ILMU DALAM PANDANGAN SAYYED HUSSEIN NASHR
A. Sayyed Hussein Nashr; Riwayat Hidup
Sayyed Hussein Nashr dilahirkan di Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya
bernama Sayyed Valullah Nashr, yaitu seorang ulama, dokter dan pendidikan terkenal pada
masa dinasti Qajar. Pendidikan awalnya diperoleh dari kota kelahirannya, (Teheran).
Kemudian oleh ayahnya ia dikirim belajar kepada sejumlah besar ulama besar di Iran di Qura.
Termasuk kepada Ayatullah Muhammad Hussein Thabatba’iy, seorang ahli tafsir dan penulis
Tafsir al-Mizan. Setelah menamatkan pedidikannya di Massachusatts Institute of technologi
(MIT). Ameika Serikat,1 dan berhasil mendapatkan Diploma B.Sc dan MA dalam bidang
fisika. Tidak puas dengan bidang studi fisika, tampaknya Nashr melanjutkan ke Universitas
Harvard menekuni History of Science dan Philosophy dengan titik tekanan pada Islamic
Science and Philosophy. Di perguruan tinggi ini Nashr berhasil meraih diploma Ph.D, tahun
1958,2 di bawah bimbingan orientalis terkenal, Hamilton A.R Gibb, dengan disertai tentang
berbagai kosmologi Islam.3
Selanjutnya Nashr kembali ke Iran diangkat menjadi guru besar Filsafat dan Sains
Islam pada Universitas Teheran. Pada tahun 1962-1965 ia diangkat menjadi guru besar tamu di
Harvard University. Dalam periode yang sama ia dipercayai sebagai pemegang pertama
pimpinan Agha Khan Chair of Islamic Studies dari American University of Beirut.
Setelah selesai di Harvard, Nashr kembali mengajar di Universitas Teheran dan
kemudian menjadi Dekan di Fakultas Sastra dan Seni (1969-1972). Pada waktu yang sama ia 1 Ambari Hasan Mu’arif, dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996. hlm.802 Komaruddin Hidayat, dalam Dawam Raharjo, Insan Kamil; Konsepsi Manusia menurut Islam, Pustaka
Grafitti Press, Jakarta, 1987, hlm.183.3 Ambari Hasan Mu’arif ,dkk.op.cit.
1
juga memangku jabatan pembantu Dekan Universitas Teheran (1970-1971), kemudian ia
diangkat sebagai konselor Arya-Mehr University of tehnology Teheran sampai ia
meninggalkan Iran, sampai ia meninggalkan Iran menjelang meletusnya Revolusi Islam Iran
(1979).
Menjelang revolusi Iran, Nashr berada di Amerika Serikat. Ia memutuskan untuk tidak
kembali ke Iran dan menetap di Amerika Serikat. kemudian ia mengajar diberbagai
Universitas seperti Temple University, Philadelphia dan akhirnya di Georgia University,
Washington D.C, selain mengajar Nashr juga menulis dari selusin buku4, dan telah disalin
(diterjemahkan) ke dalam lebih dari sepuluh bahasa asing.
Di antara buku-buku itu adalah Three Sage Moslim (Tiga Muslim yang Bijak), Idealis
and Realities in Islam (Cita-cita dan Realitas Dunia Islam), Sufi Essay (Essay Tentang Sufi),
Man and Nature (Manusia dan Alam), Islam and The Plightof Modern (Islam dan Kegelisahan
Manusia Modern), dan lain-lain.
B. Pemikiran Filsafatnya Sayyed Hussein Nashr
Dari beberapa buku karangan Nashr, yang sebagian besar kumpulan naskah
ceramahnya diberbagai tempat, mengesankan ada dua arus pemikiran yang dikonfrontasikan
antara yang satu dengan yang lain, yaitu faham metafisika Islam di pihak lain. Yang terakhir
lebih menekankan paham sufisme, meskipun Nashr sendiri tampaknya belum sampai pada
tingkatan sufi. Sebagaimana tokoh-tokoh sufi yang dikenal di dunia Islam. Walaupun
demikian, Nashr memiliki orientalitas tersendiri pada tingkat tertentu yakni, ia meramu paham
sufisme yang dikuasainya dengan pengalaman dan hasil studinya di Barat, untuk mencari
alternatif jawaban bagi problem manusia modern.
