DR. MUALIMIN ABDI, SH.,MH.
DIREKTUR JENDERAL HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
Workshop Advokasi Kemenpora, 26 Juni 2015
UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.
UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Dasar Hukum
PEMBEKUAN PSSI DENGAN SK MENPORA NO.
01307 TAHUN 2015;
GUGATAN PSSI KEPADA PEMERINTAH, c.q. SK
MENPORA VIA PTUN.
MASALAH AKTUAL KEOLAHRAGAAN DAN
KEPEMUDAAN
Peran Pemerintah Dalam Litigasi
Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ”Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang”.
Pasal 20 ayat (2) huruf b UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan Mahkamah Agung
Berwenang ” menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ”
Peran Pemerintah Dalam Pengujian Peraturan di
bawah Undang-Undang
Pasal 25 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Pengujian Undang-undang menyatakan bahwa:
“Keterangan Presiden adalah merupakan keterangan resmi
pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai
pokok permohonan, yang merupakan hasil dari kegiatan
koordinasi dari menteri-menteri dan/atau Lembaga atau
Badan Pemerintah yang terkait”.
Penyusunan Keterangan Pemerintah
Langkah yang perlu dilakukan dalam rangka
penyusunan Keterangan Pemerintah
Penelaahan dan pengkajian mengenai:
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon (Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi maupun berdasarkan putusan yang telah ditetapkan
oleh Mahkamah Konstitusi (vide putusan Mahkamah Konstitusi
No 006/PUU-III/2005 dan putusan–putusan Mahkamah
Konstitusi berikutnya) memberikan batasan-batasan sebagai
berikut):
adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang
yang diuji;
bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang
dimohonkan untuk diuji;
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Pasal, ayat dan atau bagian Undang-Undang mana saja yang dimohonkan untuk diuji;
Pasal, ayat dan atau bagian Undang-Undang tersebut dianggap bertentangan dengan pasal, ayat dan atau
bagian mana dari Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pihak-pihak mana saja (stakeholder) yang berkaitan dengan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji.
Resume Perkara Pengujian Undang-Undang.
Kegiatan pengumpulan bahan/data ini meliputi kegiatan pencarian, pengumpulan bahan/data yang
berkaitan dengan materi pengujian tersebut dan pengolahan bahan/data dalam rangka penyiapan dan
penyusunan Keterangan Pemerintah atas permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahan/data yang diperlukan dapat berupa:
Undang-undang dan peraturan pelaksananya;
Putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan materi undang-undang yang diuji;
Bahan-bahan lain yang mendukung, misalnya literatur, surat kabar, majalah, jurnal, Naskah Akademik dan
Risalah Persidangan di DPR.
Masukan dari para narasumber yang berkompeten.
II. Pengumpulan Bahan/data
Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementrian, organisasi kemasyarakatan,
organisasi agama, atau organisasi profesi yang terkait dengan materi pengujian undang-undang. Selain
itu koordinasi dapat dilakukan pula dalam proses pemeriksaan perkara pengujian undang-undang yang
bersangkutan baik dalam memberikan keterangan, mengajukan ahli dan saksi sebagai “counter” bukti
terhadap pembuktian yang diajukan oleh pemohon (Pasal 25 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/PMK/2005 yang menyebutkan bahwa “Keterangan Presiden adalah keterangan resmi
pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok-pokok permohonan yang merupakan
hasil koordinasi dari Menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait”.
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagai kuasa permanen dari Pemerintah/Presiden,
bertindak selaku koordinator dalam penyiapan penyusunan Keterangan Pemerintah atas pengujian
undang-undang, khususnya undang-undang yang materinya terkait langsung dengan Kementrian,
Lembaga Negara, Lembaga Pemerintah Non Kementrian, organisasi kemasyarakatan, organisasi agama,
atau organisasi profesi, dan lain-lain. Selain itu forum koordinasi juga dapat dilakukan untuk:
mendiskusikan kemungkinan perlu tidaknya menghadirkan ahli dan/atau saksi di persidangan
Mahkamah Konstitusi;
memilih atau menentukan ahli dan/atau saksi yang kompeten untuk memberikan keterangan baik
secara tertulis dan/atau lisan di depan pemeriksaan persidangan di Mahkamah Konstitusi;
menyiapkan tanggapan tertulis dan/atau lisan atas keterangan Pemohon dan/atau keterangan pihak
terkait.
