SKENARIO
Demam Sore Hari
Seorang wanita 30 tahun, mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam
dirasakan lebih tinggi pada sore dan malam hari dibandingkan pagi hari. Pada pemeriksaan
fisik kesadaran somnolen, nadi bradikardia,suhu tubuh hiperpireksia (pengukuran jam 20.00
WIB), lidah terlihat typhoid tongue. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer anti-salmonella
typhi O meningkat. Pasien tersebut bertanya kepada dokter apa diagnosis dan cara
penanganannya.
A. IDENTIFIKASI KATA-KATA SULIT
Somnolen : Kesadaran menurun , yaitu keadaan yang masih dapat pulih
biladirangsang.
Bradikardi : Kelambatan denyut jantung, frekuensi denyut jantung kurang
dari 60per menit
Hiperpireksi : Keadaan suhu tubuh diatas 41,6 derajat celcius disebabkan
karena kumangram negatif
Typhoid tongue : Lidah tampak kotor dengan titik kemerahan
Pemeriksaan widal : Pemeriksaan serologi untuk menilai antibodi terhadap
salmonella typhi
Anti-Salmonella typhi :Anti-gen untuk Salmonela typhi
Titer :Menunjukan konsentrasi Anti-gen
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Apa yang menyebabkan terjadinya demam typhoid ?
2. Mengapa demam meningkat pada sore dan malamm hari ?
3. Pemeriksaan widal, apa saja yang diperiksa ?
4. Penanganan terhadap gejala tersebut ?
5. Mengapa pada pemeriksaan fisik terhadap somnolen, nadi bradikardia, suhu tubuh
hiperpireksia ?
6. Pemeriksaan tambahan apa saja yang digunakan dalam menangani demam typhoid ?
7. Apa yang menyebabkan demam ?
8. Bagaimana mekanisme terjadinya infeksi pada demam typhoid ?
9. Bagaimana pencegahan terhadap demam typhoid ?
0
C. ANALISA MASALAH
1. Dapat terjadi karena terinfeksi oleh salmonella typhi, dapat melalui makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh kuman.
2. Karena infektik pada sore hingga malam hari , demam yang demekian dapat dikatan
sebagai demam septik karena dengan ciri-ciri suhu meningkat pada waktu sore hingga
malam hari.
3. Pemeriksaan widal adalah untuk menilai antibodi terhadap salmonella typhi, dengan
mengukur kadar agllutinasi terhadap anitigen O (somatik), antigen H (flagela) dan
antigen Vi (simpai)
4. Penanganannnya :
Dari segi peradangan yang dihasilkan bakteri dapat menggunakan antibiotik
(Kloramfenikol dan siprofloksasin) atau menggunakn vaksin.
Istirahat yang cukup
Memakan makanan yang encer (tidak padat)
Hindari terkena cahaya kalau mengkonsumsi siprofloksasin
5. Dapat terjadi karena :
Tifoid : demam siklik
Suhu tubuh meningkat pada malam hari sehingga menyebabkan hiperpireksia.
Terjadinya demam → vasodilatasi → aliran darah lambat → denyut nadi
lambat → mengakibatkan denyut jantung cepat tapi lemah.
Karena salah satu dari gejala demam tifoud adalah diare → cairan banyak
keluar → konsentrasi air dalam tubuh berkurang → dehidrasi → somnolen.
6. Pemeriksaan tambahan seperti uji tubex, uji typidot, uji IgM dipstik, kultur darah,
pemeriksaan tinja.
7. Penyebab demam dapat dikarenakan adanya:
Infeksi oleh bakteri gram negatif
Non infeksi karena reaksi terhadap obat atau karena gangguan pada pusat
regulasi pernafasan
8. Makanan yang terkontaminasi → di dalam lambung sebagian lolos ke usus → infeksi
pada usus → dapat menyebar ke organ lain.
9. Cuci tangan sebelum makan di alir yang mengalir, kebersihan individu,ketersediaan
jamban yang bersih, membudayakan imunisasi typhoid, kebersihan makanan dan
minuman, sanitasi lingkungan.
1
D. HIPOTESIS
Salmonella enterica yang merupakan penyebab umum demam tyhpoid, ditandai
dengan demam yang terjadi pada sore dan malam hari (demam septik) dapat menginfeksi
tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman atau melalui hasil eksresi
pasien berupa tinja dan urin. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis thypoid
diantaranya ialah pemeriksaan widal,uji tubex, uji typidot, uji IgM dipstik, kultur darah serta
pemeriksaan tinja. Maka dari itu, untuk penderita typhoid perlu diberikan antibiotik berupa
kloramfenikol atau siprofloksasin untuk mengatasi bakteri disertai perlunya menjaga
kebersihan diri sendiri, makanan, minuman, air dan lingkungan.
E. LEARNING OBJECTIVE/SASARAN BELAJAR
1. Memahami dan Menjelaskan Demam
1.1 Definisi Demam
1.2 Klasifikasi Demam
1.3 Etiologi Demam
1.4 Patofisiologi Demam
2. Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica
2.1 Morfologi
2.2 Klasifikasi
2.3 Sifat
2.4 Daur hidup
2.5 Transmisi Penyebaran
3. Memahami dan Menjelaskan Demam typhoid
3.1 Definisi
3.2 Etiologi
3.3 Patofisiologi
3.4 Epidemiologi
3.5 Manifestasi klinis
3.6 Prognosis
3.7 Komplikasi
3.8 Penatalaksanaan
4. Memahami dan Menjelaskan Antibioti pada Demam typhoid
4.1 Golongan Antibiotik
4.2 Farmakodinamik dan Farmakokinetik
4.3 Efek samping
4.4 Kontraindikasi
2
LO.1. Memahami dan Menjelaskan Demam
1.1 Definisi Demam
Demam adalah suatu kondisi saat suhu badan lebih tinggi dari pada biasanya atau di
atas suhu normal. Umumnya terjadi ketika seseorang mengalami gangguuan kesehatan. Suhu
badan normal manusia biasanya berkisar antara 36-37 derajat celcius. Demam sesungguhnya
merupakan reaksi alamiah dari tubuh manusia dalam usaha melakukan perlawanan terhadap
beragam penyakit yang masuk atau berada di dalam tubuh. Dengan kata lain, demam adalah
bentuk mekanismme pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit. Apabila ada suatu kuman
penyakit yang masuk ke dalam tubuh, secara otomatis tubuh akan melakukan perlawanan
terhadap kuman penyakit itu dengan mengeluarkan zat antibodi. Pengeluaran zat antibodi
yang lebih banyak daripada biasanya ini diikuti dengan naiknya suhu badan. Semakin berat
penyakit yang menyerang,semakain banyak pula antibodi yang dikeluarkan, dan akhirnya
semakin tinggi pula suhu badan yang terjadi.
