BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Batu saluran kemih (BSK) merupakan penyakit yang sering di Indonesia.
BSK adalah terbentuknya batu yang disebabkan oleh pengendapan substansi yang
terdapat dalam air kemih yang jumlahnya berlebihan atau karena faktor lain yang
mempengaruhi daya larut substansi. BSK dapat menyebabkan gejala nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis, dan dapat terbentuk pada
ginjal (nefrolithiasis), ureter (ureterolithiasis), vesica urinaria (vesicolithiasis), dan
uretra (urethrolithiasis) (Basuki, 2010).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor
intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik
yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya (Effendi & Markum,
2010; Hall, 2010).
Hidronefrosis adalah dilatasi piala dan perifer ginjal pada satu atau kedua
ginjal akibat adanya obstruksi pada aliran normal urin menyebabkan urin mengalir
balik sehingga tekanan di ginjal meningkat. BSK pada ginjal (nefrolithiasis)
merupakan faktor pencetus awal terjadinya hidronefrosis. Dimana nefrolithiasis
dapat menimbulkan obstruksi aliran kemih proksimal terhadap kandung kemih
yang dapat mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelviks ginjal
1
dan ureter sehingga mengakibatkan absorbsi hebat pada parenkim ginjal (Hall,
2010).
BSK dapat menyerang penduduk di seluruh dunia dan tidak terkecuali
penduduk di Indonesia. Di Indonesia penyakit batu saluran kemih masih
menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di klinik urologi. Berdasarkan data
dalam negeri yang pernah dipublikasi, didapatkan peningkatan jumlah penderita
nefrolithiasis yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari
tahun ke tahun, mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada tahun
2002. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan mulai tersedianya alat pemecah
batu ginjal non-invasif ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) yang
secara total mencakup 86% dari seluruh tindakan (ESWL, PCNL, dan operasi
terbuka). Hardjoeno dkk. (1977–1979) di Makassar menemukan 297 penderita
BSK. Rahardjo dkk. (1979–1980) di Jakarta menemukan 245 penderita BSK. Puji
Rahardjo dari RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo menyatakan penyakit BSK yang
diderita penduduk Indonesia sekitar 0,5% dengan perkiraan kenaikan penderita
sekitar 530 orang penderita BSK pertahun (Effendi & Markum, 2010). BSK
merupakan salah satu dari tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping
infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna. BSK sering
dipermasalahkan baik dari segi kejadian (insidens), etiologi, patogenesis maupun
dari segi pengobatan (Hall, 2010). Berdasarkan hal tesebut, maka penulis tertarik
untuk membahas tentang laporan kasus mengenai seorang pasien BSK di bangsal
bedah RSUD Ahmad Yani Metro.
2
BAB II ISI
2.1 Definisi
Batu Saluran Kemih (BSK) adalah penyakit dimana didapatkan masa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih baik saluran kemih atas
(ginjal dan ureter) dan saluran kemih bawah (kandung kemih dan uretra), yang
dapat menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih dan infeksi.
Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung
kemih (batu kandung kemih). Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein.
BSK dapat berukuran dari sekecil pasir hingga sebesar buah anggur. Batu
yang berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan gejala dan biasanya dapat
keluar bersama dengan urine ketika berkemih. Batu yang berada di saluran kemih
atas (ginjal dan ureter) menimbulkan kolik dan jika batu berada di saluran kemih
bagian bawah (kandung kemih dan uretra) dapat menghambat buang air kecil.
Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis dapat
menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat di daerah
antara tulang rusuk dan tulang pinggang yang menjalar ke perut juga daerah
kemaluan dan paha sebelah dalam). Hal ini disebabkan karena adanya respon
ureter terhadap batu tersebut, dimana ureter akan berkontraksi yang dapat
menimbulkan rasa nyeri kram yang hebat.
