BAB I
PENDHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Infertilitas merupakan suatu permasalahan yang cukup lama dalam dunia
kedokteran. Namun sampai saat ini ilmu kedokteran baru berhasil menolong ±
50% pasangan infertil untuk memperoleh anak. Perkembangan ilmu infertilitas
lebih lambat dibanding cabang ilmu kedokteran lainnya, kemungkinan disebabkan
masih langkanya dokter yang berminat pada ilmu ini.
WHO pada awal tahun 90-an mengekstrapolasi 50 sampai 80 juta
pasangan di dunia mempunyai masalah fertilitas, dan diperkirakan sekitar 2 juta
pasangan infertil baru muncul setiap tahun, jumlah ini diperkirakan terus
meningkat. Walaupun angka ini kecil dibandingkan 5,9 juta kasus baru kanker per
tahun dan 100 juta kasus baru malaria, masalah infertilitas cukup berarti dan dapat
menimbulkan penderitaan pribadi, masalah keluarga dan sosial. Di samping itu
infertilitas mungkin merupakan manifestasi klinis dari keadaan patologis, baik
pada pihak istri maupun suami (Buletin Penelitian Sistem Kesehatan,2010).
Sesuai dengan definisi fertilitas yaitu kemampuan seorang isteri untuk
menjadi hamil dan melahirkan anak hidup oleh suami yang mampu
menghamilinya,maka pasangan infertil haruslah dilihat sebagai satu kesatuan.
Sekitar 10% dari pasangan suami-istri mengalami infertilitas. Faktor
peyebab infertilitas berasal dari suami, istri, atau keduanya. Faktor lain dari kedua
belah pihak sebesar 30-40%. Menurut penelitian yang dilakukan Lim dan Ratnam,
faktor penyebab yang berasal dari suami sebesar 33%, sedangkan hasil penelitian
WHO sebesar 40%. Penelitian yang dilakukan Arsyad terhadap 246 pasangan
infertil di Palembang menunjukkan infertilitas yang disebabkan faktor pria
sebesar 48,4%.
Laboratorium klinik sangat berperan dalam diagnosis dan
penatalaksanaan pada kasus infertil ini, diataranya ART yang khusus
dikembangkan untuk membantu mengatasi kasus infertilitas pada pasangan
suami-istri.
Kelompok 28-Infertilitas Page 1
1.2 TUJUAN :
Mengetahui apa itu infertilitas serta penanganannya, baik pada pria
maupun pada wanita.
1.3 MANFAAT :
1. Untuk memberikan tambahan informasi mengenai infertilitas bagi
mahasiswa Kedokteran Universitas Cenderawasih.
2. Sebagai latihan bagi penulis untuk mengetahui cara membuat karya tulis
yang benar.
Kelompok 28-Infertilitas Page 2
BAB II
ISI
2.1 DEFINISI :
Fertilitas barasal dari kata fertil yang berarti subur. Dalam hal ini fertilitas
pria diartikan sebagai kemampuan untuk dapat menghamili wanita. Syarat suatu
sperma yang baik / normal adalah sesuai dengan parameter spermatozoa normal.
Bila bagian besar parameter tersebut (terutama jumlah dan motilitas spermatozoa)
tidak sesuai, maka spermatozoa tidak akan dapat membuahi sel talur. Keadaan
seperti ini disebut infertilitas. Sedangkan dikatakan infertilitas pada wanita adalah
jika kesuburannya yang berkurang.
Suatu pasangan disebut infertil kalau sang isteri tidak hamil dalam waktu 1
(satu) tahun setelah kawin tanpa mempraktekkan konstrasepsi (disengaja).
Menurut Whitelaw pasangan yang sehat 56,5% menjadi hamil pada bulan pertama
dan 78.9% dalam 6 bulan yang pertama.
Sterilitas adalah istilah yang dipergunakan bagi seseorang yang mutlak
tidak mungkin mendapat keturunan misalnya wanita dengan aplasia genitalis atau
pria tanpa testes.
2.2 KLASIFIKASI
Secara gasris besar infertilitas dapat di bagi dua yaitu:
1. Infertilitas primer, suatu pasangan dimana isteri belum hamil walau telah
berusaha selama satu tahun atau lebih dengen hubungan seksual yang
teratur dan adekuat tanpa kontrasepsi.
2. Infertilitas sekunder, bila suatu pasangan dimana sebelumnya isteri telah
hamil, tapi kemudian tidak hamil lagi walau telah berusaha untuk
memperoleh kehamilan satu tahun atau lebih dan pasangan tersebut. telah
melakukan hubungan seksual secara teratur dah adekuat tanpa kontrasepsi.
Pada infertilitas sekunder ini sebagian telah mempunyai. anak, tapi ada
keinginan untuk menambah anak, baik karena anaknya masih satu atau
karena jenis kelamin yang diinginkan belum didapatkan. Dan sebagian lagi
Kelompok 28-Infertilitas Page 3
memang istri telah pernah hamil mungkin anak yang lahir meninggal atau
mengalami keguguran dan sebagainya.
2.3 ETIOLOGI
2.3.1 Penyebab infertilitas laki-laki dan perempuan
Pada laki-laki mungkin terjadi perubahan tingkat motilitas sperma dan
penurunan kualitas atau pembentukan sperma yang abnormal, smen bersifat basa,
seperti juga halnya sekresi servikal. Sedangkan pada wanita mungkin mengalami
penurunan kepatenan tuba karena endometriosis atau infeksi pelviks, anatomi
uterus abnormal, atau perubahan hormonal yang mempengaruhi perubahan
endometrium selama siklus menstruasi atau kualitas mukus servikal. Perkiraan
komposisi tentang frekuensi relatif penyebab infertilitas adalah sebagai berikut :
Faktor Insiden (%)
Tidak jelas 28 %
Masalah sperma 21 %
Kegagalan ovulasi 18 %
Kerusakan tuba 14 %
Endometriosis 6 %
Masalah koitus 5 %
Mukus servikal 3 %
Masalah pria lainnya 2 %
Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau
sukar menjadi hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara
faktor-faktor tersebut yaitu faktor organik/fisiologik, faktor ketidakseimbangan
jiwa dan kecemasan berlebihan. Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus
(81,6%) dari 678 kasus pasangan infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan
124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor psikologik. Ingerslev dalam
penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas menjadi 5 kelompok yaitu
faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak diketahui (unexplained
infertility).
Kelompok 28-Infertilitas Page 4
Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu
air mani, masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah
ovarium, dan masalah peritoneum. Masalah air mani meliputi karakteristiknya
yang terdiri dari koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH
dan adanya fruktosa dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan
uji ketidakcocokan imunologi dimasukkan juga kedalam masalah air mani.
2.3.2 Faktor yang disengaja
2.3.3 Faktor yang tidak disengaja
I. Faktor umum/non organik (umur, frekuensi, senggama, lama berusaha,
pola hidup)
a. Umur
Umur mempengaruhi kesuburan dimana pada usia tertentu tingkat
kesuburan seorang pria akan mulai menurun secara perlahan-lahan.
Kesuburan pria ini diawali saat memasuki usia pubertas ditandai
dengan perkembangan organ reproduksi pria, rata - rata umur 12
tahun. Perkembangan organ reproduksi pria mencapai keadaan
stabil umur 20 tahun. Tingkat kesuburan akan bertambah sesuai
dengan pertambahan umur dan akan mencapai puncaknya pada
umur 25 tahun. Setelah usia 25 tahun kesuburan pria mulai
menurun secara perlahan-lahan, dimana keadaan ini disebabkan
karena perubahan bentuk dan faal organ reproduksi. Begitu juga
pada wanita, kemungkinan hamil akan menurun seiring
bertambahnya usia. Angka kehamilan mulai menurun pada usia 35
tahun dan sangat rendah mulai usia 40 tahun. Fertilitas jelas
Kelompok 28-Infertilitas Page 5
menurun dengan meningkatnya usia wanita. Menurunnya fertilitas
sesuai penuaan jelas disebabkan berkurangnya jumlah folikel
primordial. Telah diamati bahwa > 250.000 folikel primordial pada
saat menars dan hanya beberapa ratus sampai ribu saja yang tersisa
pada akhir masa reproduksi. Jumlah folikel antral yang berdiameter
> 2 mm yang dinilai dengan USG transvaginal menurun sebesar
60% antara usia 22 dan 42 tahun.
Menurunnya angka keberhasilan IVF(in Vitro Fertilization) pada
pasien yang berumur tua dikarenakan berkurangnya cadangan
ovarium. Umur pasien saja merupakan prediktor lemah untuk
memprediksi cadangan ovarium dan respon terhadap stimulasi
IVF.
Angka kelahiran hidup IVF berkurang dengan jumlah folikel antral
yang rendah. Wanita dengan jumlah folikel antral yang rendah
menghasilkan telur yang lebih sedikit dan mempunyai angka siklus
pembatalan IVF yang tinggi. Jumlah folikel antral rata-rata pada
wanita berusia dibawah 35 tahun sebanyak 23 folikel, usia 35-37
tahun sebanyak 18 folikel, usia 38-40 tahun sebanyak 13 folikel,
Kelompok 28-Infertilitas Page 6
dan usia 41-42 tahun sebanyak 12 folikel. Pada wanita berusia 35-
37 tahun memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah
dibandingkan usia dibawah 35 tahun sehingga angka siklus
pembatalan yang lebih tinggi. Pada wanita usia 41-42 tahun secara
substansial memiliki angka keberhasilan yang lebih rendah.
Memiliki lebih dari 20 folikel antral adalah yang terbaik pada umur
41-42 tahun. Menurut Tomas C dkk FSH basal serum bersama
dengan umur ibu merupakan faktor utama yang mempengaruhi
hasil akhir dari stimulasi ovarium.
b. Frekuensi senggama
Fertilisasi (pembuahan) atau peristiwa terjadinya pertemuan antara
spermatozoa dan ovum, akan terjadi bila koitus berlangsung pada
saat ovulasi. Dalam keadaan normal sel spermatozoa masih hidup
selama 1-3 hari dalam organ reproduksi wanita, sehingga fertilisasi
masih mungkin jilka ovulasi terjadi sekitar 1-3 hari sesudah koitus
Kelompok 28-Infertilitas Page 7
berlangsung. Sedangkan ovum seorang wanita umurnya lebih
pendek lagi yaitu 1 x 24 jam, sehingga bila koitus dilakukan pada
waktu tersebut kemungkinan besar bisa terjadi pembuahan. Hal ini
berarti walaupun suami istri mengadakan hubungan seksual tapi
tidak bertepatan dengan masa subur istri yang hanya terjadi satu
kali dalam sebulan, maka tidak akan terjadi pembuahan
c. Lama berusaha
Penyelidikan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
kehamilan menunjukkan bahwa 32,7% hamil dalam satu bulan
pertama, 57,0% dalam tiga bulan pertama, 72,1 % dalam enam
bulan pertama. 85,4% dalam 12 bulan pertama, dan 93,4% dalam
24 bulan pertama. Waktu rata - rata yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kehamilan adalah 2,3 – 2,8 bulan. Jadi lama suatu
pasangan suami istri berusaha secara teratur merupakan faktor
penentu untuk dapat terjadi kehamilan.
d. Pola hidup
1. AlkoholPada perempuan tidak terdapat cukup bukti ilmiah yang menyatakan adanya hubungan antara minuman mengandung alkohol dengan peningkatan resiko kejadian infertilitas. Namun, pada laki-laki terdapat sebuah laporan yang menyatakan adanya hubungan antara minum alkohol dalam jumlah banyak dengan penurunan kualitas sperma
2. MerokokDari beberapa penilitian yang ada, dijumpai fakta bahwa merokok dapat menurunkan fertilitas perempuan. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menghentikan kebiasaan merokok jika perempuan memiliki masalah infertilitas. Penurunan fertilitas juga dialami oleh lelaki yang memiliki kebiasaan merokok.
3. Berat badanPerempuan dengan indeks massa tubuh yang lebih daripada 29, yang termasuk didalam kelompok obesitas, terbukti mengalami keterlambatan hamil. Usaha yang paling baik untuk menurunkan berat badan adalah dengan cara menjalani olahraga teratur serta mengurangi asupan kalori dalam makanan.
Kelompok 28-Infertilitas Page 8
II. Faktor khusus/organik
A. Pria
a) Faktor Pre testikular yaitu keadaan - keadaan diluar testis dan
mempengaruhi proses spermatogenesis yang terdiri dari kelainan endokrin,
kelainan kromosom dan varikokel.
1. Kelainan endokrin
Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan karena adanya
kelainan endokrin antara lain berupa:
a. Kelainan paras hipotalamus-hipopise seperti : tidak adanya
sekresi gonadotropin menyebabkan gangguan spermatogenesis
b. Kelainan tiroid menyebabkan gangguan metabo1isme
androgen.
c. Kelainan kelenjar adrenal, congenital adrenal hyperplasi
menyebabkan gangguan spermatogenesis.
2. Kelainan kromosom.
Misalnya penderita sindroma klinefelter, terjadi penambahan
kromosom X, testis tidak berfungsi baik,sehingga spermatogenesis
tidak terjadi.
3. Varikokel
Terjadinya pemanjangan dan dilatasi serta kelokan-kelokan dari
pleksus pampiriformis yang mengakibatkan terjadinya gangguan
vaskularisasi testis yang akan mengganggu proses spermatogenesis.
b) Faktor Post testikular
1) Kelainan epididimis dan funikulus spermatikus, dapat berupa
absennya duktus deferens, duktus deferens tidak bersambung
dengan epididimis, sumbatan dan lain-lain
2) Kelainan duktus ejakulatorius, berupa adanya sumbatan
3) Kelainan prostat dan vesikula seminalis, yang sering adalah
peradangan, biasanya mengenai kedua organ ini, tumor prostat dan
prostatektomi
Kelompok 28-Infertilitas Page 9
4) Kelainan penis / uretra berupa malformasi penis, aplasia, anomali
orifisium uretra (epispadia hipospadia), anomali preputium
(fimosis), dan lain-lain.
c) Faktor testikular.
Atrofi testi primer, gangguan pertumbuhan dan perkembangan,
kriptorkidism, trauma, torsi peradangan, tumor. Hampir 9% infertilitas pria
disebabkan karena kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).
d) Reaksi imunologis
Analisis sperma biasanya tidak menunjukan kelainan, kecuali terlihat
adanya aglutinasi spermatozoa yang dapat ditentukan dengan tes
imunologi. Para iluwan masih meragukan, bingung dan timbul berbagai
pendapat yang saling kontradiksi. Jones pada penelitian nya mengajukan
teori bahwa faktor imunologi berpengaruh pada beberapa tahap dalm
proses reproduksi manusia, mulai dari masa gamet dan telur yang dibuahi.
Sebagaimana hormon, jaringan dan cairan sekresi yang berhubungan
dengan traktus genitalia potensial bersipat antigenik dan mampu
menimbulkan suatu respon imun.