Tabel 1. Suhu normal pada tempat yang berbeda
Tempat
pengukuranJenis thermometer
Rentang; rerata
suhu normal (oC)
Demam
(oC)
AksilaAir raksa,
elektronik
34,7 – 37,3;
36,437,4
SublingualAir raksa,
elektronik
35,5 – 37,5;
36,637,6
RektalAir raksa,
elektronik36,6 – 37,9; 37 38
Telinga Emisi infra merah35,7 – 37,5;
36,637,6
1.2 Klasifikasi Demam
a.Demam Septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari.Bila demam yang
tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam heptik.
b. Demam Remiten
3
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu badan normal.Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
c. Demam Intermiten
Pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama
beberapa jam dalam satu hari.Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut
tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut
kuartana.
d. Demam Kontinyu
Pada demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
derajat.Pada tingkat demam terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam Siklik
Pada demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu
seperti semula.
Relapsingfever dan demam periodik:
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular
atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu
atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria
(istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila
demam terjadi setiap hari ke-4).
Relapsing feveradalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia dan ditularkan oleh kutu (louse-borne
RF) atau tick (tick-borne RF).
1.3 Etiologi Demam
Demam umumnya terjadi akibat adanya gangguan pada hipotalamus. Penyebabnya dibagi
menjadi 2 yaitu berasal dari infeksi dan non infeksi :
Etiologi Infeksi
a. Infeksi saluran pernapasam
b. Faringitis
c. Infeksi virus enteric
d. Reaksi vaksinasi
4
e. Infeksi saluran kemih
f. Pneumonia
g. Bacteremia
h. Meningitis
i. Osteomyelitis
j. Artritis septik
k. Gangguan immunologi
l. dehidrasi
Etiologi Non Infeksi
a. Neoplasma
b. Nekrosis Jaringan
c. Kelainan Kolagen Vaskular
d. Emboli Paru / Trombosis vena dalam
e. Obat , metabolism, dll
f. Keracunan atau over dosis obat
Demam karena infeksi (ex: infeksisalurankencing, infeksisalurancerna, dll.) dan pada
kondisi non-infeksi,demam dapat disebabkan oleh keadaan toksemia, keganasan, atau reaksi
terhadap pemakaian obat.Gangguan pada pusat regulasi suhu sentral juga dapat menyebabkan
peningkatan temperatur seperti heat stroke, perdarahan otak, koma, dll.Pada perdarahan
internal pada saat terjadinya reabsorbsi darah dapat pula menyebabkan peningkatan
temperatur.
Ada pula demam obat yaitu demam yang disebabkan karena efek samping dari
pengobatan yang terjadi pada 3-5% dari seluruh reaksi obat yang dilaporkan.Obat yang
mengakibatkan demam dapatdigolongkan :
1. Obat yang mengakibatkan demam
2. Obat yang kadang kadang mengakibatkan demam
3. Obat yang insidentil sekali dapat mengakibatkan demam
Ciri-ciridemam obat yaitu demam timbul tidak lama setelah pengobatan.
Maka dari itu, untuk mengetahui penyebab demam secara tepat, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
1. Cara timbul demam
2. Lama demam
3. Sifathariandemam
4. Tinggidemam
5. Keluhan serta gejala lain yang menyertai demam
5
1.4 Patofisiologi Demam
Demam yang disebabkan oleh infeksi atau peradangan, mengakibatkan suatu respon
yang terjadi di dalam tubuh.Demam yang terjadi di dalam tubuh bermanfaat dalam mengatasi
infeksi, serta demam juga dapat memperkuat respon peradangan dan mungkin dapat
menghambat perkembangan bakteri.
Demam terjadi karena penglepasan pirogen dari leukosit yang sebelumnya terangsang
oleh pirogen eksogen dari mikroorganisme atau hasil reaksi imunologik (tidak berdasarkan
infeksi).Di dalam hipotalamus, zat ini merangsang penglepasan asam arakidonat yang
mengakibatkan peningkatan sintesis prostaglandin E2 yang menyebabkan pireksia.
Pengaruh pengaturan autonom mengakibatkan vasokonstriksi perifer sehingga
pengeluaran panas menurun dan penderita merasa demam.Suhu badan dapat bertambah lagi
karena meningkatnya aktivitas metabolisme.
LO.2.Memahami dan Menjelaskan Salmonella enterica
2.1 Morfologi
Salmonella sp. merupakan bakteri berbentuk batang, tidak membentuk spora, dapat
hidup pada lingkungan aerob, maupun pada kondisi kurang oksigen, serta tumbuh baik pada
suhu kamar, dengan suhu optimumnya 37°C.Sumber kontaminasi Salmonella sp adalah
manusia dan hewan, yaitu dari saluran pencernaannya.
Salmonella sp. merupakan kingdom Bacteria, filum Proteobacteria, class
Gamma Proteobacteria, ordo Enterobacteriales, Salmonella sp., family Enterobacteriaceae,
genus Salmonella dan species e.g. S. enteric (Todar, 2008).
Salmonella sp. adalah bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merah
muda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0;6 µ, mempunyai flagel
6
(kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora. Suhu optimum pertumbuhan
Salmonella sp. ialah 37°C dan pada pH 6-8 (Julius, 1990).
Jenis atau spesies Salmonella sp. yang utama adalahS.typhi (satu serotipe), S.
choleraesuis, dan S. enteritidis (lebih dari 1500 serotipe). Sedangkang spesies S. paratyphi A,
S. paratyphi B, S. paratyphi C termasuk dalam S. enteritidis (Jawezt et al, 2004).
(Sumber:mikrobewici)
2.2 Klasifikasi
Salmonella enterica:
Kingdom : Eubacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella enterica
Subspesies : Salmonella enterica enterica
Salmonella enterica salamae
Salmonella enterica arizonae
Salmonella enterica diarizonae
Salmonella enterica houtenae
Salmonella enterica indica
Klasifikasi salmonella sangat rumit karena organisme tersebut merupakan rangkaian
kesatuan dan bukan tertentu. Anggota genus Salmonella awalnya diklasifikasikan
berdasarkan epidemiologi, jangkauan pejamu, reaksi biokimia, dan struktur antigen O, H, dan
Vi. Terdapat lebih dari 2500 serotip Salmonella, termasuk lebih dari 1400 dalam kelompok
hibridasi DNA grup I yang dapat menginfeksi manusia.Hampir semua Salmonella yang
menyebabkan penyakit pada manusia dapat diidentifikasikan di laboraturium klinis melalui
pemeriksaan biokimia dan serologik.
Serotip tersebut adalah sebagai berikut:
7
Bakteri Penyakit
Salmonella typhi Demam tifoid , Salmonella bacteremia
Salmonella paratyphi A, B, dan C Demam paratifoid, Salmonella bacteremia
Salmonella choleraesuis Salmonella bacteremia
Salmonella typhimurium Salmonella gastroenteritis
Salmonella enteritidis Salmonella gastroenteritis
Salmonella haidar Salmonella gastroenteritis
Salmonella Heidelberg Salmonella gastroenteritis
Salmonella agona Salmonella gastroenteritis
Salmonella Virchow Salmonella gastroenteritis
Salmonella seftenberg Salmonella gastroenteritis
Salmonella Indiana Salmonella gastroenteritis
Salmonella Newport Salmonella gastroenteritis
Salmonella anatum Salmonella gastroenteritis
Salmonella paratyphiA (serogrup A)
Salmonella paratyphi B (serogrup B)
Salmonella cholerasuis (serogrup C1)
Salmonella typhi (serogrup D)
Penentuan serotipe didasarkan atas reaktivitas antigen O dan antigen H
bifasik.Berdasarkan penelitian hibridisasi DNA, klasifikasi taksonomik resmi meliputi genus
Salmonella dengan subspecies dan genus Arizona dengan subspesies.
