TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI:
MITOS, RITUS, DAN FUNGSI
Skripsi
Tugas Akhir
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Nugraha Dhayu Murti
NIM: 144114009
Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Januari 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penelitian ini saya persembahkan kepada orang dan keluarga tercinta:
1. Ayah saya Bapak Semidi Martha S.Pd
2. Ibu saya Siti Suparyani
3. Keluarga besar Hadi Suwarno
4. Keluarga besar Marto Kariyo
5. Keluarga besar Pawiro Suwignyo
6. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
KATA PENGANTAR
Puji Sukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat
dan perlindunganNya atas terselesaikanya skripsi yang berjudul " Tradisi Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri: Mitos, Ritus, dan Fungsi".
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi dan meraih gelar Sarjana Sastra.
Skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan dan dukungan dari bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu.
Pertama saya mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan penyertaanya penelitian ini dapat terselesaikan. Kedua adalah orang tua saya Semidi Martha,
S.Pd., dan Siti Suparani, yang selalu memberikan semangat untuk kuliah, memberikan dorongan
dan dukungan material dan moral, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ketiga Dr. Yoseph
Yapi Taum, M.Hum Selaku dosen pembimbing I yang telah membantu, mendampingi,
memberikan arahan kepada penulis, sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan
lancar. Keempat Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang
membantu memberikan masukan kepada penulis. Serta Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum
selaku dosen telah berkenan memberikan masukan dan koreksi kepada penulis.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah bersedia membantu
diantaranya Budhiasih Suparno B.A, selaku narasumber utama dalam penelitian Tuminah,
Suparmi, selaku narasumber penelitian Hadi Wibowo, S.E, Dasuki Triwidodo, selaku
narasumber penelitian.
Dosen-dosen Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma yang telah berkenan
mendampingi dan membimbing penulis selama menempuh masa studi Alm Dr. P. Ari Subagyo,
M.Hum., Alm. Drs. Hery Antono, M.Hum.,Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Drs. Sony Christian
Sudarsono S.S. M.A., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A. dan segenap dosen mata
kuliah yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Segenap staf dan karyawan Fakultas Sastra,
Universitas Sanata Dharma. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh
mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2014 yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah
banyak memberikan semangat, ide, nasihat, dan koreksi kepada penulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Abstrak
Murti, Nugraha Dhayu. 2018. Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri: Mitos, Ritus, dan
Fungsi. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma.
Skripsi ini membahas tradisi bekti pertiwi pisungsung jaladri: mitos, ritus, dan fungsi.
Tradisi ini berasal dari Dusun Mancingan Parangtritis Bantul. Penelitian ini merupakan bidang
kajian budaya dengan pendekatan folklor. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan
struktur aktansial mitos asal-usul Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, 2) mendeskripsikan ritus
atau rangkaian upacara pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri mulai dari awal hingga
akhir 3) mendeskripsikan fungsi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Penelitian ini menggunakan teori folklor, aktan dari AJ Greimas, serta fungsi folklor yang
dikemukakan oleh William R Bascom. Untuk menerapkan teori folklor, digunakan metode
wawancara dan studi pustaka. Untuk menerapkan teori aktan dan fungsi folklor digunakan
metode studi pustaka .
Berdasarkan hasil wawancara dan studi pustaka, terdapat dua mitos asal-usul Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri yaitu, Keraton Segara Kidul dan Sri Sadana. Analisis mitos menggunakan
teori Aj Greimas dalam struktur aktansial dan fungsional adalah sebagai berikut. Berdasarkan
struktur aktansial cerita Keraton Segara Kidul, tokoh Retno Suwidi(subjek)berhasil mendapatkan
hidup abadi (objek) berkat bantuan dewa (penolong). Retno Suwidi berubah nama menjadi
Kanjeng Ratu Kidul dan berhasil mengayomi masyarakat di Pulau Jawa. Berdasarkan struktur
fungsional, alur cerita Keraton Segara Kidul berhasil mencapai tahap akhir. Retno Suwidi
akhirnya berhasil menjadi hidup abadi untuk mengayomi masyarakat (penerima). Berdasarkan
struktur aktansial Sri Sadana tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana (subjek) berhasil menjadi
pengayom (obyek) meskipun harus menghadapi Prabu Sri Mahapugung dan raksasa (penantang).
Berdasarkan struktur fungsional, alur cerita Sri Sadana mencapai tahap akhir. Tokoh Sri dan
Sadana berhasil menjadi dewa pengayom masyarakat (penerima).
Ritus Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri terdiri dari berbagai rangkaian acara mulai dari
bersih-bersih lingkungan, doa bersama, lomba kesenian, kirab, labuhan, dan ditutup dengan
pagelaran wayang kulit. Fungsi ritus tersebut adalah 1) sebagai sistem proyeksi, yaitu keinginan
untuk menghormati leluhur; 2) legitimasi, yaitu kontak dengan Ratu Kidul, agraris, pelestarian
budaya;3) alat pemaksa,yaitu mematuhi peraturan adat; 4) sarana pendidikan, yaitu pembelajaran
budaya dan sejarah meningkatkan toleransi, dan kerukunan warga.
Kata Kunci: mitos, aktan, fungsional, ritus, fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Abstract
Murti, Nugraha Dhayu . 2018. The Tradition of Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri : Rite, Myth,
and Function. Thesis. Study Program of Indonesia Literary, Faculty of Literary. Sanata
Dharma University.
This thesis discusses the tradition of bekti pertiwi pisungsung jaladri: myth, rite and function.
This tradition originated from Dusun Mancingan Parangtritis Bantul. The purpose of this study is
the field of cultural studies with the approach of folklore.This research is 1) to describe the
structure of aktansial myth of origin of Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, 2) to describe rite or
series of ceremony of Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri from beginning to end 3) to describe the
function of Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
This study uses the theory of folklore aktan from AJ Greimas, as well as the function of
folklor proposed by William R Bascom. To apply folklore theory, used method of interview and
literature study. To apply the theory of aktan and folklore function in the source of literature
study theory.
Based on the results of interviews and literature studies, there are two myths of the origin of
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri namely, Keraton Segara Kidul and Sri Sadana. The conclusion
of the theory of Aj Greimas's analysis is put forward in the functional and functional structures.
Based on the structure of story aktansial Kerara Segara Kidul figure Retno Suwidi (subject)
managed to get eternal life (object) thanks to the help of god (helper). Retno Suwidi changed its
name to Kanjeng Ratu Kidul and managed to protect people in Java Island. Based on the
functional structure, the storyline of Keraton Segara Kidul has reached the final stage. Retno
Suwidi finally succeded in becoming an immortal life to protect the society (the recipient). The
structure of aktan Sri Sadana figures Dewi Sri and Raden Sadana (subject) managed to become
pengayom (object) thoughh must face King Mahapugung and giant (challenger) King. Based on
the functional structure, the story of Sri Sadana reaches the final stage. The leaders of Sri and
Sadana succeeded in becoming the god of community protector (recipient).
Rite of Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri consists of various series of events ranging from
clean-up environment, prayer together, art competition, carnival, labuhan and closed with a
leather puppet show. The function of the rite is 1) as the projection system, namely the desire to
honor the ancestor; 2) Legitimacy, ie contact with the Queen of South, agrarian, cultural
preservation; 3) Coercion tools, which adhere to customary regulations; 4) education facilities,
namely cultural and historical learning, increase tolerance, and harmony of citizens.
Keywords: myth, aktan, functional, rite, function.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………………………. ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………………………… iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. vi
ABSTRAK ……………………………………………………………………………….. viii
ABSTRACT………………………………………………………………………………. ix
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………… x
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ……………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………. 5
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………………... 5
1.4 Manfaat Penelian …………………………………………………………………….. 6
1.5 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………………... 6
1.6 Landasan Teori ………………………………………………………………………. 9
1.6.1 Mitos Asal-Usul ……………………………………………………………….. 9
1.6.2 Ritus Kepercayaan …………………………………………………………….. 12
1.6.3 Fungsi Tradisi Lisan …………………………………………………………... 12
1.7 Metode Penelitian dan Teknik Penelitian …………………………………………… 13
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data …………………………………………………….. 14
1.7.2 Teknik Analisis Data …………………………………………………………... 14
1.7.3 Teknik Penyajian Data ……………………………………………………….... 14
1.8 Sistematika Penyajian ……………………………………………………………….... 15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
BAB II MITOS ASAL-USUL TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG
JALADRI ………………………………….......................................................... 16
2.1 Gambaran Masyarakat Dusun Mancingan Parangtritis Bantul ……………………. 16
2.2 Mitos Asal-Usul Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri ……………………………….. 18
2.2.1 Sejarah Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri …………………………………… 18
2.2.2 Mitos Keraton Segara Kidul …………………………………………………. 22
2.2.3 Mitos Sri Sadana ……………………………………………………………… 24
2.3 Analisis Mitos dalam Prespektif AJ Greimas ………………………………………... 33
2.3.1 Mitos Keraton Segara Kidul ………………………………………………….... 34
2.3.2 Mitos Sri Sadana ……………………………………………………………...... 36
2.4 Rangkuman ……………………………………………………………………………. 38
BAB III RITUS TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI …………….. 39
3.1 Persiapan Upacara …………………………………………………………………... 40
3.2 Pelaksanaan Upacara ……………………………………………………………….... 42
3.3 Kegiatan Sesudah Upacara ………………………………………………………….. 49
3.4 Rangkuman ………………………………………………………………………….. 49
BAB IV FUNGSI TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI …………... 52
4.1 Sistem Proyeksi …………………………………………………................................. 52
4.2 Legitimasi …………………………………………………………………………….. 54
4.3 Alat Pemaksa …………………………………………………………………………. 55
4.4 Sarana Pendidikan ……………………………………………………………………. 56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB V PENUTUP TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI …………… 58
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………… 58
5.2 Saran ……………………………………………………………………………………. 60
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………. 62
LAMPIRAN ......................................................................................................................... 64
1. Daftar Istilah …………………………………………………………………………… 64
2. Foto Dokumentasi ……………………………………………………………………… 66
3. Biografi Penulis ………………………………………………………………………... 72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural, yang terdiri atas suku,
bangsa, adat dan budaya. Masyarakat Jawa terutama yang tinggal di pedesaan mempercayai
adanya kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia. Sebagai
ungkapan kepercayaan asli masyarakat, kekuatan tersebut diwujudkan dalam roh yang tinggal
dalam tempat-tempat tertentu, hal ini diwujudkan melalui tradisi adat istiadat. Berdasarkan
pengalaman dengan kekuatan halus, masyarakat selalu berusaha untuk menjaga suatu hubungan
yang baik sehingga tidak terjadi konflik-konflik tertentu yang akan memberi pengaruh tidak baik
terhadap kehidupann manusia. Hal ini dapat dijelaskan bahwa masyarakat di satu pihak,
berhubungan dengan alam adikodrati, dan di pihak lain berhubungan dengan alam roh gaib
(Suseno, 1985: 85).
Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak zaman prasejarah, ketika nenek
moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya bernyawa
dan semua yang bergerak dianggap hidup, mempunyai kekuatan gaib, serta roh yang mempunyai
watak baik maupun jahat. Mereka membayangkan bahwa dari semua roh yang ada, tentu ada
kekuatan yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Untuk menghormati roh yang
dianggap sebagai nenek moyang, maka mereka memuja-mujanya dengan cara mengadakan
upacara adat atau selamatan guna menghindari hal-hal buruk yang tidak diinginkan (Herusatoto,
1984: 102).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Penelitian ini menggunakan teori folklor. Folklor adalah ilmu yang mencakup gagasan
tentang mitos dan ritus. Folklor adalah pengindonesiaan dari kata Inggris Folklore, yang berasal
dari dua kata folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik,
sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainya seperti warna
kulit yang sama, bentuk yang sama, mata pencarian yang sama, bahasa yang sama, dan agama
yang sama (Danandjaja, 1: 2002). Istilah folklore diperkenalkan oleh Wiliam John Thoms,
seorang ahli kebudayaan kuno (Antiquarian) Inggris, sebagai ganti istilah populer antiquities.
Terdapat lima ciri-ciri folklor, pertama pewarisnya dilakukan secara lisan dari generasi ke
generasi; kedua, disebarkan dalam bentuk standar atau relatif tetap di antara kolektif tertentu
dalam waktu yang cukup lama; ketiga, hadir dalam versi atau varian yang berbeda-beda;
keempat bentuknya cenderung berumus atau berpola; kelima, selalu ada kegunaan dalam
kehidupan bersama. Secara umum folklor merupakan budaya yang diwariskan turun- temurun
oleh leluhur pada masa dahulu baik yang disampaikan secara lisan maupun disertai dengan gerak
isyarat pembantu ataupun pengingat (Dananjaya, 19944:22).
Folklor menurut Jan Harild Brunvand yang, merupakan ahli folklor dari AS, dapat
digolongkan menjadi tiga kelompok besar. Pertama folklor lisan yaitu folklor yang bentuknya
memang murni lisan seperti logat, julukan, dan pangkat. Kedua, folklor lisan sebagian, yaitu
folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan seperti
kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat istiadat, teater rakyat, tari rakyat, pesta rakyat, dan
lain-lain. Ketiga, folklor bukan lisan, yaitu folkor yang bentuknya bukan lisan walaupun cara
pembuatanya diajarkan secara lisan; misalnya arsitektur rakyat (rumah adat, bentuk lumbung
padi), kerajinan (perhiasan dan pakaian), makanan dan minuman. Selain itu terdapat gerak
isyarat tradisional, bunyi isyarat tradisional, dan musik rakyat (Dananjaya, 1994: 22).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri termasuk dalam foklor lisan sebagian karena di
dalamnya terdapat unsur kepercayaan rakyat yang disampaikan oleh nenek moyang terdahulu
seperti ritual mensyukuri hasil bumi, menolak bencana alam, dan menghormati leluhur.
