1 | P a g e
TUGAS ETIKA LINGKUNGAN
Tugas menyusun makalah dalam mata kuliah Etika Lingkungan oleh Dosen Dr. Tasdiyanto Rohadi, M.Si, pada Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas 11 Maret Surakarta (UNS) tahun 2012
Alex Luqman Setio Wibowo, ST NIM : A 131208001
2 | P a g e
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN C. RUANG LINGKUP MATERI
Bab II LANDASAN TEORI
A. TEORI Antroposentrisme B. TEORI Biosentrisme C. TEORI Ekosentrisme D. TEORI Zoosentrisme
Bab III PEMBAHASAN
A. ETIKA LINGKUNGAN GLOBAL B. ETIKA LINGKUNGAN INDONESIA
Bab IV PENUTUP
A. KESIMPULAN
Segala yang ada di dunia ini cukup untuk memenuhi keperluan semua orang,
tapi tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keperluan satu orang yang
rakus.
3 | P a g e
Bab I PENDAHULUAN
A LATAR BELAKANG Pada umumnya manusia bergantung pada keadaan lingkungan disekitarnya yaitu
berupa sumber daya alam yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam
yang utama bagi manusia adalah tanah, air, dan udara. Tanah merupakan tempat manusia
untuk melakukan berbagai kegiatan. Air sangat diperlukan oleh manusia sebagai komponen
terbesar dari tubuh manusia. Untuk menjaga keseimbangan, air sangat dibutuhkan dengan
jumlah yang cukup banyak dan memiliki kualitas yang baik. Selain itu, udara merupakan
sumber oksigen yang alami bagi pernafasan manusia. Lingkungan yang sehat akan terwujud
apabila manusia dan lingkungannya dalam kondisi yang baik.
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung
dari pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan
sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau
krisis moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti
norma-norma yang seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri.
Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu
saja dieksploitasi dan dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara
drastis kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang
diikuti pula penurunan kualitas alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya
mencuat sebagai masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.
Etika lingkungan menjadi penting karena ia memberikan panduan bagi kita dalam
berhubungan dan memperlakukan alam dan terlebih dewasa ini isu lingkungan, seperti
perubahan iklim atau pemanasan global, telah menjadi isu global. Sehingga usaha kembali
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait etika lingkungan menjadi sangat relevan
saat ini, sebagai misal, apakah tindakan kita yang menyebabkan suatu spesies menjadi
punah menjadi isu yang sangat penting; manakah yang lebih penting, mempertahankan
sebuah hutan atau membuatnya menjadi daerah yang memberikan kesejahteraan bagi
umat manusia; apakah kepunahan suatu spesies atau kerusakan ekosistem merupakan
harga yang wajar bagi terciptanya kesempatan kerja dan lain sebagainya.
4 | P a g e
B TUJUAN Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari etika Lingkungan.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis etika Lingkungan.
3. Untuk mengetahui teori tentang etika Lingkungan.
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari etika Lingkungan.
C RUANG LINGKUP MATERI Ruang lingkup materi yang menjadi syarat dalam penulisan makalah ini adalah
sedapat mungkin mengenali teori-teori mengenai etika lingkungan dari berbagai pakar
terutama yang belum diperkenalkan dalam proses belajar di kampus. Dengan demikian
wawasan mengenai berbagai ilmu etika lingkungan akan memperkaya khasanah
pengetahuan mahasiswa.
Pada pembuatan makalah ini metode yang digunakan dalam mengumpulkan data
yaitu dari buku-buku mengenai etika lingkungan hidup dan data dari internet. Sehingga
apabila dalam penulisan makalah ini ada kata-kata atau kalimat yang hampir sama dari
sumber atau penulis lain harap dimaklumi dan merupakan unsur ketidaksengajaan.
Bab II LANDASAN TEORI
1 PENGERTIAN ETIKA LINGKUNGAN Etika Lingkungan berasal dari dua kata, yaitu Etika dan Lingkungan. Etika berasal dari
bahasa yunani yaitu “Ethos” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Ada tiga teori
mengenai pengertian etika, yaitu: etika Deontologi, etika Teologi, dan etika Keutamaan.
Etika Deontologi adalah suatu tindakan di nilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan
itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Teologi adalah baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan atau akibat suatu tindakan. Sedangkan Etika keutamaan adalah
mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri setiap orang.
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang mempengaruhi
kelangsungan kehidupan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lain baik secara
langsung maupun secara tidak langsung.
5 | P a g e
Jadi, etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul
dengan lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut
lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap
terjaga.
Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sehubungan dengan penerapan etika
lingkungan sebagai berikut:
a. Manusia merupakan bagian dari lingkungan yang tidak terpisahkan sehngga perlu
menyayangi semua kehidupan dan lingkungannya selain dirinya sendiri.
b. Manusia sebagai bagian dari lingkungan, hendaknya selalu berupaya untuk emnjaga
terhadap pelestarian , keseimbangan dan keindahan alam.
c. Kebijaksanaan penggunaan sumber daya alam yang terbatas termasuk bahan energy.
d. Lingkungan disediakan bukan untuk manusia saja, melainkan juga untuk makhluk
hidup yang lain.
Di samping itu, etika Lingkungan tidak hanya berbicara mengenai perilaku manusia
terhadap alam, namun juga mengenai relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu
antara manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia
dengan makhluk hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan.
2 JENIS-JENIS ETIKA LINGKUNGAN Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi selanjutnya dibedakan dan
menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan etika ekologi dangkal. Selain itu etika
lingkungan juga dibedakan lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan pelestarian alam untuk
kepentingan manusia, sedangkan etika pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha
pemeliharaan lingkungan untuk kepentingan semua makhluk.
a. Etika Ekologi Dangkal
Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan
bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris.
Etika ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme
serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli
6 | P a g e
lingkungan. Kebanyakan para ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Secara umum, Etika ekologi dangkal ini menekankan hal-hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam.
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak menekankan tanggung
jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya.
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan manusia.
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk khususnya
dinegara miskin.
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi.
b. Etika Ekologi Dalam
Etika ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat
pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang,
sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama. Etika Ekologi ini memiliki
prinsip yaitu bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki
hak untuk menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak untuk
berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia
dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini
maksudnya adalah komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam.
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat dimanfaatkan oleh
manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam diperlakukan
sewenang-wenang.
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk.
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai.
7 | P a g e
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati.
7. Menghargai dan memelihara tata alam.
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem.
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem alternatif yaitu
sistem mengambil sambil memelihara.
Demikian pembagian etika lingkungan, Keduanya memiliki beberapa perbedaan-perbedaan seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
3 Teori Etika Lingkungan Sebagaimana telah disebutkan di depan, etika lingkungan berkembang pada tahun 1970an
dan 1980an sebagai hasil dari gerakan lingkungan dan karya-karya sarjana Anglo-Amerika yang
dipicu oleh penemuan teknologi nuklir dan pestisida kimia. Mereka tidak lagi menggunakan
pendekatan atau setidaknya memperluas ajaran etika tradisional, melainkan pendekatan
yang disebut dengan meta-etika. Meta-etika merupakan pendekatan bagaimana
mendefinisikan pengadapengada (beings) agar dikategorikan memiliki kewenangan moral
dalam etika lingkungan. Dalam hal ini adalah bagaimana mendefinisikan nilai dad objek-objek
natural, apakah mereka memiliki nilai-nilai intrinsik, inheren atau instrumental.
1. Antroposentrisme
Teori lingkungan ini memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem
dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, yaitu : nilai dan
prinsip moral hanya berlaku bagi manusia dan etika hanya berlaku bagi manusia.
Antroposentrisme selain bersifat antroposentris, juga sangat instrumentalistik.
Artinya pola hubungan manusia dan alam di lihat hanya dalam relasi instrumental. Alam ini
sebagai alat bagi kepentingan manusia, sehingga apabila alam atau komponennya dinilai
tidak berguna bagi manusia maka alam akan diabaikan (bersifat egois).
8 | P a g e
Karena bersifat instrumentalik dan egois maka teori ini dianggap sebagai sebuah
etika lingkungan yang dangkal dan sempit (Shallow environmental ethics). Teori ini dianggap
sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, dari krisis lingkungan yang terjadi.
Teori ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta demi
memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya dan tidak peduli terhadap alam.
2. Biosentrisme
Teori lingkungan ini memandang setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai
nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Tidak hanya manusia yang mempunyai nilai, alam
juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Biosentrisme
menolak argumen antroposentrisme, karena yang menjadi pusat perhatian dan yang dibela
oleh teori ini adalah kehidupan, secara moral berlaku prinsip bahwa setiap kehidupan di
muka bumi ini mempunyai nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan
diselamatkan.
Konsekuensinya alam semesta adalah sebuah komunitas moral baik pada manusia
maupun pada makhluk hidup lainnya. Manusia maupun bukan manusia sama-sama memiliki
nilai moral, dan kehidupan makhluk hidup apapun pantas dipertimbangkan secara serius
dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi
kepentingan manusia.
