HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL KEPADA NON
MUSLIM (STUDY KOMPARATIF PANDANGAN SYEIKH
UTSAIMIN DAN YUSUF AL-QARADHAWI)
SKRIPSI
Oleh:
ARIYANDA SAPUTRA
SPM. 152128
PEMBIMBING:
Dr. ILLY YANTI, M. Ag
Dr. MARYANI, M. HI
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2019
v
MOTTO
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi
agama bagimu”
vi
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil „alamin
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah memberi nikmat kesehatan
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Strata
Satu (S1) Shalawat beserta salam tidak lupa pula kukirimkan kepada junjunganku
Muhammad Rasullah Saw.
Alhamdulillah sebagai ucapan terima kasih dan rasa syukur, cinta dan kasih
sayang yang tulus, kupersembahkan Skripsi ini kepada orang-orang tercinta.
Untuk Ayah dan Ibu
Rasidi dan Siti Rahmah : Sebagai tanda bukti, hormat dan rasa terima kasih yang
tiada terhingga kupersembahkan kepada ayah dan ibu tersayang yang selalu
memberikan dukungan, iringan doa, nasehat dan kasih sayang yang tak akan
tergantikan.
Untuk saudaraku Ilham Habibi yang sangat saya sayangi
Untuk sahabat-sahabatku yang telah memberi support selama ini, terkhusus untuk
almamater dan kampus biru tercinta, serta sahabat dan teman seperjuangan
PM 15.
vii
ABSTRAK
Ariyanda Saputra, SPM. 152128; Hukum Mengucapkan Selamat Natal Kepada
Non Muslim (Studi Komparatif Pandangan Syeikh Utsaimin dan Yusuf Al-
Qaradhawi).
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui argumentasi Syeikh Utsaimin dan Yusuf
al-Qaradhawi dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim dan untuk mengetahui metode ijtihad Utsaimin dan al-Qaradhawi dalam
menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim. Skripsi ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik analisis deskriptif. Penelitian
deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan atau
melukiskan objek dan subjek sesuai dengan keadaan. Berdasarkan hasil temuan
penelitian Utsaimin mengharamkan mengucapkan selamat Natal, sedangkan
Yusuf al-Qaradhawi membolehkan mengucapkan selamat Natal.
Kata Kunci: Hukum, Mengucapkan Selamat Natal, Non-Muslim
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya serta anugerah yang tiada terkira, shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rasullah SAW yang telah mengajarkan
suri tauladan, dan yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman
modern seperti yang kita rasakan sekarang, dengan kemudahannya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hukum Mengucapkan Selamat
Natal Kepada Non Muslim (Study Komparatif Pandangan Syeikh Utsaimin dan
Yusuf Al-Qaradhawi)”.
Skripsi ini disusun guna melengkapi persyaratan untuk mendapat gelar Strata
Satu (S1) Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah, Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Oleh karena itu, hal yang pantas
penulis ucapkan adalah kata terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu penyelesaian skripsi ini, terutama sekali kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA. Ph.D selaku Rektor UIN STS Jambi.
2. Bapak Dr. A.A. Miftah, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc,M.HI, Ph.D, selaku Wakil Dekan I
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag, M.HI selaku Wakil Dekan II Fakultas Syariah
UIN STS Jambi.
5. Ibu Dr. Yuliatin, S.Ag, M.HI selaku Wakil Dekan III Fakultas Syariah UIN
STS Jambi.
6. Bapak Al Husni, S.Ag, M.HI, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Madzhab
Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
ix
7. Bapak Yudi Armansyah, S.Th.I.,M.Hum selaku Sekretaris Fakultas Syariah
UIN STS Jambi.
8. Ibu Dr. Illy Yanti, M.Ag selaku dosen Pembimbing I.
9. Ibu Dr. Maryani, M.HI selaku dosen Pembimbing II.
10. Bapak dan Ibu Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh Karyawan/Karyawati di
lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
11. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung
maupun tidak langsung.
Disamping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
dan sangat dibutuhkan kontribusi pemikiran demi perbaikan skripsi ini. Kepada
Allah SWT kita mohon ampunan-Nya, dan kepada manusia kita memohon
kemaafannya. Semoga amal kebajikan kita diterima oleh Allah SWT. Aamiin.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN .................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ...................................................................... ii
NOTA DINAS ............................................................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................. iv
MOTTO ........................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ......................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
C. Batasan Masalah................................................................................. 4
D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...................................... 4
E. Kerangka Teori................................................................................... 6
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................ 17
BAB II METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ........................................................................ 20
B. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 21
C. Instrumen Penelitian........................................................................... 22
D. Sistematika Penulisan ........................................................................ 23
BAB III BIOGRAFI
A. Biografi Utsaimin ............................................................................... 24
B. Biografi Yusuf Al-Qaradhawi ............................................................ 29
BAB IV PEMBAHASAN
A. Argumentasi Utsaimin dan Al-Qaradhawi tentang Mengucapkan Selamat
Natal kepada Non-Muslim ................................................................. 37
xi
B. Analisis Hukum Tentang Mengucapkan Selamat Natal Kepada Non
Muslim ............................................................................................... 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................ 68
B. Saran ................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu contoh dari banyak negara di dunia yang
umat beragamanya mengembangkan toleransi. Di Indonesia ada lima agama resmi
yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu dan
Budha. Kelima agama itu hidup berdampingan dan saling rukun, damai dan saling
menyapa antar satu pemeluk agama dengan agama lainnya.1Berabad-abad lampau
di kepulauan Nusantara sudah terdapat berbagai agama dan kepercayaan.2
Konsekuensinya, terjalin relasi sosial antar umat beragama seperti kemitraan di
tempat kerja, tetangga rumah, dan juga teman sekolah. Begitu pula orang-orang
yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri, di Amerika misalnya yang mayoritas
penduduknya non muslim, pasti akan menjalin hubungan sosial dengan umat non
muslim.
Perayaan hari besar agama-agama di Indonesia mendapat apresiasi besar
dari pemerintah, apresiasi tersebut diterapkan dengan menetapkan hari besar
agama sebagai hari libur nasional. Ada yang menarik mengenai perayaan hari
besar nasional di negeri ini, yakni perayaan Natal. Perayaan Natal merupakan hari
besar umat Kristiani/Katolik, perayaan tersebut dirayakan pada tanggal 25
1 Nurdinah Muhammad, et all, Ilmu Perbandingan Agama (Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
2004), hlm. 351-352. 2
Zainuddin, Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di Indonesia
(Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 26.
xiii
Desember setiap tahunnya. Natal dipercaya oleh umat Kristiani/Katolik sebagai
hari kelahiran Yesus Kristus yang disebutkan di Al-Qur‟an sebagai nabi Isa A.S.
Pada hari Natal di Indonesia biasanya umat Kristiani/Katolik merayakan
dengan pesta sekaligus berdo‟a di gereja-gereja sesuai kepercayaan masing-
masing. Umat Islam sebagai kelompok mayoritas terbesar di Indonesia berusaha
untuk hidup rukun dengan umat non muslim, hidup rukun perlu dilakukan
pengertian antar sesama yang biasa disebut toleransi. Toleransi umat Islam biasa
diterapkan dengan memberikan ucapan selamat Natal bagi umat Kristiani/Katolik.
Menjelang hari Natal, terdapat banyak perbedaan pendapat di kalangan para
ulama‟ tentang boleh atau tidaknya umat muslim memberikan ucapan selamat
Natal.
Indonesia sebagai negara dengan corak penduduk majemuk baik dalam
bahasa maupun agama banyak melahirkan berbagai persoalan. Diantara persoalan
yang tidak kalah pentingnya untuk dibahas adalah masalah agama. Tema agama
merupakan bagian yang sangat sensitif karena menyangkut keyakinan. Bersamaan
dengan itu tak jarang muncul konflik antara umat beragama baik dalam masalah
akidah maupun ibadah.3Perdebatan ini bukan pada entitas Natal itu sendiri,
melainkan lebih pada status hukum apakah umat Islam boleh mengucapkan
selamat Natal atau tidak.
Terkait hukum boleh atau tidaknya seorang Muslim mengucapkan selamat
Natal bagi umat Kristen, terdapat perbedaan pendapat dikalangan tokoh ulama
3Abd. Rohim Ghazali dalam M. Quraish Shihab, Atas Nama Agama: Wacana Agama
Dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm, 133.
xiv
kontemporer. Fatwa larangan mengucapkan selamat Natal terutama dimotori oleh
fatwa ulama di Saudi Arabia, yaitu fatwa Utsaimin, dalam kitab Fatawa Fadlilah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Pengikut Ibnu Taimiyah ini dalam
fatwanya menukil pendapat Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah dalam bukunya
Ahkam Ahl al-Dzimmah, beliau berkata: “Bahwa mengucapkan selamat terhadap
syiar-syiar kekufuran yang menjadi ciri khasnya adalah haram”. Selain pendapat
yang tegas mengharamkan di atas, kita juga menemukan fatwa ulama yang
cenderung tidak mengharamkan ucapan tahniah kepada umat Nasrani. Yaitu tokoh
sekaliber Yusuf al-Qaradhawi.
Dalam hal ini, al-Qaradhawi mengatakan bahwasanya tidak ada larangan
mengucapkan selamat pada hari-hari raya mereka (umat Kristiani/Katolik), karena
mereka juga mengucapkan selamat pada kita bertepatan dengan hari raya Islam.
Kita telah diperintahkan untuk membalas kebaikan dan membalas ucapan selamat
(tahni‟ah) dengan lebih baik, tidak lain adalah hanya semata bentuk pergaulan dan
berinteraksi dengan baik antar sesama manusia yang diperintahkan oleh Islam.
Terutama, mereka pun selalu mengucapkan selamat kepada hari raya kita (umat
muslim).4
Pro kontra tentang ucapan selamat Natal dan selamat hari raya agama lain
yang disampaikan oleh ulama tentu saja memiliki dasar argumennya masing-
masing, mengenai hukum mengucapkan selamat hari Natal kepada umat non-
muslim. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukakan penelitian
tentang metode hukum Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi dalam mengeluarkan
4Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh Maqasid Syari„ah, hlm. 292-293.
xv
fatwa hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim. Dengan judul:
“Hukum Mengucapkan Selamat Natal Kepada Non Muslim (Studi
Komparatif Pandangan Syeikh Utsaimin Dan Yusuf Al-Qaradhawi)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Pendapat Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi tentang hukum
mengucapkan selamat Natal kepada non muslim?
2. Bagaimana metode Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi dalam menetapkan
hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim?
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menganggap perlu
adanya pembatasan masalah yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian
ini. Guna mengefektifkan dan memudahkan pengolahan data, maka penulis
membatasi permasalah dalam penulisan penelitian ini pada seputar pembahasan
bagaimana pandangan serta metode ijtihad Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi
dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal dan selamat hari raya
kepada non muslim.
D. Tujuan Dan Manfaat Peneitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya.
Maka terdapat beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu:
xvi
a. Untuk mengetahui argumentasi Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi
dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim.
b. Untuk mengetahui metode ijtihad Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi
dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim.
2. Manfaat Penelitian
Setiap sesuatu yang dikerjakan pasti mengharapkan nilai guna,
adapun nilai guna yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
a. Secara akademisi dapat menambah wawasan bagi penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya dalam hal ini berkenaan
dengan pandangan Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi tentang
hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
perkembangan khazanah ilmu pengetahuan syariah umumnya yang
berkaitan dengan fatwa dan lebih khususnya hukum Islam.
c. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat melengkapi salah satu syarat
guna memperoleh gelar sarjana strata satu (S.1) pada Program
Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan
tulisan dapat diharapkan bisa menambah perbendaharaan referensi
kepustakaan di Fakultas Syariah dan bagi mahasiswa yang
mengkaji permasalahan tentang hukum mengucapkan selamat
Natal kepada non muslim.
xvii
E. Kerangka Teori
1. Toleransi dan Batasan-Batasannya
a. Pengertian Toleransi
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari
kata “toleran” itu sendiri bersifat menenggang (menghargai, membiarkan,
memperbolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan dan
sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang
masih diperbolehkan. Secara bahasa atau etimologi toleransi berasal dari
bahasa Arab tasamuh yang artinya ampun, maaf dan lapang dada.5
Secara terminologi, menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian
kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat
untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan
nasibnya masing-masing, dalam menjalankan dan syarat-syarat atas
terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.6
b. Prinsip-prinsip Toleransi Beragama
Dalam toleransi beragama kita harus mempunyai sikap atau prinsip
untuk menacapi kebahagiaan dan ketentraman. Adapun prinsip tersebut
adalah:
5
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia al- Munawir (Yogyakarta: Balai
Pustaka Progresif) 6 Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar
menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), 22.
xviii
1). Kebebasan Beragama
Hak asasi manusia yang paling esensial dalam hidup adalah hak
kemerdekaan atau kebebasan baik kebebasan untuk berfikir maupun
kebeasan untuk berkehendak dan kebebasan untuk memilih kepercayaan
atau agama. Kebebasan merupakan hak yang fundamental bagi manusia
sehingga hal ini yang membedakan manusia dengan makhluk yang
lainnya. Kebebasan beragama sering kali disalah artikan dalam berbuat
sehingga manusia ada yang mempunyai agama lebih dari satu. Yang
dimaksudkan kebebasan beragama di sini bebas memiih suatu keprcayaan
atau agama yang menurut mereka paling besar dan membawa keselamatan
tanpa ada yang memaksa tau menghalanginya, kemerdekaan telah menjadi
salah satu pilar demokrasi dari tiga pilar revolusi dunia. Ketiga pilar
tersebut adalah persamaan, persaudaraan dan kebebasan.7
Kebebasan beragama atau rohani diartikan sebagai suatu ungkapan
yang menunjukan hak setiap individu dalam memilih keyakinan suatu
agama.8
2) Penghormatan dan Eksistensi Agama lain
Etika yang harus dihormati dari sikap toleransi setelah memberikan
kebebasan beragama adalah menghormati eksistensi agama lain dengan
pengertian menghormati keragaman dan perbedaan ajaran-ajaran yang
7 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam (Jakarta, Bulan bintang), 22.