4 Ibid
2
Dalam mencari alternatif jawaban itu, Nashr menggunakan pendekatan Filosofis dan
Sufistik, yang pertama tentunya sesuai dengan disiplin ilmunya. Sedangkan yang kedua,
barangkali karena bakat, minat, serta pengaruh kebudayaan leluhurnya, Persia, yang memiliki
pemikiran metafisik, baik filsafat maupun sufisme. Dalam pandangan Nashr ada dua sebab
terjadinya problem manusia modern yaitu karena kehilangan visi keilahian dan kehampaan
spiritual.
Menurut Nashr, masyarakat barat yang sering digolongkan The Post Industrial Sosiety,
suatu masyarakat yang telah mencapai tingkat materi rupa dengan perangkat teknologi yang
serba mekanis dan otomatis, bukannya mendekati kebahagiaan hidup melainkan sebaliknya,
kian dihinggapi rasa cemas justru karena kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka telah
menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaan tereduksi,
lalu terperangkap pada sistem rasionalitas teknologi yang semakin tidak benar. Terhadap
fenomena spesial semacam ini Nashr menggunakan dua istilah pokok yaitu Axis dan Rim atau
cenre dan Perphery untuk membedakan dua kategori orientas hidup manusia. Ia berulang kali
mengatakan walaupun dengan ungkapan yang berbeda-beda, bahwa masyarakat modern
sedang berada di wilayah pinggiran eksistensinya berdiri sendiri, bergerak menjauh dan pesat
baik yang menyangkut dalam lingkungan dirinya maupun dalam kosmisnya. Mereka merasa
cukup dengan perangkap ilmu dan teknologi, sebagai buah gerakan reneisans abad ke 16,
sementara pemikiran dan paham keagamaan yang bersumber pada ajaran wahyu yang
ditinggalkan dengan ungkapan yang lebih populer masyarakat Barat telah memasuki The Post
Cristian Era dan berkembang paham secularism5.
5 Ibid, hlm. 184-185.
3
Maka dari itulah, jika kita kembalikan pada bahasan semula tentang metode ilmiah
yang berwatak rasional dan empiris, telah menghantarkan kehidupan manusia pada suasana
modernisme. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, modernisme melahirkan corak
pemikiran yang mengarah pada rasioanalisme, positifisme, pragmatisme, sekulerisme dan
materialisme. Aliran-aliran filsafat ini, dengan watak dasarnya yang sekuleris-meminjam
istilahnya Fritchjof Schuon-sudah terlepas dari Scintia Sacra (Pengetahuan suci) atau
Philosophia Perenneis (Filsafat Keabadian).
Proses modernisasi yang dijalankan Barat yang diikuti negara-negara lain, ternyata
tidak selalu berhasil memenuhi janjinya mengangkat harkat kemanusiaan dan sekaligus
memberi makna yang lebih dalam bagi kehidupan. Modernisme justru telah diraskan
membawa dampak terhadap terjadinya kerancauan dan penyimpangan nilai-nilai. Manusia
modern kian dihinggapi dasa cemas dan tidak bermanaan dalam kehidupannya. Mereka telah
kehilangan visi keillahiahan atau dimensi ransedental, karena itu mudah dihinggapi
kahampaan spiritual. Sebagai akibatnya, manusia modern menderita keterasingan (alienasi),
baikteralienasi dari dirinya sendiri, dari lingkungan sosilanya maupun teralienasi dari
Tuhannya.
Menyadari kondisi masyrakat modern yang sedemikian, pada abad ke-20, terutama
sejak beberapa dekade terakhir ini, muncul suatu gerakan yang mencoba menggugat dan
mengkritik teori-teori modernisasi, Manusia membutuhkan pola pemikiran baru yang
diharapkan membawa kesadarn dan pola kehidupan baru.