3
2.2 Sistem Kemih
Sistem kemih (urinearia) adalah suatu sistem tempat terjadinya proses
penyaringan darah dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap
zat-zat yang masih di pergunakan oleh tubuh. Zat- zat yang tidak di pergunakan
oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urine (air kemih).20 Sistem
kemih terdiri atas saluran kemih atas (sepasang ginjal dan ureter), dan saluran
kemih bawah (satu kandung kemih dan uretra).21
Gambar sistem saluran kemih pada manusia dapat dilihat pada gambar berikut:
2.3 Penyebab Pembentukan Batu Saluran Kemih
Penyebab pasti pembentukan BSK belum diketahui, oleh karena banyak
faktor yang dilibatkannya, sampai sekarang banyak teori dan faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan BSK yaitu :
a. Teori Fisiko Kimiawi
Prinsip dari teori ini adalah terbentuknya BSK karena adanya proses kimia, fisika
maupun gabungan fisiko kimiawi. Dari hal tersebut diketahui bahwa terjadinya
batu sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu di saluran kemih.
Berdasarkan faktor fisiko kimiawi dikenal teori pembentukan batu, yaitu:
1. Teori Supersaturasi
Supersaturasi air kemih dengan garam-garam pembentuk batu
merupakan dasar terpenting dan merupakan syarat terjadinya pengendapan.
Apabila kelarutan suatu produk tinggi dibandingkan titik endapannya maka
terjadi supersaturasi sehingga menimbulkan terbentuknya kristal dan pada
akhirnya akan terbentuk batu.
4
Supersaturasi dan kristalisasi dapat terjadi apabila ada penambahan
suatu bahan yang dapat mengkristal di dalam air dengan pH dan suhu tertentu
yang suatu saat akan terjadi kejenuhan dan terbentuklah kristal. Tingkat
saturasi dalam air kemih tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah bahan
pembentuk BSK yang larut, tetapi juga oleh kekuatan ion, pembentukan
kompleks dan pH air kemih.
2. Teori Matrik
Di dalam air kemih terdapat protein yang berasal dari pemecahan
mitokondria sel tubulus renalis yang berbentuk laba-laba. Kristal batu oksalat
maupun kalsium fosfat akan menempel pada anyaman tersebut dan berada di
sela-sela anyaman sehingga terbentuk batu. Benang seperti laba-laba terdiri
dari protein 65%, heksana 10%, heksosamin 2-5% sisanya air. Pada benang
menempel kristal batu yang seiring waktu batu akan semakin membesar.
Matriks tersebut merupakan bahan yang merangsang timbulnya batu.
3. Teori Tidak Adanya Inhibitor
Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu organik dan anorganik. Pada inhibitor
organik terdapat bahan yang sering terdapat dalam proses penghambat
terjadinya batu yaitu asam sitrat, nefrokalsin, dan tamma-horsefall
glikoprotein sedangkan yang jarang terdapat adalah gliko-samin glikans dan
uropontin.
Pada inhibitor anorganik terdapat bahan pirofosfat dan Zinc. Inhibitor
yang paling kuat adalah sitrat, karena sitrat akan bereaksi dengan kalsium
membentuk kalsium sitrat yang dapat larut dalam air. Inhibitor mencegah
5
terbentuknya kristal kalsium oksalat dan mencegah perlengketan kristal
kalsium oksalat pada membaran tubulus. Sitrat terdapat pada hampir semua
buah-buahan tetapi kadar tertinggi pada jeruk. Hal tersebut yang dapat
menjelaskan mengapa pada sebagian individu terjadi pembentukan BSK,
sedangkan pada individu lain tidak, meskipun sama-sama terjadi
supersanturasi.
4. Teori Epitaksi
Pada teori ini dikatakan bahwa kristal dapat menempel pada kristal
lain yang berbeda sehingga akan cepat membesar dan menjadi batu
campuran. Keadaan ini disebut nukleasi heterogen dan merupakan kasus yang
paling sering yaitu kristal kalsium oksalat yang menempel pada kristal asam
urat yang ada.
5. Teori Kombinasi
Banyak ahli berpendapat bahwa BSK terbentuk berdasarkan campuran
dari beberapa teori yang ada.
6. Teori Infeksi
Teori terbentuknya BSK juga dapat terjadi karena adanya infeksi dari
kuman tertentu. Pengaruh infeksi pada pembentukan BSK adalah teori
terbentuknya batu survit dipengaruhi oleh pH air kemih > 7 dan terjadinya
reaksi sintesis ammonium dengan molekul magnesium dan fosfat sehingga
terbentuk magnesium ammonium fosfat (batu survit) misalnya saja pada
bakteri pemecah urea yang menghasilkan urease. Bakteri yang menghasilkan
6
urease yaitu Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter, Pseudomonas,
dan Staphiloccocus.