Suatu antigen akan mengalami beberapa proses dalam tubuh kita akibat
sistem imunitas tubuh. Antigen tersebut akan difagositosis sebagai respon
imun nonspesifik dari tubuh. Dapat juga terjadi penghancuran sel (sitolisis)
melalui peranan sel T-sitotoksis. Mekanisme lain yaitu dengan membentuk
antibodi dengan bantuan makrofag, sel T helper dan sel T supresor. Se-sel
ini memberikan sinyal-sinyal kepada limfosit B sehingga berdifensiasi
menjadi sel plasma dan membentuk antibodi spesifik. Antibodi ini melalui
beberapa jalan menyebabkan penghancuran antigen antara lain membentuk
komplek antibodi komplemen menyebabkan lisis, antibody dependent cell
mediated cytotoxicity (ADCC) menimbulkan sitolisis, atau fagositosis
spesifik.
Pada beberapa wanita antigen sperma menyebabkan timbulnya antibodi
terhadap antigen spesifik atau permukaan pada sperma yang menyebabkan
infertilitas. Menurut burnett, antigen jaringan yang telah ada dalam tubuh
sebelum sistem imunologik berfungsi, dikenal sebagai self anitigen,
Kelompok 28-Infertilitas Page 10
sedangkan antigen jaringan yang timbul setelah sistem imunologik
berfungsi sebagai non self antigen. Spermatozoa dapat digolongkan non
self antigen karena diproduksi jauh setelah sistem imunologik berfungsi,
sehingga ia dianggap seebagai antigen asing. Antigen tersebut dapat
berasal dari spermatozoa sendiri, atau dari plasma semen.
Selain itu dapat juga terjadi keadaan autoimun terhadap semen dan
komponen sperma yang biasanya terjadi pada suami yang pernah
mengalami proses pada genitalianya termasuk vasektomi dan infeksi
(mumps). Beberapa penyakit autoimun dapat menyebabkan suatu keadaan
infertilitas. Geva dalam tulisannya tentang autoimunitas dan reproduksi
mendapatkan bahwa banyaknya autoantibodi dalam serum berhubungan
dengan kegagalan kehamilan yang berulang, endometriosis, kegagalan
ovarium prematur (prematur ovarian failure/POF), infertilitas yang tak
jelas penyebabnya(unexplained infertility), dan kegagalan fertilisasi invitro
(IVF). Beberapa jenis antibodi yang dapat dideteksi antara lain antibodi
antifosfolipid (APA), antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus,
antibodi antinuklear (ANA), Antibodi anti-DNA, faktor rhematoid,
antibodi antitiroid, autoantibodi anti oavarium, dan antibodi otot polos
(smooth muscle antibodies). Dalam tulisannya Geva berkesimpulan bahwa
abnormalitas autoimun mungkin menyebabkan kegagalan reproduksi
(infertilitas) dan sebaliknya kegagalan reproduksi dapat merupakan
manifestasi awal dari penyakit autoimun yang belum terdiagnosis.
BEBERAPA ANTIGEN DAN ANTIBODI PADA PASANGAN INFERTILSperma dan plasma/cairan semen
Banyak molekul yang dibentuk pada saat terjadi miosis dalam testis.
Autoantigen spesifik testis pada saat terjadinya spermiogenesis. Antigen
lain muncul pada membran plasma setelah stadium midspermatid proses
spermatogenesis dan pada permukaan sperma pada masa perjalanan
sperma diepididimis. Sifat antigenik dari sperma dan cairan sperma
Pada keadaan normal inilah yang menyebabkan terbentuknya antibodi
antisperm reaksi imun ini dihalangi oleh salah satu fungsi sel Sertoli pada
Kelompok 28-Infertilitas Page 11
testis yaitu mempertahankan lingkungan intralumen bebas dari komponen
serum. Sel sertoli juga membentuk barier imunologik yang secara aktif
memfagositosis dan menghancurkan sisa-sisa produk hasil
spermatogenesis tadi yang bila dibiarkan lolos dari tubulus seminiferus
akan menyebabkan reaksi imunologik. Hanya ± 1/5 dari sisa-sisa tersebut
yang lolos dari tubulus dn sisa ini diresorbsi oleh epitel germinativum.
Antigen fertilisasi-1 (FA-1) merupakan antigen yang terdapat pada sel-sel
germinal laki-laki dan bereaksi kuat dengan semen dari laki-laki dan
perempuan infertil dan bereaksi lemah dengan semen dari orang –orang
normal. Sperma dilapisi oleh membran plasma yang mengandung antigen
spesifik yang fungsinya sebagai pengenal zona pellusida telur dan
berfungsi dalam proses kapasitas dan reaksi akrosom. FA-1 adalah
glikoprotein spesifik-sperma yang didapatkan dari membran plasma sel
germinal manusia. Naz dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hal ini
terjadi karena antibodi terhadap FA-1 tidak mengaglutinasi atau
menyebabkan immobilisasi sel sperma, antibodi ini menghambat fertilisasi
dengan cara mempengaruhi interaksi antara sperma & zona pellucida,
sedangkan Kaplan dalam penelitiannya mendapatkan kesimpulan bahwa
FA-1 tidak mempunyai efek proteolitik atau aktivitas akrosin. FA-1
menghambat penetrasi sperma ke ovum melalui pengaruhnya terhadap
kapasitasi dan reaksi akrosom sel sperma. Dari datanya juga Kaplan
mengganggap bahwa FA-1 dapat digunakan dalam diagnosis dan
pengobatan dalam imunoinfertiliti dan memungkinkan pengembangan
vaksin kontrasepsi pada manusia.
Antibodi antisperma
Ada banyak bukti bahwa saluran reproduksi manusia khususnya pada
wanita mampu menimbulkan respons imun lokal terhadap antigen asing,
termasuk antigen sperma. Rumke dan Hellinger (1959) adalah orang
pertama yang membuktikan adanya antibodi antisperma atau autoantibodi
terhadap sperma manusia. Respon imun saluran reproduksi wanita
terhadap antigen sperma dapat melalui 2 jalur yaitu jalur aferen dan jalur
eferen. Saluran reproduksi wanita dibantu oleh sel-sel yang kompeten
Kelompok 28-Infertilitas Page 12
untuk menimbulkan respon imun. Sel-sel ini memfagositosis spermatozoa
dan memproses antigennya sehingga menimbulkan pertahanan imun
seseorang, Mekanisme ini dibantu oleh beberapa faktor yaitu :
1. Jumlah sperma yang sangat banyak/berlebihan
2. Sperma juga difagositosis oleh sel-sel somatik sebagaimana
makrofag, dan semen secara kemotatik mempengaruhi makrofag
dan netropil
3. Antigen asing lain mempunyai efek ajuvans terhadap saluran
reproduksi, misalnya adanya infeksi vagina
4. Limfosit dalam semen berperanan menyebabkan sterilitas bagi
wanita melalui mekanisme histokompatibilitas
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi respon imun lainnya misalnya
prostaglandin E yang bersipat imunosupresif. Respon ini terhadap
sperma pada wanita dapat melalui pembentukan antibodi atau
melalui sel-sel, yang masing –masing lebih dominan bersipat
lokal dibanding sistemik.
Imunisasi lokal (intravaginal) dengan berbagai antigen menghasilkan
antibodi spesifik pada mukosa serviks. Biasanya stimulus antigen terhadap
membran mukosa membentuk antibodi lokal maupun sistemik, tapi karena
antigen tidak mencapai sirkulasi respon sistemik jarang terjadi. Ada juga
bukti klinik yang menunjukkan bahwa antigen yang terpapar akibat
hubungan seksual dapat menimbulkan reaksi hipersensitif akut lokal
maupun sistemik, walaupun sangat jarang.
Penelitian teakhir terhadap antibodi antisperma pada wanita dan
hubungannya dengan infertilitas mulai diarahkan keanalisis cairan saluran
reproduksi. Penelitian terhadap antibodi antisperma penting dilakukan
karena berhubungan erat dengan transport sperma, daya tahan sperma,
fertilisasi oosit yang abnormal, perkembangan embrio yang abnormal,
abortus spontan, dan antibodi anti-DNA. Apakah antibodi antisperma
adalah penyebab dari kelainan-kelainan tersebut ataukah semata-mata
antibodi antisperma itu sebagai tanda adanya penyakit yang masih dicari.
Moghisssi dalam penelitiannya menadpatkan insidens adanya antibodi
Kelompok 28-Infertilitas Page 13
antisperma pada pasangan infertil berupa sperm-aglutination antibodi
(SAA) yang mempunyai kegiatan mengaglutinasikan sperma (aglutinasi
kepala-kepala, ekor-ekor, dan kepala ekor), dan sperm-immobilizing
antibody (SIA) yang menyebabkan spermatozoa motil menjadi berhenti,
tidak mobil.
Dalam penelitiannya Moghissi berkesimpulan bahwa diantara wanita
infertil, insidens SAA dan SIA lebih tinggi dalam cairan serviks
dibandingkan dalam serum, bahkan walaupun dalam serum tidak
ditemukan antibodi antisperma. Juga didapatkan bahwa kandungan
antibodi antisperma ini lebih tinggi pada pasangan infertil yang tidak jelas
sebabnya dibandingkan kandungan pada pasangan infertil yang diketahui
penyebabnya (explained infertility).
Haas dkk, mengevaluasi semen 614 orang laki-laki & wanita dengan
explained infertility. Ia mendapatkan 7% laki-laki dan 13% wanita
antibodi antisperma (+). Nip dkk, menggunakan cara ELISA melaporkan
bahwa antibodi antisperma terdapat pada serum 77% wanita dengan
explained infertility, 75% wanita dengan endometriosis dan 60% wanita
dengan infertilitas karena faktor tuba. Pada penelitian ini hanya didapatkan
5% antibodi antiperma (+) pada kontrol.
Imunoglobulin adalah antibodi yang diproduksi sebagai respons terhadap
antigen spesifik. Imunoglobulin yang dibentuk oleh sel limfosit B
merupakan molekul glikoprotein yang terdiri dari komponen polipeptida
sebanyak 82-96% dan selebihnya karbohidrat. Pada elektroforesis molekul
bermigrasi sebagai gammaglobulin. Fungsi polipeptida ini adalah
mengikat dan menghancurkan antigen dengan bantuan fungsi efektor
sekunder yaitu memacu aktivitas komplemen.
Ada beberapa hipotesis pembentukan antibodi antisperma pada
laki-laki. Secara teoritis, barier darah-testis dapat ditembus oleh beberapa
mekanisme yang menyebabkan terpaparnya sirkulasi oleh antigen sperma
sehingga menyebabkan respon imun yang menimbulkan reaksi radang dan
pemebentukan antibodi antisperma . Obstruksi mekanis traktus genitalis
dapat terjadi akibat kelainan kongenital , vasektomi, atau trauma.
Kelompok 28-Infertilitas Page 14
Ekstravasasi sperma dapat dijumpai pada pria setelah dilakukan
vasektomi. Beberapa penilitian mendapatkan 50-70% laki-laki tersebut
mempunyai antibodi antisperma serum(+). Sebagain besar laki-laki yang
mengalami vasektomi dan laki-laki sebagian kecil infertil mempunyai
antibodi antisperma dalam plasma semennya. Antibodi ini biasanya terdiri
dari subkelas IgG atau IgA yang akan melekat pada sperma dan
mempengaruhi fertilitas.
Organisme penyebab penyakit yang ditularkan secara seksual
merupakan initiator pembentukan antibodi antisperma melalui mekanisme
proses radang dan autoimun. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
beberapa bakteri, virus dan jamur dapat mencapai membran luar sperma
yang berfungsi sebagai antigen atau hapten yang menimbulkan respons
imun. Pembentukan antibodi antisperma juga terjadi sebagai akibat adanya
radang lokal setelah infeksi genital pada seorang wanita.
Pembentukan antibodi antisperma pada wanita dapat terjadi pada
traktus genitalia wanita yang terpapar antigen sperma. Seorang wanita
yang aktif secara seksual akan terpapar triliunan speermatozoa selama
hidupnya. Fertilitas akan baik bila wanita tersebut memberikan reaksi
imun yang kompromistik. Proses imunisasi yang (akibat hubungan
seksual) pada wanita terhadap sperma dapat menurunkan fertilitas
berdasarkan kemungkinan kombinasi efek antibodi antisperma seperti
aglutinasi sperma, menurunnya motilitas, gagalnya penetrasi lendir
serviks, fusi sperma telur yang tidak efisien, fagositosis sperma, dan
gagalnya kehamilan sebelum atau sesudah implantasi. Antibodi terhadap
intrinsik sperma yang dihasilkan saat maturasi dalam testis dan antigen
kapsul sperma yang muncul selama dalam epididimis dan saat bercampur
dengan plasma semen berhubungan dengan infertilitas yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya (unexplained infertility).
Kelompok 28-Infertilitas Page 15
Sperma yang mencapai cavum peritonium juga dapat
menginduksi pembentukan antibodi antisperma serum melalui fagositosis
makrofag dan presentasi sel T untuk menimbulkan respon imun.
Pembentukan antibodi antisperma juga dapat terjadi akibat radang lokal
pada genitalia wanita. Cunningham dkk, mencari prevalensi antibodi
antisperma pada wanita nulligravid usia reproduksi dengan berbagai proses
infeksi ginekologis. 46 % wanita didiagnosis dengan penyakit radang
pelvis (PID) (n=81) mempunyai antibodi antisperma (+) pada serum dan
cairan serviks dibandingkan prevalensi antibodi antisperma (+) 20% pada
wanita dengan infeksi genital bagian bawah ( jamur,klamidia, bakteri,
n=86). Antibodi antisperma juga ditemukan pada 69% wanita yang
dilaparoskopi pada wanita dengan perlengketan dipelvis atau hidrosalping
tanpa riwayat PID.
e) Faktor lingkungan
1) Suhu, merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
spermatogenesis. Pada mamalia spermatazoa hanya dapat
diproduksi bila suhu testis 29- 30°C, sedikitnya 1,5- 2.0°C dibawah
suhu dalam tubuh, kenaikan suhu beberapa derajat akan
menghambat proses spermatogenesis, sebaliknya suhu rendah akan
meningkatkan spermatogenesis pada manusia.
2) Tempat/dataran tinggi. Atmosfer dataran tinggi (high altitude) juga
menghambat pembuatan spermatozoa.
3) Sinar rontgen, spermatogonia dan spermatosit sangat peka terhadap
sinar rontgen kecuali spermatic dan sel sertoli, namun terpengaruh
bahan kimia dan obat-abatan tertentu yang dapat menghambat
proses spermatogenesis, misal metronidazol, simetidin dan lain-
lain.