Kritik terhadap modernisme dan usaha pencarian ini sering disebut dengan masa pasca
modernisme (post-modernisme). Masa ini seperti yang dikatakan Jurgen Habermes seorang
4
Sosiolog dan Filosof Jerman tidak hanya ditandai dengan kehidupan yang semakin
materialistik dan hedonistik, tetapi juga telah mengakibatkan terjadinya intrusi massif dan
krisis yang mendalam pada berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pada Era Post-Modernisme
mencoba untuk keluar dari lingkaran krisis tersebut dengan kembali pada hikmah spiritual
yang terdapat dalam semua Agama otentik. Manusia perlu untuk memikirkan kembali
hubungan antara Yang Suci (Sacred) dan yang sekuler (Profan).
Gerakan ini dikenal dengan sebutan perenneialisme atau tradisionalisme: adalah sebuah
gerakan yang ingin mengembalikan bibit Yang Asal, Cahaya Yang Asal, ataupun prinsip-
prinsip yang asal, yang sekarang hilang dari tradisi pemikiran manusia modern. Untuk
menyebut beberapa nama tokoh yang melopori gerakan-gerakan tersebut antara lain; Louis
Massignon (m.1962), Rene Guenon, Ananda K. Coomaraswamy, Titus Burckhart, Henry
Corbin (m.1978), Martin Lings, Fritcjof Schoun, dan masih banyak lagi.
Sementara di kalangan modernis Islam gerakan Pembaharuan dan pemikiran dalam
Islam sejak fase 60-an hingga dewa ini mencoba bersikap lebih kritis terhadap ide-ide
modernisasi sebelumnya, dan bahkan terhapa sebagian kelompok pemikir Islam yang mencoba
mencari alternatif non-Barat. Kelompok yang disebut terkahir misalnya Hasan Albana
(m.1949), Abul A’al al-Maududi (m.1979), Sayyid Quthub (m.1965), dan pemuka-pemuka Al-
Ikhwan (sering disebut kelompok fundamentalis, atau lebih tepat ‘Neo-Revivalis Islam’)
menghendaki agar semua persoalan kemoderenan selalu dikembalikan kepada acuan al-
Qur’an, as-Sunnah dan kehidupan para Sahabatdalam pengertian tekstual. Fazlur Rahman
(m.1989), Muhammad Arkoun(l.1928), dan isma’il Raji al-Faruqi (m.1986)-yang sering
disebut kelompok Neo-Modernis-berusaha mencarai relevansi Islam bagi dunia modern Islam,
5
bagi mereka, adlah al-Qur’an adn as-Sunnah yang meski ditangkap pesan-pesan tersebut.
Kelompok ini dalam pembaharuannya berkecndrungan k arah humanistik, rasionalistik, dan
liberalistik. Sedang tokoh-tokoh muslim lain seperti Ali Syari’ati (m.1979), Hassan Hannafi
(l,1935), dan Abdillah Larraui (sering disebut penyebar paham Kiri Islam) berkepentingan
membela massa, rakyat tertindas dan menampilkan ISlam sebagai kekuatan revolusioner-
politik. Oleh karenanya kelompokterkhir ini, sering juga disebut sebagai penyebar sosiallisme
ISlam dan Marxisme Islam sebagai model pembangunan di dunia Islam. Mereka mengutuk
westernisasi dan sekulerisasi masyarakat Islam, Nasionalisme, dan ekses-ekses kapitalisme,
demikian juga materialisme serta ke-tak Bertuhanan Marxisme.
Kemudian selnjutnya lahir tokoh-tokoh pemikir kontemporer lain sebagai pemikir
alternatif , yakni Sayyed Hussein Nasr yang mencoba menawarkan konsep nilai-nilai ke-
islaman yang kemudian terkenal dengan sebutan ‘Tradisionalisme Islam’. Merupakan gerakan
respon terhadap kekacauan Barat modern yang sedang mengalami kebobrokan spiritul, dimana
menurut penilaian Nasr menyarankan agar Timur menjadi Barat sebagai case study guna
mengambil hikmah dan pelajaran sehingga Timur tidak mengulangi kesalahn-kesalahan Barat.