Teori pengaruh infeksi lainnya adalah teori nano bakteria dimana
penyebab pembentukan BSK adalah bakteri berukuran kecil dengan diameter
50-200 nanometer yang hidup dalam darah, ginjal dan air kemih. Bakteri ini
tergolong gram negatif dan sensitif terhadap tetrasiklin. Dimana dinding pada
bakteri tersebut dapat mengeras membentuk cangkang kalsium kristal
karbonat apatit dan membentuk inti batu, kemudian kristal kalsium oksalat
akan menempel yang lama kelamaan akan membesar. Dilaporkan bahwa 90%
penderita BSK mengandung nano bakteria.
Pada penderita BSK sering didapat penyakit hipertensi dan kadar kolesterol darah
yang tinggi, maka Stoller mengajukan teori vaskuler untuk terjadinya BSK, yaitu :
1. Hipertensi
Pada penderita hipertensi 83% mempunyai perkapuran ginjal sedangkan pada
orang yang tidak hipertensi yang mempunyai perkapuran ginjal sebanyak 52%.
Hal ini disebabkan aliran darah pada papilla ginjal berbelok 180˚ dan aliran darah
berubah dari aliran laminer menjadi turbulensi. Pada penderita hipertensi aliran
turbelen tersebut berakibat terjadinya pengendapan ion-ion kalsium papilla
(Ranall’s plaque) disebut juga perkapuran ginjal yang dapat berubah menjadi
batu.
7
2. Kolesterol
Adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah akan disekresi melalui
glomerulus ginjal dan tercampur didalam air kemih. Adanya butiran kolesterol
tersebut akan merangsang agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium
fosfat sehingga terbentuk batu yang bermanifestasi klinis (teori epitaksi).
Menurut Hardjoeno (2011), diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni
supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun
batu terdapat dalam jumlah yang besar dalam urine, yaitu ketika volume urine dan
kimia urine yang menekan pembentukan menurun. Pada proses nukleasi, natrium
hidrogen urat, asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan
oksalat kemudian merekat (adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu.
Proses ini dinamakan nukleasi heterogen. Analisis batu yang memadai akan
membantu memahami mekanisme patogenesis BSK dan merupakan tahap awal
dalam penilaian dan awal terapi pada penderita BSK.
2.4 Gejala – Gejala Batu Saluran Kemih
Manisfestasi klinik adanya batu dalam saluran kemih bergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi biasanya
disertai gejala demam, menggigil, dan dysuria. Namun, beberapa batu jika ada
gejala tetapi hanya sedikit dan secara perlahan akan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal, dan gejala lainnya adalah nyeri yang luar biasa ( kolik).
8
Gejala klinis yang dapat dirasakan yaitu :
a. Rasa Nyeri
Lokasi nyeri tergantung dari letak batu. Rasa nyeri yang berulang (kolik)
tergantung dari lokasi batu. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri
tekan diseluruh area kostovertebratal, tidak jarang disertai mual dan muntah, maka
pasien tersebut sedang mengalami kolik ginjal. Batu yang berada di ureter dapat
menyebabkan nyeri yang luar biasa, akut, dan kolik yang menyebar ke paha dan
genitalia. Pasien sering ingin merasa berkemih, namun hanya sedikit urine yang
keluar, dan biasanya air kemih disertai dengan darah, maka pasien tersebut
mengalami kolik ureter.
b. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang beredar di dalam darah sehingga
menyebabkan suhu badan meningkat melebihi batas normal. Gejala ini disertai
jantung berdebar, tekanan darah rendah, dan pelebaran pembuluh darah di kulit.
c. Infeksi
BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder akibat
obstruksi dan statis di proksimal dari sumbatan. Infeksi yang terjadi di saluran
kemih karena kuman Proteus spp, Klebsiella, Serratia, Enterobakter,
Pseudomonas, dan Staphiloccocus.
d. Hematuria dan kristaluria
Terdapatnya sel darah merah bersama dengan air kemih (hematuria) dan air
kemih yang berpasir (kristaluria) dapat membantu diagnosis adanya penyakit
BSK.
