GURU DAN PROSES BELAJAR MENGAJAR
2.1 Guru
Guru pada saat ini sering menjadi sorotan dari berbagai media massa,berkaitan dengan
rendahnya mutu pendidikan, dan keberhasilan suatu sekolah. Ada sebagian masyarakat kita
beranggapan keberhasilan suatu pendidikan sangat di tentukan oleh mutu guru itu sendiri.
Sementara kita ketahui bersama keberhasilan atau kegagalan pendidikan banyak di pengaruhi
oleh beberapa faktor. Kurangnya kesejahteraan guru, juga sangat mempengaruhi keberhasilan
suatu pendidikan.
Guru sangat terlibat dengan proses mengajar-belajar. Istilah proses mengajar “
belajar ( PMB) lebih tepat daripada proses belajar mengajar ( PBM), alasanya karena dalam
proses yang harus aktip duluan adalah guru lalu di ikuti aktivitas siswa (belajar ) bukan
sebaliknya. Barlow seorang pakar psikologi pendidikan (1985) dan Good & Brophy (1990)
hubungan timbul balik antar guru dan siswa di sebut teaching “ learning process dan bukan
learning-teaching process.
1. Arti Guru Dahulu Dan Sekarang
Saat ini banyak berita-berita yang melecehkan posisi guru dan guru nyaris tidak mampu
membela diri. Seorang politis Amerika Serikat Hugget ( 1985 ) mengutuk guru kurang
professional sedang orang tua menuding guru tidak kompeten dan malas. Kalangan bisnis dan
industripun memprotes guru karena hasil didikan mereka dianggap tidak bermanpaat. Tuduhan
dan protes ini telah memerosotkan harkat dan martabat para guru.
Dahulu seorang guru di hormati seperti seorang priyayi. Waktu itu penghasilan guru
memadai bahkan lebih. Secara psikologis, harga diri ( self “ esteem ) dan wibawa mereka
juga tinggi, sehingga para orang tua pun berterima kasih bila anak-anaknya di hajar guru
kalau berbuat kurang ajar . Posisi guru pada waktu itu sangat tinggi dan terhormat.
Namun sekarang para guru telah berubah drastis. Profesi guru adalah profesi yang
kering, dalam arti kerja keras para guru membangun sumber daya manusia hanya sekedar
untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan harkat dan derajat mereka di
mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga negara second class ( kelas ke dua) .
Kemerosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh di bawah rata-rata dari
kalangan profesional lainya.
Wibawa gurupun kian jatuh di mata murid, khususnya murid-murid sekolah menengah, di
kota-kota pada umumnya cenderung menghormati guru karena ada sesuatu. Mereka ingin
mendapatkan nilai tinggi dan naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras. Sikap
dan perilaku masyarakat demikian memang tidak sepenuhnya tanpa alasan yang bersumber dari
guru. Ada sebagian guru yang berpenampilan tidak mendidik. Ada yang memberi hukuman badan
(corporal punishment) di luar batas norma kependidikan, dan ada juga guru pria yang
melakukan pelecehan seksual terhadap murid-murid perempuanya.
Saat ini yang sedang terjadi adalah kerendahan tingkat kompetensi professionalisme
guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar
(Syah 1988). Ada dua hasil penelitian resmi yang menunjukan kekurang mampuan guru,
khususnya guru sekolah dasar, hasil penelitian Badan Litbang Depdikbud RI menyimpulkan
bahwa kemampuan membaca siswa kelas VI SD di Indonesia masih rendah. Bahwa 76,95% siswa
kelas VI SD tidak dapat menggunakan kamus.Yang mampu menggunakan kamus hanya 5 % secara
sistematis dan benar.
Bukti lainnya adalah sebagian guru kita juga ditunjukan oleh hasil penelitian
psikologi yang melibatkan responden sebanyak 1975 siswa SD negri dan swasta di Jakarta.
Kesimpulanya bahwa guru di sekolah “ sekolah dasar tersebut tidak bisa mengindentifikasi
siswa berbakat. (Anonim). Kenyataan seperti ini cepat atau lambat akan menjatuhkan
prestise (wibawa prestasi). Kemerosotan prestise professional sering diikuti kemerosotan
prestise sosial dan prestise material (Mutropin,1993), artinya para guru kita kini kurang
di hargai oleh masyarakat disamping kehidupan materinya yang serba kurang. Akibatnya, tak
mengherankan apabila diantara guru yang mengalami kelainan psikis keguruan yang di kenal
sebagai teacher burnout berupa stress dan frustasi yang di tandai dengan banyak murung
dan gampang marah (Barlow,1985),Tardif,1989). Boleh jadi, karena guru bornout (pemadaman
guru) inilah maka sebagian oknum guru kita yang tak kuat iman, berbuat di luar batas
norma edukatif dan norma susila seperti diatas.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tata Cara Pembelajaran di zaman dulu
dan sekarang jelas berbeda bisa dilihat dari cara guru mengajar di zaman dulu yang keras
hingga sekarang yang ramah. Selain itu juga bisa dilihat jika dulu gurulah yang menjadi
pusat informasi dan siswa yang menerimanya, jauh dari zaman sekarang dimana guru hanya
menjadi fasilitator untuk membantu siswanya dalam proses belajar dan siswa mulai di
ajarkan untuk mencari informasi secara individual. Diantara berbagai faktor-faktor dalam
mendukung pembelajaran, media dalam proses belajar sudah pasti telah menjadi faktor yang
sangat penting. Hal ini terjadi jelas karena kemajuan zaman yang serba teknologi ini
menyebabkan segala informasi menjadi lebih mudah tuk didapatkan.
Ada 5 perbedaan guru dahulu dan sekarang yaitu :
1. Cara Mengajar
Cara mengajar yang diterapkan oleh guru zaman dulu umumnya adalah dengan menggunakan
penjelasan yang bertele-tele, yang sepertinya setiap kata yang ada di buku itu dibaca.
Dengan metode ini, pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari sang guru saja.
Sedangkan guru zaman sekarang lebih sering hanya menjelaskan secara singkat materinya,
lalu mempersilahkan para siswa untuk bertanya apabila ada kesulitan. Dengan cara ini,
siswa jadi terpacu untuk mengembangkan pengetahuannya di luar sekolah. Misalnya dengan
browsing di Internet, mengikuti kursus, dan lain sebagainya. Pengetahuan yang didapat pun
akan semakin banyak
2. Cara Menasihati Siswa
Cara menasihati siswa yang dilakukan oleh guru-guru zaman dulu adalah dengan kalimat-
kalimat yang biasanya kasar. Seperti menyinggung kondisi ekonomi keluarganya,
penampilannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat para siswa saat itu menjadi
berfikir keras agar tidak akan diledek oleh guru-guru mereka. Perlakuan berbeda dilakukan
guru zaman sekarang. Mereka biasanya menasihati para murid hanya dengan nasihat-nasihat
yang halus dan tidak sampai menyinggung perasaan murid tersebut. Cara ini kurang efektif
karena murid kadang-kadang hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga
kiri.
3. Cara Berinteraksi Diluar Kelas
Guru-guru zaman dulu dengan gaya mengajarnya kaku, diluar kelas apabila disapa oleh
murid nya, mereka hanya tersenyum lalu berlalu begitu saja. Karena dalam diri mereka, ada
suatu doktrin yang menjelaskan bahwa ada garis pemisah antara guru dan murid. Jadi, sang
murid harus sangat menghormati gurunya. Sedangkan guru zaman sekarang lebih luwes dalam
berinteraksi diluar kelas. Misalkan saja ada murid-muridnya yang menyapa, mereka akan
tersenyum lepas dan kadang-kadang justru bercanda dengan murid-muridnya itu. Seakan akan
tidak ada garis batas antara murid dan guru. Guru pun bisa dijadikan tempat untuk
mencurahkan segala isi hati kita (curhat) tentang sekolah maupun kehidupan sehari-hari
kita.
4. Penggunaan Teknologi
Ketika zaman dulu, yang mana saat itu teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang
guru apabila ingin menjelaskan materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis
kayu saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan peta untuk
pelajaran geografi. Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru zaman sekarang. Guru
sekarang lebih senang menuliskan materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti
hasilnya bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih praktis,
cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu gambar/objek/benda.
5. Pemberian Nilai
Pemberian nilai yang dilakukan oleh guru zaman dulu adalah selain nilai asli, ada
nilai yang diambil secara subyektif oleh guru tersebut. Hal-hal yang dinilai antara lain
adalah kesopanan, etika, dan keantusiasan siswa tersebut dalam mendalami materi yang
diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu, nilai siswa benar-benar asli sesuai
dengan kenyataan yang ada pada siswa tersebut. Berbeda dengan guru zaman sekarang.
Kebanyakan guru zaman sekarang hanya mengisi kolom nilai seorang murid hanya dari hasil
rata-rata ulangan ditambah tugas, dan keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab.
Sehingga tidak jarang nilai yang muncul di rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya
dari murid tersebut.
2.2 Arti Guru Di Masa Mendatang
Guru diartikan sebagai orang yang pekerjaanya mengajar. McLeod, (1989) berasumsi guru
adalah seseorang yang pekerjaanya mengajar orang lain. Kata mengajar dapat kita tafsirkan
misalnya :
1. Menularkan pengetahuan dan kebudayaan kepada orang lain (bersifat kognitif).
2. Melatih ketrampilan jasmani kepada orang lain (psikomotorik)
3. Menanamkan nilai dan keyakinan kepada orang lain (afektip)
Jadi pengertian guru adalah tenaga pendidik yang pekerjaanya utamanya mengajar
(UUSPN tahun 1989 Bab VII pasal 27 ayat 3). Dalam perspektif psikologi pendidikan,
mengajar pada prinsipnya berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang membuat orang
lain (siswa) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya.
Jadi pada hakekatnya mengajar itu sama dengan mendidik. Karena itu tidaklah heran
bila sehari-harinya sebagai pengajar lazim juga disebut pendidik.
Guru menurut pasal 35 PP 38/1992 diperkenankan bekerja di luar tugasnya untuk
memperoleh penghasilan tambahan sepanjang tidak mengganggu tugas utamanya. Kebolehan
mengerjakan tugas lainya memberi kesan berkurangnya derajat profesional keguruan, para
guru walaupun tidak mengganggu tugas utama mereka sebagai pengajar, apalagi jika
mengingat tidak tegasnya batasan tidak mengganggu tugas utama.
Hal lain adalah sarjana non keguruan boleh menjadi guru asal mempunyai Akta mengajar.
Akta ini dikeluarkan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan program akta
pada fakultas tarbiyah untuk menjadi guru agama. Jadi seorang sarjana tehnik bisa menjadi
guru. Konotasinya, semua sarjana non kependidikan boleh mengajar.
Tidak ada keharusan memiliki pengalaman pendidikan dan ijazah sarjana keguruan
misalnya dari IKIP dan fakultas tarbiyah. Kita memang tak perlu berburuk sangka. Namun
yang perlu diwaspadai adalah kekurang mampuan mereka mengelola PBM, mengingat di perlukan
waktu 5 tahun untk memperoleh SI untuk belajar dan berlatih mengelola PBM.
Selain itu kenyataan di lapangan menunjukan bahwa out put LPTK seperti yang diakui
oleh Mendikbud RI, belum memuaskan, terbukti dengan tidak sesuainya guru bidang studi dan
rendahnya kualitas PBM, juga masih rendahnya kualitas dosen pengelola LPTK itu sendiri.
Idealnya seorang yang memiliki bakat untuk menjadi guru terlebih dahulu menempuh
pendidikan formal keguruan selama kurun waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan institusi
kependidikan yang akan menjadi tempat kerjanya. Selain itu ragam mata kuliah yang
dipelajari juga harus lebih spesifik dan berorientasi pada kompetensi dan profesionalisme
keguruan yang memadai.
Guru Indonesia masa depan adalah guru yang dapat menguasai internet. Relevan dengan
Moore’s Law yang diciptakan oleh Gordon E Moore bahwa ke depan setiap orang hendaknya
akrab dengan “peralatan mikro” (baca: internet) supaya mampu mengikuti perkembangan
informasi.
Guru Indonesia masa depan harus mampu menguasai internet serta siap
mengaplikasikannya baik dalam pembelajaran maupun kehidupan sehari-hari. Nantinya pasti
akan terasa lucu kalau ada guru yang tidak mengenal komputer dan internet. Kalau guru
kita tidak mengenal internet, nanti akan makin tertinggal oleh guru-guru di negara maju.
Bahkan, dengan guru-guru Malaysia yang dulu pernah berguru di Indonesia pun, guru-guru
kita akan makin tertinggal.
Penguasaan internet para guru secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh
positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan nasional. Dengan menguasai internet,
maka pengetahuan, ilmu, dan teknologi yang ditransfer kepada siswa akan lebih menarik,
lebih cepat, dan lebih aktual.
Memang harus disadari bahwa internet bukanlah segala-galanya. Guru Indonesia masa
depan memang harus menguasai internet, tetapi di sisi yang lain harus tetap memahami
kultur, sikap, dan nilai keindonesiaan. Hal ini pun merupakan hal yang tidak bisa ditawar
pula. Jadi, guru Indonesia masa depan adalah guru yang tetap memahami kultur, sikap, dan
nilai keindonesiaan di satu sisi dan menguasai teknologi informasi di sisi lain.
Sekarang, Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menurut Kementerian Pendidikan Republik Indonesia bahwa seseorang yang ingin menjadi
guru tidaklah cukup hanya dengan ijazah S1 Pendidikan saja. Tapi harus dilengkapi dengan
ijazah Pendidikan Profesi Guru.
3.2 Karakteristik Kepribadian Guru
Menurut tinjauan psikologi, kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin
pada sikap dan perbuatanya yang membedakan dirinya dari yang lain. McLeod (1989)
mengartikan kepribadian (personality) sebagai sipat yang khas yang dimiliki oleh
seseorang. Dalam hal ini kepribadian adalah karakter atau identitas.
Kepribadian adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru
sebagai pengembang sumber daya manusia. Karena disamping sebagai pembimbing dan pembantu,
guru juga berperan sebagai panutan. Mengenai pentingnya kepribadian guru,seorang psikolog
terkemuka Prof. Dr Zakiah Dardjat ( 1982) menegaskan : Kepribadian itulah yang akan
menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah
akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik terutama bagi anak didik
yang masih kecil (tingkat SD) dan mereka yang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat
menngah) . Secara konstitusional, guru hendaknya berkepribadian Pancasila dan UUD 45 yang
beriman dan bertagwa kepada Tuhan YME, disamping itu dia harus punya keahlian yang di
perlukan sebagai tenaga pengajar.
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan keberhasilan guru adalah :
1. Fleksibitas Kognitif Guru
Fleksibilitas kognitif ( keluwesan ranah cipta ) merupakan kemampuan berpikir yang
diikuti dengan tindakan secara simultan dan memadai dalam situasi tertentu. Kebalikanya
adalah frigiditas kognitif atau kekakuan ranah cipta yang ditandai dengan kekurang
mampuan berpikir dan bertindak yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi. Guru yang
fleksibel pada umunya di tandai dengan keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu
ia juga mempunyai resistensi (daya tahan ) terhadap ketertutupan ranah cipta yang
prematur dalam pengamatan dan pengenalan. Ketika mengamati dan mengenali suatu objek atau
situasi tertentu seorang guru yang fleksibel selalu berpikir kritis. Berpikir kritis
adalah berpikir dengan penuh pertimbangan akal sehat yang di pusatkan pada pengambilan
keputusan untuk mempercayai atau mengingkari sesuatu, dan melakukan atau menghindari
sesuatu (Heger & Kaye,1990).
2. Keterbukaan Psikologis Pribadi
Hal lain yang menjadi faktor menentukan keberhasilan tugas guru adalah keterbukaan
psikologis guru itu sendiri. Guru yang terbuka secara psikologi akan di tandai dengan
kesediaanya yang relatip tinggi untuk mengkomunikasikan dirinya dengan faktor-faktor
ekstern antar lain siswa, teman sejawat, dan lingkungan pendidikan tempatnya bekerja. Ia
mau menerima kritik dengan ikhlas. Disamping itu ia juga memiliki emphati, yakni respon
afektip terhadap pengalaman emosionalnya dan perasaan tertentu orang lain (Reber,1988).
Contohnya jika seorang muridnya di ketahui sedang mengalami kemalangan, maka ia turut
bersedih dan menunjukan simpati serta berusaha memberi jalan keluar.