Sayyed Hussein Nasr beranggapan, sejauh ini gerakan-gerakan fundamentalis atau
revivalis Islam tak lebih merupakan dikotomi tradisionalisme-modernisme, keberadaannya
justru menjadi terlalu radikal dan terlalu mengarah kepada misi politis dari pada normatik-
religius (nilai-nilai ke-Agamaan). Sekalipun gerakan-gerakan seperti itu, atasnama
pembaharuan-pembaharuan trdisional Islam.
C. Etika Ilmu Pengetahuan
6
Pada masa Yunani ilmu tidak terikat dengan nilai. Menurut Aristoteles ilmu tidak
mengabdi kepada fihak lain. Ilmu digeluti manusia untuk ilmu itu sendiri (le’science pour
le’science). Ilmu adalah sesuatu yang mewah yang dapat dilakukan oleh segelintir orang yang
sudah mapan. Hal ini berangkat dari ucapan primum vivere, diende philosophari.6
Pada fase rasional dan empiric (abad ke 17), ilmu mulai terikat nilai. Hal ini berangkat
dari pertanyaan, apa sebenarnya tujuan ilmu pengetahuan? Pertanyaan ini memunculkan
jawaban kegunaan ilmu untuk menjawab kebutuhan manusia. Van Peursen menyatakan, tugas
ilmu adalah menjawab keresahan manusia. Maka keresahan adalah jarak yang prinsipil ke arah
kebenaran. Kebenaran sebagai tugas ilmu pada hakikatnya adalah sebuah nilai.7
Pada masa keemasan keilmuan Barat modern perdebatan tentang etika keilmuan
beralih kepada aspek teoritis dan aspek praktis ilmu pengetahuan. Paradigma keilmuan Barat
modern cendrung berpendapat ilmu pengetahuan dari aspek teoritis bebas nilai (netral). Hal ini
disebabkan kegiatan ilmiah bertujuan hanya menyusun teori-teori keilmuan dan mewujudkan
karya praktis ilmu pengetahuan (teknologi). Orang bebas berbuat apa saja untuk kepentingan
ilmiah.
Setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, perdebatan tentang
ini terus berlanjut. Pembahasan melebar kepada aspek konsekwensi logis dan tanggung jawab
ilmu pengetahuan. Apakah penemu atom (yang bergerak dalam tataran teoritis) dapat
disalahkan atas kejadian tersebut? Ataukah tentara sekutu yang menjatuhkan (secara praktis)
menggunakan bom atom untuk tujuan membunuh manusia? Untuk melihat apakah ilmu bebas
nilai atau terikat nilai, maka harus dilihat dari dua aspek; pertama, etika teleologis (tujuan
ilmu), kedua, etika ontologis (hakikat ilmu).
6 Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam; Pengantar ke Gerbang Pemikiran, Bandung: Nuansa 2004.,hlm. 39
7 Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.,hlm.135
7
Jadi ilmu pengetahuan dalam tataran teoritis bebas nilai dalam arti secara ontologis,
kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama, etnis, ideology dan
bangsa. Kecuali nilai yang boleh mengikat adalah kebenaran/ hikmah/ kebijaksanaan. Dalam
tataran praktis ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai universal yaitu mengabdi untuk kebenaran.
Berdasarkan uraian di atas, tidak mungkin ilmu lepas dari nilai.
D. Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis.
Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu
pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern
yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan
manusia.
Ada yang mengatakan sains yang sekarang tidak islami seperti kata Sayyed Hossein
Nasr, karena ilmu pengetahuan modern yang berkiblat ke Barat sudah lepas dari nilai
teologisnya (agama). Cara kerja ilmu pengetahuan sudah mengabaikan prinsi-prinsip agama.
Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral seperti almarhum Abdussalam. Oleh karena itu
yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan
tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam
menggali Quran secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan
zaman sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.
Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern
dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat
nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu
8
berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi
sains.
Dari segi prakteknya, sains terapan (teknologi) itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh
dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia.
Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia
bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan
bakar fosil.
Ilmu dalam Islam bersifat spiritual. Di dorong oleh semangat semacam ini epistemologi
Islam melahirkan rumus peran sosial ilmu dan hal-hal terlibat di dalamnya. Ilmu ditujukan
untuk ibadah. Dalam hal ini al-Ghazalı merumuskan 3 kelompok ilmu yaitu 1) jenis-jenis ilmu
terpuji dan tercela, 2) etika orang berilmu, dan 3) etika pengajar dan pelajar. Oleh karena itu di
dalam Islam persoalan “relevansi sosial” lebih diunggulkan daripada “relevansi intelektual”,
dan Islam tidak mengenal klaim “bebas nilai” dalam ilmu-pengetahuan.
Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis
maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya
dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan
sebagainya. epistemologinya tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu
tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR.
Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan
Islam.
Sekadar ilustrasi, pentingnya islamisasi, Shustery mengatakan; metode ilmiah dari
Barat, etika dari Timur. Einstein, ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh, meskipun
9
Shustery mengklaim ilmu itu dari Barat, namun ia tetap mengakui etika itu datang dari Timur.
Islam sekarang identik dengan Timur.
Dengan meode ilmiah itu, kebenaran sesuatu hanya mereka perhitungkan dari sudut
fisiologis-lahiriah yang sangat bersifat profanik (keduniawian atau kebendaan). Atau dengan
istilah lain, kebenaran ilmu pengetahuan hanya diukur dari sudut koherensi dan korespodernsi.
Dengan wataknya tersebut sudah dapat dipastikan bahwa, segala pengetahuan yang berada
diluar jangkauan indra dan rasio serta pengujian ilmiah ditolaknya, termasuk didalamnya
penegtahuan yang bersumber pada Religie.
Dengan demikian, Zaman Modern atau Abad Modern di Barat adalah zaman, ketika
manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan segala persoalan-
persoalan hidupnya. Manusia hanya dipandang sebagai mahluk yang bebas yang independen
dari Alam dan Tuhan. Manusia di Barat sengaja membebaskan dari Tatana Ilahiah (Theo
Morphisme), untuk selanjutnya membangun Tatanan Antropomorphisme suatu tatanan yang
semata-mata berpusat pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Hingga
kemudian mulai bermunculan gerakan-gerkan responsif alternatif sebagai respon balik
terhadap prilaku masyarakat modern yang tidak lagi mengenal dunia metafisik. Termasuk
didalamnya Tradisonalisme Islam yang dihidupkan Nasr, atau gerakan New Age di Barat pada
akhir dewasa ini.
Dengan Kontek ini, perlu juga ditegaskan antar hubungan Barat yang modern dan
peran Agama resmi yang berlaku disana, yakni kristen. Ada sebagian orang beranggapan
bahwa seluruh orang Barat menganut Agama Kristen, dengan perkecualian minoritas penganut
Yahudi. Anggapan semacam ini seolah-olah Barat masih seperti Barat pada abad pertengahan,
10
ketika trjadi perang salib yang perabannya saat itu adalah disebut abad keimanan. Ada juga
sebagian yang lain beranggapan sebaliknya, yaitu bahwa seluruh orang Baat bersifat materialik
atau agnostik serta skeptik dan tidak menganut satu Agama apapun. Pandangan semacam ini
bisa disebut keliru, karena yang terjadi tidaklah demikian. Pada Abad ke-17, bahkan
sebelumnya, yaitu ketika renaisans, telah terjadi upaya membawa dunia Baat kearah
sekularisme dan penipisan peran Agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Akhirnya
berakibat pada sejumlah orang Barat yang secaa praktis tidak lagi menganut Agama Kristen
atau Yahudi. Orang semacam Comte, yang pikiran-pikirannya begitu anti metafisis menjadi
jalan mulus menuju kearah sekularisme Dunia Barat. Ditambah dengan ajaran filsafat sosial
(sosialisme), Marx (Maxisme) yang menegaskan bahwa Agama adalah candu masyarakat,
yang karenanya ia harus ditinggalkan. Puncak penolakan terhadap Agama Kristen di Barat
disuarakan oleh Nietzsche dengan statemennya yang banyak di kenal orang The God is dead.
