saluran napas dan
parenkim. Secara umum, perubahan struktur dan
inflamasi saluran napas ini meningkat seiring
derajat keparahan penyakit dan menetap meskipun
setelah berhenti merokok. Peningkatan neutrofil,
makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini
akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang
berperan dalam proses penyakit, di antaranya adalah
leucotrien-B, chemotactic factors seperti CXC chemokines,
interleukin 8 dan growth related oncogene α, TNF-α, IL-
1ß dan TGF-ß. Selain itu ketidakseimbangan
aktivitas protease atau inaktivitas antiprotease,
adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko
juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi
neutrofil dan makrofag serta aktivasi faktor
transkripsi seperti nuclear factor κß sehingga terjadi
lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada (GOLD, 2011).
d. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah
peradangan pada saluran pernapasan kecil. Pada PPOK
yang stabil, ciri peradangan yang dominan adalah
banyaknya sel neutrofilik yang ditarik oleh
interleukin-8. Jumlah limfosit meningkat, namun
yang meningkat hanya sel T CD8 helper tipe 1.
Ketika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK, jumlah
eosinofil meningkat 30 kali lipat. Perbedaan jenis
sel yang menginfiltrasi inilah yang menyebabkan
perbedaan respons terhadap pengobatan
kortikosteroid. Penurunan VEP1 per tahun pada PPOK
adalah antara 50-70 ml/detik. Jika akhirnya VEP1
menjadi di bawah 1 liter, angka kesakitannya
mencapai 10% (Djojodibroto, 2009).
e. Faktor Risiko
1) Faktor Penjamu
a) Genetik
b) Hiperresponsif jalan napas
c) Nutrisi dan perkembangan paru
d) Jenis Kelamin
2) Faktor Paparan
a) Merokok
b) Polusi Udara
c) Debu dan bahan kimia di tempat kerja
d) Infeksi (Hansel dan Barnes,
2004)
f. Diagnosis
Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan
pada pasien dengan gejala dispnea, batuk kronis
atau sekresi sputum, dan atau riwayat terdapatnya
faktor risiko PPOK. Hasil pemeriksaan spirometri
sangat dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis PPOK,
apabila VEP1/KVP < 70%, dapat dipastikan pasien
mengalami PPOK. Tujuan dari penilaian PPOK adalah
untuk menentukan tingkat keparahan dari
keterbatasan arus udara pernapasan, dampak pada
status kesehatan pasien, dan kemungkinan risiko
yang terjadi pada pasien di kemudian hari (GOLD,
2011).
Lebih detailnya diagnosis PPOK ditegakkan
berdasarkan:
1) Gambaran klinis
a) Anamnesis
(1) Keluhan timbulnya gejala dispnea, batuk,
dan produksi sputum yang bersifat kronis
dan progresif.
(2) Pasien dengan riwayat merokok atau terpapar
asap/debu dari lingkungan pekerjaan.
(3) Adanya riwayat penyakit pernapasan kronik
pada keluarga.
(4) Mempunyai riwayat penyakit terdahulu
seperti asma, alergi, sinusitis, polip
nasal; riwayat infeksi saluran pernapasan
saat masa kanak-kanak.
(5) Mempunyai riwayat eksaserbasi atau pernah
diopname karena penyakit pernapasan.
(6) Mempunyai penyakit lain seperti penyakit
jantung, osteoporosis, malignansi, atau
penyakit muskuloskeletal yang menyebabkan
terganggunya aktivitas.
(7) Mengalami penurunan kualitas hidup seperti
aktivitas yang terbatas sehingga berdampak
pada keadaan sosial-ekonomi maupun
rutinitas keluarga, terganggunya suasana
hati (depresi atau cemas), dan mengalami
penurunan seksual.
2) Pemeriksaan fisik (PDPI, 2003)
a) Inspeksi : pursed lips breathing, barrel chest, sela
iga melebar, penggunaan otot bantu napas,
hipertrofi otot bantu napas, pink buffer atau blue
bloater.
b) Palpasi : pada emfisema fremitus melemah,
sela iga melebar.
c) Perkusi : pada emfisema hipersonor dan
batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
d) Auskultasi : suara napas vesikuler normal
atau melemah, terdapat ronki dan atau mengi
pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa, ekspirasi memanjang, bunyi jantung
terdengar jauh.
3) Pemeriksaan penunjang
a) Spirometri
Merupakan pemeriksaan terpenting dan
objektif untuk mendeteksi adanya obstruksi
jalan napas maupun derajatnya. Spirometri
mengukur Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
(VEP1) dan volume ekspirasi paksa dari inspirasi
maskimal (KVP), kemudian nilai hambatan aliran
udara pada ekspirasi merupakan hasil dari
perbandingan kedua volume tersebut (VEP1/KVP).
Pasien PPOK mempunya nilai VEP1 dan KVP yang
menurun.
g. Diagnosis Banding
Berikut ini merupakan diagnosis banding dari
PPOK, antara lain:
1) Asma bronkial
Berbeda dengan asma, pada PPOK terjadi
peningkatan neutrofil, makrofag, dan CD8.
Sedangkan pada asma, terjadi peningkatan CD4 dan
eosinofil.
2) TB paru
Walaupun TB tidak termasuk PPOK, bekas
penderita TB sering memberikan gejala yang sama.
Sindrom obstruktif difus adalah istilah penderita
PPOK yang mempunyai latar belakang TB.
3) Bronkiektasis
Sebagian penulis memasukkan bronkiektasis
dalam kelompok PPOK, yaitu yang disertai
obstruksi jalan napas. Riwayat radang saluran
napas pada masa kanak-kanak merupakan ciri utama.