Keterbukaan psikologis sangat penting bagi guru mengingat posisinya sebagai anutan
siswa. Keterbukaan psikologis merupakan prakondisi atau prasyarat penting yang perlu
dimiliki guru untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain. Keterbukaan psikologis juga
di perlukan untuk menciptakan suasana hubungan antar pribadi guru dan siswa yang
harmonis, sehingga mendorong siswa untuk mengembangkan dirinya secara bebas dan tanpa
ganjalan.
2.3 Hubungan Guru Dengan Proses Belajar Mengajar
Guru menurut UU no. 14 tahun 2005 “adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Para pakar pendidikan di Barat telah melakukan penelitian tentang peran guru yang
harus dilakoni. Peran guru yang beragam telah diidentifikasi dan dikaji oleh Pullias dan
Young (1988), Manan (1990) serta Yelon dan Weinstein (1997). Adapun peran-peran tersebut
adalah sebagai berikut :
1. Guru Sebagai Pendidik
Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta
didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas tertentu,
yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin.
2. Guru Sebagai Pengajar
Kegiatan belajar peserta didik dipengaruhi oleh berbagai factor, seperti motivasi,
kematangan, hubungan peserta didik dengan guru, kemampuan verbal, tingkat kebebasan, rasa
aman dan keterampilan guru dalam berkomunikasi. Jika factor-faktor di atas dipenuhi, maka
melalui pembelajaran peserta didik dapat belajar dengan baik. Guru harus berusaha membuat
sesuatu menjadi jelas bagi peserta didik dan terampil dalam memecahkan masalah. Ada
beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam pembelajaran, yaitu : Membuat
ilustrasi, Mendefinisikan, Menganalisis, Mensintesis, Bertanya, Merespon, Mendengarkan,
Menciptakan kepercayaan, Memberikan pandangan yang bervariasi, Menyediakan media untuk
mengkaji materi standar, Menyesuaikan metode pembelajaran, Memberikan nada perasaan. Agar
pembelajaran memiliki kekuatan yang maksimal, guru-guru harus senantiasa berusaha untuk
mempertahankan dan meningkatkan semangat yang telah dimilikinya ketika mempelajari materi
standar.
3. Guru Sebagai Pembimbing
Guru dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan, yang berdasarkan pengetahuan
dan pengalamannya bertanggungjawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah
perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional,
kreatifitas, moral dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.
Sebagai pembimbing perjalanan, guru memerlukan kompetensi yang tinggi untuk melaksanakan
empat hal berikut :
Pertama, guru harus merencanakan tujuan dan mengidentifikasi kompetensi yang hendak
dicapai.
Kedua, guru harus melihat keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran, dan yang
paling penting bahwa peserta didik melaksanakan kegiatan belajar itu tidak hanya
secara jasmaniah, tetapi mereka harus terlibat secara psikologis.
Ketiga, guru harus memaknai kegiatan belajar.
Keempat, guru harus melaksanakan penilaian.
4. Guru Sebagai Pelatih
Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual
maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih. Hal ini lebih
ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan tidak
akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar dan tidak akan mahir dalam berbagai
keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar.
5. Guru Sebagai Penasehat
Guru adalah seorang penasehat bagi peserta didik juga bagi orang tua, meskipun mereka
tidak memiliki latihan khusus sebagai penasehat dan dalam beberapa hal tidak dapat
berharap untuk menasehati orang. Peserta didik senantiasa berhadapan dengan kebutuhan
untuk membuat keputusan dan dalam prosesnya akan lari kepada gurunya. Agar guru dapat
menyadari perannya sebagai orang kepercayaan dan penasihat secara lebih mendalam, ia
harus memahami psikologi kepribadian dan ilmu kesehatan mental.
6. Guru Sebagai Pembaharu (Inovator)
Guru menerjemahkan pengalaman yang telah lalu ke dalam kehidupan yang bermakna bagi
peserta didik. Dalam hal ini, terdapat jurang yang dalam dan luas antara generasi yang
satu dengan yang lain, demikian halnya pengalaman orang tua memiliki arti lebih banyak
daripada nenek kita. Seorang peserta didik yang belajar sekarang, secara psikologis
berada jauh dari pengalaman manusia yang harus dipahami, dicerna dan diwujudkan dalam
pendidikan. Tugas guru adalah menerjemahkan kebijakan dan pengalaman yang berharga ini
kedalam istilah atau bahasa moderen yang akan diterima oleh peserta didik. Sebagai
jembatan antara generasi tua dan genearasi muda, yang juga penerjemah pengalaman, guru
harus menjadi pribadi yang terdidik.
7. Guru Sebagai Model dan Teladan
Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik dan semua orang yang
menganggap dia sebagai guru. Terdapat kecenderungan yang besar untuk menganggap bahwa
peran ini tidak mudah untuk ditentang, apalagi ditolak. Sebagai teladan, tentu saja
pribadi dan apa yang dilakukan guru akan mendapat sorotan peserta didik serta orang di
sekitar lingkungannya yang menganggap atau mengakuinya sebagai guru. Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan oleh guru : Sikap dasar, Bicara dan gaya bicara, Kebiasaan
bekerja, Sikap melalui pengalaman dan kesalahan, Pakaian, Hubungan kemanusiaan, Proses
berfikir, Perilaku neurotis, Selera, Keputusan, Kesehatan, Gaya hidup secara umum
perilaku guru sangat mempengaruhi peserta didik, tetapi peserta didik harus berani
mengembangkan gaya hidup pribadinya sendiri. Guru yang baik adalah yang menyadari
kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian
menyadari kesalahan ketika memang bersalah. Kesalahan harus diikuti dengan sikap merasa
dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
8. Guru Sebagai Pribadi
Guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ungkapan yang
sering dikemukakan adalah bahwa “guru bisa digugu dan ditiru”. Digugu maksudnya bahwa
pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya
bisa ditiru atau diteladani. Jika ada nilai yang bertentangan dengan nilai yang
dianutnya, maka dengan cara yang tepat disikapi sehingga tidak terjadi benturan nilai
antara guru dan masyarakat yang berakibat terganggunya proses pendidikan bagi peserta
didik. Guru perlu juga memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat melalui
kemampuannya, antara lain melalui kegiatan olah raga, keagamaan dan kepemudaan. Keluwesan
bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat
yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat.
9. Guru Sebagai Peneliti
Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-
penyesuaian dengan kondisi lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang
didalamnya melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti.
Menyadari akan kekurangannya guru berusaha mencari apa yang belum diketahui untuk
meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas. Sebagai orang yang telah mengenal
metodologi tentunya ia tahu pula apa yang harus dikerjakan, yakni penelitian.
10. Guru Sebagai Pendorong Kreatifitas
Kreativitas merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran dan guru dituntut
untuk mendemonstrasikan dan menunjukkan proses kreatifitas tersebut. Kreatifitas
merupakan sesuatu yang bersifat universal dan merupakan cirri aspek dunia kehidupan di
sekitar kita. Kreativitas ditandai oleh adanya kegiatan menciptakan sesuatu yang
sebelumnya tidak ada dan tidak dilakukan oleh seseorang atau adanya kecenderungan untuk
menciptakan sesuatu. Akibat dari fungsi ini, guru senantiasa berusaha untuk menemukan
cara yang lebih baik dalam melayani peserta didik, sehingga peserta didik akan
menilaianya bahwa ia memang kreatif dan tidak melakukan sesuatu secara rutin saja.
Kreativitas menunjukkan bahwa apa yang akan dikerjakan oleh guru sekarang lebih baik dari
yang telah dikerjakan sebelumnya.
11. Guru Sebagai Pembangkit Pandangan
Dunia ini panggung sandiwara, yang penuh dengan berbagai kisah dan peristiwa, mulai
dari kisah nyata sampai yang direkayasa. Dalam hal ini, guru dituntut untuk memberikan
dan memelihara pandangan tentang keagungan kepada pesarta didiknya. Mengembangkan fungsi
ini guru harus terampil dalam berkomunikasi dengan peserta didik di segala umur, sehingga
setiap langkah dari proses pendidikan yang dikelolanya dilaksanakan untuk menunjang
fungsi ini.
12. Guru Sebagai Pekerja Rutin
Guru bekerja dengan keterampilan dan kebiasaan tertentu, serta kegiatan rutin yang
amat diperlukan dan seringkali memberatkan. Jika kegiatan tersebut tidak dikerjakan
dengan baik, maka bisa mengurangi atau merusak keefektifan guru pada semua peranannya.
13. Guru Sebagai Pemindah Kemah
Hidup ini selalu berubah dan guru adalah seorang pemindah kemah, yang suka memindah-
mindahkan dan membantu peserta didik dalam meninggalkan hal lama menuju sesuatu yang baru
yang bisa mereka alami. Guru berusaha keras untuk mengetahui masalah peserta didik,
kepercayaan dan kebiasaan yang menghalangi kemajuan serta membantu menjauhi dan
meninggalkannya untuk mendapatkan cara-cara baru yang lebih sesuai. Guru harus memahami
hal yang bermanfaat dan tidak bermanfaat bagi peserta didiknya.
14. Guru Sebagai Pembawa Cerita
Sudah menjadi sifat manusia untuk mengenal diri dan menanyakan keberadaannya serta
bagaimana berhubungan dengan keberadaannya itu. Tidak mungkin bagi manusia hanya muncul
dalam lingkungannya dan berhubungan dengan lingkungan, tanpa mengetahui asal usulnya.
Semua itu diperoleh melalui cerita. Guru tidak takut menjadi alat untuk menyampaikan
cerita-cerita tentang kehidupan, karena ia tahu sepenuhnya bahwa cerita itu sangat
bermanfaat bagi manusia. Cerita adalah cermin yang bagus dan merupakan tongkat pengukur.
Dengan cerita manusia bisa mengamati bagaimana memecahkan masalah yang sama dengan yang
dihadapinya, menemukan gagasan dan kehidupan yang nampak diperlukan oleh manusia lain,
yang bisa disesuaikan dengan kehidupan mereka. Guru berusaha mencari cerita untuk
membangkitkan gagasan kehidupan di masa mendatang.
15. Guru Sebagai Aktor
Sebagai seorang aktor, guru melakukan penelitian tidak terbatas pada materi yang
harus ditransferkan, melainkan juga tentang kepribadian manusia sehingga mampu memahami
respon-respon pendengarnya, dan merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat
dikontrol. Sebagai aktor, guru berangkat dengan jiwa pengabdian dan inspirasi yang dalam
yang akan mengarahkan kegiatannya. Tahun demi tahun sang actor berusaha mengurangi respon
bosan dan berusaha meningkatkan minat para pendengar.
16. Guru Sebagai Emansipator
Dengan kecerdikannya, guru mampu memahami potensi peserta didik, menghormati setiap
insane dan menyadari bahwa kebanyakan insan merupakan “budak” stagnasi kebudayaan. Guru
mengetahui bahwa pengalaman, pengakuan dan dorongan seringkali membebaskan peserta didik
dari “self image” yang tidak menyenangkan, kebodohan dan dari perasaan tertolak dan
rendah diri. Guru telah melaksanakan peran sebagai emansipator ketika peserta didik yang
dicampakkan secara moril dan mengalami berbagai kesulitan dibangkitkan kembali menjadi
pribadi yang percaya diri.
17. Guru Sebagai Evaluator
Evaluasi atau penilaian merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena
melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variable lain yang mempunyai arti
apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak mungkin dapat dipisahkan dengan
setiap segi penilaian. Teknik apapun yang dipilih, dalam penilaian harus dilakukan dengan
prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak
lanjut. Penilaian harus adil dan objektif.
18. Guru Sebagai Pengawet
Salah satu tugas guru adalah mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
berikutnya, karena hasil karya manusia terdahulu masih banyak yang bermakna bagi
kehidupan manusia sekarang maupun di masa depan. Sarana pengawet terhadap apa yang telah
dicapai manusia terdahulu adalah kurikulum. Guru juga harus mempunyai sikap positif
terhadap apa yang akan diawetkan.
19. Guru Sebagai Kulminator
Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara bertahap dari awal hingga
akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu
tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya. Di sini
peran kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator. Guru sejatinya adalah seorang
pribadi yang harus serba bisa dan serba tahu. Serta mampu mentransferkan kebisaan dan
pengetahuan pada muridnya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan dan potensi anak
didik.
Begitu banyak peran yang harus diemban oleh seorang guru. Peran yang begitu berat
dipikul di pundak guru hendaknya tidak menjadikan calon guru mundur dari tugas mulia
tersebut. Peran-peran tersebut harus menjadi tantangan dan motivasi bagi calon guru. Dia
harus menyadari bahwa di masyarakat harus ada yang menjalani peran guru. Bila tidak, maka
suatu masyarakat tidak akan terbangun dengan utuh. Penuh ketimpangan dan akhirnya
masyarakat tersebut bergerak menuju kehancuran.
Suardiman (1988:6) mengemukakan bahwa ada tiga elemen yang menjadi pusat perhatian
dalam pendidikan yang juga menjadi pusat perhatian oleh para ahli psikologi pendidikan
dan para guru, yaitu anak didik, proses belajar, dan sekilas" belajar. Ketiga elemen ini
saling berkaitan selalu sama lain.
Peserta didik merupakan elemen yang terpenting diantara elemen yang lain (termasuk
elemen situasi belajar dan elemen proses belajar). Ini bukan berarti bahwa faktor manusia
(peserta didik) lebih penting dari faktor proses belajar dan situasi belajar, tetapi yang
jelas tanpa hadirny faktor peserta didik tidak mungkin akan terjadi peristiwa belajar
atau interaksi belajar mengajar dalam lembaga pendidikan formal, non formal, dan
informal. Tanpa kehadiran peserta didik di kelas di suatu lembaga pendidikan tidak
mungkin akan ada proses pembelajaran karena peserta didik merupakan objek dari proses
pendidikan dan pembelajaran di kelas. Peserta didik diibaratkan seperti pembeli dalam
suatu proses penjualan pasar yang akan membeli (menerima) ilmu pengetahua dari guru
sebagai transformator pengetahuan (penjual kepada peserta didik yang berperan sebagai
manusia yan belum dewasa untuk didewasakan.
Proses pembelajaran sebagai elemen yang menjadi pusat perhatian dari psikologi
pendidikan, merupakan elemen penentu keberhasilan proses pendidikan. Tanpa ada interaksi
yang timbal balik antara guru sebagai pendidik, dan pengajar dengan peserta didik sebagai
objek yang dididik dan diajar tidak mungkin akan terjadi proses ; pembelajaran di kelas
atau di tempat belajar tertentu. . Melalui proses pembelajaran yang interaktif antara
guru dan peserta didik akan terjadi perubahan perilaku kepada peserta didik yang ditandai
dengan gejala peserta didik menjadi tahu terhadap materi pelajaran yang dipelajarinya
dari tidak tahu pada waktu sebelum mempelajari materi pelajaran tertentu. Gejala lain
dari terjadinya perubahan perilaku pada peserta didik, yaitu peserta didik memperoleh
keterampilan tertentu seperti keterampilan dalam berbicara, berdiskusi, bergaul dan
berteman, dan keterampilan lain yang membutuhkan aktivitas sensorik dan motorik dan
perubahan dari aspek sikap (afektif), yaitu dari bersikap kurang baik atau kurang positif
terhadap guru, orangtua, masyarakat, dan pihak terkait lainnya menjadi bersikap positif
terhadap pihak-pihak tersebut sebagai buah atau hasil dari proses pendidikan yang
berkualitas. Perubahan dari segi perilaku yang lain berupa perilaku peserta didik dari
tidak disiplin dalam hidup menjadi disiplin (termasuk disiplin dalam melakukan aktivitas
belajar), dari penampilan dalam berpakaian tidak rapi menjadi rapi dan bersih, dari
beperilaku kurang santun menjadi sopan dan santun, dan berbagai aspek pengetahuan
(kognitif), afektif (sikap), dan keterampilan (psikomotorik) sebagai buah dari hasil
proses pendidikan dan pembelajaran di setting (tempat) belajar.
Slameto (1988:68) menyatakan bahwa agar proses pembelajaran di kelas dapat maksimal
dan optimal, maka hubungan antara guru dengan peserta didik dan hubungan peserta didik
dengan sesama peserta didik yang lain harus timbal balik dan komunikatif satu sama
lainnya. Proses pembelajaran hanya dapat terjadi jika antara guru dengan siswa terjadi
komunikasi dan interaksi timbal balik yang edukatif.