8 Abd. Al Mu‟tas As Saidi, Kebebasan Berfikir dalam Islam (Yogyakarta: Adi Wacana,
1999), 4.
xix
terdapat pada setiap agama dan kepercayaan yang ada baik baik diakui
negara maupun belum diakui negara. Menghadapi realitas ini setiap
pemeluk agama dituntut agar senantiasa mampu menghayati sekaligus
memposisikan diri dalam konteks pluralitas dengan didasari semangat
saling menghormati dan menghargai eksistensi agama lain. Dalam bentuk
tidak mencela atau tercela atau memaksakan maupun bertindak sewenang-
wenangnya dengan pemeluk agama lain.9
3) Agree in Desagreement
“Agree in Disagreement” (setuju didalam perbedaan) adaah prinsip
yang selalu didengungkan oleh Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada
permusuhan, karena perbedaan selalu ada didunia ini, dan perbedaan tidak
harus menimbulkan pertentangan. Dari sekian banyak pedoman atau rinsip
yang telah disepakati bersama, Said Agil Munawar mengemukakan
beberapa pedoman atau prinsip, yang perlu diperhatikan secara khusus dan
perlu disebarluasan seperti tersebut dibawah ini:
a) Kesaksian yang jujur dan saling menghormati semua pihak dianjurkan
membawa kesaksian yang terus terang tentang kepercayaan di
hadapan Tuhan dan sesamanya, agar keyakinannya masing-masing
tidak ditekan ataupun dihapus oleh pihak lain. Dengan demikian rasa
curiga dan takut dapat dihindarkan serta semua pihak dapat
menjauhkan perbandingan kekuatan tradisi masing-masing yang dapat
9 Ruslani, Masyarakat Dialog Antar Agama, Studi atas pemikiran Muhammad Arkoun
(Yogyakarta: Yayasan bintang Budaya, 2000) , 169.
xx
menimbulkan sakit hati dengan mencarai kelemahan pada tradisi
keagamaan lain.10
b) Prinsip kebebasan beragama (religious freedom). Meliputi prinsip
kebebasan perorangan dan kebebasan sosial (individual freedom and
social freedom) Kebebasan individual sudah cukup jelas setiap orang
mempunyai kebebasan. untuk menganut agama yang disukainya.
Tetapi kebebasan individual tanpa adanya kebebasan sosial tidak ada
artinya sama sekali. Jika seseorang benar-benar mendapat kebebasan
agama, ia harus dapat mengartikan itu sebagai kebebasan sosial,
tegasnya supaya agama dapat hidup tanpa tekanan sosial. Bebas dari
tekanan sosial berarti bahwa situasi dan kondisi sosial memberikan
kemungkinan yang sama kepada semua agama untuk hidup dan
berkembang tanpa tekanan.
c) Prinsip penerimaan (Acceptance) yaitu mau menerima orang lain
seperti adanya. Dengan kata lain, tidak menurut proksi yang dibuat
sendiri. Jika kita memproyeksikan penganut agama lain menurut
kemauan kita, maka pergaulan antar golongan agama tidak akan
dimungkinkan.
d) Berpikir positif dan percaya (positive tinking and trustworthy) orang
berpikir secara “posistif” dalam perjumpaan dan pergaulan dengan
penganut agama lain, jika dia sanggup melihat pertama yang posistif,
dan yang bukan negative. Sebab kode etik dalam pergaulan adalah
10
Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan bangsa dalam islam Sebagai dasar menuju
Dialog dan Kerukunan Umat Beragama (Surabaya: Bina Ilmu, 1978), 24.
xxi
bahwa agama yang satu percaya kepada agama yang lain, dengan
begitu dialog antar agama terwujud.11
4. Prinsip-prinsip Toleransi di Indonesia
Di Indonesia kebebasan Beragama diatur dalam Peraturan Perundang-
undangan:
a). Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 tentang Agama
disebutkan:
1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu (UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2).
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
1) Kebebasan Beragama
Dengan rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti
pada Bab II angka 1 tidak berarti bahwa Negara memaksa agama
suatu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha ESa, sebab agama
dan kepercayaan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan dan
memang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk dan
menganutnya. Kejahatan atas integritas ruhani dan jasmani manusia
merupakan kejahatan serius. Demi menjaga integritas ruhaninya,
11
Said Agil Al- Munawar. fiqih Hubungan Antar agama (Jakarta: ciputat press, 2003), 51.
xxii
islam secara tegas menggaris bawahi prinsip kebebasan keyakinan
atau keimanan untuk manusia. Kesediaan untuk bertenggang rasa
dengan mengorbankan egoisme masing-masing dari semua pihak,
sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah.
Seperti peristiwa yang terjadi dengan pada rumusan
perjanjian perdamaian Hudaibiyah (Suhl al Hudaibiyah) anatara
Rasulullah saw dan sahabat-sahabatnya di satu pihak dengan para
pemuka kaum Quraisy di lain pihak. Dalam draf yang didektekan
oleh Rasulullah saw dan ditulis oleh Sahabat Ali r.a., terdapat
kalimat” Bismillah ar-rahman ar-rahim” dan “Rasul Allah”. Suhel
bin Amr, mewakili pihak Qurais dengan tegas menolak kalimat itu.
Dengan kesabaran hati tabi mencoretnya dengan tangan beliau
sendiri. Maka tercapailah kesepakatan damai anatara keduanya.12
Dalam perjanjian Hudaibiyah ada 7 kata yang dibuang.
Sebagaimana yang dibuang dari Mukaddimah UUD 1945 sebanyak
tujuh kata, tujuh kata tersebut adalah:”dengan menjalan syariat
Islam bagi pemeluknya” di ganti dengan “ ketuhanan Yang Maha
Esa”. Karena mempertanyakan tujuh kata dalam sila ketuhanan
Yang Maha Esa, menurut Kyai Wahid Hasyim, akan membuka
pintu sektrisme dalam perpolitikan Indonesia.13
12
Departemen Agama RI, Kompilasi Peraturan Perundang- Undangan Kerukunan hidup
Umat Beragama, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007), 20. 13
Masdar Farid Masudi, Syarah UUD 1945 Perspektif Islam (Jakarta: Pustaka Alvabet
2013), 19.
xxiii
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah merupakan salah
satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena
kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama
bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan
(Penjelasan atas Bab II angka I Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila: Ketetapan MPR No. II/MPR/1978
tertanggal 22 Maret 1978.
2. Pendekatan Metode Istislahiyyah
Metode penalaran istislahiyyah (al-istislah, al-masalih al-mursalah,
di Indonesiakan dengan istislahiah) adalah kegiatan penalaran terhadap
nash (teks Al-quran dan Sunah Rasulullah) yang bertumpu pada
penggunaan pertimbangan maslahat atau kemaslahatan dalam upaya untuk
menemukan hukum syarak dari suatu masalah dan merumuskan atau
membuat pengertian dari suatu perbuatan hukum. Sedang maslahat, secara
sederhana adalah kemaslahatan, pemenuhan keperluan, perlindungan
kepentingan, mendatangkan kemamfaatan, bagi orang perorangan dan
masyarakat, serta menghindari kemudaratan, mencegah kerusakan dan
bencana dari orang perorangan dan masyarakat.Bahkan ada penulis yang
menerjemahkan maslahat merupakan kepentingan umum.
xxiv
Al-Ghazali mendefenisikan maslahat dengan al-muhafadah „ala
maqsud alsyar„i (menjaga tujuan syarak), tujuan syarak terhadap manusia
meliputi lima perlindungan, memelihara dan melindungi keperluan
manusia dibidang agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Semua yang
dapat melindungi lima hal utama ini disebut dengan maslahat dan semua
yang dapat merusak lima hal ini dianggap sebagai mudarat, dan sebaliknya
menghilangkan yang mendatangkan mudarat tersebut adalah maslahat.14
Mengenai otoritas maslahat sebagai metode penalaran, dan
kekuatan dari hukum yang dihasilkan oleh penalaran yang bertumpu pada
maslahat, kelihatannya tidak didiskusikan pada masa sahabat.Dalam
banyak riwayat disebutkan bahwa para sahabat relatif menerima penetapan
hukum yang didasarkan pada maslahat sekiranya mereka merasakan
bahwa penetapan atau pemberian hukum tersebut betul-betul mengandung
maslahat dalam artinya yang luas.
Khalik Masu‟d mengatakan Imam al-Haramain al-Juwaini telah
mencatat tentang adanya diskusi serta munculnya beberapa pendapat
tentang kesahihan penalaran yang bertumpu pada maslahat. Lebih dari itu
sebagian peneliti masa sekarang berkesimpulan beliaulah orang pertama
yang membagi maslahat menjadi tiga kategori: Al-daruriyyat, Al-hajiyyat
dan Al-tahsiniyyat bahkan orang pertama yang membagi Al-daruriyyat
menjadi lima macam. Al-Ghazali murid al-Juwaini, telah membahas
otoritas maslahat sebagai pertimbangan penetapan hukum, dan untuk
14Al-Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah, Pemamfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqih, (Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar Plubishing, 2012), hlm. 33-34.
xxv
menjelaskan mekanisme penggunaanya agar dianggap memenuhi syarak.
Al-Ghazali sudah membagi maslahat dari segi pengakuan syarak menjadi
mu‟tabarah, mulghah, dan mursalah sedang dari segi kebutuhan makhluk
yang ingin dilindungi oleh Khalik, membagi menjadi lima perlindungan
agama, nyawa, akal, keturunan dan harta.
Puncak perkembangan dan penggunaan maslahat sebagai prinsip
bahkan metode penalaran dalam ushul al-fiqih terjadi di tangan Abu Ishaq
Al-Syatibi Al-Gharnati, yang telah berusaha melakukan semacam
penyempurnaan dan bahkan pembaharuan. Dalam bukunya beliau
berupaya mengaitkan uraian tentang maslahat dengan uraian tentang
Maqashid Al-syari„ah (tujuan syariah) secara lebih erat dan sungguh-
sungguh, dan menjadikannya sebagai salah satu syarat untuk kebolehan
berijtihad.15
Menurut Al-Syatibi, syari‟ah berurusan dengan maslahat adalah
dalam upaya memberikan perlindungan kepentingan dan pemenuhan
keperluan manusia. Perlindungan kepentingan yang beliau maksud adalah
kepentingan yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, pemeliharaan
hidup, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan (kohormatan dan harga
diri) dan pemeliharaan harta kekayaan. Sedang pemenuhan keperluan
dilakukan Allah, dengan cara menyuruh atau member izin kepada manusia
untuk melakukan perbuatan yang akan mendatangkan maslahat
(kemaslahatan) serta dengan cara menghindarkan dan melarang semua
15
Al-Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah, Pemamfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqih, (Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar Plubishing, 2012), hlm. 37-41.
xxvi
perbuatan yang bertolak belakang dengan maslahat atau dapat
menghalangi maslahat (mendatangkan mafsadat). Jadi maslahat adalah
tujuan dari syariat (kegiatan pensyariatan/legislasi) dan karena itulah
pembahasan tentang maqashid al-syari‟ah (tujuan pensyariatan/legislasi).
Lebih dari itu Al-Syatibi menjelaskan maslahat sebagai sebuah sistem
(yang hirarkis dan saling melengkapi), masuk kedalam berbagai derajat
perlindungan dan keperluan dan dengan hubungan yang bisa didefenisikan
antara satu dengan yang lainnya.
Berbeda dengan ulama lain, Al-Syatibi memberikan alternatif
melalui pengaitan maslahat dengan maqashid seperti yang telah pernah
disinggung. Menurut beliau maslahat kelompok yang ketiga ini (mashalih
mursalah, istislahiyyah) yang oleh jumhur ulama dianggap sebagai
maslahat yang tidak disnggung didalam Al-Quran dan Sunah secara
langsung, menurut baliau tidaklah berarti betul-betul tidak mempunyai
kaitan atau hubungan dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadis-hadis
Rasulullah. Maslahat kelompok tiga ini akan dianggap mempunyai
hubungan dengan Al-Quran dan hadis Rasulullah, apabila dapat
didudukkan dan diberi tempat dalam kategori-kategori maqashid Al-
syari‟ah yang dia perkenalkan secara relatif dan sistematis, mencakup dan
hirarkis.16
Menurut sejarah, Al-Syatibi menawarkan penggunaan maslahat di
dalam penalaran secara lebih baku dan mandiri, Al-Syatibi memberikan
16
Al-Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah, Pemamfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqih, (Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar Plubishing, 2012), hlm. 55.
xxvii
uraian dan landasan teoritis yang relatif lebih konprehensif bahwa
maslahat yang beliau hubungkan yang relatif ketat dengan maqashid al-
syari‟ah, dengan tiga tingkatannya harus dipertimbangkan secara sungguh-
sungguh didalam penalaran. Menurut beliau, maslahat yang dirincikan
menjadi maqashid al-syari„ah, harus dipertimbangkan didalam penalaran
karena semua hukum (taklifi dan wad„i) yang diturunkan Allah pasti
mengandung maslahat-maqashid untuk melindungi dan memenuhi semua
keperluan manusia.17
Upaya menjadikan penalaran istislahiah sebagai metode atau
kaidah yang berdiri sendiri, dan lebih dari itu, menjadikannya mampu
menyahuti kemajuan pengetahuan, ilmu, teknologi, serta filsafat termasuk
logika, sehingga terasa mudah dan tidak asing ketika digunakan.