9
e. Mual dan muntah
Obstruksi saluran kemih bagian atas (ginjal dan ureter) seringkali
menyebabkan mual dan muntah.
2.5 Diagnosis Batu Saluran Kemih Klinis
Pasien dengan kolik ginjal biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah dan
demam, serta mungkin mempunyai riwayat penyakit batu. Diagnosis klinis
haruslah ditunjang oleh pemeriksaan pencitraan yang sesuai. Hal ini akan
membantu memutuskan apakah cukup dengan terapi konservatif atau dibutuhkan
terapi lain.
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai
mempunyai batu. Hampir semua batu saluran kemih (98%) merupakan batu
radioopak. Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan melalui radiografi.
Pemeriksaan rutin meliputi foto abdomen dari ginjal, ureter dan kandung
kemih (KUB) ditambah USG atau excretory pyelography (Intravenous
Pyelography, IVP). Excretory pyelography tidak boleh dilakukan pada pasien
dengan alergi media kontras, kreatinin serum > 2 mg/dL, pengobatan
metformin, dan myelomatosis.6 Pemeriksaan radiologi khusus yang dapat
dilakukan meliputi :
Retrograde atau antegrade pyelography
Spiral (helical) unenhanced computed tomography (CT)
Scintigraphy
10
b. CT Scan tanpa kontras (unenhanced)
merupakan pemeriksaan terbaik untuk diagnosis nyeri pinggang akut,
sensitivitasnya mencapai 100% dan spesifisitas 98%. CT Scan tanpa kontras
tersedia luas di negara-negara maju dan juga dapat memberikan informasi
mengenai abnormalitas di luar saluran kemih. IVP memiliki sensitivitas 64%
dan spesifisitas 92%. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu cukup lama dan
harus dilakukan dengan hati-hati karena kemungkinan alergi terhadap kontras.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin meliputi: sedimen urin / tes dipstik
untuk mengetahui sel eritrosit, lekosit, bakteri (nitrit), dan pH urin. Untuk
mengetahui fungsi ginjal, diperiksa kreatinin serum. Pada keadaan demam,
sebaiknya diperiksa C-reactive protein, hitung leukosit sel B, dan kultur urin.
Pada keadaan muntah, sebaiknya diperiksa natrium dan kalium darah. Untuk
mencari faktor risiko metabolik, sebaiknya diperiksa kadar kalsium dan asam
urat darah.6 Panduan pemeriksaan laboratorium selengkapnya dapat dilihat
pada Pedoman Tatalaksana Urolitiasis dari European Association of Urology.
2.6 Penatalaksaan
2.6.1 Terapi Medikamentosa
1. Hiperkalsiuri idiopatik
11
Pengobatan dengan diureti tiasid 12,5 mg – 25 mg akan mengurangi
ekskresi kalsium. Hipovolemi akibat tiasid akan meningkatkan reabsorbsi
Natrium dan sekaligus Kalsium di tubulus proksimal.
2. Hiperurikosuri
Asam urat dapat berperan sebagai nidus terhadap batu kalsium.
Pemberian allopurinol 100mg – 300 mg / hari dapat mengurangi
kekambuhan batru kalsium. Bila pH urin kurang dari 6, dapat dilakukan
alkali terapi untuk mengubah batu urat yang tidak larut menjadi larut
dengan memberi Kalium Sitrat 60 meq – 80 meq / hari
3. Hipositraturi
Pasien dengan batu kalsium idiopatik plus hipsitraturi diberi
pengobatan dengan Kalium sitrat 30 meq – 80 meq / hari. Sitrat dapat
menghambat terbentuknya batu kalsium dalam saluran kemih. Dengan
memberikan kalium sitrat, kadar sitrat dalam urin meningkat dan
menghambat terbentuknya batu baru.
4. Tanpa kelainan metabolik yang jelas.
Sebagian kecil pasien dengan batu kalsium tidak dapat
terindentifikasi apakah ada kelainan metabolik seperti hiperurikosuri,
hipositraturi, hiperkalsiuri. Untuk kelompok ini pemberian tiasid atau
sitrat dapat dilakukan.
