USAID/INDONESIA
ANALISIS GENDER DALAM
COUNTERING VIOLENT EXTREMISM
DESEMBER 2017 Dokumen ini disusun oleh tim konsultan Management Systems International untuk dikaji oleh United States Agency for International Development.
USAID/Indonesia
Analisis Gender dalam
Countering Violent Extremism
Kontrak dibawah
Indonesia Monitoring & Evaluation Support Project
PERNYATAAN
Pandangan dan pendapat penulis didalam dokumen ini tidak mencerminkan pandangan dan pendapat
dari United States Agency for International Development ataupun Pemerintah Amerika Serikat.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism i
Akronim
AIPJ II Australia Indonesia Partnership for Justice II
BNPT Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
CVE Countering Violent Extremism / penanggulangan kekerasan ektrimis
Desmigratif Desa Migran Produktif
Densus 88 Detasemen Khusus 88
FGC Focus Grup Consultation / konsultasi grup terarah
FKPT Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme
Kesbangpol Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Pos PAUD Pos Pendidikan Anak Usia Dini
PPTKLN Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian
Ketenagakerjaan Republik Indonesia
USAID United States Agency for International Development
UU Undang-Undang
VE Violent Extremism / kekerasan ektrimis
WNI Warga Negara Indonesia
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism ii
Daftar Isi
Akronim .............................................................................................................................................. i
Daftar Isi ............................................................................................................................................ ii
Ringkasan Eksekutif ...................................................................................................................... 1 1. Latar Belakang ........................................................................................................................................... 3
1.1. Tujuan ...................................................................................................................................................... 3 1.2. Pertanyaan Analisis Gender ........................................................................................................... 3 1.3. Metodologi ............................................................................................................................................. 4
2. Hasil Analisis Gender dalam CVE ....................................................................................................... 5 2.1. Hukum, Peraturan dan Kebijakan yang berkaitan dengan CVE .................................. 5 2.2. Akses Informasi .................................................................................................................................... 7 2.3. Peran Gender dalam Organisasi Ekstremis ............................................................................ 9 2.4. Peran Perempuan dan Laki-Laki dalam Pencegahan Kekerasan Ekstrim .............. 9 2.5. Dampak dan Strategi Bertahan Hidup .................................................................................. 10
3. Kesimpulan ............................................................................................................................................... 11 4. Inisiatif Program Gender dan CVE .................................................................................................. 13 5. Rekomendasi ........................................................................................................................................... 13
Dokumen Rujukan ...................................................................................................................... 15
Lampiran 1 Kerangka Analisis................................................................................................ 16
Lampiran 2 Instrumen Pengumpulan Data ....................................................................... 18
Lampiran 3 Informan Kunci .................................................................................................... 22
Lampiran 4 Rencana Kerja ....................................................................................................... 24
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 1
Ringkasan Eksekutif
Analisis gender ini bertujuan untuk mengidentifikasi isu-isu gender dan kesenjangan gender
secara makro, serta mendokumentasikannya sebagai bagian dari proses penyusunan program
Contering Violent Extremism oleh USAID. Pertanyaan-pertanyaan analisis disusun menggunakan
kerangka kerja analisis gender USAID yang fokus pada kebijakan dan institusi, akses
informasi, peran-peran gender, norma-norma sosial dan kultural yang mempengaruhi peran
gender, dan pola-pola kepemimpinan.
Analisis gender ini menggunakan metode kualitatif. Temuan-temuan yang dilaporkan dalam
penelitian diperoleh melalui kajian dokumen, publikasi riset yang berkaitan dengan CVE,
wawancara mendalam semi terstruktur, dan Focus Group Consultation (FGC). Wawancara
mendalam semi terstruktur dan FGC melibatkan 54 informan kunci yang terdiri dari 20
orang laki-laki dan 34 orang perempuan dari berbagai kelompok kepentingan. Data analisis
dilakukan dengan cara triangulasi untuk memastikan validitas dan konsistensi data yang
kemudian diinterpretasi menggunakan perspektif gender. Gender analisis ini tidak
dimaksudkan untuk menilai atau mengevaluasi program-program CVE yang sudah dilakukan
oleh pemerintah Indonesia maupun organisasi masyarakat sipil.
Hasil analisis gender terhadap kelima domain yang diteliti dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Paradigma kebijakan penanggulangan violent extremism di Indonesia adalah
penanggulangan terorisme, sehingga upaya pencegahan mengalami ketertinggalan.
Kebijakan penanggulangan terorisme yang mengacu pada Undang-Undang No.15
Tahun 2003 masih netral gender dalam konteks penanggulangan atau pencegahan
violent extremism. Upaya-upaya pencegahan yang lebih banyak diinisiasi oleh organisasi
masyarakat sipil di daerah, mengindikasikan lemahnya kapasitas kepemimpinan
pemerintahan lokal dalam memahami dan merespon ancaman radikalisme dan
ekstrimisme yang semakin marak.
2. Partisipasi masyarakat dalam organisasi ekstremis didorong oleh kombinasi faktor
internal dan external. Faktor-faktor internal diantaranya adalah rasa marah terhadap
ketidakadilan, terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan publik, dan ancaman
terhadap norma-norma dan kultur keagamaan yang diyakini. Faktor eksternal adalah
keberadaan organisasi ekstremis yang menjanjikan kebersamaan kolektif berbasis
keagamaan, perlindungan terhadap norma-norma keagamaaan dan identitas kolektif
berbasis keagamaan.
3. Baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam organisasi ekstremis dan kekerasan
ekstrim. Organisasi tersebut mengandalkan kepemimpinan karismatik laki-laki. Peran
kepemimpinan diberikan kepada laki-laki. Mereka dipercayai memiliki pengetahuan keagamaaan lebih tinggi dan kemampuan memimpin yang lebih baik dari perempuan.
Namun, peran-peran perempuan juga tidak kalah strategis daripada laki-laki.
Perempuan dalam organisasi ekstremis dapat berperan sebagai pendidik, pendakwah,
pengumpul dana, perekrut, penyedia logistik, dan pendamping suami. Perempuan juga
berperan melahirkan dan mengasuh anak yang diproyeksikan menjadi mujahid.
4. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pencegahan radikalisme dan ekstremisme.
Perbedaan cara pandang perempuan dan laki-laki dalam memaknai fenomena
kekerasan dan perbedaan mereka dalam menginternalisasi rasa aman, rasa damai,
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 2
harmoni sosial dan terhadap keterbukaan yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari,
memungkinan perempuan memegang kepemimpinan strategis dalam kegiatan
pencegahan radikalisme dan ekstremisme. Maka, kepemimpian perempuan perlu
dipromosikan dalam CVE.
5. Dalam situasi krisis karena terdampak oleh radikalisme, fundamentalisme agama dan
kekerasan ekstrim, laki-laki dan perempuan dalam keluarga mengalami rasa
kehilangan dan kedukaan karena kehilangan anggota keluarga. Absennya pemimpin
keluarga dan pencari nafkah utama, mendorong perempuan untuk mengambil posisi
kepemimimpinan guna mempertahankan ekonomi keluarga. Perempuan membangun
jaringan solidaritas antar perempuan untuk mendukung kemandirian sosial dan
ekonomi.
Untuk merespon isu-isu gender dan ketimpangan gender dalam CVE, direkomendasikan
beberapa strategi berikut:
1. CVE harus mengupayakan agar hukum dan kebijakan penanggulangan kekerasan ekstrim mengintegrasikan perspektif gender, hak perempuan dan hak anak.
Perempuan dan organisasi perempuan harus berpartisipasi dalam setiap proses
pembuatan hukum dan kebijakan CVE di tingkat nasional dan lokal.
2. CVE perlu menggunakan pendekatan keluarga dan komunitas untuk mendukung
ketahanan keluarga dan komunitas dari ancaman radikalisme dan kekerasan ekstrim.
Ketahanan keluarga dan komunitas harus mempromosikan kepemimpinan perempuan
dan orang muda di pedesaan dan perkotaan.