3. Ekosentrisme
Teori ini secara ekologis memandang makhluk hidup (biotik) dan makhluk tak hidup
(abiotik) lainnya saling terkait satu sama lainnya. Etika diperluas untuk mencakup komunitas
ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Kewajiban dan tanggung jawab moral
tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup.
Salah satu versi ekosentrisme adalah Deep Ecology. DE diperkenalkan oleh Arne
Naess (filsuf Norwegia) tahun 1973 dalam artikelnya ”The shallow and the Deep, Long-range
Ecological Movement: A summary”. DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada
manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitannya dengan upaya
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
9 | P a g e
4. Zoosentrisme
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang menekankan perjuangan hak-hak
binatang, karenanya etika ini juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika
ini adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak untuk menikmati
kesenangan karena mereka dapat merasa senang dan harus dicegah dari penderitaan.
Sehingga bagi para penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang dijadikan salah
satu standar moral. Menurut The Society for the Prevention of Cruelty to Animals, perasaan
senang dan menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan binatang dengan
penuh belas kasih.
5. Hak Asasi Alam
Makhluk hidup selain manusia tidak memiliki hak pribadi, namun makhluk hidup
membutuhkan ekosistem atau habitat untuk hidup dan berkembang.Makhluk hidup seperti
binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun mereka tidak dapat bertindak yang
berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk kelestarian alam ini. Maka mereka
juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik
yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai anggota komunitas bumi bernilai. Dengan
demikian, pembabatan hutan secara tidak proporsional dan penggunaan binatang sebagai
obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
4 Prinsip-Prinsip Etika Lingkungan Adapun prinsip-prinsip dari etika lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Sikap hormat terhadap alam (respect for nature)
2. Prinsip tanggung jawab (moral responsibility for nature)
3. Solidaritas kosmis (cosmic solidarity)
4. Prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature)
5. Prinsip tidak merugikan alam secara tidak perlu
6. Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam
7. Prinsip keadilan
8. Prinsip demokrasi
9. Prinsip integritas moral
10 | P a g e
Dari beberapa pembahasan di atas, bahwa kita di tuntut untuk menjaga lingkungan.
Dalam menjaga lingkungan, manusia harus memiliki ”etika”. Etika lingkungan ini adalah
sikap kita dalam menjaga kelestarian alam ini agar alam ini tidak rusak, baik ekosistem
maupun habitatnya. Perlu kita sadari bahwa kita ini juga nagian dari alam ini. Maka kita
harus menjaga lingkungan ini dengan baik dengan norma-norma etika lingkungan.
Bab III PEMBAHASAN Secara teoritis, terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai
Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental
Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan
ekosentrisme.(Sony Keraf: 2002)
Etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara
pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian
utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya,
dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan
yang dianggap relevan dalam pertimbangan moral, yang dilihat dalam istilah Frankena--
sebagai satu-satunya moral patient (William K. Frankena:1979). Akibatnya, secara teleologis,
diupayakan agar dihasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia dan
dihindari akibat buruk sebanyak mungkin bagi spesies itu. Etika antroposentrisme ini dalam
pandangan Arne Naess dikategorikan sebagai Shallow Ecology (kepedulian lingkungan yang
dangkal).
Cara pandang antroposentrisme, kini dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan
ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai
makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk
ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu
jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara
fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan "memandang
manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan".(Fritjof Capra:1997)
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan
11 | P a g e
biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan
seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik
yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis
lainnya saling terkait satu sama lain. Oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral
tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama
juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Salah satu bentuk etika ekosentrisme ini adalah etika lingkungan yang sekarang ini dikenal
sebagai Deep Ecology. Sebagai istilah, Deep Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne
Naess, seorang filsuf Norwegia, pada 1973. di mana prinsip moral yang dikembangkan
adalah menyangkut seluruh komunitas ekologis.
Etika ini dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-
prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan konkret. Etika ini
menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan komprehensif dari sekadar sesuatu
yang instrumental dan ekspansionis sebagaimana ditemukan pada antroposentrisme dan
biosentrisme. Dengan demikian, Deep Ecology lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan
diantara orang-orang yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang selaras dengan alam,
dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan dan politik.