5. Batu kalsium fosfat.
Pasien dengan batu kalsium fosfat, pengobatan sama seperti pasien
dengan kalsium oksalat pada umumnya. Kadang kadang pasien dengan
12
RTA tipe‐1 dapat terjadi batu kalsium fosfat, pada kelompok ini dapat
diberikan kalium sitrat.
Terapi medikamentosa lainnya
Kolik diatasi dengan injeksi spasmolitik : atropin 0.5 - 1 mg i.m untuk
dewasa.
Bila terdapat infeksi perlu diberikan antibiotik : kotrimoksazol 2 x 2 tablet
atau amoksisilin 500 mg peroral 3 x sehari untuk dewasa. Atau golongan
lain yang bisa dipakai.
Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi,
biasanya tidak perlu diobati.
Minum banyak cairan akan meningkatkan pembentukan urin dan
membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak
perlu lagi dilakukan pengobatan segera.
Batu di dalam pelvis renalis atau bagian ureter paling atas yang berukuran
1 sentimeter atau kurang seringkali bisa dipecahkan oleh gelombang
ultrasonik(Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy, ESWL). Pecahan batu
selanjutnya akan dibuang dalam urin.
Segera rujuk ke rumah sakit jika terdapat indikasi operasi seperti :
- Batu > 5 mm
13
- Obstruksi sedang / berat
- Batu di saluran kemih proksimal
- Infeksi berulang
- Selama pengamatan batu tidak dapat turun
2.6.2 Penatalaksanaan Spesifik
1. Batu kalsium
Untuk Absorptive hypercalciuria tipe I dapat diberikan diuretic tiazid 25-
50 mg untuk menurunkan kadar kalsium dalam urin sampai 150 mg/hari. Hal ini
terjadi melalui turunnya volume urin yang mengakibatkan kompensasi
meningkatnya reabsorpsi natrium dan kalsium di tubulus proksimal. Alternatif
lain yang dapat diberikan yaitu chlorthalidone 25-50 mg, indapamide 1,25-2,5
mg/hari (Stoller, 2008). Pada AH tipe II, dilakukan restriksi diet kalsium 600
mg/hari. Restriksi diet natrium juga penting untuk menurunkan hiperkalsiuria.
Tiazid dan suplemen kalium sitrat juga dapat diberikan apabila penatalaksanaan
konservatif tidak efektif. Pada AH tipe III, diberikan orthophospate yang akan
menurunkan kadar 1,25(OH)2D3 dan meningkatkan kadar inhibitor dalam urin.
Tiazid juga diberikan pada renal hiperkalsiuria untuk meningkatkan reabsorpsi
kalsium di tubulus. Hal ini akan menormalkan kadar kalsium dalam serum dan
menurunkan kadar hormon paratiroid. Diet natrium juga dikurangi menjadi 2
g/hari dan menjaga natrium urin dibawah 100 mEq/hari. Pada hiperoksalouria
primer, pyridoxine dapat menurunkan produksi oksalat endogen. Dosis pyridoxine
yang dianjurkan adalah 100-800 mg/hari. Orthophospate oral juga dapat diberikan
14
dalam dosis 4 kali sehari. Magnesium oral, suplemen kalium sitrat dan konsumsi
cairan yang ditambah dapat membantu terapi (Turk et al, 2013) Pasien dengan
hipositraturia diberikan kalium sitrat untuk
meningkatkan pH intraselular dan produksi sitrat. Selain kalium sitrat, konsumsi
jus lemon setiap hari yang dilarutkan dalam 2 liter air akan meningkatkan kadar
sitrat dalam urin (Stoller, 2010).
2. Batu asam urat
Untuk pasien dengan batu asam urat, penatalaksanaan harus dilakukan
adalah penatalaksanaan konservatif dibantu dengan pemberian obat-obatan.
Pemberian acetazolamide 250-500 mg pada malam hari akan berguna untuk
mengontrol pH urin. Allupurinol diberikan apabila kadar asam urat dalam darah
diatas 800 mg/hari dan pH urin diatas 6,5. Suplementasi kalium sitrat berguna
untuk menjaga pH urin tetap bersifat alkali sekitar 6,5. Kadar pH dalam urin harus
tetap dijaga agar tidak naik sampai keatas 7, untuk mengurangi resiko
terbentuknya batu kalsium fosfat (Pearle et al, 2012).