Penyebutan kaidah istislahiah sebagai kaidah penalaran yang berdiri
sendiri hanyalah dalam arti mempunyai langkah yang jelas, yang
menjadikannya dapat digunakan secara langsung atas namanya sendiri,
bukan atas nama kaidah lain. Berdiri sendiri tersebut tidak dimaksudkan
untuk menyatakan dapat digunakan secara tunggal tanpa bantuan kaidah
lain sama sekali. Hal ini perlu ditegaskan, karena didalam kenyataan,
terutama pada masa sekarang setelah adanya kemajuan pengetahuan, ilmu,
teknologi, dan filsafat, tidak ada metode (begitu juga tata pikir) yang dapat
bekerja secara tunggal. Setiap metode atau kaidah selalu digunakan
bergandengan metode atau kaidah lain, sehingga selalu dalam hubungan
17
Al-Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah, Pemamfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqih, (Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar Plubishing, 2012), hlm. 68.
xxviii
sirkular yang saling melengkapi, tidak ada yang betul-betul berdiri sendiri.
Model ini oleh Amin Abdullah disebutkan sebagai pendekatan integratif-
interkonektif.18
Langkah-langkah penalaran istislahiah sebagai suatau metode,
dalam upaya untuk melahirkan sebuah sistem yang komprehensif,
sistematis dan praktis. Maka langkah-langkahnya seperti berikut:
1. Al-Quran dan sunnah (dalil-dalil)
2. Prinsip-prinsip maqashid Al-Syari„ah
3. Mempertimbangkan adat setempat (termasuk konstitusi)
4. Capaian ilmu pengetahuan modern
5. Mempertimbangkan capaian fiqh masa lalu
6. Menentukan masalah yang akan diselesaikan
7. Menetapkan metode penalaran
F. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti mengadakan suatu kajian kepustakaan peneliti
akhirnya menemukan beberapa karya tulis hasil penelitian yang memiliki
bahasan yang hampir sama dengan yang akan peneliti teliti. Penelitian-
penelitian tersebut antara lain adalah:
Muhammad Irsyad Noor Mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab
Dan Hukum Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mengatakan
dalam skripsinya yang berjudul: “Hukum Ikut Merayakan Ibadah Non
18
Al-Yasa‟ Abubakar, Metode Istislahiah, Pemamfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul
Fiqih, (Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar Plubishing, 2012), hlm. 338.
xxix
Muslim”.19
Skripsi ini hanya berfokus kepada membahas tentang hal-hal
yang berkaitan dengan elemen-elemen tasyabbuh atau penyerupaan orang
Islam dengan perbuatan non muslim.Persamaan dengan penelitian ini
adanya sub objek yang berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti yaitu
tentang hukum mengucapkan selamat Natal, perbedaanya adalah pada pola
dan metode penelitianya metode penelitian dalam skripsi yag disusun
penulis adalah studi komparatif dimana penulis memcoba membandingkan
fatwa Syeikh Utsaimin dan Yusuf al Qaradhawi terkait dengan hukum
mengucapkan selamat Natal.
Fatoni Sidqi20
(Mahasiswa Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran
Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Mengatakan dalam skripsinya yang berjudul: “Berita Ucapan Natal di
Republika online”.Penelitian dalam skripsi tersebut mengangkat terkait
dengan isu kontroversi hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim, yang dimana Republika Online sebagai salah satu bagian dari
media massa mencoba memberitakan berbagai fatwa ulama terkait dengan
larangan ucapan selamat Natal, namun dalam penelitian tersebut penulis
menemukan pelanggaran kode etik jurnalistik yang ternyata Republika
Online mencoba mengarahkan pemberitaan isu ucapan selamat Natal agar
pembaca dapat ikut serta memperbolehkan ucapan selamat Natal.
Persamaan dalam penelitian ini adalah adanya sub objek yang masih terkait
yaitu hukum mengucapkan selamat Natal, sedangkan perbedaanya adalah
19
Muhammad Irsyad Noor, Hukum Merayakan Ibadah Non Muslim”.Jakarta: Skripsi, 2015 20
Fatoni Sidqi, Berita Ucapan Natal di Republika online” Yogyakarta: Skripsi 2015
xxx
dalam objek kajian dan metode kajian dimana objek dan metode dalam
skripsi ini adalah terkait dengan perbandingan fatwa ulama dalam hukum
mengucapkan selamat Natal.
Teguh Triesna Dewa21
Mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Mengatakan
dalam skripsinya yang berjudul: “Hukum ikut serta merayakan Natal bagi
muslim dalam pandangan ulama”. Penelitian dalam skripsi tersebut berfokus
kepada hukum orang muslim yang ikut merayakan Natal serta melakukan
perbandingan fatwa di tiga lembaga Negara terkait dengan perayaan Natal.
Adapun persamaan dalam penelitian tersebut dengan skripsi yang disusun
penulis adalah adanya kesamaan dalam metode yang digunakan yaitu
metode komparatif yang mana penulis mencoba mmbandingkan fatwa
Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi, sedangkan perbedaanya adalah pada
objek kajian, dalam penelitian ini penulis membahas tentang hukum
mengucapkan selamat Natal kepada non muslim..
21
Teguh Triesna Dewa, Hukum Ikut Serta Merayakan Natal Bagi Muslim Dalam
Pandangan Ulama”. Jakarta: Skripsi, 2016
xxxi
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan judul yang ingin diteliti maka jenis dan pendekatan
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tehnik analisis
deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha
menggambarkan atau melukiskan objek dan subjek sesuai dengan keadaan.22
Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sistematik dan
akurat fakta dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang
tertentu.Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf
deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga
dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan.23
Adapun komparatif
adalah upaya membandingkan suatu konsep pemikiran dengan konsep
pemikiran yang lain. Khususnya dalam masalah ini, perbandingan antara
pemikiran Utsaimin dan Yusuf Al-Qaradawi.
B. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian
kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library reserch)
adalah pengumpulan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam
22
Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 129. 23
Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), hlm. 5.
xxxii
materi yang terdapat di ruang perpustakaan, yaitu tentang data-data tertulis
seperti buku, Al-Qur‟an, hadis, majalah, naskah-naskah, catatan-catatan,
multimedia, dan lain sebagainya.24
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif analitis yaitu suatu penelitian yang
meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data.
Dalam penelitian ini akan dijelaskan tentang hukum mengucapkan selamat
hari raya kepada non muslim perspektif Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi
untuk kemudian membandingkan pemikiran keduanya.
C. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif,
yaitu jenis data yang menguraikan beberapa pendapat, konsep, atau teori yang
menggambarkan atau menyajikan masalah yang berkaitan dengan hukum
mengucapkan selamat Natal kepada non muslim perspektif Utsaimin dan
Yusuf al-Qaradhawi.
b. Sumber Data
Sumber data adalah tempat sumber darimana data itu diperoleh. Adapun
sumber dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yaitu sebagai berikut:
1. Sumber data primer yaitu sumber data yang lansung diperoleh dari
buku-buku yang berkenaan dengan permasalahan yang diteliti,
24
Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset (Bandung: Bandar Maju, 1990), hlm. 33.
xxxiii
seperti buku Fatwa-Fatwa Kontemporer karya dari Yusuf al-
Qaradhawi, dan Majmu Fatawa karya Utsaimin.
2. Bahan hukum skunder adalah data yang tidak berkaitan langsung
dengan sumbernya yang asli. Dengan demikian data sekunder adalah
sebagai pelengkap yang diperoleh dengan membaca dan menelaah
buku-buku yang relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam
kajian ini yaitu semua literatur fikih dan ushul al-fiqh atau karya-
karya yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penulisan proposal skripsi ini dilakukan
dengan cara riset perpustakaan (library research) yaitu riset yang digunakan
dengan membaca buku, dan sumber data lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Dalam riset perpustakaan ini pengumpulan data yang
ditemukan dari berbagai macam buku yang ada hubungannya dengan hukum
Islam sesuai dengan judul penelitian.
E. Metode Analisis Data
Didalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode komparasi
(perbandingan). Data-data yang terkumpul dianalisis dengan cara
membandingkan diantara keduanya. Metode komparatif adalah metode
membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, atau penelitian yang
xxxiv
dilakukan dengan mengkaji beberapa fenomena-fenomena sosial, sehingga
ditemukan beberapa persamaan dan perbedaan pendapat.25
F. Sistematika Penulisan
Mengenai teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan ini penulis
berpedoman pada buku panduan Penulisan Skripsi Mahasiswa Fakultas
Syari‟ah UIN Sullthan Thaha Saifuddin Jambi. Penelitian ini terdiri dari
empat pokok pembahasan yang terbagi kedalam lima bab. Pada setiap bab
dibagi dalam sub-sub bab dengan perinciannya sebagai berikut:
BAB I, Merupakan bab pendahuluan yang mana dalam bab ini
memaparkan, latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan pustaka
BAB II, Metodologi Penelitian, bab ini berisi tentang metodologi
penelitian yang terdiri dari sub bab sebagai berikut: Pendekatan Penelitian,
Jenis dan Sumber Data, Instrumen Pengumupulan Data, Tekhnik Analisis
Data, dan sistematika penulisan.
BAB III, Berisikan tentang potret sejarah Utsaimin dan Yusuf Al-
Qaradhawi.
BAB IV, Pembahasan dan hasil penelitian yaitu memaparkan bagaimana
pandangan Utsaimin dan Yusuf Al-Qaradhawi tentang hukum mengucapkan
selamat Natal, metode yang digunakan, dasar hukum dalam menetapkan
hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim.
25
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 6.
xxxv
BAB V, Merupakan penutup dari penyusunan tulisan ini. Yang meliputi
kesimpulan dari keseluruhan pembahasan. Serta saran-saran yang diharapkan
dapat memberikan masukan dan manfaat terhadap pengembangan pemikiran
hukum Islam untuk masa depan.
xxxvi
BAB III
BIOGRAFI UTSAIMIN DAN YUSUF Al-QARADHAWI
A. BIOGRAFI UTSAIMIN
1. Kelahiran Muhammad Bin Salih Al-Utsaimin
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin lahir di kota 'Unaizah, salah satu
kota Al-Qashim, Pada tanggal 27 Ramadhan 1347 Hijriah. Beliau lahir
dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terkenal agamis dan
istiqamah. Beliau menikah dengan satu seorang dan dikaruniai delapan
orang anak lima laki-laki dan tiga perempuan. Kakek beliau dari pihak ibu
bernama Syeikh Abdurrahman bin Sulaiman al Damigh. Kepadanyalah
beliau belajar, menghafalkan Al-Qur‟an, dan sebelum menginjak usia 15
tahun beliau telah hafal kitab tentang ushul al-fiqh yaitu “Zaad al-
Mustaqniq” dan kitab tentang ilmu nahwu/bahasa yaitu “Alfiyah ibn
Malik”.
Beliau menguasai sastra Arab, ilmu menghitung dan menulis tulisan
Arab. Tidaklah mudah pada zaman itu seorang pelajar menuntut ilmu
sebagaimana saat ini yang begitu mudah fasilitasnya. Pada zaman itu,
Utsaimin belajar dengan fasilitas yang sederhana, tidak ada tempat belajar,
AC, tidak ada lampu khusus untuk belajar, belajar di kamar yang terbuat
xxxvii
dari tanah, yang terlihat darinya kandang sapi, sebagaimana beliau
menceritakannya.26
2 Pendidikan Dan Guru-Guru Muhammad Shalih al-Utsaimin
a. Pendidikan
Dalam mencari ilmu, Utsaimin mengikuti jejak dan teori salafus
shalih.Beliau memulainya dengan menghafal al-Qur'an saat masih kecil.
Beliau membacanya dihadapan kakek dari jalur ibunya, Asy-Syeikh
Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh Rahimahullah. Kemudian beliau
berguru kepada Syeikh al-Allaamah al-Mufassir Abdurrahman bin Nashir
As-Sa'di Rahimahullah yang tercatat sebagai guru pertama beliau. Kepada
Syeikh Abdurrahman, beliau belajar ilmu tauhid, tafsir, hadits dan fikih.
Beliau menimba ilmu dari Syaikh Abdurrahman selama kurang lebih
sebelas tahun,dan beliau termasuk salah seorang muridnya yang paling
menonjol.
Disaat beliau mengenyam pendidikan formal di Riyadh, beliau
sempat mendalami Shahih al-Bukhari, beberapa risalah Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah, dan sebagian kitab-kitab fikih kepada Syaikh Abdul Aziz
bin Baz Rahimahullah. Sejak meninggalnya Syeikh Abdurrahman As-
Sa'di, beliau menjadi imam Masjid Jami' di Unaizah, mengajar di
perpustakaan nasional Unaizah, disamping mengajar di Ma'had Al-
26 Syeikh Muhammad Bin Salih Al- Utsaimin, “Biografi Utsaimin”,
http://ghuroba.blogsome.com.syaikh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin (diakses pada 21 Agustus
2019)
xxxviii
Ilmi.Setelah itu, beliau aktif mengajar di fakultas syari'ah dan ushuluddin,
Universitas Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah cabang Al-Qashim.
Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai anggota Haiatu Kibari Ulama
Kerajaan Saudi Arabia sampai beliau wafat.
b. Guru-Gurunya
Utsaimin belajar di kota Unaizah pada guru beliau yaitu Syaikh
Abdurrahman As-Sa‟di salah seorang ulama terkemuka di daerah Najd
selama 11 tahun. Beliau mengajar di Masjid Jami‟ di Unaizah pada tahun
1371 H, akan tetapi hal ini tidak berlangsung lama karena beliau pergi ke
kota Riyadh untuk belajar pada tahun 1372 H. setelah meminta izin kepada
Syaikh Sa‟di guru beliau. Disanalah nampak bahwa beliau orang yang
menonjol dalam ilmu agama, dimana beliau mampu meringkas studi
selama 2 tahun dalam satu tahun, sehingga beliau dapat menyelesaikan
pelajaran yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun. Setelah itu, beliau
ditunjuk sebagai pengajar di Ma‟had Unaizah al-Ilmi, lalu melanjutkan di
Kuliah syariah di Riyadh hingga lulus. Di kota ini, beliau bertemu dan
belajar pada guru beliau ke dua, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah, Utsaimin sangat terkesan padanya, dimana beliau berucap:
“Saya terkesan pada Syaikh bin Baz akan perhatian beliau pada
hadits Nabi, dan saya sangat terkesan pula pada akhlak beliau”.27
27
Syeikh Muhammad Bin Salih Al- Utsaimin, “Biografi Utsaimin”,
http://ghuroba.blogsome.com.syaikh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin (diakses pada 21 Agustus
2019)
xxxix
c. Corak Keilmuannya
Utsaimin selalu mengacu dan mengikuti dalil.Hal ini dapat terlihat
dengan jelas dalam bukunya, "Syarhu Al-Mumti' 'Alaa Zaadi Al-
Mustaqni", meskipun tarjih-tarjih beliau banyak yang selaras dengan
pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Rahimahullah.