Kemunculan gagasan-gagasan semacam itu mungkindiakibatkan adanya ketidak
mampuan sistem keimanan sistem yang berlaku disana untuk mengakomodasikan
perkembangan masyarakat modern dengan ilmu pengetahuanya. Kermajuan masyarakat yang
sudah berhasil dan begitu percaya pada iptek, akhirnya berkembang lepas dari kontrol Agama.
Iptek yang landasan pokoknya bersifat sekuler bagi sebagian besar orang di Barat akhirnya
menggantikan posisi Agama. Segala kebutuhan Agama seolah bisa terpenuhi dengan
iptek.Namaun dalam kurung waktu yang panjang iptek ternyata menghianati kepercayaan
manusia, kemajuan iptek justru identik dengan bencana. Kondisi inilah yang tampaknya
membuat masyarakat Barat mengalami apa yang disebut Cak Nur (Dr. Nurkholis Madjid) yang
dikutipnya dari Baigent, Krisis Epistimologis, Yakni masyarakat Barat tidak lagi menegtahui
tentang makna dan tujuan hidup (Meaning and Purpose of Life).
11
Manusia modern semakin memperparah dirinya dengan yang dia nyatakan sendiri;
karena ia telah lupa sipakah ia sesungguhnya. Seperti yang dilakukan Faust setelah menjual
jiwanya untuk memperoleh kekuasaan terhadapa lingkungan alam manusia ia menciptakan
suatu situasi, dimana kontrol terhadap lingkungan berubah menjadi pencekikan, yang
selanjutnya tidak hanya berubah menjadi kehancuran ekonomi, tetpi juga perbuatan bunuh diri.
Begitulah dunia belakangnan ini juga ditandai pembicraan tentang krisis lingkungan
hidup. Dimulai dengan laporan mengenai batas-batas pertumbuhan sekitar 25-an tahun lalu,
hinggakonfernsi bumi (Earth Summith) di Rio De Janeiro tahun lalu. Manusia dewasa ini
semakin sadar bahwa seluruh krisis dibumi ini, tidak hanya disebabkan karena alasan maerial-
dulu sering diungkap oleh banyak ahli-tapi justru lebih pada sebab-sebab yang bersifat
transedental: sebab-sebab cara pandang manusia terhadap alam ini. Dunia modern sekarang
ini, tidak lagi memilki ‘horizon spiritual’. Ini bukan berarti hprozon spiritual itu tidak ada, tapi
karena manusia modern-dalam istilah Filsafat Perrenial-hidup dipinggir lingkaran eksistensi.
Manusia modern melihat segala sesuatu hanya dari pinggiran eksistensinya saja, tidak
pada pusat spiritualitas dirinya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Memang
dengan apa yang dilakukannya sekarang-memberi perhatian pada dirinya yang secara
kuantitatif sangat mengangumkan, tapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya-
menyangkut pengertian-pengertian mengenai dirinya sendiri-ternyata dangkal. Dekadensi atau
kejatuhan manusia di zaman modern ini terjadi karena mansuia kehilangan ‘pengetahuan
langsung’ mengenai dirinya itu, dan menjadi bergantung berhubungan dengan dirinya.
Itu sebabnya, dunia ini menurut pandangan manusia adalah dunia yang memang tak
memiliki dimensi transedental. Dengan demikian menjadi wajar jika peradaban modern yang
12
dibangun selama ini tidak menyertakan hal ayng paling esensial dalam kehidupan manusia,
yaitu dimensi spiritual. Belakangan ini baru disadari adanya krisis spiritual dan krisis
pengenalan diri.