Jadi proses pembelajaran di kelas dipengaruhi oleh hubungan yang ada dalam proses
pembelajaran itu sendiri. Jadi cara belajar siswa juga dipengaruhi oleh relasi siswa
dengan gurunya. Hubungan guru dengan siswa sebagai peserta didik yang tercipta dengan
baik, maka siswa akan senang kepada gurunya dan juga akan menyukai materi pelajaran yang
diajarkan oleh gurunya sehingga siswa dapat menguasai materi pelajaran dengan baik.
Sebaliknya, jika hubungan guru dengan siswa kurang komunikatif dan harmonis, siswa akan
membenci atau tidak senang kepada gurun dan menyebabkan siswa tidak senang menerima
pelajar dari guru tersebut, akibatnya siswa tidak sukses bela dalam mata pelajaran
tersebut. Guru yang kurang komunikatif dan edukatif dalam berinteraksi dengan siswanya,
akan menyebabkan proses pembelajaran di kelas berjalan tidak optimal dan maksim. Selain
itu, siswa akan menjauhkan diri dari guru sehing siswa tersebut tidak dapat aktif dalam
mengikuti probelajar mengajar di kelas.
Oleh karena itu, para calon guru dan para guru yang telah mengajar harus menguasai
pengetahuan tentang didaktik dan metodik pembelajaran, misalnya menguasai dan menerapkan
pengetahuan tentang dinamika kegiatan dalam strategi belajar mengajar, interal dan
motivasi belajar mengajar, dan berbagai pendekatan, dalam proses belajar mengajar.
Guru merupakan satu faktor dalam situasi belajar di samping situasi udara,
penerangan, komposi tempat duduk, dan sebagainya (Suardiman, 1988:7). Sikap guru,
semangat kelas, sikap masyarakat, dan suasana perasaan di sekolah juga merupakan faktor
yang mempengaruhi situasi belajar di tempat belajar yang pada akhirnya mempengaruhi
kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Untuk dapat menjadi guru yang profesional dalam mendidik dan mengajar peserta didik
melalui proses ruang pembelajaran di kelas, maka selain harus memperhatikan ketiga elemen
pokok yang menjadi pusat perhatian dari psikologi pendidikan tersebut di atas, juga harus
memperhatikan dan menguasai pengetahuan tentang didaktik metodik pengajaran dan hall lain
yang terkait dengan masalah peserta didik. Pengetahuan didaktik metodik pengajaran dan
hal lain yang terkait dengan masalah peserta didik, misalnya pengetahuan tentang gejala
aktivitas umum jiwa peserta didik, kepribadian, inteligensi, dan bakat peserta didik,
perkembangan anak dan perkembangan remaja sebagai subjek didik, belajar dan
permasalahannya, teori-teori belajar, interaksi belajar mengajar di kelas dan
permasalahannya, keterkaitan perilaku guru terhadap dinamika kelas, pembinaan disiplin di
dalam kelas, motivasi belajar dan permasalahannya, strategi belajar mengajar manajemen
kelas untuk interaksi belajar mengajar, dan masalah-masalah khusus dalam pendidikan dan
pengajaran.
PEMBIASAAN PERILAKU RESPON, TEORI PENDEKATAN KOGNITIF, PROSES DAN FASE BELAJAR
A. Pembiasan Perilaku Respon
Teori Pembiasaan Perilaku Respons (Operant Conditioning) merupakan teori
berusia paling muda dan masih sangat berpengaruh di kalangan para ahli Psikologi
belajar masa kini, teori ini adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama
terhadap lingkungan yang dekat. Respon dalam Operant Conditioing terjadi tanpa
didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respon tertentu, namun tidak sengaja
diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya (reinforcer).
Dalam pandangan Psikologi perilaku yang dimotori teoriwan Paplov, Thorndike,
dan Skinner, stimulus merupakan penyebab pokok terbentuknyarespons-respons dalam
belajar. Stimulus yang dimaksud yaitu pembiasan perilaku respon yang dibentuk melalui
pengubahan materi bahasan sedemikian rupa sehingga dapat merangsang pembelajar
mengembangkan perilaku seperti yang dikehendaki dalam tujuan belajar. Sebagai
pengembangan dan konsepsi pembiasan klasik (classical conditioning) yang mengabaikan
jarak antara stimulus (S) dengan respons (R), pembiasan perilaku respons sesungguhnya
merupakan sinyal-sinyal penggerak pikiran dan dipandang sebagai mediator dari apa
yang diingikan pemberi stimulus dengan harapan penerima mengembangkan reaksi pikiran
dan tindaka tertentu (Travers, 1982:18)
Dari sejumlah teori belajar perilaku yang menonjol tampak adanya kesamaan
pandangan bahwa stimulus, baik yang terkondisi maupun yang terbuka, dipandang sebagai
penggerak awal tindakan belajar yang mendekati salah satu di antara titik-ti
belajartik dalam garis kontinum antara kesukarelaan menuju ke arah pemaksaan dalam
belajar. Itulah sebabnya, maka sejalan dengan perkembangan teori-teori motivasi dan
evaluasi yang kemudian dimanfaatkan para ahli dan praktisi pendidikanuntuk menjalankan
profesinya.
Pemberian stimulus-respons-penguatan sebagai satuan-satuan bahasan yang berdiri
sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain dengan menggunakan pola jenjang bersyarat
Biehler dan Snowan (1982). Sebagai bentuk pengajaran yang sengaja dirancang untuk
memberikan kemudahan belajar menurut percepatan lama kerja individu, Skinner
mempreskripsikan agar bahan-bahan belajar hendaknya berisikan seperangkat langkah-
langkh pendek yang setiap langkahnya memerlukan aktifitas respons dari pembelajar dan
setiap respons harus disiapkan balikan segerannya untuk mengetahui keakuratan respons
yang ada.
Untuk mengefektifkan aktivitas pembelajar, Skinner selanjutnya mempreskripsikan
empat teorema pembelajar sebagai berikut.
Pertama, peran pendidikan hakikatnya adalah menciptakan kondisi agar hanya tingkah laku
yang diinginkan sajayang diberi penguatan.
Kedua, stimulus yang bersifat deskriptif hendaknya diberikan sebagai penunjang
aktifitas belajar, erat kaitannya dengan kedua hal tersebut adalah teorema.
Ketiga, yang mempreskripsikan agar para pembelajar membuat catatan kemajuan anak
didiknya sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian program yang mereka perlukan
dikemudian hari.
Keempat, memperskripsikan agar pembelajar membuat rekomendasi tentang tugas-tugas
belajar mana yang seharusnya dicoba dahulu, sebagaimana cara belajarnya, serta hasil-
hasil apa saja yang diharapkan dengan keseluruhan aktivitas yang diprogramkan itu.
B. Teori Pendekatan Kognitif
a. Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan
proses beljar daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu,
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan
bagaimana siswa mengolah stimulus, dan bagaimana siswa tersebut dapat sampai ke
respons tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat
laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatiaan mereka terpusat pada proses
bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai
oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu
melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak
berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir,
bersambung-sambung, menyeluruh. Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam
“tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna” nya
Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” oleh Jerome Bruner.
1. Piaget
Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitif yang kuat,
bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, (2)
akomodasi, dan (3) equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses
penyatuaan (pengintegrasiaan) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam
benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang
baru. Equilibrasi adalah penyesuaian berkeseinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya
memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip
penjumlahan (yang sudah ada dibenak siswa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi
baru), inilah yang disebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi sebuah soal
perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang berarti dalam pemakaian (aplikasi)
prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang
tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga
stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang
disebut equilibrasi proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”. Tanpa
proses ini, perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak
teratur (disorganized).
Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya
mungkin mempunyai kemampuan equilibrasi yang berbeda. Seseorang dengan kemampuan
equilibrasi yang baik akan mampu “ menata” berbagai informasi ini dalam urutan yang
baik, jernih, dan logis. Sedangkan rekannya yang tidak memiliki kemampuan equilibrasi
sebaik itu akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur,
karena itu orang cenderung mempunyai alur berpikir ruwet, tidak logis, dan berbelit-
belit.
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif yang dilalui siswa, yang dalam hal ini Piaget membaginya menjadi empat tahap,
yaitu tahap sensori motor (2/3 sampai 7/8 tahun), tahap operasional konkret (7/8
sampai 12/14 tahun), dan tahap operasional (14 tahun atau lebih).
Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain
dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (praoperasional) dan
lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi
(operasional konkret dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat
kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam
kaitan ini seorang guru seharusnya memahami tahap-tahap perkembangananak didiknya ini,
serta memberikan materi belajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap
tersebut.
Guru yang mengajar, tetapi tidak menghiraukan tahapan-tahapan ini akan
cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengajarkan konsep abstraktentang
matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk
“mengkonkretkan” konsep tersebut. Tidak hanya akan percuma, tetapi justru akan lebih
membingungkan para siswa itu.
2. Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur
kemajuan (belajar)” (Advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik
dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum
yang mewadahi/mencakup semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
Ausubel percaya bahwa “advance organizers) dapat memberikan tiga macam manfaat,
yakni
1. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan
dipelajari oleh siswa.
2. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang
dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa
3. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
3. Bruner
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori
ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru member kesempatan
kepaada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan
sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya.
Dengan kata lain, siswa dibimbing untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami
konsep kejujuran, misalnya, siswa pertama-tama tidak menghafal definisi kata
kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-
contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”.
Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara
menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk
menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh umum dan konkret. Dalam contoh diatas,
maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran, dan dari definisi itulah
siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata
tersebut.
Brunner juga mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan
asas-asas untuk merancang pembelajaran yang efektif dikelas. Menurut pandangan Brunner
bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat
preskriftif. Misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak
untuk belajar penjumlahan, sedngakan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-
cara mengajarkan penjumlahan.
b. Pendekatan Kognitif (Kognitif Approach)
Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat
diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesengguhnya
hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang
sedang diamati dan dipikirannya. Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar
direspons sebagai aktivator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan
struktur kognitif.
Brunner (1975) mendeskripsikan pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi
agar mahasiswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk
menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Sedangkan Ausubel (1978)
mempreskripsikan agar pembelajar dapat mengembangkan situasi belajar, memilih dan
menstrukturkan isi, serta menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajar yang
terorganisasi dari umum menuju ke rinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna.
Dalam pandangan psikologi kognitif, peran guru atau dosen menjadi semakin
menentukan apabila perbedaan variabel karakter individu dihargai dalam bentuk
penyajian pola struktur kegiatan belajar mengajar. Penyajian pola struktur kegiatan
yang bervariasi pada saat yang bersamaan juga pernah dicobakan di lapangan dengan
berpijak pada teorema Bruner tentang pembelajaran yang berorientasi pada kerja
kognitif tingkat tinggi. Hasil uji model pembelajaran pemecahan masalah yang
dikembangkan berdasarkan teorema Brunner (Suharsono, 1991) menunjukkan adanya
kesetaraan tingkat keefektifan berbagai macam variasi pola pembelajaran, sepanjang
kapasitas dan tingkat kemampuan awal siswa atau mahasiswa tidak berbeda secara
signifikan.
Masalah yang sering muncul pada tahapan aplikasi teori-teori kognitif dibidang
pembelajaran adalah dalam kaitannya dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan
belajar dan penstrukkturan kegiatan belajar mengajar. Hali ini bisa dimengerti
mengingat bahwa penelitian dan pengembangan paket-paket program pembelajaran pada
berbagai jenis cabang ilmu disiplin keilmuan dan keahlian ternyata tidak menunjukkan
hasil yang konsisten. Salah satu faktor yang dominan pengaruhnya terhadap variasi
keefektifan pembelajaran adalah struktur bangunan disiplin ilmu yang dipelajari
(Scandura, 1984).
Sehubungan dengan adanya kenyataan empiris tersebut, maka teori dan teorema
kognitif yang ada bisa saja digunakan sebagai acuan umum bagi setiap jenis cabang
disiplin keilmuan. Namun, kemungkinan dapat terjadi bahwa keefektifan penerapannya
pada level kesulitan dan jenis kemampuan pada suatu bidang studi berbeda dengan bidang
studi lainnya. Oleh karena itu, cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan
kualitas output pendidikan dari sudut pandang psikologi kognitif adalah pengembangan
program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual
pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merrril (1983:
286), jenjang tersebut bergerak dari tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan,
sampai pada tahap penemuan konsep, prosedur atau prinsip baru dibidang disiplin
keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
C. Proses dan Fase Belajar
1. Definisi Proses Belajar
Proses adalah kata yang berasal dari bahasa latin “processus” yang berarti
“berjalan ke depan”. Kata ini mempunyai konotasi urutan langkah atau kemajuan yang
mengarah pada suatu sasaran atau tujuan. Menurut Chaplin (1972), proses adalah suatu
perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan.
Belajar menurut Harold Spears (1955.p 94) belajar adalah mengamati, membaca,
meniru, mencoba sendiri tentang sesuatu, mendengarkan, mengikuti petunjuk, aktifitas
yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada dirinya.
Jadi, proses belajar adalah tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam
arti berorientasi ke arah yang lebih maju dari keadaan sebelumnya.
Proses belajar dibedakan berdasarkan proses terjadinya, terbagi menjadi :
» Pendapat I yakin proses belajar terjadi karena ada reinforcement sebagai motivasi
siswa agar terjadi perubahan tingkah laku (behaviorisme), proses belajar terjadi sesuai
tingkat perkembangan biologis seseorang (maturasionisme).
» Pendapat ke II yakin proses belajar terjadi karena bentukan kita sendiri
(selfcontructions).
2. Fase-fase dalam Proses Belajar
a. Proses Belajar Menurut Para Ahli
Menurut Jerome S. Bruner, salah seorang penentang teori S.R Bond dalam proses
pembelajaran siswa menempuh tiga episode atau fase, antara lain :
1. Fase informasi (tahap penerimaan materi)
2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi)
3. Fase evaluasi (tahap penilaian materi)
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya psychology of learning, setiap proses belajar
selalu berlangsung dalam 3 tahapan, antara lain :
1. Actuation (tahap perolehan/penerimaan informasi)
2. Storage (tahap penyimpanan informasi)
3. Retrieval (tahap mendapatkan kembali informasi)
b. Secara Spikologis
Pada umumnya ada 8 fase dalam belajar, dan pada masing-masing fase itu terjadi
proses-proses.
1. Fase Motivasi
Timbulnya motivasi (dorongan belajar) dalam diri mahasiswa. Ada dua jenis motivasi,
yaitu:
(1). Motivasi Intrinsik
Dorongan yang timbul dalam diri mahasiswa, karena stimulus (rangsangan) dari
dalam dirinya sendiri. Stimulus itu antara lain minat, bakat, cita-cita, kepuasan
melakukan sesuatu dengan berhasil.
(2). Motivasi Ekstrinsik
Dorongan yang timbul dalam diri seseorang, karena stimulus dari luar, seperti
penghargaan atas kinerja, pujian, atau upah yang diberikan pihak lain.
Kedua motivasi itu sangat penting dalam belajar, tetapi motivasi intrinsik
yang paling penting. Apabila motivasi sudah timbul dalam diri seseorang, proses
keinginan untuk belajar sudah terjadi.
2. Fase Pemerhatian
Pemerhatian atau perhatian pada materi pengajaran yang sedang (akan segera)
disajikan. Ini timbul dengan baik setelah ada motivasi.
Ada tiga proses yang terjadi :
(1). Proses memperhatikan
(2). Proses menanggapi (memasukkan kedalam persepsi)
(3). Proses memahami.
Kuat-lemahnya proses-proses itu banyak bergantung pada cara penyajian materi, situasi
belajar pengajar, dan motivasi dimaksud diatas.
3. Fase Pemerolehan
Pemerolehan : Proses memahami (memeroleh) arti materi, dan memasukkannya kedalam
ingatan jangka pendek (short-term memory), dan dari sana akan disimpan dalam ingatan
jangka panjang(long-term memory). Proses ini disebut juga pelambangan (encoding).
Pendidik berperan penting dalam membuat kuat-lemahnya proses ini.
4. Fase Penyimpanan
Apa yang sudah dipahami dan dimasukkan kedalam ingatan jangka pendek dimasukkan
dalam ingatan jangka panjang kemudian, dan disimpan disana dalam jangka waktu yang
lama.
5. Fase Pengingatan
Pengingatan : Proses mengingat kembali apa yang telah dipelajari (disimpan
dalam ingatan jangka panjang) Pengingatan terjadi apabila ada tuntutan dari luar,
misalnya, pertanyaan atau masalah yang dihadapi. pendidik berperan penting dalam
meningkatkan kemampuan (Kecepatan dan ketepatan) peserta didik dalam pengingatan.