Akar gerakan Deep Ecology telah ditemukan pada teori ekosentrisme pada umumnya dan
kritik sosial dari Henry David Thoureau, John Muir, D.H. Lawrence, Robinson Jeffers, dan
Aldo Huxley. Pengaruh Taoisme, Fransiskus Asisi, Zen Budhisme, dan Barukh Spinoza juga
sangat kuat dalam teori-teori dan gerakan Deep Ecology (George Session:1995)
Bagaimanapun keseluruhan organisme kehidupan di alam ini layak dan harus dijaga. Krisis
alam yang terasa begitu mengkhawatirkan akan membawa dampak pada setiap dimensi
kehidupan ini. Ekosentrisme tidak menempatkan seluruh unsur di alam ini dalam kedudukan
yang hierarkis. Melainkan sebuah satu kesatuan organis yang saling bergantung satu sama
lain. Sebuah jaring-jaring kehidupan yang harmonis.
Antroposentrisme
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat
dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan
12 | P a g e
dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik
secara langsung atau tidak langung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai
dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia.
Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia.
Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri
Biosentrisme dan Ekosentrisme
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Oleh
karenanya teori ini sering disamakan begitu saja karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu
pada penekanannya atas pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi
keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika
untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada
komunitas yang hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada
ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas ekosistem seluruhnya
(ekosentrism)
Dulu, alam dan manusia hidup secara harmonis. Tapi kini, homo industrialus ini mengambil
posisi berhadapan langsung secara diametral dengan alam, menjadi musuh tak tertaklukkan.
Kepentingan ekonomi mendorong pengusaha perkayuan menebang hutan secara membabi-
buta, juga meringankan tangan pemerintah mengeluarkan izin-izin bagi eksploitasi hutan-
hutan alam. Dan, setiap upaya hukum bagi para perusak lingkungan ini selalu saja berputar-
putar di tempat yang sama. Padahal bumi sudah sakit.
Philippe Vaquette dalam Le Guide De L’Educateur Nature mengatakan, sebagaimana
manusia membutuhkan dokter karena suatu penyakit, bumi juga membutuhkan “dokter”
untuk alasan yang sama. Idealnya, dokter baik ialah dokter yang membantu pasien
mencegah penyakit. Tapi kini lupakan itu! Dokter yang diperlukan lingkungan kita adalah
yang bisa mengobati penyakit kronis stadium tertinggi.
13 | P a g e
Obat terbaik yang bisa diresepkan “dokter” lingkungan adalah mengupayakan lahirnya
generasi sadar lingkungan. Karena tak mungkin berharap banyak dari generasi kini.
Tumpuan harapan ialah anak-anak yang kini bermain di taman kanak-kanak, atau bayi-bayi
yang belajar merangkak, bahkan janin-janin di dalam perut ibunya. Dengan terpaksa —dan
tega—, ke pundak-pundak kecil dan masih lemah ini akan kita timpakan beban berat itu.
Mereka akan memutus mata rantai dengan masa lalu, kemudian membangun masa
depannya sendiri. Walaupun terlambat, waktu memulainya adalah kini. Semakin ditunda,
kita akan melakukan lebih banyak intervensi dibandingkan perlindungan terhadap alam.
Diyakini bahwa generasi baru itu akan lahir dari proses pendidikan. Pendidikan ekologi yang
ditanamkan ke sistem berfikir generasi mendatang akan membentuk kesadaran tentang
peran penting mereka sebagai “dokter bumi”. Pendidikan lingkungan bukanlah persoalan
sederhana, sehingga cukup puas bila melatih anak-anak membuang sampah pada
tempatnya. Pendidikan lingkungan ialah penetrasi mental tentang paradigma baru yaitu
“etika masa depan.” Kesadaran ini mesti hadir dalam pola pikir dan wujud dalam setiap
gerak inderawi. “Anak-anak mesti mulai diajak ke semak-semak,” demikian ungkap Philippe
Vaquette.
Akhirnya, tanpa bermaksud memperberat kurikulum pendidikan, muatan Ekologi harus
segera bergaung di sekolah-sekolah. Alih-alih dikenang sebagai pewaris masalah, dengan
upaya ini generasi kita masih punya satu harapan kecil, untuk diingat sebagai penabur benih
manusia masa depan yang bijak lingkungan, bukan hanya generasi yang rakus pada alam.
Sebagai penutup, Grant Rosoman mengatakan, “tingkat kepunahan spesies tumbuhan dan
hewan saat ini kira-kira seribu kali lebih cepat dibanding zaman sebelum bumi dihuni
manusia. Dan diperkirakan akan mencapai sepuluh ribu kali lebih cepat tahun 2050.” Lalu
kita hubungkan dengan kalimat Daoed Joesoef, “di bumi Indonesia ada banyak spesies
terancam punah, bahkan ada yang sudah punah. Jika perusakan lingkungan tidak segera
dihentikan, maka satu spesies menyusul punah, spesies manusia.”