4) Penyakit lain
Penyakit-penyakit parenkim, interstitial
yang difus seperti: silikosis, TB lanjut, sering
memberi gambaran klinis yang serupa.
PPOK yang disertai atau akibat penyakit
antara lain TBC paru, pasca bedah paru,
bronkitis, dan lain-lain. Walaupun masing-masing
mempunyai karakteristik tersendiri tetapi secara
klinis, radiologis, dan fisiologis sering
terdapat overlapping satu sama lain, sehingga
diagnosis pasti dari salah satu golongan sukar
ditetapkan (PDPI, 2003).
h. Klasifikasi PPOK
GOLD (2011) membuat suatu sistem penderajatan
untuk PPOK berdasarkan nilai VEP1 prediksi. Ada
empat derajat untuk klasifikasi PPOK dari ringan
(derajat I) hingga berat (derajat IV) seperti yang
terlihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK Berdasarkan
Derajat Berat Penyakit
Derajat Karakteristik
Derajat I :
PPOK Ringan
VEP1/KVP < 70%
VEP1≥ 80% prediksi
Derajat II : VEP1/KVP < 70%
PPOK Sedang 50%≤VEP1<80%
prediksi
Derajat III :
PPOK Berat
VEP1/KVP < 70%
30%≤VEP1< 50%
prediksi
Derajat IV :
PPOK Sangat Berat
VEP1/KVP < 70%
VEP1< 30% prediksi
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat harus dilakukan
berdasarkan pengetahuan yang selengkap mungkin
mengenai derajat obstruksi, taraf disabilitas, dan
reversibilitas relatif penyakit pasien tersebut
(Ingram, 2000). Walaupun tidak dapat disembuhkan
(incurable) dan sering menjadi irreversible, dapat
diupayakan agar progresivitas perburukan fungsi
pernapasan diperlambat dan exercise tolerance
ditingkatkan (Djojodibroto, 2009).
Adapun tujuan penatalaksanaan PPOK berdasarkan
PDPI (2003), yaitu:
1) Mengurangi gejala.
2) Mencegah eksaserbasi berulang.
3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal
paru.
4) Meningkatkan kualitas hidup penderita.
Penatalaksanaan PPOK terbagi atas
penatalaksanaan pada keadaan stabil dan
penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Edukasi yang diberikan berupa
pengetahuan dasar berupa PPOK, obat-obatan
beserta manfaat dan efek sampingnya, cara
pencegahan perburukan penyakit, penyesuaian
aktivitas, dan menghindari pencetus seperti
menghentikan kebiasaan merokok.
2) Pemberian obat-obatan
a) Bronkodilator
Bronkodilator merupakan terapi simtomatik yang
mendasar untuk PPOK. Pemberian inhalasi
selektif β2-agonis adrenergik dapat merelaksasi
otot bronkus dan memperbaiki aktivitas
mukosiliar. Bronkodilator short-acting (contoh,
β2-agonis short-acting dan antikolinergik short-
acting) direkomendasikan sebagai terapi jangka
pendek untuk pasien PPOK pada setiap tingkat
keparahannya (stadium I-IV). Sedangkan
bronkodilator long-acting (contoh, antikolinergik,
β2-agonis adrenergik, methylxanthines) lebih
efektif daripada bronkodilator short-acting, dan
berdasarkan guideline terapi PPOK
direkomendasikan menggunakan lebih dari satu
macam obat untuk mengontrol gejala pada pasien
dengan tingkat keparahan yang sedang hingga
berat (Yawn, 2009).
b) Kortikosteroid
Kortikosteroid bukan merupakan terapi lini
pertama untuk pasien PPOK dan biasanya
diberikan bersamaan dengan bronkodilator long-
acting pada pasien PPOK derajat berat hingga
sangat berat (derajat III-IV) yang disertai
dengan eksaserbasi (GOLD, 2011). Adanya
inflamasi jalan napas dan sistemik menunjang
rasionalisasi penggunaan inhalasi
kortikosteroid (ICS) sebagai terapi anti-
inflamasi pada PPOK. Terapi kombinasi inhalasi
β2-agonis long-acting dan kortikosteroid lebih
baik dibandingkan penggunaan masing-masing
komponen. Inhalasi β2-agonis long-acting
memperbaiki fungsi paru dan status kesehatan,
ICS mengurangi frekuensi eksaserbasi dan
memperlambat kemunduran status kesehatan
(Nungtjik, 2010).
3) Terapi Oksigen
Pemberian terapi oksigen jangka panjang
(lebih dari 15 jam per hari) kepada pasien PPOK
dengan hipoksemia berat terbukti dapat
meningkatkan kelangsungan hidupnya. Indikasi
diberikannya terapi oksigen adalah pasien dengan
Pa O2 ≤ 55 mmHg, atau Sa O2 ≤ 88% dengan atau
tanpa hiperkapnia yang diukur dua kali selama
tiga minggu, dan apabila Pa O2 antara 55 mmHg –
60 mmHg, atau Sa O2 = 88% (GOLD, 2011).