3. Program CVE direkomendasikan untuk mendukung terwujudnya pembangunan desa
yang inklusif melalui penguatan kepemimpinan pemerintahan desa dan penguatan
kapasitas masyarakat.
4. Program-program CVE harus memperkuat kapasitas pemerintahan lokal dalam
merespon VE dan isu gender terkait CVE termasuk kapasitas perencanaan
penganggaran, pengintegrasian dalam program pembangunan dan koordinasi antar
sektoral.
5. Program-program CVE harus bekerja dengan organisasi berbasis keagamaan yang
progresif untuk menyebarluaskan narasi-narasi anti-radikalisme, mempromosikan
kesetaraan gender dan keberagaman secara online dan offline.
6. Perlu penelitian lebih rinci tentang dampak propaganda poligami, anti keluarga
berencana dan anti imunisasi terhadap situasi kesehatan perempuan dan anak-anak.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 3
1. Latar Belakang
Perkembangan fundamentalisme Islam di Timur Tengah memiliki dampak besar bagi Indonesia.
Kemunculan organisasi ekstremis yang mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan
masyarakat dari berbagai kelas sosial, meningkatkan tendensi intoleransi berbasis keagamaan
dan penggunaan kekerasan yang mengancam hak asasi manusia, harmonisasi sosial dan
keberagaman. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil termasuk universitas, lembaga riset,
lembaga berbasis keagamaan dan organisasi perempuan telah melakukan langkah-langkah
penindakan dan pencegahan penyebaran faham-faham ekstremisme dengan berbagai inisiatif,
yang meliputi penyelenggaraan riset, penguatan hukum, dan rehabilitasi.
USAID bersama dengan pemerintah Indonesia mempersiapkan sebuah proyek penanggulangan
kekerasan ekstrim yang akan dimulai pada tahun 2018. Dalam kaitannya dengan pengembangan
proyek-proyek baru, kebijakan USAID mengharuskan adanya gender analisis dalam sektor
khusus yang akan dikembangkan. Bagi USAID, gender analisis adalah sebuah upaya sistematis
untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan peran, pembagian
kerja, sumber daya, hambatan, kebutuhan, kesempatan, kapasitas dan kepentingan perempuan
dan laki-laki termasuk anak perempuan dan anak laki-laki, dalam konteks sosial, ekonomi,
politik dan budaya tertentu. Ruang lingkup analisis akan tergantung dari level kebutuhan dari
departemen teknis, dengan tujuan agar ketidaksetaraan gender dan hambatan keberdayaan
perempuan dapat direspon, sehingga kesetaraan gender dan keberdayaaan perempuan
tercermin dalam tujuan program.
1.1. Tujuan
Analisis gender ini bertujuan untuk mengidentifikasi isu-isu gender di level makro dalam CVE,
sebagai salah satu sumber informasi untuk program CVE yang sedang disusun oleh USAID.
Analisis ini melihat sektor hukum dan kebijakan tentang CVE, akses informasi terhadap
organisasi ekstremis dan faktor-faktor yang mendorong perempuan dan laki-laki memasuki
organisasi ekstremis, peran-peran gender dalam organisasi ekstremis, serta dampak
keterlibatan anggota keluarga dengan organisasi ekstrim terhadap laki-laki dan perempuan.
Rekomendasi dari analisis ini akan di integrasikan dalam kerangka program serta kerangka
monitoring, evaluasi dan pembelajaran.
1.2. Pertanyaan Analisis Gender
Pertanyaaan-pertanyaan dalam analisis gender ini dikembangkan dari kerangka kerja analisis
gender USAID yang melihat hukum, kebijakan dan institusi; akses sumber daya, peran-peran
gender; norma sosial dan budaya; dan pola kepemimpinan sebagai domain analisis gender.
Pengembangan beberapa pertanyaan spesifik dilakukan untuk memperkaya dan memperkuat
analisis gender sesuai dengan kebutuhan sektor CVE.
Pertanyaan-pertanyaan penelitian disusun dalam kerangka sebagai berikut:
A. Hukum, Peraturan, Kebijakan
1. Apa saja aturan dan kebijakan yang berkaitan tentang CVE?
2. Bagaimana aturan dan kebijakan itu berdampak pada laki2 dan perempuan?
B. Akses Informasi
1. Bagaimana perempuan dan laki-laki memperoleh informasi tentang organisasi
ekstremis?
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 4
2. Bagaimana informasi-informasi itu mendorong laki-laki dan perempuan bergabung
dengan organisasi ekstremis?
C. Peran Gender
1. Apa peran laki-laki dan perempuan dalam mempromosikan ekstrimisme?
2. Apa peran laki-laki dan perempuan dalam organisai ekstremis?
3. Bagaimana norma-norma sosial dan kultural yang berkaitan dengan peran gender
berkontribusi mendorong laki-laki dan perempuan untuk bergabung dengan
organisasi ekstremis?
4. Bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam pencegahan kekerasan ekstrim?
D. Dampak Bagi Keluarga
1. Bagaimana keterlibatan anggota keluarga dengan organisasi ekstrim berdampak bagi
laki-laki dan perempuan?
2. Bagaimana laki-laki dan perempuan bertahan dari dampak tersebut
Agar konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, laporan analisis gender disusun
berdasarkan keempat tema pertanyaan. Pembahasan tentang norma-norma sosial-kultural dan
pola-pola kepemimpinan yang berkaitan dengan peran-peran gender dijelaskan dalam tema-
tema tersebut.
1.3. Metodologi
Gender analisis ini menggunakan metode kualitatif. Temuan-temuan yang dilaporkan dalam
penelitian ini diperoleh dari kajian dokumen, publikasi riset yang berkaitan dengan CVE,
wawancara mendalam semi terstruktur dan Focus Group Consultation (FGC). Wawancara dan
FGC melibatkan 54 informan kunci yang terdiri dari 20 orang laki-laki dan 34 orang perempuan
dari berbagai kelompok kepentingan.
Wawancara mendalam semi terstruktur dilakukan dengan perwakilan beberapa organisasi yang
bekerja di sektor CVE, organisasi perempuan, organisasi internasional dan nasional yang
bekerja di sektor migrasi, organisasi berbasis keagamaan, institusi riset yang berkaitan dengan
program CVE, perwakilan beberapa lembaga pemerintah, dan perwakilan dari beberapa
organisasi ekstremis. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang situasi
hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan CVE, sumber-sumber informasi tentang organisasi
ekstremis dan bagaimana masyarakat dapat mengakses informasi dan terdorong untuk ikut
menjadi partisipan organisasi ekstremis. Wawancara juga menggali peran-peran gender dalam
organisasi ekstremis, dan strategi bertahan hidup dari keluarga yang anggotanya terlibat VE.
Data juga diperoleh dari FGC dengan anggota masyarakat perempuan dan laki-laki secara
terpisah di Solo, Kabupaten Tangerang, Dompu, dan Bima. Oral inform consent diberikan oleh
semua individu yang terlibat dalam FGC, dengan catatan nama informan dan nama daerah
asalnya tidak disebutkan dalam laporan penelitian ini. FGC bertujuan untuk menggali informasi
tentang bentuk-bentuk kekerasaan ekstrim yang terjadi dalam masyarakat setempat, serta
bagaimana kekerasan dilihat dari sudut pandang laki-laki dan perempuan. FGC juga
dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari masyarakat laki-laki dan perempuan tentang
kebijakan lokal yang berkaitan dengan CVE.
Data dianalisis dengan triangulasi untuk memastikan validitas dan konsistensi data, kemudian
diinterpretasi menggunakan perspektif gender. Gender analisis dalam CVE ini tidak
dimaksudkan untuk menilai atau mengevaluasi program-program CVE yang sudah dilakukan
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 5
oleh pemerintah Indonesia maupun organisasi masyarakat sipil. Penggalian isu-isu gender yang
masih menjadi gap atau sudah direspon oleh institusi pemerintah ataupun organisasi
masyarakat sipil, akan menjadi pengetahuan dalam memperkaya proses design program CVE
yang akan datang. Selain itu, lingkup analisis gender ini terbatas pada pertanyaan analisa
tertentu dan informasi yang diperoleh dari informan kunci.