5 KONTEKS ETIKA LINGKUNGAN DALAM SEJARAH FILSAFAT 5.1 Pengaruh Filsafat Yunani pada Etika Lingkungan
Aldo Leopold dalam bukunya “The land ethics “ menyatakan bahwa masalah
lingkungan sebenarnya berakar pada filsafat alam dan sepenuhnya membutuhkan
14 | P a g e
pemecahan secara filosofis pula. Bagi etika lingkungan, filsafat barat rupanya tidak selalu
mendukung apa yang menjadi asumsi dasar etika lingkungan. Memang, refleksi tentang
alam sudah muncul sejak Filsuf dari Melitus yaitu Thales, Anaximander dan Anaxagoras.
Bahkan dalam mencari arkhai mereka menjadikan alam sebagai unsur dasarnya. Lihat
pendapat Thales yang melihat bahwa segala sesuatu berasal dari air, di dalam benda-benda
di bumi terdapat dewa. Heraclitos berpendapat bahwa api adalah awal dari segala sesuatu,
Xenophanes melihat tanah sebagai arkhe, Empedocles mengajukan empat element yaitu :
tanah, udara, api dan air. Walaupun menolak beberapa pemikiran Parmenides, umumnya
para filsuf pra sokratik ini menerima konsep bahwa dunia mempunyai “ rational structure “,
tidak berubah, tidak dapat dibagi-bagi, tidak dapat dihancurkan dan tidak dapat digerakkan.
Plato memiliki tendensi yang berbeda sehubungan dengan alam. Dalam
metafisikanya, alam material hanyalah berpartisipasi pada dunia ide. Maka, dunia
pengalaman yang real sebenarnya tidak nyata. Pemikiran ini kembali dibangkitkan oleh
Plotinos (204-270). Plotinos beranggapan bahwa dunia dan manusia merupakan emanasi
dari jiwa, sedangkan jiwa itu merupakan emanasi dari Roh (Nous), dan Roh itu merupakan
emanasi pertama dari Yang-Satu (To Hen). Dunia bersatu, karena dirasuki oleh jiwa dunia
sebagai emanasi dari jiwa. Memang dunia dan manusia dibedakan, akan tetapi pada
dasarnya semuanya diresapi oleh daya dan sinar yang sumbernya sama, yaitu Yang-Satu.
Eugene C Hargrove - seorang environmentalist - berpendapat bahwa para filsuf
Yunani mempunyai beberapa pengaruh negatif pada etika lingkungan, yaitu menghalangi
perkembangan perspektif ekologis, melemahkan wawasan estetis terhadap dunia natural
dan menyebabkan “ ide pelestarian alam “ secara konseptual sulit dilakukan bahkan tidak
mungkin.
5.1.1 Tantangan Perspektif ekologis
Konsep filsafat yunani bahwa alam bersifat konstan dan tidak berubah rupanya harus
berhadapanan dengan realita yang diangkat oleh etika lingkungan bahwa alam itu bersifat
impermanen, bisa ( bahkan sedang ) berubah ke suatu kondisi yang lebih buruk. Perbedaan
ini sebenarnya berasal dari titik berangkat yang berbeda. Filsafat Yunani memandang alam
bukan secara empiris dan material. Bahkan, indera kita tidak bisa dipercayai untuk bisa
melihat “ alam “ secara penuh. Api dalam pemikiran Thales bukanlah api sebagai api yang
15 | P a g e
mempunyai fungsi positif dalam seluruh ekosistem, tetapi lebih menunjuk pada suatu
element metafisik yang menjadi dasar segala sesuatu.
5.1.2 Perspektif Estetis
Kalau para filsuf Yunani memandang alam, yang menggerakkan emosinya pertama-
tama adalah “ keteraturan “ dan bukan “ keindahannya “. Hal yang berkebalikan ditemukan
dalam diri para seniman dalam memandang alam. Karena rasa dan kemampuan inderawi
begitu dihargai, para seniman tidak menyibukkan diri pada “ nomos “ tetapi pada dimensi
estetis dari alam itu sendiri. Memang dalam beberapa dialognya, Plato mengagumi
indahnya alam raya ini, tetapi keindahan menurut Plato segera diikuti dengan
pandangannya bahwa obyek natural pada dirinya sendiri tidak memiliki nilai-nilai keindahan.
Keindahan itu ada karena obyek natural tersebut berpartisipasi dengan idea keindahan.
Partisipasi inilah – menurut Plato – yang memungkinkah obyek natural disebut indah. Jadi,
keindahan secara intrinsik itu sebenarnya tidak ada.