Menurut Handerson dan Jones (2006) Penyebab infertilitas pada pria
dibagi menjadi dua kategori yaitu :
Kelompok 28-Infertilitas Page 16
1. Infertilitas yang diakibatkan spermatogenesis defektif
Dua masalah spermatogensis ialah sperma yang dihasilkan terlalu sedikit
seperti oligopserma(jumlah produksi sperma kurang dari 20x106 ml) dan
azoopermia (kegagalan memproduksi sperma) atau masalah pada Motilitas
sperma. Masalah seperti ini dapat disebabkan karena gangguan pada
produksi hormon yang mendukung spermatogenesis seperti hormon
testosteron, FSH dan LH. Selain itu masalah spermatogenesis dapat terjadi
karena terdapat gangguan pada tempat sintesis sperma yaitu testis. Sebagai
contoh : gangguan kongenital seperti kriptokidisme atau testis tidak turun,
varikokel, suhu yang terlalu tinggi (di atas temperatur tubuh), serta
masalah lingkungan seperti penggunaan celana ketat, konsumsi alkhohol,
merokok, obat-obatan terlarang, radiasi, timah dan antibiotik tertentu
(penisilin dan tetrasiklin).
2. Infertilitas yang terkait masalah transpor dan penghantaran sperma.
Masalah transpor sperma dapat terjadi karena terjadi hambatan dalam vas
deferen atau terjadi obstruksi vesikula seminalis. Sedangkan masalah
penghantaran dapat terjadi karena gangguan ereksi. Gangguan ereksi dapat
disebabkan masalah yang bersifat fiologis dan psikologis. Masalah
fisiologis seperti penyakit neuromuskular atau gangguan endokrin tertentu.
Sedang masalah psikologis seperti rasa takut gagal, trauma masa lalu,
stess, atau akibat pengalaman seksual yang tidak memusakan.
B. Wanita
1. Masalah vagina Vagina merupakan hal yang penting dalam tatalaksana infertilitas.
Terjadinya proses reproduksi manusia sangat terkait dengan konisi vagina yang sehat dan berfungsi normal. Masalah pada vagina yang memiliki kaitan erat dengan peningkatan kejadian infertilitas adalah sebagai berikut :
Dispareunia
Merupakan masalah kesehatan yang ditandai dengan rasa tidak nyaman atau rasa nyeri saat melakukan senggama. Dispareunia dapat dialami perempuan ataupun lelaki. Pada perempuan dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adalah sebagai berikut :
Kelompok 28-Infertilitas Page 17
a. Faktor infeksi, seperti infeksi kandida vagina, infeksi klamidia trakomatis vagina, infeksi trikomonas vagina, dan pada saluran berkemih.
b. Faktor organik, seperti vaginismus, nodul endometriosis di vagina, endometriosis pelvik, atau keganasan vagina.
Dispareunia pada lelaki dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut :
a. Faktor infeksi, seperti uretritis, prostitis, atau sistitis. Beberapa kuman infeksi antara lain adalah neisseria gonorhe
b. Faktor organik, seperti prepusium yang terplampau sempit, luka parut di penis akibat infeksi sebelumnya, dan sebagainya.
1) VaginismusMerupakan masalah pada perempuan yang ditandai dengan adanya rasa nyeri saat penis akan melakukan penetrasi kedalam vagina. Hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya zat lubrikans atau pelumas vagina, tetapi disebabkan oleh diameter liang vagina yang terlalu sempit, akibat kontraksi refleks otot pubokoksigeus yang terlalu sensitif, sehingga terjadi kesulitan penetrasi vagina oleh penis. Penyempitan liang vagina ini dapat disebabkan oleh faktor psikogenik atau disebabkan oleh kelainan anatomik. Faktor anatomi yang terkait dengan vaginismus dapat disebabkan oleh operasi di vagina sebelumnya seperti episiotomi atau luka trauma di vagian yang sangat hebat sehingga meninggalkan jaringan parut.
2) VaginitisBeberapa infeksi kuman seperti klamidia trakomatis, Niseria Gonore, dan bakterial vaginosis seringkali tidak menimbulkan gejala klinik sama sekali. Namun, infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan infertilitas melalui kerusakan tuba yang dapat ditimbulkannya.
2. Masalah serviks a) Servisitis
Memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya infertilitas. Servisitis kronik dapat menyebabkan kesulitan bagi sperma untuk melakukan penetrasi kedalam kavum uteri. Adanya tanda infeksi klamidia trakomatis di serviks sering kali memiliki kaitan erat dengan penimgkatan resiko kerusakan tuba melalui reaksi imunologi.
b) Trauma pada serviksTindakan operatif tertentu pada serviks seperti konisasi atau upaya abortus profokatus sehingga menyebabkan cacat pada serviks, dapat menjadi penyebab infertilitas.
c) Mukus serviks dapat menjadi penghalang yang signifikan bagi penetrasi sperma sehingga perlu dinilai. Pada perempuan anovulatorik dengan mukus serviks abnormal, yang tampail
Kelompok 28-Infertilitas Page 18
sebagai uji paska koitus abnormal, perlu disingkirkan kemungkinan “poor timing” dengan penentuan waktu yang tepat melalui uji LH urin atau peninjauan cermat suhu basal tubuh. Jika uji paska koitus memberi hasil yang abnormal akibat sperma yang “bergetar” atau imobile, uji antibodi antisperma harus dilakukan pada perempuan tersebut dan pasangannya. Terapi untuk mukus serviks yang inadekuatmeliputi pemberian estrogen terkonjugasi 0,325 mg per hari pada hari ke 3 sampai ke 12 siklus, atau memintas serviks denganterapi inseminasi intrauterin (IIU) menggunakan sperma suami.
3. Masalah tuba
Tuba fallopi memiliki peran yang besar didalam proses frtilisasi, karena tuba berperan dalm proses tranpor sperma, kapasitas sperma, proses fertilisasi,dan tranpor embrio. Adanya kerusakan atau kelainan tuba tertentu akan berpengaruh terhadap angka fertilitas. Kelainan tuba yang seringkali dijumpai pada penderita infertilitas adalah sumbatan tuba baik pada pangkal, pada bagian tengah tuba, maupun pada ujung dista dari titik. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, tuba yang tersumbat dapat tampil dengan bentuk dan ukuran yang normal, tetapi dapat pula tampil dalam bentuk hidrosalping. Sumbatan tuba dapat disebabkan oleh infeksi atau dapat disebabkan oleh endometriosis. Infeksi klamidia trakomatis memiliki kaitan yang erat dengan terjadinya kerusakan tuba.
Pada pemeriksaan histerosalpingografi atau laparoskopi, 30% perempuan dengan infertilitas ditemukan mengidap penyakit tuba. Penyakit radang panggul atau perlekatan panggul akibat pembedahan terdahulu juga dapat menyebabkan gangguan potensi tuba uterina. Terapi utama untuk infertilitas akibat kelainan tuba adalah pembedahan. Pada tuba uterina yang mengalami kerusakan berat,terapi fertilisasi in vitro mungkin memberikan angka keberhasilan yang lebih tinggi daripada perbaikan tuba secara bedah mikro. Potensi tuba dan keberhasilan pengobatan fertilitas bergantung pada derajat dilatasi tuba, ketebalan dinding tuba, dan derajat kerusakan intratuba. Angka kehamilan berkisar antara 15-40% bergantung pada keparahan kerusakan tuba.
Perlekatan dipanggul diperkirakan dapat mengganggu fertilitas dengan menghambat pengambilan ovum atau mengganggu hubungan ovarium dan tuba. Perlekatan dieksisi secara hati-hati menggunakan teknik bedah mikro hemostasis yang cermat.
Endometriosis dianggap mengganggu fertilitas dengan mengganggu motilitas tuba atau melalui pengaktifan makrofag, obstruksi tuba, atau defek fase luteal. Terapi disesuaikan untuk tiap orang dan terdiri atas pengangkatan implan peritonium dengan eksisi, kauterisasi, atau laser, lisis perlekatan dan drainase terhadap
Kelompok 28-Infertilitas Page 19
endometrium. Terapi medis diberikan untuk pasien dengan penyakit yang ringan atau setelah pembedaha’’n untuk menekan penyakit residual. Kontrasepsi oral, progestin, danokrin, dan analog GnRH pernah diberikan dan memberikan hasil yang baik.
4. Masalah uterusFaktor yang terkait kavumuteri meliputi kelainan anatomi kavum uteri dan
faktor yang terkait dengan endometrium. a. Kelainan anatomi kavum uteri.
Adanya septum pada kavum ueteri, tentu akan mengubah struktur anatomi dan struktur vaskularisasi endometrium. Tidak terdapat kaitan yang erat antara septum uteri ini dengan peningkatan kejadian infertilitas. Namun, terdapat kaitan yang erat antara septum uteri antara peningkatan kejadian kegagalan kehamilan muda berulang. Kondisi uterus bikornis atau uterus arkuatus tidak meniliki kaitan yang erat dengan infertilitas.
b. Faktor endometriosismEndometriosis kronis memiliki kaitan yang erat dengan rendahnya ekspresi integrin (avb3) endometrium yang sangat berperan dalam proses implantasi. Faktor ini yang dapat menerangkan tingginya penyakit radang panggul subklinik pada perempuan dengan infertilitas. Adanya kaitan antara kejadian polip iendometrium dengan kejadian endometrium krinik tampaknya meningkatnya kejadian infertilitas.
Defek anatomik, seperti perlekatan intrauterin (sindrom Asherman), polip, atau leiomioma submukosa, dapat mengganggu fertilitas. Terapinya berupa pengangkatan secara histeroskopik, kecuali pada leiomioma submukosa berukuran besar yang perlu diangkat dengan laparotomi. Malformasi uterus kongenital, sperti septum uterus, mungkin lebih sering menyebabkan abortus habituali. Septum dapat diperbaiki secara heteroskopik atau dengan metroplasti uetrus.
5. Masalah miometrium
Mioma uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan aktifitas proliferasi sel-sel endometrium. Berdasarkan lokasi mioma uteri terhadap endometrium, serviks dan kavum uteri, maka mioma uteri dapat diklasifikasi sebagai berikut :
1) Mioma subserosum2) Mioma intramural3) Mioma submukosum4) Mioma serviks5) Mioma di rongga peritonium
Kelompok 28-Infertilitas Page 20
Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian infertilitas hanyalah berkisar 30-50%. Mioma uteri mempengaruhi fertilitas kemungkinan terkai dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis servikalis, atau mempengaruhi implantasi.
Adenomiosis
Merupakan kelainan pada miometrium berupa susupan jaringan stroma dan kelenjar yang sangat menyerupai endometrium. Sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti patogenesis dari adenomiosis ini. Secara teoritis, terjadinya proses metaplasi jaringan bagian dalam dari miometrium (the junctional zona) yang secara ontogeni merupakan sisa dari duktus muller. Adenomiosis memiliki kaitan yang erat dengan nyeri pelvik, neyri haid, perdarahan uterus yang abnormal, deformitas bentuk uterus, dan infertilitas.6. Masalah ovarium
Ovarium memiliki fungsi sebagai penghasil oosit dan penghasil hormon. Masalah utama yang terkait dengan fertilitas adalah terkait dengan fungsi ovulasi. Sindrom ovarium polikistik merupakan masalah gangguan ovulasi utama yang seringkali dijumpai pada kasus infertilitas. Saat ini untuk mengakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik jika dijumpai dari 3 gejala dibawah ini :
1. Terdapat siklus haid oligoovulasi atau anovulasi.2. Terdapat gambaran ovarium polikistik pada pemeriksaan ultrasonografi.3. Terdapat gambaran hiperandrogenisme baik klinis maupun biokimiawi.
40-70% kasus sindrom ovarium polikistik ternyata memiliki kaitan erat dengan kejadian resistensi insulin. Penderita infertilitas dengan obesitas seringkali menunjukkan gejala sindrom ovarium polikistik.
7. Masalah peritonium
Masalah yang sering dikaitkan antara faktor peritoneum dengan infertilitas adanya faktor endometriosis. Endometriosis dijumpai sebesar 25-40% pada perempuan dengan masalh infertilitas dan dijumpaisebesar 2-5% pada populasi umum. Endometriosis dapat tampil dalam bentuk adanya nodul-nodul saja dipermukaan peritoneum atau berupa jaringan endometriosis yang berinfiltrasi dalam dibawah lapisan peritoneum. Endometriosis dapat terlihat dengan mudah dalam bentuk yang khas yaitu nodul hitam, nodul hitam kebiruan, nodul coklat, nodul putih, nodul kuning, dan nodul merah, yang seringkali dipenuhi pula oleh sebaran pembuluh darah. Bercak endometriosis juga dapat tampil tersembunyi tipis dibawah lapisan peritoneum yang dikenal dengan istilah nodul powderburn, dan adapula bercak endometriosis yang tertanam dalam dibawah lapisan peritoneum (deep infiltrating endometriosis).
Kelompok 28-Infertilitas Page 21
Patogenesis endometriosis di rongga peritoneum seringkali dikaitkan dengan teori regurgitasi implantasi dari Sampson atau dapat pula dikaitkan dengan teori metaplasia. Pertumbuhan endometriosis sangat dipengaruhi pula oleh paparan hormonal seperti estrogen dan progesteron.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti hubungan yang erat antara endometriosis dengan kejadian infertilitas. Diperkirakan disebabkan oleh faktor-faktor imunologis yang kemudian berdampak negatif terhadapt kerusakan jaringan.
8. Masalah gangguan ovulasi yang lain
Meruapakan masalah yang terkait dengan pertumbuhan kista ovarium non neoplastik ataupun kista ovarium neoplastik. Kista ovarium yang sringkali dijumpai pada penderita infertilitas adalah kista ovarium yang sering dengan istilah kista coklat. Kista endometriosis tidak hanya mengganggu fungsi ovulasi, tetapi juga dapat mempengaruhi fungsi maturasi oosit.
Untuk menilai derajat keparahan endometriosis, saat ini digunakan klasifikasi berdasarkan revisi American Fertility Society (AFS). Pada kista endometriosis dengan AFS derajat sedang atau berat kejadian infertilitas dapat dikaitkan dengan kegagalan ovulasi, kegagalan maturasi oosit, dan kegagalan fungsi tuba akibat deformitas tuba. Tindakan operatif untuk pengangkatan kista ovarium jika tidak dilakukan dengan hati-hati dapat berakibat meningkatnya kejadian kegagalan fungsi ovarium, yang akan semakin memperburuk prognosis fertilitasnya.
9. Faktor laki-laki
Pemilihan terapi yang sesui untuk infertilitas akibat faktor laki-laki bergantung pada penyebab defek. Azoospermia sering tidak dapat diobati. Peningkatan FSH serum mengisyaratkan berkurangnya fungsi jaringan germinal. Pada keadaan tersebut dianjurkan inseminasi buatan dengan donor (artificial insemination by donor, AID) atau adopsi. Obstruksi duktus ejakulatorius atau ejakulasi retrogad kedalam kandung kenih akan memberikan gambaran kadar FSH yang normal. Pada laki-laki dengan ejakulasi retrogad sperma dapat ditemukan didalam urin.