Masyarakat Yogyakarta masih kental dengan budaya religi, indikatornya adalah banyaknya
wisata kultural berbagai upacara yang diselenggarakan pada setiap tahun oleh masyarakat,
seperti Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri yang dilakukan masyarakat Padukuhan Mancingan,
Desa Parangtritis. Tradisi ini sekaligus juga upacara bersih dusun atau lebih dikenal dengan merti
dusun yang pada hakikatnya merupakan sebuah upacara wujud syukur masyarakat kepada Tuhan
atas segala karunia yang diberikan-Nya. Karunia tersebut berupa rezeki, keselamatan atau juga
keselarasan dan ketentraman, selain itu juga dapat mempererat tali silaturahmi antar warga.
Masyarakat yang tinggal di pedesaan masih percaya akan adanya aturan yang serba tetap
yang diatur oleh alam. Aturan ini bersifat selaras dan kekal, serta dianggap sebagi sumber segala
kemuliaan dan kebahagiaan umat manusia. Ada dua macam simbol penting yang ada di dalam
alam pikiran masyarakat yaitu mithe, asal-usul yang menceritakan arti hidup berdasarkan
kejadian pada masa lampau atau pada sesuatu yang diadakan (dianggap ada) dan ritus atau
upacara yang dianggap bisa memulihkan tata alam dan menenpatkan manusia dalam tata alam
tersebut.
Agar roh-roh tidak mengganggu maka mereka perlu dilembutkan dengan sesaji. Upacara ini
dilakukan satu tahun sekali atau dua tahun sekali. Selain untuk mengusir roh-roh jahat, upacara
pemberkatan desa merupakan salah satu cara untuk mewujudkan rasa syukur kepada Tuhan atas
berkah hasil bumi yang melimpah. Menurut Suparno (dalam wawancara 30 Agustus 2017),
kegiatan merti dusun merupakan sarana menghormati leluhur masyarakat yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
memberikan berkah kepada anak cucunya.
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri adalah upacara tradisi untuk mengungkapkan rasa syukur
dalam panen padi dan permohonan untuk menjauhkan masyarakat dari malapetaka. Selain itu
untuk menghormati Nyai Gedhojang leluhur masyarakat Dusun Mancingan yang telah
meninggal dan juga sebagai rangkaian pengembangan pariwisata Pantai Parangtritis. Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri diawali pada Senin Pon. Pada Saat itu masyarakat meletakkan sesaji
di tempat keramat yang disebut ngguwangi. Kemudian masyarakat mengadakan kerja bakti
membersihkan lingkungan perkampungan dan makam leluhur cikal bakal Dusun Mancingan
yaitu Nyai Gedhojang dan Kyai Sela Hening, termasuk makam Syekh Maulana Maghribi, dan
makam Syekh Bela-Belu, tokoh islam yang menurut masyarakat sekitar berjasa di perkampungan
Mancingan.
Kemudian pada hari Selasa Wage dilaksanakan rangkaian acara Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri dimulai dengan acara kenduri massal di Balai Dusun Mancingan untuk mendoakan
leluhur, memohon keselamatan, dilanjutkan dengan makan bersama (kembul bujana). Setelah
selesai kembul bujana, diadakan upacara larungan atau labuhan. Warga membawa jodhang
(kotak panjang untuk menaruh makanan/sesaji) dengan berjalan kaki dari Joglo Pariwisata
menuju Cepuri Parangkusumo.
Kemudian masyarakat memohon izin kepada penguasa laut selatan Kanjeng Ratu Kidul
bahwa masyarakat Pantai Parangtritis hendak melakukan labuhan. Prosesi selanjutnya adalah
labuhan di Pantai Parangkusumo, barang-barang yang dilarung merupakan pemberian warga
berupa hasil panen, pakaian dan makanan yang disusun menjadi gunungan. Banyak warga yang
mengalap berkah atau mengambil berkah karena jika seseorang mengambil salah satu barang
yang dilabuh dipercaya dapat mendatangkan rejeki dan keselamatan. Bekti Pertiwi Pisungsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Jaladri di akhiri dengan Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk (wawancara dengan Suparmi
tanggal 5 Agustus 2017).
Tradisi ini telah mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dan Propinsi
Yogyakarta sebagai event kebudayaan. Kegiatan ini diikuti dan disaksikan oleh masyarakat
Pantai Parangtritis, masyarakat Bantul, turis lokal maupun internasional. Selain acara inti, dalam
rangkaian Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri juga diadakan lomba dan festival seni seperti tari,
karawitan, dan macapat.
Dalam skripsi ini akan menyajikan penelitian tentang "Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri: Mitos, Ritus, dan Fungsi". Alasan penulis memilih topik skripsi ini adalah Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri merupakan tradisi lisan yang murni asli dari masyarakat Dusun Pamancingan
Parangtritis. Selain itu tradisi ini merupakan salah satu tradisi lisan yang masih dilaksanakan
dalam 1 tahun sekali. Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri merupakan event kebudayaan besar
Parangtritis yang tidak boleh dilewatkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana mitos asal-usul Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri?
1.2.2 Bagaimana ritus dalam Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri?
1.2.3 Apa saja fungsi Tradisi Bakti Pertiwi Pisungsung Jaladri?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat adalah sebagai berikut.
1.3.1 Mendeskripsikan mitos asal-usul Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Jaladri, serta menganalisis cerita menggunakan teori aktansial Hal ini akan dikaji dalam
bab dua.
1.3.2 Mendeskripsikan ritus Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri. Hal ini akan dikaji dalam bab tiga.
1.3.3 Mendeskripsikan fungsi Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Hal ini akan dikaji
dalam bab empat.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis,
penelitian ini merupakan contoh penerapan teori folklore, aktansial, dan fungsi folklor. Dengan
demikian penelitian ini mendukung pada studi kebudayaan tentang ritus Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri.
Secara praktis teori ini bermanfaat sebagai pedoman penyusunan buku panduan pariwisata
DIY dan sebagai sumber pelestarian budaya daerah untuk pengembangan pariwisata Kabupaten
Bantul.
1.5 Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan topik Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri: Mitos, Ritus dan Fungsi, yang menjadi acuan penulis sebagai berikut.
Pebriyanto (2013) meneliti tentang tradisi yang berjudul “Dinamika Masyarakat
Dusun Mancingan Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul dalam
Pelaksanaan Upacara Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri Tahun 2002-2012”. Penelitian
tersebut membahas kisah pergerakan masyarakat Mancingan dalam melaksanakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri mulai dari perubahan hari, tata cara pelaksanan
tanpa mengubah ritus.
Khoiri (2009) meneliti tentang tradisi yang berjudul “Makna Simbol dan
Pergeseran Nilai Tradisi Upacara Adat Rebo Pungkasan”. Penelitian tersebut
membahas makna simbol dan pergeseran nilai seperti lemper, gunungan, dan pasukan
oncor.
Prasetyo (2016) meneliti tentang “Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton
Kasunanan Surakarta: Sejarah dan Pemaknaanya Dalam Prespektif Semiotika C.S
Pierce” Penelitian tersebut membahas mengenai sejarah awal mula dilaksanakan kirab,
hingga makna yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Jalil (2005) yang berjudul “Memaknai Tradisi Upacara Labuhan dan Pengaruhnya
Terhadap Masyarakat Parangtritis”. Dalam artikel tersebut dibahas makna dan
pengaruh tradisi, yaitu meningkatkan kebersamaan, kepedulian, dan keikhlasan dalam
pelaksanaan labuhan, termasuk Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri .
Minako Sakai (2006) yang berjudul “Remembering Origins: Ancestors And Places In
The Gumai Society Of South Sumatra Introduction”, membahas tradisi leluhur di Gumai,
Sumatera Selatan, disebutkan sebagai berikut.
Like the majority of groups in Indonesia, the Gumai concern with origin centres around
ancestral spirits (arwah puyang). What is significant to the Gumai is, however, that their
ancestral spirits are divided into several categories which constitute generation points. These
are, from the beginning, Diwe (below Diwe and before Puyang Ketunggalan), Puyang
Ketunggalan (The Single Ancestor), Puyang Ketunggalan Dusun (The Single Village
Ancestor) and Puyang Keluarge (Family Ancestors). The older the ancestral spirits are, the
more influential they are considered to be. The features of these categories of ancestral
spirits derive from the deeds and timing of each Gumai ancestor. (Minako, 2006:3-5)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Dalam artikel yang berjudul “Remembering Origins: Ancestors And Places In The
Gumai Society Of South Sumatra Introduction” dijelaskan bahwa masyarakat Gumai di Sumatera
Selatan merupakan sebagian kecil masyarakat Melayu yang masih sangat menghormati leluhur
mereka. Masyarakat Gumai berasal dari leluhur yang terbagi kedalam beberapa ketegori, yang
pertama leluhur tunggal, leluhur desa tunggal, dan leluhur keluarga. Semakin tua roh leluhur
mereka maka mereka dianggap paling berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Gumai. Ciri-
ciri dari kategori roh tersebut berasal dari perbuatan dan waktu setiap leluhur masyarakat Gumai.
Penelitian tersebut menarik perhatian Minako Sakai seorang warga Jepang yang berprofesi
sebagai dosen di University of New South Wales di Canberra Australia. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa warga negara lain sangat antusias dan tertarik dengan kebudayaan
Indonesia, terlebih kepada kasus leluhur atau nenek moyang dan ritual tradisi yang ada di
Indonesia. Besar kemungkinan akan banyak warga negara lain yang tertarik untuk meneliti
kebudayaan Indonesia. Untuk itu penelitian Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri yang merupakan
kebudayaan asli Indonesia, sangatlah penting untuk diungkap dan disebarluaskan untuk sarana
pembelajaran. Maka dari itu tidak ada salahnya Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri nantinya juga
akan diakui oleh masyarakat Internasional sebagai kebudayaan asli Indonesia melalui penelitian
ini.
Selain dari kasus penelitian di atas terdapat buku yang mendukung penelitian ini,
yaitu buku berjudul buku “Adat Istiadat Daerah Istimewa Yogyakarta”, yang
diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1976-1977.
Berdasarkan kajian pustaka di atas, dapat disimpulkan bahwa Tradisi Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri yang meliputi mitos asal-usul, ritus, dan fungsi belum pernah dikaji secara
khusus. Kajian-kajian yang diungkapkan di atas dapat menjadi acuan bagi penulis dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
melakukan kajian ini. Maka dari itu penelitian ini benar-benar asli buatan dari penulis tanpa ada
tindak plagiarisme.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Mitos Asal-Usul
Mitos adalah sebagian dari folklor biasanya menceritakan terjadinya alam semesta
(cosmogony); terjadinya susunan para dewa; dunia dewata; terjadinya manusia pertama dan
tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); terjadinya makanan pokok, seperti beras, dan
sebagainya, untuk pertama kali (Dananjaja, 1944: 52).
Mitos dijadikan sebagai pedoman dan arah bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Mitos memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religius. Mitos
adalah sebuah dunia yang kontradiktif. Di satu pihak tampak bahwa segala sesuatu dapat saja
terjadi. Seolah-olah tidak ada logika di dalam mitos. Hakikat mitos adalah sebuah upaya untuk
mencari pemecahan terhadap kontradiksi empiris yang dihadapi dan yang tidak dipahami oleh
nalar manusia. Pada dasarnya mitos adalah pesan kultural terhadap anggota masyarakat
(Herusatoto,1984: 89).
Penduduk Yogyakarta percaya, bahwa ada kekuasaan yang mengatasi dirinya dan
mengatasi segala-galanya. Bagi mereka Tuhan dihubungkan erat sekali dengan sifat atau ciptaan
yang dalam hidup sehari-hari dirasakan dan dihayati mereka. Karena sifat Tuhan yang serba
berkuasa itu, penduduk Yogyakarta mengakui Tuhan adalah sebagai kekuatan yang menarik,
yang menakjubkan, dan mesra. Menurut Suparno (wawancara 31 Agustus 2017), ada nama yang
diberikan oleh masyarakat untuk Tuhan berkenaan dengan hubungan Tuhan dengan pencipta,
ialah Hyang Murbeng Dumadi, Hyang Wenang, Hyang Widdi, Sang Murbeng Jagat, Sangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Parining Dumadi, dan sebagainya.
Masyarakat di Bantul mempercayai keberadaan makhluk halus maupun dewa-dewa
merupakan utusan Tuhan, seperti Dewi Sri bagi para petani akan mendatangkan kesuburan lahan
mereka. Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul makhluk setengah dewa yang menguasai
pantai selatan dipercaya sebagai pelindung dan mendatangkan berkah bagi masyarakat pantai
selatan. Makhluk halus menurut kepercayaan mereka ada yang menguntungkan maupun yang
merugikan, maka perlu diadakan ritual atau ritus untuk melembutkan hatinya supaya jinak
seperti nyadran, sajen, sedekah, slametan, dan sebagainya. Dengan ini diharapkan hasil laut dan
panen padi akan melimpah dan terhindar dari bencana yan timbul dari darat maupun laut
(wawancara dengan Suparno 30 Agustus 2017).
Algirdas Julian Greimas (1917-1992) adalah seorang ahli bahasa dan ahli semiotik yang
berasal dari Lithuania dan banyak meneliti mitologi Lithuania. Greimas adalah professor pada
Ecole des Hautes Etudes en Sciences Social (EHESS) di Paris, Prancis. Sejak tahun 1965, dia
memimpin penelitian linguistik-semiotik di Paris, yang kemudian menjadi dasar berkembangnya
aliran semiotik Paris. Greimas dikenal sebaai pelopor „semiotic squere‟(semiotik segi empat )
dalam teori signifikasi dan penemu skema naratif aktansial (Taum, 2011: 140).