2. Hasil Analisis Gender dalam CVE
2.1. Hukum, Peraturan dan Kebijakan yang berkaitan dengan CVE
Indonesia tidak memiliki hukum dan peraturan khusus tentang CVE. Kebijakan penanggulangan
violent extremism yang dimiliki oleh Indonesia adalah hukum tentang penanggulangan terrorisme
yang dilandasi oleh Undang-Undang (UU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. Dengan menggunakan UU tersebut, pemberantasan terorisme berfokus
pada penindakan yang dilaksanakan oleh detasemen khusus anti-teror atau lebih dikenal
dengan Densus 88.1
Tujuh tahun sejak berlakunya UU tersebut, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun 2010. BNPT memiliki tiga divisi yang
menggambarkan tugas dan fungsinya. Divisi-divisi tersebut meliputi Divisi Operasi yang bekerja
sama dengan detasemen khusus anti teror dalam kepolisian untuk mengumpulkan dan
mengkoordinasikan data intelijen, monitoring dan penangkapan; Divisi Pencegahan,
Perlindungan dan Deradikalisasi; serta Divisi Kerjasama Internasional.
Selama lebih dari satu dekade, kebijakan penanggulangan terorisme fokus pada penangkapan
dan penindakan teroris. Sementara itu penanganan kondisi sebelum teror terjadi atau upaya
pencegahan, kurang terdengar. Sebuah kemajuan terjadi pada tahun 2011, ketika Divisi
Pencegahan-BNPT mengeluarkan rencana strategis periode 2010 – 2014. Di dalam rencana
tersebut, terdapat strategi pencegahan yang memiliki empat tujuan besar. Pertama, peningkatan
kesadaran melalui diseminasi informasi, pelatihan dan propaganda anti teroris. Kedua,
perlindungan obyek-obyek vital, area perumahan dan tempat-tempat publik dari tindakan
terorisme. Ketiga, menurunkan penyebaran ideologi dan propaganda radikal. Keempat,
mencegah masyarakat agar tidak terpengaruh dengan ideologi radikal, serta pemutusan
hubungan atau disengagement antara pelaku teror, keluarga dan jaringannya dari terorisme.2
Untuk melengkapi upaya pencegahan, BNPT secara bertahap membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang di mulai pada tahun 2012 di tingkat provinsi yang
beranggotakan tokoh-tokoh agama, wakil organisasi kepemudaan, akademisi, dan pemimpin
beberapa organisasi masyarakat sipil. Kegiatan FKPT pada umumnya adalah mempromosikan
dialog untuk pencegahan terorisme melalui seminar. Di tiap-tiap provinsi, kerjasama antara
FKPT dengan pemerintah provinsi dikoordinasikan oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik
(Kesbangpol).
Seminar-seminar dan kegiatan seremonial diselenggarakan untuk diseminasi faham anti
radikalisme dan terorisme. Namun, informan dari organisasi perempuan yang diwawancarai
1 Informasi lebih rinci lihat laporan International Crisis Group, “Deradicalization” and Indonesian Prisons, Asia
Report No 142, 18 November 2007. 2 Untuk informasi lebih lanjut, lihat BNPT, “Rencana Strategis Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan
Deradikalisasi”.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 6
menyayangkan absennya isu-isu perempuan dari substansi seminar dan dialog pencegahan
terorisme. Mereka menjelaskan bahwa dari perspektif perempuan, pengabaian persoalan-
persoalan perempuan yang terkait dengan radikalisme, dapat dikatakan sebagai pengabaian
terhadap keamanan insani.3 Keamanan insani yang dimaknai sebagai keamanan hidup sehari-
hari setiap manusia ditandai dengan tiadanya ancaman terhadap tubuh, kebebasan, dan tumbuh
kembang dimana perempuan dan laki-laki dapat memiliki hidup yang baik. Dengan demikian,
keamanan insani merupakan kondisi yang memungkinkan manusia hidup tanpa ancaman dan
tekanan sehingga dapat menikmati hak-hak asasinya.
Dengan mengedepankan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keamanan insani,
perempuan menengarai bahwa ideologi Islam yang digunakan oleh organisasi-organisasi
ekstremis di Indonesia telah menghalangi kebebasan perempuan dan anak perempuan,
mengeksploitasi tubuh perempuan dan mengancam hak-hak perempuan. Ancaman terhadap
hak-hak perempuan dapat dilihat dalam praktik-praktik poligami, anti-keluarga berencana,
serta anti imunisasi yang dijalankan dan dikampanyekan oleh kelompok ekstremis.4 Ideologi
Islam yang dipraktikkan dalam bentuk domestikasi perempuan, eksploitasi tubuh perempuan melalui eksploitasi rahimnya serta ancaman terhadap kebebasan perempuan menjadi alert bagi
situasi hak asasi manusia di Indonesia, terlebih jika praktik-praktik yang dilakukan oleh
kelompok kecil mulai disebarkan melalui kampanye secara meluas.5 Informan dari organisasi
perempuan dan masyarakat melaporkan bahwa praktik-praktik poligami, anti-keluarga
berencana dan anti-imunisasi ditemukan dalam komunitas keluarga pengikut organisasi
ekstremis di salah satu lokasi penelitian. 6 Eksploitasi rahim perempuan untuk terus
memproduksi anak adalah bentuk kekerasan berbasis gender yang meneror tubuh perempuan
dan bertentangan dengan kebijakan pemerintah tentang keluarga berencana yang salah satu
tujuannya adalah perlindungan terhadap hak-hak kesehatan reproduksi perempuan. Sedangkan
tindakan anti-imunisasi yang dipraktikkan terhadap anak dalam keluarga pengikut organisasi
ekstremis merupakan halangan terhadap tumbuh kembang anak dan mengabaikan kebijakan
pemerintah tentang kesehatan anak yang dipromosikan salah satunya melalui imunisasi.
Meskipun praktik-praktik kekerasan berbasis gender yang bermuara pada ideologi Islam dalam
organisasi ekstremis semakin berkembang di Indonesia, pemerintah belum melihat persoalan
tersebut sebagai bagian dari persoalan terorisme. Sementara, kekerasan berbasis gender yang
melekat dalam perkembangan radikalisme menunjukkan bahwa radikalisme berbasis ideologi
Islam memproduksi dampak yang berbeda bagi kehidupan laki-laki dan perempuan. Oleh
karena itu, paradigma hukum dan kebijakan tentang penanggulangan kekerasan ekstrim di masa
depan harus mengenali perbedaan dampak tersebut. Perspektif gender perlu diintegrasikan
dalam kebijakan yang berkaitan dengan CVE dengan memberikan pengakuan pada perbedaan
pengalaman perempuan dan laki-laki dalam memaknai teror, keamanan dan perdamaian.
Undang-Undang No.15 Tahun 2003 secara substantif dipandang sebagai peraturan yang masih
netral gender. 7 Adanya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam terorisme saat ini,
menunjukkan perlunya integrasi perspektif gender secara eksplisit dalam UU Penanggulangan
Terorisme, peraturan-peraturan pelaksanaan dan rencana aksi baik di tingkat nasional dan
lokal. Penting untuk digaris bawahi bahwa hasil FGC di tiga area penelitian menunjukkan
3 Interview tanggal 8 September 2017 4 Interview tanggal 11 September 2017 5 Interview tanggal 9 September 2017. 6 Interview tanggal 28 September 2017 7 Interview tanggal 9 September 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 7
keraguan atas kapasitas pemerintah lokal dalam menangani ekstrimisme, 8 demikian juga
organisasi perempuan menyangsikan kapasitas pemerintah lokal dalam mengintegrasikan isu
gender dalam penanggulangan dan pencegahan ekstremisme.9 Oleh karena itu, penelitian yang
lebih mendalam perlu dilakukan untuk memetakan situasi dan kapasitas pemerintah lokal dalam
penanggulangan dan pencegahan ekstrimisme.