Proses yang terjadi dalam pengingatan disebut juga pelepasan lambang (decoding).
6. Fase Generalisasi
Generalisasi : Proses mengingat dan mempergunakan apa yang telah dipelajari.
Dari segi bahasa, pada fase ini mahasiswa dapat menyatakan apa yang telah dipelajarinya
dengan kata-kata (bahasa) sendiri secara baik . Fase inilah sesungguhnya tujuan akhir
belajar. Kemampuan Generalisasi adalah indikator mutu pemahaman peserta didik tentang
materi. Pada fase ini juga berkembang daya kritis dan berpikir mandiri. Fase ini
disebut juga transfer (pengetahuan sudah menjadi milik mahasiswa).
7. Fase Kinerja
Ini adalah proses dimana peserta didik membuktikan pemahamannya tentang materi
melalui perbuatan (kinerja), seperti jawabannya atas pertanyaan dalam ujian, atau
sikapnya dalam menghadapi masalah.
8. Fase Umpan Balik
Fase ini sesungguhnya sejalan dengan fase kinerja, karena dari kinerja diperoleh
juga umpan balik. Dalam fase ini peserta didik mengetahui tingkat pemahamanya tentang
materi dari kinerjanya sendiri, dalam arti hasil yang diperoleh dari kinerja kerja itu,
seperti nilai ujian, respon yang diberikan dosen, dll.
Umpan balik berguna untuk peningkatan (perbaikan) mutu. Dari umpan balik dapat
diketahui apa yang harus diperbaiki.
Urutan fase – fase diatas adalah yang umum (standar). Tetapi dapat juga terjadi
bahwa urutan itu tidak diikuti, misalnya langsung ke fase pemerhatian atau pemerolehan.
Perubahan ini dapat terjadi terutama karena situasi belajar mengajar yang dihadapi,
termasuk cara – cara penyajian materi oleh peserta didik. Tetapi bagaimanapun, fase –
fase tersebut perlu diperhatikan.
LUPA DAN KEJENUHAN BELAJAR
1.1 Pengertian Evaluasi dan Prestasi Belajar
Menurut Bloomet, al (1971) evaluasi dan prestasi belajar yaitu Evaluasi sebagaimana
kita lihat, adalah pengumpulan kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah
dalam kenyataannya terjadi perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana
tingkat perubahan dalam pribadi siswa. Sedangkan padanan kata evaluasi adalah
assessment yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan
prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Dengan demikian selain kata evaluasi dan assement tersebut ada pula kata lain yang
searti dan relatif dalam dunia pendidikan yakni tes, ujian, dan ulangan. Dan istilah
THB (Tes hasil belajar) dan TPB (Tes prestasi belajar) yaitu alat-alat ukur yang
banyak digunakan untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah proses belajar mengajar
atau untuk menentukan taraf keberhasilan sebuah program pengajaran.
Sementara itu, istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai pembelajaran dan
rajin serta aktifnya atas segala aktifitas yang di program di sekolah atau di lembaga-
lembaga yang menjadi kegiatan para siswa sebelum atau sesudah akhir jenjang
pendidikan, seperti evaluasi belajar tahap akhir dan evaluasi belajar tahap akhir
nasional (EBTA dan EBTANAS). Dan juga penentuan segi-segi yang dijadikan dasar dalam
penilaian yang optimal, terutama sebagian dari segi tersebut tidak dapat di evaluasi
dengan cara objektif langsung dari satu sisi. Akan tetapi untuk sampai pada penentuan
sempurna bagi kecenderungan penilaian ini yaitu harus melakukan proses evaluasi secara
global atau menilai beberapa segi dalam bentuk eksistensi komprehensif, yang
sesungguhnya dapat menyusun deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, walaupun begitu, guru yang profesional akan tetap berusaha mencari kiat
evaluasi yang lugas, tuntas, dan meliputi seluruh kemampuan ranah cipta, rasa, dan
kerja siswa. Yang memungkinkan untuk menentukan tingkat kemajuan pengajaran dan
bagaimana berbuat baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Oleh karena itu
kata Dr. Suharsimi Arikunto dalam bukunya Drs. H. Daryanto ia menyatakan “Kita dapat
mengadakan penilaian sebelum mengadakan pengukuran, karena pengukuran adalah
measurement, sedangkan penilaian adalah evaluation”. Dari data evaluation inilah
diperoleh kata Indonesia yang berarti menilai, karena :
1. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, yaitu pengukuran yang
bersifat kuantitatif.
2. menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik
buruk, yaitu penilaian yang bersifat kualitatif.
3. mengadakan evaluasi meliputi kedua langkah di atas yakni mengukur dan menilai.
1.2 Tujuan dan Fungsi Evaluasi dan Prestasi Belajar
Evaluasi dan Prestasi Belajar mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar para siswa angka-angka yang
diperoleh dicantumkan sebagai laporan kepada orang tua, untuk kenaikan kelas,
dan penentuan kelulusan para siswa.
2. Untuk menempatkan para siswa ke dalam situasi belajar mengajar yang tepat dan
serasi dengan tingkat kemampuan, minat, dan berbagai karakteristik yang
dimiliki oleh setiap siswa.
3. Untuk mengenal latar belakang siswa (psikologis, fisik, dan lingkungan), yang
berguna baik dalam hubungan dengan tujuan kedua maupun untuk menentukan sebab-
sebab kesulitan belajar para siswa, yang sehingganya dapat memberikan bimbingan
dan penyuluhan pendidikan guna mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
4. Sebagai umpan balik bagi guru yang pada gilirannya dapat digunakan untuk
memperbaiki proses belajar mengajar dan program remedial bagi para siswa.
Disamping memiliki tujuan, evaluasi belajar juga memiliki fungsi-fungsi sebagai
berikut :
1. Fungsi administratif untuk menyusun draft nilai dan pengisaan buku raport.
2. Fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan.
3. Fungsi diagnostic untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dan merencanakan
program remedial teaching (Pengajaran kebaikan).
4. Sumber data BP untuk memasukkan data siswa tertentu yang memerlukan bimbingan
dan penyuluhan (BP).
5. Bahan pertimbangan pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi
pengembangan kurikulum, metode dan alat-alat PBM.
1.3 Macam – macam Evaluasi dan Prestasi Belajar
Ragam evaluasi ini, sangat penting pada prinsipnya untuk dijadikan evaluasi
hasil belajar yang merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan, yakni mulai
yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
Pre-test dan Post-test
Pre-test, kegiatan atau aktifitas yang dilakukan guru secara rutin pada setiap akan
memulai penyajian materi baru, tujuannya adalah untuk mengindentifikasi taraf
pengetahuan siswa mengenai bahan yang akan disajikan. Sedangkan Post-test, adalah
kebalikan dari pre-test yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan guru pada setiap
akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa
atas materi yang telah diajarkan.
Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pre-test. Tujuannya adalah untuk
mengidentifikasi penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang
akan diajarkan.
Evaluasi Diagnostik
Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan
tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa, dan
instrumen evaluasi jenis ini dititik beratkan pada bahasan tertentu yang dipandang
sebagai jalan ketika siswa mendapatkan kesulitan.
Evaluasi Formatif
Evaluasi jenis ini dapat dipandang sebagai “Ulangan umum” yang dilakukan pada
setiap akhir penyajian satuan pelajaran atau modul, tujuannya ialah untuk
memperoleh umpan balik yang mirip dengan evaluasi diagnostic, yakni untuk
mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan) kesulitan belajar siswa.
Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif ini, dan juga dapat dianggap sebagai “Ulangan umum” yang
dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir
periode pelaksanaan program pengajaran evaluasi ini, lazim dilakukan pada setiap
akhir semester atau akhir tahun ajaran.
Ujian Akhir Nasional (UAN)
Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dulu disebut EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir
Nasional) pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat
penentu kenaikan status siswa, namun UAN yang diberlakukan mulai tahun 2002 itu
dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang
SD/MI, SLTP/MTs, dan sekolah-sekolah menengah, yakni SMA dan sebagainya.
1.4 Faktor – faktor Prestasi Belajar
Pada prinsipnya indikator prestasi belajar merupakan faktor pengungkapan hasil
belajar ideal logis yang harus di data sesuai dengan ukuran yang diperoleh siswa,
yaitu dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat dan valid. Dalam
hal ini perubahan sangat penting dan diharapkan dan mencerminkan perubahan yang
terjadi sebagai hasil belajar siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang
berdimensi karsa.
Adapun komponitas yang mempengaruhi prestasi belajar sebagai berikut :
a. Faktor intern
Faktor intern yaitu berkaitan dengan perkembangan dan keadaan jasmani, baik
kesehatan, kekuatan belajar, konsentrasi belajar, kemampuan panca indera,
sebagaimana yang dinyatakan oleh Sujanto “Semakin banyak alat indera yang
berfungsi, semakin banyak pesan yang dapat ditangkap.
b. Faktor Ekstern
Faktor Ekstern yaitu faktor dari luar individu yang terdiri dari faktor sosial
dan faktor non sosial. Faktor sosial meliputi kepribadian guru, status sosial
anak, situasi sosial ekonomi dan kontak dengan orang tua.
1.5 Lupa dan Kejenuhan Belajar
1. Peristiwa lupa dalam belajar
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi
kembali apa - apa yang sebelumnya kita pelajari. Witting (1981) menyimpulkan
berdasarkan penelitian, peristiwa lupa yang di alami seseorang tak mungkin di
ukur secara langsung. (Long term memory) akan terus dimiliki sesorang dan bukan
berarti ketika lupa ingatan-ingatan itu hilang begitu saja.
a. Faktor-faktor penyebab lupa
Pertama, lupa dapat terjadi karena ganguan konflik antara item-item
informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam teori
mengenai ganguan, ganguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu;
1. Proactive interference
2. Retroactive interference (Reber 1988; best, 1989; Anderson, 1990).
Kedua, Lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan
terhadap item yang telah ada baik sengaja atau tidak. Penekanan ini terjadi
karena beberapa kemungkinan, yaitu:
1. Karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dsb) yang
diterima siswa kurang menyenangkan.
2. Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi
yang telah ada, jadi sama dengan fenomena retro aktif.
Ketiga, Lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi
lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali.
Keempat, Lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa
terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
Kelima, menurut law of disuce (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat
terjadi karena materi pelajaran yang telah di kuasai tidak pernah digunakan
atau di hafalkan siswa.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf
otak.
1.6 Macam – macam Kiat mengurangi lupa dalam belajar
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siwa. Banyak ragam kiat yang dapat di coba siswa dalam meningkatkan daya ingatnya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990) adalah sebagai berikut: Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas
penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu
belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktifitas belajar. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari .
Mnemonic device (muslihat memori) yaitu upaya yang dijadikan alat pengait mentaluntuk mamasukkan item-item informasi kedalam sistem akal siswa. Macam-macam Mnemonic device : a. Rima (Rhyme) yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri dari
atas kata dan istilah. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya jika diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan.
b. Singkatan yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah. Misalnya
untuk menghafal bacaan idgham bighunnah dalam ilmu tajwid dengan menggunakan
singkatan ”yanmu”.
c. Sistem kata pasak (peg word system) yakni sejenis teknik mnemonik yang
menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya telah dikuasai sebagai pasak
(paku) pengait memori baru yang dibentuk berpasangan seperti panas- api.
d. Metode losai (method of loci) yaitu kiat mnemonik yang menggunakan tempat-
tempat khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kota dan istilah
tertentu.
Misalnya nama ibu kota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama
negara itu (Gerorge washington).
e. Clustering (pengelompokkan), ialah menata ulang item – item materi menjadi
kelompok – kelompok kecil yang dianggap lebih logis dalam arti bahwa item –
item tersebut memiliki signifikansi dan lafal yang sama atau sangat mirip.
1.7 Peristiwa Jenuh Dalam Belajar
a. Definisi Jenuh
Secara harfiah, arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi
memuat apapun. Selain itu, disamping siswa sering mengalami kelupaan, ia juga
terkadang mengami peristiwa negatif lainya yang disebut jenuh belajar yang dalam
bahasa psikologi lazim disebut learning plateau .
Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar,
tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber 1988). Seorang siswa yang sedang alam
keadan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan dalam
memproses item-item informasi atau pengalaman baru, sehingga kemajuan bejarnya
seakan-akan “jalan ditempat”
b. Faktor Penyebab dan Cara Mengatasi Kejenuhan Belajar
Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila ia telah kehilangan motivasi
dan kehilangan konsolodasi salah satu tingkat keterampilan beritanya, (1972)
selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena proses belajar siswa telah sampai
pada batas kemampuan jasmaninya karena bosan, penyebab kejenuhan yang paling umum
adalah keletihan yang melanda siswa, karna keletihan dapat penyebab munculnya
perasaan bosan pada siwa yang bersangkutan.
Menurut Cross (1274) dalam bukunya The Psychology Of Learning, keletihan
siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam yaitu :
1. Keletihan indera siswa
2. Keletihan fisik siswa
3. Keletihan mental sisiwa
Ada beberapa faktor yang menyebabkan keletihan mental yaitu :
a. Kecemasan seseorang terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan
itu sendiri.
b. Kekhawatiran seseorang akan ketidakmampuannya mencapai standar keberhasilan
bidang-bidang studi yang dianggapnya terlalu tinggi terutama ketika seseorang
tersebut sedang merasa bosan mempelajari bidang - bidang studi tersebut.
c. Persaingan yang ketat yang menuntut belajar keras.
d. Keyakinan yang tidak sama antara standar akademik minimum dengan standar yang
ia buat sendiri.
Diantara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah
sindrom pisikologis berupa learning disability (ketidak mampuan belajar) yang
menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas :
1. Disleksia, ketidak mampuan belajar membaca
2. Disgrafia, ketidak mampuan belajar menulis
3. Diskalkulia, ketidak mampuan belajar matematika
Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi
mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan
ringan pada otak.
Cara – cara Mengatasi kejenuhan dalam Belajar
Ada beberapa cara untuk menanggulangi jenuh belajar yaitu:
a. Istirahat dan mengkonsumsi makanan yang bergizi dengan takaran yang cukup
banyak.
b. Menjadwal dengan baik proses belajarnya.
c. Menata kembali lingkungan belajarnya meliputi pengubahan posisi meja tulis,
lemari, rak buku, alat-alat perlengkapan belajar dan sebagainya sampai
memungkinkan siswa merasa berada di sebuah kamar baru yang lebih menyenangkan
untuk belajar.
d. Memberi stimulasi baru dan motivasi agar siswa merasa terdorong untuk belajar
lebih giat dari pada sebelumnya.
e. Membuat kegiatan yang menimbulkan keaktifan siswa dengan cara mencoba belajar
dan belajar lagi.
TEORI KEPRIBADIAN ALFRED ADLER
A. Pokok-pokok Teori Alfred Adler
1. Individualitas sebagai Pokok Persoalan
Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu
individualitas, kebulatan serta sifat-sifat pribadi manusia. Menurut Adler tiap
orang adalah suatu konfigurasi motif-motif, sifat-sifat, serta nilai-nilai yang
khas, tiap tindak yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak khas gaya
kehidupannya yang bersifat individual.
2. Pandangan Teleologis : Finalisme Semu
Adler menemukan gagasan bahwa manusia lebih didorong oleh harapan-harapannya
terhadap masa depan daripada pengalaman-pengalaman masa lampaunya. Tiap orang
mempunyai Leitlenie, yaitu rancangan hidup rahasia yang tak disadari, yang
diperjuangkannya terhadap segala rintangan. Tujuan yang ingin dikejar manusia itu
mungkin hanya suatu fiksi, yaitu suatu cita-cita yang tak mungkin direalisasikan,
namun kendatipun demikian merupakan pelucut yang nyata bagi usaha manusia, dan
karenanya juga merupakan sumber keterangan bagi tingkah lakunya. Menurut Adler
orang yang normal dapat membebaskan diri akhirnya dari fiksi ini, sedangkan orang
yang neurotis tidak mampu membebaskan diri.
3. Dua Dorongan Pokok
Di dalam diri manusia terdapat dua dorongan pokok, yang mendorong serta
melatarbelakangi segala tingkah lakunya, yaitu :
a. Dorongan kemasyarakatan yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada
masyarakat,
b. Dorongan keakuan, yang mendorong manusia bertindak yang mengabdi kepada aku sendiri.