Penelitian Greimas yang intens terhadap mitologi Lithuania berdasarkan metode George
Dumezil, Claude Levi-strauss, dan Marcel Detienne dituangkan dalam buku berjudul Of Gods
and Men (1979) dan In Search of National Memory (1990). Greimas meninggal tahun 1992 di
Paris (Taum, 2011: 141).
Greimas mengemukakan model tiga pasang oposisi biner yang meliputi enam aktan atau
peran, yaitu: subjek versus objek, pengirim versus penerima, dan penolong versus penantang. Di
antara ketiga pasangan oposisi biner ini, pasangan oposisi subjek-objek adalah yang terpenting.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Pada umumnya subjek terdiri atas pelaku sebagai manusia, sedangkan objek terdiri atas berbagai
kehendak yang mesti dicapai, seperti kebebasan , keadilan, kekayaan, dan sebagainya. Suatu
perjuangan umumnya diinginkan oleh kekuasaan (pengirim), tetapi bila berhasil maka pelaku
(penerima) menerimanya sebagai hadiah. Kekuasaan dapat bersifat kongkret seperti raja , dan
penguasa lain. Kekuasaan juga dapat bersifat abstrak seperti masyarakat, nasib dan waktu (Taum,
2011: 143).
Selain menunjukkan struktur aktansial, Greimas juga mengemukakan model cerita yang
tetap sebagai alur. Model itu dinyatakan dalam berbagai tindakan yang disebut fungsi sehingga
disebut struktur fungsional. Model fungsional dibagi menjadi tiga bagian yaitu situasi awal ,
transformasi, dan situasi akhir.
Situasi awal menceritakan keadaan sebelum adanya peristiwa yang menggangu
keseimbangan (harmoni). Dalam tahap cobaan awal, subjek mulai mencari objek. Terdapat
berbagai rintangan, disitulah subjek mengalami uji kecakapan. Transformasi meliputi tiga tahap
cobaan. Ketiga tahapan cobaan ini menunjukkan usaha subjek untuk mendapatkan objek. Dalam
tahap ini pula muncul pembantu dan penentang. Tahap cobaan utama ini sang pahlawan berhasil
mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan pulang. Tahap cobaan membawa kegemilangan
merupakan bagian subjek dalam menghadapi pahlawan palsu, missal musuh dalam selimut yang
berpura-pura baik. Bila tidak ada pahlawan palsu maka subjek adalah pahlawan. Sedangkan
situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke keadaan semula. Semua konflik telah
berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan subjek yang berhasil atau gagal mencapai objek
(Taum, 2011: 147).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
1.6.2 Ritus Kepercayaan
Ritual merupakan tata cara dalam upacara atau suatu perbuatan keramat yang dilakukan
oleh sekelompok umat beragama yang ditandai dengan adanya berbagai unsur, pertama adanya
waktu; kedua, tempat dilaksanakan upacara; ketiga, alat-alat dalam upacara; keempat, orang-
orang yang menjalankan upacara (Koentjaraningrat, 1985: 56).
Munculnya ritus, selamatan atau upacara merupakan suatu upaya manusia untuk mencapai
keselamatan, ketentraman, dan sekalius menjaga kelestarian budaya. Pada hakeketnya selamatan
merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan mistis
dan sosial dari mereka yang hadir di dalamnya (Geertz, 1981 dalam Suwito, Bugiswanto, dkk,
2009: 7).
Dalam ritus dipergunakan kata-kata, gerak-gerik, dan dilakukan secara perseorangan atau
bahkan segenap anggota masyarakat yang dipimpin oleh seseorang perantara, pendeta, imam,
kaum atau kepala desa (lurah). Upacara-upacara dalam lingkungan rumah tangga biasanya
dilakukan untuk memulihkan jenjang hidup seseorang. Upacara besar yang dilakukan oleh
sekelompok orang di dalam masyarakat khususnya di pedesaan di Yogyakarta disebut nyadran,
merti desa, atau riyaya yang tujuanya untuk mengucapkan terima kasih kepada yang dianggap
menunggu desa itu (Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1996-1997: 122).
1.6.3 Fungsi Tradisi Lisan
Folklor, terutama yang lisan dan sebagian lisan, memiliki banyak fungsi yang menjadikanya
sangat menarik serta penting untuk diselidiki ahli-ahli ilmu masyarakat dan psikologis dalam
rangka melaksanakan pembangunan bangsa. Fungsi folklore menurut William R Bascom ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
empat. Empat fungsi tersebut telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut.
1) Sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, seperti
menggambarkan keinginan yang terdalam suatu kelompok masyarakat; 2) Sebagai alat legitimasi
atau alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; 3) Sebagai sarana
pendidikan, folklor difungsikan sebagai sarana pembelajaran baik sejarah, budaya, dan umum;
4 ) Sebagai alat pemaksa, yaitu agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya (Bascom,196:3-20).
Keempat fungsi tersebut berasal dari terjemahan milik jurnal The Journal of American
Folklore yang diterbitkan oleh American Society yang berjudul Four Functions of Folklore yang
dikarang oleh William R. Bascom, seperti pada kutipan jurnal di bawah ini.
The first of which concerns the extent to which folklore, like language, is a mirror of culture
and incorporates descriptions of the details of ceremonies, institutions and technology, as
well as the expression of The second aspect of the problem of the relations between folklore
and culture has to do with the fact that characters in folktales and myths may do things
which are prohibited or regarded as shocking in daily life. A second function of folklore is
that which it plays in validating culture, in justifying its rituals and institutions to those who
perform and observe them. Myth is not explanatory, Malinowski emphasized, but serves as
"a warrant, a charter, and often even a practical guide"47 to magic, ceremony, ritual and
social structure. A third function of folklore is that which it plays in education, particularly
but not exclusively, in non-literate societies.In the fourth place, folklore fulfills the important
but often overlooked function of maintaining conformity to the accepted patterns
(Bascom,1954: 337-346).
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian tentang tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
menggunakan metode penelitian kualitatif. HB Sutopo (2002: 78) dalam Metodologi Penelitian
Kualitatif menjelaskan bahwa penelitian kualitatif cenderung bersifat kontekstual. Secara
kontekstual, penelitian ini fokus pada diskripsi fenomena tradisi yang ada di Pantai Parangtritis
dan tradisi bersih desa berdasarkan persepsi masyarakat. Maka dari itu dalam penelitian ini akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
digunakan metode penelitian folklore untuk mengungkapkan mitos, ritus, dan fungsi.
1.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik studi pustaka berupa sumber pustaka dan
pengumpulan data lapangan yang berupa hasil wawancara. Tahap pertama adalah mencari buku
buku atau jurnal yang membahas tentang tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri untuk diolah
menjadi sumber data. Setelah itu dilakukan observasi dengan cara terjun langsung ke Dusun
Mancingan untuk mewawaancarai tokoh spiritual, tokoh masyarakat dan juga masyarakat untuk
pengumpulan data lewat informasi dari masyarakat agar mempunyai data yang lengkap.
1.7.2 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi atau sering
disebut content analysis. Teknik analisis isi yang digunakan berupa analisis wacana. Teknik ini
digunakan untuk menekankan pemaknaan pada teks dan sumber lisan yang diperoleh melalui
sumber sumber pustaka dan juga data hasil wawancara.
1.7.3 Teknik Penyajian Data
Teknik penyajian data berupa deskripsi kualitatif dari hasil penelitian sumber sumber data
yang telah diperoleh baik itu dari sumber pustaka maupun wawancara, yang pada akhirnya akan
dihasilkan suatu kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1.8 Sistematika Penyajian
Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab. Empat bab tersebut akan dirinci sebagai
berikut.
Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi
menjadi delapan sub bab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sisitematika penyajian. Bab II berisi hasil kajian mitos asal-usul Tradisi Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri. Bab III mengkaji dan mengungkapkan ritus Tradisi Bekti Pertiwi
PisungsungJaladri Bab IV berisi hasil analisis fungsi Tradisi Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri. Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari hasil
penelitian Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
BAB II
MITOS ASAL-USUL TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI
Pada Bab II ini, penulis menjabarkan (1) gambaran masyarakat Dusun Mancingan, (2)
mitos asal-usul yan terdiri dari sejarah, mitos Keraton Segara Kidul dan mitos Sri Sadana. (3)
Analisis struktur aktansial dan fungsional cerita Keraton Segara Kidul dan Sri Sadana.Unsur
tersebut merupakan konteks Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri dalam bab berikutnya.
2.1 Gambaran Masyarakat Dusun Mancingan Parangtritis Bantul
Dusun Mancingan merupakan sebuah perkampungan penduduk di daerah Pantai
Parangtritis, terletak sekitar tiga puluh kilometer dari Kota Yogyakarta atau lebih tepatnya di
Desa Parangtritis Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta. Sampai saat ini Dusun
Mancingan dipimpin oleh Bapak Andri Sarwoko, selaku kepala dusun. Di sekitar Dusun
Mancingan terdapat Pantai Parangtritis, Pemandian Parangwedang, Makam Syekh Maulana
Manghribi, dan Makam Syekh Bela Belu.
Menurut Tuminah (wawancara tanggal 19 September 2017) rata-rata masyarakat Dusun
Mancingan berprofesi sebagai pedagang dan membuka usaha bisnis pariwisata seperti membuka
lahan parkir bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Pantai Parangtritis dan sekitarnya. Selain
itu banyak penduduk desa yang membuka usaha penginapan dan berdagang di kawasan Pantai
Parangtritis. Masyarakat Dusun Mancingan ada yang berprofesi sebagai pedagang ikan dan
nelayan tetapi hanya beberapa orang saja, bahkan hanya sebagai usaha sampingan. Selain profesi
di atas masyarakat Dusun Mancingan juga ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Asal mula nama Dusun Mancingan menurut Dasuki (wawancara tanggal 29 Agustus 2017)
sebagai berikut. Dahulu air laut mencapai pinggir sebuah perkampungan dekat Makam Syekh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Maulana Maghribi. Penduduk sekitar sering melakukan kegiatan memancing di sekitar makam
tersebut. Oleh karena itu, sampai sekarang kampung tersebut dinamakan mancingan atau tempat
memancing. Bahkan hingga air laut sudah tidak sampai di dekat makam Syekh Maulana
Maghribi pun namanya tetap Dusun Mancingan.
Nama Parangtritis berasal dari kata Jawa, Parang artinya kaki bukit kapur yang terjal, tritis
artinya air terjun dari atap rumah kepelimbahan bila terjadi hujan. Parangtritis berarti suatu
tempat yang bentuknya menyerupai rumah berdinding batu karang setinggi rumah, dan dari
bagian batu karang yang menyerupai atap itu memercik air mengalir terjun ke pelimbahan.
Percikan air yang keluar dari celah-celah batu karang itu memijar mengalir ke atap gua
berbentuk air hujan sehingga taburan uapnya menyejukkan udara sekelilingnya. (wawancara
dengan Suparno 30 Agustus 2017).
Di masa lalu banyak orang senang mandi langsung dengan berdiri di tritisan air itu dan badan
terasa seperti dipijat-pijat. Jadilah tempat itu terkenal dan disebut Parangtritis. Lebih-lebih oleh
para pertapa di zaman Kerajaan Mataram Hindu, gua ini dipergunakan untuk bertapa bersama
mohon inspirasi kepada Tuhan YME.
Gua ini selanjutnya oleh Sri Sultan HB VI tahun 1873 oleh Juru Kunci diberi nama Gua
Panepen Parangharga bersamaan peresmian pembangunan makam Syekh Bela-Belu. Dari
zaman ke zaman tempat ini mengalami perubahan oleh perkembangan peradaban manusia.
Disamping kanan/timur depan gua dibangun kolam pemandian. Sekarang gua ini dilengkapi
dengan fasilitas untuk mandi dan minum. Namun pada rehabilitasi pembangunan kolam
pemandian tahun 1988 mengalami kesalahan teknis sehingga air yang dulu bertaburan keluar
dari celah batu seperti curah hujan, sekarang jadi air talang pancuran.
Dengan tersohornya nama Parangtritis ini, pada zaman kemerdekaan tahun 1948 ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
penggabungan dua kalurahan, yaitu Kalurahan Sono digabung dengan Kalurahan Tirtaharja
menjadi satu dengan nama Kalurahan Parangtritis pada hari Selasa Wage Bulan Mei. Pada hari
Selasa Wage itulah diperingati sebagai hari jadinya Desa Parangtritis dan dipakai dalam tradisi
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri (wawancara dengan Suparno 30 Agustus 2017).
Sudah sejak dahulu, nenek moyang masyarakat Dusun Mancingan Parangtritis setiap habis
panen raya selalu mengadakan syukuran sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan kenikmatan dan keselamatan. Syukuran tersebut dalam bentuk
sesaji dan selamatan yang dilaksanakan pada bulan Mei atau Juni, selain itu juga bulan Oktober,
tergantung kesepakatan warga dan situasi yang memungkinkan.
Syukuran habis panen raya untuk Kelurahan Parangtritis disebut ngguwangi atau Majemuk
Umum, sedangkan upacara bulan Oktober disebut Baritan atau sedekah laut. Baritan sebagai
ungkapan terima kasih kepada Tuhan atas keselamatan para nelayan dan para pembuat garam
selama satu tahun yang semuanya bekerja di pantai laut selatan. Kegiatan ini diselenggarakan
setiap tahun sehabis panen raya dan sehabis penengkapan ikan.