2.2. Akses Informasi
Informasi tentang organisasi ekstremis dan faham-faham radikal pada dasarnya dapat diakses
melalui dua saluran informasi yaitu offline dan online. Saluran online diantaranya adalah
Facebook, Website, Twitter, WhatsApp dan Telegram. Sedangkan saluran offline terdiri dari
beberapa majalah yang diproduksi oleh organisasi ekstremis. Saluran offline juga termasuk
interaksi antara manusia dalam pengajian, majelis taklim, dakwah, dan bisnis-bisnis islami yang
dimiliki oleh organisasi ekstremis. 10 Penyebaran informasi juga terjadi dalam lembaga
pendidikan melalui guru agama Islam,11 dalam penjara melalui interaksi dengan narapidana
teroris,12 dan dalam keluarga melalui pengasuhan.13 Dengan saluran-saluran informasi yang
relatif mudah diakses oleh segala golongan masyarakat ditambah dengan narasi yang memikat, organisasi ekstremis telah menarik perhatian laki-laki dan perempuan untuk menjadi simpatisan
atau anggota.
Teknik perekrutan disesuaikan dengan profil masyarakat yang ditarget. Contoh, perekrutan
anak-anak muda dan mahasiswa lebih banyak menggunakan saluran online karena kehidupan
sehari-hari mereka dekat dengan teknologi komunikasi dan media sosial. Informasi ditawarkan
melalui facebook dan website agar bisa dikunjungi oleh anak-anak muda dan mahasiswa.
Sementara teknik offline dilakukan di dalam kampus, melalui masa orientasi mahasiswa.
Mahasiswa yang direkrut dengan teknik offline juga mendapatkan pendampingan hingga mereka
siap dimasukkan ke dalam jaringan komunitas kajian agama Islam yang lebih besar.14 Dalam
perekrutan anak-anak muda, organisasi ekstremis menggunakan nilai-nilai maskulinitas yang
menggambarkan jihad sebagai perang membela ketidakadilan dan ketertindasan yang dialami
oleh warga Muslim. Dengan narasi kepahlawanan, laki-laki dan perempuan muda masuk dalam
organisasi ekstremis.15
Organisasi ekstremis juga menawarkan kekuatan solidaritas terhadap kelompok marjinal yang
terpinggirkan dari proses demokrasi dan mengalami ketersingkiran karena digusur dari tempat
tinggalnya. Kelompok marjinal ini meyakini bahwa kekuatan solidaritas kelompok dapat
mengamplifikasi suara dalam negosiasi politik dan meningkatkan posisi tawar. Janji solidaritas
kelompok telah menarik laki-laki dan perempuan dari keterpinggiran dan keputusasaan
kedalam organisasi ekstremis yang menjanjikan dukungan kolektif dan harapan keadilan.16
Ketertarikan orang untuk menjadi anggota organisasi ekstremis juga karena adanya daya tarik
narasi religius termasuk pembentukan identitas Islami. Tren gaya hidup “barat” yang marak di
kalangan kelas menengah dianggap sebagai ancaman terhadap budaya Islam. Organisasi
ekstremis menawarkan gaya hidup Islami dan makna religius yang murni kepada laki-laki dan
8 FDC tanggal 18, 22, 27 September 2017 9 Interview tanggal 11 september 2017 10 Interview tanggal 11 September 2017 11 Interview tanggal 22 September 2017 12 Interview tanggal 15 September 2017 13 Interview tanggal 17 September 2017 14 FGC tanggal 19 September 2017 15 FGC tanggal 19 September 2017 16 FGC tanggal 19 September 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 8
perempuan. Namun, karena perempuan dianggap sebagai simbol kemurnian agama, maka
organisasi ekstremis memperlihatkan simbol-simbol kemurniannya melalui perempuan, dengan
menerapkan norma-norma keagamaan yang kaku terhadap perempuan.17
Keterlibatan laki-laki dan perempuan dalam organisasi ekstremis menunjukkan bahwa proses
ideologisasi dan radikalisasi dengan mengeksplorasi faktor-faktor pendorong internal dan
eksternal menjadikan perempuan dan laki-laki memiliki militansi. Namun, dalam masyarakat
patriarki dimana norma-norma sosial-kultural memproduksi nilai-nilai yang tidak adil terhadap
perempuan, sehingga perempuan menjadi kelompok yang tertinggal dalam bidang pendidikan
dan ekonomi, terpinggir dari proses pengambilan keputusan dalam keluarga, maka keterlibatan
perempuan dalam organisasi ekstremis harus diakui tidak hanya sebagai subyek, tapi juga
sebagai obyek (korban).18
Kerentanan perempuan karena kekurangan pengetahuan agama menjadikannya mudah menjadi
korban. Namun diantara kelompok perempuan, kelompok buruh migran merupakan
kelompok yang paling rentan. Profil buruh migran perempuan yang rata-rata kurang berpendidikan formal, tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup, mengalami tekanan sosial
dan individual, jauh dari keluarga dan tidak terjangkau oleh kehadiran negara, menjadikan
mereka mengalami kerentanan yang berlapis-lapis. Menurut informasi dari seorang perekrut,
proses perekrutan buruh migran perempuan, menggunakan teknik online melalui media sosial.19
Salah satu faktor yang menjadikan buruh migran perempuan menjadi rentan untuk direkrut
menjadi anggota organisasi ekstremis adalah karena hilangnya rasa ke-Indonesia-an
(nationhood) sebagai akibat dari pengabaian oleh perwakilan negara di luar negeri.20 Buruh
migran yang selama ini menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara, dipandang sebagai
warga negara kelas empat di luar negeri, setelah keluarga diplomat, cendekiawan, mahasiswa
dan WNI pekerja kerah putih di luar negeri.21 Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
hubungan antara migrasi, perburuhan migran dan CVE, diperlukan penelitian lebih lanjut,
karena penelitian ini tidak secara khusus membahas pola perekrutan buruh migran.
Teknik lain yang digunakan untuk merekrut anggota perempuan adalah dengan cara
perkawinan. Informan dari organisasi perempuan melaporkan bahwa beberapa anggotanya di
Jawa Barat telah direkrut dengan cara perkawinan. Perkawinan tidak dapat dipisahkan dari
konstruksi sosial tentang keperempuanan yang selama ini dinilai dengan kemampuan
melahirkan dan mengasuh anak. Perkawinan juga dinilai menjadi salah satu cara untuk
melepaskan keluarga dari beban menghidupi anak, karena perempuan yang menikah akan
menjadi tanggungan suaminya. Budaya patriarki juga mempercayai nilai-nilai kutural yang
menyatakan bahwa “perawan tua” adalah aib keluarga. Oleh karena itu, menjodohkan dan
mengawinkan anak perempuan merupakan pilihan untuk menghindarkan keluarga dari aib.