3. Batu sistin
Pasien dengan batu sistin harus meningkatkan konsumsi cairan agar
mendapatkan urin sekitar 3,5 liter setiap harinya untuk disolusi maksimal dari
batu sistin. Alkalinisasi urin menggunakan kalium sitrat atau sodium bikarbonat
digunakan untuk menjaga pH urin 7,5-8,5. Urin yang alkali akan meningkatkan
larutnya sistin dalam urin (EAU Guideline, 2013). Bila pengobatan diatas tidak
berhasil dan kadar sistin dalam urin diatas 3 mmol per hari, maka dapat diberikan
15
tiopronin. Dosis tiopronin yang digunakan adalah 250 mg per hari. Tiopronin
dianggap lebih baik dari pendahulunya yaitu D-penicillamine yang dianggap
menimbulkan banyak efek samping (EAU Guideline, 2013).
2.6.3 Modalitas terapi
1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
Tehnik PCNL dilakukan melalui akses pada lower calyx, selanjutnya
dilakukan dilatasi menggunakan balloon dilator atau Amplatz dilator dengan
bantuan fluoroscopy dan batu dihancurkan menggunakan elektrohidrolik,
ultrasonic atau litotripsi laser (Pearle et al, 2012) Indikasi melakukan PCNL
adalah batu staghorn, batu ginjal dengan ukuran diatas 3 cm, batu sistin, adanya
abnormalitas ginjal dan saluran kemih bagian atas, kegagalan pada ESWL dan
uretroscpy, dan batu pada ginjal hasil transplantasi. PCNL tidak dapat dilakukan
pada kondisi perdarahan, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol, dan faktor-
faktor yang mengakibatkan PCNL tidak optimal seperti obesitas dan
splenomegaly (Stoller, 2010)
2. Uretroscopy (URS)
URS merupakan baku emas untuk penatalaksanaan batu ureter tengah dan
distal. Penggunaan uretroskop dengan kaliber yang kecil dan balloon dilatation
meningkatkan stone-free rate secara dramatis. Terdapat variasi pada lithotries
yang dapat ditempatkan pada uretroscope termasuk elektrohidrolik, probe
ultrasonic, laser dan system pneumatic seperti Swiss lithoclast. Lithotrites
elektrohidrolik memiliki tenaga 120 volt yang dapat menghasilkan gelombang
kejut. Lithotrites ultrasonik memiliki sumber energi piezoceramic yang dapat
16
mengubah energi listrik menjadi gelombang ultrasonik 25.000 Hz, sehingga dapat
efektik mengakibatkan fragmentasi pada batu tersebut (Stoller, 2010) URS efektif
digunakan pada batu ureter dengan tingkat keberhasilan 98-99% pada batu ureter
distal, 51-97% pada batu mid ureter dan 58-88% pada batu ureter atas. URS
memiliki komplikasi seperti abrasi mukosa, perforasi ureter, dan striktur ureter
(Stoller, 2010).
2.6.4 Penatalaksanaan Medis Batu Saluran Kemih
Tujuan dasar penatalaksanaan medis BSK adalah untuk menghilangkan
batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi,
dan mengurangi obstruksi yang terjadi. Batu dapat dikeluarkan dengan cara
medikamentosa, pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa
operasi, dan pembedahan terbuka.
2.6.5 Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu
dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar tanpa
intervensi medis.3 Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan diet
makanan tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu ( misalnya
kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan
ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien BSK harus minum paling sedikit 8 gelas
air sehari.
17
2.6.6 Pengobatan Medik Selektif dengan Pemberian Obat-obatan
Analgesia dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat yaitu
petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac dan
naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. Propantelin dapat
digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotik apabila terdapat
infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi
sekunder. Setelah batu dikeluarkan, BSK dapat dianalisis untuk mengetahui
komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan untuk mencegah atau menghambat
pembentukan batu berikutnya.