Sejarah pemikiran Barat modern, sejak Rene Descartes ditandai dengan usaha
menjawab tantangan keberadaan manusia sebagai mahluk mikro kosmik. Dengan falsafahnya
yang amat terkenal cogito ergo sum (karena berpikir maka aku ada). Tetapi sayangnya, bukan
pengerian yang makin mendalam yang didapat, namun justru keadaan yang semakin menjauh
dari eksistensi dan pengertian yang tepat mengenai hakekat diri yang diperoleh.
Pada momen sejarah ini pulalah saat yang tepat untukmembedakan gerakan-gerakan
yang disebut sebagai ‘Fundamentalisme Islam’ dari Islam Tradisional yang sering dikelirukan
siapapun yang telah membaca karya-karya yang bercorak tradisionaltentang Islam dan
membandingkannya dengan perjuangan lairan-aliran ‘fundamentalis’ tersebut segera dapat
melihat perbedaan-perbedaan mendasar diantara mereka, tidak saja didalam kandungan tetapi
juga didalam ‘iklim’ yang mereka nafaskan. Malahan yang dijuluki sebagai fundamentalisme
mencakup satu spektrum yang luas, yang bagian-bagiannya dekat sekali dengan Interpretasi
tradisional tentang Islam. Tetapi tekanan utama macam gerakan polito-religius yang sekarang
ini disebut fundamentalisme itu mempunyai perbedaan yang mendasar dengan Islam
Tradisional. Dengan demikian perbedaan yang tajam antara keduanya terjustifikasi, sekalipun
terdapat wlayah-wilayah tertentu, dimana beberapa jenis fundamentalisme dan dimensi-
dimensi khusus Islam Tardisonal bersesuaian.
Gerakan Tradisonalisme Islam yang diidekan dan dikembangkan nasr, merupakan
gerakan untuk mengajak kembali ke ‘akar tradisi’; yang merupakan Kebenaran dan Sumber
13
Asal segala sesuatu; dengan mencoba menghubungkan anatar sekuler (Barat) dengan dimensi
ke-Ilahiahan yang bersumber pada wahyu Agama.
Tradisionalisme Islam adalah gambaran awal sebuah konsepsi pemikiran dalam sebuah
bentuk Sophia Perenneis (keabadian). Tradisonalisme Islam boleh dikatakan juga disebut
sebagai gerakan intelektual secara universal untuk mampu merespons arus pemikiran Barat
modern (merupakan efek dari filsafdat modern) yang cenderung bersifat profanik, dan
selanjutnya untuk sekaligus dapat membedakan gerakan Tradisionalisme Islam tersebut
dengan gerakan Fundamentalisme Islam, seperti halnya yang dilakukan di Iran, Turki dan
kelompok-kelompok fundamentalis lain.
Usaha Nasr untuk menelorkan ide semacam itu paling tidak merupakan tawaran
alternatif sebuah nilai-nilai hidup bagi manusia modern maupun sebuah negara yang telah
terjangkit pola pikir modern (yang cenderung bersifat profanik dengan gaya sekuleristiknya)
untuk kemudian kembali pada sebuah akar tradisi yang bersifat transedental.
Sebagaimana yang dipergunakan oleh para kelompok Traditonalis tema tradis
menyiratkan sesuatu Yang Sakral, Yang Suci, dan Yang Absolut. Seperti disampaikan manusia
melalui wahyu maupun pengungkapan dan pengembangan peran sakral itu di dalam sejarah
kemanusiaan tertentu untuk mana ia maksudkan, dalam satu cara yang mengimplikasikan baik
kesinambungan horizontal dengan sumber maupun mata rantai vertikal yang menghubungkan
setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincanngkan dengan realitas transeden meta-
historikal. Sekaligus makna absolut memiliki kaitan emanasi dan nominasi dari sesuatu
sesuatu yang profan dan aksidental.