Contoh rumus antigenik salmonella
Golongan O Seriotip Formula antigenic
D S typhi 9,12 (vi):d:-
A S paratyphi A 1,2,12:a-
C1 S choleraesuis 6,7: c:1,5
B S typhimurium 1,4,5,12:i:1,2
D S enteritidis 1,9,12:g,m:-
Salmonella yang terisolasi pada umumnya diklasifikasikan berdasarkan serologi
(klasifikasi Kauffan-White ). Divisi utama yang pertama dengan antigen O somatik,
kemudian dengan antigen H Hagellar.Antige H selanjutnya dibagi menjadi bentuk 1 dan
bentuk 2. Deskripsi secara utuh oleh salmonella yang diisolasi adalah ( antigen O, Vi :
8
antigen H bentuk 1 : antigen H bentuk 2 ). Dengan pengecualian dari typhoid dan para
typhoid, salmonella tidak menginfeksi darah, hal itu yang umumnya dipercaya.
2.3 Sifat
Organisme ini dapat bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku. Organisme ini
juga mampu bertahan beberapa minggu di dalam air, es, debu sampah kering dan pakaian,
mampu bertahan di sampah mentah selama satu minggu dan dapat bertahan dan berkembang
biak dalam susu, daging, telur atau produknya tanpa merubah warna atau bentuknya.
2.4 Daur hidup
Penyebaran dan Siklus hidup:
• Infeksi terjadi dari memakan makanan yang tercontaminasi dengan feses yang
terdapat bakteri Sal. typhimuriumdari organisme pembawa (hosts).
• Setelah masuk dalam saluran pencernaan maka Sal. typhimuriummenyerang dinding
usus yang menyebabkan kerusakan dan peradangan.
• Infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah karena dapat
menembus dinding usus tadi ke organ-organ lain seperti hati, paru-paru, limpa,
tulang-tulang sendi, plasenta dan dapat menembusnya sehingga menyerang fetus pada
wanita atau hewan betina yang hamil, dan ke membran yang menyelubungi otak.
• Subtansi racun diproduksi oleh bakteri ini dan dapat dilepaskan dan mempengaruhi
keseimbangan tubuh.
• Di dalam hewan atau manusia yang terinfeksi Sal. typhimurium, pada fesesnya
terdapat kumpulan Sal. typhimuriumyang bisa bertahan sampai berminggu-minggu
atau berbulan-bulan.
• Bakteri ini tahan terhadap range yang lebar dari temperature sehingga dapat
bertahan hidup berbulan-bulan dalam tanah atau air.
Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella,
tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu
mikroorganisma, dalah hal ini bakteri Salmonella).
Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang
biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan
kematian penderita.Salmonella typhimurium dengan jumlah 11.000 sudah dapat
menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan
jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala.
Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada
pada tubuh kita. Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi
dengan cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan
9
perlahan.Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan.Gejala
terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang
tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat
berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah
terserang penyakit denga gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan
gejala, lalu terjadi diare.
2.5 Transmisi Penyebaran
Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinis atau subklinis pada manusia
adalah 105-108 bakteri. Beberapa faktor pejamu yang menimbulkan resistansi terhadap infeksi
salmonella adalah keasaman lambung, flora mikroba normal usus, dan kekebalan usus
setempat.Salmonella menyebabkan tiga macam penyakit utama pada manusia, tetapi sering
juga ditemukan bentuk campuran.Lihat tabel.
Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fecal-oral. Tidak selalu Salmonella typhi
yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi karena untuk menimbulkan infeksi,
Salmonella typhi harus dapat mencapai usus halus. Salah satu faktor penting yang
menghalangi Salmonella typhi mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila
keasaman lambung berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini
akan memudahkan infeksi Salmonella typhi. (Salyers & Whitt, 2002).
Penyakit klinis yang disebabkan oleh salmonella
Demam enterik Septikemia Enterokolitis
Periode inkubasi 7-20 hari Bervariasi 8-48 jam
Awitan Perlahan Mendadak Mendadak
Demam Bertahap, kemudian
plateau, tinggi
Meningkat cepat,
kemudian temperatur
menukik spt sepsis
Biasanya demam
ringan
Lama penyakit Beberapa minggu Bervariasi 2-5 hari
Gejala
gastrointestinal
Awalnya sering
konstipasi,
selanjutnya diare
berdarah
Sering tidak ada Mual muntah diare
saat awitan
Biakan darah Positif pada minggu
1 hingga minggu 5
penyakit
Positif pada saat
demam tinggi
Negatif
Biakan feses Positif pada minggu
2, negatif pada awal
Jarang positif Positif segera setelah
awitan
10
penyakit
(Jawetz, 2008)
Makanan yang mengandung Salmonella belum tentu menyebabkan infeksi Salmonella,
tergantung dari jenis bakteri, jumlah dan tingkat virulensi (sifat racun dari suatu
mikroorganisma, dalam hal ini bakteri Salmonella).
Misalnya saja Salmonella enteriditis baru menyebabkan gejala bila sudah berkembang
biak menjadi 100 000. Dalam jumlah ini keracunan yang terjadi bisa saja menyebabkan
kematian penderita.Salmonella typhimurium umumnya dengan jumlah 11.000 sudah dapat
menimbulkan gejala. Jenis Salmonella lain ada yang menyebabkan gejala hanya dengan
jumlah 100 sampai 1000, bahkan dengan jumlah 50 sudah dapat menyebabkan gejala.
Perkembangan Salmonella pada tubuh manusia dapat dihambat oleh asam lambung yang ada
pada tubuh kita.
Disamping itu dapat dihambat pula oleh bakteri lain. Gejala dapat terjadi dengan
cepat pada anak-anak, bagaimanapun pada manusia dewasa gejala datang dengan
perlahan.Pada umumnya gejala tampak setelah 1-3 minggu setelah bakteri ini tertelan.Gejala
terinfeksi diawali dengan sakit perut dan diare yang disertai juga dengan panas badan yang
tinggi, perasaan mual, muntah, pusing-pusing dan dehidrasi. Gejala yang timbul dapat
berupa: tidak menunjukkan gejala (long-term carrier), adanya perlawanan tubuh dan mudah
terserang penyakit dengan gejala: inkubasi (7-14 hari setelah tertelan) tidak menunjukkan
gejala, lalu terjadi diare.
LO.3. Memahami dan Menjelaskan Demam typhoid
3.1 Definisi
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh
salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang disebabkan oleh salmonella
paratyphi A, B, C. Gejala dan tanda kedua penyakit tersebut hampir sama, tetapi menifestasi
klinis paratifoid lebih ringan. Kedua penyakit tersebut disebut tifoid.
(Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga)
3.2 Etiologi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica
serovar typhi (S typhi). Bakteri ini akan mati pada pemanasan 57 oC selama beberapa menit.
Menifestasi klinis demam tifoid tergantung pada virulensi dan daya tahan tubuh. Suatu
percobaan pada manusia dewasa menunjukan bahwa 107 mikroba dapat menyebabkan 50%
sukarelawan menderita sakit, meskipun 1000 mikroba juga dapat menyebabkan penyakit.
Masa inkubasinya adalah 10-20 hari.
11
Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi
yang disebut demam paratifoid.Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam
enterik.Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid.Demam
tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.
Kuman ini mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
Antigen O (somatik)
Terletak pada lapisan luar, yang mempunyai komponen protein, lipopolisakarida dan
lipid.Sering disebut endotoksin.
Antigen H (flagela)
Terdapat pada flagela, fimbriae danpili dari kuman, berstruktur kimia protein.
Antigen Vi (antigen permukaan)
Pada selaput dinding kuman untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi.Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan.Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim
kemarau atau permulaan musim hujan.Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral.Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh feses.
3.3 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di
usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan
mekanisme membrane ruffling,actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola
intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk
ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini
dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari.
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang.
Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman
akan disebarkan kembali ke dalam sistemperedaran darah dan menyebabkan bakteremia
sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder
menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen.
12
Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang meng-akibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi
perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali.Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.
3.4 Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara.Seperti penyakit menular
lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi
lingkungannya kurang baik.Prevalensi kasus bervariasi tergantung dari lokasi, kondisi
lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat.Angka insiden di Amerika Serikat tahun 1990
adalah 300-500 kasus per tahun dan terus menurun.Prevalensi di Amerika Latin sekitar 150/
100.000 penduduk setiap tahunnya, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu
sekitar 900/ 10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur,
namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun.
Demam tifoid dan paratifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di Asia,
Afrika, Amerika Latin Karibia dan Oceania, termasuk Indonesia.Penyakit ini tergolong
penyakit menular yang dapat menyerang banyak orang melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi. Insiden demam tifoid di seluruh dunia menurut data pada tahun 2003 sekitar
16 juta per tahun, 600.000 di antaranya menyebabkan kematian. Di Indonesia prevalensi 91%
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien yang menderita demam tifoid dan yang lebih
sering dari carrier yaitu orang yang telah sembuh dari demam tifoid namun masih
mengeksresikan S. typhi dalam tinja selama lebih dari satu tahun.
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki
oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000.
Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang
(10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per
100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
Di Indonesia, insidens deam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19
tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
13
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dirumah.
3.5 Manifestasi klinis
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh serotipe Salmonella
Typhi enterica (S. typhi).Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
negara-negara berkembang. Pada tahun 2000, diperkirakan bahwa lebih dari 2.16 juta jiwa di
seluruh dunia terjadi tipus, mengakibatkan 216.000 kematian, dan bahwa lebih dari 90% dari
morbiditas dan kematian ini terjadi di Asia. Walaupun peningkatan kualitas air dan sanitasi
merupakan solusi akhir untuk masalah ini , vaksinasi di daerah berisiko tinggi adalah strategi
pengendalian yang potensial yang direkomendasikan oleh WHO. Faktor distribusi demam
tifoid dipengaruhi oleh :
1. Penyebaran Geografis dan Musim
Kasus-kasus demam tifoid terdapat hampir di seluruh bagian dunia.Penyebarannya tidak
bergantung pada iklim maupun musim.Penyakit itu sering merebak di daerah yang
kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan.
2. Penyebaran Usia dan Jenis Kelamin
Siapa saja bisa terkena penyakit itu tidak ada perbedaan antara jenis kelamin
lelakiatau perempuan.Umumnya penyakit itu lebih sering diderita anak-anak.Orang dewasa
sering mengalami dengan gejala yang tidak khas, kemudian menghilang atau sembuh sendiri.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai gejala klinis berat dan memerlukan perawatan
khusus.Variasi gejala ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik
pejamu serta lama sakit dirumahnya.( Sumarmo et al, 2010)
Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu
pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berkepanjangan yaitu setinggi 39º C hingga 40º C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah,
pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak
enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih
sering terjadi.Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta
bergetar atau tremor.Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa
kering dan meradang.Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada
abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari,
14
kemudian hilang dengan sempurna.Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur
meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore
atau malam.
Pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi
(demam).Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari
berlangsung.Terjadi perlambatan relatif nadi penderita.Yang semestinya nadi meningkat
bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan
peningkatan suhu tubuh. Umumnya terjadi gangguan pendengaran, lidah tampak kering, nadi
semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, diare yang meningkat dan berwarna gelap,
pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran,
mengantuk terus menerus, dan mulai kacau jika berkomunikasi.
Pada minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan normal kembali di akhir
minggu.Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik,
gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak
dari ulkus.Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana septikemia memberat dengan
terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus,
inkontinensia alvi dan inkontinensia urin.Tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan
nyeri perut.Penderita kemudian mengalami kolaps.Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi
usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas, dan kolaps dari nadi yang teraba
denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan.Degenerasi miokardial toksik merupakan
penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam tifoid pada minggu ketiga.
Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini
dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.Pada mereka
yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang
lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek.Kekambuhan
dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada
infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati akan
mengakibatkan timbulnya relaps.
3.6 Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
15
3.7 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu:
1. Komplikasi intestinal
Komplikasi didahului dengan penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi.
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 1-10% kasus demam tifoid anak.Bila sedikit hanya
ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.Bila perdarahan banyak terjadi
melena.
b. Perforasi usus
Dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%. Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setelah
itu dan terjadi pada bagian distal ileum.Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghilang dan
terdapat udara di antara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.Ditemukan gejala
abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, defance muskulare, dan nyeri pada penekanan.
(Djoko, 2009)
2. Komplikasi di luar usus (ekstraintestinal)
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati dan lain-lain.Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia.
Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, rthritis.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
Komplikasi ginjal : glumerolunofritis, pielonefritis, perinefritis
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis
Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik
(Djoko, 2009)
Komplikasi demam tifoid terbagi dalam :
a) Komplikasi intestinal:
Pendarahan usus
16
Perforasi usus
Ileus paralitik
b) Komplikasi ekstraintestinal :
Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (rejatan, sepsis),
miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan/atau koagulasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer, sindrom Guillain-Barre, psikosis, dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.Komplikasi
lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum, bila perawatan pasien
kurang sempurna.
(Mansjoer, arif; Triyanti, kuspuji.:2001)
3.8 Penatalaksanaan
Pemeriksaan laboratotium :
1. Pemeriksaan rutin : walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering
ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis.