Nilai-nilai kultural yang melingkupi hidup perempuan yang secara tidak langsung menempatkan
perkawinan sebagai destinasi hidup perempuan, menjadikan perkawinan bukan pilihan murni
bagi sebagian perempuan. Selain nilai kultural, masyarakat setempat juga mempercayai nilai-
nilai keagamaan yang menyatakan bahwa perkawinan dengan anggota kelompok ekstremis
merupakan bagian dari memuliakan perintah agama. Perempuan dan keluarganya juga
17 Interview tanggal 3 November 2017 18 Interview tanggal 3 November 2017 19 Interview tanggal 16 October 2017 20 Interview tanggal 9 September 2017 21 Interview tanggal 9 September 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 9
berpendapat bahwa hal tersebut merupakan jalan untuk mendapatkan pengakuan sebagai
perempuan yang lebih religius.22
2.3. Peran Gender dalam Organisasi Ekstremis
Organisasi ekstremis adalah organisasi maskulin yang mengandalkan kepemimpinan
karismatik laki-laki. Dalam menjalankan peran-peran kepemimpinan organisasi, laki-laki
menentukan strategi gerakan baik dalam bentuk penyebaran ideologi melalui dakwah maupun
seminar-seminar keagamaan. Laki-laki diposisikan sebagai pimpinan dan penentu substansi
karena laki-laki dianggap lebih memiliki pengetahuan keagamaan. Sebagai organisasi maskulin,
organisasi ekstremis memposisikan perempuan dalam berbagai peran kecuali peran-peran
kepemimpinan.23 Perempuan sebagai agen aktif dalam organisasi ekstremis menjalankan
berbagai macam peran. Perempuan bisa berperan sebagai pendidik, pendakwah, pengumpul
dana, perekrut, penyedia logistik, pelaku bom bunuh diri, penghubung rahasia, atau
berperang. Disamping itu, perempuan juga diakui sebagai pendamping suami, melahirkan dan
mendidik anak untuk berjihad.24
Dalam organisasi ekstremis, perempuan menjalankan peran-peran tradisional dan non-
tradisional. Tradisi maskulin dalam organisasi ekstremis membungkus peran-peran tradisional
seperti melahirkan, mengurus anak dan mendampingi suami, sebagai “jihad kecil”.25 Label
jihad yang dilekatkan pada peran-peran tradisional perempuan memberikan efek yang kuat
bagi perempuan. Dengan label jihad melekat pada peran melahirkan, melahirkan anak bukan
lagi peristiwa reproduksi perempuan, tetapi diyakini menjadi peristiwa perjuangan untuk
mencapai cita-cita yang lebih besar. Pelabelan peran melahirkan sebagai “jihad kecil”
merupakan efek maskulin pada peristiwa melahirkan, sekaligus memberikan efek
ketertundukan perempuan tanpa syarat. Maka tidak mengherankan jika perempuan-
perempuan yang hidup dibawah tradisi maskulin harus terus-menerus melahirkan anak tanpa
penolakkan, karena melahirkan anak adalah bentuk jihad bagi perempuan.
Mencermati pembagian peran dalam organisasi ekstremis, perempuan juga memiliki peran-
peran strategis dalam penyebaran paham-paham radikal hingga penyerangan obyek-obyek
strategis. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki potensi untuk
menjadi radikal. Proses radikalisasi dan ideologisasi dalam organisasi ekstremis juga
memungkinkan laki-laki dan perempuan menjadi agen aktif dari gerakan ekstrimisme. Oleh
sebab itu, program-program deradikalisasi dan disengagement yang masih mempertahankan
stereotipe perempuan tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Fenomena keterlibatan
perempuan dalam peran-peran strategis di dalam organisasi ekstremis telah menggugurkan
stereotipe gender.
2.4. Peran Perempuan dan Laki-Laki dalam Pencegahan Kekerasan Ekstrim Yang dimaksud dengan pencegahan kekerasan ekstrim dalam konteks ini adalah upaya-upaya
yang dilakukan agar masyarakat tidak masuk kedalam organisasi ekstremis. Pencegahan
kekerasan ekstrim membutuhkan partisipasi dari semua warga masyarakat untuk menjamin
kepemilikan warga atas proses dan substansinya. Namun, dikarenakan penyebaran faham-
faham radikalisme dimulai dari tingkat keluarga, maka keluarga sebagai satuan masyarakat yang
terkecil menjadi kekuatan strategis untuk menangkalnya. Dalam hal ini, perempuan yang sehari-
22 Interview tanggal 8 September 2017 23 Interview tanggal 20 September 2017 24 Interview tanggal 3 November 2017 25 Interview tanggal 19 September 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 10
hari memiliki peran pengasuhan dan pendidikan sangat menentukan resiliensi anak-anak muda
dari pengaruh radikalisme. Penguatan peran perempuan dalam pencegahan radikalisme juga
sejalan dengan pandangan perempuan tentang rasa aman, harmoni dan perdamaian.
Berdasarkan wawancara dan diskusi dengan beberapa informan, perempuan berpandangan
bahwa tindakan intoleransi yang disertai dengan kekerasan, meskipun dilakukan atas nama
agama, adalah ancaman terhadap kedamaian hidup, keamanan keluarga dan harmoni sosial.
Mereka juga berpendapat bahwa anak-anak yang diinduksi dengan intoleransi dan kekerasan
akan melihat tindakan kekerasan dalam kesehariannya, sehingga mereka akan mereplikasi
tindakan tersebut. Sementara, laki-laki berpandangan bahwa semua tindakan intoleran dan
kekerasan tersebut tidak dipandang intoleran dan keras jika untuk menegakkan agama. Bagi
laki-laki, nilai-nilai agama harus ditegakkan dan dibela, jika perlu dengan kekerasan.26
Perbedaan cara pandang perempuan dan laki-laki terhadap fenomena kekerasan dan intoleransi
dalam konteks lokal tertentu menunjukkan bahwa budaya damai, anti-kekerasan dan
keterbukaan melekat dalam kehidupan perempuan karena pengalaman hidupnya sebagai care giver dalam keluarga dan komunitas. Dalam masyarakat Indonesia, peran-peran caring yang
melekat pada perempuan terlihat pada kerja-kerja kerelawanan di pos pelayanan kesehatan
terpadu (posyandu), pos pendidikan anak usia dini (pos PAUD), atau pengorganisasian
dukungan masyarakat pada peristiwa kelahiran dan kematian. Oleh karena itu, program
pencegahan kekerasan ekstrim harus mempromosikan kepemimpinan perempuan, karena
pencegahan kekerasan ekstrim tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun perdamaian,
harmoni sosial, dan keterbukaan terhadap yang berbeda.
Partisipasi laki-laki dalam pencegahan kekerasan ekstrim dibutuhkan untuk mendukung
kepemimpinan perempuan. Di wilayah dimana masyarakatnya masih meyakini kepemimpinan
karismatik laki-laki, program pencegahan kekerasan ekstrim dapat menggunakan
kepemimpinan laki-laki untuk mengamplifikasi suara dan kepentingan perempuan.
2.5. Dampak dan Strategi Bertahan Hidup
Radikalisme dan ekstrimisme membawa berbagai dampak bagi keluarga. Dampak pertama dan
utama yang dirasakan oleh keluarga ketika anggota keluarganya terlibat dengan organisasi
eksterimis adalah rasa kehilangan. Keluarga yang anak-anaknya masuk dalam organisasi
ekstremis dan tidak tahu nasib anak-anaknya, berjuang mengatasi rasa kehilangan dengan
mencari informasi tentang keberadaan anak-anak mereka. Sementara istri-istri yang kehilangan
suaminya karena berjihad di luar negeri atau di penjara karena keterlibatannya dalam
terorisme, kehilangan kepala keluarga dan pencari nafkah utama.27
Dalam situasi krisis dimana kepala keluarga dan pencari nafkah utama tidak ada di tengah-
tengah keluarga, perempuan adalah penopang utama kehidupan keluarga. Dalam beberapa
kasus dimana para suami meninggalkan keluarga untuk berjihad, para istri menanggung seluruh
beban keluarga termasuk menghidupi anak-anak mereka. Dalam hal ini, perempuan tidak hanya
bertanggung jawab secara ekonomi dengan memastikan bahwa anak-anak dan anggota keluarga
lainnya cukup pangan, tetapi juga memastikan bahwa mereka mendapat perlindungan dari
stigma dan bullying. 28 Dari berbagai kasus terorisme, istri dan anak-anak narapidana teror tidak
mendapat pendampingan dan penguatan secara sosial dan ekonomi. Salah satu upaya untuk
26 FGC tanggal 18, 22, 27 September 2017 27 Interview tanggal 8 september & 9 Oktober 2017 28 Interview tanggal 9 September 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 11
bertahan hidup, istri-istri jihadis membentuk perkumpulan sebagai jalinan solidaritas antar istri
dan penguatan ekonomi kolektif dengan membentuk beberapa usaha.29 Bagi perempuan yang
masih berada di dalam jaringan organisasi ekstremis, cara bertahan hidup dan mendapat
perlindungan adalah dinikahkan dengan jihadis lain sehingga perempuan tidak keluar dari
lingkungan organisasi ekstremis.30
Beban yang ditanggung oleh perempuan keluarga teroris tidak berhenti pada urusan ekonomi.