2. Hemoptisis
a. Definisi
Hemoptisis atau batuk darah adalah
ekpektorasi darah atau dahak berdarah berasal dari
saluran napas di bawah pita suara. Banyaknya
jumlah batuk darah yang dikeluarkan sangat
penting diketahui untuk menentukan klasifikasi
hemoptisis nonmasif atau masif
Klasifikasi Hemoptisis (Eddy, 2000):
Batuk darah ringan apabila jumlah darah yang
dikeluarkan kurang dari 25 ml/24 jam
Batuk darah sedang apabila jumlah darah 25-250
ml/24 jam
Batuk darah masif bila jumlah darah lebih dari
600 ml/24 jam.
b. Etiologi
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain
(Rasmin M, 2009) :
1. Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus,
klebsiella, legionella), jamur, virus
2. Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis,
emboli paru, kistik fibrosis, emfisema bulosa
3. Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial,
tumor metastasis
4. Kelainan hematologi : disfungsi trombosit,
trombositopenia, disseminated intravascular
coagulation (DIC)
5. Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis
tricuspid
6. Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner,
malformasi arterivena, aneurisma aorta
7. Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli
lemak
8. Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi
paru, kateterisasi swan-ganz, limfangiografi
9. Kelainan sistemik : sindrom goodpasture,
idiopathic pulmonary hemosiderosis, systemic
lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis
wagener, purpura henoch schoenlein, sindrom
chrug-strauss)
10. Obat / toksin : aspirin, antikoagulan,
penisilamin, kokain
11. Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis,
fistula bronkopleura, benda asing, hemoptysis
kriptogenik, amiloidosis
c. Patofisiologi
Sumber perdarahan hemoptisis dapat berasal
dari sirkulasi pulmoner atau sirkulasi bronkial.
Pada hemoptisis masif sumber perdarahan umumnya
berasal dari sirkulasi bronkial ( 95 % ).
Sirkulasi pulmoner memperdarahi alveolus dan
duktus alveol, sistem sirkulasi ini bertekanan
rendah dengan dinding pembuluh darah yang tipis.
Sirkulasi bronkial memperdarahi trakea, bronkus
utama sampai bronkiolus dan jaringan penunjang
paru, esofagus, mediastinum posterior dan vasa
vasorum arteri pulmoner. Sirkulasi bronkial ini
terdiri dari arteri bronkialis dan vena
bronkialis.
Asal anatomis perdarahan berbeda tiapproses patologik tertentu (Rasmin M, 2009):
1. Bronkitis akibat pecahnya pembuluh darah
superfisial di mukosa,
2. TB paru akibat robekan atau ruptur aneurisma
arteri pulmoner (dinding kaviti “aneurisma
Rassmussen”) atau akibat pecahnya anastomosis
bronkopulmoner atau proses erosif pada arteri
bronkialis,
3. Infeksi kronik akibat inflamasi sehingga terjadi
pembesaran & proliferasi arteri bronchial
misal : bronkiektasis, aspergilosis atau
fibrosis kistik,
4. Kanker paru akibat pembuluh darah yg terbentuk
rapuh sehingga mudah berdarah
5. Infark paru: Biasanya disebabkan oleh emboli
paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh
darah, seperti infeksi coccus, virus, dan
infeksi oleh jamur
6. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler:
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan
darah intraluminar seperti pada dekompensasi
cordis kiri akut dan mitral stenosis.
7. Kelainan membran alveolokapiler: Akibat adanya
reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpasture’s syndrome
d. Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk
darah adalah:
a) Jumlah dan warna darah yang dibatukkan
b) Lamanya perdarahan
c) Batuk yang diderita bersifat produktif atau
tidak
d) Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
e) Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal
atau nyeri pleuritis
f) Hubungannya perdarahan dengan gerakan fisik,
istirahat, posisi badan dan batuk
g) Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat
adakah tanda-tanda syok dan infeksi (kenaikan suhu
tubuh). Selain itu dicari juga: Clubbing (ciri
pada karsinoma bronchogenic, bronkiektasis, abses
paru), diastolic rumble dan opening snap
mengindikasikan adanya mitral stenosis, limfonodi
yang teraba pada servikal, scalene,
supraclavicular sebagai tanda ca bronchogenic, dan
rongkhi, wheezing, rales dapat ditemukan dan
diinterpretasikan berdasarkan etiologinya.
2. Pemeriksaan penunjang
a) Foto thoraks: posisi PA dan lateral hendaklah
dibuat pada setiap penderita hemoptisis
massif dan gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat perdarahannya.
b) Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi
maupun sitologi (bahan dapat diambil dari
dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau
dahak langsung)
c) Pemeriksaan bronkoskopi dilakukan untuk
menentukan sumber perdarahan dan sekaligus
untuk penghisapan darah yang keluar, supaya
tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya
dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat
diketahui. Tindakan bronkoskopi merupakan
sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi
perdarahan, maupun persiapan operasi, namun
waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan
pendapat yang masih kontroversial, mengingat
bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif,
sehingga dapat memperhebat perdarahan
disamping memperburuk fungsi pernapasan.
Bronkoskopi dilakukan bila: radiologik tidak
didapatkan kelainan, batuk darah yang
berulang, batuk darah masif : sebagai
tindakan terapeutik (Hood, 2009)
e. Penatalaksanaan
Penalaksanaan hemoptisis memerlukan
penanganan khusus agar tidak berakibat fatal
dengan angka mortaliti hemoptisis masif 75 %
disebabkan oleh asfiksia. Pasien dengan hemoptisis
masif seharusnya dirawat di unit perawatan
intensif untuk memonitor status hemodinamik dan
penilaian jumlah darah yang hilang (Rasmin M,
2009).
Penatalaksanaan dilakukan melalui tiga tahap:
- Tahap 1: Mempertahankan jalan napas yang
adekuat, pemberian suplementasi oksigen,
koreksi koagulapati, resusitasi cairan, dan
berusaha melokalisir sumber perdarahan.
- Tahap 2: Setelah pasien dalam keadaan stabil
perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut mencari
sumber perdarahan dan penyebab perdarahan.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :
foto toraks,CT scann toraks, angiografi,
bronkoskopi ( BSOL atau bronkoskop kaku ).
- Tahap 3 : Menghentikan perdarahan dan mencegah
perdarahan berulang.