4. Rasa Rendah Diri dan Kompensasi
Menurut Adler pengertian rasa rendah diri adalah mencakup segala rasa kurang berharga
yang timbul karena ketidakmampuan psikologis atau sosial yang dirasa secara subyektif,
ataupun karena keadaan jasmani yang kurang sempurna. Adler menyatakan inferioritas yaitu
rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau
kurang mampu dalam bidang penghidupan apa saja. Misalnya saja anak merasa kurang jika
membandingkan diri dengan orang dewasa, dan karenanya didorong untuk mencapai taraf
perkembangan yang lebih tinggi, dan apabila dia telah mencapai taraf perkembangan itu
timbul lagi rasa diri kurangnya dan didorong untuk maju lagi, demikian selanjutnya.
Tetapi dalam keadaan normal rasa rendah diri itu merupakan pendorong ke arah kemajuan
atau kesempurnaan.
5.Dorongan Kemasyarakatan
Dorongan untuk membantu masyarakat guna mencapai tujuan masyarakat yang sempurna. Dalam
hubungan ini Adler menyatakan “sosial interest is true and inevitable compensation for all
the natural weaksesses of individual human being” (Adler, 1929, p.31).
Dorongan kemasyarakatan itu adalah dasar yang dibawa sejak lahir, pada dasarnya
manusia adalah makhluk sosial. Namun sebagaimana lain-lain kemungkinan bawaan,
kemungkinan mengabdi kepada masyarakat itu tidak nampak secara spontan, melainkan harus
dibimbing dan dilatih.
Jadi apabila diikuti teori Adler dapat digambarkan demikian :
( 1 ) mula-mula manusia dianggap didorong oleh dorongan untuk mengejar kekuatan dan
kekuasaan sebagai lantaran untuk mencapai kompensasi bagi rasa rendah dirinya.
( 2 ) Selanjutnya manusia dianggapnya didorong oleh dorongan kemasyarakatan yang dibawa
sejak lahir yang menyebabkan dia menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi.
Menurut Adler “dorongan untuk berkuasa, memainkan peran terpenting dalam perkembangan
kepribadian” (Adler, 1946, p. 145.)
6. Gaya Hidup, Leitlinie
Menurut Adler gaya hidup adalah prinsip yang dapat dipakai landasan untuk memahami
tingkah laku seseorang. Inilah yang melatarbelakangi sifat khas seseorang. Tiap orang
mempunyai gaya hidup masing-masing. Tiap orang mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai
superioritas, namun caranya untuk mengejar tujuan itu boleh dikata tak terhingga
banyaknya, ada yang dengan mengembangkan akalnya, ada yang melatih otot-ototnya,dll.
Menurut Adler gaya hidup ini ditentukan oleh inferioritas yang khusus, jadi gaya hidup
itu adalah suatu bentuk kompensasi terhadap kekurangsempurnaan tertentu.
7. Diri yang Kreatif
Diri yang kreatif adalah penggerak utama, pegangan filsafat, sebab pertama bagi semua
tingkah laku. Sukarnya menjelaskan persoalan ini ialah karena orang tak dapat menyaksikan
secara langsung akan tetapi hanya dapat menyaksikan lewat manifestasinya. Inilah yang
mengantarai antara perangsang yang dihadapi individu dengan response yang dilakukannya.
Diri yang kreatif inilah yang memberi arti kepada hidup, yang menetapkan tujuan serta
membuat alat untuk mencapainya.
B. ARTI PSIKOLOGI INDIVIDUAL
Arti psikologi Adler mempunyai arti yang penting sebagai cara untuk memahami tingkah
laku manusia. Pengertian seperti gambran semu, rasa rendah diri, kompensasi, gaya hidup,
diri yang kreatif, memberi pedoman yang penting untuk memahami sesama manusia. Teori
Adler ini punya arti yang sangat penting, karena hal-hal berikut ini.
( 1 ) Penentuan tujuan-tujuan yang susila, seperti :
a) Keharusan memikul tanggung jawab,
b) Keberanian menghadapi kesukaran-kesukaran hidup,
c) Mengikis dorongan keakuan dan mengembangkan dorongan kemasyarakatan,
d) Menyelami diri sendiri dan membuka kecenderungan-kecenderungan egoistis yang
tersembunyi.
( 2 ) Optimismenya dalam bidang pendidikan.
C. PENGARUH ADLER
Di Amerika teori Adler meluas berkat adanya “The American Society of Individual
Psychology”. Di Eropa sendiri murid-murid dan pengikutnya cukup banyak,salah satu
diantara mereka adalah Fritz Kunkel dengan karya utamanya : Einfuhrung in die
Charakterkunde. Kankel berpegang teguh kepada dasar pemikiran Adler. Secara ringkas
pendapat Kunkel itu adalah :
1. Dua Dorongan Pokok
Seperti Adler, Kunkel berpendapat bahwa kehidupan jiwa adalah dinamis, dan dinamika ini
dikarenakan oleh adanya dua dorongan yang saling bertentangan yaitu :
( 1 ) Dorongan keakuan (Inchhaftigkeit atau Unsachlichkeit) dorongan untuk mengabdi kepada
aku (diri sendiri).
( 2 ) Dorongan kekitaan (Wirhaftigkeit atau Sachlichkeit) dorongan untuk mengabdi kepada
kita (Umum, dunia luar dirinya).
2. Termometer Penilaian Diri
Saling berhubungan antara kedua dorongan pokok dalam diri manusia itu digambarkan
dalam”termometer penilaian diri”.
Pengantar Teori Adlerian
Teori Adler memiliki pengaruh besar terhadap pakar psikologi selanjutnya, seperti Harry Stuck Sullivan, Karen Horney, Jullian Rotter, Abraham Maslow, Carl Rogers, Albert Ellis, Rollo May, dan lain-lain. Namun, nama Adler kurang dikenal luas, dibandingkan Freud atau Jung. Hal ini disebabkan karena : (1) Adler tidak mendirikan organisasi yang dijalankan dengan kuat untuk mengabadikan teorinya ; (2) Adler bukan penulis yang berbakat dan sebagian besar bukunya dikumpulkan oleh beberapa editor menggunakan bahan pengajaran Adler yang tersebar dimana-mana ; (3) Banyak dari pandangan Adler yang tergabung dalam karya teoretikus selanjutnya, seperti Maslow, Rogers, dan Ellis, sehinggapandangan tersebut tidak lagi diasosiasikan dengan nama Adler.
Tulisan-tulisan Adler mengungkapkan pandangan mendalam terhadap kedalaman dan kompleksitas kepribadian manusia, namun, Adler menyusun teori yang sederhana. Adler menyatakan bahwa manusia lahir dengan kondisi tubuh yang lemah dan inferior.Kondisi ini menyebabkan perasaan inferior, dan ketergantungan kepada orang lain. Oleh karena itu, perasaan menyatu dengan orang lain sudah menjadi sifat manusia dan standar akhir untuk sehat secara psikologis.
Dalam teori Psikologi Individual Adler, ada beberapa prinsip yang melatarbelakangi teori ini, yaitu :
1. Striving for success or superiority. Prinsip ini menyatakan bahwa kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas. Adler mereduksi semua motivasi menjadi satu dorongan tunggal, yaitu berjuang meraih keberhasilan atau superioritas. Tentu kita masih ingat dengan kisah Adler di atas mengenai kondisi fisik yang lemah dan persaingan dengan kakak laki-lakinya. Oleh sebab itu, Psikologi Individual mengajarkan bahwa seseorang memulai hidupnya dengan kelemahan fisik yang mengakibatkan perasaan inferior. Perasaan inferior ini lah yang akhirnya mendorong seseorang untuk berjuang meraih superioritas atau keberhasilan. Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang meraih superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis akan berjuang meraih keberhasilan untuk semua manusia. Pada awalnya, Adler meyakini bahwa AGRESI adalah kekuatan dinamis dari motivasi. Namun, ia tidak puas dengan istilah itu. Kemudian ia menggunakan istilah MASCULINE PROTEST, yang berarti keinginan menguasai atau mendominasi orang lain. Dan pada akhirnya, ia menggunakan istilah berjuang untuk meraih keberhasilan dan superioritas. Tanpa memperhatikan motivasi, Adleryakin bahwa setiap orang dikendalikan oleh tujuan akhir.
Adler yakin bahwa manusia berjuang demi sebuah tujuan akhir, baik superioritas pribadi ataupun keberhasilan untuk semua umat manusia. Tujuan akhir ini memiliki makna karena dapat mempersatukan kepribadian dan membuat semua perilaku dapat dipahami.Setiap orang mampu menciptakan tujuan sesuai pribadi, karena faktor keturunan atau lingkungan. Dalam perjuangan mencapai tujuan akhir, manusia menciptakan dan mengejar banyak tujuan awal. Ketika tujuan akhir diketahui, maka semua tindakan menjadi jelas dan memiliki makna yang penting. Berjuang meraih superioritas
pribadi itu muncul tanpa memperhatikan orang lain dan dimotivasi oleh perasaan inferior berlebihan (inferiority complex). Misalnya, pembunuh, pencuri, atau penipu. Sedangkan, berjuang meraih keberhasilan untuk semua umat manusia itu muncul karena minat sosial, menolong orang lain, dan mampu melihat orang lain bukan sebagai lawan, melainkan sebagai pihak yang dapat diajak bekerjasama untuk kepentingan sosial.
2. Subjective perception. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam mengatasi perasaan inferiornya, maka seseorang akan berjuang. Namun, sikap juang yang muncul tidak ditentukan oleh kenyataan, melainkan oleh persepsi subjektif akan kenyataan, yaitu oleh fiksi atau harapan masa depan. Fiksi adalah gagasan yang tidak berbentuk nyata.Misalnya, manusia memiliki kehendak bebas untuk membuat pilihan-pilihan. Contoh inimenunjukkan bahwa setiap orang seolah-olah memiliki kehendak bebas dan bertanggung jawab atas pilihan mereka, walaupun tidak ada yang dapat membuktikan bahwa kehendak bebas itu nyata.
3. Self consistent. Prinsip ini menyatakan bahwa kepribadian itu menyatu dan memiliki konsistesi diri. Sehingga pikiran, perasaan, dan tindakan mengarah kepada satu tujuan. Ada dua cara untuk mengenali kesatuan dan konsistensi diri manusia, yaitu : (a) Bahasa Organ. Gangguan terhadap satu bagian tubuh tidak dapat dilihat secara terpisah, karena hal ini mempengaruhi keseluruhan diri seseorang. Melalui bahasa organ, organ tubuh akan berbicara dengan ekspresif dan mengungkapkan pikiran seseorang dengan lebih jelas daripada yang diungkapkan dengan kata-kata ; (b) Kesadaran dan Ketidaksadaran. Kepribadian yang menyatu adalah keserasian antara tindakan dan pikiran sadar-tidak sadar.
4. Social interest. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai dari semua aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang minat sosial. Minat sosial adalah perasaan menjadi satu dengan umat manusia. Seseorang dengan minat sosial yang berkembang dengan baik, tidak akan berjuang untuk superioritas pribadi, tetapi untuk kesempurnaan semua umat manusia. Minat sosial ini termanifestasi dalam bentuk kerjasama dengan orang lain untuk kemajuan sosial. Minat sosial berasal dari potensi bawaan manusia, yang harus dikembangkan kemudian. Minat sosial merupakan ukuran tunggal Adler untuk mengukur kesehatan psikologis. Sebagai barometer kenormalan, maka minat sosial adalah standar yang digunakan untuk menentukan seberapa bermanfaatnya hidup seseorang. Orang yang memiliki minat sosial akan dianggap dewasa secara psikologis.
5. Style of life. Prinsip ini menyatakan bahwa struktur kepribadian yang konsisten danmenyatu akan berkembang menjadi gaya hidup seseorang. Gaya hidup menunjukkan selera hidup seseorang, yang mencakup tujuan, konsep diri, perasaan terhadap orang lain, dan sikap terhadap dunia. Gaya hidup merupakan interaksi antara faktor keturunan atau bawaan lahir, lingkungan, dan daya kreatif yang dimiliki seseorang.Gaya hidup seseorang terbentuk pada saat seseorang mencapai usia empat atau lima tahun. Setelah masa tersebut, semua tindakan manusia berputar di sekitar gaya hidup yang sudah terbentuk itu. Individu yang tidak sehat secara psikologis menjalani hidup dengan tidak fleksibel, yaitu tidak mampu memilih cara baru dalam bereaksi dengan lingkungan. Sedangkan, orang yang sehat secara psikologis, akan berperilaku dengan cara yang berbeda, fleksibel dalam gaya hidup yang kompleks, selalu berkembang, dan berubah. Manusia yang sehat melihat banyak cara dalam meraih
keberhasilan, dan terus menerus mencari cara untuk menciptakan pilihan-pilihan barudalam hidup mereka.
6. Creative power. Prinsip ini menyatakan bahwa gaya hidup dibentuk oleh daya kreatif yang ada dalam diri manusia. Adler meyakini bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk menciptakan gaya hidupnya sendiri. Pada akhirnya, setiap orang akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Daya kreatif yang manusia miliki akan membantu manusia mengendalikan kehidupan mereka, bertanggung jawab akan tujuan akhir, menentukan cara mereka pakai untuk meraih tujuan, dan berperan dalam membentuk minat sosial. Daya kreatif adalah konsep dinamis yang menggambarkan pergerakan, dan pergerakan ini adalah karakteristik hidup yang paling penting. Kepribadian seseorang terbentuk karena faktor keturunan dan lingkungan. Manusia adalah makhluk kreatif yang tidak hanya bereaksi terhadap lingkungan, namun melakukan tindakan dan menyebabkan lingkungan bereaksi terhadap mereka. Dengan kata lain,manusia adalah arsitek bagi dirinya sendiri, yang dapat membangun gaya hidup yang berguna atau tidak berguna.
Perkembangan Abnormal
Setelah memahami karakteristik orang yang sehat secara psikis, kita juga akan memahami orang yang tidak sehat secara psikis atau abnormal. Salah satu karakteristik orang yang abnormal adalah orang yang tidak mampu menyesuaikan diri. Ketidakmampuan menyesuaikan diri disebabkan oleh minat sosial yang tidak berkembang, menetapkan tujuan yang terlalu tinggi, hidup dalam dunia sendiri, memiliki gaya hidup yang kaku dan dogmatis. Dengan kata lain, manusia akan gagal dalam hidup jika terlalu berfokus pada diri sendiri dan tidak memperhatikan orang lain. Adler meyakini bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tidak mampu menyesuaikan diri, yaitu:
1. Kelemahan fisik yang berlebihan. Setiap orang lahir dengan kelemahan fisik,baik karena faktor keturunan, kecelakaan, atau penyakit. Kondisi ini tidak cukup untuk menyebabkan seseorang menjadi tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik. Hal ini harus didukung oleh perasaan inferior yang menonjol dan berlebihan. Mereka cenderung berusaha keras untuk melakukan kompensasi terhadap kelemahan mereka, cenderung menjadi tidak peduli pada diri sendiri, dan kurang memperhatikan keadaan orang lain. Perasaan inferior ini mengalahkan keinginan mereka untuk mencapai keberhasilan. Mereka yakin bahwa masalah utama dalam hidup hanya dapat diselesaikan hanya dengan sikap mementingkan diri sendiri.
2. Gaya hidup manja. Gaya hidup manja banyak terdapat dalam diri orang yang neurotis. Orang yang manja memiliki minat sosial yang lemah. Mereka mengharapkan orang lain untuk merawat, melindungi, dan memuaskan kebutuhan mereka. Karakteristik menonjol dari orang yang manja adalah putus asa berlebihan, mudah bimbang, oversensitif, tidak sabar, atau cemas berlebihan. Orang manja selalu memandang dunia sekitarnya dengan sudut pandangnya sendiri. Mereka yakin bahwa mereka berhak untuk selalu menjadi orang yang pertama dari segalanya. Orang yang manja memiliki orangtua yang menunjukkan kurangnya kasih sayang. Artinya, orangtua tersebut melakukan terlalu banyak untuk anaknya, dan menganggap anak tersebut tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri. Anak-anak dengan orangtua yang seperti ini menyebabkan anaknya merasa dimanja, dan membentuk perilaku dan gaya hidup yang manja.
3. Gaya hidup terabaikan. Orang dengan gaya hidup terabaikan adalah orang yang diabaikan, sehingga merasa tidak dicintai, tidak diinginkan, dan pada akhirnya membentuk gaya hidup yang terabaikan. Selain diabaikan, anak yang disiksa dan diperlakukan tidak adil, memiliki minat sosial yang rendah, dan cenderung menciptakan gaya hidup terabaikan. Orang-orang yang seperti ini akan merasa tidak percaya diri, tidak percaya pada orang lain, tidak mampu bekerjasama, merasa terasing dari orang lain, dan mengalami rasa iri terhadap keberhasilan orang lain.