2.2 Mitos Asal-usul Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri memiliki dua mitos penting yang menjelaskan asal-
usulnya, mitos itu adalah kisah Keraton Segara Kidul dan Kisah Sri Sadana. Sebelum membahas
mitos akan diceritakan sejarah Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
2.2.1 Sejarah Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
Pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri tidak lepas dari sejarah atau yang menjadi
alasan diadakan kegiatan tersebut. Berdasarkan wawancara dengan Suparno seorang sesepuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
sekaligus tokoh spiritual di wilayah Parangtritis pada tanggal 30 Agustus 2017, ditulis
informasinya sebagai berikut.
Tujuan dianakke upacara adat Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri iku sepisan kanggo
nyuwun keslametan supaya ora keno sunami utawa bencana alam. Menawi bencana laut
menika saget dipun sranani ngangge sedekah laut kangge nolak, menika minurut
kapitadosan masayarakat Jawi. Nanging kasunyatanipun saksampunipun dilaksanakaken
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, mboten wonten pagebluk kados rumiyen, sakderengipun
dilaksanakaken pisungsung jaladri perkampungan wonten wilayah Pesisir Parangtritis
menika kerep keleb banyu utawa banyu saking segara sage tluber wonten dalemipun tiang
wonten Dusun Mancingan. Kepercayaan menika dipercaya amerga kabeh kuwi iso
dibuktekke, dadi warga kerep nganake slametan seng kasebut baritan. Baritan menika
rumiyen wonten kaleh perkara sepisan kangge nyuwun udan utawi jawah lan kaping kaleh
kangge nolak balak utawa nolak lampor.
Baritan menika wujudipun sesaji laut ingkang dipunwontenaken pinggir laut, lajeng
gandeng wonten kemajuan jaman baritan menika dipun kemas utawa diganti awujud nami
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Bakti pertiwi menika artinipun wujud rasa bekti marang
seng panguasa bumi luwih-luwih marang Gusti ingkang Maha Agung, lan masyarakat
ngaturaken rasa syukur marang Gusti kanti lampahan tradisi bekti pertiwi.
Bekti pertiwi sakdurunge nduweni jeneng majemuk umum. Pisungsung menika tegesipun
nyaosaken kinurmatan utawa rasa hormat marang Gusti lan jaladri menika laut ingkang
maknanipun kangge panguasa laut utawi pemberian sesaji kangge Ratu Kidul utawa dewi
laut. Tiang nagari tiongkok caos asmi Dewi Kwan Im, utawa tiang Jawi caos asmi Kanjeng
Ratu Kidul. Nanging Kanjeng Ratu Kidul kuwi beda karo Nyi Roro Kidul, Nyi Roro Kidul
kuwi asale seko Dewi Nawangwulan ingkang nglalu wonten laut piturut cerita. Masyarakat
kerep kleru mbedakke Kanjeng Ratu Kidul karo Nyai Roro Kidul, ingkag leres panguasa
laut menika Kanjeng Ratu Kidul.
Uwong urip iku mangan asale seka daratan lan lautan. Rumiyen masyarakat pesisir
urip seko nambang garam lan dadi sumber pencaharian penduduk, lajeng kedamel cerita
supaya masyarakat ngerteni apa sebabe lan apa tujuane dilaksanakke ritual kasebut.
Ingkang kaping kalih inggih menika kangge ngembangaken pariwisata wonten tlatah
Pesisir Parangtritis. Masyarakat Dusun Mancingan ngedalaken kasepakatan inggih menika
pengunjung wonten Parangtritis kedah dijagi keslametanipun kalebet pagebluk seko alam
utawa kejahatan manungso. Musyawarah menika kedah nimbali pejabat wonten kabupaten
lan kecamatan, lan ugi saking Departemen Koperasi Kabupaten Bantul. Saklajengipun
musyawarah menika ngasilaken kasepakatan kengge ndamel event pelestarian budaya adat
kangge ngreggengaken tiang ingkang wisata wonten Parangtritis kanti nglebur majemuk
umum lan sedekah laut dados minunggal kangge tetenger dinten ambal warsa Kalurahan
Parangtritis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Wawancara tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai berikut:
Tujuan diadakanya Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri adalah pertama sebagai bentuk
meminta keselamatan agar tidak terjadi tsunami atau bencana alam. Bencana alam yang
datang dari laut bisa dicegah dengan cara sedekah laut, itu menurut kepercayaan
masyarakat Jawa. Tetapi kenyataanya setelah dilaksanakan Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri, tidak terjadi bencana seperti dahulu, sebelum diadakan Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri perkampungan di wilayah pinggir Pantai Parangtritis sering terendam air pasang
dari laut dan air mengalir sampai ke pemukiman warga.
Kepercayaan itu dapat dipercaya karena semua itu bisa dibuktikan, setiap orang sering
mengadakan doa keselamatan yang disebut baritan. Baritan itu dahulu terdiri dari dua hal,
yang pertama digunakan untuk memohon turunya hujan dan yang kedua menolak bencana
dan lampor. Baritan itu wujudnya adalah berupa sesaji laut yang dipersembahkan atau
diadakan di pinggir laut.
Setelah ada perkembanagan jaman dan berlalunya waktu baritan diubah namanya
menjadi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Bekti pertiwi mempunyai arti wujud rasa syukur
dan rasa bakti dengan penguasa bumi khususnya untuk Tuhan Yang Maha Esa, kemudian
masyarakat mengadakan upacara yang tujuanya mengungkapkan syukur lewat bekti
pertiwi. Sebelum terbentuk bekti pertiwi masyarakat Dusun Mancingan menyebutnya
Ngguwangi atau Majemuk Umum. Pisungsung artinya adalah memberikan rasa hormat
terhadap Sang Pencipta, kemudian jaladri adalah laut yang memiliki makna untuk
penguasa laut. Orang Tiongkok atau orang yang berasal dari Cina menyebutnya Dewi
Kwan Im atau orang Jawa menyebutnya Kanjeng Ratu Kidul. Perlu diketahui bahwa
Kanjeng Ratu Kidul berbeda dengan Nyi Roro Kidul, Nyi Roro Kidul berasal dari jelmaan
Dewi Nawangwulan yang menceburkan diri ke laut.
Masyarakat sering keliru membedakan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Nyi Roro
Kidul, yang benar menjadi penguasa laut itu adalah Kanjeng Ratu Kidul. Orang hidup itu
makan yang berasal dari lautan dan daratan, dahulu masyarakat pantai hidup dari usaha
tambang garam dan menjadikanya mata pencaharian penduduk, kemudian dibuatlah cerita
agar masyarakat itu mengerti apa sebabnya dan apa tujuanya dilaksanakan ritual tersebut.
Tujuan yang kedua adalah sebagai salah satu cara mengembangkan wisata di Pantai
Parangtritis. Masyarakat Dusun Mancingan membuat kesepakatan bahwa pengunjung
Pantai Parangtritis harus dijaga keselamatanya dari bencana alam dan kejahatan manusia.
Kemudian dalam musyawarah tersebut mendatangkan pihak Departement Koperasi
Kabupaten Bantul bersepakat dan menggelar event budaya untuk mengembangkan wisata
Parangtritis dengan cara merubah Baritan dan Ngguwangi sebagai hari jadi Kelurahan
Parangtritis” (wawancara dengan Suparno 31 Agustus 2017).
Menurut Hadi Wibowo, warga Dusun Mancingan (wawancara tanggal 3 Oktober 2017),
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri sebagai wujud apresiasi melestarikan budaya dan juga aspek
ekonomi yang mengacu pada peningkatan pendapatan asli daerah. Dalam melestarikan budaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam pengalaman seperti melaksanakan tradisi
tersebut, khususnya masyarakat Dusun Mancingan agar di perkampungan ini tradisi masih tetap
terjaga. Selain itu wujud pelestarian budaya dengan cara membuat informasi, artikel atau tulisan
mengenai budaya yang tujuanya untuk sarana pendidikan.
Kemudian mengenai aspek pendapatan daerah, dengan adanya kirab atau tradisi ini Objek
Wisata Parangtritis akan semakin terkenal dan menarik karena Parangtritis selain menjadi
wisata alam juga menjadi wisata budaya. Pengunjung akan semakin tertarik dan pengunjung
akan semakin banyak, terutama wisatawan asing (wawancara dengan Hadi Wibowo 3 Oktober
2017).
Hal ini akan meningkatkan pendapatan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
pendapatan yang bersumber dan dipungut oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari
pajak daerah, retribusi daerah, laba dari Badan Usaha Milik Desa (BUMD) dan pendapatan asli
daerah lainya yang sah. Melalui kegiatan ini pemerintah juga akan mendapatkan pendapatan
yang dihasilkan dari pajak pedagang, biaya parkir dan retribusi masuk (wawancara dengan
Dasuki 20 Agustus 2017)
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri sangat erat kaitanya dengan kisah tersebut, terutama
pada kisah Keraton Segara Kidul. Kanjeng Ratu Kidul dipercaya oleh masyarakat Parangtritis
sebagai dewa yang melindungi atau menjaga pantai selatan, khususnya masyarakat Mancingan.
Kemudian masyarakat menggelar ritual yang dinamakan Baritan yang berupa sesaji laut,
masyarakat percaya baritan akan menolak bencana seperti tsunami yang bisa melanda wilayah
parangtritis, maka sejak itulah setiap tahun diadakan ritual baritan. Menurut cerita dahulu
sebelum adanya ritual baritan perkampungan warga di pinggir pantai sering terendam air yang
diakibatkan pasang laut yang terus menerus, sejak diadaknya baritan maka peristiwa itu tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pernah lagi terjadi.
Selain itu tradisi ini juga erat kaitannya dengan cerita Dewi Sri dan Raden Sadana. Masyarakat
Jawa mempercayai bahwa Dewi Sri sebagai lambang dewi padi, sedangkan Raden Sadana
sebagai dewa umbi-umbian dan sandang. Maka dari itu sebagai wujud syukur kepada Tuhan,
masyarakat Jawa khususnya Mancingan mengadakan ritual melalui kegiatan bersih dusun yang
dikenal dengan majemuk umum. Setelah perkembangan Zaman, melalui musyawarah untuk
membentuk peristiwa budaya adat dengan melebur ngguwangi dan baritan menjadi satu sebagai
hari jadi Kalurahan Parangtritis. Bapak Camat bersama tokoh spiritual B. Suparno, B.A,
mengadakan diskusi maka terbentuklah sebuah nama Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri yang
sampai saat ini tradisi tersebut dilaksanakan satu bulan sekali.
2.2.2 Mitos Keraton Segara Kidul
Mitos dari Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri sangat erat dengan kisah Keraton Segara Kidul.
Keraton Segara Kidul merupakan istana yang sangat indah sebagai kerajaan makhluk halus yang
terdapat di dasar Samudera Indonesia. Orang Jawa menyebutnya Segara Kidul maka kerajaan
makhluk halus itu disebut Keraton Segara Kidul.
Berdasarakan cerita nenek moyang Jawa, Keraton Segara Kidul itu sangat indah, tidak ada
bangunan buatan manusia di muka bumi ini yang menyamai indahnya. Semua pagar dan dinding
bangunan tersebut terbuat dari emas dan perak. Halaman bertebaran mutiara, batu kerikil
pecahan permata dan batu pualam. Kebun halaman penuh pohon buah-buahan yang amat luas
dan menyedapkan mata. Istana ini dikuasai dan ditahtai oleh seorang raja putri yang cantik jelita
parasnya yang bergelar Kanjeng Ratu Kidul. Menurut kepercayaan, Kanjeng Ratu Kidul adalah
penjelmaan dari putri Raja Padjajaran. Raja Padjajaran bernama Prabu Munding Sari yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
mempunyai anak perempuan bernama Retna Suwidi, ia gemar bertapa dan mementingkan hidup
kerohanian.
Menjelang dewasa banyak raja yang melamar namun ditolak dan tidak mau dinikahkan.
Melihat kejadian tersebut ayahnya marah dan mengusir Retna Suwidi dari Kerajaan Pajajaran.
Ratna Suwidi pergi meninggalkan kraton dan mengembara masuk hutan keluar hutan, naik turun
pegununan, kemudian ia menemukan sebuah tempat bertapa di Gunung Kombang.
Setelah berhari-hari bertapa, Retna Suwidi didatangi Dewa dan ditanya apa yang diinginkan
kok terus bertapa di tempat ini? Retno Suwidi menjawab “ Aku ingin hidup sepanjang zaman.
Dewa menjawab.“ Tidak bisa manusia bisa hidup sepanjang jaman, kecuali jika mau disabda
menjadi makhluk halus”. Retna Suwidi setuju dengan apa yang diisyaratkan Dewa. Kemudian
Dewa menyapa dan Retna Suwidi berubah menjadi makhluk halus dan menguasai samudra
sepanjang pulau jawa dengan nama Kanjeng Ratu Kidul.
Kanjeng Ratu Kidul bertemu dengan raksasa putri yang menjadi pimpinan prajurit makhluk
halus, kemudian bersama-sama membangun istana kerajaan yang megah. Pada saat itu datang
Dewi Nawang Wulan istri Joko Tarub yang diusir dari kahyangan oleh para bidadari karena ia
telah kawin dengan manusia dan sudah mempunyai anak. Nawang Wulan tidak boleh lagi
menempati khayangan, ia harus kembali turun ke bumi. Ia memutuskan untuk menceburkan diri
ke samudra dan akhirnya bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul.
Setelah ketiganya bertemu Segara Kidul, Dewi Nawang Wulan diangkat oleh Kanjeng Ratu
Kidul menjadi penasehat dengan nama Nyai Riya Kidul, sedangkan pemimpin prajurit adalah
raksasa putri yang menjaga Keraton Segara Kidul dengan nama Rara Kidul.