5.1.3 Tantangan Metafisika terhadap pelestarian ekosistem
Kosep pelestarian ekosistem sulit untuk ditemukan dalam pemikiran filsafat Yunani,
karena pandangan ini bertentangan dengan metafisika yang menjadi pegangan mereka
yaitu dunia yang konstan, abadi, tidak berubah. Sehubungan dengan hal ini, perlu dibedakan
antara metafisika Plato dan Aristoteles. Plato dan para filsuf sebelumnya jelas-jelas
berpegang pada pandangan bahwa alam memang tetap. Sedangkan Aristoteles memandang
“ kekonstanan “ alam ini secara lain. Aristoteles melihat bahwa dibeberapa tempat keadaan
alam memang memburuk. Tetapi ia segera berkata bahwa di tempat yang lain keadaan alam
sedang membaik. Konsep siklis ini memang tampaknya memberi peluang pada kesadaran
baru akan alam yang sedang berubah (menuju kebinasaan). Tetapi karena alam pada
dasarnya bersifat siklis, antara mati dan tumbuh, maka tak perlu campur tangan manusia
dalam keseluruhan proses ini.
Namun, Hargrove juga melihat bahwa tidak sepenuhnya filsafat Yunani melawan pemikiran
etika lingkungan. Ada spot-spot dalam diri para filsuf yang bisa digunakan untuk
mengembangkan etika lingkungan. Etika lingkungan jelas harus berterima kasih kepada
Aristoteles yang menghargai observasi material. Pohon harus dilihat sebagai pohon dan
bukan cepat-cepat mencari substansi di baliknya. Dalam Meteorology, Aristoteles juga
16 | P a g e
sudah memperhatikan gejala perubahan lingkungan secara geologis , terutama dalam kasus
sungai Nil di Mesir.
Walaupun tidak banyak diangkat, Theophratus - murid Aristoteles - sudah
mengajukan pemikiran revolusioner tentang keberadaan organisme di bumi. Ia menggugat
konsep Atistoteles - gurunya - bahwa segala organisme mempunyai keterarahan pada
manusia. Menurut Theophratus setiap organisme mempunyai telos tersendiri. Pandangan
Theophratus ini menjadi dasar bagi etika lingkungan bahwa manusia bukanlah Tuhan atas
segala ciptaan, ia hanyalah bagian dari sebuah komunitas kehidupan.
5.2 Tantangan Filsafat Modern
Sehubungan dengan Alam, problem filsafat modern bukanlah ‘ apakah alam itu ada
(metafisik) ‘ tetapi bagaimana kita mengetahui alam (epsitemologis). Dalam hal ini,
pemikiran Rene Descartes perlu dikedepankan. Descartes melihat bahwa dunia mempunyai
sifat korporeal/fisis dan inkorporeal/mental. Keduanya diciptakan Tuhan sebagai created
substance yang memiliki dua sifat: tidak permanen sehinga dapat rusak dan tidak dapat
berinteraksi satu sama lain. Ini menyebabkan penyelenggaraan ilahi terus dibutuhkan dari
saat ke saat untuk memecahkan masalah dunia.
Tampaknya Descartes dapat menjadi batu pijakan bagi environmentalist karena
paham alam yang dapat rusak menuntut suatu pemeliharaan dari manusia. Tetapi
konsepnya tentang Tuhan yang terus berkarya dan menyelesaikan masalah-masalah dunia,
membuat pelestarian alam seakan-akan berada di luar kontrol manusia. Oleh karena itu ,
bagi environmentalist sisi teologis teori Descartes ini cenderung ditinggalkan.
Di Inggris muncul kaum empiris – terutama Hume – yang menyatakan bahwa sensasi
dan indera sebagai kriteria bagi adanya sesuatu. Empirisme kemudian harus berhadapakan
dengan Kant yang membagi dunia menjadi numenal dan fenomenal. Menurut Hargrove,
idealisme Kant - yang berpengaruh pada Hegel - sebenarnya menunjukkan
kekurangpenghargaan terhadap dunia external. Baru G.E. Moore yang berani melawan Kant
dan Hegel dan merehabilitasi pentingnya dunia eksternal.
Perkembang ilmu alam ( science ) dalam modernitas jelas mempunyai dampak
besar. Pada awal modernitas, science justru lebih bersifat antiobservational, menekankan
17 | P a g e
prinsip-prinsip geometris dan bersifat reduksionis.1 Hume yang membagi obyek penelitian
dalam “ primary dan secondory property ” mempunyai pengaruh besar pada terpisahnya
nilai ( value ) dari fakta ( fact ). Nilai-nilai kemanusiaan dikategorikan pada secondary dan
bukan menjadi urusan ilmu alam yang lebih beroperasi pada primary property . Pemisahan
ini tampak tegas dalam kaum positivis logis pada awal abad ke duapuluhan. Ketika alam
hanya dilihat sebagai obyek penelitian dan mencari kegunaan-kegunaan yang ada di
dalamnya tanpa memperhitungkan nilai-nilai - baik dalam diri manusia atau dalam alam itu
sendiri - yang terjadi adalah kerusakan dan eksploitasi.