Terapi ini dibagi 2 yaitu :
1. Dengan bronkoskop antara lain melakukan bilasan
garam fisiologis, epinefrin, pemberian trombin
fibrinogen, tamponade dengan balon.
2. Tanpa bronkoskop antara lain pemberian obat dan
antifibrinolitik pengobatan penyakit primernya
Penatalaksanaan lainnya:
1. Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah
yang menjadi sumber perdarahan dengan embolisasi
transkateter. Embolisasi ini dapat dilakukan pada
arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik
ini terutama dipilih untuk penderita dengan
kelaina paru bilateral, fungsi paru sisa yang
minimal, menolak operasi ataupun memiliki
kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat
diulang beberapa kali untuk mengontrol perdarahan.
Embolisasi memiliki angka keberhasilan dalam
mengontrol perdarahan (jangka pendek) antara 64-
100%. Pada evaluasi lanjut selama 3-5 tahun,
Rabkin dkk mengamati terjadinya rekurensi
perdarahan pada 23% penderita. Komplikasi yang
dapat terjadi yaitu akibat oklusi arteri
bronkialis yaitu nyeri dada, demam maupun emboli
ektopik (Sidipratomo dkk, 1996)
2. Pembedahan
Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan.
Tindakan bedah dilakukan bila pasien memenuhi
persyaratan sebagai berikut : diketahui jelas
sumber perdarahan, tidak ada kontra indikasi
medik, setelah dilakukan pembedahan sisa paru
masih mempunyai fungsi yang adekuat (faal paru
adekuat), pasien bersedia dilakukan tindakan bedah
(Eddy, 2000)
3. Mikosis Paru
a. Definisi
Penyakit infeksi jamur paru atau yang disebut
dengan mikosis paru merupakan salah satu penyakit
infeksi yang mulai banyak ditemui di masyarakat.
Hal ini mungkin akibat dari, meningkatnya
kesadaran dan usaha penemuan infeksi jamur dengan
berbagai cara menggunakan teknik yang tepat,
bertambahnya kecepatan tumbuh jamur sebagai akibat
cara pengobatan modern, terutama penggunaan
antibiotik, berspektrum luas, atau kombinasi dari
berbagai antibiotik, penggunaan kortikosteroid dan
obat imunosuppressif lainnya serta penggunaan
sitostatika, terdapatnya faktor predisposisi yaitu
penyakit kronik yang berat termasuk penyakit
kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan
hidup akan meningkatkan insiden penyakit jamur
paru, mobilitas dari manusia tinggi sehingga
kemungkinan memasuki daerah endemis fungi patogen
semakin tinggi.
Infeksi jamur paru sering menyertai penyakit
lain dan tidak ada gejala yang khas sehingga
infeksi jamur paru sering tidak terdiagnosa,
sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru
sering terlambat diberikan.
b. Patoogenesis
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada
umumnya menimbulkan aneka ragam reaksi keradangan,
yang dalam hal ini bisa dijumpai hyperplasia
epitel, granuloma histiositik, arteritis
trombotik, campuran reaksi radang piogenik dan
granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan
kalsifikasis. Hampir dapat dikatakan bahwa jamur
apapun bila menginfeksi baik diparu atau pada
jaringan manapun didalam tubuh menimbulkan
gambaran granuloma yang secara patologik sulit
dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC
ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa
diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi
organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun
ini masih mempunyai problem yaitu bahwa beberapa
jamur seperti H Capsulatum, Sporothricum Schenkii,
Torulapsis glabrata, Blastomyces clan Coccidioides
mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like
cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu
dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan demikian
memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan
pemeriksaan serologik.
c. Penyakit - penyakit Mikosis Paru
KANDIDIASIS
Beberapa keadaan yang mempredisposisi
terjadinya kandidiasis sistemik menurut Winner dan
Hurley ialah kehamilan, trauma lokal seperti bekas
bekas garukan akibat alergi pada kulit, berbagai
gangguan endokrin (DM, Adison Disease,
hipoparatiroid, hipotiroid), pancreatitis,
malnutrisi, malabsorbsi, penggunaan antibiotika
dan steroid yang lama, kelainan kelainan darah
(leukimia, anemia plastik, agranulusitosis),
berbagai penyakit keganasan dan paska bedah.
Kandida albikan merupakan flora normal rongga
mulut, saluran cerna dan vagina pada individu
normal dan hanya menginvasi penderita dengan
imunokompromise atau kedaaan netropenia yang lama.
Koloni meningkat pada penderita yang mendapat
pengobatan antibiotika yang berspektrum luas, dan
pada penderita diabetes melitus.
ASPERGILLOSIS PARU.
Aspergillosis jarang sekali mengenai individu
yang normal dan sehat. Penyakit ini selalu
mengenai orang-orang yang memang sudah sakit parah
dan lama. Penyakit ini disebabkan oleh jamur
kontaminan yang terdapat banyak ditumpukan sampah
dan jerami. Gambaran klinis bisa berupa
pneumonitis brolootis. Dalam parenkim paru-paru
terjadi lesi-lesi granulomatus, yang dapat sembuh
dan terjadi klasifikasi membentuk “coin lesion".
Sputum biasanya mukopurulen dan kadang-kadang
terdapat bercak darah. Penyebaran secara hematogen
biasanya keginjal dan organ-organ lain.
Aspergilosis paru-paru biasanya adalah suatu
secondary disease (superinfection) pada penderita
dengan kelainan menahun seperti tuberkulosis,
abses paru-paru, bronkiectasis, tumor paru dan
kelainan bronkus.
HISTOPLASMOSIS.