III. Koordinasi dengan Instansi Terkait
Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsitusi dan Pasal5 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
06/PMK/2005, serta Pasal 51A Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan UU. No. 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, sekurang-kurangnya harus memuat antara lain:
Pokok-Pokok Isi Keterangan Pemerintah di Persidangan
Mahkamah Konstitusi
• Judul Keterangan Pemerintah atas
pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Contoh:
KETERANGAN PEMERINTAH
ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
Judul ditulis ditengah marjin dengan huruf
kapital
Pada bagian ini memuat identitas kuasa Pemerintah/ Presiden,
tanggal Surat Kuasa, pernyataan untuk menyampaikan
Keterangan Pemerintah baik lisan maupun tertulis yang
merupakan satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan atas
permohonan pengujian undang-undang, Pemohon, dan pokok
permohonan pemohon/para pemohon
Pendahuluan.
• Bagian ini berisi mengenai uraian mengenai penilaian Pemerintah terhadap
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian undang-undang
tersebut, dan pendapat Pemerintah yang menyatakan bahwa secara nyata tidak
terdapat hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon yang dirugikan atas
berlakunya undang-undang aquo serta permohonan Pemerintah agar Ketua /Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Pemohon pengujian
undang-undang tersebut ditolak (void) atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima
(niet onvankelijk verklaard).
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
• Bagian ini memuat penjelasan atau argumentasi
Pemerintah terhadap pengujian undang-undang yang
berupa keberatan terhadap dalil Pemohon atas materi
muatan, pasal, ayat dan/ atau bagian undang-undang
yang menganggap undang-undang yang diuji tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun
1945.
Penjelasan Pemerintah atas permohonan pengujian undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945
• Bagian kesimpulan ini memuat permintaan
Pemerintah kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa dan memutus perkara
pengujian undang-undang serta memuat hal-hal yang
dimohonkan untuk diputus.
Kesimpulan
• Tanda Tangan Kuasa Pemerintah memuat
tanda tangan satu atau lebih penerima
Kuasa Khusus dari Presiden untuk mewakili
Presiden dalam beracara di Mahkamah
Konstitusi.
Tanda Tangan Kuasa Pemerintah
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara, yang berada di bawah Mahkamah Agung. Pentingnya
PTUN adalah untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa antara
pemerintah dengan warga Negara akibat adanya kegiatan pemerintah dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. PTUN
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa di bidang Tata Usaha Negara
(TUN). Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul antara orang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara.
Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 dinyatakan bahwa:
Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau direhabilitasi.
Menurut pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004, ada 2 (dua) hal yang dijadikan alasan untuk
mengajukan gugatan di PTUN, yaitu: (1) KTUN bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2)
KTUN bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik (UU 1999/28 Tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
Dasar pengujian Keputusan TUN
Adanya suatu kepentingan yang dirugikan, merupakan suatu
alasan yang digunakan oleh orang atau badan hukum privat
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN untuk
menuntut agar KTUN dinyatakan batal atau tidak mempunyai
kekuatan hukum. Pihak yang merasa kepentingannya
dirugikan sebagai akibat keluarnya KTUN dan menggugat
KTUN di PTUN. Kepentingan adalah hak yang seharunsya
dilindungi oleh hukum, dan kerugian dalam sengketa tata
usaha negara harus dapat diukur secara materil yang dapat
dinilai dengan uang.
Alasan Pengajuan Gugatan PTUN
AAUPB adalah meliputi: (1) kepastian hukum; (2) tertib
penyelenggaraan negara; (3) kepentingan umum; (4)
keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6) profesionalitas; (7)
akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam UU 1999/28
Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Baik
T E R I M A K A S I H