Oligospermia didefinisikan sebagai jumlah sperma yang kurang dari 20 juta per mililiter dan biasanya idiopatik, tetapi mungkin disebabkan oleh gangguan testis, misalnya trauma, infeksi atau varikokel. Varikokel merupakan dilatasi abnormal pleksus pampiniformis vena spermatikainterna. 20-40 % laki-laki infertil ternyata mengalami varikokel dengan derajar bervariasi. Pada keadaan ini infertilitas diperkirakan terjadi karena peningkatan suhu testis atau venostatis.
Kelompok 28-Infertilitas Page 22
Kualitas sperma membaik pada 50-90% laki-laki yang diterapi dengan ligasi bedah atau oklusiradiologik vena spermatika interna. Namun angka konsepsi tidak lebih tinggi daripada 20-25% dan diperlukan penilitian lebih lanjut sebelum terapi ini dianjurkan secara luas.
Semua penyakit atau stres akut atau kronik harus diatasi dan dilakukan analisis sperma berulang-ulang untuk menentukan ketepatannya. Pemakaian hormon tiroid, klomifen sitrat atau testosteron secara rutin untuk mengatasi oligospermia harus dihindari karena dapat terjadi supresi sperma paradoksal.
10. Infertilitas yang tidak dapat dijelaskan
Sekitar 10%pasangan yang datang dengan infertilitas tidak diketahui penyebabnya. Pada kelompok pasangan ini ditemukan angka konsepsi tidak bergantung terapi yang bermakna (30% dalam tahun pertama dan angka kehamilan kumulatif setelah akhir tahun ke 3 adalah 60%). Perlu dilakukan pengkajian ulang terhadap evaluasi awal dan penentuan apakah harus dilakukan pemeriksaan tambahan. Jika pasangan yang bersangkutan tetap infertil setelah suatu periode pengamatan, dapat diberikan terapi empiris dengan induksi ovulasi, inseminasi intrauterin, atau teknologi untuk membantu reproduksi.
2.3.4 Penyakit dan Kelainan yang Tidak Langsung Berhubungan dengan
Kehamilan
I. Penyakit Endokrin
a. Hipertiroidismus (Basedowi morbus)
Penderita hipertiroidismus biasanya mengalami gangguan haid dan
kemandulan. Walaupun demikian, kadang terjadi juga kehamilan atau
penyakitnya baru timbul dalam masa hamil.
b. Hipotiroidismus (myxoedema)
Penderita hipotiroidismus jarang terjadi hamil karena biasanya tidak
terjadi ovulasi. Walaupun demikian, seorang cebol dan penderita
miksoedema dapat menjadi hamil.
c. Hiperfungsi kelenjar adrenal
Hiperfungsi kelenjar adrenal menyebabkan sindroma Cushing, yang
biasanya disertai anovulasi, sehingga wanita tidak menjadi hamil. Ada
Kelompok 28-Infertilitas Page 23
kalanya penderita sindroma Crushing menjadi hamil. Apabila
pengobatan tidak diberikan dari permulaan, kehamilan sering berakhir
dengan abortus, walaupun kadang-kadang dapat mencapai cukup bulan.
II. Penyakit Menular
a. Nematoda (trikuris trikuria)
Jenis cacing usus lainnya yang dapat menimbulkan gejala berupa
malaise, anemia, tinja yang berdarah, serta nyeri perut. Infeksi yang
berat dapat menampilkan gejala disentri dan tenesmus serta prolapsus
rektum. Nematoda lain yang berpengaruh terhadap reproduksi adalah
golongan nematode jaringan, yang menimbulkan penyakit Filariasis
atau Elefantiasis. Carayon dkk melaporkan dijumpainya filariasis pada
tuba ataupun ovarium yang dapat menyebabkan infertilitas.
b. Trematoda
Schistosomiasis adalah penyakit infeksi cacing yang disebabkan oleh
S.mansoni, S.japonicum, S.mekongi,dan S.interkalatum. Siklus
hidupnya sangat komplek dan membutuhkan pejamu intermediet berupa
siput air tertentu. Penyakit ini diawali dengan gejala dermatitis yang
timbul dalam 24 jam setelah penetrasi “serkaria” melalui kulit.
Kemudian akan terjadi urtikaria, demam dan malaise. Tergantung
kepada jenis schistosoma yang menyerangnya, dapat pula terjadi diare
yang berdarah dan berlendir, penurunan berat badan, sakit perut, serta
mungkin hepatosplenomegali. Infeksi akut S.haematobium dapat
menyebabkan hematuri. Selain itu, telur S.haematobium dan S.mansoni
dapat masul ke dalam saluran genital, sehingga terjadi inflamasi pada
tuba, yang memudahkan terjadinya kehamilan ektopik dan infertilitas.
III. Penyakit Kolagen
a. Skleroderma
Skleroderma, suatu penyakit yang ditandai dengan penebalan dan
pengerasan kulit secara lokal atau umum, jarang dijumpai. Jalannya
Kelompok 28-Infertilitas Page 24
penyakit berbeda, tergantung pada beratnya, luasnya, dan banyaknya
alat tubuh yang ikut serta dalam proses penyakit.Yang paling sering
menderita ialah para wanita muda dalam masa bisa mendapat anak
(childbearing age). Skleroderma sering menyebabkan kemandulan.
Pengobatan scleroderma hingga kini tidak memuaskan, termasuk
kortikosteroid. Kematian biasanya disebabkan oleh gawat-jantung pada
scleroderma difusa.
2.4 Pemeriksaan
Evaluasi Infertilitas Dasar
Pemeriksaan dasar merupakan hal yang sangat penting dalam tata laksana infertilitas. Dengan melakukan pemeriksaan dasar yang baik dan lengkap, maka terapi dapatdiberikan dengan cepat dan tepat, sehingga penderita infertilitas dapat terhindar dari keterlambatan tata laksana infertilitas yang dapat memperburuk prognosis dari pasangan suami istri tersebut.
Evaluasi infertilitas berfungsi untuk :
1. Menentukan penyebab infertilitas2. Memberikan pasangan tersebut protokol pengobatan yang dianjurkan3. Menilai perkiraan angka keberhasilan terapi yang dianjurkan tersebut4. Mengedukasi kepada pasangan mengenai gangguan spesifik yang mereka
alami dan terapi alternaif yang tersedia atau adopsi.
Beberapa pasien tertentu yang hanya mencari diagnosis dan tidak ingin meneruskan terapi atau tidak dapat membiayai uji diagnostik atau terapi yang dianjurkan. Sebagian pasangan kemudian melakukan adopsi, sementara yang lain mematuhi terapi medis atau bedah yang dianjurkan.
2.4.1 Pemeriksaan Infertilitas Pria
Pada umumnya dilakukan pemeriksaan berupa:
1. Wawancara / anamnesis meliputi:a. Lama menikah,b. Usia pasangan,c. Pekerjaaan, frekuensi dand. Waktu melakukan hubungan seksual
Pemeriksaan lanjutana. Riwayat perkembangan urologis, pembedahan, hubungan kelamin,
kontak dengan zat-zatb. toksik, penyakit infeksi alat reproduksi
Kelompok 28-Infertilitas Page 25
c. Pemeriksaan jasmani pada umumnya termasuk seks sekunder (penyebaran rambut,
d. ginekomastia dll)e. Pemeriksaan khusus alat reproduksi (penis, letak lubang uretra,
ukuran, konsistensif. testis, vas deferens, epididimis dll)g. Pemeriksaan laboratorium rutin, urin, darah dan analisis sperma.
Pemeriksaan laboratorium khusus seperti : kadar serum darah, FSH, LH, testosteron dan lain-lain bila ada indikasi.
2. Pemeriksaan dasar:a. Analisis semen
Pemeriksaan analisis sperma sangat penting dilakukan pada awal kunjungan pasutri dengan masalah infertilitas, karena dari berbagai penelitian menunjukan bahwa faktor lelaki turut memberikan kontribusi sebesar 40% terhadap kejadian infertilitas.Beberapa syarat yang harus diperhatikan agar menjamin hasil analisis sperma yang baik adalah sebagai berikut:
1) Lakukan abstinensia (pantang sanggama) selama 2-3 hari2) Keluarkan sperma dengan cara masturbasi dan hindari dengan
cara sanggama terputus3) Hindari penggunaan pelumas pada saat masturbasi4) Hindari penggunaan kondom untuk menampung sperma5) Gunakan tabung dengan mulut lebar untuk tempat
penampungan sperma6) Tabung sperma harus dilengkapi dengan nama jelas, tanggal
dan waktu pengumpulan sperma, metode yang dilakukan dalam pengambilan sperma
7) Kirimkan sampel secepat mungkin ke laboratorium sperma8) Hindari paparan tempratur yang terlampau tinggi (lebih dari
38˚C) atau terlalu rendah (kurang dari 15˚) atau meenempelkannya ke tubuh sehingga sesuai dengan suhu tubuh.
Kriteria yang digunakan untuk menilai normalitas analisis sperma adalah kriteria normal berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO). Hasil dari analisis sperma tersebut menggunakan teknologi khusus yang diharapkan dapat menjelaskan kualitas sperma berdasarkan konsentrasi, mortalitas dan morfologi sperma.
Kelompok 28-Infertilitas Page 26
2.4.2 Pemeriksaan Infertilitas Wanita
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pihak perempuan harus ditanyai mengenai saat ia mengalami pubertas dan menarke. Riwayat haid harus meliputi lama siklus, durasi dan jumlah perdarahan, serta dismenorea atau gejala prahaid yang menyertai. Riwayat haid yang dapat diperkirakan, teratur, dan siklik sesuai dengan ovulasi, sedangkan riwayat
Kelompok 28-Infertilitas Page 27
amenore atau menometroragia mungkin menunjukkan anovulasi atau kelainan uterus. Pasien harus ditanyai mengenai dispareunia atau dismenore berat yang mungkin berhubungan dengan endometriosis. Riwayat penyakit radang panggul, perforasi appendiks atau pembedahan abdomen lainnya, atau pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim dapat menyebabkan penyakit pada tuba. Riwayat galaktorea mungkin jadi petunjuk hiperprolaktinemia, sedangkan riwayat hirsutisme yang muncul saat pubertas atau hirsutisme yang cepat memburuk mungkin mengisyaratkan adanya penyakit ovarium polikistik ataukelebihan anddrogen lainnya. Harus dilakukan anamnesis menyeluruh mengenai riwayat penyakit dahulu dan riwayat keluarga. Masalah seksual, sosial, dan spikologis harus dibahas. Evaluasi dan terapi infertilitas sebelumnya juga perlu didapatkan dan diinterpretasikan.
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh diperlukan untuk membantu menentukan faktor-faktor penting yang mungkin menyebabkan infertilitas. Akne, kulit berminyak, dan hirsutisme mungkin disebabkan oleh kelebihan androgen. Pembesaran tiroid, akantosis nigrikans, galaktorea, pigmentasi kulit, stri abdomen, parut bedah, atau kelainan berat badan harus diperiksa dengan cermat. Derajat estrogenisasi vagina (adanya sel vagina yang berugae, basah, merah muda dan persentase sel-sel superfisial pada kerokan dinding vagina) dan kualitas serta kuantitas mukus serviks harus dicatat. Serviks harus diperiksa untuk mencari riwayat pajanan dietilstilbestrol atau riwayat operasi, kriokauterisasi, atau terapi laser pada serviks. Pada saat pemeriksaan panggul, harus dicari ada tidaknya nyeri tekan, massa, dan mobilitas serviks, uterus atau adneksa. Ukuran dan kontur uterus serta adneksa juga harus dicatat.
1. Pemeriksaan ovulasi.
Terjadinya ovulasi dapat kita ketahui dengan berbagai pemeriksaan.
a) pencatatan suhu-suhu basal dalam suatu kurve : kalau siklus ovulatoar maka suhu basal bersifat bifasis. Sesudah ovulasi terjadi kenaikan suhu basal disebabkan pengaruh progesteron.
b) dengan pemeriksaan vaginal smear ; pembentukan progesterone menimbulkan perubahan-perubahan sitologis pada sel-sel superfisial.
c) pemeriksaan lendir cervix : adanya progesteron menimbulkan perubahan slfat lendir cervix ialah lendir tersebut menjadi lebih kental, juga gambaran fern (daun pakis) yang terlihat pada lendir yang telah dikeringkan hilang.
d) pemeriksaan endometrium : kuretase pada hari pertama haid atau pada fase premenstruil menghasilkan endometrium dalam stadium sekresi dengan gambaran histologis yang khas.
e) pemeriksaan hormon seperti oestrogen. ICSH dan pregnandiol.
Kelompok 28-Infertilitas Page 28
Sebab-sebab gangguan ovulasi :
a. faktor-faktor susunan saraf pusat : tumor, dysfungsi hypothalamus, faktor psikogen, dysfungsi hypofise.
b. faktor-faktor intermediate : gizi, penyakit kronis, penyakit metabolis.
c. faktor-faktor ovarial : tumor-tumor, dysfungsi. Turner syndrom.
Dokumentasi Ovulasi
Riwayat haid yang teratur, siklik, dan dapat diperkirakan sedikit banyak dengan molimina merupakan bukti presumtif adanya ovulasi. Evalusi laboratorium dasar untuk mendokumentasikan ovulasi dimulai dengan bagan haid yang mencatat hari pertama perdarahan haid sebagai hari siklus 1. Bagan ini dapat digunakan untuk mencatat suhu basal tubuh harian (SBT). Untuk tujuan ini digunakan termometer basal khusus dengan rentang suhu ovulasi, diperbesar agar pengukuran lebih akurat. Suhu dicatat di tempat tidur setiap pagi pada waktu yang hampir sama sebelum makan atau minum, merokok, atau mengosok gigi. Adanya episode demam atau sakit, coitus, spotting vagina, atau perdarahan harus dicatat. Bagan suhu haid dibawa ke tempat praktik setiap kali kunjungan agar dapat ditambakan kedalam status pasien. Bagan tersebut diinterpretasikan sebagai berikut.
1. Suhu fase proliferatif biasanya kurang dari 98°F (36,7°c)2. Pada saat ovulasi, memperlihatkan sedikit penurunan suhu.
(pada siklus 28 hari yang biasa, hal ini biasanya terjadi pada hari siklus ke-13 atau ke-14.)
3. Suhu fase luteal meningkat 0,6-0,8°F akibat efek termogenik progesteron. Durase fase luteal dihitung dari penurunan suhu di pertengahan siklus sampai awitan haid berikutnya. Fase luteal seyogyanya berlangsung sampai 11-16 hari.
Jika perkiraan waktu ovulasi dapat diramalkan dari bagan suhu,pasangan tersebut dianjurkan untuk berhubungan kelamin setiap 36-48 jam selama 3-4 hari sebelum dan 2-3 harisesudah suhu meningkat. Ada cara-cara perkiraan ovulasi yang lebih akurat. Tersedia alat yang dijual bebas untuk mengukur LH urin dan dapat diunakan untuk memantau lonjakan LH di pertengahan siklus yang memicu ovulasi. Hubungan kelamin seyogianya dlakukan 12-14 jam setelah awitan lonjakan LH.