2. Uji widal : dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap salmonella typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman salmonella typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu aglutinin O (dari tubuh kuman), aglutinin H (flagela kuman), dan aglutinin Vi
(simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin H dan O yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
3. Kultur darah : hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
megatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Karena kemungkinan disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut : telah mendapat terapi antibiotik, volume darah yang
17
kurang, riwayat vaksinasi, dan saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada
saat aglutinin meningkat.( Sudoyo, aru; Setiyo, hadi; dkk :2006)
Pengobatan :
a) Pemberian antibiotik : untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran
kuman. Antibiotik yang digunakan yaitu kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin,
kotrimoksazol, dan sefalosporin generasi II dan III.
b) Istirahat dan perawatan profesional : bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasie. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan peralatan yang
dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-
ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang
air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi
urin.
c) Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif) : pertama pasien diberi diet
bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan
pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan
padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan
serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan
mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan
menjaga keseimbangan dan homeostasi, sistem imun akan tetap berfungsi dengan
optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan rejatan septik diperlukan perawatan intensif
dengan nutrisi parental total.Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang
bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan.Kortikosteroid selalu perlu diberikan pada
rejatan septik.Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan diatas.
(Mansjoer, arif; Triyanti, kuspuji :2001)
Perawatan dan pengobatan terhadap penderita penyakit demam tifoid bertujuan
menghentikan invasi kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah terjadinya
komplikasi, serta mencegah agar tak kambuh kembali. Pengobatan penyakit tifus dilakukan
dengan jalan mengisolasi penderita dan melakukan desinfeksi pakaian, feses dan urine untuk
mencegah penularan.
Nonfarmakologis
Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :
Istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dan pemberian
18
antimikroba.
Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan,
minum,mandi, buang air kecil, buang air besar akan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. (Djoko, 2009)
Diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan
penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Pemberian
bubur saring bertujuan untukk menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau
perforasi usus. (Djoko, 2009)
Farmakologis
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai
berikut:
Obat Dosis Rute
First-line Antibiotics Kloramfenikol 500 mg 4x /hari Oral, IV
Trimetofrim -
Sulfametakzol
160/800 mg 2x/hari, 4-20 mg/kg
bagi 2 dosis
Oral, IV
Ampicillin/
Amoxycillin
1000-2000 mg 4x/hari ; 50-100
mg/kg , bagi 4 dosis
Oral, IV, IM
Second-line
Antibiotics
( Fluoroquinolon)
Norfloxacin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Oral
Ciprofloxacin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Oral , IV
Ofloxacin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Oral
Pefloxacin 400 mg/hari selama 7 hari Oral, IV
Fleroxacin 400 mg/hari selama 7 hari Oral
Cephalosporin Ceftriaxon 1-2 gr/hari ; 50-75 mg/kg : dibagi
1-2 dosis selama 7-10 hari
IM, IV
Cefotaxim 1-2 gr/hari, 40-80 mg/hari: dibagi
2-3 dosis selama 14 hari
IM, IV
19
Cefoperazon 1-2 gr 2x/hari 50-100 mg/kg dibagi
2 dosis selama 14 hari
Oral
Antibiotik lainnya Aztreonam 1 gr/ 2-4x/hari ; 50-70 mg/kg IM
Azithromycin 1 gr 1x/hari ; 5-10 mg/kg Oral
(RM. Santillan, 2000)
Persentase pengaruh antibiotik terhadap S.typhi
Antibiotik %
Ceftriaxon 92.6
Kloramfenikol 94.1
Tetrasiklin 100
Trimetoprim- Sulfametoksazol 100
Ciprofloksasin 100
Levofloksasin 100
LO.4. Memahami dan Menjelaskan Antibioti pada Demam typhoid
Golongan Antibiotik: dosis 50-150 mg/kg BB, diberikan selama 2 minggu.
Kotrimoksazol : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol-80 mg
trimetoprim, diberikan selama dua minggu pula.
4.1 Sefalosporin generasi II dan
Kloramfenikol : dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan
selama demam dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis
diturunkan menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian. Penelitian terakhir
(Nelwan, dkk. Di RSUP Persahabatan), penggunaan kloramfenikol masih
memperlihatkan hasil yang penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat- obat terbaru
dari jenis kuinolon.
Ampisilin/amoksisilin
III. Di sub bagian penyakit tropik dan infeksi FKUI-RSCM, pemberian
sefalosporin berhasil mengatasi demam tifoid dengan baik. Demam pada
umumnya mengalami mereda oada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4. Regimen
yang dipakai adalah :
20
1) seftriakson 4 g/ hari selama 3 hari
2) norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
3) sifrofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
4) ofloksasin 600 mg/hari selama 7 hari
5) pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
6) fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
4.2 Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Farmakodinamik adalah bagaimana efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta
mekanisme kerjanya di dalam tubuh.
Farmakikinetik adalah bagaimana proses atau nasib obat di dalam tubuh (absorbsi,
distribusi, biotransformasi, dan ekskresi).
4.3 Efek samping
Besarnya efek tergantung pada jumlah reseptor yang terikat obat, jumlah reseptor
terikat tergantung kadar dan dosis obat.
4.4 Kontraindikasi
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan
dapat terjadipartus prematur, kematian fetus intrauterin, dan grey syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama kehamilan karena
kemungkinan efek tetrogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan.Pada
kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan.
Demikian juga obat golongan flourokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh
digunakan untuk mengobati demam tifoid.Obat yang dianjurkan adalah ampisilim,
amoksisilin, dan seftriakson.
KLORAMFENIKOL
Asal dan Kimia
Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air
dan rasanya pahit
OH CH 2OH O
C C N C CCl2
21
RRumus umum molekul
H H H H
Kloramfenikol : R = -NO2
Tiamfenikol : R = -CH 3 SO2
1.1. Farmakodinamik
Efek anti mikroba Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein
kuman. Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan
menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida
tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-
kuman tertentu.
Spektrum anti bakteri :
- D.pneumoniae, - S. Pyogenes,
- S.viridans, - Neisseria,
- Haemophillus, - Bacillus spp,
- Listeria, - Bartonella,
- Brucella, - P. Multocida,
- C.diphteria, - Chlamidya,
- Mycoplasma, - Rickettsia,
- Treponema,
(dan kebanyakan kuman anaerob)
Resistensi Mekanisme resistensi terhadap kloramfenikol terjadi melalui
inaktivasi obat oleh asetil transferase yang diperantarai oleh
faktor-R (dikendalikan oleh plasmid). Resistensi terhadap
P.aeruginosa. Proteus dan Klebsiella terjadi karena perubahan
permeabilitas membran yang mengurangi masuknya obat ke dalam
sel bakteri.
Beberapa strain D. Pneumoniae, H. Influenzae, dan N.
Meningitidis bersifat resisten; S. Aureus umumnya sensitif, sedang
enterobactericeae banyak yang telah resisten.
Obat ini juga efektif terhadap kebanyakan strain E.Coli, K.
22
Pneumoniae, dan P. Mirabilis,
kebanyakan strain Serratia, Providencia dan Proteus
rettgerii resisten,
kebanyakan strain P. Aeruginosa dan S. Typhi
1.2. Farmakokinetik
1. Pemberian oral kloramfenikol diserap dengan cepat ( dalam
darah 2 jam ) bentuk ester kloramfenikol palmitat atau
stearat ( untuk anak-tidak pahit ) mengalami hidrolisis
dalam usus dan membebaskan kloramfenikol
2. Parenteral (IV) kloramfenikol suksinat dihidrolisis dalam
jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,
pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira
50% kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk
jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata.