Dalam berbagai kasus terorisme, istri yang kehilangan suami juga harus berhadapan dengan
hukum karena tuduhan memberi perlindungan dan menyembunyikan teroris. Panjangnya
proses hukum yang harus dilalui, membuat perempuan-perempuan ini harus meninggalkan
anak-anak mereka tanpa pengasuhan yang layak.31
Proses bertahan hidup yang berat utamanya dialami oleh mantan narapidana teroris dan
keluarganya. Mantan narapidana teroris yang telah selesai menjalankan hukuman dan harus
kembali ke masyarakat mendapatkan tantangan sosial dan ekonomi karena penolakan
masyarakat dan dunia kerja. Di satu sisi mereka dituntut oleh masyarakat untuk menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya, tapi disisi lain masyarakat dan dunia kerja menolak
mereka karena memiliki sejarah keterlibatan dengan organisasi ekstremis.32 Tantangan hidup
paska-penjara yang dialami oleh para mantan teroris harus mendapat respon secara
komprehensif. Program-program CVE diharapkan dapat melihat peluang ini sebagai jalan bagi
pencegahan kekerasan esktrim. Pendekatan disengagement dengan tujuan keberdayaan
ekonomi dan sosial bagi perempuan dan laki-laki mantan narapidana teroris dapat menjadi
salah satu strategi pencegahan kekerasan ekstrim.
3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dari beberapa domain yang diteliti, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam konteks hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan CVE dapat disimpulkan
bahwa paradigma kebijakan penanggulangan violent extremism di Indonesia adalah
penanggulangan terorisme, sehingga kerja-kerja pencegahan mengalami
ketertinggalan. Kebijakan penanggulangan terorisme yang mengacu pada Undang-
Undang No.15 Tahun 2003 masih netral gender, sehingga belum mengakomodasi
perbedaan kebutuhan dan kepentingan laki-laki dan perempuan dalam konteks
penanggulangan atau pencegahan violent extremism. Isu-isu gender dan kekerasan berbasis gender yang berkaitan dengan violent extremism tidak terkandung dalam
substansi UU No. 15 Tahun 2003, sehingga dalam kebijakan penindakan dan
pencegahan, isu-isu gender masih terabaikan. Kerja-kerja pencegahan yang lebih
banyak diinisiasi oleh organisasi masyarakat sipil di daerah, mengindikasikan lemahnya
kapasitas kepemimpinan pemerintahan lokal dalam memahami dan merespon
ancaman radikalisme dan ekstrimisme yang semakin marak.
2. Masyarakat masuk dan berpartisipasi dalam organisasi ekstremis didorong oleh
berbagai faktor. Kombinasi antara faktor internal dan external mendorong laki-laki
dan perempuan berpartisipasi dalam organisasi ekstremis. Faktor-faktor internal
29 Interview tanggal 11 September 2017 30 Interview tanggal 19 September 2017 31 Interview tanggal 17 Oktober 2017 32 Interview tanggal 19 Oktober 2017
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 12
diantaranya adalah rasa marah terhadap ketidakadilan, rasa putus asa dan
terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan publik, serta ancaman terhadap
norma-norma dan kultur keagamaan yang diyakini. Sementara, faktor eksternal adalah
keberadaan organisasi ekstremis yang menjanjikan kebersamaan kolektif berbasis
keagamaan, perlindungan terhadap norma-norma keagamaaan dan identitas kolektif
berbasis keagamaan. Organisasi tersebut juga menjanjikan rasa solidaritas sesama
Muslim yang diyakini dapat mengamplifikasi suara yang menuntut keadilan, dan janji
adanya pemerintahan yang lebih adil dan makmur bagi umat Islam yaitu sistem
pemerintahan Khilafah. Janji-janji yang dinarasikan dalam bentuk propaganda dan
dakwah disebarluaskan melalui media sosial (online), dan berbagai medium yang
memungkinkan interaksi antar manusia. Dalam hal ini, gender tidak menghalangi laki-
laki dan perempuan dalam mengakses informasi, sebaliknya bahkan memberikan akses
khusus terhadap informasi yang dibedakan sesuai dengan peran perempuan dan laki-
laki dalam organisasi ekstremis. Dikarenakan konstruksi sosial yang membedakan
posisi perampuan dan laki-laki dalam keluarga, keterlibatan perempuan dalam
organisasi ekstremis dapat disebabkan oleh kesadaran bebas (agen aktif) atau indoktrinasi dan tekanan keluarga atau suami.
3. Laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam organisasi ekstremis dan
kekerasan ekstrim. Organisasi ekstremis merupakan organisasi yang mengandalkan
kepemimpinan karismatik laki-laki. Peran-peran pemimpin diberikan kepada laki-laki
karena mereka dipercayai memiliki pengetahuan keagamaaan lebih tinggi dan
kemampuan memimpin yang lebih baik dari perempuan. Namun, peran-peran
perempuan juga tidak kalah strategis daripada laki-laki. Perempuan dalam organisasi
ekstremis dapat berperan sebagai pendidik, pendakwah, pengumpul dana, perekrut,
penyedia logistik, dan pendamping suami. Perempuan juga berperan melahirkan dan
mengasuh anak yang diproyeksikan menjadi mujahid. Organisasi ekstremis
mengunakan nilai maskulinitas untuk membungkus peran-peran tradisional
perempuan, seperti melahirkan dan mengasuh anak, dengan menyebutnya sebagai
“jihad kecil”. Oleh karena itu, peran melahirkan dan mengasuh anak menjadi bagian
dari cita-cita yang besar. Posisi dan peran perempuan yang strategis dalam organisasi
ekstremis menggugurkan stereotipe gender yang melekat terhadap perempuan.
4. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pencegahan radikalisme dan ekstremisme.
Perbedaan cara pandang perempuan dan laki-laki dalam memaknai fenomena
kekerasan dan perbedaan mereka dalam menginternalisasi rasa aman, rasa damai,
harmoni sosial dan keterbukaan terhadap yang berbeda dalam kehidupan sehari-hari,
memungkinan perempuan memegang kepemimpinan strategis dalam kegiatan
pencegahan radikalisme dan ekstremisme. Oleh karena itu, kepemimpian perempuan
harus dipromosikan dalam CVE, sejalan dengan pengalaman hidup perempuan sebagai
agen pembangun perdamaian dan harmoni sosial.
5. Dalam situasi krisis karena terdampak oleh radikalisme, fundamentalisme agama dan
kekerasan ekstrim, laki-laki dan perempuan dalam keluarga mengalami rasa
kehilangan dan kedukaan karena kehilangan anggota keluarga. Dalam konteks
absennya pemimpin keluarga dan pencari nafkah utama, perempuan mengambil
kepemimimpinan untuk mempertahankan ekonomi keluarga. Perempuan membangun
jaringan solidaritas antar perempuan untuk mendukung kemandirian sosial dan
ekonomi.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 13
4. Inisiatif Program Gender dan CVE
Bagian ini menjelaskan beberapa strategi gender dalam penanggulangan violent extremism dari
UN Women, Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ) II dan Kementerian Tenaga
Kerja, yang sedang berlangsung di Indonesia.