Progesteron adalah produk sekretorik utama korpus luteum. Kadar progesteron fase luteal sebesar 3-4 ng/ml atau lebih mengindikasikan terjadinya ovulasi. Namun, kadar pada pertengahan fase luteal idealnya lebih besar daripada 10 ng/ml. Kadar dibawah angka-angka
Kelompok 28-Infertilitas Page 29
ini mungkin mengisyaratkan fase luteal yang tidak adekuat atau kelainan hormonal lainnya.
Biopsi endometrium yang diambil 2-3 hari sebelum perkiraan awitan haid juga dapat digunakan untuk membuktikan adanya ovulasi. Progesteron akan merangsang perubahan-perubahan sekretorik didalam endometrium dan telah diciptakan kriteria histologik spesifik untuk dating endometrium. Dengan menggunakan kriteria tersebut, dapat ditentukan adanya insufisiensi fase luteal jika perkembangan endometrium tertinggal lebih dari 2 hari dari siklus saat awitan lonjakan Lh atau periode haid berikutnya pada paling sedikit dua siklus.
2. Lendir Cervix.
Keadaan dan sifat lendir cervix sangat mempengaruhi keadaan spermatozoa.
a) Kentalnya lendir cervix. Lendir cervix yang cair lebih mudah dilalui spermatozoa. Pada stadium proliferasi lendir cervix agak cair karena pengaruh oestrogen, sebaliknya pada stadium sekresi lendir cervix lebih kental karena pengaruh progesteron.
b) pH lendir cervix. Lendir cervix bersifat alkalis dengan pH ± 9. Pada suasana yang alkalis spermatozoa dapat hidup lebih lama. Suasana menjadi asam pada cervicitis.
c) Enzym proteolytik. Selain oestrogen rupanya juga enzym enzym proteolytik seperti trypsin dan chemotrypsin mempengaruhi viscositas lendir cervix.
d) Dalam lendir cervix dapat juga diketemukan immunoglobulin yang dapat menimbulkan agglutinasi dari spermatozoa.
e) Berbagai kuman-kuman dalam lendir cervix dapat membunuh spermatozoa. Biasanya baik tidaknya lendir cervix diperiksa dengan : 1) Sims Huhner test (post coital test). Pemeriksaan lendir cervix
dilakukan post coitum sekitar waktu ovulasi.Sims Huhner test
dianggap baik kalau terdapat 5 spermatozoa yang motil per
high powerfield. Sims Huhner test yang baik menandakan :
a. teknik coitus baik
b. lendir cervix normal
c. oestrogen ovarial cukup
Kelompok 28-Infertilitas Page 30
d. sperma cukup baik.
Uji pascakoitus dapat memberikan informasi mengenai kualitas dan reseptivitas (kemampuan menerima) mukus serviks ovulatorik. Mukus pada pertengahan siklus haruslah seperti air,encer, jernih dan aseluler serta harus memperhatikan suatu fenomena yang disebut sebagai spinnbarkeit, yakni kemempuan teregan (stretchility). Akibat peningkatan kadar estrogen saat ovulasi, kandungan garam dalam mukus serviks meningkat sehingga menyebabkan terbentuknya pola daun pakis saat mukus serviks pertengahan siklus dikeringkan diatas kaca objek.
Uji ini dijadwalkan pada perkiraan tanggal ovulasi dan mukus serviks diperiksa dalam 8 jam setelah koitus. Mukus diambil dari serviks dengan sebuah angiocath atau hub tabung suntik insulin dan diperiksa untuk mencari ada tidaknya spinnbarkeit, daun pakis, dan adanya sperma motil progresif. Temuan lebih dari sperma motil per lapangan pandang besar biasanya berkolerasi dengan hasil analisis sperma yang normal dan angka kehamilan akan lebih tinggi daripada seandainya hitung tersebut kurang dari jumlah diatas, namun, uji paskakoitus yang abnormal pernah ditemukan pada pasangan-pasangan yang subur, dan berbagai penilitian terakhir mendapatkan bahwa nilai prediktif dari uji ini tidak terlalu besar. Ada tidaknya sperma non motil atau “bergetar”(quivering)tanpa motilitas yang progresif dianggap abnormal dan memerlukan evaluasi lebih lanjut.
2) Kurzrock Miller test. Dilakukan pada pertengahan siklus kalau
hasil Sims Huhner test kurang baik. Satu tetes lendir cervix
diletakkan berdampingan dengan tetes sperma pada obyekglas,
dilihat apakah ada penetrasi spermatozoa. Kalau tidak ada
invasi spermatozoa, lendir cervix kurang baik.
3. Pemeriksaan Tuba :
Untuk mengetahui keadaan tuba dapat dilakukan :
1. Pertubasi (insuflasi) sering disebut Rubin test.
2. Hysterosalpingografi.
3. Kuldoskopi.
Kelompok 28-Infertilitas Page 31
Selain dari pada mempunyai nilai diagnostis pemeriksaan tersebut di atas juga ada nilai terapeutisnya karena dengan memasukkan gas atau cairan ke dalam uterus dan tuba perlekatan-perlekatan ringan kadang-kadang terlepas.
1. PERTUBASI (INSUFLASI) SECARA RUBIN.
CO2 dimasukkan ke dalam cavum uteri dan tuba. Kalau tuba paten (tidak tertutup) maka gas akan keluar dari ujung tuba.
Hal ini dapat kita ketahui dengan stetoskop yang diletakkan kiri atau kanan dari uterus : gas yang keluar menimbulkan bunyi yang khas. Di samping itu pasien merasa nyeri di bahu dan dengan Ro foto dapat terlihat gelembung udara di bawah diafragma.
Biasanya tekanan gas dicatal dengan kymogram. Kalau tekanan tidak melewati 180 mm Hg. maka tuba palen. Kalau mencapai 180 — 200 mm Hg, maka ada penutupan parsiil dan kalau lebih 200 mm Hg, maka ada obstruksi. Pada kymogram juga nampak gelombang-gelombang dengan amplitude 10 —30 mm Hg. yang disebabkan oleh peristaltik tuba.
2. Hysterosalpingografi
Kalau dengan pertubasi hanya dapat diketahui utuh tidaknya tuba maka dengan hysterosalpingografi dapat diketahui :
a. bentuk dari cavum uterib. bentuk dari liang tuba dan kalau ada sumbatan,
tempat sumbatan jelas nampak.
Kelompok 28-Infertilitas Page 32
Pada hysterosalpingograli disuntikkan cairan kontras ke dalam rahim misalnya lipiodol, urografin atau pyelocyl.
Bahan kontras yang larut dalam air lebih baik dari bahan kontras yang larut dalam minyak yang dapat memmbulkan emboli dan granulom tuba.
Kemudian dibuat foto Rontgen dari genitalia interna. Kalau keadaan nornal maka batas-batas cavum uteri rata, tuba terlihat sebagai benang halus tanpa pelebaran dan karena tidak ada sumbatan nampak juga cairan kontras dalam rongga panggul kecil.
3. Kuldoskopi.Dengan kuldoskopi dapat dilihat keadaan tuba dan ovarium.
4. Laparaskopi.Dengan laparoskopi dapat dilihat keadaan genetalia interna dan sekitarnya
4. Pemeriksaan Endometrium:
Pada stadium premenstruil atau pada hari pertama haid dilakukan mikrokuretase. Endometrium yang normal harus memperlihatkan gambaran histologik yang khas untuk stadium sekresi. Kalau tidak diketemukan stadium sekresi maka :
a) Endometrium tidak bereaksi terhadap progesteron.b) Produksi progesteron kurang.
5. Tes cadangan ovarium
Bukman A, Heineman MJ. Ovarian reserve testing and the use of prognostic models in patients with subfertility. Hum Reprod. Update 2001;7(6):581-90.
Kelompok 28-Infertilitas Page 33
2.4.3 Deteksi Antibodi Pada Pasangan Infertil
Deteksi antibodi antisperma dapat dilakukan secara langsung terhadap
antibodi yang terikat pada sperma atau tidak langsung mengukur antibodi dalam
cairan (serum, semen, sekret vagina atau serviks atau cairan lain ). Diantara
metode lain uji Kibrick, uji Isojima, uji Kremer & Jager, imunobead assays (IBD),
mixid antiglobulin reaction (MAR) test, ELISA, tray agglutination test (TAT),
Sperm immobilization assay test, flow cytometry, dan radiolabeled agglutinin
assays.
1. Uji Kibrick ( sperm aglutination test)
Pemeriksaan ini untuk menentukan adanya aglutinasi sperma dalam serum.
Semen normal yang segar diencerkan dengan Baker’s buffer sampai
tercapai kepekatan 40 juta per mil. Suspensi sperma ini kemudian
dicampur dengan 10% larutan gelatin dalam Baker’s buffer dalam jumlah
yang sama, keduanya dalam suhu 370 C. Serum yang akan diperiksa dan
serum kontrol negatif dipanaskan pada suhu 560 C selama 30 menit untuk
menginaktifkan komplemen. Kemudian dibuat pengenceran serum yang
diperiksa, dimulai dengan 1:4, 1:8, 1:16, dan seterusnya. Sebanyak 0,2 ml
suspensi sperma dalam gelatin dicampur dengan 0,2 ml serum inaktif.
Campuran tersebut kemudian dipindahkan pada tabung Kibrick yang
berukuran 5 x 65 mm dan diinkubasi pada suhu 37 0 C selama 2 jam.
Secara mikroskopis, suatu reaksi positif terlihat sebagai gumpalan-
gumpalan putih diantara media yang bening, yang berasal dari sperma
yang teraglutinasi.
2. Uji Isojima (Sperm immobilization test)
Immobilisasi sperma yang tergantung komplemen merupakan dasar dari
test antibodi sperma ini. Interaksi antara molekul antibodi dan antigen
sperma mengaktifkan sistem komplemen dan mengganggu permeabilitas
Kelompok 28-Infertilitas Page 34
dan integritas membran sel sperma (akrosom dan bagian tengah). Pengaruh
yang dapat dilihat secara mikroskopik adalah hilangnya motilitas sperma
diikuti kematian sel. Aktivitas immobilisasi sperma terletak pada faksi IgG
dan IgM dari semen yang positif yang dapt digunakan sebagai dasar
pemeriksaan aktivitas antisperma humoral. Tes immobilisasi sperma ini
adalah suatu metode pilihan untuk skrining antibodi serum wanita dan juga
dapat dikerjakan pada pemeriksaan antibodi serviks. Spermatozoa yang
digunakan dalam tes immobilisasi ini haruslah sperma yang baru
diejakulasikan dengan kualitas yang baik. Serum yang digunakan masih
segar.
Serum penderita dipanaskan pada suhu 56 0 C selama 20 menit untuk
mengaktifkan komplemen, kedalam 0,25 ml serum percobaan yang inaktif
tersebut dimasukkan 0,025 ml semen yang segar yang telah disesuaikan
jumlah spermanya sebanyak 60 juta per ml. Kedalamnya ditambahkan pula
0,05 ml serum manusia sebagai komplemen. Campuran tersebut diinkubasi
dalam penangas air pada 320 C yang lebih sesuai dengan temperatur testis
dalam skrotum. Sebagai kontrol 0,025 ml serum manusia inaktif tanpa
aktivitas imobilisasi 0,05 ml larutan komplemen dan 0,025 ml suspensi
sperma dicampurkan dan diinkubasi.
Setelah 60 menit, 1 tetes dari campuran diletakkan pada gelas objek dan
motilitas sperma dilihat dibawah mikroskop, dihitung jumlah sperma motil
diantara 50 spermatozoa. Cara ini diulangi sampai 40 lapangan pandangan.
Persentase sperma motil diantara 200 spermatozoa dihitung sebagai T%
dan kontrol sebagai C%. Nilai ini imobilitas dihitung sebagai C/T. Hasil
dianggap positif apabila T kurang dari ½ C.
3. Uji Kremer & Jager ( Tes kontak sperma-cairan
serviks/SCMC/sperm cervical mucus contact)
Tes ini pertama kali dilakukan oleh Kremer dan Jager untuk melihat
antibodi lokal pada pasangan infertil. Hasil positif menunjukkan adanya
antibodi antisperma baik pada seman, cairan serviks atau keduanya. Tas ini
sangat bernilai untuk mendeteksi antibodi lokal dan juga cocok untuk uji
silang. Setetes lendir istri praovulasi dengan tanda-tanda pengaruh
Kelompok 28-Infertilitas Page 35
estrogen yang baik dan pH lebih dari 7 diletakkan pada sebuah gelas objek
disamping stetes air mani suami. Kedua tetesan itu dicampur dan diaduk
dengan sebuah gelas penutup, yang kemudian dipakai untuk menutup
campuran itu. Setetes air mani yang sama diletakkan pada gelas objek itu
juga, kemudian ditutup dengan gelas penutup. Penilaian dilakukan dengan
membandingkan mobilitas spermatozoa dari kedua sediaan itu. Sediaan itu
kemudian disimpan kedalam tatakan peetri yang lembab, pad suhu kamar
selama 30 menit, untuk kemudian diamati lagi. Menurut Kremer & Jager,
pada ejakulat dengan autoimunisasi, gerakan maju spermatozoa akan
berubah menjadi terhenti atau gemetaran ditempat (shaking movement)
kalau bersinggungan dengan lendir serviks. Perangai gemetar ditempat ini
terjadi juga kalu air mani yang normal bersingggungan dengan lendir
serviks wanita yang serumnya mengandung antibodi terhadap
spermatozoa.
4. Indirect immunobead binding (IBD) test
Tes ini menggunakan butir (bead) poliakrilimida yang berikatan dengan
antiimunoglobulin spesifik butir tersebut kemudian dicampur dengan
sperma segar yang viabel dan dicuci atau tidak dicuci. Sampel semen
dengan antibodi antisperma (+) dari donor dan disiapkan dengan
cara/metode renang atas untuk mendapatkan sperma yang mengandung ±
50 x 106/ml sperma motil. Sepuluh mikroliter plasma semen masing-
masing dilarutkan dalam 40 μL phosphate buffered saline (PBS)
ditambah dengan 5% (50g/L) albumin serum sapi (BSA) dalam tabung
Effendorp, dan 50 μL suspensi sperma ditambahkan pada masing-masing
tabung dan dicampur secara hati-hati. Sampel kemudian diinkubasi pada
suhu 37 0C selama 60 menit dan kemudian disentrifus selama 5 menit
pada putaran 500 putaran permenit. Supernataan dibuang dan endapan
sperma dicampur lagi dengan 500 μL PBS + 0,4% BSA dan disentrifus
selama 5 menit pada 500 ppm. Supernatan dibuang dan enadpan sperma
dilarutkan lagi dengan 50 μL PBS segar ditambah 5% BSA.