5.3 Menakar sumbangan filsafat pada Etika Lingkungan
Kaum environmentalist mengakui bahwa bahwa filsafat sejak Yunani sampai
Modern memang tidak banyak memberi dasar pada Etika Lingkungan, bahkan cenderung
berseberangan dalam pandangan terhadap alam. Dari skeptisisme terhadap realitas fisik
dan konsep alam yang tidak dapat rusak jelas bertabrakan dengan paham baru yang ingin
ditonjolkan oleh kaum environmentalist tentang dimensi estetis dari materi dan alam yang
sedang berubah. Filsafat sosial dan politispun tidak menyentuh sisi pelestarian alam ini,
misalnya pandangan John Locke tentang tanah yang mencapai puncak nilai guna ketika
digunakan oleh negara untuk kepentingannya.
Bagi Etika Lingkungan, tantangan tersebut tidak harus diartikan bahwa etika ini
telah kehilangan nilai filosofisnya karena tidak banyak didukung oleh tradisi pemikiran
sebelumnya. Justru, etika lingkungan ingin menunjukkan lubang besar dalam sejarah filsafat
yang tidak pernah digali dan direfleksikan. Lubang besar itu bagi kaum environmentalis
ditunjukan dalam sikap manusia yang merasa sebagai raja atas seluruh ekosistem yang
secara menyedihkan telah menyebabkan ekosistem pelan-pelan kehilangan nilai estetisnya,
dan melulu menjadi obyek kepentingan manusia. Di sinilah, Etika Lingkungan memberikan
sumbangannya dalam seluruh pemikiran filsafat.
6 PANDANGAN BARU TERHADAP ALAM Sebenarnya manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang
sembrono dan serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang
1 Tim Wartawan Kompas, Hutan Konservasi Dihabisi, Kompas, 5 Agustus 2001
18 | P a g e
adalah makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini,
seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan
ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke konstruktif. Akal
budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya, manusia memiliki
kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang bisa merusak alam tetapi
akal budi manusia juga mampu 'digiring' untuk menciptakan teknologi yang mendukung
kelestarian alam. Contohnya adalah adanya usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau
melakukan penghijauan di daerah kering, di Arab Saudi.
Kita hendaknya mengganti paradigma manusia sebagai sang penakluk komunitas
alam dengan paradigma manusia sebagai anggota dari komunitas alam. Dengan begitu
manusia mampu menghargai anggota lain di dalam komunitas ekosistem. Aldo Leopold
menyatakan bahwa “Sesuatu adalah benar jika hal itu menuju pada kesatuan, stabilitas dan
keindahan komunitas biotik. Adalah salah jika menuju ke arah lain”2
Salah satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses
terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus
lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak terbatas
terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia sekarang ini berada
dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang menjunjung tinggi keuntungan dan
mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam
memperlakukan alam. Perubahan itu adalah perubahan nilai, dari nilai hubungan manusia
dengan alam yang bersifat ekonomis ke nilai hubungan yang dilandasi oleh sikap
menghargai alam sebagai bagian dari hidup manusia. Jadi berdasar pada nilai yang tidak
melulu dan hanya berorientasi keuntungan manusia. Maka diharapkan ada usaha untuk
menemukan suatu sistem ekomomi baru yang sungguh menghargai “yang lemah”, yang
nampaknya tak berperan dalam kehidupan di dunia ini.
2 VanDeVeer, Donald dan Pierce Christine, People, Penguins, and Plastic Trees, Wadsworth Publishing Company, Belmont, California, 1986
19 | P a g e
Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan spesies-spesies yang diperlukan
untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan,
binatang dari yang paling kecil hingga yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-
jaring rantai makanan. Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini.
Semuanya membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh
disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh mereka tanpa
perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
Ada beberapa pemikir yang menyatakan bahwa hanya mereka yang bertindak sesuai
kewajibanlah yang mempunyai hak. Meskipun demikian anak cucu keturunan manusia yang
nantinya mendiami bumi ini, juga mempunyai hak atas alam ini sama dengan kita. Ketika
kita mengeksploitasi habis-habisan alam atas dalih memanfaatkan hak, sebenarnya kita
telah merebut hak mereka “yang belum terlahir di bumi sekarang ini”. Memang mereka
belum mampu melakukan suatu kewajiban, tapi kewajiban mereka nantinya adalah sama
yaitu menjaga alam bagi keturunan mereka.