UN Women melaksanakan proyek preventing violent extremism di Indonesia dan Bangladesh
mulai tahun 2017, yang berfokus pada pemberdayaan, advokasi dan riset. Pada pilar
pemberdayaan, UN Women melakukan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui koperasi,
inisiasi model-model Kampung Damai, dan edukasi perempuan yang fokus pada kepemimpinan
perempuan, hak-hak ekonomi, manajemen keuangan, dan kesetaraan gender. Pada pilar
advokasi, UN Women mendukung BNPT dalam mengintegrasikan sensitifitas gender ke dalam
Rencana Aksi Nasional CVE. Dalam bidang riset, UN Women merencanakan dua riset besar
yang berkaitan dengan dinamika partisipasi perempuan dalam radikalisme dan CVE, serta
survei untuk menggali faktor-faktor yang menyebabkan keterlibatan perempuan dalam
kekerasan ekstrim. UN Women memilih beberapa kota di Jawa dan Madura yang meliputi
Kota Solo, Bogor, Depok, Malang, dan Sumenep.
AIPJ II yang pada tahun 2017 memulai fase kedua dari proyek kerjasama dengan pemerintah
Indonesia di bidang hukum dan keadilan, memiliki satu pilar khusus yaitu CVE. AIPJ II memiliki
dua strategi gender dalam pilar CVE nya, pertama adalah integrasi gender dalam kegiatan
deradikalisasi deportan dan returnees dengan mendukung kerjasama antara Dinas Sosial dan
Organisasi Masyarakat Sipil. Strategi kedua yang merupakan gender stand-alone initiative,
merupakan pembentukan model pemberdayaan yang berbasis keluarga. Dalam hal ini, AIPJ
mendukung inisiatif-inisiatif pencegahan radikalisme di komunitas dengan pendekatan keluarga,
terutama di komunitas buruh migran di Jember dan komunitas pesantren di Cirebon. AIPJ juga
mendukung perencanaan strategis kelompok kerja perempuan untuk CVE yang terbentuk pada
awal tahun 2017.
Kementerian Ketenagakerjaan melalui direktur penempatan dan perlindungan tenaga kerja
luar negeri yang menjalankan mandat perlindungan dan pembinaan tenaga kerja Indonesia di
luar negeri mengkonfirmasi maraknya perekrutan buruh migran di luar negeri sebagai
anggota kelompok ekstremis. Sejak tahun 2017, direktorat Penempatan dan Perlindungan
TKI ke Luar Negeri (PPTKLN) memperkuat peran dan fungsi atase ketenagakerjaan yang
bertugas di kedutaan besar Indonesia, terutama di negara-negara tujuan yang diindikasikan
berpotensi terjadinya perekrutan buruh migran Indonesia oleh organisasi ekstremis seperti
Singapur, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan. Atase ketenagakerjaan melakukan kegiatan
penjangkauan buruh migran untuk merawat rasa kebangsaan dan kedekatan dengan
pemerintah dan mensosialisasikan bahaya radikalisme dan ekstremisme. Sementara di dalam
negeri direktorat PPTKLN memfasilitasi pembentukan desmigratif (desa migran produktif).
Dalam Desmigratif, kementerian ketenagakerjaan bekerjasama dengan pemerintahan desa
untuk penguatan ekonomi mantan buruh migran supaya tidak kembali menjadi buruh migran
di luar negeri, dan pusat informasi migran yang juga memberikan informasi tentang bahaya
radikalisme dan ekstrimisme. Saat ini sudah ada 122 desa migran produktif.
5. Rekomendasi
Untuk merepon isu-isu gender dan ketimpangan gender dalam CVE, direkomendasikan
beberapa strategi berikut:
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 14
1. CVE harus mengupayakan agar hukum dan kebijakan penanggulangan kekerasan
ekstrim mengintegrasikan persperktif gender, hak perempuan dan hak anak, karena
radikalisme dan kekerasan ekstrim mengancam hidup perempuan dan anak-anak.
Analisis gender harus dilakukan dalam mengkonstruksi kebijakan nasional dan lokal
untuk menemukan isu-isu gender dan mengintegrasikan dalam substansi hukum dan
kebijakan tentang CVE. Direkomendasikan agar perempuan dan organisasi
perempuan berpartisipasi dalam setiap proses pembuatan hukum dan kebijakan CVE
di tingkat nasional dan lokal.
2. CVE perlu menggunakan pendekatan keluarga dan komunitas untuk mendukung
ketahanan keluarga dan komunitas dari ancaman radikalisme dan kekerasan ekstrim,
karena radikalisme dan kekerasan ekstrim mengancam ketahanan keluarga dan
harmoni sosial. Ketahanan keluarga dan komunitas harus mempromosikan
kepemimpinan perempuan dan orang muda di pedesaan dan perkotaan.
3. Radikalisme secara sistematis menarget desa sebagai basis perluasan dukungan.
Program CVE direkomendasikan untuk mendukung terwujudnya pembangunan desa
yang inklusif melalui penguatan kepemimpinan pemerintahan desa dan penguatan kapasitas masyarakat. Kekuatan kepemimpinan desa dan masyarakat yang terorganisir
diarahkan untuk membangun sistem deteksi dini terhadap radikalisme dengan
merevitalisasi forum-forum warga dengan melibatkan perempuan dan orang muda.
4. Program-program CVE harus memperkuat kapasitas pemerintahan lokal dalam
merespon VE dan isu gender terkait CVE, termasuk kapasitas perencanaan
penganggaran, pengintegrasian dalam program pembangunan dan koordinasi antar
sektoral.
5. Radikalisme dan kekerasan ekstrim menggunakan narasi agama untuk memperluas
dukungan, memperbesar organisasi dan mempengaruhi politik negara. Oleh karena
itu, program-program CVE harus bekerja dengan organisasi berbasis keagamaan yang
progresif untuk menyebarluaskan narasi-narasi anti-radikalisme, mempromosikan
kesetaraan gender dan keberagaman secara online dan offline.
6. Organisasi ekstremis mempromosikan poligami, anti keluarga berencana dan anti
imunisasi dalam komunitasnya, dan meluaskan propagandanya kepada masyarakat luas
melalui media sosial dan media mainstream. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih
detil tentang dampak propaganda poligami, anti keluarga berencana dan anti imunisasi
terhadap situasi kesehatan perempuan dan anak-anak.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 15
Dokumen Rujukan Bloom, M. 2011. Bombshell: Women & Terrorism. University of Pennsylvania Press.
Philadelphia.
BNPT. 2010. Rencana Strategis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme 2010-2014. Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Jakarta.
Chowdhury Fink, Naureen; Barakat, Rafia & Shetret, Liat. 2013. “The Roles of Women in
Terrorism, Conflict and Violent Extremism: Lessons for the United
Nations and International Actors”. Policy Brief. Center for Global
Counterterrorism Cooperation, USA.
Fealy, Greg & Funston, John. 2016. Indonesian and Malaysian Support for the Islamic State (Final
Report). USAID.
Huckerby, Jayne & Satterthwaite, Margaret. 2013. Gender, National Security, and Counter-
Terrorism: Human Rights Perspectives. 1st Edition. Routledge. Abingdon,
Oxon, UK.
Republik Indonesia. 2003. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Republik Indonesia.
ICG.2007. “Deradicalization and Indonesian Prisons”. Asia Report. No.142. International
Crisis Group (ICG). Jakarta.
IPAC. 2017. The Radicalisation of Indonesian Women Workers in Hong Kong. Jakarta.
Sumpter, Cameron. 2017. Countering Violent Extremism in Indonesia: Priorities, Practice, and the
Role of Civil Society. Journal for Deradicalization. No.11. pp.112-147.
USAID. 2017. ADS Chapter 205, Integrating Gender Equality and Female Empowerment in
USAID’s Program Cycle. United State Agency for International Development.
Washington, D.C.
USAID. 2011. The Development Response to Violent Extremism and Insurgency: Putting Principles
into Practice. United State Agency for International Development (USAID).
Washington, D.C.
USIP. 2015. Charting a New Course: Women Preventing Violence Extremism. United States
Institute of Peace (USIP). Washington DC.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 16
Lampiran 1 Kerangka Analisis
Data Required Data Sources Data Collection
Methods
Data Analysis Methods
1. What are the existing laws, regulations, and policies related to CVE and how that laws impact women and men differently?