4. Kecenderungan untuk melindungi. Adler yakin bahwa manusia menciptakan perilaku melindungi perasaan akan harga diri mereka terhadap rasa malu di muka umum. Alat perlindungan ini disebut KECENDERUNGAN UNTUK MELINDUNGI. Konsep ini sama dengan konsep Freud mengenai mekanisme pertahanan diri. Namun, ada perbedaan di antara kedua konsep tersebut. Konsep Adler mengenai perlindungan terhadap diri itu dilakukan secara sadar. Sedangkan konsep Freud mengenai mekanisme pertahanan diri itu dilakukan secara tidak sadar. Ada tiga bentuk kecenderungan untuk melindungi diri menurut Adler, yaitu :
a. MEMBUAT ALASAN. Membuat alasan adalah bentuk paling umum dari melindungi diri. Hal ini menunjukkan bahwa orang menyatakan sesuatu yang akan mereka lakukan, namun diikuti dengan alasan.
b. AGRESI. Adler yakin bahwa orang menggunakan agresi untuk melindungi superioritas berlebihan dan harga diri yang rapuh. Perlindungan diri melalui agresi dapat berbentuk : (1) Depreciation, adalah kecenderungan untuk menilai rendah hasil pencapaian orang lain dan meninggikan penilaian terhadap diri sendiri ; (2) Accusation, yaitu kecenderungan untuk mendakwa atau menyalahkan orang lain untuk kegagalan seseorang dan untuk membalas dendam demi melindungi harga diri yang lemah ; (3) Self Accusation, yaitu menyiksa diri sendiri dan memenuhi diri sendiri dengan perasaan bersalah.
c. MENARIK DIRI. Kepribadian seseorang akan berhenti berkembang jika ia lari dari kesulitan atau menarik diri atau membuat jarak. Ada empat cara dalam menarik diri, yaitu : (1) Moving Backward, yaitu kecenderungan bergerak mundur pada periode kehidupan yang lebih aman dan nyaman. Konsep ini sama dengan konsep regresi pada Freud ; (2) Standing Still, yaitu kecenderungan untuk tidak bergerak ke arah manapun dan menghindari semua tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Dengan tidak melakukan apapun, orang akan melindungi harga diri dan melindungi diri dari kegagalan ; (3) Hasitating, yaitu kecenderungan ragu-ragu ketika dihadapkan pada masalahyang sulit ; (4) Constructing Obstacles, yaitu kecenderungan untuk membangun penghalang.
Penerapan Psikologi Individual
Penerapan praktis dari Psikologi Individual terbagi dalam empat area, yaitu :
1. Konstelasi Keluarga. Konstelasi keluarga mencakup urutan kelahiran, gender dari saudara kandung, dan rentang usia di antara mereka. Konstelasi keluarga menjadi hal yang sangat penting bagi Adler, karena ia membuat hipotesis mengenai urutan kelahiran. Menurut Adler, anak sulung memiliki perasaan berkuasa, superioritas yang kuat, kecemasan tinggi, dan kecenderungan overprotektif. Jika anak sulung berusia tigatahun atau lebih ketika adiknya lahir, maka mereka akan menggabungkan peristiwa ini ke dalam gaya hidup sebelumnya yang telah terbentuk. Jika
gaya hidupnya adalah berpusat pada diri, maka kemungkinan ia akan mengembangkan permusuhan dan kemarahan pada adiknya yang baru lahir. Namun, jika gaya hidupnya adalah kerjasama, maka ia akan menerima adiknya tersebut. Sebaliknya jika anak sulung mendapat adik ketika usia kurang dari tiga tahun, maka kemarahan dan sikap permusuhan terjadi secara tidak sadar. Sikap ini akan lebih sulit diubah di kehidupan selanjutnya. Anak kedua, memulai hidup dalam situasi yang lebih baik untuk membentuk kerjasama dan minat sosial. Sampai usia tertentu, kepribadian anak kedua akan dibentuk oleh persepsi mereka terhadap sikap anak sulung kepadanya. Jika sikap anak sulung bermusuhan, maka anak kedua akan cenderung menjadi kompetitif atau kecil hati. Anak bungsu, memiliki resiko menjadi anak bermasalah, perasaan inferior yang kuat, dan kurang mandiri. Namun mereka memiliki kelebihan, yaitu motivasi tinggi dibanding kakaknya dan ambisius. Anak tunggal, memiliki kecenderungan bersaing dengan orangtuanya, membentuk rasa superioritas yang tinggi, memiliki konsep diri yang besar, kurang memiliki sikap kerjasama, minat sosial, bersikap parasit, berharap orang lain untuk memanjakan dan melindungi mereka.
2. Ingatan Masa Kecil. Adler menyatakan bahwa ingatan masa kecil konsisten dengan gayahidup saat ini. Misalnya, ingatan Adler tentang masa kecil mengenai kakaknya yang sehat, sedangkan ia sering sakit. Ingatan ini menunjukkan kepada kita bahwa Adler memandang dirinya sebagai orang yang lemah, namun mampu bersaing melawan musuh yang kuat.Musuh itu merujuk kepada penyakitnya. Di sisi lain, ingatan ini menunjukkan kepadakita bahwa Adler menerima pertolongan orang lain yang dapat membuatnya memiliki rasa percaya diri untuk melawan penyakitnya.
3. Mimpi. Mimpi memang tidak dapat meramalkan masa depan, namun dapat menjadi petunjukuntuk memahami dan mengatasi masalah di masa depan. Setiap interpretasi mimpi sebaiknya bersifat sementara dan dapat diinterpretasi ulang.
4. Psikoterapi. Teori Adler menyatakan bahwa psikopatologi berasal dari kurangnya keberanian, perasaan inferior berlebihan, dan minat sosial yang tidak berkembang. Sehingga tujuan utama psikoterapi Adlerian adalah menumbuhkan rasa berani, memperkecil perasaan inferior, dan menumbuhkan minat sosial. Dalam melakukan psikoterapi, Adler menetapkan dirinya sebagai teman kerja yang menyenangkan, menahan diri untuk memberi nasihat berlebihan, menjunjung nilai pada hubungan antar manusia.
Faktor-faktor penentu kepribadian
Faktor keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetika seorang individu.[1] Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu.[1]
Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang.[1] Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. [1] Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.[1] Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.[1]
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktorketurunan.[3] Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan.[3] Temuan ini mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.[3]
Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah.[4] Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan faktor genetis.[1] Penelitian ini juga memberi kesan bahwa lingkungan pengasuhan tidak begitu memengaruhi perkembangan kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudara-saudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama.[1]
Faktor lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang manusia dapat alami.[1] Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang.[1] Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh pada kulturyang lain.[1] Misalnya, orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistem sekolah, keluarga, dan teman, sehingga orang-orang tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkandalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier.[1]
Faktor Mempengaruhi Perubahan KepribadianSelasa, 9 Februari 2010 · 09:53 WIB
Faktor yang mempengaruhi perubahan dan dinamika kepribadian seseorang di pengaruhi oleh
banyak faktor. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya mengenai pengertian dari
kepribadian di artikel sebelumnya (klik disini untuk membacanya), maka, meskipun
mengalami perubahan, kepribadian merupakan karakteristik yang relatif stabil.
Dalam buku Psikologi Pendidikan oleh H. Jaali pada tahun 2007, perubahan dalam
kepribadian tidak bisa terjadi secara spontan, tetapi merupakan hasil pengamatan,
pengalaman, tekanan dari lingkungan sosial budaya, rentang usia dan faktor-faktor dari
individu:
Pengalaman Awal
Sigmund Freud menekankan tentang pentingnya pengalaman awal (masa kanak kanak) dalam
perkembangan kepribadian. Trauma kelahiran, pemisahan dari ibu adalah pengalaman yang
sulit dihapus dari ingatan.
Pengaruh Budaya
Dalam menerima budaya anak mengalami tekanan untuk mengembangkan pola kepribadian yang
sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya.
Kondisi Fisik
Kondisi fisik berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kepribadian seseorang.
Kondisi tubuh meentukan apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan
seseorang. Secara tidak langsung seseorang akan merasakan tentang tubuhnya yang juga
dipengaruhi oleh perasaan orang lain terhadap tubuhnya. Kondisi fisik yang mempengaruhi
kepribadian antara lain adalah kelelahan, malnutrisi, gangguan fisik, penyakit menahun,
dan gangguan kelenjar endokrin ke kelenjar tiroid (membuat gelisah, pemarah, hiperaktif,
depresi, tidak puas, curiga, dan sebagainya).
Daya Tarik
Orang yang dinilai oleh lingkungannya menarik biasanya memiliki lebih banyak
karakteristik kepribadian yang diinginkan dari pada orang yang dinilai kurang menarik,
dan bagi mereka yang memiliki karakteristik menarik akan memperkuat sikap sosial yang
menguntungkan.
Inteligensi
Perhatian lebih terhadap anak yang pandai dapat menjadikan ia sombong, dan anak yang
kurang pandai merasa bodoh. Apabila berdekatan dengan orang yang pandai tersebut, dan
tidak jarang memberikan perlakuan yang kurang baik.
Emosi
Ledakan emosional tanpa sebab yang tinggi dinali sebagai orang yang tidak matang.
Penekanan ekspresi emosional membuat seseorang murung dan cenderung kasar, tidak mau
bekerja sama dan sibuk sendiri.
Nama
Walaupun hanya sekedar nama, tetapi memiliki sedikit pengaruh terhadap konsep diri, namun
pengaruh itu hanya terasa apabila anak menyadari bagaimana nama itu mempengaruhi orang
yang berarti dalam hidupnya. Nama yang dipakai memanggil ,mereka (karena nama itu
mempunyai asosiasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dalam pikiran orang lain)
akan mewarnai penilainya orang terhadap dirinya.
Keberhasilan dan Kegagalan
Keberhasilan dan kegagalan akan mempengaruhi konsep diri, kegagalan dapat merusak konsep
diri, sedangkan keberhasilan akan menunjang konsep diri itu.
Penerimaan Sosial
Anak yang diterima dalam kelompok sosialnya dapat mengembangkan rasa percaya diri dan
kepandaiannya. Sebaliknya anak yang tidak diterima dalam lingkungan sosialnya akan
membenci orang lain, cemberut, dan mudah tersinggung.
Pengaruh Keluarga
Pengaruh keluarga sangat mempengaruhi kepribadian anak, sebab waktu terbanyak anak adalah
keluarga dan di dalam keluarga itulah diletakkan sendi sendi dasar kepribadian.
Perubahan Fisik
Perubahan kepribadian dapat disebabkan oleh adanya perubahan kematangan fisik yang
mengarah kepada perbaikan kepribadian. Akan tetapi, perubahan fisik yang mengarah pada
klimakterium dengan meningkatnya usia dianggap sebagai suatu kemunduran menuju ke arah
yang lebih buruk.
Sebenarnya masih banyak lagi hal hal yang mempengaruhi kepribadian, tetapi tidak dapat
seluruhnya disampaikan di sini mengingat keterbatasan keterbatasan yang ada.
TRANSFER BELAJAR
PENGERTIAN TRANFER BELAJAR
Menurut L.D. Crow dan A. Crow, transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu pengetahuan atau keterampilan, dari suatu keadaanke keadaan belajar yang lain. Pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai hasi belajar pada masa lalu seringkali mempengaruhi proses belajar yang sedang dialaminya sekarang. Tranfer dalam belajar yang biasa disebut dengan tranfer belajar (tranfer of learning) itumengandung arti pemindahan keterampilan hasil belajar dari suatu situasi ke situasi berikutnya (Reber: 1988). Kata “pemindahan keterampilan” tidak berkonotasi hilangnya keterampilan melakukan sesuatu pada masa lalu karena digantikan dengan keterampilan baru pada masa sekarang. Oleh sebab itu, definisi diatas harus dipahami sebagai pemindahan pengaruh atau pengaruh keterampilan melakukan sesuatu terhadap tercapainya keterampilan melakukan sesuatu lainnya. Setiap pemindahan pengaruh (tranfers) seperti yang disebut diatas pada umumnya selalu membawa dampak baik itu positif ataupun negatif terhadap aktifitas dan hasil pembelajaran materi pelajaran lain atau keterampilan lain.
V. TEORO-TEORI TRASFER BELAJAR
Secara umum para ahli berpendapat bahwa trasfer dalam belajar itu bisa terjadi, akan tetapi, apa yang sebenarnya hakekat trasfer itu dan bagaimana dalam belajar, Para ahli berbeda pendirian. Yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga teori yaitu:
a. Teori Disiplin Formal/Ilmu Jiwa Daya
Bertitik tolak dari anggapan bahwa jiwa manusia terdiri dari berbagai daya seperti daya ingat dan daya pikir, maka mereka beranggapan bahwa transfer belajar hanya dapat terjadi bila “diperkuat” dan “didisiplinkan” dengan latihan-latihan yang keras dan terus menerus.Setelah daya-daya tersebut terlatih maka akan mudah terjadi transfer secara otomatis ke bidang-bidang lain.
b. Teori Elemen Identik/Ilmu Jiwa Asosiasi
William James dan Edward Thorndike tidak sependapat dengan pandangan para ahli jiwa daya,kedua tokoh ini lalu mengkritik antara lain sebagai berikut:
i) Daya ingat tidak dapat diperkuat melalui latihan.
ii) Pelajaran bahasa Latin misalnya, tidak dapat menaikan IQ.
iii) Ilmu-ilmu dalam bidang tertentu (bila ditunjuk dengan istilah Ilmu Jiwa Daya mereka telah terlatih) ternyata lemah dan tidak mampu mengamati dan menganalisis dalam bidang-bidang lain, ini berarti tranfer secara oomatis tidak terjadi. Kemudian kelompok asosiasiini berpendapat bahwa transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari. Misalnya, individu yang telah lihai naik sepeda motor honda, ia tidak akan mengalami kesulitan bila mengendarai motor merk suzuki, karena sepeda motor ini mempunyaibanyak unsur yang sama, maka bila sekolah menghendaki terjadinya transfer, bahan-bahan pelajaran harus dan mempunyai unsur-unsur kesamaan dengan kehidupan masyarakat.
c. Teori Generalisasi
Peletak pandangan ini adalah Charles Judd, ia beranggapan bahwa transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola ataustruktur, tidak kesamaan unsur-unsur. Seseorang memahami prinsip demokrasi akan mampu mengamalkan dalam situasi yang berbeda, demikian pula prinsip ekonomi, hukum, pendidikan dan lain-lain. Ketiga teori diatas, sampai sekarang masih menunjukkan kebenaran, kemampuan berfikir logis sistematis, ternyata cukup membantu dibidang-bidang lain (Ilmu Jiwa Daya). Unsur-unsur yang sama atau pola-pola yang mirip bila dipahami betul orangpun tertolong dalam menghadapi situasi yang sama sekali baru (elemen identik dan generasi).
VI. RAGAM-RAGAM TRANSFER BELAJAR
Pada perkembangan awal, transfer belajar terbagi menjadi dua yaitu transfer positif dan transfer negatif. Dikatakan transfer positif, apabila membawa efek positif terhadap kegiatan belajar selanjutnya, sedangkan dikatakn transfer negatif, jika membawa efek negatif terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E. L. Thorndike, transfer positif akan terjadi apabila terjadi kesamaanelemen antara materi yang lama dengan materi yang baru. Contoh seorang siswa yang telah menguasai matematika akan mudah mempelajari statistika, seseorang yang telah mampu untuk naik sepeda maka ia akan mudah untuk belajar naik sepeda bermotor. Sedangkan trasfer negatif terjadi ketika keterampilan yang telah dikuasai menjadi penghambat belajar keterampilan lainnya. Contoh seorang yang terbiasa untuk mengetik dengan satu jari, akan mengalami kesulitan ketika harus belajar mengetik dengan sepuluh jari. Pada perkembangan selanjutnya, Gagne, seorang education psychologist membedakan transfer belajar menjadi empat kategori yaitu
1. Transfer positif
Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Tranfer ini dapat terjadi jika seorang guru membantu untuk belajar dalam situasi tertentuyang mempermudah siswa belajar dalam situasi lainnya. Dalam konteks ini, Barlow mendefinisikan transfer positif adalah belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi-situasi lain.
2. Transfer negatif
Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya.Tranfer ini dapat terjadi jika seorang siswa belajar dalam situasi tertentu yang memilikipengaruh merusak terhadap keterampilan yang dipelajari dalam situasi berikutnya.
3. Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi. Tranfer ini dapat terjadi apabila seorang siswa belajar dalam situasi yang tertentu yang dapat meyebabkan siswa tadi mampu untuk menguasai pengetahuan/keterampilan yang lebih rumit. Contohnya, ketika seorang anak SD belajar mengenai penjumlahan dan pengurangan maka ia akan lebih mudah belajar perkalian di kelas berikutnya.
4. Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat. Tansfer ini akan terjadi ketika seorang siswa telah mampu menggunakan materi yang dipelajarinya untuk mempelajari materi yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Contohnya, seorang siawa STM yang telah menguasai teknologi “X” dari sekolahnya akan mudah menggunakan teknologi itu di tempat kerjanya.
VII. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TRANSFER BELAJAR
1. Intelegensi
Individu yang lancar dan pandai biasanya segera mampu menganalisa dan dapat melihat hubungan logis, ia segera melihat unsur-unsur yang sama serta pola dasar atau kaidah hukum, sehingga sangat mudah terjadi transfer.
2. Sikap
Meskipun orang mengerti dan memahami sesuatu serta hubungannya dengan yang lain, tetapi pendirian/kecenderungannya menolak/sikap negatif, maka transfer tidak akan terjadi, dan demikian sebaliknya.
3. Materi Pelajaran
Biasanya mata pelajaran yang mempunyai daerah berdekatan akan mudah terjadi transfer. Contohnya: Matematika dengan Statistika, Ilmu Jiwa Daya dengan Sosiologi akan lebih mudahterjadi transfer.
4. Sistem Penyampaian Guru
Pendidik yang senantiasa menunjukkan hubungan antara suatu pelajaran yang sedang dipelajari dengan mata pelajaran yang lain atau dengan menunjuk kehidupan nyata yang dialami anak, biasanya akan mudah terjadi transfer.
BAB III
PENUTUP KESIMPULAN
• Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau mereproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari
• hilang ingatan adalah hilangnya kemampuan untuk mengingat atau menimbulkan kembali yangdisebabkan oleh hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
• Lupa disebabkan oleh gangguan konflik antara item-item informasi, tekanan terhadap item-item yang sudah ada baik disengaja atupun tidak, perubahan situasi lingkungan antarawaktu belajar dengan waktu mengingat kembali, perubahan sikap dan minat siswa terhadap
proses dan situasi belajar tertentu, tidak pernah digunakannya materi pelajaran yang sudah dikuasai, dan perubahan urat syaraf otak
• Lupa dapat ditangani dengan berbagai cara seperti overlearning, extra study time, mnemonic device, pengelompokan, latihan terbagi, dan pengaruh letak bersambung
• Transfer belajar adalah pemindahan-pemindahan kebiasaan berfikir, perasaan atau pekerjaan, ilmu pengetahuan atau keterampilan, dari suatu keadaan ke keadaan belajar yanglain
• Dalam teori disiplin formal, transfer belajar hanya dapat terjadi bila “diperkuat” dan “didisiplinkan” dengan latihan-latihan yang keras dan terus menerus
• Dalam teori elemen identik, transfer hanya akan terjadi bila dalam situasi yang baru terdapat unsur-unsur yang sama (identical elements) dengan situasi terdahulu yang telah dipelajari
• Dalam teori generalisasi, transfer bisa terjadi bila situasi baru dan situasi lama telah dipelajari mempunyai kesamaan prinsip, pola atau struktur, tidak kesamaan unsur-unsur
• Gagne, membedakan transfer belajar menjadi empat kategori yaitu transfer positif, transfer negatif, transfer vertikal, dan transfer lateral.
• Transfer positif yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya
• Transfer negatif yaitu transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya
• Transfer vertikal, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang lebih tinggi
• Transfer lateral, yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan yang sederajat
• Faktor-faktor penyebab transfer belajar seperti intelegensi, sikap, materi pelajaran, dan sistem penyampaian guru.
KESULITAN BELAJAR DAN ALTERNATIF PEMECAHANNYA
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai Kinerja
Akademik (Academik Performance) yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tanpak
jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan
fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat
mencolok antara siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya
ditunjukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehinga siswa yang berkemampuan
lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang
berkatagori “di luar rata-rata” itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang
memadai untuk berkembang sesuai dngan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang
disebut kesulitan belajar (learning difficlty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan
rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu,
kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal)
disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang
sesuai dengan harapan.
2.1. Faktor-Faktor Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tanpak jelas dari menurunnya
kinerja akademik atau prestasinya belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat
dibutuhkan dengan munculnya kelainan prilaku (misbehavior) siswa seperti kesulitan
berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah,
dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam.
1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri
siswa sendiri.
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal keadaan-keadaan yang datang dari luar diri
siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut dibawah ini.
A. Faktor intern siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangan fisik-fisik siswa, yakni :
1). Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi siswa;
2). Yang bersifat efektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3). Yang bersifat psikomotor (ranah klarsa), antar lain seperti terganggunya alat-alat indra
penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
B. Faktor ekstern siswa
Faktor ekstern sisiwa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini dapat dibagi tiga macam.
1. Lingkungan keluarga, contohnya: ketidak harmonisan hubungan antara ayah dengan ibu,
dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2. Lingkungan perkumpulan/masyarakat, contohnya: wilayah perkumpulan kumuh (slum area),
dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3. Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti
dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualiat rendah.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antar faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom piskologi berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrone) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang menimbulkan kesulitan belajar itu.
1. Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca.
2. Disgrafia (dysgraphia), yakni ketidakmampuan belajar menulis.
3. Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Akan tetapi, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya
memiliki potensi IQ yang normal bahkan diantaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas
rata-rata. Oleh karnanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi
mungkin hanya disebabkan oleh adanya mineral brain dysfungtion, yaitu gangguan ringan
pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).
2.2. Diagnosis Kesulitan Belajar
Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat
dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenai gejala dengan
cermat) terhadap fenomena yang menunjukan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan
“jenis penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-
langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu
yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup
terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991)
sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat prilaku menyimpang siswa ketika mengikuti
pelajaran.
2. Meringkas penglihatan dan pendengaran siswa khususnya siswa diduga mengalami
kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang
mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. Memeriksa tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat
kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan itelegasi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru
kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes IQ, guru dan orang tua siswa dapat
berhubungan dengan klinik piskologi. Dalam hal ini, yang sangat perlu dicatat ialah
apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-IQ jauh di bawah normal (tuna
grahita), orangtua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus
anak-anak tuna grahita (sekolah luar biasa), karena lembaga/sekolah bisa tidak
menyediakan tenaga pendidik dan kemudian belajar khusus anak-anak normal. Selanjutnya,
para siswa yang nyata-nyata menunjukan misbehavior berat seperti prilaku agresif yang
berpotensi anti sosial atau kecantuan narkotika, harus diperlukan secara khusus pula,
umpamanya dimasukan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke “pesantren” khusus
pencandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia,
dan diskalkulia, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher
(guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa pengidap sindrom
– sindrom tadi di samping melakukan remidial teaching (pengajaran perbaikan).
Sayangnya di sekolah - sekolah kita, tidak seperti di kebanyakan sekolah negara – negara maju, belum menyediakan guru – guru pendukung. Namun untuk mengatasi kesulitan karena tidak adanya support teachers itu orang tua siswa dapat berhubungan dengan biro konsultasi psikologi dan pendidikan yang biasanya terdapat pada pakultas psikologi dan fakultas keguruan yang terkemuka di kota – kota besar tertentu
2.3. Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar
Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting sebagai berikut.
1. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian – bagian masalah dan hubungan
antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar
yang dihadapi siswa.
2. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.
3. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran
perbaikan).
Setelah langkah – langkah di atas selesai, barulah guru melaksanakan langkah keempat, yakni melaksanakan program perbaikan.
2.4. Alat Diagnosis Kesulitan Belajar
a. Analisis hasil diagnosis
Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi
perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus yang dialami siswa yang
berprestasi rendah itu dapat diketahui secara pasti. Contoh: Badu mengalami kesulitan
khusus dalam memahami konsep kata “polisemi”. Polisemi ialah sebuah istilah yang menunjuk
kata yang memiliki dua makna atau lebih. Kata “turun”, umpamanya, dapat dipakai dalam
berbagai frase seperti turun harga, turun ranjang, turun tangan, dan seterusnya. Contoh
sebaliknya, kata “naik” yang juga dapat di pakai dalam banyak frase seperti: naik daun,
naik darah, naik banding, dan sebagainya.
b. Menentukan kecakapan bidang bermasalah
Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang – bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikatagorikan menjadi tiga macam.
1. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.
2. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua.
3. Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orang
tua.
Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik
oleh guru maupun orang tua dapat bersumber dari kasus – kasus tuna grahita (lemah mental)
dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang
bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan (unskilled people). Oleh karenanya,
para siswa yang mengalami kedua masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya
memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan perawatan khusus.
Kembali kesoal Badu. Ternyata, dari hasil diagnosis diketahui bahwa ia belum memiliki
kecakapan memahami konteks kalimat, khususnya kalimat – kalimat yang mengandung elemen
polisemi. Akibatnya, sebuah kata polisemi yang arti aslinya “X” dalam sebuah konteks
kalimat dia pahami sebagai “X” juga dalam konteks kalimat yang lain.
c. Menyusun program perbaikan
Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya guru perlu menetapkan hal – hal sebagai berikut
1. Tujuan pengajaran remedial.
2. Materi pengajaran remedial.
3. Metode pengajaran remedial.
4. Alokasi waktu pengajaran remedial.
5. Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.
CARA MENGATASINYA10 01 2010
KESULITAN BELAJAR DAN CARA MENGATASINYAOleh : Kang Taher
A. Pengertian BelajarBelajar adalah suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progressif, juga merupakan suatu proses perubahan yang menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Jadi dapat diartikan proses belajar adalah sebagai tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif dan psikomotoryang terjadi dalam diri siswa. Perubahan tersebut bersifat positif dalam arti berorientasi ke arah yang lebih maju daripada keadaan sebelumnya.Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Dengan demikian, para ahli banyak yang membuat definisi tentang belajar yang berbeda, karena perbedaan sudut pandangnya.Belajar juga memainkan peran penting dalam mempertahankan kehidupan sekelompok umat manusia di tengah-tengah persaingan yang semakin ketat di antara bangsa-bangsa lainnya yang lebih dahulu maju karena belajar.Di bawah ini akan dikemukakan definisi belajar menurut beberapa ahli, di antaranya :1. Skinner dalam Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology : The Teaching Learning Process, belajar adalah suatu proses adaptasi yang berlangsung secara progressif.2. Chaplin (1972) dalam Dictionary Psychology membatasi belajar dengan 2 macam :a. Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relative menetap sebagai akibat dari latihan dan pengalaman.b. Belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.3. Hintzman (1987) dalam bukunya The Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada diri organisme, manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.4. Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning belajar adalah perubahan yang relative menetap yang terjadi dalam segala macam / keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai suatu hasil.5. Reber (1989) dalam Dictionary of Psychology. Menurutnya ada 2 definisi tentang belajar, yaitu :a. Belajar adalah proses memperoleh pengetahuanb. Belajar adalah suatu perubahan kemampuan bereaksi yang relative langgeng sebagai hasillatihan yang diperkuat.Dengan demikian dapat dipahami bahwa proses belajar meliputi :a. Perubahan yang secara umum menetap (relatively permanent)b. Kemampuan bereaksi (response potentiality)c. Dapat diperkuat (Reinforced)d. Melalui praktek dan latihan (Practice)Raudhatul Athfal (RA) dan Taman Kanak-kanak (TK) sebagai lembaga pendidikan awal sebelum memasuki lembaga pendidikan resmi adalah penunjang bagi terlaksananya pendidikan dasar. Pelaksanaan wajib belajar Pendidikan dasar 9 tahun telah dicanangkan pemerintah sejak lama, sesuai dengan amanat UUD 1945 alinea empat yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan pasal 31 UUD 1945 hasil amandemen yang menyatakan sebagai berikut :1. Setiap warga negara berhak mendapat pengajaran.2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia salam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.4. Negara memprioritasakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.5. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.(Hasil Amandemen 1999-2002 UUD 1945 : 23)
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang memerlukan perhatian khusus, keuletan, keteguhan, ketekunan, kerajinan dan kedisiplinan. Oleh karena itu agar proses pembelajaran yang diselenggarakan berdayaguna dan berhasil guna, maka proses pembelajarantersebut benar-benar harus dilaksanakan dengan baik dan berdisiplin tinggi. Disiplin merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan pembelajaran dan hal ini harus dilakukan oleh semua warga yang terlibat dalam sebuah lembaga yang melakukan proses pendidikan.Harapan yang tak pernah sirna dan selalu dituntut oleh guru adalah bagaimana bahan pelajaran itu yang disampaikan guru dapat disukai anak secara tuntas. Hal ini merupakan masalah yang cukup rumit dirasakan oleh guru, di mana anak mempunyai kepribadian yang beraneka ragam, ciri khas individu merupakan keunikannya. Mereka juga makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan.Pada masa pertumbuhan anak-anak usia dini merupakan masa pertumbuhan yang positif di manalingkungan keluarga maupun masyarakat di sekitarnya sangat mendukungnya. Kehidupan sosialnya tumbuh dan diperkaya dengan kemampuan bekerja sama juga dalam hal bersaing dan kehidupan kelompok sebaya. Dalam bergaul, bekerja sama dan kegiatan bersama tidak membedakan jenis. Yang menjadi dasar adalah perhatian dan pengalaman yang sama.Lingkungan keluarga sangatlah menentukan keberhasilan belajar. Status ekonomi, status sosial dan lingkungan keluarga ikut berperan dalam keberhasilan proses belajar. Suasana keluarga yang tenteram akan menciptakan keharmonisan keluarga. Maka dengan keharmonisan ini anak cenderung lebih giat dalam belajar, selain itu peran masyarakat pun sangat mempengaruhi dalam kegiatan belajar. Hal-hal yang menyimpang dari lingkungan masyarakat akan mudah terserap oleh individu. Dengan hal ini siswa akan membandingkan pengalaman yang ia peroleh di lingkungan sekolah dengan pengalaman yang ia dapatkan di lingkungan masyarakat.Keberhasilan belajar siswa ditentukan oleh beberapa faktor yang menunjang terhadap keberhasilan proses belajar-mengajar tersebut. Faktor metode mengajar akan berkaitan dengan model pembelajaran yang diterangkan. Pendidikan prasekolah sangat penting artinya,bukan hanya sebagai pengisi waktu anak saja, tetapi juga untuk mempersiapkan anak di masamendatang. Banyak para tokoh yang mengakui tentang pentingnya pendidikan prasekolah atau pendidikan anak usia dini.Usaha-usaha ke arah tersebut dapat berupa membangkitkan motivasi, seperti guru berupaya dalam menyampaikan pelajaran dengan tujuan yang jelas dan menarik, menciptakan suasana yang menyenangkan, memberikan pujian, menghargai pekerjaan siswa, dan memberikan kritik dengan bijaksana.Salah satu cara yang dapat dilakukan guru dalam rangka membangkitkan motivasi belajar untuk pembentukan karakter anak antara lain :1. Mengusahakan agar tujuan belajar jelas dan menarik2. Menciptakan suasana yang menyenangkan3. Mengusahakan agar siswa aktif belajar4. Menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan siswa5. Memberi ulangan dan tugas sesuai dengan keadaan siswa6. Memberitahukan hasil pekerjaan siswa7. Memberikan hadiah dan pujian8. Memberikan kritik dengan bijaksanaAktivitas merupakan asas yang terpenting didalam proses belajar mengajar dan pembentukan
karakter. Karena tanpa aktivitas tidak mungkin seseorang dapat dikatakan belajar, aktivitas tidak hanya jasmani saja melainkan juga aktivitas rohani. Di dalam kegiatan belajar mengajar peran motivasi baik instrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Motivasi bagi siswa dapat mengembangkan aktivitas dan mengarahkan serta memelihara ketekunan dalam melakukan kegiatan belajar.Membangkitkan motivasi belajar tidaklah mudah, untuk itu guru perlu mengenal siswa dan mempunyai kesanggupan kreatif untuk menghubungkan pelajaran dengan kebutuhan dan minat siswa.
B. Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan dalam BelajarPerubahan tingkah laku merupakan salah satu tujuan belajar, namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam belajar. Faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam belajar ada 2 macam, yaitu :a. Faktor Intern BelajarFaktor intern merupakan faktor yang berasal dari dalam individu sendiri, misalnya kematangan, kecerdasan, motivasi dan minat.b. Faktor Ekstern BelajarFaktor ekstern erat kaitannya dengan faktor sosial atau lingkungan individu yang bersangkutan. Misalnya keadaan lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat , guru dan alatperaga yang dipergunakan di sekolah.1 . Faktor InternKematanganKarena kematangan mentalnya belum matang, kita akan sukar mengajarkan konsep-konsep ilmu Filsafat kepada siswa sekolah dasar. Pemberian materi tertentu akan tercapai apabila sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu atau siswa. Oleh karena itu, baik potensi jasmani maupun rohaninya perlu dipertimbangkan lagi kematangannya.Kecerdasan (IQ)Keberhasilan individu mempelajari berbagai pengetahuan ditentukan pula oleh tingkat kecerdasannya, misalnya, suatu ilmu pengetahuan telah cukup untuk dipelajari oleh seseorang individu dalam taraf usia tertentu. Tetapi kecerdasan individu yang bersangkutan kurang mendukung, maka pengetahuan yang telah dipelajarinya tetap tidak akandimengerti olehnya. Demikian pula dalam hal-hal yang lain, seperti dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, misalnya memasak dan membuat mainan sederhana, dalam tingkat yang sama tidak semuanya individu mampu mengerjakannya dengan baik.MotivasiMotivasipun menentukan keberhasilan belajar. Motivasi merupakan dorongan untuk mengerjakan sesuatu. Dorongan tersebut ada yang datang dari dalam individu yang bersangkutan dan ada pula yang datang dari luar individu yang bersangkutan, seperti peranorang tua, teman dan guru.MinatMinat belajar dari dalam individu sendiri merupakan faktor yang sangat dominan dalam pengaruhnya pada kegiatan belajar, sebab kalau dari dalam diri individu tidak mempunyai sedikitpun kemauan atau minat untuk belajar, maka pelajaran yang telah diterimanya hasilnya akan sia-sia. Otomatis pelajaran tersebut tidak masuk sama sekali di dalam IQ-nya.
2. Faktor EksternLingkungan KeluargaLingkungan keluarga pun sangat menentukan keberhasilan belajar. Status ekonomi, status sosial, kebiasaan dan suasana lingkungan keluarga ikut serta mendorong terhadap keberhasilan belajar. Suasana keluarga yang tentram dan damai sangat menunjang keharmonisan hubungan keluarga. Hubungan orang tua dan anak akan dirasakan saling memperhatikan dan melengkapi. Apabila anak menemukan kesulitan belajar, dengan bijaksana dan penuh pengertian orang tuanya memberikan pandangan dan pendapatnya terhadap penyelesaian masalah belajar anaknya.Lingkungan MasyarakatPeran masyarakat sangat mempengaruhi individu dalam belajar. Setiap pola masyarakat yang
mungkin menyimpang dengan cara belajar di sekolah akan cepat sekali menyerap ke diri individu, karena ilmu yang didapat dari pengalamannya bergaul dengan masyarakat akan lebih mudah diserap oleh individu daripada pengalaman belajarnya di sekolah. Jadi peran masyarakat akan dapat merubah tingkah laku individu dalam proses belajar.GuruPeran guru dapat mempengaruhi belajar. Bisa dilihat dari cara guru mengajar kepada siswa,hal ini sangat menentukan dalam keberhasilan belajar. Sikap dan kepribadian guru, dasar pengetahuan dalam pendidikan, penguasaan teknik-teknik mengajar, dan kemampuan menyelami alam pikiran setiap individu siswa merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, guru sebagai motivator, guru sebagai fasilitator, guru sebagai inovator, dan guru sebagaikonduktor masalah-masalah individu siswa, perlu menjadi acuan selama proses pendidikan berlangsung.Bentuk Alat PelajaranBentuk alat pelajaran bisa berupa buku-bukun pelajaran, alat peraga, alat-alat tulis menulis dan sebagainya. Kesulitan untuk mendapatkan atau memiliki alat-alat pelajaran secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberhasilan dalam belajar siswa. Siswa akan cenderung berhasil apabila dibantu oleh alat-alat pelajaran yang memadai. Alat pelajaran tersebut akan menunjang proses pemahaman anak. Misalnya, melalui praktek sederhana dari materi pelajaran yang telah mereka pelajari.Kesempatan BelajarKesempatan belajar merupakan faktor yang sedang diupayakan Pemerintah melalui Wajib Belajar (Wajar) Pendidikan Dasar 9 Tahun yang mulai dicanangkan tahun pelajaran 1994/1995. Pencanangan Wajar tersebut merupakan alternatif pemberian kesempatan kepada para siswa, terutama bagi mereka yang orang tuanya berekonomi kurang mampu.Seorang anak yang tidak memiliki kesempatan belajar karena secara ekonomis kurang mampu, tetapi di sisi lain anak tersebut berintelegensi tinggi, maka ia akan menemukan hambatan dalam penyaluran aspirasi cita-citanya secara utuh. Walaupun motivasi begitu tinggi untukmencapai tujuan yang diinginkannya, tetapi apabila tidak didukung oleh ekonomi yang cukup, maka akan menemukan kendala yang relatif serius. Begitu pula sebaliknya, seorang anak dari keluarga yang mampu, memiliki intelegensi yang tinggi, bersekolah di sekolah favourit, dan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang serba ada, belum tentu dapat belajar dengan baik, sebab masih ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi anak tersebut untuk belajar dengan baik, seperti motivasi belajar, keharmonisan lingkungan keluarga, jarak dari rumah ke sekolah yang cukup jauh sehingga melelahkan, perhatian khusus dari guru kelas, serta hal-hal lain yang memungkinkan ketidak berhasilan siswa tersebut.Fenomena lain kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikandengan munculnya kelainan perilaku siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah dan sering minggat dari sekolah. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti :1) Rendahnya kemampuan intelektual anak2) Gangguan perasaan / emosi3) Kurangnya motivasi untuk belajar4) Kurang matangnya anak untuk belajar5) Usia yang terlalu muda6) Latar belakang sosial yang tidak menunjang7) Kebiasaan belajar yang kurang baik8) Kemampuan mengingat yang rendah9) Terganggunya alat-alat indera10) Proses belajar mengajar yang tidak sesuai11) Tidak adanya dukungan dari lingkungan belajar.
C. Cara Mengatasi Kesulitan BelajarTugas pendidik atau guru adalah mempersiapkan generasi bangsa agar mampu menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dikemudian hari sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam menjalankan tugas ini pendidikan berupaya mengembangkan potensi (fitrah) sebagai anugrah
Allah yang tersimpan dalam diri anak, baik yang bersifat jasmaniah maupun ruhaniah, melalui pembelajaran sebuah pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman berguna bagi hidupnya.Dengan demikian pendidikan yang pada hakekatnya adalah untuk memanusiawikan manusia memiliki arti penting bagi kehidupan anak. Hanya pendidikan yang efektif yang mampu meningkatkan kualitas hidup dan mengantarkan anak survive dalam hidupnya.Secara umum guru berarti orang yang dapat menjadi anutan serta menjadikan jalan yang baikdemi kemajuan. Sejak berlakunya kurikulum 1995, pengertian guru mengalami penyempurnaan, menurut kurikulum 1995 ialah “Guru adalah perencana dan pelaksana dari sistem pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Guru adalah pihak utama yang langsung berhubungan dengan anak dalam upaya proses pembelajaran, peran guru itu tidak terlepas dari keberadaan kurikulum.Peranan guru sangat penting dalam pelaksanaan proses pembelajaran, selain sebagai nara sumber guru juga merupakan pembimbing dan pengayom bagi para murid yang ada dalam suatu kelompok belajar. hal tersebut sesuai dengan ungkapan T. Rustandy (1996 : 71) yang mengatakan bahwa : Guru memegang peranan sentral dalam proses pembelajaran, memiliki karakter dan kepribadian masing-masing yang tercermin dalam tingkah laku pada waktu pelaksanaan proses pembelajaran. Pola tingkah laku guru dalam proses pembelajaran biasanya ditiru oleh siswa dalam perjalanan hidup sehari-hari, baik di lingkungan keluarga ataupun masyarakat, karena setiap siswa mempunyai keragaman dalam hal kecakapan maupun kepribadian. Keragaman kecakapan dan kepribadian ini mempengaruhi terhadap situasiyang dihadapi dalam proses pembelajaran.Tetapi menurut Brenner (1990) sebenarnya pendidikan anak prasekolah terefleksi dalam alat-alat perlengkapan dan permainan yang tersedia, cara perlakuan guru terhadap anak, adegan dan desain kelas, serta bangunan fisik lainnya yang disediakan untuk anak. (M. Solehuddin, 1997 : 55).Adapun syarat-syarat bagi guru pada umumnya, termasuk di dalamnya guru agama, telah tercantum dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Nomor 4 Tahun 1950 Bab X Pasal 15yang berbunyi :“Syarat utama menjadi guru selain ijazah dan syarat-syarat lain mengenai kesehatan jasmani dan rohani, ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat memberikan pengajaran”. (Zuhairini, 1983 :35).Beberapa cara mengatasi kesulitan dalam belajar dapat dilakukan dengan cara belajar yang efektif dan efisien. Cara demikian merupakan problematika yang perlu mendapatkan perhatian cukup serius. Orang tua dan Guru Kelas kerap kali memberikan saran-saran kepadasiswa agar rajin belajar karena rajin adalah pangkal cerdas. Orang cerdas akan mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman yang serba kompleks.Berikut ini beberapa alternatif dalam kesulitan belajar :1. Observasi KelasPada tahap ini observasi kelas dapat membantu mengurangi kesulitan dalam tingkat pelajaran, misalnya memeriksa keadaan secara fisik bagaimana kondisi kelas dalam kegiatanbelajar, cukup nyaman, segar, sehat dan hidup atau tidak. Kalau suasana kelas sangat nyaman, tenang dan sehat, maka itu semua dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih semangat lagi.2. Pemeriksaan Alat InderaDalam hal ini dapat difokuskan pada tingkat kesehatan siswa khusus mengenai alat indera. Diupayakan minimal dalam sebulan sekali pihak sekolah melakukan tes atau pemeriksaan kesehatan di Puskesmas / Dokter, karena tingkat kesehatan yang baik dapat menunjang pelajaran yang baik pula. Maka dari itu, betapa pentingnya alat indera tersebut dapat menstimulasikan bahan pelajaran langsung ke diri individu.3. Teknik Main PeranDisini, seorang guru bisa berkunjung ke rumah seorang murid. Di sana seorang guru dapat leluasa melihat, memperhatikan murid berikut semua yang ada di sekitarnya. Di sini guru dapat langsung melakukan wawancara dengan orang tuanya mengenai kepribadian anak, keluarga, ekonomi, pekerjaan dan lain-lain. Selain itu juga, guru bisa melihat keadaan rumah, kondisi dan situasinya dengan masyarakat secara langsung.4. Tes Diagnostik Kecakapan/Tes IQ/PsikotesDalam hal ini seorang guru dapat mengetahui sejauh mana IQ seseorang dapat dilihat dengan
cara menjawab pertanyaan-pertanyaan praktis dan sederhana. Dengan latihan psikotes dapat diambil beberapa nilai kepribadian siswa secara praktis dari segi dasar, logika dan privasi seseorang.
5. Menyusun Program PerbaikanPenyusunan program hendaklah dimulai dari segi pengajar dulu. Seorang pengajar harus menjadi seorang yang konsevator, transmitor, transformator, dan organisator. Selanjutnya lengkapilah beberapa alat peraga atau alat yang lainnya yang menunjang pengajaran lebih baik, karena dengan kelengkapan-kelengkapan yang lebih kompleks, motivasi belajarpun akandengan mudah didapat oleh para siswa.Hendaklah semua itu disadari sepenuhnya oleh para pengajar sehingga tidak ada lagi kendala dan hambatan yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar. Selain itu tingkat kedisiplinan yang diterapkan di suatu sekolah dapat menunjang kebaikan dalam proses belajar. Disiplin dalam belajar akan mampu memotivasi kegiatan belajar siswa.
Alternatif lain yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah berikut ini :a. Menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antar bagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa.b. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan adanya perbaikan.c. Menyusun program perbaikan.Dalam menyusun program pengajaran perbaikan diperlukan adanya ketetapan sebagai berikut :a. Tujuan pengajaran remedialContoh dari tujuan pengajaran remedial yaitu siswa dapat memahami kata “tinggi”, “pendek”dan “gemuk” dalam berbagai konteks kalimat.b. Materi pengajaran remedialContoh materi pengajaran remedial yaitu dengan cara lebih khusus dalam mengembangkan kalimat-kalimat yang menggunakan kata-kata seperti di atas.c. Metode pengajaran remedialContoh metode pengajaran remedial yaitu dengan cara siswa mengisi dan mempelajari hal-halyang dialami oleh siswa tersebut dalam menghadapi kesulitan belajar.d. Alokasi waktuContoh alokasi waktu remedial misalnya waktunya Cuma 60 menit.e. Teknik evaluasi pengajaran remedialContoh teknik evaluasi pengajaran remedial yaitu dengan menggunakan tes isian yang terdiri atas kalimat-kalimat yang harus disempurnakan, contohnya dengan menggunakan kata tinggi, kata pendek, dan kata gemuk.Selanjutnya untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif atau cara-cara pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan mempelajari buku-buku khusus mengenai bimbingan dan penyuluhan. Selain itu, guru juga sangat dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model mengajar tertentu yang dianggap sesuai sebagai alternatif lain atau pendukung cara memecahkan masalah kesulitan belajar siswa.Keaktifan siswa tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi fikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya dengan siswa tidak belajar, karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya, padahal pada hakekatnyabelajar adalah “perubahan” yang terjadi dalam diri seseorang yang telah berakhirnya melakukan aktivitas belajar.Penerapan sikap dan pembentukan kepribadian pada diri siswa harus dioptimalkan, mengingatkeberhasilan suatu proses pembelajaran bukan diukur oleh adanya penambahan dan perubahan pengetahuan serta keterampilan saja, namun nilai sikap harus terakomodasi, sebab dengan perubahan sikap akan menentukan terhadap perubahan kognitif ataupun psikomotor.Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakekatnya adalah suatu proses, yaitu
proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa, sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya mengjar adalah proses memberikan bimbingan, bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.Proses belajar mengajar pada hakikatnya adalah interaksi antara guru dengan peserta didikdan antara peserta didik dengan peserta didik lainnya, serta dengan lingkungannya sehingga terjadi perubahan tingkah laku pada diri peserta didik. Agar proses belajar mengajar tersebut berlangsung secara efektif selain diperlukan alat peraga sebagai pelengkap yang digunakan guru dalam berinteraksi dengan peserta didik diperlukan pula aturan dan tata tertib yang baku agar dalam pelaksanaannya teratur dan tidak menyimpang.Dari hakikat proses belajar mengajar, pembelajaran merupakan proses komunikasi, maka pembelajaran seyogyanya tidak atraktip melainkan harus demokrasi. Siswa harus menjadi subjek belajar, bukan hanya menjadi pendengar setia atau pencatat yang rajin, tetapi siswa harus aktif dan kreatif dalam berbagai pemecahan masalah. Dengan demikian guru harus dapat memilih dan menentukan pendekatan dan metode yang disesuaikan dengan kemampuannya, kekhasan bahan pelajaran, keadaan sarana dan keadaan siswa.
DAFTAR PUSTAKADra. Jojoh Nurdiana, dkk.(2005) Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah, materi Penataran Tertulis Program Terakreditasi Guru TK, BandungNasution Noehi, Drs. dkk. 1994. Buku Modul 1 – 6.Tini Sumartini, S.Pd. (206). Perkembangan Belajar Anak Usia Prasekolah, Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis, BandungSyah Muhibbin, M.Ed. 1995. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru
PENGERTIAN MENGAJAR menurut nasution (2010:80)
1. MEMBANGKITKAN DAN MEMELIHARA PERHATIAN2. Menjelaskan kepada murid hasil apa yang dijelaskan3. Merangsang murid untuk mengingat kembali konsep, aturan, dan keterampilan
yang merupakan prasyarat agara memahami pelajaran yang diberikan4. Menyajikan simulasi yang berkenaaan dengan bahan pelajaran5. Memeberikan bimbingan kepada murid dalam proses belajar mengajar6. Memeberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada murid apakah
hasil belajarnya benar atau tidak7. Menilai hasil belajar dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk
mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan memebrikan soal
8. Mengusahakan transfer dengan memebrikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakanya dalam situasi-siatuasi yang lain
9. Memantapkan apa yang di[peajari dengan memebrikan latihan-latihan untuk menerapkan apa yang telah dipeljari itu