18
BAB III
KESIMPULAN
Batu saluran kemih merupakan agregat polycrystalline yang terbentuk dari
berbagai macam kristaloid dan matriks organik. Terbentuknya batu dipengaruhi
oleh saturasi urin. Saturasi urin bergantung pada pH urin, ion-ion, konsentrasi zat
terlarut, dan lain lain. Hubungan antara konsentrasi zat terlarut dengan
terbentuknya batu sangat jelas. semakin besar konsentrasi ion, maka kemungkinan
ion akan mengendap akan semakin tinggi. Apabila konsentrasi ion meningkat, ion
kan mencapai suatu titik yang disebut solubility product (Ksp). Bila konsentrasi
ion meningkat diatas titik ini, maka akan dimulai proses perkembangan kristal dan
nukleasi.
Manisfestasi klinik adanya batu dalam saluran kemih bergantung pada
adanya obstruksi, infeksi, dan edema. Ketika batu menghambat aliran urine,
terjadi obstruksi yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi biasanya
disertai gejala demam, menggigil, dan dysuria. Namun, beberapa batu jika ada
gejala tetapi hanya sedikit dan secara perlahan akan merusak unit fungsional
(nefron) ginjal, dan gejala lainnya adalah nyeri yang luar biasa ( kolik).
Penatalaksaan batu saluran kencing adalah dengan
1. Hiperkalsiuri idiopatik
19
Pengobatan dengan diureti tiasid 12,5 mg – 25 mg akan mengurangi
ekskresi kalsium. Hipovolemi akibat tiasid akan meningkatkan reabsorbsi
Natrium dan sekaligus Kalsium di tubulus proksimal.
2. Hiperurikosuri
Asam urat dapat berperan sebagai nidus terhadap batu kalsium.
Pemberian allopurinol 100mg – 300 mg / hari dapat mengurangi
kekambuhan batru kalsium. Bila pH urin kurang dari 6, dapat dilakukan
alkali terapi untuk mengubah batu urat yang tidak larut menjadi larut
dengan memberi Kalium Sitrat 60 meq – 80 meq / hari
3. Hipositraturi
Pasien dengan batu kalsium idiopatik plus hipsitraturi diberi
pengobatan dengan Kalium sitrat 30 meq – 80 meq / hari. Sitrat dapat
menghambat terbentuknya batu kalsium dalam saluran kemih. Dengan
memberikan kalium sitrat, kadar sitrat dalam urin meningkat dan
menghambat terbentuknya batu baru.
4. Tanpa kelainan metabolik yang jelas.
Sebagian kecil pasien dengan batu kalsium tidak dapat
terindentifikasi apakah ada kelainan metabolik seperti hiperurikosuri,
hipositraturi, hiperkalsiuri. Untuk kelompok ini pemberian tiasid atau
sitrat dapat dilakukan.
5. Batu kalsium fosfat.
Pasien dengan batu kalsium fosfat, pengobatan sama seperti pasien
dengan kalsium oksalat pada umumnya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Bahdarsyam. 2011. Spektrum Bakteriologik Pada Berbagai Jenis Batu
Saluran Kemih Bagian Atas.. Diunggah pada 14 Maret 2012.
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan
Sistem Perkemihan. Salemba Medika: Jakarta.
Putra, Wayan Giri . 2012. Infeksi Saluran Kencing Diagnosis dan
Penatalaksanaan
Lyrawati, Diana . 2010. Kegawatdaruratan Saluran Kemih
Thomas, Kevin.2010. Terapi Farmakologis Saluran Kencing
Nahdi, TF. 2013. nefrolithiasis dan hidronefrosis sinistra dengan infeksi
saluran kemih atas
Matlaga, BR. 2013. How Do We Manage Infected, Obstructed
Hydronephrosis. Journal European Urology. 64:93–96.
Hollingsworth JM, Rogers MA, Kaufman SR. 2010. Medical therapy to
facilitate urinary stone passage: a meta-analysis. Journal Lancet. 368:1171–
1179.
Pearle MS, Calhoun EA, Curhan GC. 2012. Urologic diseases in America
project: urolithiasis. Journal Urology. 173:848–857.
Dellabella M.,Milanese G., Muzzonigro G. Efficacy of tamsulosin in the
medical management of juxtavesical ureteral stones. J Urol 2010, 170(6 Pt
1):2202‐5.
21