Infeksi jamur histoplasma capsulatum bersifat
oportunistik sehingga orang orang tua yang sudah
lama sakit mudah sekali terkena. Pada anak anak
bila terinteksi mudah sekali berkembang kebentuk
progresif. Histoplasmosis primer selalu tanpa
gejala dan selalu diagnosa ditegakkan pada
pemeriksaan foto atau uji kulit histoplasmin yang
positif. Gambaran radiologi berupa pengaburan yang
difus ataupun gambaran miliair dengan hilar
limphadenopati. Histoplasmosis primer dengan
gejala malaise, anoreksi, sakit dada, demam demam,
batuk batuk dan hemoptisis. Keadaan ini bisa
menyembuh cepat, bisa pula bertahan berbulan-bulan
menyerupai gambaran bronkitis, pneumoni atau Tb
kronis
d. Diagnosis
Gejala jamur sistemik tidak khas/specific dan
dapat menyerupai penyakit lain juga susah untuk
membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi
jamur sehingga menambah kesulitan untuk mengenali
infeksi jamur sistemik.
Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan
melalui:
1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan
infeksi jamur di paru.
2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap
penyakit paru:
-Foto toraks PA dan lateral, CT Scant toraks.
-Sputum: mikroskopis jamur dan kultur
-Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus,
transbronkial lung biopsi.
-Aspirasi paru dengan jarum.
3. Pemeriksaan laboratorium darah
-Kultur darah.
-Pemeriksaan serologi
4. Tuberculosis
a. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi
bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan
granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell
mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang
aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan
organ tubuh yang diserang kuman Mycobacterium
tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan
tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang
menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya,
pleura, selaput otak, selaput jantung
(perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang
tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm
(Brooks,et al 2004).
Gambar Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis
yang dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan
berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri
atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel, 1999).
b. Cara Penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien
tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk atau
bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada
di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi
individu lain bila terhirup ke dalam saluran
nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar
dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-
bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
c. Patogenesis tuberkulosis
1) Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang
terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai ke alveolus dan menetap di
sana. Waktu terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu.
Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif
menjadi positif. Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan
kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis.
Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi
sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu
sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
2) Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun sesudah
infeksi primer, misalnya karena daya tahan
tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status
gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura
(Depkes RI, 2006).
d. Diagnosis tuberkulosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan
diagnosis klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologis.
1) Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang
ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya gejala
pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis
utama adalah batuk terus menerus dan berdahak
selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang
mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan
menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan
(Depkes RI, 2006).
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien
mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang
pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan
kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan
fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang
sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB
paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering
terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit
akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan
suara yang lemah sampai tidak terdengar sama
sekali. Dalam penampilan klinis TB sering
asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif
(Bahar, 2007).
3) Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada
merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi
TB. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru
tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah
hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit
saat lesi masih menyerupai sarang-sarang
pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-
bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang
tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan
ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan
batas yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes
RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai
bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada
atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian
atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.
Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa
bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata
pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah
lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam
bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis
dan emfisema (Bahar, 2007).
Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut
pada foto rontgen dada di bawah ini :
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
4) Pemeriksaan bakteriologis
a) Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat
ditegakkan dengan ditemukannya BTA positif pada
pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila
sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS
(Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif
(Depkes RI, 2006). Bila hanya 1 spesimen yang
positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen
mendukung tuberkulosis, maka penderita
didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif.
2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB,
maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada
tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien TB
paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA
positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1
sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif
/1 sediaan sputumnya positif disertai biakan
yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA
negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan
BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif
(Bahar, 2007).
b) Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan
didapatkan jumlah leukosit yang sedikit
meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke
kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal.
Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED
mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer,
gama globulin meningkat, dan kadar natrium
darah menurun (Depkes RI, 2006).
c) Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk
membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada
anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes
tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah
seorang individu sedang atau pernah mengalami
infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium
patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
e. Tipe Tuberculosis
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan
riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :
1) Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah
diobati dengan OAT atau sudah pernah mengkonsumsi
OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis
yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA
positif.
3) Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang
mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan / pindah (form TB. 09).
4) Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop
out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop
out) adalah pasien yang sudah berobat paling
kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
5) Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih
tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau
penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif
pada akhir bulan kedua pengobatan.
6) Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan
yang baik.
7) Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah
tuberkulosis yang menunjukkan resistensi terhadap
Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
(Depkes RI, 2006).
f. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2
jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan obat
lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke
penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil
dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan
lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-
obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid,
Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat
lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan
kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis
yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah
Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar &
Amin, 2007).
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapatdilihat pada tabel :
Tabel Jenis dan Sifat OAT
JenisOAT
Sifat Keterangan
Isoniazid (H)
Bakterisid
terkuat
Obat ini sangat efektifterhadap kuman dalamkeadaan metabolik aktif,yaitu kuman yang sedangberkembang. Mekanismekerjanya adalah menghambatcell-wall biosynthesis pathway
Rifampisin (R)
bakterisid Rifampisin dapat membunuhkuman semi-dormant (persistent)yang tidak dapat dibunuholeh Isoniazid. Mekanismekerjanya adalah menghambatpolimerase DNA-dependent
ribonucleic acid (RNA) M.Tuberculosis
Pirazinamid (Z)
bakterisid Pirazinamid dapat membunuhkuman yang berada dalam seldengan suasana asam. Obatini hanya diberikan dalam 2bulan pertama pengobatan.
Streptomisin (S)
bakterisid obat ini adalah suatuantibiotik golonganaminoglikosida dan bekerjamencegah pertumbuhanorganisme ekstraselular.
Etambutol (E)
bakteriostatik
-
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).
g. Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-
kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan
resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan
tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi
pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya.
Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4
kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut,
seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini
(Bahar & Amin, 2007) :
Tabel Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori
Pengobatan
Kategoripengobatan TB Pasien TB
Paduan pengobatan TBalternatif
Fase awal
(setiaphari / 3 xseminggu)
Faselanjutan
I Kasus baru TBparu dahakpositif; kasusbaru TB parudahak negatifdengan kelainanluas di paru;kasus baru TBekstra-pulmonalberat
2 EHRZ(SHRZ)
2 EHRZ(SHRZ)
2 EHRZ(SHRZ)
6 HE
4 HR
4 H3 R3
II Kambuh, dahakpositif;pengobatangagal;pengobatansetelah terputus
2 SHRZE / 1HRZE
2 SHRZE / 1HRZE
5 H3R3E3
5 HRE
III Kasus baru TBparu dahaknegatif (selaindari kategoriI); kasus baru
2 HRZ atau2H3R3Z3
2 HRZ atau2H3R3Z3
6 HE
2 HR/4H
TB ekstra-pulmonal yangtidak berat
2 HRZ atau2H3R3Z3 2 H3R3/4H
IV Kasus kronis(dahak masihpositif setelahmenjalankanpengobatanulang)
TIDAK DIPERGUNAKAN
(merujuk ke penuntunWHO guna pemakaianobat lini kedua yangdiawasi pada pusat-pusat spesialis)
(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)
h. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat
yang dipakai di Indonesia secara harian maupun
berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien
(Bahar & Amin, 2007):
Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis Dosis
Isoniazid(H)
harian : 5mg/kg BB intermiten : 10 mg/kg BB 3x
seminggu Rifampisin(R)
harian = intermiten : 10 mg/kgBB
Pirazinamid(Z)
harian : 25mg/kg BB intermiten : 35 mg/kg BB 3x
seminggu
Streptomisin (S)
harian = intermiten : 15 mg/kgBB usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol(E)
harian : 15mg/kg BB intermiten : 30 mg/kg BB 3x
seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
5. Sindrom Obstruksi Pasca TB
Sindrom obstruksi difus yang berhubungan
dengan TB paru dikenal dengan sindrom obstruksi dan
sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom
obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%-50%.
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru
yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat
kompleks; akibat destruksi jaringan paru oleh proses
TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB,
dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan
sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik
yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam
parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang
berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis
dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka
lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi
cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan
mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat
dideteksi secara spirometri.
Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan
proses TB dikenal dengan berbagai nama seperti:
emfisema obstruksi kronik, emfisema obstruksi difus,
sindrom ventilasi obstruksi, sindrom obstruksi difus
TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan
obstruksi pada penderita bekas TB paru didiagnosis
sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).
Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis
paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi
bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada
terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT).
Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan
elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme
ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus
udara. Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca
reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas
karena TB paru seharusnya tidak obstruktif.
SPOT disebabkan sekret dari kavitas
menimbulkan kelainan obstruksi reaksi hipersensitif
terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang
mati sering tampak berupa perubahan non spesifik
yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas
daripada lesi spesifiknya sendiri.
Obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas
TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi ini
bersifat ireversibel. Salah satu kemungkinan lain
patogenesis timbulnya sindrom obstruksi difus pada
penderita TB adalah karena infeksi kuman TB,
dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat
menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena
tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh
makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini
menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat
dan merusak matriks alveoli sehingga menimbulkan
sindrom obstruksi difus.
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang laki-laki 49 tahun dengan keluhan utama
batuk darah. Pasien datang dengan diagnosis post TB
dengan sindrom obstruksi dan hemoptisis setelah pulang
modok 4 hari yang lalu. Setelah pulang modok pasien
mengeluh batuk darah pada malam harinya. Batuk darah
tidak berkurang sampe saat ini, batuk darah 1-3x sehari
-/+ ½ gelas aqua berwarna merah segar, buih (+)
sedikit, tidak ada makanan. Pasien sudah minum obat
asam traneksamat , codein 2x10mg, vit. C 3x1, SF 2x3
namun batuk darah tetap, sesak kadang – kadang, mengi
(-), penurunan nafsu makan (-), penurunan berat badan
(-), mual muntah (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien mempunyai riwayat penyakit TB 20 thn yang lalu
(di BKPM Jajar ) dan 3 tahun lalu di RSU Karanganyar
dinyatakan sembuh. Sputum BTA tanggal 9 Oktober 2014
di RSDM (-) 3x, kultur telah dilakukan namun hasil
belum ada. Pasien mempunyai riwayat merokok dengan IB
240 (sedang).
Dari anamnesis, terdapat kecurigaan kearah gejala
penyakit TB atau sindrom obstruksi pasca TB. Perlu
dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
untuk memastikan arah diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi : 120/80
mmHg, nadi : 95x/menit, respirasi : 20 x/menit,suhu:
36,4oC per aksiler, SiO2 : 98 % dengan O2 ruangan.
Pasien afebris, dan oksigenasi ke jaringan masih baik.