Kelompok 28-Infertilitas Page 36
Dengan 2 slide yang berbeda 5 μL suspensi sperma tadi dicampur dengan
5 μL immunobead GAM yang mengandung campuran imunoglobulin
antihuman immunobead (IgG, IgA, dan IgM). Slide kemudian diinkubasi
selama 10 menit dan kemudian diperiksa dengan pembesaran 400 kali
dengan mikroskop kontras. Setidaknya 200 sperma motil dihitung,
dikelompokkan menjadi 2, yang dengan dempet imunobead
(immunobead attached) dan tanpa dempet imunobead. Lokalisasi band
bead juga diperiksa (misalnya kepala, midpiece, ekor an ujung ekor).
Peersentase sperma yang motil dengan GAM imunobead dihitung. Tes
dikatakan positif bila ≥ 20% sperma motil mempunyai bead attache dan
secara klinik bermakna bila ≥ 50% dilapisi bead. Keuntungan tes ini
adalah bersifat semikuantitaf, mampu mendeteksi isotif dan lokasi fisik
ASA, baik dalam hal sensitivitas dan spesifisitas. Sedangkan kerugiannya
yaitu membutuhkan staf yang trampil, mahal, memerlukan waktu yang
banyak, dan sulit dalam interpretasi. Beberapa metode lain yang
dikembangkan dari metode ini yaitu modifikasi metode imunobead
(modified immunobead method), dan mixed immunobead screen.
5. Mixed antiglobulin reaction (MAR) test
Eritrosit golongan darah O dengan Rh-positif dilapisi oleh IgG atau IgA,
dicampur dengan sperma viabel yang dicuci ataupun tidak dicuci.
Antiserum yang spesifik terhadap imunoglobulin pada eritrosit
ditambahkan, dan akan terjadi aglutinasi sperma eritrosit bila ada
antibodi antisperma. Aglutinasi ini dapat dinilai secara semikuantitatif
dengan menggunakan mikroskop.
6. Elisa (enzym linked immunosorbent assay)
Antibodi spesifik dapat diikat oleh suatu enzim. Komplek antibodi-enzim
imunoglobulin adpat dideteksi dengan menambahkan subsrat enzim
spesifik, yang biasanya menghasilkan perubahan warna. Keuntungan
metode ini adalah spesifik dan kuantitatif.
7. Tray aglutination test (TAT)
Kelompok 28-Infertilitas Page 37
TAT dignakan untuk mendeteksi adanya antibodi anti sperma dalam serum
atau semen pasien. Cairan yang akan diperiksa dilarutkan secara serial
setelah dilakukan pemanasan untuk menginaktivasi komplemen.
Kemudian ditambahkan sperma motil yang dicuci dari donor yang sehat
kedalam contoh cairaan. Persentase aglutinasi sperma dihitung dengan
bantuan mikroskop cahaya
8. Gelatin aglutination test
Pada test ini spermatozoa motil dicampur dengan medium gelatin dan
sperma atau cairan ditambahkan kedalam campuran tersebut secara serial.
Aglutinasi dapat dilihat secara mikroskopik. Tes ini digunakan secara luas
pada suami pasangan infertil, sedangkan penggunaan pada isteri kurang
memberikan hasil yang baik. Walaupun tidak dianjurkan lagi aktivitas
aglutinasi gelatin terletaak pada IgG, IgA daan IgM. Metode ini
membutuhkan kontrol dan interpretasi yang teliti.
9. Teknik immunofluresens
Pemeriksaan ini terdiri dari tiga langkah dasar, Subsrat antigen disiapkan
dengan cara membuat apusan spermatozoa yang dikeringkan diudara.
Sediaan kemudian ditetesi serum yang diperiksa (atau cairan serviks atau
plasma semen) dan dilakukan pemeriksaan imunofluresens terhadap
imunoglobulin. Reaksi antigen antibodi antara semen dan cairan saluran
reproduksi dan sel-sel sperma dapat dilihat dan dilokalisasi secara
makroskopik dan penampakannya berhubungan dengan anatomi
spermatozoa.
Reaksi pewarnaan yang lemah pada kasus yang meragukan seringkali
didapatkan dan hasil yang dianggap positif bila diadpatkan pada
pengenceran lebih dari 1/16. Beberapa bagian sperma seperti kutub, leher
dan bagian tengah adalah tempet yang menimbulkan warna nonspesifik.
Antibodi antisperma dalam darah bereaksi pada teknik imunofluoresens
hanya terhadap antigen diakrosom dan ekor. Pewarnaan akrosom terjadi
karena adanya antibodi IgM dan IgG, dan pewarnaan pada ekor utama
hampir selalu disebabkan oleh IgG. Sedangkan pewarnaan pada ujung ekor
disebabkan oleh adanya antibodi IgM.
Kelompok 28-Infertilitas Page 38
10. Flow cytometry
Sampel plasma semen sebanyak 50 μL dicampur dengan 40 μL PBS
ditambah 5% albumin serum goat. Sepuluh mikroliter suspensi sperma
yang disiapkan dengan metode renang atas dari donor dengan antibodi anti
sperma (-) mengandung ± 125.000 sperma motil ditambahkan pada tiap
sampel. Kontrol menggunakan sampel yang diketahui positif atau negatif
terhadap ASA.
Setelah inkubasi paada suhu 370 C daalam inkubator yang mengandung
CO2 5% selama 1 jam, sperma dicuci sebanyak 2 kali untuk
menghilangkan antibodi yang tidak terikat. Satu mililiter PBS
ditambahkan dan campuran digoyang-goyang teratur. Tabung kemudian
disentrifus selama 5 menit pada 500 ppm dan supernatan dipisahkan.
Endapan sperma dicampur lagi dengan 1 ml PBS dan kemudian dicuci
ulang. Setelah disentrifus, endapan diencerkan lagi dengan 50 μL larutan
fluoresens isotiosianat konjugat (FITC) yang mengandung imunoglobulin
IgA, IgG, IgM dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 40 C dan terhindar
dari sinar. Antibodi yang tidak terikat dihilangkan dengan mencuci
menggunakan PBS sebanyak 2 kali dan sperma dianalisis dengan flow
cytometry. Sebanyak ± 5000 sperma dianalisis dari tiap sampel
menggunakan histogram. Dihitung berapa persen sperma yang dilapisi
antibodi. Bila < 20% dikatakan negatif dan bila ≥ 20% dikatakan positif.
Berdasarkan hasil, metode, dan ketelitian pemeriksaan antibodi antisperma,
beberapa petunjuk untuk langkah pemeriksaan pasangan pasangan infertil dengan
kemungkinan adanya faktor imunologi telah diusulkan oleh Jones. Ia membuat
suatu pedoman meliputi :
1. Tes imobilisasi sperma cocok sebagai tes untuk skrining terhadap
adanya antibodi suami atau isteri dan juga dapat digunakan untuk
pemeriksaan lendir serviks.
2. tes kontak sperma – lendir serviks untuk melihat faktor imunologis
lokal. Dengan uji silang menggunakan sperma atau lendir serviks
donor dapat ditentukan apakah aktivitas antibodi berasal dari isteri
atau suami.
Kelompok 28-Infertilitas Page 39
3. Tes aglutinasi dengan gelatin cocok digunakan untuk suami,
khususnya plasma semen, tapi memerlukan interpretasi yang teliti.
4. Antibodi lokal (SigA) tidak dapat dideteksi pada lendir serviks dan
plasma semen dengan tes konvensional untuk antibodi antisperma
serum.
5. Tes mikroaglutinasi sperma sebaiknya dihindarkan.
6. Tes menggunakan mikroskop imunofluoresens tak langsung bukan
merupakan tes rutin, tapi mungkin bermanfaat untuk menilai sifat
reaksi antigen-antibodi dalam suatu penelitian.
2.5 Penanganan Infertilitas
2.5.1 Penanganan Infertilitas pada Wanita
A. Pengobatan untuk gangguan ovulasi)
Gangguan ovulasi merupakan penyebab pada 10-15 % kasus infertilitas.
Terapi farmakologik untuk perempuan anovulatorik merupakan kemajuan
dramatik dalam bidang endrokinologi reproduktif. Dokter mula-mula harus
menyingkirkan gangguan hipofisis, ovarium, uterus, adrenal, dantiroid.
Jika ketiadaan ovulasi merupakan satu-satunya penyebab infertilitas,
pasangan yang bersangkutan dapat berharap bahwa kemungkinan mereka
memiliki anak menyamai pasangan normal, namun dengan usaha yang
keras.
1. Klom1ifen Sitrat
Merupakan obat ovulatorik pertama yang tersedia untuk pemakaian
umum adalah klomifen sitrat, yang sampai saat ini masih menjadi
obat yang paling aman, efektif dan digunakan secara luas.
Klomifen sitrat merupakan suatu obat nonsteroid oral yang
strukturnya mirip obat sintetik degan efek estrogenik, sperti
dietilstilbestrol (DES). Klomifen sitrat memiliki efek estrogenik
serta antiestrogenik yang lemah dan diperkirakan bekerja melalui
Kelompok 28-Infertilitas Page 40
pelepasan FSH danLH hipofisis. Peningkatan FSH dan Lh
menyebabkan rekrutmen, pertumbuhan dan pematangan folikel-
folikel ovarium. Klomifen sitrat tidak merangsang ovulasi secara
langsung, namunmemicu serangkaian proses yang merupakan
proses fisiologik siklus normal. Obat ini diberikan dalam bentuk
tablet 50 mg pada hari siklus ke 5 sampai ke 9 sehingga
menyebabkan peningkatanLH dan FSH serum. Ovulasi terjadi
antara hari ke 15 dan ke 20 siklus. Jika tidak terjadi okulasi, terapi
dimulai dengann dosis 50 mmg dan ditingkatkan – sampai
maksimal 200 mg/hari.
Indikasi utama pemakaian klomifen sitrat adalah infertilitas akibat
penyakit ovarium polikistik dan defisiensi fase luteal. Pasien yang
kemungkinan besar memberi respons adalah meeka yang
memperlihatkan tanda-tanda aktivitas estrogen-endogen, misalnya
haid spontan atau perdarahan withdrwal, sebagai respons terhadap
pemberian progesteron, misalnya medroksiprogesteron asetat.
Pasien hipoestrgenik biasanya tidak akan mengalami ovulasi
setelah pemberian klomifen sitrat.
Saat terjadinya ovulasi dan keadekuatan respons terhadap klomifen
sitrat ditentukan oleh evaluasi mukus serviks pada pertengahan
siklus, pemantauan dengan kit LH urin di rumah, atau
pembuktianperkembangan folikel dan kolapsnya folikel dominan
dengan ultrasonografi. Kadar progesteron serum pada pertengahan
siklus atau biopsi endometrium yang dilakukan pada hari ke 27
atau ke 28 siklus dapat digunakan untuk mendokumentasikan
ovulasi dan mengetahui keadekuatan fase luteal. Kegagalan
mengalami ovulasi setelah dosis yang adekuat kadang dapat
diperbaiki dengan penambahan human chorionic gonadotropin
(hCG), 5000-10.000 IU intramuskular, setelah diidentifikasikan
adanya folikel matang dengan ultrasonografi. Efek samping
klomifen sitrat dicantumkan di tabel 24-3.
Kelompok 28-Infertilitas Page 41
70-80% perempuan anovulatorik yang dipilih dengan benar akan
dapat dibuat mengalami ovulasi dengan dosis klomifen yang cukup
besar. Anka kehamilan per siklus serupa dngan angka pada
perempuan dengan ovulasi normal. Sepanjang terjadi respons yang
adekuat dan tidak ada efek samping yangtidak lazim, trapi klomifen
biasanya dilanjutkan selama36 bula. Jika kehamilan masih juga
belum terjadi sampai waktu tersebut, penyebab lain infertilitas
harus dinilai kembali.
2. Menotropin (Human Menopausal Gonadotropin, hMG)
hMG diperoleh melalui ekstrasi dari urin permpuan
pascamenopause. Preparat komersial (pergonal) mengandung 75 IU
FSH dan 75 IU LH. Obat ini tidak aktif jika diberikan peroral dan
harus diberikan melalui suntikan intramuskular. Oleh karena biaya
yang mahal dan perlunya pemantauan secara klinis dan
laboratorium yang cermatserta kemungkinan adanya efek samping
serius, seleksi pasien yang akan diberi obat ini harus dilakukan
dengan benar. HMG diindikasikan untuk menginduksi ovulasi pada
pasien yang tidak mengalami ovulasi setelah pemberian klomifen
sitrat, pasien dengan hipopituitarisme, atau mereka yang dipilih
untuk “superovulasi”. Angka kehamilan pada superovulasi
menggunakan hMG yang diikuti dengan inseminasi dengan sperma
suami yang telah dicuci dapat mendekat 20-30%.
Penyuntikan hMG biasanya dimulai pada hari ketiga suatu
siklus spontan atau setelah perdarahan withdrawl yang dipicu oleh
medroksiprogesteron asetat, atau setiap saat jika perempuan yang
bersangkutan mengidap hipogonadisme hipogonadotropik dan
Kelompok 28-Infertilitas Page 42
amenore. Dosis awal adalah satu sampai dua ampul (150-300IU)
perhari sampai sekitar harike tujuh. Penilaian dilakukan pada
ukuran folikel menggunakan ultrasonograsi dan kadar ekstradiol
serum, kemudian dosis hMG disesuaikan seperlunya. Stimulasi
folikel yang adekuat biasanya dicapai setelah 7-14 hari pemberian
hMG secara terus-menerus. Dengan peningkatan kadar estradiol
(yang dihasilkan oelh folikel yang berkembang) mukus serviks
akan bertambah dan menjadi jernih disertai pembentukan
spinbarkeit dan pola daun pakis jika dikeringkan.
Pada saat kematangan folikel, kadar estradiol akan
mendekati 200-300 pg/ml per folikel matang, dan hasil pengukuran
diameter folikel dengan ultrasongrafi akan mendekati angka 16-20
mm. Saat ini, ovulasi dipicu dengan menyuntikkan 5000-10.000 IU
human chorionic gonadotropin (hCG) yang diberikan 24-48 jam
setelah penyuntikan hMG berakhir. hCG secara biologis dan
struktural serupa dengan LH dan akan merangsang lonjakan
pengeluaran LH di pertengahan siklus. Ovulasi biasanya terjadi 32-
36 jam setelah pemberian hCG.
Jika kadar estradiol meningkat melebihi 2000pg/ ml atau terjadi
pembesaran ovarium yangcukup bermakna, hCG harus ditunda.
Penundaan hCG akan mencegah hiperstimulasi ovarium yang
berlebihan, danperrempuan yang bersangkutan biasanya tidak akan
mengalami ovulasi. Hiperstimulasi menimbulkan pembesaran
ovarium, distensi abdomen dan penambahan berat badan. Pada
kasus yang parah, timbul keadaan kritis berupa ascites, efusi pleura,
ketidakseimbangan elektrolit, dan hipovolemia disertai hipotensi
dan oliguria. Pengobatan terdiri atas rawat inap, tirah baring dan
cairan intravena.