Dalam menjalankan pemerintahan Kanjeng Ratu Kidul didamping oleh Nyai Riya Kidul dan
Rara Kidul. Rara Kidul juga berkuasa memimpin siluman ular di daratan, karena ia dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
mengubah wujud menjadi naga, menjadi pria tampan, menjadi gadis cantik, menurut
kebutuhanya.
Rara Kidul mempunyai kewajiban pengawasan jarak jauh sampai sering mengelilingi
samudra se-Asia Tenggara. Ada juga yang menyebutnya Nini Rara Kidul da nada juga yang
menamakan Nini Blorong atau Nyi Blorong, tugasnya menjaga keseimbangan alam baik laut
maupun daratan. Sampai saat ini Keraton Segara Kidul masih dipercaya keberadaanya, Kanjeng
Ratu Kidul masih dipercaya oleh masyarakat jawa, salah satunya masyarakat Pantai Parangtritis
sebagai simbol keselamatan masyarakat (Suparno,2004: 23-24).
2.2.3 Mitos Sri Sadana
Kisah ini menceritakan perjalanan Dewi Sri dan Raden Sadana yang mendapat kutukan dari
ayah mereka hingga berubah menjadi ular dan burung. Ular penjelmaan Dewi Sri itu akhirnya
teruwat kembali setelah ia melindungi bayi pasangan Kyai Wrigu dan Ken Sangki di Desa
Wasutira. Kemudian Dewi Sri diangkat menjadi dewi pangan, sedangkan Raden Sadana diangkat
menjadi dewa sandang.
Awal kisah, Prabu Pulaswa di Kerajaan Medang Kumuwung dihadap Patih Kalasuba, Ditya
Kalandaru, dan para punggawa raksasa. Mereka membicarakan tentang Dewi Sri yang saat ini
kabarnya telah mendirikan Desa Sringawanti di Hutan Medangagung bersama Raden Sadana.
Untuk itu, Prabu Pulaswa mengirim Ditya Mayangkara, suami Dewi Wikayi (putri Batara
Kalakeya) supaya berangkat menculik Dewi Sri.
Ditya Mayangkara pun berangkat melaksanakan perintah rajanya. Sesampainya di Desa
Sringawanti, ia mengubah wujudnya menjadi seekor sapi liar dan segera berbaur dengan
kawanan ternak yang digembalakan Umbul Manggala. Melihat jumlah ternaknya bertambah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
satu, Umbul Manggala sangat senang. Beberapa hari kemudian, ia berniat menyembelih sapi
barunya itu sebagai hidangan selamatan.
Sapi penjelmaan Ditya Mayangkara tersebut pun berontak ketika hendak disembelih dan
mengamuk melukai Umbul Manggala beserta warga desa lainnya. Mendengar itu, Raden Sadana
segera turun tangan membantu. Ia melepaskan panah ke arah si sapi liar yang seketika mengubah
wujudnya menjadi Ditya Mayangkara kembali. Dengan cekatan Raden Sadana melepaskan
panah kedua yang berhasil melumpuhkan raksasa tersebut.
Ditya Mayangkara kesakitan memohon ampun. Ia juga menyebut-nyebut nama ayahnya,
yaitu Resi Wisnungkara. Raden Sadana heran mendengar nama itu dan bertanya apa hubungan
Resi Wisnungkara dengan Batara Wisnu, kakeknya. Ditya Mayangkara menjawab, bahwa
ayahnya adalah putra dari Resi Sudramurti. Resi Sudramurti adalah penjelmaan Batara
Arnapurna, putra Batara Wisnu.
Raden Sadana senang mendengarnya, karena itu berarti Ditya Mayangkara masih terhitung
keponakannya sendiri. Ia pun membebaskan Ditya Mayangkara dan memberinya makan-minum
serta sejumlah uang. Raden Sadana juga menitipkan pesan jika Prabu Pulaswa ingin menikahi
Dewi Sri, maka raja raksasa itu harus melangkahi mayatnya terlebih dulu. Ditya Mayangkara
menerima pesan tersebut dan kemudian mohon pamit kembali ke Kerajaan Medang Kumuwung.
Ditya Mayangkara telah sampai di istana Medang Kumuwung dan melaporkan kegagalannya
kepada Prabu Pulaswa. Ia juga menyampaikan pesan Raden Sadana serta memuji-muji kebaikan
serta kesaktian saudara kembar Dewi Sri tersebut. Prabu Pulaswa sangat murka dan segera
memenggal kepala Ditya Mayangkara tanpa ampun. Melihat kekejaman sang raja, Patih
Kalasuba dan Ditya Kalandaru merasa ngeri. Diam-diam mereka pun pergi meninggalkan
Kerajaan Medang Kumuwung dengan membawa serta janda Ditya Mayangkara, yaitu Dewi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Wikayi yang saat itu sedang mengandung. (Dewi Wikayi adalah keponakan Patih Kalasuba dan
Ditya Kalandaru).
Prabu Pulaswa semakin marah mendengar kepergian kedua raksasa kepercayaannya itu.
Namun, ia tidak peduli dan tetap bersikeras melanjutkan niat memperistri Dwi Sri. Setelah
mengumpulkan pasukan, Prabu Pulaswa pun berangkat menyerang Desa Sringawanti untuk
menjawab tantangan Raden Sadana.
Raden Sadana sendiri telah bersiaga, untuk menyambut datangnya serangan itu dengan
dibantu Buyut Wangkeng dan Buyut Sondong beserta murid-murid mereka. Pertempuran pun
terjadi. Banyak prajurit raksasa dan warga desa yang tewas. Raden Sadana akhirnya
mengerahkan Aji Bayurota, menciptakan angin besar membuat Prabu Pulaswa dan para raksasa
yang masih hidup terhempas jauh.
Beberapa hari kemudian, Dewi Sri dan Raden Sadana menerima kedatangan punggawa
Kerajaan Purwacarita, yaitu Arya Nitiradya yang diutus untuk mengajak pulang mereka berdua.
Arya Nitiradya menceritakan bahwa Prabu Sri Mahapunggung dan Dewi Brahmaniyati sangat
sedih atas kepergian Dewi Sri dan Raden Sadana, hingga akhirnya mereka mengutus Patih
Mudabatara untuk meminta petunjuk kepada Begawan Rukmawati di Gunung Mahendra.
Begawan Rukmawati pun menjelaskan bahwa Dewi Sri dan Raden Sadana telah mendirikan
pedukuhan bernama Desa Sringawanti di Hutan Medangagung.
Setelah mendapatkan petunjuk tersebut, Prabu Sri Mahapunggung segera mengutus Arya
Nitiradya untuk mengajak pulang Dewi Sri dan Raden Sadana. Kini Arya Nitiradya telah
bertemu mereka berdua. Jika dulu Raden Sadana kabur meninggalkan istana karena dipaksa
menikah dengan Dewi Panitra (putri Arya Partaka), maka sekarang hal itu tidak perlu
dipermasalahkan lagi karena Prabu Sri Mahapunggung telah menikahkan Dewi Panitra dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Raden Wandu (adik Dewi Sri dan Raden Sadana). Dewi Sri dan Raden Sadana meminta maaf
karena tidak bisa menerima ajakan Arya Nitiradya, mereka mengaku sudah cukup senang tinggal
di Desa Sringawanti dan tidak mau pulang ke istana. Karena gagal membujuk keduanya, Arya
Nitiradya akhirnya mohon pamit kembali ke Purwacarita.
Arya Nitiradya telah tiba di Kerajaan Purwacarita dan melaporkan kegagalannya mengajak
pulang Dewi Sri dan Raden Sadana. Prabu Sri Mahapunggung sangat marah mendengarnya. Ia
menggerutu sendiri apakah kedua anaknya itu lebih suka hidup gelandangan seperti ular atau
burung ? Demikianlah, ucapan seorang ayah yang sedang sakit hati ternyata berubah menjadi
kutukan, meskipun tidak berhadapan secara langsung. Di Desa Sringawanti, tubuh Dewi Sri
seketika berubah menjadi ular, sedangkan Raden Sadana berubah wujud menjadi Sriti. Keduanya
merasa kebingungan dan pergi meninggalkan desa secara terpisah. Sementara itu, di Desa
Wasutira di wilayah Kerajaan Wirata hidup seorang tuwaburu bernama Kyai Wrigu yang
memiliki istri bernama Ken Sangki. Mereka sudah lama menikah namun belum juga memiliki
anak. Pada suatu hari Kyai Wrigu meminta petunjuk kepada gurunya, yaitu Resi Wisama (kepala
pandita Kerajaan Wirata) untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan tersebut. Resi
Wisama menyarankan supaya Kyai Wrigu dan Ken Sangki meminum campuran empat jenis air,
yaitu air dari langit, air dari tanah, air dari tumbuhan, dan air dari binatang sebelum mereka
melakukan hubungan badan. Setelah itu Ken Sangki akan mengandung anak perempuan titisan
Batari Tiksnawati. Akan tetapi, anak perempuan itu hanya bisa lahir apabila Kyai Wrigu
memelihara seekor ular sawah yang tidur melingkar di persawahan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Kyai Wrigu mematuhi nasihat gurunya itu, singkat cerita istrinya telah mengandung. Ketika
memasuki usia kandungan sembilan bulan. Kyai Wrigu lalu pergi ke persawahan dan
menemukan seekor ular sawah tidur melingkar sesuai petunjuk sang guru. Ular itu tidak lain
adalah penjelmaan Dewi Sri yang segera dibawanya pulang dan kemudian ditaruhnya di atas
tempat tidur, dan diberi makanan berupa katak hijau. Begitu ular itu telah ditemukan, seketika
Ken Sangki pun melahirkan seorang bayi perempuan.
Malam harinya, Kyai Wrigu bermimpi si ular sawah dapat berbicara kepadanya, bahwa ia
tidak mau makan katak hijau dan ingin disuguhi sirih ayu, kembang arum, wewangian, dupa,
serta lampu kamar jangan dimatikan. Ia juga menasihati Kyai Wrigu agar tidur di siang hari dan
begadang di malam hari untuk menjaga si bayi dari segala marabahaya. Ia juga berpesan supaya
bayi perempuan tersebut diberi nama Ken Raketan.Kyai Wrigu terbangun dari mimpinya dan
segera melaksanakan apa yang disarankan oleh si ular .
Batara Guru di Kahyangan Jonggringsalaka sangat marah karena Batari Tiksnawati menitis
menjadi manusia tanpa izin. Maka, ia pun mengutus Batara Kala untuk membunuh bayi Ken
Raketan supaya Batari Tiksnawati dapat kembali ke kahyangan. Batara Kala pun berangkat
dengan mengubah wujudnya menjadi serigala.
Kyai Wrigu yang sedang tidur siang di rumahnya bermimpi si ular sawah mengatakan nanti
malam akan ada serigala datang untuk membunuh bayi Ken Raketan. Maka itu, hendaknya pintu
rumah diasapi dengan belerang dan bagian dalam rumah diasapi dengan daun kelapa tiga kali
dalam semalam. Kyai Wrigu juga harus bersesaji nasi punar, lauk hati, dan mengelilingi rumah
sambil membaca mantra menyebut nama Batara Kala. Kyai Wrigu terbangun dari tidur dan
melaksanakan nasihat tersebut. Akibatnya ketika malam tiba Batara Kala dalam wujud serigala
gagal memangsa bayi Ken Raketan dan segera kembali ke kahyangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Hari berikutnya, Batara Guru mengirim Batara Brahma untuk membunuh bayi Ken Raketan.
Batara Brahma pun mengubah wujudnya menjadi seekor sapi liar. Lagi-lagi Kyai Wrigu
bermimpi di siang hari di mana si ular menasihatinya untuk memasang daun nanas yang
dilorengi dengan arang dan abu, serta diasapi dengan kulit bawang merah. Bagian dalam rumah
hendaknya tetap diasapi dengan daun kelapa tiga kali dalam semalam. Selain itu, Kyai Wrigu
juga perlu bersesaji nasi merah, sayur rebus, gantal, kinang, dan paradan dilanjutkan
mengelilingi rumah sambil membaca mantra menyebut nama Batara Brahma. Kyai Wrigu pun
terbangun dari tidur dan segera melaksanakan nasihat tersebut. Akibatnya, pada malam itu Batara
Brahma gagal membunuh bayi Ken Raketan dan kembali ke kahyangan.
Hari berikutnya Batara Guru mengirim Batara Wisnu untuk membunuh bayi Ken Raketan.
Batara Wisnu pun berangkat dengan mengubah wujudnya menjadi babi hutan. Siang harinya
Kyai Wrigu kembali bermimpi mendapat nasihat dari si ular itu supaya menaruh duri pohon
bidara di depan pintu yang diasapi dengan pucuk daun tanjung, sedangkan bagian dalam tetap
diasapi dengan daun kelapa sebanyak tiga kali semalam. Kyai Wrigu juga harus bersesaji nasi
hitam dengan lauk ikan laut, serta mengelilingi rumah sambil membaca mantra menyebut nama
Batara Wisnu. Kyai Wrigu pun terbangun dari tidur dan segera melaksanakan nasihat tersebut,
sehingga Batara Wisnu gagal melaksanakan tugas dan kembali ke kahyangan.
Batara Guru sangat marah dan memutuskan untuk berangkat secara langsung membunuh
bayi Ken Raketan dengan disertai para dewa. Mereka pun mengubah wujud menjadi berbagai
macam binatang, mulai dari burung, kambing, kijang, tikus, sapi, nyamuk, dan semut. Kali ini
Kyai Wrigu dalam mimpinya mendapatkan nasihat panjang lebar dari si ular itu demi
menghadapi serangan besar tersebut. Hendaknya Kyai Wrigu juga mendatangkan tetangga kiri-
kanan, serta jangan sampai melepaskan si bayi dari gendongan. Kyai Wrigu pun terbangun dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
tidur dan segera melaksanakan semua nasihat tersebut, sehingga Batara Guru dan pasukannya
gagal membunuh bayi Ken Raketan.