Pada inspeksi statis didapatkan dinding dada kanan =
kiri, inspeksi dinamis didapatkan pengembangan dada
kanan = kiri, pada palpasi didapatkan fremitus raba
kanan = kiri, pada perkusi didapatkan paru kanan sonor
spatium intercostalis I-III paru kiri sonor, pada
auskultasi didapatkan paru kanan suara dasar vesikuler
menurun spatium intercostalis I-III, paru kiri suara
dasar vesikuler paru, suara tambahan, ronki basah
kasar. Hal ini menunjukkan terdapat masalah pada paru
kanan. Pada auskultasi paru kanan redup menunjukkan
terdapat cairan/ massa didalam paru kanan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin 17
Oktober 2014 didapatkan nilai abnormal pada Hb : 9,9
gr/dl dan AE: 3,82 x 106/ul. Infeksi tuberkulosis dapat
menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-sel
hematopoiesis maupun komponen plasma. Kelainan tersebut
dapat disebabkan oleh proses infeksi bakteri maupun
efek samping OAT. Penyakit kronis seperti tuberculosis
dapat menyebabkan depresi eritropoiesis, menurunnya
sensitivitas eritropoietin, dan pemendekan masa hidup
eritrosit. Ketiga hal tersebut mendukung terjadinya
anemia pada orang dengan TB. Gangguan metabolism besi
juga dapat terjadi karena pengikatan Fe oleh laktoferin
yang dihasilkan sel granulosit. Kemudian terjadi
sekuestrasi Fe di limpa. Anemia makrositik dapat
terjadi akibat defisiensi vitamin B12 atau folat.
Defisiensi folat pada orang dengan TB disebabkan karena
asupan yang berkurang dan peningkatan pemakaian folat
sebagai akibat aktivitas tuberculosis. Anemia hemolitik
dapat terjadi akibat infeksi TB terutama pada TB milier
dan TB limpa. Rifampisin juga memiliki efek samping
salah satunya adalah anemia hemolitik. Anemia
sideroblastik juga dapat terjadi karena pemberian
isoniazid dan pirazinamid dapat mencetuskan pembentukan
sel sideroblast bercincin. Sel tersebut mengganggu
metabolism B6 yang memicu timbulnya anemia. Selain
factor-faktor di atas yang memungkinkan memicu
terjadinya anemia, pada pasien ini juga mengalami
hemoptysis. Dengan frekuensi 2-3 kali sehari dengan
volume ½ gelas aqua per hari. Kehilangan darah dari
proses hemoptisisi ini juga mendukung terjadinya
anemia. Pada pemeriksaan kimia klinik diperoleh kadar
kreatinin 0,8 mg/dl. Pengukuran kimia klinik pada
pasien TB meliputi kreatinin, ureum, SGOT, SGPT, dan
bilirubin perlu dilakukan untuk data dasar mengetahui
penyakit penyerta dan memantau efek samping pemberian
OAT. Hasil interpretasi kimia klinik pada pasien ini
masih dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologis
tanggal 9 Oktober 2014 didapatkan gambaran foto thorak
PA lateral, jantung kesan tertarik ke superior, sinus
costophrenicus kanan kiri anterior posterior tumpul,
tampak fibroinfiltrat disertai multiple kavitas di
suprahiller kanan kiri. Kesan diperoleh gambaran TB
paru aktif lesi luas dengan efusi pleura bilateral
minimal. Hasil kultur ditemukan adanya candida
albicans.
Berdasarkan hasil anamnesis dan foto toraks,
didapat data yang mengarah ke gambaran tuberkulosis
paru. Sputum BTA yang negatif dan kultur sputum
didapatkan candida albicans dapat menyingkirkan lebih
mengarahkan bahwa pasien tidak sedang terkena
tuberkulosis, tetapi lebih mengarah pada mikosis paru.
Kesimpulan diagnosis yang paling memungkinkan adalah
sindrom obstruksi pasca TB (SOPT) dengan mikosis paru.
Usulan pemeriksaan yang diperlukan adalah
bronkoskopi untuk mengetahui adanya kelainan anatomis
atau adakah massa di daerah tersebut. Selain itu
dilakukan juga tes spirometri diperlukan sebagai tes
fungsi paru untuk mengetahui kemampuan paru pasien.
Pada hasil pemeriksaan spirometri tanggal 18 Oktober
2014 diperoleh % kapasitas vital (KV) 55,32% dan %
kapasitas vital paksa (KVP) 52,9% yang menunjukkan
adanya gangguan restriksi paru sedang. Nilai % volume
ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) 32,95% dan % VEP1/KVP
48,8% yang menunjukkan adanya gangguan obstruksi paru
sedang.
Terapi pada SOPT dilakukan secara simtomatis.
Nebulisasi fenoterol : ipratropium 1 mg : 0,25 mg untuk
efek bronkodilatasi, diberikan asam traneksamat dan vit
K untuk mencegah perdarahan, codein digunakan untuk
mengurangi batuh, dan juga diberikan terapi flukonazol
untuk mengatasi mikosis paru.
Pada umumnya SOPT tidak mengancam nyawa, hanya saja
tidak dapat disembuhkan. Kerusakan yang terjadi pada
paru sebelumnya akan menimbulkan adanya jaringan
fibrotik dan cavitas yang menimbulkan berbagai gejala
diatas, yang dapat dilakukan hanya penanganan secara
simtomatik dan dilakukan latihan untuk meminimalisasi
adanya gejala.
Edukasi yang dapat diberikan pada pasien antara
lain melakukan pola hidup sehat termasuk tidak merokok,
berolahraga secara teratur (jalan kaki, jogging, renang
dan bersepeda).
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
mendukung bahwa pasien pernah menderita infeksi
tuberculosis. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin
17 Oktober 2014 didapatkan nilai abnormal pada Hb : 9,9
gr/dl dan AE: 3,82 x 106/ul. Infeksi tuberkulosis dapat
menimbulkan kelainan hematologi, baik sel-sel
hematopoiesis maupun komponen plasma. Kelainan tersebut
dapat disebabkan oleh proses infeksi bakteri maupun
efek samping OAT. Penyakit kronis seperti tuberculosis
dapat menyebabkan depresi eritropoiesis, menurunnya
sensitivitas eritropoietin, dan pemendekan masa hidup
eritrosit. Ketiga hal tersebut mendukung terjadinya
anemia pada orang dengan TB. Gangguan metabolism besi
juga dapat terjadi karena pengikatan Fe oleh laktoferin
yang dihasilkan sel granulosit. Kemudian terjadi
sekuestrasi Fe di limpa (Fleming, 2003).