Sekitar 90% perempuan yang dipilih dengan benar akan
dapat dibuat mengalami ovulasi dengan hMG. Angka kehamilan
adalah 25% per siklus pada mereka yang mengalami ovulasi.
Angka kehamilan multipel adalah sekitar 20% dengan 15%
Kelompok 28-Infertilitas Page 43
diantaranya kembar dan 5% kembar tiga atau lebih. hMG dapat
diulang sebanyak 3-6 siklus. Jika kehamilan tetap tidak terjadi
setelah waktu ini, maka terapi harus dihentikan selama 2-3 bulan
dan kasus diperikas kembali secara cermat.
3. Kombinasi Klomifen dan hMG
Kombinasi pemberian klomifen sitrat dan hMG menawarkan
beberapa keunggulan dibandingkan pemakaian hanya satu macam
obat. Klomifen dosis 100 mg diberikan per hari pada hari ke 3
sampai ke 7, diikuti oleh satu sampai dua ampul hMG. Pemantauan
dan saat penyuntikan hMG pada terapi kombinasi tersebut serupa
dengan terapi hMG tunggal. Hasil terapi kombinasi mungkin setara
hasil terapi tunggal hMG, tetapi penggunaan hMG yang lebih
sedikit pada terapi kombinasi akan mengurangi biaya pengobatan.
Walaupun pemantauan terhadap efek samping kombinasi obat ini
harus seketat pemantauan pada terapi hMg, resiko stimulasi
berlebihan tampaknya lebih kecil.
4. Follicle Stimulating Homrmone (Urofollitropin).
Perempuan yang menderita penyakit ovarium polikistik sering
memiliki kadar LH yang tinggi sementara kadar FSH-nya tetap
normal atau sedikit dibawah normal. Tetapi pilihan untuk
penyakit ovarium polikistik biasanya adalah klomifen; namun,
jika ovulasi atau kehamilan belum terjadi setelah pemberian dosis
yang adekuat, pilihan pengobatan berikutnya adalah pemberian
hMG atau urofollitropin (FSH). Setiap ampul urofollitropin
mengandung 75 IUFSH dan kurang dari 1 IU LH. Urofollitropin
diberikan intramuskular dengan dosis satu sampai dua ampul per
hari dan dipantau seperti pada pemberian hMG. Sekitar 80%
pasien penyakit ovarium polikistik yang mendapat FSH akan
Kelompok 28-Infertilitas Page 44
mengalami ovulasi. Diperkirakan bahwa 10-40% pasien yang
mendapat FSH akan menjadi hamil selama tidak terdapat faktor
fertilitas yang lain. Resiko angka kehamilan multipel dan anka
hiperstimulasi tampaknya setara dengan yang dijumpai pada
pemberian hMG.
5. Gonadorelin(Gonadotropin-Releasing-Hormone,GnRH;Factrel)
Pemberian GnRH secara pulsatif menyebabkanpelepasan FSH dan
LH dari hipofisis serta ovulasi pada perempuan dengan anovulasi.
Kandidat terbaik untuk terapi GnRH adalah perempuan dengan
hipogonadisme hipogonadotropik. Keunggulan GnRH
dibandingkan dengan hMG adalah sindrom hiperstimulasi ovarium
hampir tidak pernah terjadi pada pemberian GnRH dengan dosis 1-
5µg setiap 90 menit. Perkembangan folikel multipel dapat dicapai
dengan dosis yang lebih besar dan frekuensi yang lebih
sering,misalnya 10µg setiap 60 menit.
Untuk mengatasi waktu paruh yang singkat dan secara fisiologis
sekresinya yang pulsasif, GnRH paling baik diberikan intravena
atau subkutan melalui pompa infus pulsasif. Pompa yang sduah di
program dengan komputer ini menyalurkan obat dengan dosis dan
interval yang sesuai dengan yang kita inginkan. Perkembangan
folikel dipantau dengan ultrasonografi dan biasanya tuntas pada
harike 10 sampai ke 14. Ovulasi berlangsung secara spontan akibat
lonjakan LH endogen.
6. Bromokriptin
Evaluasi fertilitas rutin harus mencakup pengukuran prolaktin
serum karena 10-15% perempuan anovulasi terbukti memiliki
kadar yang berlebihan. Tidak lebih dari 50% diantaranya akan
mengalami galaktorea. Pada perempuan dengan peningkatan
Kelompok 28-Infertilitas Page 45
prolaktinserum dan amenorea, bromokriptin dosis 2,5-7,5 mg
biasanya dapat memacu terjadinya siklus ovulatorik.
B. Terapi Bedah
Kadang-kadang penyebab infertilitas dapat ditangani dengan pembedahan.
Sebagai contoh, operasi merupakan pilihan terapi untuk beberapa kelainan
tuba, PCOS(polycistic ovarium syndrom), adhesi, endometriosis, dan
kelainan uterus. Terapi bedah untuk infertilitas antara lain :
1. Ovarian Drilling
Wanita infertil dengan PCOS mempunyai kesulitan dalam ovulasi. Ovulasi
dapat diinduksi secara pembedahan dengan prosedur yang disebut ovarian
drilling atau ovarian diathermy. Prosedur ini berguna untuk wanita dengan
PCOS yang resisten terhadap pengobatan dengan klomifen sitrat. Ovarian
drilling dilakukan secara laparoskopi melalui lubang insisi kecil, kemudian
beberapa insisi kecil dilakukan pada ovarium dengan menggunakan panas
atau laser. Proses ini akan membantu kelainan hormon dan memacu
terjadinya ovulasi.
Kelompok 28-Infertilitas Page 46
2. Pembedahan pada tuba fallopi
Penutupan atau kerusakan pada tuba fallopi dapat diatasi dengan berbagai
macam jenis prosedur operasi tergantung dari lokasi penutupan dan jenis
kerusakannnya.
a. Histerosalfingografi (HSG) merupakan sebuah prosedur yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis masalah pada uterus dan tuba fallopi.
HSG menggunakan sinar x dan cairan radioopak yang dimasukkan ke
traktus reproduksi dari uterus sampai ke tuba fallopi melalui kateter
dari serviks.
b. Salpingolisis merupakan salah satu prosedur operasi dengan
laparotomi yang diiringi dengan penggunaan microscope untuk
memperluas area. Salpingolisis dilakukan dengan membebaskan tuba
fallopi dari adhesi dengan memotong perlengketan tersebut, biasanya
menggunakan electrosurgery dengan memakai elektrokauter.
Kelompok 28-Infertilitas Page 47
c. Salfingotomi biasanya dilakukan untuk membentuk sebuah lubang
baru pada tuba. Prosedur ini dapat dilakukan secara laparotomy
ataupun laparoskopi. Salfingostomi dapat dilakukan pada pengobatan
kehamilan ektopik dan infeksi pada tuba fallopi.
d. Tubal anastomosis merupakan prosedur pembedahan dengan
mengambil jaringan tuba yang tertutup dan kemudian menyambung
lagi ujung-ujung tuba yang terpotong tersebut.
e. Tubal kanalisasi, prosedur ini dilakukan ketika penutupan tuba relatif
terbatas. Prosedur ini dilakukan dengan mendorong kawat atau kateter
melalui penutupan tersebut sehingga terbuka. Prosedur ini dilakukan
dengan dipandu fluoroskopi.
2.5.2 Penanganan Infertilitas pria
I. Hanya berdasarkan analisis semen rutin
II. Berdasarkan etiologi kausatif.
Terapi berdasarkan basil analisis rutin
A. Kelainan volume semen
1) Hipospermia
Volume semen disebut hiposperma jika kurang dari 1,5 ml.
Penyebabnya bisa karena stres, retrograde ejaculation, frekuensi
sanggama. Penanganan, untuk stres maka pengobatan diarahkan untuk
meng hilangkan stres ; retrograde ejaculation dapat diberi terapi obat
atau terapi khusus berupa pencucian sperma dari urine. Untuk
endokrino-pati dapat diberikan testosteron, sedangkan bila frekuensi
Kelompok 28-Infertilitas Page 48
senggama terlalu sering, dapat dikurangi frekuensinya. Jika tidak jelas
penyebabnya dapat dilakukan AIH (Artificial Insemination Husband)
2) Hiperspermia, jika volume semen lebih dari 6 ml.
Penyebab dapat berupa : Abstinensia seksualis yang terlalu lama dan
Hipersekresi vesika seminalis. Hiperspermia dengan spermiogram
normal tidak memerlukan pengobatan spesifik, cukup dengan
menganjurkan peningkatan frekuensi sanggama; tetapi jika disertai
dengan spermiogram abnormal dapat dilakukan terapi dengan split
ejaculate atau withdrawal coitus atau dengan treated sperm invitro.
3) Polizoospermia, jumlah spermatozoa lebih dari 250 juta/ ml.
Terapi dapat dengan anjuran meningkatkan frekuensi koitus atau AIH
dengan treated spermatozoa dengan jalan pengenceran, swim up, sperm
washing atau filtrasi.
4) Oligozoospermia
Sampai saat ini masih disepakati bahwa jumlah spermatozoa kurang
dari 20 juta/ml disebut oligozoospermia dan jika kurang dari 5 juta/ml
disebut olgozoospermia berat. Terapi medikamentosa yaitu :
a) Klomifen sitrat dengan dosis 1 x 50 mg selama 90 hari atau 1 x 50
mg 3 x 25 hari dengan interval antara terapi 5 hari.
b) Tamoxifen, dapat diberikan dengan dosis 2 x 1 tablet selama 60
hari.
c) Kombinasi HMG dan hCG; HMG (Pergonal®) diberikan dengan
dosis 150 IU 3 x/minggu dan hCG (Profasi®) dengan dosis 2000 IU
2 x/minggu selama 12-16 minggu.
d) Kombinasi FSH (Metrodin®) dan hCG; dosisFSH 75IU 3 x/
minggu dan dosis hCG 2000 IU 2 x/minggu selama 12-16 minggu.
e) Selain medikamentosa, terapi dapat dilakukan dengan AIH (IBS)
dengan atau tanpa treated sperm.
5) Abnormalitas kualitas spermatozoa
Kelompok 28-Infertilitas Page 49
Kualitas spermatozoa abnormal jika motilitas baik dan cukup tetapi
morfologi normal kurang dari 50%. Terapi gangguan kualitas ini dapat
berupa medikamentosa yaitu :
1. ATP
2. Androgen dosis rendah
3. Phosph6lipid esensial
4. Antibiotika
5. Vitamin E + Vit B
6. Pentoksifilin
Atau dilakukan AIH (IBS) dengan atau tanpa sperm treated yang dapat
berupa :
1. sperm washing
2. sperm swim up
Jika masih belum memberikan basil yang diharapkan dapat dilanjutkan
dengan terapi hormonal berupa kombinasi FSH dengan dosis 75 IU 3
x/minggu ditambah hCG 2000 IU 2 x/ minggu selama 12-16 minggu.
Pengobatan ini dapat diteruskan sampai 4 tahun.
B. Terapi berdasarkan etiologi kausatif
1) Etiologi infertilitas pria yang tidak dapat diobati :
a. Klinefelter syndrome
b. Cryptorchidism bilateral
c. Atrofi testis
d. Sertoli cell only syndrome
e.Agenesis vas deferens
2) Etiologi infertilitas pria yang masih dapat diobati :
Kelompok 28-Infertilitas Page 50
a. Varikokel
b. Infeksi kelenjar asesoris
c. Immunlogi
d. Gangguan hubungan seksual
e. Endokrinopati
a) Varikokel
Varikokel merupakan salah satu faktor penyebab infertilitas pria;
varikokel jarangdikeluhkan dan biasanya ditemukan secara
kebetulan tanpa keluhan yang jelas. Pada evaluasi kasus infertilitas,
82% varikokel kiri, 2% varikokel kanan dan 16% bilateral.
Meskipun belum dapat dipastikan sebagai penyebab infertilitas
pada pria, tetapi bila pada infentilitas pria ditemukan adanya
varikokel biasanya akan ditemukan juga basil analisis semen yang
abnormal. Terapi vasoligasi vena spermatika interna kiri
merupakan salah satu pengobatan yang dapat memperbaiki kualitas
dan kuantitas spermatozoa, atau dengan cara embolisasi.
b) Infeksi kelenjar asesoris
Infeksi kelenjar asesoris yang dapat mempengaruhi kualitas semen
adalah infeksi prostat, vesika seminalis dan epididimis. Kelainan
dapat berupa gangguan proses pencairan semen, volume yang
terlalu sedikit atau banyak dan morfologi dan motilitas yang
abnormal. Terapi berupa pemberian antibiotika, dalam hal ini yang
dapat diberikan adalah golongan amoksisilin, doksisiklin dan
erithromisin yang dapat ditambah dengan roborantia berupa
vitamin E, vitamin C dan vitamin B kompleks.
c) Immunologis
Ada tiga strategi dasar dalam penanganan pasangan infertil karena
imunologi ini yaitu:
Kelompok 28-Infertilitas Page 51
1. menurunkan produksi ASA (antibodi anti sperma)
2. Menghilangkan antibodi antisperma yang terikat pada sperma,
dan
3. ART (Assisted reproductive technology).
Ketiga sterategi ini secara teoritis menurunkan paparan gamet oleh
antibodi antisperma yang akan meningkatkan fungsi gamet.
Sedangkan Alexander mengajukan 3 pilihan terapi yaitu :
1. Inseminasi dengan sperma donor,
2. Terapi imunosupresif, dan
3. Manipulasi sperma. Ada hubugan antara antibodi antisperma
dan ART.
Walaupun ART digunakan untuk pengobatan ASA, antibodi
antisperma mungkin mempunyai efek merusak ART. Beberapa
penelitian antara lain penggunaan intra uterine insemination,
intracervical insemination (ICI), in vitro fertiliztion (IVF), gamete
intrafallopian tube transfer (GIFT), subzonal sperm injection
(SUZI) dan intracytoplasmic sperm injection (ICSI).
Terapi oklusi
Di sini suami menggunakan kondom selama 6-9 bulan bila isteri
mempunyai bukti faktor imunologis sebagai penyebab
infertilitasnya. Ada yang menganjurkan 6-12 bulan. Tujuannya
adalah untuk mengurangi titer antibodi antispermatozoa dengan
mencegah pengulangan stimulasi antigenik. Uji imunologi harus
diulang setiap 3 bulan sehingga menjadi negatif atau titernya
menjadi 1:4 atau kurang. Terapi ini tidak memberikan hasil yang
memuaskan pada isteri yang mempunyai antibodi antisperma
dalam serumnya. Terapi ini lebih rasional bila diberikan pada
pasien dengan adanya faktor imunologik lokal (lendir serviks).