Batara Guru kembali ke Kahyangan Jonggringsalaka dan ia akhirnya mengetahui kalau
kegagalannya adalah disebabkan campur tangan Dewi Sri. Maka, ia pun mengirim para bidadari
yang dipimpin Batari Nariti (putri Batara Suksena) untuk menjemput Dewi Sri menjadi penghuni
kahyangan.
Rombongan Batari Nariti telah sampai di rumah Kyai Wrigu dan menyusup masuk
menemui ular sawa penjelmaan Dewi Sri. Mereka menyampaikan keputusan Batara Guru untuk
menjadikan Dewi Sri sebagai bidadari kahyangan dan hendaknya tidak lagi campur tangan
melindungi bayi Ken Raketan. Dewi Sri merasa rikuh karena dirinya masih berwujud ular sawa,
sedangkan keberadaan Raden Sadana juga masih belum jelas. Jika ia harus menjadi bidadari,
maka Raden Sadana harus dijadikan dewa pula.
Batari Nariti dan rombongan bidadari itu pun menjelaskan kedatangan mereka adalah untuk
meruwat Dewi Sri kembali menjadi manusia dan menjemputnya naik ke kahyangan, sedangkan
takdir Raden Sadana kelak juga akan teruwat menjadi manusia oleh Begawan Brahmanaresi di
Gunung Indragiri. Dewi Sri merasa lega dan ia pun menurut saat para bidadari itu membebaskan
dirinya dari kutukan. Setelah kembali berwujud manusia, Dewi Sri mengaku keberatan dibawa
ke kahyangan karena tidak tega melihat bayi Ken Raketan dibunuh hanya demi untuk
mengeluarkan roh Batari Tisknawati. Ia menjelaskan bahwa Kyai Wrigu dan Ken Sangki sudah
lama menikah dan baru sekarang bisa mempunyai keturunan, mengapa harus dipisahkan dengan
si bayi secara kejam? Jika ini dianggap sebagai kesalahan, maka Batara Guru selaku raja dewa
seharusnya bisa memberikan jalan keluar yang lebih bijaksana. Batari Nariti tidak dapat
menjawab dan ia pun mengajak rombongannya kembali ke kahyangan untuk melapor kepada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Batara Guru.
Sepeninggal para bidadari, Dewi Sri lalu keluar kamar menemui Kyai Wrigu dan Ken
Sangki. Pasangan suami istri itu gugup bercampur gembira begitu mengetahui bahwa si ular
sawa yang selama ini menolong mereka ternyata penjelmaan putri Kerajaan Purwacarita, yang
merupakan cucu Batara Wisnu. Kyai Wrigu dan Ken Sangki sendiri sebenarnya masih
bersaudara sepupu, dan mereka adalah cicit Batara Siwa, sehingga masih terhitung keponakan
Dewi Sri. Mereka sangat berterima kasih atas segala nasihat Dewi Sri yang telah beberapa kali
menyelamatkan nyawa Ken Raketan.
Tidak lama kemudian Batari Nariti kembali datang untuk menyampaikan keputusan Batara
Guru, bahwa bayi Ken Raketan tidak akan dibunuh, tetapi ditukar rohnya. Batari Tiksnawati
akan dikeluarkan dari tubuh si bayi dan digantikan dengan Batari Daruni. Adapun Batari Daruni
telah berdosa melakukan zinah dengan saudaranya sendiri yang bernama Batara Daruna,
sehingga mereka harus menjalani hukuman terlahir sebagai manusia. Batari Daruni harus menitis
kepada Ken Raketan, sedangkan Batara Daruna harus menitis kepada Raden Suganda, putra
Raden Sutada, atau cucu Raden Brahmaniyata dan Dewi Srinandi di Kerajaan Gilingwesi. Kelak
mereka akan ditakdirkan berjodoh setelah dewasa.
Dewi Sri bersyukur atas keputusan tersebut. Setelah pertukaran roh bayi selesai, Dewi Sri
pun menyatakan bersedia dibawa ke Kahyangan menjadi bidadari, asalkan dijemput
menggunakan pedati yang ditarik Lembu Gumarang dan disediakan cemeti Nagaserang pula.
Batari Nariti segera kembali ke kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru. Tidak lama
kemudian ia kembali lagi dengan membawa apa yang diminta Dewi Sri tersebut. Rupanya Batara
Guru mengetahui maksud Dewi Sri meminta pedati yang ditarik Lembu Gumarang dan
bersenjatakan cambuk Nagaserang adalah sebagai kiasan bahwa ia ingin diangkat sebagai dewi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
pelindung pertanian.
Batara Guru mengabulkan permintaan itu, sehingga dengan demikian, Dewi Sri setiap malam
bisa berkeliling Tanah Jawa mengendarai pedati tersebut dengan melecutkan Cambuk
Nagaserang menebarkan benih tanaman pangan di segenap lahan pertanian.
Dewi Sri sangat bersyukur karena apa yang menjadi keinginannya dikabulkan oleh Batara
Guru. Kini, ia diangkat sebagai bidadari yang bertugas melindungi pertanian di Tanah Jawa.
Dengan mengendarai pedati tersebut, ia pun berangkat dengan didampingi Batari Tiksnawati dan
diiringi para bidadari lainnya.
Sementara itu Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita sedang berduka karena
menantunya, yaitu Dewi Panitra meninggal dunia setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, hasil
perkawinan dengan Raden Wandu. Bayi laki-laki itu kemudian diberi nama Raden Wandawa.
Beberapa bulan kemudian, Prabu Sri Mahapunggung menerima kunjungan sepupunya, yaitu
Begawan Brahmanaresi (putra Batara Brahma) dari Gunung Indragiri di Tanah Hindustan,
bersama putrinya yang bernama Dewi Laksmitawahni, serta cucunya yang masih bayi, bernama
Dewi Hartati.
Begawan Brahmanaresi menjelaskan bahwa Dewi Hartati adalah putri Dewi
Laksmitawahni hasil perkawinan dengan Raden Sadana. Prabu Sri Mahapunggung sangat
terkejut mendengarnya dan ia pun meminta penjelasan lebih lanjut. Begawan Brahmanaresi lalu
bercerita bahwa pada suatu hari Dewi Laksmitawahni mimpi bertemu Raden Sadana dan jatuh
cinta kepadanya. Begitu terbangun, ia memohon kepada ayahnya supaya dinikahkan dengan
pemuda itu. Begawan Brahmanaresi pun bersiap untuk berangkat ke Tanah Jawa. Akan tetapi, ia
merasa kesal karena sanggar tempatnya bersembahyang dikotori oleh seekor burung sriti. Burung
sriti itu lalu dipanahnya dan seketika berubah wujud menjadi Raden Sadana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Raden Sadana menceritakan kalau dirinya mendapat kutukan dari sang ayah menjadi burung
sriti, sedangkan kakaknya yang bernama Dewi Sri berubah menjadi Ular Sawah. Begawan
Brahmanaresi merasa terharu dan bersyukur mendengarnya, lalu ia pun menikahkan Raden
Sadana dengan Dewi Laksmitawahni, putrinya. Akan tetapi, ketika dari perkawinan itu lahir
seorang bayi perempuan yang diberi nama Dewi Hartati, tiba-tiba saja Raden Sadana musnah
karena dijemput Batara Narada untuk menjadi dewa penghuni kahyangan. Jika Dewi Sri
diangkat sebagai dewi padi, maka Raden Sadana diangkat menjadi dewa umbi-umbian dan juga
sandang .
Cerita Sri Sadana ini disusun dari sekian narasumber hasil wawancara tanggal 31 Agustus
2017 dengan Suparno dan Dasuki, kemudian mengambil kutipan dari buku The Story Of Dewi
Sri karya Slamet Riyanto, dan ditulis kembali oleh Nugraha Dhayu Murti.
2.3 Analisis Mitos dalam Prespektif AJ Greimas
Algridas Julian Greimas adalah seorang peneliti Perancis penganut teori struktural. Aktan
dalam teori Greimas, ditinjau dari segi tata cerita menunjukkan hubungan yang berbeda-beda.
Maksudnya, dalam suatu skema aktan suatu fungsi dapat menduduki beberapa peran dan dari
karakter peran kriteria tokoh dapat diamati. Menurut teori Greimas, seorang tokoh dapat
menduduki beberapa fungsi dan peran di dalam suatu skema aktan. Selanjutnya akan dijelaskan
struktur aktansial dan fungsional dalam cerita Keraton Segara Kidul. Kemudian struktur
aktansial dan fungsional dalam cerita Sri Sadana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
2.3.1 Mitos Keraton Segara Kidul
1. Struktur Aktansial Keraton Segara Kidul
Pengirim Objek Penerima
(Retna Suwidi) (hidup abadi) ( Masyarakat Jawa)
Penolong Subjek Penantang
(Dewa) (Retna Suwidi) (Raja Padjajaran)
Dalam cerita Kraton Segara Kidul, Retna Suwidi diposisikan sebagai pengirim karena dia
yang menginginkan kehidupan abadi sebagai objeknya, untuk memperoleh kehidupan abadi ia
ditolong oleh Dewa. Subjek dalam cerita tersebut adalah Retno Suwidi, kemudian penantang
dalam cerita ini adalah Raja Padjajaran karena ia ingin anaknya Retna Suwidi menikah dengan
pangeran kerajaan tetangga. Sedangkan penerima masyarakat melalui Raksasa Putri dan Nawang
Wulan yang diangkat sebagai patih oleh Kanjeng Ratu Kidul untuk melindungi masyarakat dari
bencana. Kanjeng Ratu Kidul berhasil menjadi makhluk halus yang hidup abadi dan mengayomi
masyarakat Pantai Selatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2. Struktur Fungsional Keraton Segara Kidul
I II III
TRANSFORMASI
Situasi Awal Tahap Uji
Kecakapan
Tahap Utama Tahap
Kegemilangan
Tahap Akhir
Retna Suwidi
adalah seorang
Putri Kerajaan
Pajajaran, ia
sangat senang
sekali bertapa. Ia
memiliki
keininan untuk
hidup abadi
Raja Pajajaran
ingin
menikahkan
Retna Suwidi
dengan
pangeran,
namun
ditolaknya dan
ia kabur dari
istana dan
bertapa di
sebuah tempat.
Retna bertemu
dengan dewa
dan ia meminta
untuk hidup
abadi. Dewa
menurutinya,
tetapi ia harus
mau berubah
menjadi
makhluk halus.
Mereka
akhirnya
sepakat.
Retna Suwidi
berubah menjadi
makhluk halus
dan ia menguasai
Pantai Selatan
dan berganti
nama menjadi
Kanjeng Ratu
Kidul.
Kanjen Ratu Kidul
bertemu dengan
Raksasa Putri,
mereka bersama-
sama membangun
istana. Setelah
beberapa lama
Kanjen Ratu Kidul
bertemu dengan
Nawang Wulan yang
melarikan diri dan
menceburkan diri ke
laut. Akhirnya ia
diangkat anak buah
oleh Kanjen Ratu
Kidul bergelar Nyai
Roro Kidul.
Nyai Roro Kidul
diangkat sebagai patih
dan ditugaskan
menjaga Pantai Selatan
sedangkan Raksasa
Putri diberi g elar nama
Nyai Riya Kidul dan
ditugaskan untuk
menjaga Kraton Segara
Kidul dan menayomi
masyarakat Pantai
Parangtritis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
2.3.1 Mitos Sri Sadana
1. Struktur Aktansial Cerita Sri Sadana
Pengirim Objek Penerima
( Sri Sadana) (Pengabdian) (Masyarakat)
(Pengayoman)
Penolong Subjek Penantang
(Begawan Brahmanaresi ) (Sri) (Prabu Sri Mahapugung)
(Kyai Wirgu) (Sadana)
Dalam kisah Sri Sadana, pengirim diposisikan kepada Sri Sadana karena ia berkeinginan
untuk membantu rakyat dan negeri tetangga yang terkena musibah. Objek dari cerita ini adalah
sebuah pengabdian dan pertolongan yang dilakukan oleh subjek dari cerita, yaitu Dewi Sri dan
Raden Sadana. Kemudian sebagai penerima dari pertolongan itu sendiri adalah masyarakat.
Prabu Sri Mahapugung diposisikan sebagai penantang karena ia yang mengutuk Sri dan
Sadana lantaran sakit hati atas kaburnya mereka dari istana, untuk membantu masyarakat luar.
Bathara Guru juga diposisikan sebagai penantang karena ia yang menginginkan kematian putra
Kyai Wirgu karena putranya adalah titisan dari Bathari Tiksnawati yang tanpa sepengetahuan
dewa turun ke bumi. Sedangkan penolongnya adalah Begawan Brahmanaresi dan Kyai Wirgu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
karena mereka yang membuat kutukan Sri dan Sadana hilang. Sri Sadana berhasil menjadi dewa,
Dewi Sri diangkat menjadi dewi yang memberikan berkah lewat tumbuhan padi dan Raden
Sadana diangkat menjadi dewa yang mengayomi umbi-umbian, pakaian, dan bumi.
2. Struktur Fungsional Sri Sadana
I II III
TRANSFORMASI
Situasi Awal Tahap Uji
Kecakapan
Tahap Utama Tahap
Kegemilangan
Tahap Akhir
Sri dan Sadana pergi
meningalkan istana.
Raja Sri
Mahapugung ayah
mereka meminta
mereka kembali.