( kloramfenikol ) konjugasi ( pasien
gangguan faal haI-waktu paruh
memanjang ) Dosis dikurangi bila
terdapat gangguan fungsi hepar.
sebagian di reduksi jadi arilamin ( tidak aktif ) 24 jam, 80-
90% kloramfenikol ( secara oral ) diekskresikan ginjal.
kloramfenikol 5-10% aktif diekskresi melalui filtrat
glomerulus sedangkan metaboltnya dengan sekresi
tubulus.
Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat
atau hidrolisat lain yang tidak aktif.
23
( gagal ginjal ) masa paruh kloramfenikol aktif tidak banyak tidak perlu pengurangan dosis.
Interaksi Kloramfenikol menghambat botransformasi tolbutamid fenitoin,
dikumarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hepar. Dan toksisitas tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol.
Interaksi obat dengan fenobarbital dan rifampisin memperpendek waktu paruh kloramfenikol ( kadar obat menjadi
subterapeutik )
1.3. Farmakoterapi
Demam Tifoid 1. Pengobatan demam tifoid Kloramfenikol diberikan dosis 4
kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam
Bila relaps diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk
anak-anak diberikan dosis 50-100mg/kg BB/sehari dibagi
dalam beberapa dosis selama 10 hari.
2. Pengobatan tifoid tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kg
BBsehari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi
dengan dosis separuhnya.
Dosis a. Kloramfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
Kapsul 250 mg dan 500 mg Dengan cara pakai untuk
dewasa 50 mg/kg BBsehari per oral 3-4 dosis atau 1-2
kapsul 4 kali sehari
Infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2 x pada awal terapi
sampai didapatkan perbaikan klinis.
Salep mata 1 %
Obat tetes mata 0,5 %
Salep kulit 2 %
Obat tetes telinga 1-5 %
b. Kloramfenikol palmitat atau stearat
Biasanya berupa botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 l
24
mengandung Kloramfenikol palmitat atau stearat setara
dengan 125 mg kloramfenikol).
Dosis :
o Bayi prematur : 25mg/kgBB sehari per oral ( 2 dosis )
o Bayi aterm (<2mgg) : 25mg/kgBB per oral ( 4 dosis )
o Bayi aterm (2mgg) : 50mg/kgBB per oral (3-4 dosis )
c. Kloramfenikol natrium suksinat
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara
dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan
10 ml aquades steril atau dektrose 5 % (mengandung 100
mg/ml).
Dosis : Dewasa dan Anak, 50 mg/kgBB sehari (IV dengan 4
dosis )
d. Tiamfenikol
Terbagi dalam bentuk sediaan :
Kapsul 250 dan 500 mg
Dosis : Dewasa 1-2 g sehari ( 4 dosis )
Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk Tiamfenikol 1.5 g
yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg/5 ml
Dosis : Anak, 25-50 mg/kgBB sehari ( 4 dosis )
1.4. Efek samping
Reaksi Hematologik Terdapat dalam 2 bentuk :
1. Reaksi toksik depresi sumsum tulang belakang.
Berhubungan dengan dosis, progresif dan pulih bila
pengobatan dihentikan.
o Kelainan darah anemia, retikulositopenia, peningkatan
serum iron, dan iron binding capacity serta vakuolisasi
seri eritrosit muda. ( terlihat bila kadar kloramfenikol
dalam serum melampaui 25 µg/ml )
2. Anemia aplastik dengan pansitopenia tidak tergantung dari
dosis atau lama pengobatan. Insiden 1: 24000 – 50000.
25
efek diduga idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh
kelainan genetik.
Kloramfenikol dapat menimbulkan hemolisis pada pasien
defisiens enzim G6PD bentuk mediteranean.
Timbulnya nyeri tenggorok dan infeksi baru selama
pemberian kloramfenikol menunjukkan adanya
kemungkinan leukopeni.
Reaksi Saluran Cerna Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare, dan
enterokolitis
Sindromm Gray Pada neonatus, terutama pada bayi prematur dosis tinggi
(200mg/kg BB) sindrom Gray
Bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan
tidak teratur, perut kembung, sianosis, dan diare tinja
berwarna hijau
Tubuh bayi lemas dan berwarna keabu-abuan; terjadi
pula hipotermi kematian ( 40% )
Efek toksik disebabkan :
(1) sistem konjugasi oleh enzim glukoronil transferase
belum sempurna
(2) kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat
diekskresi dengan baik oleh ginjal.
Mengurangi efek samping dosis kloramfenikol untuk
bayi (<1bln ) tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB sehari.
Setelah ini dosis 50 mgKg/BB tidak menimbulkan efek
samping.
Reaksi Neurologik Dapat terlihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium dan sakit
kepala.
1.5. Kontraindikasi
26
o Tidak dianjurkan penggunaan untuk wanita hamil dan
menyusui
o Pada pemakaian jangka panjang perlu dilakukan
pemeriksaan hematologi secara berkala.
o Perlu dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan
timbulnya superinfeksi oleh bakteri dan jamur.
o Hati-hati bila dipergunakan pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal dan hati
o Bayi yang lahir prematur dan bayi baru lahir (2 minggu
pertama).
o Tidak untuk pencegahan infeksi, pengobatan influenza,
batuk dan pilek.
o Penderita yang hipersensitif terhadap kloramfenikol
AMOXYCILIN
1. Farmakokinetik
Amoxicillin (alpha-amino-p-hydoxy-benzyl-penicillin) adalah derivat dari 6
aminopenicillonic acid, merupakan antibiotika berspektrum luas yang mempunyai
daya kerja bakterisida.Amoxicillin, aktif terhadap bakteri gram positif maupun
bakterigram negatif.
Bakteri gram positif: Streptococcus pyogenes, Streptococcus viridan,
Streptococcus faecalis, Diplococcus pnemoniae, Corynebacterium sp, Staphylococcus
aureus, Clostridium sp, Bacillus anthracis. Bakteri gram negatif: Neisseira
gonorrhoeae, Neisseriameningitidis, Haemophillus influenzae, Bordetella pertussis,
Escherichia coli, Salmonella sp, Proteus mirabillis, Brucella sp.
2. Farmakodinamik
Amoxicillin diserap secara baik sekali oleh saluran pencernaan.
Kadar bermakna didalam serum darah dicapai 1 jam setelah pemberian per-oral. Kadar
puncak didalam serum darah 5,3 mg/ml dicapai 1,5-2 jam setelah pemberian per-oral.
Kurang lebih 60% pemberian per-oral akan diekskresikan melalui urin dalam 6 jam.
3. Indikasi
Infeksi saluran pernafasan atas: Tonsillitis, pharyngitis (kecuali pharyngitis
gonorrhoae), Sinusitis, laryngitis, otitis media.
27
Infeksi saluran pernafasan bawah: Acute dan chronic bronchitis, bronchiectasis,
pneumonia.
Infeksi saluran kemih dan kelamin: gonorrhoeae yang tidak terkomplikasi,
cystitis, pyelonephritis.
Infeksi kulit dan selapu lendir: Cellulitis, wounds, carbuncles, furunculosis.