Franklin dan Dukes melaporkan bahwa kondom efektif untuk
Kelompok 28-Infertilitas Page 52
beberapa pasien. Tetapi menurut Aiman tidak ada bukti yang
menyakinkan untuk pemakaian kondom ini.
Inseminasi intrauterin
Inseminasi intrauterin terutama diberikan bila terbukti adanya
antibodi antisperma lokal pada lendir serviks yang menyebabkan
kegagalan penetrasi lendir serviks oleh sperma. Memang indikasi
inseminasi ini masih kontroversi karena beragamnya hasil yang
dilaporkan. Angka keberhasilan dengan metode ini berkisar antara
20-30%. Francavilla dkk dalam penelitiannya tidak berhasil
melakukan inseminasi intrauterin ini dimana spermatozoa yang
digunakan semuanya berikatan dengan antibodi. Sedangkan Rojas
dalam penelitiannya terhadap 41 orang yang dilakukan inseminasi
dengan menggunakan sperma yang dicuci hanya mendapatkan
insidens antibodi antisperma (+) pada 2 pasien (4,8%).
Terapi imunosupresif/kortikosteroid
Terapi kortikosteroid dapat diharapkan menurunkan produksi
ASA. Suami diberikan 20 mg prednisolon selama 10 hari pertama
sesuai siklus isteri dan 5 mg/hari pada hari ke 11-12 selama 3
siklus. Ada juga peneliti yang menggunakan metilprednisolon.
Lahteenmaki membandingkan efektivitas pemberian prednisolon
oral dengan inseminasi intrauteri pada 46 pasangan dengan
antibodi antisperma (+) pada suami. Suami diberi prednisolon 20
mg/hari selama 10 hari ditambah 5 mg/hari pada hari ke 11-12
selama 3 siklus. Namun pada penelitian ini ia berkesimpulan
bahwa inseminasi lebih baik dibandingkan terapi steroid pada
suami.
Penelitian lain yaitu membandingkan 30 pasangan dengan antibodi
antisperma suami positif yang dibagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok pertama diberikan steroid oral selama 4 bulan dan
dilakukan inseminasi, sedangkan kelompok kedua diberikansteroid
selama 4 bulan dan diberikan jadwal hubungan suami isteri.
Steroid yang diberikan yaitu prednisolon selama 4 bulan dan
Kelompok 28-Infertilitas Page 53
diberikan jadwal hubungan suami isteri. Steroid yang diberikan
yaitu prednisolon selama 10 hari pertama siklus istri dan 10 mg
pada hari ke11 dan 12. Didapatkan tingkat kehamilan pada
kelompok pertama sebesar 39,4 % dan kelompok kedua 4,8%.
Memang disini masih belum jelas apakah faktor steroid berperan
dalam tingginya tingkat kehamilan karena masih ada faktor lain
yaitu keadaan superovulasi, bypass terhadap lendir serviks atau
perbaikan lingkungan uterus. Beberapa efek samping pemakaian
imunosupresif ini antara lain nekrosis aseptik sendi paha,
kambuhnya ulkus duodenal.
Pencucian spermatozoa
Metode ini merupakan salah satu metode menghilangkan antibodi
antisperma yang terikat pada sperma. Disini sperma dari suami
dicuci beberapa kali dengan buffer fisiologik yang ditambah
serum/albumin manusia 5-10%. Spermatozoa yang telah dicuci
diinseminasi kekanalis servikalis atau kavum uteri isteri. Kualitas
sperma yang baik penting sekali dalam metode ini.
Penggunaan heparin dan aspirin
Pada keadaan infertilitas yang disebabkan adanya faktor autoimum
dimana didapatkan antibodi antifosfolipid beberapa peneliti
menggunakan heparin dan aspirin sebagai obat yang digunakan.
Sher mendapatkan tingkat kehamilan sebesar 49% pada kelompok
terapi dan hanya 16% pada kelompok non terapi. Kutteh dkk
melaporkan bahwa penggunaan heparin dasn aspirin dosis rendah
lebih bik dibandingkan hanya menggunakan aspirin saja. Ia
mendapatkan angka kehamilan 44% pada kelompok aspirin dan
80% pada kelompok aspirin ditambah heparin. Balasch dengan
menggunakan aspirin 100 mg perhari mulai 1 bulan sebelum
Kelompok 28-Infertilitas Page 54
konsepsi sampai selama kehamilan dapat meningkatkan angka
keberhasilan kehamilan dari 6,1% sampai 90,5%. Wada dkk juga
berhasil meningkatkan tingkat kehamilan dengan menggunakan
aspirin 150 mg atau 300 mg dalam penelitiannya.
d) Gangguan hubungan seksual dapat berupa :
1. Frekuensi tidak teratur
2. Impotensia
3. Ejakulasi dini
4. Ejakulasi retardata
5. Ejakulasi retrograd
6. Epispadia/hipospadia
e) Endokrinopati
Ketidakseimbangan pengaturan hormonal pada sistem reproduksi
pria akan menyebabkan terjadinya gangguan proses
spermatogenesis dan/atau spermaogenesis. Pengobatan hormonal
yang tepat dapat mengembalikan proses spermatogenesis/
spermiogenesis yang normal. Untuk itu selain pemeriksaan fisis
andrologis diperlukan pemeriksaan kadar hormon (FSH, LH,
prolaktin dan testosteron) dalam darah.
1. Jika ditemukan kadar FSH dan LH yang tinggi dengan kadar
testosteron darah yang subnormal, biasanya pengobatan
hormonal tidak diperlukan karena keadaan ini menunjukkan
adanya gagal testis primer, misalnya Klinefeltersyndrome;
terapi hormon hanya berupa substitusi androgen untuk masalah
potensi seksnya.
2. Jika kadar FSH tinggi, tapi kadar LH dan testosteron darah
masih dalam batas normal, keadaan ini biasanya menunjukkan
adanya kekurangpekaan sel-sel germinativum (isolated
germinal cell failure); jumlah spermatozoa dapat berkisar dari
azoospermia-oligozoospermia. Terapi hormonal tidak ada
artinya, hanya dapat dicoba AIH/ IBS atau IVF.
Kelompok 28-Infertilitas Page 55
3. Jika kadar FSH, LH dan Testosteron ketiga-tiganya rendah
disertai volume testis yang abnormal dan konsistensi yang agak
kurang padat, keadaan seperti ini disebut sebagai
hipogonadisme atau gagal testis sekunder. Jika tidak ada
hiperprolaktinemia, terapi gonadotropin (HCB dan HMG) atau
testosteron dapat memberikan harapan baik.
2.5.3 Assisted Reproductive Technology
1. Intrauterine Insemination (IUI)
IUI merupakan sebuah proses memasukkan sperma melalui serviks
kedalam uterus Hal ini dilakukan dengan menggunakan sebuah tabung
plastik yang melewati serviks menuju uterus. Prosedur ini dilakukan
bersamaan dengan waktu terjadinya ovulasi pada sang wanita. Untuk
melakukan teknik ini, sang wanita harus mempunyai uterus dan tuba
fallopi yang normal. IUI ini digunakan pada wanita yang mempunyai
kelainan mukos serviks, endometriosis, atau pada keadaan terterntu seperti
sperma baik tapi eyakulat tidak dapat diletakkan ke dalam vagina,
misalnya pada impotentia coundi ejaculatio praecox atau hypospadia.
Kadang-kadang juga dilakukan pada keadaan yang menyukarkan
naiknya spermatozoa ke dalam uterus seperti ostium uteri internum yang
sempit, retro-flexio uteri dan lain sebagainya.
Inseminasi ada dua macam :
a. Inseminasi heterolog : artificial insemination donor (AID).
b. Inseminasi homolog : artificial insemination husband (AIH).
Cara yang pertama tidak dibenarkan di Indonesia.
Kelompok 28-Infertilitas Page 56
Gambar : Intrauterine Insemination
2. In Vitro Fertilisation (IVF)
IVF berarti fertilisasi yang dilakukan diluar tubuh. Dalam proses IVF,
pasien juga termasuk mendapat pengobatan untuk menstimulasi ovarium
untuk memproduksi lebih banyak sel telur. Ketika sel telur sudah
terbentuk, sel telur tersebut akan diambil melalui operasi kecil. Sel telur
kemudian akan dicampur dengan sperma dilaboratorium dan
diinkubasikan selama 2-3 hari. Tujuannya agar sperma dapat membuahi
sel telur dan membentuk embrio. Embrio tersebut kemudian akan
diletakkan didalam uterus wanita menggunakan sebuah tabung plastik
melalui vagina dan serviks. Kemudian setelah embrio dimasukkan
diperlukan beberapa tambahan hormon untuk membantu implantasi
embrio, dalam hal ini progesteron dan hCG. IVF merupakan terapi yang
sangat berguna bagi wanita dengan kerusakan tuba, infertilitas yang tak
diketahui, endometriosis, dan infertilitas pada laki-laki.
Kelompok 28-Infertilitas Page 57
Gambar : In Vitro Fertilization
3. Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT) dan Zygote Intrafallopian Transfer
(ZIFT)
Gamet merupakan sebuah sel telur atau sperma. Teknik pengambilan sel
telur dan sperma pada GIFT dilakukan dengan cara yang sama seperti pada
IVF. Sel telur dan sperma kemudian dicampur dan langsung dipindah
tempatkan ke tuba fallopi. Hal ini dilakukan secara laparoskopi melalui
insisi kecil pada abdomen, atau dengan menggunakan kateter kecil melalui
serviks. Dengan cara ini memungkinkan sperma secara natural membuahi
sel telur di tuba fallopi. Untuk itu tuba fallopi sang wanita haruslah sehat.
Tidak berbeda jauh dengan GIFT, ZIFT dilakukan dengan cara yang sama,
tetapi pada ZIFT yang dipindah ke tuba fallopi adalah dalam bentuk zigot
bukan sel telur dan sperma seperti pada GIFT. Kedua teknik ini sekarang
sudah tergantikan dengan IVF sehingga jarang dillakukan. Dengan teknik
ini persentase terjadinya kehamilan lebih tinggi sedikit daripada dengan
teknik IVF, namun prosedur pelaksanaannya lebih rumit dan tidak nyaman
bagi pasien.
Kelompok 28-Infertilitas Page 58
Gambar : Cara melakukan GIFT
Gambar : ZIFT
4. Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
Substansi didalam sel telur disebut sitoplasma, dan ICSI merupakan suatu
tekknik reproduksi buatan dengan memasukkan sebuah sperma secara
langsung ke sitoplasma dari sel telur. Prosedur ini dilakukan dengan
menggunakan jarum mikro. Sel telur yang sudah dimasuki sperma ini
kemudian ditempatkan di dalam uterus sama seperti IVF. Teknik ICSI ini
berguna untuk pasangan yang tidak berhasil dengan IVF, atau bila kualitas
sperma yang baik terlalu sedikit untuk dilakukan IVF. ICSI mempunyai
angka fertilisasi yang tinggi namun angkaterjadinya kehamilan hampir
sama dengan teknik IVF.
Kelompok 28-Infertilitas Page 59
Gambar : ICSI
2.5.4 Sistem Rujukan
Dalam melakukan tata laksana terhadap pasangan suami-istri, diperlukan
sistem rujukan yang baik untuk menghindari keterlibatan dalam menegakkan
diagnosis atau tata laksana yang terkait dengan keterbatasan yang dimiliki pusat
layanan kesehatan primer.
Terdapat indikator tertentu yang digunakan sebagai batasan untuk
melakukan rujukan dari pusat layanan kesehatan primer ke pusat layanan
kesehatan di atasnya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-
masing pusat pelayanan kesehatan.
Dengan mengetahui indikator ini, pasutri dengan kriteria tertentu akan
langsung dirujuk ke rusat layanan kesehatan yang lebih tinggi tanpa dilakukan tata
laksana sebelumnya di pusat layanan kesehatan primer.
Jenis kelamin Indikator Rujukan
Kelompok 28-Infertilitas Page 60
Perempuan Usia lebih dari 35 tahun
Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
Riwayat kelainan tuba seperti hidrosalphing, abses tuba,
penyakit radang panggul, atau penyakit menular seksual
Riwayat pembedahan tuba, ovarium, uterus, dan daerah
panggul lainnya
Menderita endometriosis
Gangguan haid seperti amenorea atau oligomenorea
Hirsutisme atau galaktore
Kemoterapi
Lelaki Testis andesensus, orkidopeksi
Kemoterapi atau radioterapi
Riwayat pembedahan urogenital
Varikokel
Riwayat penyakit menular seksual
2.5.5 Prognosis
Menurut Behrman dan Kistner, prognosis terjadinya kehamilan tergantung
pada umur suami, umur istri, dan lamanya dihadapkan kepada kemungkinan
kehamilan (frekuensi hubungan seksual dan lamanya perkawinan). Fertilitas
maksimal wanita dicapai pada umur 24 tahun, kemudian menurun perlahan-lahan
sampai umur 30 tahun, dan setelah itu menurun dengan cepat. Menurut MacLeod,
fertilitas maksimal pria dicapai pada umur 24-25 tahun. Hampir pada setiap
golongan umur pria proporsi terjadinya kehamilan dalam waktu kurang dari 6
bulan meningkat dengan meningkatnya frekuensi senggama. Jones dan Pourmand
berkesimpulan bahwa pasangan yang telah dihadapkan pada infertilitas selama 3
tahun, angka harapan terjadinya kehamilan adalah sebesar 50% atau bisa
dikatakan prognosisnya baik, sedangkan pada pasangan yang infertilitasnya sudah
mencapai 5 tahun maka angka harapan terjadinya kehamilan adalah 30% dan bisa
dikatakan prognosisnya buruk.
BAB III
Kelompok 28-Infertilitas Page 61
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Dikatakan infertilitas jika istri tidak dapat hamil dalam 12 bulan
pernikahan tanpa kontasepsi disengaja.
2. Infertilitas terbagi atas dua jenis, primer dan sekunder. Infertilitas
primer adalah jika istri belum pernah hamil sebelumnya. Sedangkan
infertilitas sekunder adalah istri sudah pernah hamil sebelumnya
namun mengalami kesulitan untuk memperoleh kehamilan
selanjutnya.
3. Penyebab infertilitas terbagi atas faktor kesengajaan dan faktor
ketidak sengajaan. Faktor yang disengaja adalah ketika pasutri tidak
menghendaki adanya kehamilan. Sedangkan faktor yang tidak
disengaja adalah ketika pasutri menghendaki adanya kehamilan
namun tidak mendapatkan kehamilan yang disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya kelainan anatomi dan faktor imunologi.
4. Pemeriksaan infertilitas terbagi atas pemeriksaan terhadap pria dan
pemeriksaan wanita.
5. Penanganan infertilitas dapat menggunakan obat-obatan
(farmakologik) maupun teknologi yang sekarang sudah maju Assisted
reproductive technology (ART).
Kelompok 28-Infertilitas Page 62