Setelah Sri dan
Sadana sampai di
Istana, ayahnya
kesal dan mengutuk
mereka. Dewi Sri
dikutuk menjadi
Ular Sawah dan
Raden Sadana
dikutuk menjadi
Burung Sriti.
Mereka
meninggalkan istana
secara terpisah.
Ular Sawah
penjelmaan dari
Dewi Sri
ditemukan oleh
Kyai Wrigu, ular
itu banyak
membantu
keluarga Kyai
Wirgu dari
amarah Batara
Guru. Sedangkan
Raden Sadana
ditemukan oleh
Begawan
Brahmanaresi.
Batara Guru
menyuruh bidadari
untuk menjemput
dan merubah Dewi
Sri menjadi wujud
semula. Dewi Sri
bersedia naik ke
khayangan asalkan
keluarga Kyai
Wiru tetap damai.
Dewa
mengabulkan
keinginanya dan
Dewi Sri diangkat
ke khayangan.
Sedangkan Raden
Sadana menikah
denan Dewi
Lakshmitawati.
Kutukanya telah
dibebaskan oleh
Begawan
Brahmanaresi.
Dewa mengabulkan
keinginanya dan
Dewi Sri diangkat
ke khayangan. Kyai
Wirigu sangat
berterimakasih
kepada Dewi Sri.
Kemudian Raden
Sadana dianugrahi
seorang putri, tetapi
setelah putrinya
lahir ia musnah dan
dijemput Batara
Narada untuk
diangkat ke
khayangan.
Dewi Sri ditugaskan
menjadi Dewi Bumi
dan Padi-padian.
Sedankan Raden
Sadana diangkat
menjadi Dewa
Sandang dan
tumbuh-tumbuhan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
2.4 Rangkuman
Mitos Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri mengungkapkan kisah cerita mulai dari asal-usul
Dusun Mancingan yang pada dahulu kala adalah tempat untuk memancing, sehingga sekarang
disebut Mancingan. Kemudian asal-usul Desa Parangtritis, terdapat sebuah gua kecil di sebelah
utara Pantai Parangtritis dikenal dengan nama Gua Panepen yang merupakan asal mula Desa
Parangtritis.
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri memiliki dua kisah yang menjadi mitos asal-usul dalam
pelaksanaanya. Pertama, cerita Keraton Segara Kidul yang sampai sekarang dikuasai oleh
Kanjeng Ratu Kidul. Cerita Keraton Segara Kidul berawal dari Retno Suwidi Putri Kerajaan
Padjajaran yang memilih untuk meninggalkan kerajaan untuk bertapa, kemudian ia bertemu
dengan dewa dan merubah wujudnya menjadi makhluk halus. Retno Suwidi berubah menjadi
Kanjeng Ratu Kidul atas izin dewa untuk menjadu penguasa laut selatan. Dalam membangun
kerajaan laut Kanjeng Ratu Kidul bertemu dengan raksasa putrid dan Dewi Nawanwulan.
Mereka bersedia menemani Kanjeng Ratu Kidul dan diberi nama Nyai Roro Kidul dan Nyai
Riya Kidul.
Kisah selanjutnya adalah Sri Sadana, cerita berawal dari Sri yang dikutuk menjadi Sriti dan
Sadana menjadi ular karena meninggalkan istana untuk membantu masyarakat dan membuat
ayahnya Raja Sri Mahapugung sakit hati. Dalam pengembaraanya Dewi Sri dirawat oleh Kyai
Wirgu, sedangkan Raden Sadana dirawat oleh Begawan Brahmanaresi. Cerita berakhir dengan
diangkatnya Dewi Sri menjadi Dewi Padi dan Raden Sadana menjadi Dewa Umbi-umbian.
Untuk memperjelas gambaran alur cerita, penulis merumuskan struktur aktansial dan fungsional
dari cerita Keraton Segara Kidul dan Sri Sadana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
BAB III
RITUS TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI
Pada Bab III ini, akan dibahas ritus Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Dalam bab ini
akan dijelaskan prosesi sebelum upacara dimulai, pelaksanaan upacara, dan kegiatan setelah
upacara. Beberapa unsur tersebut akan berkaitan dengan bab selanjutnya untuk menggali fungsi
dari Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Dalam ritus ini dipergunakan kata-kata, gerak-gerik, dan dilakukan secara perseorangan
atau bahkan segenap anggota masyarakat. Dalam menjalankan ritus dipimpin oleh seorang
perantara seperti pendeta, imam, kaum, dan kepala desa (lurah). Upacara-upacara dalam
lingkungan rumah tangga biasanya dilakukan untuk memulihkan jenjang hidup seseorang,
sedangkan upacara besar yang dilakukan oleh sekelompok orang di dalam masyarakat.
Ritus tersebut oleh masyarakat disebut nyadran, merti desa, riyaya yang tujuanya untuk
memulihkan jiwa-jiwa yang telah meninggal, sebagai sarana untuk introspeksi diri, dan
mengucapkan terima kasih kepada yang dianggap menunggu desa itu (Pusat Penelitian Sejarah
dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996-1997: 122).
Pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri diadakan setiap satu tahun sekali pada Selasa
Wage, sekaligus memperingati hari jadi Kelurahan Parangtritis. Apabila dalam bulan Mei tidak
ada hari Selasa Wage maka dilaksanakan pada bulan berikutnya, yaitu bulan Juni (Suparno,
2005:15). Selain sebagai sarana ritual, pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri juga
sebagai sarana atau sebagai pesona wisata Pantai Parangtritis untuk menarik wisatawan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
3.1 Persiapan Upacara
Sebelum dilaksanakan upacara, masyarakat Dusun Mancingan mengadakan musyawarah
dan pembentukan panitia. Bapak Andri Sarwoko selaku kepala dusun mengadakan rapat untuk
membentuk panitia. Agenda musyawarah diadakan pada bulan Maret atau dua bulan sebelum
pelaksanaan upacara. dalam musyawarah melibatkan tokoh masyarakat, ketua RT, ketua RW,
Karang Taruna dan masyarakat. Dalam musyawarah ini disusun kembali kepanitiaan dengan
diadakan pemilihan secara demokratis kecuali sesepuh adat (Suparno, 2004:16). Kemudian
disusun komponen kepanitiaan sebagai berikut.
a. Sesepuh adat yang terdiri dari tiga orang, setiap tahunya akan tetap menjadi
sesepuh.
b. Pengurus harian yang terdiri dari:
Ketua umum : Kepala Dusun Mancingan
Ketua 1 : tokoh masyarakat
Ketua 2 : tokoh masyarakat
Sekertaris 1 : tokoh pemuda
Sekertaris 2 : tokoh pemuda
Bendahara 1 : tokoh masyarakat
Bendahara 2 : tokoh masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
Seksi-seksi yang melibatkan RT dan RW antara lain:
1. Seksi upacara
2. Seksi usaha dan komunikasi
3. Seksi Kesenian
4. Seksi akomodasi
5. Seksi kosumsi
6. Seksi keamanan
Setelah membagi tugas kedalam divisi, dilanjutkan dengan membuat susunan acara mulai
dari tahap awal hingga akhir. Setiap divisi mengajukan anggaran biaya kebutuhan untuk
dimusyawarahkan dengan dana yang tersedia. Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri sampai saat ini
sudah diakui dan disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Bantul. Masyarakat Dusun Mancingan
diminta untuk mempersiapan segala kebutuhan termasuk ubo rampe atau perlengkapan sesaji
baik makanan atau barang yang nantinya akan dilabuh di Pantai Parangkusumo.
Pihak panitia juga berusaha mencari bantuan berupa donatur bagi penduduk setempat yang
dirasa mampu. Menjelang tiga hari sebelum pelaksanaan, panitia melakukan pemantapan
musyawarah dari segi dana dipastikan tidak mengalami kekurangan bahkan diharapkan lebih
banyak terkumpul dari yang dianggarkan. Kemudian dari segi publikasi maupun surat-surat yang
diperlukan harus sudah beres, terutama informasi untuk masyarakat di luar Parangtritis dan surat
undangan untuk tamu terhormat.
Dari segi kosumsi dipastikan tidak akan ada makanan yang kurang, dan memastikan makanan
baik untuk dikosumsi. Dari segi kesenian juga sudah sipastikan siapa saja yang nantinya akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
ikut. Kepastian dari peserta yang nantinya ikut kirab juga harus sudah diputuskan. Begitu juga
dengan keamanan dan akomodasi juga harus sudah dipersiapkan dengan baik (wawancara
dengan Suparno tanggal 30 Agustus 2017, di Mancingan Parangtritis Bantul).
Masyarakat Dusun Mancingan yang terdiri dari delapan RT masing-masing mempersiapkan
perlengkapan seperti pakaian yang akan dipakai dan perlengkapan yang akan dilabuh. Mengenai
perlengkapan yang akan di arak dan dilabuh, menurut Suparmi (melalui wawancara tanggal 30
Agustus 2017) berpendapat "Seng disajekke menika wonten kembang, hasil bumi lajeng didamel
gunungan menika, ingkang nyade rasukan nggih rasukan niku ingkang dilarung, ingkang nyade
hasil bumi nggeh nglarung hasil bumi, mangkeh banjur diarak wonten kirab".
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai berikut. " Perlengkapan
yang disajikan itu ada bunga, hasil bumi dan nantinya akan dibuat menjadi gunungan.
Masyarakat yang berjualan pakaian maka pakaian itu yang nantinya akan dilabuh, begitu juga
yang mempunyai hasil bumi yang nantinya akan dilabuh, nantinya semua itu akan dibawa dalam
pelaksanaan ngguwangi. Suparno (melalui wawancara 30 Agustus 2017) menambahkan " Untuk
persiapan sesaji yang terdiri dari kolak kencana, golong kencana, roncean melati, kembang
songgo buwana dan disusun seperti gunungan".
3.2 Pelaksanaan Upacara
Pelaksanaan kegiatan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, dilakukan dalam beberapa tahapan.
Sebelum menjalankan prosesi upacara, masyarakat Dusun Mancingan mengadakan kegiatan
bersih dusun. Bentuk dari bersih dusun tersebut adalah membersihkan lingkungan
perkampungan, mulai dari pinggir jalan, rumah warga hingga tempat ibadah. Kemudian
masyarakat juga membersihkan lingkungan pantai seperti sampah-sampah yang berserakan di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
pinggir pantai. Kompleks pertokoan dan tempat usaha juga ikut dibersihkan. Kemudian tempat
umum seperti makam leluhur, halaman wurah, dan akses jalan juga ikut dibersihkan. Kegiatan
bersih dusun dilakukan secara bergotong-royong oleh seluruh warga Dusun Mancingan termasuk
pemuda. Kegiatan tersebut dilakukan satu minggu sebelum pelaksanaan Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri dan mengambil hari minggu atau libur, karena di hari libur semua
masyarakat dapat terlibat (wawancara dengan Suparno 30 Agustus 2017).
Menurut versi dari dokumentasi dari Hadi Wibowo, pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri tahun 2017, agenda hari kamis 4 Mei 2017 adalah kerja bakti yang dilaksanakan oleh
semua warga RT satu sampai delapan. Kegiatan kerja bakti tersebut dilakukan di jalan, pantai,
lingkungan, dan halaman rumah. Pada hari Jumat 5 Mei 2017 diadakan kerja bakti khusus
makam umum yang ada di Dusun Mancingan. Kemudian pada hari sabtu malam tanggal 7 Mei
2017 diselenggarakan festival karawitan yang diikuti oleh anak-anak sekelurahan Parangtritis.
Acara tersebut diisi dengan penampilan kelompok karawitan dan juga tarian kreasi baru
yang disajikan oleh anak-anak. Menurut Suraji (dalam video dokumentasi Hadi Wibowo) tujuan
dari kegiatan tersebut adalah melestarikan kesenian karawitan dan memberikan wadah
berekspresi untuk generai penerus selanjutnya. Festival tersebut diselenggarakan di Balai RT 07
Pamancingan pada hari Minggu 8 Mei 2017. Kemudian malam Senin diselenggarakan pengajian
dan doa bersama, yang tujuanya agar masyarakat Dusun Mancingan diberikan ampun seluruh
dosanya, supaya kehidupanya ayem tentrem, dan lancar rejekinya.
Pada hari Senin 9 Mei 2017 diadakan kenduri massal yang dilaksanakan semua RT masing-
masing. Setiap RT melaksanakan kenduri yang berbeda, ada yang pagi, siang, sore, dan malam.
Tujuan dari acara kenduri tersebut agar masyarakat belajar untuk bersedekah atau mengeluarakan
sedekah untuk warganya, selain itu kegiatan ini dapat membangun kerjasama antar warganya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Hari upacara dipilih hari Selasa 10 Mei 2017 atas kesepakatan bersama kepala desa yang
bertepatan dengan hari jadi Desa Parangtritis. Pada pagi hari tepatnya jam 08.40 masing-masing
warga yang terdiri dari delapan RT mengadakan selamatan dengan berkenduri bersama. Kenduri
dipimpin oleh bapak RT sendiri atau orang yang telah ditunjuk untuk memimpin kenduri. Peserta
kenduri terdiri dari seluruh warga RT yang bersangkutan mulai dari anak-anak, remaja, orang
dewasa dan orang tua. Pelaksanaan kenduri ditempatkan di rumah ketua RT atau tempat yang
sudah disepakati (rumah warga yang masih dalam lingkungan RT). Semua ubo rampe yang telah
dipersiapkan termasuk bunga-bunga, dan makanan diletakkan di tengah para warga berkumpul.