Tapi, terkadang juga berbeda pendapat dengan mereka berdua, sesuai
dengan tuntutan dalil.
d. Karya-Karya Beliau
Buku-buku yag telah ditulis oleh Utsaimin diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Talkhis Al Hamawiyah, selesai pada tanggal 8 Dzulhijah 1380 H.
2. Tafsir Ayat Al Ahkam (belum selesai).
3. Syarh Umdatul Ahkam (belum selesai).
4. Musthalah Hadits.
5. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah.
6. Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama‟ ah.
7. Al Qowaidul Mustla fi Siftillah wa Asma‟ihil Husna.
8. Risalah fi Annath Thalaq Ats Tsalats Wahidah Walau Bikalimati
9. Takhrij Ahadits Ar Raudh Al Murbi.
10. Risalah Al Hijab.
11. Risalah fi Ash Shalah wa Ath Thaharah li Ahlil A‟dzar.
12. Risalah fi Sujud As Sahwi
13. Majmu‟ Fatawa wa Rasail.
xl
14. Al Ibtida‟ fi Kamali Asy Syar‟i wa Khtharil Ibtida‟.
15. Izalat As Sitar Anil Jawab Al Mukhtar li Hidayatil Muhtar.
Dan masih banyak karya-karya beliau hafidzahullah ta‟ala yang lain.
e. Sakit Dan Wafatnya
Utsaimin terserang penyakit kerusus. Atas permintaan pihak
kerajaan Saudi, beliau dibawa untuk melakukan pemeriksaan medis ke
Amerika Serikat dengan pesawat khusus. Menurut keterangan orang-orang
terdekat beliau, saat tim dokter menawari beliau pengobatan dengan sinar
laser, namun pengobatan ini dapat menyebabkan kerontokan pada rambut,
lalu beliau bertanya: "Apakah jenggotku juga bisa rontok?" Pihak dokter
menjelaskan bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Beliau berkata: "Saya
tidak mau berjumpa dengan Rabbku tanpa jenggot" Beliau memutuskan
untuk kembali ke Saudi Arabia, dan dirawat di rumah sakit Al-Malik
Faishal. Beliau meninggalkan rumah sakit pada tanggal 9 Ramadhan
menuju Masjidil Haram Mekkah untuk menyampaikan pelajaran rutinnya
melalui pengeras suara.Beliau duduk di ruangan khusus di dalam Masjidil
Haram, disamping pintu Al-Umrah.Dari ruangan itu, Beliau bisa
menjawab setiap pertanyaandari para hadirin, hanya saja beliau tidak bisa
menerima tamu yang hendak berkunjung kepada beliau.
Beberapa waktu Kemudian, beliau dibawa ke rumah sakit kembali
kali ini, beliau masuk ke ruang ICU. Kondisinya sempat membaik, tapi
xli
setelah itu memburuk kembali, hingga ajal menjemputnya. Beliau
menghembuskan nafas terakhir kalinya pada waktu Maghrib, Rabu 15
Syawal 1421 Hijriah, di rumah sakit Al-Malik Faishal At-Takhassushi
Jedah. Beliau kembali kesisi-Nya, setelah menjalani kehidupannya dengan
penuh makna selama 74 tahun 18 hari.
2. Biografi Yusuf Al-Qaradhawi
a. Riwayat Hidup Yusuf al-Qardhawi
Yusuf al-Qaradhawi lahir di desa Shafat Thurab, Mesir bagian Barat,
pada tanggal 9 September 1926. Desa tersebut adalah tempat
dimakamkannya salah seorang sahabat Rasulullah SAW, yaitu Abdullah
bin Harits r.a.28
Yusuf al-Qaradhawi berasal dari keluarga yang taat
beragama. Ketika berusia 2 tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak
yatim ia hidup dan diasuh oleh pamannya, yaitu saudara ayahnya. Ia
mendapat perhatian cukup besar dari pamannya sehingga ia menganggap
pamannya itu sebagai orang tuanya sendiri. Seperti keluarganya, keluarga
pamannya pun taat menjalankan agama Islam. Sehingga ia terdidik dan
dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan syariat Islam.29
Dengan perhatian yang cukup baik dalam lingkungan yang taat
beragama, Yusuf al-Qaradhawi mulai serius menghafal Al-Qur‟an sejak
berusia 5 tahun. Bersamaan dengan itu ia juga disekolahkan pada sekolah
dasar bernaung dibawah lingkungan departemen pendidikan dan
28
Yusuf al-Qaradhawi, Fatawa Qardahawi, terj: H. Abdurrahman Ali Bauzir, (Surabaya:
Risalah Gusti,1996), cet II, hal. 399 29
Yusuf al-Qaradhawi, Pasang Surut Gerakan Islam, terj: Faruq Uqbah, (Jakarta: Media
Dakwah, 1987), cet 1, hal. 153.
xlii
pengajaran Mesir untuk mempelajari ilmu umum, seperti berhitung,
sejarah, kesehatan dan ilmu-ilmu lainnya.30
Berkat ketekunan dan kecerdasannya, Yusuf al-Qaradhawi akhirnya
berhasil menghafal al-Qur‟an 30 juz dalam usia 10 tahun. Bukan hanya itu,
kefasihan dan kebenaran tajwid serta kemerduan qiraatnya menyebabkan
ia sering disuruh menjadi imam Masjid.
b. Pendidikan Yusuf al-Qaradhawi
Ketika ia berusia tujuh tahun, ia diserahkan ke sekolah dasar Al-
Ilzamiyah yang berada dibawah Departemen Pendidikan Mesir. Di sekolah
ini ia mempelajari ilmu pengetahuan umum,seperti al-jabar, sejarah, ilmu
kesehatan dsb. Sejak saat itu sampai usianya sepuluh tahun, sehari ia
bersekolah dua kali, pagi hari di Al-Ilzamiyah dan sorenya di Al-Kuttab.
Setelah tamat dari sekolah al-Ilzamiyah, al-Qaradhawi berkeinginan untuk
melanjutkan ke sekolah lanjutan al-Azhar di Thantha.Namun pamannya
yang berekonomi lemah merasa keberatan, karena membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Tetapi akhirnya pamannya menyetujui keinginan al-
Qaradhawi untuk melanjutkan sekolah menengah pertama dan sekolah
menengah umum di Thantha dengan biaya yang pas-pasan. Pendidikan
yang ditempuhnya dalam waktu yang relatif singkat dengan prestasi rata-
rata terbaik. Kecerdasannya mulai tampak ketika ia berhasil
menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ushuluddin Al-Azhar dengan
predikat terbaik yang diraihnya pada tahun 1952-1953. Kemudian ia
30
Yusuf al-Qaradhawi, Pasang Surut Gerakan Islam, terj: Faruq Uqbah, (Jakarta: Media
Dakwah, 1987), cet 1, hal.154
xliii
melanjutkan pendidikan kejurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Tidak
berbeda ketika dia lulus dari Fakultas Ushuluddin, di jurusan inipun dia
lulus dengan rangking pertama di antara lima ratus mahasiswa. Dia
memperoleh ijazah internasional dan sertifikat mengajar.31
Pada tahun 1957, Yusuf al-Qaradhawi melanjutkan studinya di
lembaga riset dan penelitian masalah-masalah Arab selama 3 tahun.
Akhirnya ia menggondol Diploma dibidang sastra dan bahasa. Tanpa
menyia-nyiakan waktu, ia mendaftar pada tingkat pascasarjana di Fakultas
Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
Selanjutnya dia langsung meneruskan kuliahnya ke tingkat doktor
dan menulis disertasi dengan judul “al-Zakat fi al-Islam”, yang semula
diperkirakannya selesai dalam waktu dua tahun tetapi tertunda selama tiga
belas tahun, karena terjadi krisis politik di Mesir yang membuatnya
Hijrah ke Qatar. Disana dia diangkat menjadi imam mesjid dan mengajar
serta berceramah. Bersama Abd al-Muis Abd al-Sattar, ia mendirikan
sekolah ma‟had al-diniy. Sekolah inilah yang merupakan cikal bakal
lahirnya fakultas syari‟ah Qatar yang didirikannya bersama Dr. Ibrahim
Kadhim yang kemudian berkembang menjadi universitas Qatar dengan
berbagai fakultas.Pada tahun 1977 al-Qaradhawi duduk sebagai dekan
fakultas syari‟ah.Kemudian dia diangkat menjadi direktur.
Tokoh favorit Yusuf al-Qaradhawi adalah kelompok ulama yang
telah memperkaya perbendaharaan kebudayaan Islam yaitu ulama yang
31
Muhammad Al-Madjzub, Ulama wa Mufakkirun Araftuhum, (Beirut: Dar al-Nafais,
1977), hal. 442-443.
xliv
mengadakan pembaharuan di antaranya Ibnu Taimiyah, Hasan al-Banna
dan ia terpengaruh dengan mereka dalam arti produk ilmiahnya, sehingga
Yusuf al-Qaradhawi dapat menampilkan sejumlah karangan yang berbobot
yang tersebar di berbagai dunia Islam. Dengan mengkorelasikan antara
ilmu-ilmu Islam, kemudian menampilkan Islam dengan wajah cemerlang,
akan tetapi Yusuf al-Qaradhawi lebih mengutamakan kecintaannya
terhadap bahasa Arab, sebab bahasa Arab merupakan bahasa Islam dan
pintu gerbang untuk memahami al-Quran dan Hadits, sekaligus merupakan
syarat untuk berijtihad.
Yusuf al-Qaradhawi adalah seorang ulama yang tidak menganut
suatu mazhab tertentu. Dalam bukunya “al-Halal wa al-Haram”ia
mengatakan saya tidak rela rasio saya terikat dengan satu mazhab dalam
seluruh persoalan, salah besar bila hanya mengikuti satu mazhab. Ia
sependapat dengan ungkapan Ibnu Juz‟ie tentang dasar muqallid yaitu
tidak dapat dipercaya tentang apa yang diikutinya itu dan taqlid itu sendiri
sudah menghilangkan rasio, sebab rasio itu diciptakan untuk berfikir dan
menganalisa, bukan untuk bertaqlid semata-mata, aneh sekali bila
seseorang diberi lilin tetapi ia berjalan dalam kegelapan.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi para imam yang empat sebagai tokoh
pendiri mazhab-mazhab populer di kalangan umat Islam tidak pernah
mengharuskan mengikuti salah satu mazhab, semua mazhab itu tidak lain
hanyalah hasil ijtihad para imam, para imam tidak pernah mendewakan
dirinya sebagai orang yang ishmah (terhindar dari kesalahan). Satu sama
xlv
lain tidak ada rasa super atau permusuhan, bahkan satu sama lain penuh
dengan keramahtamahan dan kasih sayang serta saling menghormati
pendapat.32
Itulah sebabnya Yusuf al-Qaradhawi tidak mengikat dirinya
pada salah satu mazhab yang ada di dunia ini.Karena kebenaran itu
menurutnya bukan dimiliki oleh satu mazhab saja.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi, tidak pantas seorang muslim yang
berpengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menimbang dan menguji,
malah ia terikat oleh satu mazhab atau tunduk kepada pendapat seorang
ahli fiqih yang seharusnya ia menjadi tawanan hujjah dan dalil. Justru itu
sejak awal Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Jangan kamu kenali
kebenaran itu karena manusianya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka
kamu akan kenal manusianya.
c. Tokoh-Tokoh Yang Dikaguminya
Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan beberapa tokoh yang dikaguminya,
dipandangnya turut mewarnai pola pikir dan semangat idealisnya. Di
antara tokoh-tokoh itu ada yang dikenal langsung melalui hubungan
pribadi, sebagian yang lain melalui buku-buku yang dikarang oleh tokoh
tersebut. Namun al-Qaradhawi juga menjelaskan bahwa kekagumannya itu
tidak sampai membuatnya fanatik atau taklid.Ia bukanlah pengikut salah
satu tokoh-tokoh yang dikaguminya. Terkadang ada sisi negatif pada tokoh
tersebut, tetapi itu tidak menghalanginya untuk mengambil yang fositif
32
Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, terj: H. Mu‟ammal Hamidy,
(Surabaya: PT Bina Ilmu,1976), cet 1, hlm. 4.
xlvi
darinya. Buku-buku al-Qaradhawi mungkin dapat menjadi bukti, bahwa
pemikirannya mempunyai ciri khas tersendiri.