Anemia makrositik dapat terjadi akibat defisiensi
vitamin B12 atau folat. Defisiensi folat pada orang
dengan TB disebabkan karena asupan yang berkurang dan
peningkatan pemakaian folat sebagai akibat aktivitas
tuberculosis. Anemia hemolitik dapat terjadi akibat
infeksi TB terutama pada TB milier dan TB limpa.
Rifampisin juga memiliki efek samping salah satunya
adalah anemia hemolitik. Anemia sideroblastik juga
dapat terjadi karena pemberian isoniazid dan
pirazinamid dapat mencetuskan pembentukan sel
sideroblast bercincin. Sel tersebut mengganggu
metabolism B6 yang memicu timbulnya anemia (Fleming,
2003).
Selain factor-faktor di atas yang memungkinkan
memicu terjadinya anemia, pada pasien ini juga
mengalami hemoptysis. Dengan frekuensi 2-3 kali sehari
dengan volume ½ gelas aqua per hari. Kehilangan darah
dari proses hemoptisisi ini juga mendukung terjadinya
anemia.
Pada pemeriksaan kimia klinik diperoleh kadar
kreatinin 0,8 mg/dl. Pengukuran kimia klinik pada
pasien TB meliputi kreatinin, ureum, SGOT, SGPT, dan
bilirubin perlu dilakukan untuk data dasar mengetahui
penyakit penyerta dan memantau efek samping pemberian
OAT. Hasil interpretasi kimia klinik pada pasien ini
masih dalam batas normal.
Pada hasil pemeriksaan spirometri tanggal 18
Oktober 2014 diperoleh % kapasitas vital (KV) 55,32%
dan % kapasitas vital paksa (KVP) 52,9% yang
menunjukkan adanya gangguan restriksi paru sedang.
Nilai % volume ekspirasi paksa 1 detik (VEP1) 32,95%
dan % VEP1/KVP 48,8% yang menunjukkan adanya gangguan
obstruksi paru sedang.
Pada pemeriksaan radiologis tanggal 9 Oktober 2014
didapatkan gambaran foto thorak PA lateral, jantung
kesan tertarik ke superior, sinus costophrenicus kanan
kiri anterior posterior tumpul, tampak fibroinfiltrat
disertai multiple kavitas di suprahiller kanan kiri.
Kesan diperoleh gambaran bekas TB dengan efusi pleura
bilateral minimal.
DAFTAR PUSAKA
Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia. Jakarta : Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia.
Aisanov Z, Bai C, Bauerle O, Colodenco FD, Feldman C,
Hashimoto S, Jardim J et al. (2012). Primary care
physician perceptions on the diagnosis and
management of chronic obstructive pulmonary
disease in diverse regions of the world.
International Journal of COPD, 7: 271–282.
Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airlangga University Press. pp. 301-
5.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati.
Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4
Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. pp : 415-419
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis
Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat
dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,
Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004.
“Jawetz, Melnick & Adelbergh’s: Mikrobiologi
Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:
Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba
Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2.
Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip
Ilmu penyakit dalam Edisi 13 Volume 2. Jakarta :
EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2
Cetakan Pertama. Jakarta.
Dinkes Jateng (2011). Profil kesehatan provinsi Jawa Tengah
tahun 2011. www.dinkesjatengprov.go.id – Diakses
Januari 2013.
Djojodibroto DR (2009). Respirologi (Respiratory Medicine).
Jakarta: EGC, p: 121.
Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive
hemoptysis. Crit Care Med 2000; 28(5):1642-7.)
GOLD (2011). Global strategy for the diagnosis, management, and
prevention of chronic obstructive disease (Revised 2011).
http://www.goldcopd.com - Diakses Januari 2013.
Hansel T, Barnes PJ (2003). An atlas of chronic obstructive
pulmonary disease. Washington DC: The Parthenon
Publ. Group, pp: 10-4.
Ingram RH (2000). Bronkitis kronis, emfisema dan
obstruksi jalan napas. Dalam: Isselbacher KJ dkk
(eds); Andry Hartono, dkk alih bahasa; Ahmad HA
penerjemah. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi 13. Vol 3. Jakarta: EGC, p: 1352.
Nungtjik AK, Mangunnegoro H, Yunus F (2010). Efikasi
pemberian kombinasi inhalasi salmeterol dan
flutikason propionat melalui alat diskus pada
penyakit paru obstruktif kronik. Maj Kedokt Indon,
60 (12) : 547.
PDPI (2003). Asma: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U.
Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi
Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Rasmin M. Jurnal respirologi: Hemoptisis. 2009.
Jakarta: FK UI.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/HEMO
PTISIS diakses pada tanggal 25 Oktober 2014.
Sidipratomo P, Suroyo I, Pandelaki J, Nasution DB.
Embolisasi arteri bronkialis alternatif terapi
penatalaksanaan pada batuk darah. Dalam: Jusuf
A, Rasmin M. Batuk darah. Jakarta:
FKUI;1996.hal.56-64.
WHO (2007). Global surveilance, prevention and control of chronic
respiratory diseases: A comprehensive approach. Geneva:
World Health Organization 2007, p: 21.
http://www.who.int – Diakses Januari 2013.
Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran
EGC.
World Health Organization. 1993. Treatment of
Tuberculosis : Guidelines for National
programmes. Geneva : 3-15
Yawn BP (2009). Differential assessment and management
of asthma vs chronic obstructive pulmonary
disease. The Medscape Journal of Medicine, 11(1).
Top Related