A. Data on existing laws, regulation
and policies related to CVE
B. Different experience of men and
women related to laws,
regulation and policies impact
A. BNPT
B. CSO, WRO/WLO,
C. Women and men in selected
communities
A. Key informant semi-
structure interviews
B. Focus group
Consultation
C. Desk study of secondary
data
A. Analysis of qualitative data
B. Data triangulation
2. Where do women and men obtain the information to become extremist and how those nformation trigger them in joining extremist
organization
A. Data on the pattern of
recruitment
B. Various of factors that influence
the pattern of recruitment
A. BNPT
B. Ministry of Manpower
C. National Commission on Anti
Violence Against Women
D. WRO/WLO, CSO
E. Scholar
A. Key informant
interviews
A. Analysis of qualitative data
B. Data Triangulation
3. How gender roles contribute to the promotion and prevention CVE?
A. The different constructed roles
of women and men to contribute
in promoting VE
B. Different constructed roles of
women and men that contribute
to each sex in participating and
serving extremist organization
C. The role of women and men in
preventing VE
A. BNPT
B. National Commission On anti
VAW
C. CSO, WRO/WLO
D. Scholar
E. Women and men in selected
community
A. Key informant
interviews
B. Focus Group
consultation
A. Analysis of qualitative data
B. Data triangulation
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 17
Data Required Data Sources Data Collection
Methods
Data Analysis Methods
D. Set of Cultural norms and beliefs
in different context on gender
roles contribute to trigger men
and women in joining extremist
organization
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 18
Lampiran 2 Instrumen Pengumpulan Data
Guidance questions for Government Officials
1. What are the government laws and policies dealing with CVE in prevention,
response, rehabilitation and reintegration?
2. How this laws and policies impact in women and men differently? How the
government response to those different impacts? Is there any specific measure to response women specific needs?
3. Where do men and women usually obtain information about extremist
organizations?
4. How does information trigger women and men in joining extremist organizations?
5. What are the roles of women and men in promoting violent extremism?
6. What are the roles of women and men in participating and serving the interest of
violence extremism?
7. How do cultural norms and beliefs on gender roles contribute to trigger men and
women in joining extremist organizations?
8. How do cultural norms and beliefs on gender roles of men and women contribute in
preventing violent extremism?
9. How are men and women in the family impacted by their member of family joining
extremist groups?
10. How do men and women in the family cope when family member become
radicalized or joint extremist group? How government support their struggle to
cope with the impacts?
Guidance Questions for Government Officals Specific on Migrant Workers
Issues
1. How does the Ministry translate the government’s law and policies on CVE into its
mandate?
2. What are the Ministry initiatives/ program/policies in preventing migrant workers
from joining extremist group?
3. How does the Ministry contribute to the rehabilitation and reintegration of the
migrant workers who joint extremist organizations?
4. How does the Ministry support the migrant workers’ family when member of their
family joining extremist organizations?
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 19
Guidance Questions to CSO, WRO/WLO, and Scholar
1. What are the government laws and policies dealing with CVE in prevention,
response, rehabilitation and reintegration?
2. How this laws and policies impact in women and men differently? How the
government response to those different impacts? Is there any specific measure to
response women specific needs?
3. Where do men and women usually obtain information about extremist
organizations?
4. How does the information trigger women and men in joining extremist
organizations?
5. What are the roles of women and men in promoting violent extremism?
6. What are the roles of women and men in participating and serving the interest of
extremist organizations?
7. How do cultural norms and beliefs on gender roles contribute to trigger men and
women in joining extremist organizations?
8. How do cultural norms and beliefs on gender roles of men and women contribute in
preventing violent extremism?
9. How are men and women in the family impacted by their member of family joining
extremist groups?
10. How do men and women in the family cope when family member become radicalized
or joint extremist group? How government support their struggle to cope with the
impacts?
11. What are the role of CSO, WRO/WLO, and Scholar in countering violence
extremism?
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 20
Guidance Questions for International Organization
1. What are the government laws and policies dealing with CVE in prevention,
response, rehabilitation and reintegration?
2. How this laws and policies impact in women and men differently? How the
government response to those different impacts? Is there any specific measure to
response women specific needs?
3. Where do men and women usually obtain information about extremist
organizations?
4. How does information trigger women and men in joining extremist organizations?
5. What are the roles of women and men in promoting violent extremism?
6. What are the roles of women and men in participating and serving the interest of
violent extremism?
7. How do cultural norms and beliefs on gender roles contribute to trigger men and
women in joining extremist organizations?
8. How do cultural norms and beliefs on gender roles of men and women contribute in
preventing violent extremism?
9. How are men and women in the family impacted by their member of family joining
extremist groups?
10. How do men and women in the family cope when family member become
radicalized or joint extremist group? How government support their struggle to
cope with the impacts?
11. What are the role of IOM in preventing/ countering VE
12. How do the program/ project related to CVE have impact in men and women
differently?
13. How do the program/project protect women and young women from violent
extremism?
14. How do the program/project response to women and young women specific needs?
15. How do the program/project support family reintegration for community
stabilization?
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 21
Guidance Questions for Focus Group Discussion with women and men in the
community
1. Do men and women in the community understand about violence extremism? What
are the form of violence extremism?
2. Do men and women in the community have knowledge on government policy on
CVE?
3. Do men and women have knowledge on extremist organization in the community?
How men and women in the community obtain the information to become
extremist? How does the information trigger women and men in joining extremist
organizations?
4. How do men and women in the community response to any kind of radical and
violent activities that threat to their peace and security and social harmony?
5. What are the roles of women and men in the community in promoting and
preventing violent extremism and how?
6. What are the role of men and women in participating and serving the interest of
extremist organizations?
7. How cultural norms and beliefs on gender roles contribute to trigger men and
women in joining extremist organization?
8. How are men and women in the family impacted by men or women member of the
family joining extremist group? And how they cope?
9. How men and women in the community support the process of reintegration?
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 22
Lampiran 3 Informan Kunci
Wawancara
Sektor Institusi TIngkat
Kementerian dan
Lembaga
- Kementerian Luar Negeri
- BNPT
- Kementerian Tenaga Kerja- Direktur
Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri - Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia
- Kementerian Sosial
Nasional
Badan pemerintahan
- Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan
- Kepolisian
Nasional
- Kepolisian daerah Lokal
Civil Society
Organization
- Asian Moslem Network
- Kemitraan/Partnership for Good Governance
- The Habibi Center
- CSave
- SPEK-HAM
- Kappal Perempuan
- Koalisi Perempuan Indonesia
Nasional
- Solidaritas Perempuan untuk Kemanuasiaan dan HAM (SPEK-HAM)
- GP Ansor
- Koalisi Perempuan Indonesia
Lokal
Lainnya - Peneliti bidang keagamaan
- ICRP
- IOM
- Wahid institute
- PP Muslimah/NU
- APIJ II
- UN Women
Nasional
- Jurnalis
- Pekerja Migran
- Aktivis perempuan
- Peneliti
Lokal
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 23
Focus Group Consultation (FGC)
Partisipan TIngkat
Fatayat NU Lokal
Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh
pemuda
Lokal
Anggota LSM Lokal
Pengacara Lokal
Aktivis Lokal
Warga masyarakat Lokal
*FGC dilakukan di empat lokasi dimana pengelompokkan grup disesuaikan dengan sensitifitas materi yang
dikonsultasikan.
USAID/Indonesia Analisis Gender dalam Countering Voilent Extremism 24
Lampiran 4 Rencana Kerja
Task / Deliverables W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8 W9 W10
GA launch; Work Plan
development & submission
Document review
Interviews w/ USAID, IPs, and
Jakarta-based stakeholders
Field visits to selected provinces
Analysis and report drafting
Revision of GA report, based on
USAID comments
Submission and presentation or
briefing to USAID of GA report
Top Related