Mahluk hidup seperti binatang dan tumbuhan juga mempunyai hak, meskipun
mereka tidak dapat bertindak yang berlandaskan kewajiban. Mereka ada dan tercipta untuk
kelestarian alam ini. Maka mereka juga mempunyai hak untuk hidup. Hak itu harus
dihormati berdasar prinsip nilai intrinsik yang menyatakan bahwa setiap entitas sebagai
anggota komunitas bumi bernilai. Dengan demikian, pembabatan hutan secara tidak
proporsional dan penggunaan binatang sebagai obyek eksperimen tidak dapat dibenarkan.
Permasalahan lingkungan sendiri tidak bisa dilepaskan dari kegiatan manusia yang disebut
teknik. Pengertian teknik adalah suatu cara membuat sesuatu. Teknik kemudian dipelajari
untuk tujuan tertentu dan dinamakan teknologi. Alat-alat yang dihasilkan teknik bisa
merupakan perpanjangan tubuh manusia atau bisa juga sarana untuk menemukan dan
menyimpan apa yang tidak didapatkan pada dirinya. Maka teknik adalah realisasi sekaligus
substitusi diri manusia. Masalahnya kemudian teknik itu mengandaikan ada sarana yang
dipakai, dan itu adalah alam. Penggunaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia
dibedakan dalam dua sifat : eksploitatif dan konstruktif. Eksploitatif maksudnya manusia
20 | P a g e
mengambil segala sesuatu dari alam tanpa mengganti atau mengembalikannya ke alam.
Sedangkan konstruktif adalah pengambilan hasil alam dengan memperhitungkan
kelestariannya, maka harus diikuti dengan tindakan memperbarui.
Susahnya masalah ini dipecahkan adalah karena eksploitasi ini diorganisasi dan dipakai
bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup tapi untuk menumpuk harta demi kepentingan
egoisme. Sudah sepantasnya manusia sadar kalau semua akibat eksploitasi ini akan berbalik
dan merugikan diri manusia sendiri. Manusia harus berpikir secara jangka panjang dan
bukan semata-mata untuk dirinya sendiri. Maka perlu diperhitungkan bagaimana mengganti
sumber-sumber alam yang dipakai. Bagaimana menggunakan sumber alam agar sungguh
maksimal mencapai tujuan tanpa merusak keseimbangan alam. Mungkin kita harus kembali
pada pemilihan prioritas mana yang penting, mana yang sekadar berguna, mana yang
artifisial dan menyenangkan. Apakah perlu menebang pohon, apakah perlu mendirikan
pabrik yang berlimbah beracun, dsb.
Bab IV PENUTUP A. Kesimpulan
1 Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan
lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut
lingkungan dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap
terjaga.
2 Manusia adalah bagian dari lingkungan yang tidak bisa dipisahkan, maka diperlukan
menjaga, menyanyangi, dan melestarikan lingkungan. Karena lingkungan ini
diciptakan tidak hanya untuk manusia saja, tetapi seluruh komponen alam di dunia
ini.
3 Etika lingkungan disebut juga etika ekologi. Etika ekologi dibedakan menjadi etika
ekologi dangkal dan etika ekologi dalam.
4 Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan
bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, sedangkan etika
21 | P a g e
ekologi dalam adalah pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya
memahami lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan.
5 Teori lingkungan diantaranya adalah: Antroposentrisme, Biosentrisme,
Ekosentrisme, Zoosentrisme, dan hak asasi alam.
6 Prinsip-prinsip lingkungan adalah: sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab,
solidaritas, kasih saying dan kepedulian, tidak merugikan alam secara tidak perlu,
hidup sederhana dan selaras dengan alam, keadilan, demokrasi, dan integritas
moral.
Tiada kesempurnaan di dunia ini, kami sangat mengharapkan kritik maupun saran dari
makalah ini tujuannya hanyalah demi kesempurnaan. Dan semoga makalah yang telah kami
susun bermanfaat bagi kita semua, Amien......
22 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA Hargrove, Eugene C, Etika Lingkungan Dasar, Prentice Hall: New Jersey, 1989
Soeriaatmadja, R.E, Ilmu Lingkungan, Bandung: ITB, 2003
Herimanto, Winarto, Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/pengertian_etika_lingkungan.
http://www.findyou.com.pdf/2010/04/10/Etika_lingkungan_hidup.
Top Related