4. Kontraindikasi
Keadaan peka terhadap penicillin.
5. Efek samping
Diare, gangguan tidur, rasa terbakar di dada, mual, gatal, muntah, gelisah, nyeri perut,
perdarahan dan reaksi alergi lainnya.
FLOROKUINOLON
1. Farmakokinetik
• Fluorokuinolon diserap lebih baik melalui saluran cerna.
• Bioavailablitasnya pada pemberian oral sama dengan pemberian parenteral.
Fluorokuinolon hanya sedikit terikat dengan protein.
• Golongan obat ini hanya didistribusi dengan baik pada berbagai organ.
• Golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat dan masa
paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari.
• Kebanyakan fluorokuinolon dimetabolisme di hati dan di ekskresikan melalui ginjal.
Daya antibakteri fluirokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kuinolon lama.Selain itu
diserap dengan baik pada pemberian oral, dan beberapa derivatnya parenteral sehingga dapat
digunakan untuk infeksi berat khususnya yang disebabkan oleh kuman gram-negatif.Daya
antibakterinya terhadap kuman gram-positif relatif lemah.Yang termasuk golongan ini ialah
siprofloksasin, pefloksasin, ofloksasin, norfloksasin, enoksasin, levofloksasin, fleroksasin,
dll.Terdapat golongan kuinolon baru yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, dan gemifloksasin.
2. Mekanisme kerja
28
Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon
terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomerase II (=DNA Girase) dan IV pada
kuman.
3. Resistensi
Mekanisme resistensi melalui plasmid tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun
resistensi terhadap kuinolon dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu:
Mutasi gen gyr A yang menyebabkan subunit A dari DNA girase kuman
berubah sehingga tidak dapat diduduki molekul obat lagi
Perubahan pada permukaan sel kuman yang mempersulit penetrasi obat ke
dalam sel c.Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux)
4. Indikasi
Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antara lain:
• Infeksi Saluran Kemih (ISK): Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa
penyulit. Siprofloksasin, norfloksasin, dan ofloksasin dapat mencapai kadar yang cukup
tinggi di jaringan prostat dan dapat digunakan untuk terapi prostatitis bakterial akut
maupun kronik.
• Infeksi Saluran Cerna: Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan oleh
Shigella, Salmonella, E.coli dan Campylobacter. Siprofloksasin dan ofloksasin
mempunyai efektivitas yang baik terhadap demam tifoid.
• Infeksi Saluran Napas (ISN): Secara umum efektivitas flurokuinolon generasi pertama
untuk infeksi bakterial saluran napas bawah adalah cukup baik. Namun perlu diperhatikan
bahwa kuman S.pneumoniae dan S.aureus yang sering menjadi penyebab ISN kurang
peka terhadap golongan obat ini.
• Penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual : Siprofloksasin oral dan
levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriakson dan sefiksim
untuk pengobatan uretris dan servitis oleh gonokokus.
• Infeksi tulang dan sendi : Siprofloksasin oral yang diberikan selama 4-6 minggu efektif
untuk mengatasi infeksi pada tulang dan sendi yang disebabkan oleh kuman yang peka.
• Infeksi kulit dan jaringan lunak: Fluorokuinolon oraal mempunyai efektivitas sebanding
dengan sefalosporin parenteral generasi ketiga untuk pengobatan infeksi berat pada kulit
atau jaringan lunak.
29
5. Efek samping
Beberapa efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat ini ialah:
Saluran cerna : Paling sering timbul pada penggunan golongan kuinolon dan
bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.
Susunan saraf pusat : Yang paling sering dijumpai ialah sakit kepala dan
pusing.
Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang dan delirium.
Kardiototoksitas : Beberpa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan
grepafloksasin (kedua obat ini sekarang tidak dipasarkan lagi) dapat
memperpanjang interval QTc (corrected QT interval).
Lain-lain: Golongan kuinolon hingga sekarang tidak diindikasikan untuk anak
(sampai 18 tahun) dan wanita hamil karena data dari penelitian hewan
menunjukkan bahwa golongan ini dapat menimbulkan kerusakan sendi.
6. Interaksi obat
Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat,
misalnya:
Antasid dan preparat besi (Fe)
Teofilin
Obat-obat yang memperpanjang interval QTc
(Setiabudy, Rianto. 2009)
SEFALOSPORIN GOLONGAN KETIGA
Sefalosporin golongan ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi
pertama terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,
termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P.
Aeruginosa.Hingga saat ini sefalosproin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson. (Widodo D. 2009)
1. Farmakokinetik
Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya sefuroksim, seftriakson, sefepim,
sefotaksim dan seftizoksim mencapai kadar yang tinggi di cairan serebrospinal (CSS),
sehingga dapat bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin
30
juga melewati sawar darah uri, mencapai kadar tinggi di cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi ketiga di cairan mata
relatif tinggi, tetapi tidak mencapai vitreus. Kadar sefalosporin dalam empedu umumnya
tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal, dengan proses
sekresi tubuli, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Karena
itu dosis sefalosporin umumnya harus dikurangi pada pasien insufisiensi ginjal.Probenesid
mengurangi ekskresi sefalosporin, kecuali moksalaktam dan beberapa lainnya.Sefalotin,
sefapirin dan sefotaksim mengalami deasetilasi; metabolit yang aktivitas antimikrobanya
lebih rendah juga diekskresi melalui ginjal.
2. Efek samping
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan
reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin.Reaksi mendadak yaitu anafilaksis dengan
spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi.Reaksi silang umumnya terjadi pada pasien
dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin ringan atau sedang
kemungkinannya kecil.Dengan demikian pada pasien dengan alergi penisilin berat, tidak
dianjurkan penggunaan sefalosporin atau kalau sangat diperlukan harus diawasi dengan
sungguh-sungguh.Reaksi Coombs sering timbul pada penggunaan sefalosporin dosis
tinggi.Depresi sumsum tulang terutama granulositopenia dapat timbul meskipun jarang.
Sefalosporin bersifat nefrotoksik, meskipun jauh lebih ringan dibandingkan
aminoglikosida dan polimiksin.Nekrosis ginjal dapat terjadi pada pemberian sefaloridin 4
g/hari (obat ini tidak beredar di Indonesia). Sefalosporin lain pada dosis terapi jauh kurang
toksik dibandingkan dengan sefaloridin. Kombinasi sefalosporin dengan gentamisin atau
tobramisin mempermudah terjadinya nefrotoksisitas.Diare dapat timbul terutama pada
pemberian sefoperazon, mungkin karena ekskresinya terutama melalui empedu, sehingga
mengganggu flora normal usus.Selain itu dapat terjadi perdarahan hebat karena
hipoprotrombinemia, dan/atau disfungsi trombosit, khususnya pada pemberian moksalaktam.
3. Indikasi
Sefalosporin generasi ketiga tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida
merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Enterobacter, Proteus,
Provedencia, Serratia dan Haemophillus spesies.Seftriakson dewasa ini merupakan obat
pilihan untuk semua bentuk gonore dan infeksi berat penyakit Lyme.(Istiantoro YH & Gan
VHS. 2009)
31
NORFLOXACIN
Farmakokinetik: Infeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi, infeksi saluran kemih
berkomplikasi, infeksi saluran pencernaan, gonore akut tidak berkomplikasi.