Diantara tokoh yang dikagumi al-Qaradhawi adalah Hasan al-Banna,
Pendiri sekaligus Pemimpin Besar Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ini
diungkapkannya dalam beberapa bukunya, “bahwa orang yang sangat
besar mempengaruhi pemikiran saya adalah Hasan al-Banna”. Al-
Qaradhawi sering mendengar ceramah Hasan al- Banna ketika ia datang ke
Thantha, tempat al-Qaradhawi bersekolah, bahkan al-Qaradhawi
mengikuti Hasan al-Banna ke beberapa daerah untuk mendengarkan
ceramahnya. Ia juga membaca hampir seluruh tulisan Hasan al-Banna,
baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk artikel yang sering
dimuat dalam harian al-Syabab. Menurutnya tulisan-tulisan al-Banna
sederhana bahasanya, menyenangkan, menyentuh hati, mudah dipahami
oleh seluruh lapisan masyarakat.Hasan al-Banna adalah seorang pemurni
ajaran Islam yang tidak terpengaruh oleh faham nasionalisme dan
sekulerisme yang dibawa oleh pembawa pembaharu Mesir sekuler dan
penjajah ke dunia Islam.Hasan al-Banna mendirikan “al-Ikhwan al-
Muslimin” pada tahun 1928 di Propinsi Isma‟iliyah Mesir.Gerakan ini
pada mulanya merupakan gerakan dakwah, pendidikan dan sosial
kemasyarakatan yang didirikan untuk mengantisipasi pengaruh
imperialisme barat yang membawa faham sekulerisme seperti tercermin
dari pemikiran Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein.Gerakan ini semakin
besar dan berubah menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungkan di
xlvii
Mesir, sehingga Hasan al-Banna harus dihukum mati pada tanggal 13
Februari 1949 sebagai hadiah ulang tahun Raja Faruq.33
Menurut Al-Qaradhawi, Hasan al-Banna merupakan tokoh
kharismatik yang menggabungkan antara pemikiran keagamaan dan
politik, antara unsur spritual dan semangat jihad, idealisme dan
pergerakan.Bukan hanya Al-Qaradhawi yang berpendapat demikian,
bahkan tokoh-tokoh lain seperti al-Bahiy, al-Khuly, Sayyid Sabiq,
Muhammad Al-Ghazali, Musthafa Masyur sependapat dengannya.
Kekaguman Al-Qaradhawi pada Hasan al-Banna diwujudkan dalam
bentuk tulisan. Beberapa pokok pikiran Hasan al-Banna diuraikannya
secara detail dalam beberapa bukunya, seperti “Syumul al-Islam”. Buku
ini menjelaskan pemikiran Hasan al- Banna bahwa Islam merupakan
sistem yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan.34
d. Karya-Karya Yusuf al-Qaradhawi
Al-Qaradhawi termasuk pengarang yang produktif. Telah banyak
karya ilmiah yang dihasilkannya baik berupa buku, artikel maupun hasil
penelitian yang tersebar luas di dunia Islam.Tidak sedikit pula yang sudah
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Di
antara karya-karya beliau yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia,
yaitu:
1. Fatawa Mu‟ashirah,
33
Yusuf Al-Qaradhawi, Nahwa Wahdah Fikrah li al-„Amilina li al-Islam, Syumul al-
Islam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, hlm. 7. 34
Yusuf Al-Qaradhawi, Nahwa Wahdah Fikrah li al-„Amilina li al-Islam, Syumul al-
Islam, Maktabah Wahbah, Kairo, 1991, hlm.15
xlviii
2. Al-Khashaish al-Ammah li Al-Islam,
3. Fii Fiqhil-Auliyyaat Diraasah Jadiidah Fii Dhau‟il-Qur‟ani was-
Sunnati.
4. Al-Fatawa Bainal Indhibath wat Tassyayub.
5. Ghairul Muslimin Fil Mujtama‟ Al- Islam.
6. Al-Ijtihad fi Syari‟ah al-Islamiyyah.
7. Fiqh al-Zakah (Hukum Zakat).
8. Ash Shahwah Al-Islamiah, Bainal Ikhtilafil Masyru‟ wat Tafarruqil
Madzmum (Fiqhul Ikhtilaf).
9. Asas al-Fikr al- Hukm al-Islam (Dasar Pemikiran Hukum Islam).
10. Al-halal wa al-Haram fi al-Islam (Halal dan Haram dalam Islam).
11. Al-„Aqlu wal-„Ilmu fil –Qur‟anil-Karim,
12. Kaifa Nata‟amalu Ma‟a As-sunnah An-Nabawiyyah (Bagaimana
Memahami Hadits Nabi saw).
13. As-sunnah Mashdaran li Al-Ma‟rifah wa al-Hadharah.
14. Min Ajli Shahwatin Raasyidah Tujaddiduddiin wa Tanhadhu bid-
Dunya. (Membangun Masyarakat Baru).
15. Syariat Islam di Tantang Zaman.
16. Al Islam Baina Subhati Adallafin wa Akazibil al Muftarin.35
35
Yusuf Al-Qaradhawi, “Biografi Yusuf Al-Qaradhawi” http: sejarah-biografi-al-
qaradhawi.co.id, (diakses pada 21 Agustus 2019)
xlix
BAB IV
TEMUAN DAN HASIL PENELITIAN
1. Pendapat Utsaimin Dalam Menetapkan Hukum Mengucapkan Selamat
Natal Kepada Non Muslim (Kristen)
Mengucapkan selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari
besar keagamaan lainnya adalah haram menurut ijmak. Dinukilnya dari
pendapat Ibnu Qayyim dalam bukunya Ahkam Ahl Al-Dzimmah,beliau
berkata,“Bahwa mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi
ciri khasnya adalah haram, secara sepakat”. Dalam hal ini, jika orang yang
mengucapkannya lepas dari dianggap kafir. Namun, sikap yang seperti itu
termasuk kedalam hal-hal yang diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat
atas sujudnya mereka pada salib.
Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar
disisi Allah dan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka
karena meminum khamar, membunuh, berzina dan perkara-perkara yang
sejenisnya. Banyak orang yang tidak paham agama terjatuh ke dalam perkara
ini.Ia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka siapa yang memberi
selamat kepada seseorang yang melakukan perbuatan dosa, atau bid‟ah, atau
kekafiran, berarti ia telah membuka dirinya kepada kemurkaan Allah.36
Utsaimin melanjutkan, haramnya memberi selamat kepada orang kafir
pada hari raya keagamaan mereka, karena didalamnya terdapat persetujuan atas
36 Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Abu Daud (terjemah Abdul Mufid Hasan, Soban
Rohan. M) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006). No. 4031, hlm. 800
l
kekafiran mereka, dan menunjukkan rela dengannya. Meskipun pada
kenyataannya seseorang tidak rela dengan kekafiran, namun tetap tidak
diperbolehkan bagi seorang muslim untuk merelakan syiar atau perayaan
mereka, atau mengajak yang lain untuk memberi selamat kepada mereka. Maka
memberi selamat kepada mereka dengan ini hukumnya haram, sama saja
apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan
seseorang (muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada kita
dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena
itu bukan hari raya kita. Hari raya mereka tidaklah diridhai Allah, karena hal
itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid‟ah) didalam agama mereka,
atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh agama Islam dan Nabi
Muhammad Saw telah diutus untuk semua makhluk. Allah berfirman:
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu dan
Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur,
niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu”.37
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtida shirat al-
Mustaqim “Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka
menyebabkan kesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada
mereka, bisa jadi hal itu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan
kesempatan untuk menghina atau merendahkan orang-orang yang berfikiran
lemah. Barangsiapa yang melakukan demikian maka dia berdosa, baik dia
37
QS. Az-Zumar: 7.
li
melakukannya karena alasan ingin ramah dengan mereka, atau supaya ingin
mengikat persahabatan, atau karena malu atau sebab lainnya.Karena perbuatan
seperti ini bermain-main atau menghina atas agama Allah. Ini juga akan
menyebabkan hati orang kafir semakin kuat dan mereka akan semakin bangga
dengan agama mereka.
Menurut Utsaimin bagi seorang muslim memenuhi undangan non-
muslim untuk menghadiri hari rayanya hukumnya haram. Hal ini lebih buruk
daripada hanya sekedar memberi selamat kepada mereka, karena akan
menyebabkan ikut serta (berpartisipasi) dengan mereka. Juga diharamkan bagi
seorang muslim untuk menyerupai atau meniru-niru orang kafir dalam
perayaan mereka dengan mengadakan pesta, atau bertukar hadiah, atau
makanan, atau yang semisalnya. Sebagaimana hadits nabi38
ىين تشبو بقىو فهى ينه
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari
mereka”.(HR. Ahmad dan Abu Daud).39
a. Dasar Hukum
Dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim Utsaimin menggunakan dalil al-Qur‟an diantaranya surat Az- Zumar
ayat 7, Al-Maidah ayat 3, Ali-Imran ayat 85 dan Hadist riwayat Ahmad dan
Abu Daud. Ayat dan Hadist dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Allah berfirman dalam surah Az-Zumar ayat 7 sebagai berikut:
38
Syekh Muhammad Ibnu Salih al-Utsaimin, Majmu‟ Fatawa wa Rasail, hlm. 46. 39
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Abu Daud (terjemah Abdul Mufid Hasan, Soban
Rohan. M) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006). No. 4031, hlm. 800
lii
“Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) mu
dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu
bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.”.40
2. Allah berfirman dalam surah Al-Maaidah ayat 3 sebagai berikut:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu”.41
3. Allah berfirman dalam Surah Ali-Imran ayat 85 tentang Islam:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali- kali
tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang- orang yang rugi”.42
4. Hadist Riwayat Ahmad dan Abu Daud
ين تشبو بقىو فهى ينهى
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia adalah bagian dari
mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Daud).43
Utsaimin menggunakan metode penalaran lughawiyyah secara zahir ayat
yaitu “Allah tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya” dalam
mengistinbatkan hukum atas masalah mengucapkan selamat raya kepada umat
non muslim (Kristen).
40
QS. Az-Zumar: 7 41
QS. Al-Maidah: 3 42
QS. Ali Imran : 85 43
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Abu Daud (terj. Abdul Mufid Hasan, Soban
Rohan.M) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), No. 4031, hlm. 800.
liii
b. Metode Ijtihad Utsaimin tentang Mengucapkan Selamat Natal Kepada
Non Muslim
Penulis menganalisis metode ijtihad Syeikh Utsaimin dalam menetapkan
hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim.
1) Dirumuskan berdasarkan nash (al-quran dan sunah) dan realitas sosial.
a. Memperhatikan dalil (al-quran dan Sunah)
b. Menemukan asas dan prinsip yang ada dalam al-quran dan sunah (maqashid
syari‟ah).
Pertama, Utsaimin dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat
Natal berdalilkan surat Az-Zumar ayat 7, Al-Maaidah ayat 3 dan AliImran ayat
85. Utsaimin mengatakan, haramnya memberi selamat kepada orang kafir pada
hari raya keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim adalah
haram karena didalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka dan
menunjukkan ridha dengannya. Meskipun pada kenyataannya seseorang tidak
ridha dengan kekafiran.Namun, tetap tidak diperbolehkan bagi seorang muslim
untuk meridhai syiar atau perayaan mereka, atau mengajak yang lain untuk
memberi selamat kepada mereka.
Karena itu, memberi selamat kepada non muslim hukumnya haram sama
saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan
seseorang (muslim) atau tidak. Jadi, jika mereka memberi selamat kepada umat
muslim dengan ucapan selamat hari raya mereka, umat muslim dilarang
menjawabnya, karena itu bukan hari raya umat muslim, dan hari raya mereka
tidaklah diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan
liv
(bid‟ah) didalam agama mereka, atau hal itu adalah syari‟atnya tapi telah
dihapuskan oleh agama Islam. Nabi Muhammad telah diutus untuk semua
makhluk”.44
Allah berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-
orang yang rugi”.45
Kedua, dalam hal menemukan asas dan prinsip yang ada dalam al-Quran
dan Sunah, Utsaimin tidak menemukan atau memperhatikan asas dan prinsip
maqashid al-syari‟ah, tetapi hanya menggunakan keumuman nash tersebut.
2) Diamati dengan mempertimbangkan:
a. Adat dan budaya
b. Hasil dan capaian ilmu pengetahuan.
c. Capaian fiqih masa lalu, termasuk pendapat para sahabat, adat dan budaya.
Pertama, Utsaimin dalam menetapkan hukum tidak mempertimbangkan
adat, budaya dan konteks zaman sekarang. Dalam menetapkan hukum beliau
hanya merujuk kepada nash dan pendapat ulama terdahulu saja yaitu pendapat
Ibnu Qayyim, dan Ibnu Taimiyah, lagi meninggalkan pandangan lain termasuk
pandapat sahabat tanpa melakukan tarjih.
Kedua, Utsaimin juga tidak mempertimbangkan hasil capaian ilmu
pengetahuan. Ketiga, dalam hal mempertimbangkan capaian fiqih masa lalu,
44 Syekh Muhammad Ibnu Salih al-Utsaimin, Majmu‟ Fatawa wa Rasail, hlm. 45-46.
45
QS. Ali „Imran: 85.
lv
pendapat para sahabat, adat dan budaya, Utsaimin mempertimbangkan
pendapat Ibnu Qayyim dan pendapat Ibnu Taimiyyah. Utsaimin mengatakan,
mengucap selamat kepada orang kafir pada perayaan Natal atau hari besar
keagamaan lainnya dilarang menurut ijmak, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Qayyim dalam bukunya Ahkam Ahl Dzimmah. Ibnu Qayyim berkata: “Bahwa
mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kafir yang menjadi ciri khasnya
adalah haram, secara sepakat, seperti memberi ucapan selamat kepada mereka
pada hari-hari rayanya atau puasanya, sehingga seseorang berkata, “selamat
hari raya”, atau ia mengharapkan agar mereka merayakanhari rayanya atau hal
lainnya. Maka dalam hal ini, jika orang yang mengucapkannyalepas ia dari
dianggap kafir. Namun, sikap yang seperti itu termasuk kedalam hal-hal yang
diharamkan. Ibarat dia mengucapkan selamat atas sujudnya mereka pada salib.