14
Tradisi menyiratkan kebenaran yang kudus, yang langgeng, yang tetap, kebijaksanaan
yang abadi (sophia perenneis), serta penerapan bersinambungan prinsip-prinsipnya yang
lansung perennei terhadap berbagai situasi ruang dan waktu. Untuk itulah Islam Tradisional
mempertahankan syariah sebagai hukum Ilahi sebagiamana ia dipahami dan diartikan selama
berabad-abad dan sebaimana ia dikristalkan dalam madzab-madzab klasik. Hukum
menyangkut kefustifikan, Islam Tradisional memempertahankan Islamitas seni Islam,
kaitannya dengan dimensi batini, wahyu Islam dan kristalisasi khazanah spiritual Agama
dalam bentuk-bentuk yang tampak dan terdengar, dan dalam domain politik, Perspektif
tadisional selalu berpegang pada realisme yang didasarkan pada norma-norma Islam.
Lebih lanjut ia katakan, sejak reneisans, masyarakat Barat asyik bergelut dengan
problem empiris; yaitu masyarakat yang hanya menekuni dimensi luar yang senantiasa
berubah, bukannya menguak hekekat keberadaan manusia dan alam semesta ini sama dengan
hancurnya aspek-aspek manusia dan alam yang tidak dapat berubah. Ilmu skuder tidak akan
dapat menampakkan eksistensinya tanpa harus terlibat dalam proses perubahan dan menjadi
secara utuh.
Untuk dapat menguak kembali integritas manusia dan alam secara utuh, Nashr menekankan
manusia harus berada pada titik pusat yang mampu mengambil jarak dari kenyataan yang
senantiasa berubah dan serba tidak senonoh (profane). Dalam hal ini yang dikehendaki oleh
Nashr adalah agar manusia modern memikirkan kembali kehadiran Tuhan yang merupakan
landasan kebijakan. Alternatf yang diberikan oleh Nashr terhadap kritik yang diberikan
terhadap kritik manusia modern, tampaknya memiliki signifikansi yang kuat terhadap realitas
kehidupan manusia modern sekarang. Manusia modern membutuhkan agama untuk mengobati
krisis yang dideritanya. Nashr juga menawarkan agar manusia barat modern kembali kepada
15
agama, yang salah satu fungsinya adalah untuk membimbing jalan hidup manusia agar lebih
baik dan selamat di dunia dan di akhirat kelak.
C. Penutup dan Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan mengenai filosofi Sayyed Hussein
Nashr tentang pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Meskipun sebagian orang
mengatakan bahwa ia termasuk kedalam kelompok Neo-modernis muslim dan sebagian lagi
menyebutnya Neo-tradisionalis muslim, namun bantahannya kepada dunia barat yang lebih
mengagungkan ilmu pengetahuan daripada agama, telah meyakinkan kita bahwa ia termasuk
salah seorang pemikir yang lebih mementingkan konsep ketuhanan (agama) sebelum ilmu. Ini
disebabkan karena ia yakin benar bahwa Islam sebagai agama dengan karakter universal
mampu menjawab tantangan dan krisis dunia modern. Sementara dilain pihak, para pemikir
dunia barat lebih mementingkan konsep keilmuan yang mengatur kehidupannya. Sehingga
merasakan bahwa ilmu itu diciptakan sendiri oleh manusia. Hal ini disebabkan proses
reneisans yang telah membolakbalikan pemikiran manusia yang lebih mementingkan ilmu
pengetahuan daripada agama. Selain itu, Nashr juga berusaha menggali dan membangkitkan
warisan pemikiran-pemikiran Islam untuk mengkonfrontir paham-paham filosofi keduniawian.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ambari Hasan Mu’arif, dkk, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
16
Komaruddin Hidayat, dalam Dawam Raharjo, Insan Kamil; Konsepsi Manusia menurut Islam,
Jakarta: Pustaka Grafitti Press, 1987.
Khan, Ali Mahdi, Dasar-dasar Filsafat Islam; Pengantar ke Gerbang Pemikiran, Bandung:
Nuansa, 2004.
Soemargono, Soejono, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004
www. nasirsalo.blogspot.com
17
Top Related