Kontraindikasi: Hipersensitifitas, Insufisiensi ginjal berat.
Perhatian:
Hamil & menyusui.
Anak-anak yang belum puber.
Diketahui atau diduga lesi susunan saraf pusat.
Interaksi obat :
Probenesid.
Bisa meningkatkan kadar Teofilin.
Sukralfat dan antasida bisa mengganggu absorpsi Norfloksasin.
Efeksamping :
Efek saluran pencernaan, manifestasi kulit & neuropsikiatrik.
Indeks keamanan pada wanita hamil :
Penelitian pada hewan menunjukkan efek samping pada janin ( teratogenik atau embriosidal
atau lainnya) dan belum ada penelitian yang terkendali pada wanita atau penelitian pada
wanita dan hewan belum tersedia. Obat seharusnya diberikan bila hanya keuntungan
potensial memberikan alasan terhadap bahaya potensial pada janin.
Kemasan :
Tablet salut selaput 400 mg x 3 x 10 biji.
Dosis:
Infeksi saluran kemih akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 200 mg.
Infeksi saluran kemih berkomplikasi : 2 kali sehari 400 mg.
Infeksi saluran pencernaan : 2-3 kali sehari 400 mg.
Gonore akut tidak berkomplikasi : 2 kali sehari 600 mg atau 800 mg dalam dosis tunggal.
Penyajian
Dikonsumsi pada perut kosong (1 atau 2 jam sebelum/sesudah makan)
CEFTRIAXONE
1.Farmakodinamik
32
Ceftriaxone adalah golongan cefalosporin dengan spektrum luas, yang membunuh
bakteri dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.Ceftriaxone secara relatif mempunyai
waktu paruh yang panjang dan diberikan dengan injeksi dalam bentuk garam sodium.
2.Farmakokinetik
Ceftriaxone secara cepat terdifusi kedalam cairan jaringan, diekskresikan dalam
bentuk aktif yang tidak berubah oleh ginjal (60%) dan hati (40%).Setelah pemakaian 1 g,
konsentrasi aktif secara cepat terdapat dalam urin dan empedu dan hal ini berlangsung lama,
kira-kira 12-24 jam.Rata-rata waktu paruh eliminasi plasma adalah 8 jam. Waktu paruh pada
bayi dan anak-anak adalah 6,5 dan 12,5 jam pada pasien dengan umur lebih dari 70 tahun.
Jika fungsi ginjal terganggu, eliminasi biliari terhadap Ceftriaxone meningkat.
3.Indikasi
• Sepsis
• Meningitis
• Infeksi abdominal
• Infeksi tulang, persendian, jaringan lunak, kulit, dan luka-luka
• Pencegah infeksi prabedah
• Infeksi dengan pasien gangguan mekanisme daya tahan tubuh
• Infeksi ginjal dan saluran kemih
• Infeksi saluran pernafasan
• Infeksi kelamin termasuk gonorrhea
4..Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap Cefalosporin
Hipersensitif terhadap penisilin/antibiotika β-lactam
5.Dosis
Dewasa dan anak-anak > 12 tahun: 1x12 g, setiap 24 jam
Pada infeksi berat dapat ditingkatkan sampai 4 g (1x sehari)
AZITROMISIN
1.Farmakologi
Azitromisin adalah antibiotik golongan makrolida pertama yang termasuk dalam kelas
azalide.Azitromisin diturunkan dari eritromisin dengan menambahkan suatu atom nitrogen ke
cincin lakton eritromisin A. Pemberian azitromisin secara oral diserap secara cepat dan
segera didistribusi ke seluruh tubuh. Distribusi azitromisin yang cepat ke dalam jaringan dan
konsentrasi yang tinggi dalam sel mengakibatkan kadar azitromisin dalam jaringan lebih
33
tinggi dari plasma atau serum. Sebuah studi memperlihatkan bahwa makanan meningkatkan
kadar maksimum (Cmax ) hingga 23% tapi tidak ada perubahan pada nilai AUC.
2.Mikrobiologi
Azitromisin beraksi menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mengikat
ribosom subunit 50S. Azitromisin tidak mengusik pembentukan asam nukleat.Azitromisin
aktif terhadap mikroorganisme berikut berdasarkan in vitro dan infeksi klinis.
Bakteri aerob gram positif :Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus
pneumoniae, dan Streptococcus pyogenes.
Bakteri aerob gram negatif :Haemophilus ducreyi, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis, dan Neisseria gonorrhoeae.
Mikroorganisme lainnya :Chlamydia pneumoniae, Chlamydia trachomatis, dan Mycoplasma
pneumoniae.
Azitromisin memperlihatkan resistensi silang dengan galur gram positif resisten
eritromisin.Sebagian besar galur Enterococcus faecalis dan methicillin-resistant
staphylococci resisten terhadap azitromisin.
3.Indikasi
Infeksi saluran napas bawah dan atas, kulit, dan penyakit hubungan seksual.
4.Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap azitromisin atau makrolida lainnya.
5.Dosis& Cara PemberianDewasa dan lansia : 500 mg per hari selama 3 hari
Anak > 6 bulan : dosis tunggal 10 mg/kg selama 3 hari.
6.Efek samping :
Mual, rasa tidak nyaman di perut, muntah, kembung, diare, gangguan pendengaran, nefritis
interstisial, gangguan ginjal akut, fungsi hati abnormal, pusing/vertigo, kejang, sakit kepala,
dan somnolen.
7.Interaksi
Antasid yang mengandung aluminium dan magnesium mengurangi kadar puncak plasma
(rate of absorption) azitromisin, namun nilai AUC (extent of absorption) tak
berubah.Azitromisin mengurangi klirens triazolam sehingga meningkatkan efek
farmakologinya.
34
Daftar Pustaka
C. A, Dinarello and J.A Gelfand. 2005. Fever and Hyperthermia. New York: Mcgraw Hill.
Departemen Farmakologi dan Teurapeutik Fakultas Kedokteran Indonesia.2012.Farmakologi
dan Terapi.Jakarta:Badan Penerbit FKUI.
Jawetz,Ernest,et all. 1996.Mikrobiologi Kedokteran.Edisi20.Jakarta:EGC.
Kaye, Elaine T and Kaye, Kanneth M. 2001. Fever and Rash: In Harrison’s Principles of
Internal Medicine. New York: Mcgraw Hill.
Mansjoer, arif; Triyanti, kuspuji; dll. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius.
Muscari, mary E. 2005. Keperawatan pediatrik.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
35
Sudoyo, aru; Setiyo, hadi; dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga
http://www.dechacare.comdiakses pada Kamis, 27 Maret 2013
www.indofarma.co.id diakses pada Kamis, 27 Maret 2013
http://www.kesehatanmasyarakat.info/?p=476 diakses pada Jumat, 28 Maret 2013
http://itd.unair.ac.id/files/pdf/protocol1/Salmonella%20sp.pdf diakses pada Jumat, 28 Maret
2013
36