Bahkan ucapan selamat terhadap hari raya mereka dosanya lebih besar di
sisi Allahdan jauh lebih dibenci dari pada memberi selamat kepada mereka
karena meminumkhamar dan membunuh seseorang, berzina, dan perkara-
perkara yang sejenisnya. Danbanyak orang yang tidak paham agama terjatuh
ke dalam perkara ini. Dan ia tidakmengetahui keburukan perbuatannya. Maka
siapa yang memberi selamat kepadaseseorang yang melakukan perbuatan dosa,
atau bid‟ah, atau kekafiran, berarti ia telahmembuka dirinya kepada kemurkaan
Allah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam bukunya, Iqtia‟ Siratal
Mustaqim,“Menyerupai atau meniru-niru mereka dalam hari raya mereka
menyebabkankesenangan dalam hati mereka terhadap kebatilan yang ada pada
lvi
mereka bisa jadi halitu sangat menguntungkan mereka guna memanfaatkan
kesempatan untuk menghina atau merendahkan orang-orang yang berfikiran
lemah”.
3) Dirumuskan dengan merujuk kepada:
a. Menentukan masalah yang akan diselesaikan
b. Menetapkan metode penalaran yang dirasa relevan
Pertama, Utsaimin menentukan atau mengidentifikasi masalah
mengucapkan selamat hari raya kepada umat non muslim, merupakan suatu
ucapan persetujuan atas perayaan hari raya tersebut, artinya bila mengucapkan
selamat Natal berarti meridhai syiar dan perayaan hari raya mereka. Utsaimin
mengatakan, bahwa memberi selamat kepada orang kafir pada hari raya
keagamaan mereka sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim adalah haram, karena,
didalamnya terdapat persetujuan atas kekafiran mereka, dan menunjukkan
ridha dengannya.
Kedua, dalam hal menetapkan metode penalaran, Utsaimin menggunakan
metode penalaran lughawiyyah semata, dengan kata lain belum menggunakan
pendekatan yang menyeluruh dalam menentapkan hukum pada masalah
mengucapkan selamat hari raya kepada umat non-muslim.
c. Kesimpulan
Menurut Utsaimin, memberi selamat kepada orang-orang non-muslim
hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka (orang-orang kafir) yang
terlibat bisnis dengan seseorang (muslim) atau tidak. Jadi jika mereka memberi
selamat kepada kita dengan ucapan selamat hari raya mereka, kita dilarang
lvii
menjawabnya, karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah
diridhai Allah, karena hal itu merupakan salah satu yang diada-adakan (bid‟ah)
didalam agama mereka, atau hal itu ada syariatnya tapi telah dihapuskan oleh
agama Islam dan nabi Muhammad telah diutus untuk semua makhluk.
2. Pendapat Yusuf Qaradhawi Tentang Mengucapkan Selamat Natal Kepada
Non Muslim
Masalah mengucapkan selamat Natal termasuk masalah yang sangat
penting. Sebagaimana yang pernah ditanyakan saudara-saudara muslim yang
tinggal di Eropa dan Amerika, yang dihuni mayoritas beragama Nasrani.
Dalam kehidupan antara mereka pasti ada hubungan mata rantai kehidupan
seperti hubungan tetangga, teman kerja, dan kawan sekolah. Orang-orang Islam
disana merasakan perlakuan yang baik dari non muslim. Seorang pembimbing
mahasiswa (yang non–muslim) dengan ikhlas membimbing mahasiswanya
yang muslim. Dokter dengan ikhlas mengobati pasiennya yang muslim, dan
lain sebagainya.
Bagaimana sikap atau tindakan muslim terhadap golongan non-muslim
yang menerima kaum muslimin yang tidak memusuhi, tidak meyakiti, tidak
membunuh, tidak mengusir dari rumah, atau tidak terang-terangan
mengeluarkan mereka, al-Quran telah menjelaskan ketentuan hubungan antara
orang-orang Islam dan umat lain pada dua ayat dalam suarat al-Mumtahanah
ayat yang diturunkan mengenai orang-orang musyrik.46
46
Yusuf al-Qaraḍ hawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer (terj. As‟ad Yasin) (Jakarta: Gema
Insani Press, 2008), hlm. 843.
lviii
,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil”.47
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”.48
Dalam dua ayat tadi, Allah membedakan antara orang-orang yang
berserah diri kepada kaum muslimin dan orang-orang yang memerangi kaum
muslimin. Hukum Allah adalah hukum yang paling benar dalammenghukumi
kedua kelompok itu seperti tersebut dalam ayat tadi, yaitu, untuk kaum non
muslim yang berbuat damai, al-Quran mengajarkan agar kita kaum muslimin
berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka (non-muslim). Adapun larangan
untuk berbuat baik kepada mereka umat nonmuslim yang memusuhi,
memerangi, dan mengusir umat Islam dari negerinya tanpa alasan yang
benar.Satu-satunya alasan pengusiran itu adalah hanya karena kaum muslimin
berkata, “Tuhan kami adalah Allah (rabuna Allah)”.Sebagaimana yang telah
47
QS. al-Mumtahanah: 8.
48
QS. al-Mumtahanah: 9.
lix
dilakukan orang-orang musyrik Mekkah kepada Rasulullah dan para
sahabatnya.49
Dalam sebuah riwayat dari Asma‟ binti Abu Bakar diceritakan bahwa
seorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “wahai Rasulullah, ibuku
datang kepadaku dan ia masih musyrik, tapi iapun mencintaiku, sering
menghubungi dan memberi hadiah.Apakah aku harus berhubungan (bergaul)
dengannya”, Beliau bersabda,“Pergaulilah ibumu (meskipun ketika itu ibumu
masih musyrik)”.
ب قبنت أتتني أيي راغبة في عهد اننبي صهى بء بنت أبي بكز رضي انهو عنه عن أس
انهو عهيو وسهى فسأنت اننبي صهى انهو عهيو وسهى آصههب قبل نعى قبل ابن عيينة فأنزل انهو
تعبنى فيهب } نب ينهبكى انهو عن انذين نى يقبتهىكى في اندين {رواه انبخبر
Kalau hak-hak terhadap orangtua mewajibkan setiap muslim dan
muslimah untuk berhubungan dengan orangtua dan kerabatnya dengan akhlak
sebagai seorang muslim yang baik, yaitu dengan lapang dada dan memenuhi
hak-haknya, maka sudah sepatutnya hak-hak kepada yang lain hendaknya
diberikan atau dipenuhi oleh seorang muslim dengan akhlaknya sebagai
manusia yang baik. Seperti disinyalir oleh Rasulullah ketika berpesan kepada
Abu Dzar.50
اتق اهلل حيثمب كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحهب، وخبلق النبس بخلق حسن
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik) akan
49 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 844.
50 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 844-846.
lx
menghapusnya (perbuatan buruk). Dan pergauilah manusia dengan
akhlak yang baik.”(HR. Ahmad dan Tirmizi).51
Dalam hadis diatas Rasulullah menyebutkan “pergaulilah manusia”
“bukan pergaulilah kaum muslimin” dengan baik.Rasulullah juga
menganjurkan agar umat Islam bergaul dengan ramah terhadap orang-orang
non-muslim, sekaligus agar berhati-hati dengan tipu daya dan makar mereka.52
Diantara keharusan atau kewajiban yang harus dilakukan guna
terciptanya ketentraman hidup dan kasih sayang diantara keluarga adalah
terwujudnya hak-hak orang tua dalam Islam. Masalahnya, apakah dengan
melewati peringatan hari raya besar baginya (bagi orangtua) dengan tidak
mengucapkan selamat kepadanya, termasuk kebaikan, bagaimana pula
sikapnya terhadap kerabat dekat dengan ibunya seperti kakek, nenek, paman,
bibi, keponakan-keponakan (anak-anaknya), padahal, mereka mendapatkan
hak-hak karena hubungan darah dan hak karib kerabat, sebagaimana firman-
Nya.
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab”.53
Kalau hak-hak terhadap orangtua mewajibkan setiap muslim dan
muslimah untuk berhubungan dengan orangtua dan kerabatnya dengan akhlak
sebagai seorang muslim yang baik, yaitu dengan lapang dada dan memenuhi
51
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Sunan Tirmizi (terj. Fahchrurazi) (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), No. 1987, hlm. 557. 52
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 846. 53
QS. Al Aĥzab: 6.
lxi
hak-haknya, maka sudah sepatutnya hak-hak kepada yang lain hendaknya
diberikan atau dipenuhi oleh seorang muslim dengan akhlaknya sebagai
manusia yang baik.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa tidak ada larangan mengucapkan selamat
pada hari-hari raya mereka (orang-orang kafir) sebagaimana dituturkan al-
Qaradhawi, karena mereka juga mengucapkan selamat pada kita bertepatan
dengan hari raya-hari raya Islam.Kita telah diperintahkan untuk membalas
kebaikan dengan kebaikan dan membalas ucapan selamat (tahni„ah) dengan
lebih baik, sebagaimana di firmankan-Nya.
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan
itu (dengan yang serupa)”.54
Tidaklah pantas kalau orang muslim berlaku kurang baik, tidak
menghormati, dan kurang berakhlak dengan pemeluk agama lain. Bahkan
sebaliknya, seharusnya seorang muslim lebih menghormati, lebih beradab, dan
berakhlak yang sempurna, seperti dinyatakan dalam sebuah hadits.55
بنب أحسنهى خهقب ؤينين إي م ان أك
54
QS. An Nisa‟: 86. 55
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 846-847.
lxii
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan al-
Hakim).56
Semua pernyataan diatas memperkuat sebuah pendapat apabila kita ingin
mengajak mereka masuk ke dalam agama Allah (Islam), mendekatkan diri
mereka kedalamnya, dan membuat mereka mencintai orang-orang Islam, maka
semuanya itu tidak akan tercapai dengan bersikap dingin dan egois terhadap
mereka.
Karenanya, menurut al-Qaradhawi tidak ada larangan bagi umat Islam
baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya
kepada nonmuslim dengan kata-kata atau kartu selamat yang tidak
mengandung syiar atau ibarat-ibarat agama mereka yang bertentangan dengan
ajaran Islam, seperti salib. Islam telah jelas mengingkari terjadinya penyaliban
seperti ditegaskan dalam firman Allah :
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi
mereka”.57
Namun, kata-kata ucapan selamat dalam perayaan-perayaan agama mereka
jangan sampai mengandung unsur pengakuan terhadap agama mereka atau
ridha dengan mereka.Tetapi, hanya berupa kata-kata biasa yang dikenal
khalayak umum.Menurut al-Qaradhawi tidak juga ada larangan menerima
hadiah-hadiah dari mereka.Nabi sendiri pernah menerima hadiah-hadiah dari
56
Ala‟uddin Ali bin Balban Al-Farisi, Sahih Ibnu Hibban (terj. Mujahidin Munayan,
Saiful Rahman Barito) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), No. 479, hlm. 297-298.
57
QS. An Nisa‟: 157.
lxiii
nonmuslim, seperti hadiah dari Muqauqis agung, seorang pendeta Mesir, dan
dari yang lainnya.Tetapi, dengan syarat hadiah itu bukan yang diharamkan
agama, seperti khamar atau daging babi.
Memang ada juga beberapa pendapat ulama, seperti Ibnu Taimiyah, yang
keras menyikapi masalah ikut serta merayakan hari raya orang-orang musyrik
dan ahli kitab. Hal iniia ungkapkan dalam kitab “Iqtida Sirathal Mustaqim
Muqalafatu Ahlul Jahim”. Al-Qaradhawi sepakat dengannya yang secara tegas
melarang percampuran perayaan hari raya atau perayaan bersama antara kaum
muslimin dangan orang-orang musyrik dan ahli kitab.Sebagaimana kita lihat,
kata al-Qaradhawi, tak jarang kaum muslimin ikut serta merayakan hari raya
Natal.Begitu pula mereka ikut merayakan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan
mungkin banyak lagi.Hal seperti inilah yang tidak boleh, karena jelas dilarang.
Memang Ibnu Taimiyah menfatwakan masalah ini setelah melihat
keadaan atau kondisi di zamannya. Seandainya ia hidup pada masa sekarang,
maka ia akan melihat bagaimana persaingan diantara manusia, dimana dunia
seolah-olah seperti satu desa. Juga melihat bagaimana kebutuhan orang-orang
Islam dalam berhubungan dengan umat non muslim. Dimana mereka sekarang
menjadi guru-guru umat Islam walaupun sangat disayangkan, tentunya dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan. Juga
melihat bagaimana kebutuhan dakwah Islam untuk lebih dekat dengan massa,
dan perlunya menampakkan wajah Islam dengan gambaran ramah, damai,
tidak kasar, keras, dengan memberi kabar gembira bukan ancaman. Misalnya,
lxiv
praktek ucapan selamat seorang muslim kepada kawan sekolah, kawan kerja,
dan gurunya.
Dalam perayaan-perayaan ini, tidak berarti terdapat keridhaan dari orang
muslim akan akidah Nasrani. Atau, berarti mengakui kekufuran mereka yang
sangat bertentangan dengan Islam. Tetapi, hanya karena telah menjadi wacana
umum, adat negara, atau komunitas massa tertentu yang diikuti oleh seluruh
penganutnya. Sebagai perayaan mendengarkan alunan musik, makan-makan,
minum, dan saling memberi hadiah antar keluarga dan antar teman. Seandainya
Ibnu Taimiyah melihat seluruh wacana ini, kata al-Qaradhawi tentu ia akan
mengganti pendapatnya atau dengan meringankannya. Karena ia selalu melihat
tempat, waktu, dan keadaan dalam setiap fatwanya.
Ketentuan ini juga bukan hanya berhubungan dengan hari raya
keagamaan saja, tapi hari raya kenegaraan juga, misalnya, hari raya
kemerdekaan, hari sosial, hari ibu, hari anak, hari buruh, dan hari pemuda.
Artinya, tidak ada masalah bagi seorang muslim turut menghormatinya dengan
ucapan selamat, ikut merayakan, karena ia termasuk warga negara atau orang
yang tinggal di tempat itu. Namun, dengan tetap menjauhi perkara-perkara
yang diharamkan, yang sering disediakan dalam pesta-pesta perayaan.58
a. Dasar Hukum
Dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non
muslim Yusuf al-Qaradhawi menggunakan dalil al-Qur‟an Surat Al-
58
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 847-849.
lxv
Mumtahanah ayat 8 dan 9, Al-Ahzab ayat 6, An-Nisa ayat 86 dan 157, dan
beberapa hadits yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Allah berfirman dalam surah Al-Mumtahanah ayat 8 dan 9 sebagai
berikut:
,
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berlaku adil”.59
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir
kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim”.60
2. Allah berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 6 sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah.61
3. Allah berfirman dalam surah An-Nisa‟ ayat 86 sebagai berikut:
59
QS. AlMumtahanah: 8.
60
QS. AlMumtahanah: 9. 61
QS. Al Ahzab: 6.
lxvi
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)”.62
4. Allah berfirman dalam surah An-Nisa‟ ayat 157 sebagai berikut:
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa
bagi mereka”.63
5. Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmizi sebagai berikut:
اتق اهلل حيث يب كنت واتبع انسيئة انحسنة تحهب وخبنق اننبس بخهق حسن
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik)
akanmenghapusnya (perbuatan buruk). Dan pergauilah manusia dengan
akhlak yang baik”.(HR. Ahmad dan Tirmizi).64
6. Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan al-Hakim sebagai
berikut:
بنب أحسنهى خهقب ؤينين إي م ان أك
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Hibban dan al-
Hakim).65
Dalam mengkaji dalil-dalil diatas, Yusuf al-Qaradhawi menggunakan
metode penalaran lughawiyyah secara dilalah nash ayat yaitu “berlaku baik”
kepada orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, begitu juga dalam
dalil lain secara mutlaq yaitu “pergauilah manusia dengan akhlak yang baik.”
62
QS. An-Nisa‟: 86.
63
QS. An-Nisa: 157. 64
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Sunan Tirmizi (terj. Fahchrurazi) (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), No. 1987, hlm. 557. 65
Ala‟uddin Ali bin Balban Al-Farisi, Sahih Ibnu Hibban (terj. Mujahidin Munayan,
Saiful Rahman Barito) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), No. 479, hlm. 297-298.
lxvii
Selain itu juga menggunakan metode istislahiah dalam mengistinbatkan hukum
atas masalah mengucapkan selamat Natal kepada umat non muslim (Kristen).
b. Metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradhawi Dalam Menetapkan Hukum Selamat
Natal Kepada Non Muslim
Selanjutnya penulis menganalisis metode Ijtihad Yusuf Al-Qaradhawi
dalam menetapkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim,
yang akan diuraikan sebagai berikut:
1) Dirumuskan berdasarkan nash (al-Quran dan sunnah)dan realita sosial.
a. Memperhatikan dalil (al-quran dan Sunah)
b. Menemukan asas dan prinsip yang ada dalam al-Quran dan sunah (maqashid
syari‟ah).
Pertama Yusuf al-Qaradhawi, dalam menetapkan masalah mengucapkan
selamat Natal kepada umat non-muslim, menggunakan langkah yang pertama
dan kedua yaitu memperhatikan dalil (al-Quran dan Sunah) dan menemukan
asas dan prinsip-prinsip yang ada dalam nash tersebut, Yusuf al-Qaradhawi
menggunakan surat al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.
Dalam surat al-Mumtahanah diatas Yusuf al-Qaradhawi mengatakan,
Allah membedakan antara orang-orang yang berserah diri kepada kaum
muslimin dan orang-orang yang memerangi kaum muslimin. Hukum Allah
adalah hukum yang paling benar dalam menghukumi kedua kelompok itu
lxviii
seperti tersebut dalam ayat tadi,66
yaitu, untuk kaum non muslim yang berbuat
damai, al-Quran mengajarkan agar kita kaum muslimin berbuat baik dan
berlaku adil kepada mereka (non-muslim). Adapun larangan untuk berbuat
baik, kepada mereka umat non muslim yang memusuhi, memerangi, dan
mengusir umat Islam dari negerinya tanpa alasan yang benar.Satu-satunya
alasan pengusiran itu adalah hanya karena kaum muslimin berkata, “Tuhan
kami adalah Allah (rabunaAllah)”.Sebagaimana yang telah dilakukan orang-
orang musyrik Mekkah kepada Rasulullah dan para sahabatnya.67
Kalau hak-hak terhadap orangtua mewajibkan setiap muslim dan
muslimah untuk berhubungan dengan orangtua dan kerabatnya dengan akhlak
sebagai seorang muslim yang baik, yaitu dengan lapang dada dan memenuhi
hak-haknya, maka sudah sepatutnya hak-hak kepada yang lain hendaknya
diberikan atau dipenuhi oleh seorang muslim dengan akhlaknya sebagai
manusia yang baik. Seperti disinyalir oleh Rasulullah ketika berpesan kepada
Abu Dzar.68
Hadits riwayat Tirmidzi dan Ahmad,
اتق اهلل حيثب كنت ، وأتبع انسيئة انحسنة تحهب، وخبنق اننبس بخهق حسن
“Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada.Iringilah
perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya (perbuatan baik)
akanmenghapusnya (perbuatan buruk). Dan pergauilah manusia dengan
akhlak yang baik.”(HR. Ahmad dan Tirmizi1987, ia berkata: hadits ini
hasan,shahih).69
66 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,hlm. 843-844.
67
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 844
68
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 844-846.
69
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Sahih Sunan Tirmizi (terj. Fahchrurazi) (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), No. 1987, hlm. 557.
lxix
Dalam hadis diatas Rasulullah menyebutkan “pergaulilah manusia”
“bukan pergaulilah kaum muslimin” dengan baik. Rasulullah juga
menganjurkan agar umat Islam bergaul dengan ramah terhadap orang-orang
non muslim, sekaligus agar berhati-hati dengan tipu daya dan makar mereka.70
Jadi menurut Qaradhawi, tidaklah pantas kalau orang muslim berlaku
kurang baik, tidak menghormati, dan kurang berakhlak dengan pemeluk agama
lain. Bahkan sebaliknya, seharusnya seorang muslim lebih menghormati, lebih
beradab, dan berakhlak yang sempurna, seperti dinyatakan dalam sebuah
hadis.71
بنب أحسنهى خهقب ؤينين إي م ان أك
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang
paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan
Hakim)”.72
Dalil-dalil yang digunakan oleh yusuf al-Qaradhawi dalam
mengistinbatkan hukum mengucapkan selamat Natal kepada umat nonmuslim
tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang digunakan oleh Utsaimin, keduanya
mengunakan dalil yang berbeda dalam mengistinbatkan hukum mengucapkan
selamat Natal kepada umat non-muslim, yusuf al-Qaradhawi mengunakan dalil
yang berbentuk sosial yaitu surat al-mumtahanah ayat 8-9 dan beberapa nash
lainnya yang mengatur hubungan umat muslim dengan umat nonmuslim.
2) Diamati dengan mempertimbangkan:
70Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 846.
71
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 847.
72
Ala‟uddin Ali bin Balban Al-Farisi, Sahih Ibnu Hibban (terj. Mujahidin Munayan,
Saiful Rahman Barito) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), No. 479, hlm. 297-298.
lxx
a. Adat dan budaya
b.Hasil dan capaian ilmu pengetahuan.
c. Capaian fiqih masa lalu, termasuk pendapat para sahabat.
Pertama, Yusuf al-Qaradhawi dalam menetapkan masalah ini melihat
atau mempertimbangkan adat dengan budaya.Yusuf al-Qaradhawi melihat
konteks zaman sekarang, bahwasanya sekarang manusia hidup berdampingan
antara umat Islam dan umat Kristen. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan,
sebagaimana yang pernah ditanyakan orang-orang muslim yang tinggal di
Eropa dan Amerika, yang dihuni mayoritas beragama Nasrani. Dalam
kehidupan antara mereka pasti ada hubungan mata rantai kehidupan seperti
hubungan tetangga, teman kerja, dan kawan sekolah. Seorang pembimbing
mahasiswa (yang non–muslim) dengan ikhlas membimbing mahasiswanya
yang muslim. Dokter dengan ikhlas mengobati pasiennya yang muslim.73
Kedua, dalam hal mempertimbangkan capaian ilmu pengetahuan, Yusuf
al-Qaradhawi juga melihat bagaimana kebutuhan orang-orang Islam dalam
berhubungan dengan umat non-muslim. Mereka umat non muslim sekarang
menjadi guru-guru umat Islam walaupun sangat disayangkan, tentunya dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan.74
Ketiga, dalam mempertimbangkan capaian fikih masa lalu, termasuk
pendapat para sahabat, adat dan budaya arab. Yusuf al-Qaradhawi dalam
menetapkan hukum atas masalah ini, melihat capaian fiqh masa lalu atau
pendapat-pendapat dari ulama yang terdahulu dalam hal ini pendapat Ibnu
73Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 843.
74
Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 848.
lxxi
Taimiyah.Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, memang ada juga beberapa
pendapat ulama, seperti Ibnu Taimiyah, yang keras menyikapi masalah ikut
serta merayakan hari raya orang-orang musyrik dan ahli kitab.Hal ini ia
ungkapkan dalam kitabnya Iqtidha‟ Shiratal Mustaqim Muqalafatu Ahlul
Jahim. Al-Qaradhawi sepakat dengannya yang secara tegas melarang
percampuran perayaan hari raya atau perayaan bersama antara kaum muslimin
dangan orang-orang musyrik dan ahli kitab.Menurutnya, tak jarang kaum
muslimin ikut serta merayakan hari raya Natal.Begitu pula mereka ikut
merayakan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan mungkin banyak lagi.Hal seperti
inilah yang tidak boleh dilarang. Muslim mempunyai hari raya-hari raya dan
merekapun demikian.Namun, saya kira, kata al-Qaradhawi, tidak apa-apa ikut
serta mengucapkan selamat pada hari raya mereka bagi siapa yang mempunyai
hubungan keluarga, teman sekolah,teman kerja atau tetangga, atau hubungan
kemasyarakatan lainnya, dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang.
Yusuf al-Qaradhawi melanjutkan, memang Ibnu Taimiyah menfatwakan
masalah ini setelah melihat keadaan atau kondisi di zamannya. Seandainya ia
hidup pada masa sekarang, maka ia akan melihat bagaimana persaingan di
antara manusia, di mana dunia seolah-olah seperti satu desa. Juga melihat
bagaimana kebutuhan orangorang Islam dalam berhubungan dengan umat non-
muslim.Mereka sekarang menjadi guru-guru umat Islam dalam berbagai
disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan-keterampilan. Juga melihat
bagaimana kebutuhan dakwah Islamiah untuk lebih dekat dengan massa, dan
perlunya menampakkan wajah Islam dengan gambaran ramah, damai, tidak
lxxii
kasar, keras, dengan memberi kabar gembira bukan ancaman. Misalnya,
praktik ucapan selamat seorang muslim kepada kawan sekolah, kawan kerja,
dan gurunya.
Dalam perayaan-perayaan ini tidak berarti terdapat keridhaan dari orang
muslim akan akidah Nasrani, atau berarti mengakui kekufuran mereka yang
sangat bertentangan dengan Islam. Seandainya Ibnu Taimiyah melihat seluruh
wacana ini, tentu ia akan menggantipendapatnya atau meringankannya. Karena
ia selalu melihat tempat, waktu, dan keadaan dalam setiap fatwanya.75
3) Tahap ketiga: dirumuskan dengan merujuk kepada:
a. Menentukan masalah yang akan diselesaikan.
b. Menetapkan metode penalaran yang dirasa relevan
Pertama, Yusuf al-Qaradhawi menentukan atau mengidentifikasikan
masalah mengucapkan selamat hari raya kepada umat non muslim adalah
ucapan sebagai bentuk sosial terhadap umat non-muslim. Yusuf al-Qaradhawi
mengatakan bahwa tidak ada larangan mengucapkan selamat pada hari-hari
raya mereka, karena mereka juga mengucapkan selamat pada kita bertepatan
dengan hari raya-hari raya Islam. Kita telah diperintahkan untuk membalas
kebaikan dengan kebaikan dan membalas ucapan selamat (tahni‟ah) dengan
lebih baik.
Karenanya, tidak ada larangan bagi umat Islam baik atas nama pribadi
maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim dengan
kata-kata atau kartu selamat yang tidak mengandung syiar atau ibarat-ibarat
75 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 848-849.
lxxiii
agama mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, kata-kata
ucapan selamat dalam perayaan-perayaan agama mereka jangan sampai
mengandung unsur pengakuan terhadap agama mereka atau rida dengan
mereka. Nabi sendiri pernah menerima hadiah-hadiah dari non-muslim, seperti
hadiah dari Muqaiqus agung, seorang pendeta Mesir, dan dari yang lainnya,
tetapi, dengan syarat hadiah itu bukan yang diharamkan agama, seperti khamar
atau daging babi.76
Kedua, menurut penulis jelaslah bahwa Yusuf Al-Qaradhawi
menggunakan atau menetapkan metode penalaran lughawiyyah dan istislahiah
dalam masalah hukum mengucapkan selamat hari Natal kepada umat non-
muslim.
c. Kesimpulan
Menurut al-Qaradhawi tidak ada larangan mengucapkan selamat pada
hari-hari raya mereka (orang-orang kafir), karena merek juga mengucapkan
selamat pada kita bertepatan dengan hari raya-hari raya Islam. Kita telah
diperintahkan untuk membalas kebaikan dengn kebikan dan membalas ucapan
selamat (tahni‟ah) dengan lebih baik. Karenanya tidak ada larangan bagi umat
Islam baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya
kepada non-muslim dengan kata-kata atau kartu selamat yang tidak mengandung
syiar atau ibarat-ibarat agama mereka yang bertentangan dengan ajaran islam.
Namun, kata-kata ucapan selamat dalam perayaan-perayaan agama mereka jangan
76 Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, hlm. 847-848.
lxxiv
sampai mengandung unsur pengakuan terhadap agama mereka atau ridha dengan
mereka.
B. Analisis Perbandingan tentang Mengucapkan Selamat Natal
1. Nasakh dan Mansukh
Dari segi bahasanya, ada kesepakatan ulama mengenai makna kata
nasakh. Para penulis „Ulum Al-Qur‟an biasanya menurunkan nasakh
dalam beberapa makna, yaitu:77
a) Izalah (menghilangkan).
b) Tabdil (penggantian/penukaran).
c) Nasakh yang dapat bermakna tahwil (memalingkan), seperti
Tanasukh Al-Mawarist, artinya memalingkan pusaka dari seseorang
kepada orang lain.
d) Naql (memindahkan dari satu tempat lain), seperti nasakhtu Al-
Kitaba, yaitu mengutip atau memindahkan isi kitab tersebut berikut
lafadz dan tulisannya. Sebagian ulama menolak makna keempat ini,
dengan alasan bahwa si nasikh dapat mendatangkan lafadz yang di-
mansukh itu, tetapi hanya mendatangkan lafadz lain.78
Dalam hal mengucapkan selamat hari natal kepada non-muslim
maka nasakh dan mansukh tidak ada pembahasan yang kompleks.
77 Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 161. 78 Rosihan Anwar, Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 164-165.
lxxv
2. Tarjih
Terkait ucapan “Selamat Hari Natal”, majelis Tarjih menerbitkan
fatwa yang persis sama dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Diantara
kandungan fatwa tersebut ialah: “Umat islam diperbolehkan untuk
bekerjasama dan bergaul dengan umat-umat agama dalam masalah-
masalah keduniaan serta tidak boleh mencampurkan agama dan akidah
dan peribadatan agama lain seperti menyakini Tuhanlebih dari satu,
Tuhan mempunyai anak dan Isa Al-Masih itu anaknya. Orang yang
menyakininya dinyatakan kafir dan musrik.
Dalam hal ini mengucapkan selamat Natal dianjurkan untuk tidak
dilakukan karena merupakan bagian dari perkara kegiatan perayaan natal,
agar umat Islam tidak terjerumus kepada perkara syubhat dan larangan
Allah Subhanahu Wata‟ala serta untuk mendahulukan menolak
kerusakan daripada menarik kemaslahatan.”79
3. Perbedaan Pendapat antara Kedua Tokoh
Mayoritas ulama kontemporer membolehkan mengucapkan
selamat Natal pada umat Nasrani termasuk di antaranya adalah Dr. Yusuf
Al-Qarahawi di mana beliau mengatakan bolehnya mengucapkan selamat
hari raya Nasrani. Ucapan selamat dibolehkan apabila berdamai dengan
umat islm khususnya bagi umat Kristen yang memiliki hubungan khusus
79 Fahmi Salim, Fatwa-fatwa Tarjih, (Cetakan VI, 2003), hlm. 209-210.
lxxvi
dengan seorang muslim seperti hubungan kekrabatan, bertetangga,
berteman di kampusatau sekolah dan lain-lain.
Mengucapkan selamat termasuk kebaikan yang tidak dilarang oleh
Allah SWT bahkan termasuk perbuatan yang disenangi Allah
sebagaimana sukanya pada sikap Adil (Allah menyukai oran-orang yang
bersifat adil). Apalagi, mereka juga memberi ucapan selamat pada hari
raya umat Islam. Qaradhawi juga menjelaskan bahwa tidak ada hal yang
mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non muslim akan
tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka juga jangan ikut
merayakan. Kita boleh hidup bersama mereka (non-muslim) dengan
melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat Allah. Maka
tidak ada larangan bagi muslim mengucapkan selamat pada non-muslim
dengan kalimat yang biasa yang tidak mengandung pengakuan atas
agama mereka .
Sedangkan menurut Fatawa Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
(Jilid.III. hlm.44-46, No.403), disebutkan bahwa memberi selamat
kepada mereka hukumnya haram, sama saja apakah terhadap mereka
(oran-orang kafir) yang terlibat bisnis dengan seorang (muslim) atau
tidak. Jadi jika mereka memberi selamat kepada kita dengan ucapan
selamat hari raya mereka, kita dilarang menjawabnya, karena itu bukan
hari raya kita, dan hari raya mereka tidaklah diridhai Allah.
4. Toleransi, Tasamuk, Berlapang dada dalam Menyikapi Perbedaan
lxxvii
Konsepsi toleransi dan kerukunan antar umat beragama merupakan
dua bentuk yang tak terpisahkan satu sama lain, ada hubungan kausalitas
diantara keduanya, kerukunan berdampak pada toleransi dan sebaliknya
sebaliknya toleransi menghasilkan kerukunan, keduanya menyangkut
hubungan antar sesama manusia. Jika tri kerukunan antar umat beragama,
intern umat seagama, dan umat beragama dengan pemerintah terbangun
serta diaplikasikan pada hidup dan kehidupan sehari-hari, maka akan
muncul toleransi antar umat beragama. Atau, jika toleransi antar umat
beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan
masyarakat yang rukun satu sama lain. Agama adalah elemen
fundamental hidup dan kehidupan manusia, oleh sebab itu, kebebasan
untuk beragama dan tidak beragama, serta berpindah agama harus
dihargai dan dijamin.
W.J.S Poerwadarminto menyatakan toleransi adalah sikap atau
sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu
pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang
berbeda dengan pendirian sendiri.80
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus
didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan
memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa
mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.81
80 W.J.S Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 1084 81 H.M. Daud Ali, dkk., Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1989, hlm. 80.
lxxviii
Oleh karena itu sangat jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku
karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau
prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Dengan kata lain,
pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan
dalam persoalan yang prinsipil.
Dalam Islam toleransi dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan
mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi. Al-Qur'an tidak hanya
mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan
keragaman dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
dalam surat al-Hujurat ayat 13, ayat tersebut menunjukkan adanya
ketatanan manusia yang essensial dengan mengabaikan perbedaan-
perbedaan yang memisahkan antara golongan yang satu dengan golongan
yang lain, manusia merupakan tiap keluarga besar.
Toleransi antar umat beragama mempunyai arti sikap lapang dada
seseorang untuk menghormati dan membiarkan pemeluk agama untuk
melaksanakan ibadah menurut ajaran dan ketentuan agama masing-
masing yang diyakini, tanpa ada yang mengganggu atau memaksakan
baik dari orang lain maupun dari keluarganya sekalipun. Secara teknis
pelaksanaan sikap toleransi antar umat beragama yang dilaksanakan di
dalam masyarakat lebih banyak dikaitkan dengan kebebasan dan
kemerdekaan menginterpretasikan serta mengekspresikan ajaran agama
masing-masing.
lxxix
Konsekuensi dari paham relativisme agama bahwa doktrin agama
apapun harus dinyatakan benar. Atau, “semua agama adalah sama”. Oleh
karena itu, seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima,
suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang
masa. Namun demikian, paham pluralisme terdapat unsur relativisme,
yakni unsur tidak mengklaim kebenaran tunggal (monopoli) atas suatu
kebenaran, apalagi memaksakan kebenaran tersebut kepada pihak lain.
Pendapat umum tentang toleransi antar umat beragama di
Indonesia adalah bahwa toleransi itu hanya berlaku dalam persoalan
sosiologis dan bukan teologis. Oleh karena itu, adalah mungkin bagi
umat Islam untuk bekerja sama dengan pengikut agama lain dalam
urusan-urusan keduniaan, tetapi hal ini dilarang jika berkaitan dengan
agama. Banyak intelektual Muslim, seperti Nur Cholis Madjid, Amin
Rais dan Syafi‟i Ma‟rif, mengakui toleransi antar umat beragama lebih
pada aspek sosiologis.82
82 M. Amien Rais, "Etika Kehidupan Antar Umat Beragama," dalam Nourruzzaman Ash-Shiddiqie dkk., Etika
Pembangunan dalam Pemikiran Islam, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 219
lxxx
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan penulisan ini yang
didalamnya dikemukakan kesimpulan dari bab-bab sebelumnya. Berdasarkan
uraian pembahasan diatas, kesimpulan yang ditarik dari penelitian ini sebagai
jawaban terhadap rumusan masalah yang telah disampaikan pada
pemabahasan bab pertama adalah sebagai berikut:
1. Argumentasi Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi tentang hukum
mengucapkan selamat Natal kepada non muslim; menurut Utsaimin,
haram hukumnya mengucapkan selamat Natal kepada umat non-muslim,
sama saja apakah terhadap mereka yang terlibat bisnis dengan seseorang
(muslim) atau tidak. Karena itu bukan hari raya kita, dan hari raya
mereka itu tidak diridhai oleh Allah SWT. Sedangkan menurut Yusuf al-
Qaradhawi boleh mengucapkan selamat Natal kepada umat non-muslim.
2. Metode ijtihad Utsaimin dan Yusuf al-Qaradhawi dalam menetapkan
hukum mengucapkan selamat Natal kepada non muslim. Mengenai
metode dalam mengistinbatkan hukum mengucapkan selamat Natal
kepada umat non-muslim, terdapat perbedaan antara Yusuf al-Qaradhawi
dan Utsaimin. Yusuf al-Qaradhawi, menggunakan metode lughawiyyah
dan juga metode istislahiah. Sedangkan Utsaimin menggunakan metode
penalaran lughawiyyah semata.
lxxxi
3. Analisis penulis tentang perbedaan dalil yang digunakan oleh Yusuf al-
Qaradhawi dalam mengistinbathkan hukum mengucapkan selamat hari
raya kepada non muslim tidak bertentangan dengan ayat yang digunakan
Utsaimin, keduanya menggunakan dalil yang berbeda dalam
mengistinbathkan hukum mengucapkan selamat hari raya kepada non
muslim, Yusuf al-Qaradhawi menggunakan dalil yang berbentuk sosial
yaitu surah Al-Mumtahanah ayat 8-9 dan beberapa nash lainya yang
mengatur hubungan umat muslim dengan non muslim. Sedangkan
Utsaimin menggunakan ayat yang berbentuk teologis (ketuhanan) yaitu
surah Az-Zumar ayat 7, Al-Maaidah ayat 3, dan Ali Imran ayat 85 yang
mengatur hubungan manusia dan agama.
B. Saran
Seiring dengan perkembangan zaman, maka persoalanpun akan timbul
mengikutinya. Dalam menyelesaikan persoalan tersebut, dibutuhkan ijtihad yang
relevan dengan zaman tersebut, supaya hukum yang dihasilkan sesuai dengan
konteks zamannya (tidak statis).Kemaslahatan umat yang paling diutamkan
sesuaidengan tujuan Maqashidus Syar‟i.
lxxxii
DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATURE
Al-Farisi Ala‟uddin Ali bin Balban, 2007, Sahih Ibnu Hibban terj. Mujahidin
Munayan, Saiful Rahman Barito Jakarta: Pustaka Azzam, No. 479
Al-bani Muhammad Nasiruddin, 2006, Sahih Abu Daud terj. Abdul Mufid Hasan,
Soban Rohan M, Jakarta: Pustaka Azzam
Al-Madjzub Muhammad, 1977, Ulama wa Mufakkirun „Araftuhum, Beirut: Dar
al-Nafais.
Al-Qaradahawi Yusuf, 1991, Nahwa Wahdah Fikrah li al Amilina li al-Islam,
Syumul al Islam, Maktabah Wahbah, Kairo
Al-Qaraḍawi Yusuf, 2008, Fatwa-Fatwa Kontemporer terj. As‟ad Yasin Jakarta:
Gema Insani Press.
Ali Moh.Daud, 1998, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Wali Press.
Arikunto Suharsimi, 2010, Prosedur penelitian Jakarta: Rineka Cipta.
Bakar Al-Yasa‟ Abu, 2012, Metode Istislahiah Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan
dalam Ushul Fiqih, Banda Aceh: Pps Iain Ar-Raniry dan Bandar
Plubishing.
Bukhari, Muhammad Nasiruddin al-Albani Sahih, 2007, terj. Faisal. M, Adis
Aldizar Jakarta: Pustaka Azzam.
Djazuli, 2010, Ilmu Fiqh Penggalian Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, Jakarta: Kencana.
Dewa Triesna Teguh, 2016, Hukum Mengucapkkan Selamat Natal Bagi Non
Muslim Dalam Pandangan Ulama, Jakarta: Skripsi.
Ghazali, Abd. Rohim dalam M. Quraish Shihab,1998, Atas Nama Agama:
Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, Bandung: Pustaka
Hidayah.
lxxxiii
Handono Irena, 2004, Perayaan Natal 25 Desember Antara Dogma dan
Toleransi, Jakarta: Bima Rodheta.
Jamil, Fathurrahman, 2014, Filsafat Hukum Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khalaf Abdul Wahab, 1985, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqh,
Jakarta: Rajawali Press.
Noor Muhammad Irsyad, 2015, Hukum Merayakan Ibadah Non Musli,Jakarta:
Skripsi.
Siregar Bismar, 1994, Bunga Rampai Hukum Islam, Jakarta: Grafikatama Jaya.
Sidqi Fatoni, 2015, Berita Ucapan Natal di Republika online Yogyakarta: Skripsi.
Usman Husaini, 2008, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Zainuddin, 2010, Pluralisme Agama: Pergulatan Dialogis Islam-Kristen di
Indonesia, Malang: UIN Maliki Press.
B. WEBSITE
Syeikh Muhammad Bin Salih Al-Utsaimin, “Biografi Utsaimin”,
http://ghuroba.blogsome.com.syaikh-muhammad-bin-shalih-al-utsaimin,
diakses pada 21 Agustus 2019.
Yusuf Al-Qaradhawi, “Biografi Yusuf Al-Qaradhawi” http: sejarah-biografi-al-
qaradhawi.co.id, diakses pada 21 Agustus 2019.
Top Related