Semua warga berkumpul lengkap dengan pakaian adat dan ubo rampe, karena kenduri
segera dilaksanakan. Setelah pelaksanaan kenduri oleh masing-masing RT, pada pukul 09.00
warga bersiap untuk berangkat menuju Joglo Parangtritis. Sebelum itu Pak RT memberikan
penjelasan mengenai pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri kepada masyarakat RTnya,
baru pukul 09.30 masyarakat tiap-tiap RT membawa sesaji yang akan dilabuh ke laut berjalan
bersama-sama menuju Joglo Parangtritis.
Tepat pukul 10.00 semua warga Mancingan berkumpul di Joglo Parangtritis lengkap
dengan perlengkapan yang nantinya akan diarak. Semua para tamu undangan seperti pejabat
pemerintah Kabupaten Bantul, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bantul, Camat Kretek,
Lurah Desa Parngtritis, Kepala Dusun di wilayah Desa Parangtritis, dan tokoh-tokoh masyarakat
ikut berkumpul di Joglo Parangtritis. Waktu menunjukkan pukul 12.30 acara resmi dibuka oleh
ketua panitia, dan dilanjutkan dengan sambutan dari Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bantul atau yang mewakilkan.
Menurut Tuminah (wawancara tanggal 31 Agustus 2017) pesan yang disampaikan oleh
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bantul intinya adalah Himbauan masyarakat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Dusun Mancingan agar selalu melestarikan adat istiadat seperti Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
sampai ke generasi selanjutnya, karena kegiatan tersebut merupakan warisan budaya asli
Indonesia khususnya masyarakat Jawa yang tidak boleh ditinggalkan.
Kemudian acara dilanjutkan dengan sambutan Bupati Bantul atau yang mewakilinya dan
yang terakhir oleh Pak Camat. Menurut Tuminah (wawancara tanggal 31 Agustus 2017) pesan
yang disampaikan oleh bupati dan camat intinya adalah Pemerintah Kabupaten Bantul
memberikan apresiasi kepada masyarakat Dusun Mancingan yang sampai saat ini masih
menyelenggarakan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Mereka berharap perkampungan lain
khususnya di Kecamatan Kretek juga menyelenggarakan upacara adat seperti yang dilakukan
masyarakat Dusun Mancingan.
Setelah acara sambutan dari tamu undangan, ketua panitia atau kepala dusun menyampaikan
penjelasan mengenai inti, tujuan, dan sejarah diselenggarakanya Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri. Menurut Suparno (melalui wawancara 30 Agustus 2017) menjelaskan bahwa isi yang
disampaikan ketua panitia atau kepala dusun dalam acara Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
intinya adalah supaya masyarakat Dusun Mancingan khususnya diberikan keselamatan dan
terhindar dari bencana, baik yang datang dari laut maupun dari darat. Selain itu kegiatan ini
merupakan salah satu cara agar masyarakat kompak dan rukun dalam menjalin hubungan antar
warga. Selain kedua hal tersebut kegiatan ini juga menjadi sarana pelestarian budaya yang ada di
Desa Parangtritis.
Kemudian acara dilanjutkan dengan makan bersama. Semua orang yang hadir dalam acara
tersebut dibagikan makanan yang telah dikemas dalam takir. Para tamu undangan juga
disuguhkan menu yang sama hanya penyajianya sedikit berbeda. Isi dari menu takir tersebut
yang pokok adalah nasi uduk lengkap dengan suwiran pitik. Setiap RT berbeda-beda ada yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
menggunakan ayam goreng dengan sambal kentang (wawancara dengan Tuminah 29 Agustus
2017).
Setelah agenda makan bersama acara dilanjutkan dengan prosesi kirab, masyarakat bersiap
membawa sesaji masing-masing untuk dibawa ke Cepuri Parangkusumo. Peserta kirab mulai
dibariskan sesuai dengan aturan yang sudah ada. Tepat pukul 14.00 Kepala Dinas Pariwisata
Bantul secara resmi melepas kirab Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Peserta kirab mulai berjalan
dari Pendopo Parangtritis melalui permukiman warga menuju Cepuri Parangkusumo.
Pasukan kuda Manggolo Yudho sebagai pengaman perjalanan mengawali prosesi kirab.
Manggolo Yudho sebagai pembuka jalan, dan disusul dengan prajurit Lombok Abang yang
berasal dari Parangtritis. Prajurit tersebut berbaris membentuk dua banjar dengan membawa
tombak, dan sebagian membawa alat musik pengiring seperti bendhe, seruling, dan terompet.
Kemudian disusul dengan rombongan drumben sebagai pengatur langkah barisan.
Rombongan drumben berasal dari siswa Sekolah Dasar yang ada di Desa Parangtritis. Dalam
prosesi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri setiap tahunya tidak lepas dari kesenian drumben
karena menurut beberapa warga kelompok musik tersebut membuat acara semakin hidup dan
meriah (wawancara dengan Suparmi31 Agustus 2017).
Barisan berikutnya adalah pembawa sesaji utama yang terdiri dari Pisang Sanggan atau
pisang raja yang ditaruh dalam tampah kemudian dibalut dengan kertas warna emas. Kemudian
terdapat gunungan buah dan tumpeng sebagai isyarat atau sarana upacara. Kemudian tokoh
spiritual yang terdiri dari sesepuh Bapak Suraji Parangpertopo, kemudian Bapak Tri Waldiyono,
dan Bapak Ngajiral. Ketiga orang tersebut merupakan pengganti dari ketiga tokoh spiritual
sebelumnya yang mulai aktif pada tahun 1983 yaitu kepala juru kunci Parangkusumo yang
bernama R.Yoto Tarwono, tokoh supranatural Bapak Budhiasih Suparno, B.A dan Bapak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Sumardi Djiwo Rejo (wawancara dengan Tuminah 30 Agustus 2017).
Setelah itu barisan tokoh masyarakat dan tamu undangan, termasuk Kepala Dinas
Pariwisata Bantul, Camat Kretek, dan Lurah Parangtritis. Barisan berikutnya adalah rombongan
RT secara lengkap mulai dari satu hingga delapan dan membawa sesaji yang berbeda seperti
hasil bumi, pakaian, buah, makanan dan tumpeng. Setiap RT juga menyuguhkan hiasan khas dari
Mancingan. Barisan terakhir adalah rombongan Jathilan, Oglek, ogoh-ogoh dan kesenian lain
yang ada di Parangtritis .
Setelah barisan berjalan melalui pantai menuju Parangkusumo masuk ke Cepuri. Di dalam
Cepuri barisan pembawa sesaji masuk bersama tokoh spiritual untuk menyampaikan ujub
penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan memohon ijin untuk menyampaikan
persembahan sesaji untuk dilarung ke laut selatan dan dipersembahkan ke penguasa laut selatan.
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri berakhir pukul 17.00 setelah kegiatan melarung sesaji
dan menabur bunga di Pantai Parangkusumo. Pada akhir prosesi ini masyarakat Dusun
Mancingan maupun pengunjung dari luar Parangtritis ikut mengambil bagian dari jodhang yang
dipercaya dapat mendatangkan berkah bagi siapa yang mengambilnya. Warga yang menyaksikan
prosesi ngguwangi tersebut larut dalam suasana sacral dan tidak mau beranjak pergi sebelum
acara berakhir.
Pada malam hari, tepatnya malam hari Rabu Kliwon diadakan pementasan wayang kulit
semalam suntuk. Pagelaran ini merupakan puncak dari kegiatan Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri. Tempat pementasan setiap tahunya berbeda-beda, masyarakat menyetujui dengan adanya
system bergilir dalam menyelenggarakan Pagelaran Wayang Kulit. Pada tahun 2017 Pagelaran
Wayang Kulit di selenggarakan di Joglo Parangtritis oleh dalang Ki Cermo Suwondo Hadi
Prayitno, dengan lakon Sri Sadana. Ki Cermo Suwondo Hadi Prayitno merupakan dalang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
yangberasal dari Bantul, anak dari Almarhum Ki Timbul Hadi Prayitno. Lakon Sri Sedana
mengisahkan mengenai cerita Dewi Sri. Diceritakan Dewi Sri atau Dewi Sulastri adalah putri
sulung Prabu Sri Mahapunggung, raja dari Medangkamulan dengan Dewi Danawati. Prabu Sri
Mahapugung adalah nama gelar Bathara Srigati, putra Sanghyang Wisnu dengan Dewi Sri Sekar
atau Sri Widowati yang turun ke Arcapada untuk menjaga kelestarian dunia. Dewi Sri berwajah
sangat cantik dan diyakini sebagai titisan Bathari Sri Widowati, neneknya. Dewi Sri memiliki
sifat dan perwatakan murah hati, baik budi, sabar dan bijaksana. Bersama adiknya Sadana, ia
dikenal sebagai dewa yang memakmurkan hasil bumi. Dewi Sri sebagai diangkat Dewa Padi,
sedangkan adiknya Sadana sebagai Dewa Sandang. Namun ada yang mengatakan bahwa Sadana
merupakan Dewa Umbi-umbian (wawancara dengan Dasuki 16 September 2017).
Dalam lakon pewayangan" Sri Sadana" diceritakan, bahwa Sadana meloloskan diri pergi
dari negara Medangkamulan karena dimarai oleh ayahnya. Dewi Sri setelah mengetahui
kepergian adiknya, lalu pergi mencarinya. Setelah melaui berbagai rintangan dan pengalaman
pahit, karena bertemu dengan raksasa yang bernama Kalagumarang atau Karungkala yang terus
mengejarnya. Setelah selamat dari nafsu jahat raksasa itu, akhirnya Dewi Sri bertemu dengan
Sadana. Sebagai Dewa Hasil Bumi mereka dipercaya hidup sampai akhir zaman. Lakon tersebut
sangat berkaitan dengan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, karena tradisi tersebut memiliki arti
menghargai bumi pertiwi dan juga kemakmuran hasil bumi (wawancara dengan Suparno 30
Agustus 2017).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
3.3 Kegiatan Sesudah Upacara
Menurut Tuminah (wawancara tanggal 29 Agustus 2017), setelah acara selesai para warga
membersihkan sisa-sisa sampah mulai dari pinggir jalan, Joglo Parangtritis dan sepanjang pantai,
kemudian membereskan panggung beserta tenda-tenda yang masih terpasang. Sedangkan panitia
sendiri melakukan evaluasi bersama untuk membahas masukan, saran, kekurangan dan kelebihan
selama kegiatan berlangsung agar pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri pada tahun
berikutnya dapat lebih baik lagi.
3.4 Rangkuman
Pelaksanaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri diadakan setiap satu tahun sekali pada hari
Selasa , sekaligus memperingati hari jadi Kelurahan Parangtritis. Sebelum dilaksanakan upacara
Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, masyarakat Dusun Mancingan mengadakan
musyawarah dan pembentukan panitia. Bapak Andri Sarwoko selaku kepala dusun mengadakan
rapat untuk membahas rangkaian acara Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Kemudian masyarakat
Dusun Mancingan yang terdiri dari delapan RT masing-masing mempersiapkan perlengkapan
seperti pakaian yang akan dipakai dan perlengkapan yang akan dilabuh. Perlengkapan yang akan
dilarung terdiri dari bunga, hasil bumi yang nantinya akan dibuat menjadi gunungan, kemudian
pakaian pantai, dan hasil bumi.
Dalam pelaksanaan kegiatan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri dilakukan dalam beberapa
tahapan, hal yang wajib dilasanakan oleh Masyarakat Dusun Mancingan adalah mengadakan
kegiatan bersih dusun. Bentuk dari bersih dusun tersebut adalah membersihkan lingkungan
perkampungan, mulai dari pinggir jalan, rumah warga hingga tempat ibadah. Kemudian
masyarakat juga membersihkan lingkungan pantai, pertokoan, dan makam. Kegiatan kerja bakti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
dilakukan secara bergotong-royong dan dilakukan satu minggu sebelum pelaksanaan Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Kemudian pada hari sabtu malam diselenggarakan festival karawitan yang diikuti oleh anak-
anak sekelurahan Parangtritis. Pada hari Minggu atau malam senin diselenggarakan pengajian
dan doa bersama yang dihadiri oleh seluruh warga Mancingan. Setelah dilaksanakan doa
bersama, hari Senin diadakan kenduri masal yang dilaksanakan masing-masing RT. Setiap RT
melaksanakan kenduri yang berbeda, ada yang pagi, siang, sore, dan malam.
Hari upacara dipilih hari Selasa Wage pagi hari tepatnya jam 08.40 masing-masing yang
terdiri dari delapan RT mengadakan selamatan dengan berkenduri. Kenduri bertujuan untuk
mendoakan leluhur yang sudah meninggal, kenduri dipimpin oleh bapak RT sendiri atau orang
yang telah ditunjuk memimpin kenduri. Peserta kenduri terdiri dari seluruh warga RT yang
bersangkutan mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua. Pelaksanaan kenduri
ditempatkan di rumah ketua RT atau tempat yang sudah disepakati, seperti rumah warga yang
masih dalam lingkungan RT.
Setelah pelaksanaan kenduri masyarakat tiap-tiap RT membawa barisanya mengiringi sesaji
menuju Joglo Parangtritis. Kemudian acara dimulai dengan sambutan -sambutan dan dilanjutkan
dengan andarwina (makan bersama) yang dikemas dalam takir.Setelah agenda makan bersama
acara dilanjutkan dengan prosesi kirab, masyarakat bersiap membawa sesaji masing-masing untuk
dibawa ke Cepuri di utara Pantai Parangkusumo.
Upacara berakhir pukul 17.00 setelah kegiatan melarung sesaji dan menabur bunga. Pada
akhir prosesi ini masyarakat Dusun Mancingan maupun pengunjung dari luar Parangtritis ikut
mengambil bagian dari jodhang. Jodhang dipercaya dapat mendatangkan berkah bagi siapa yang
mengambilnya. Acara ditutup dengan Pagelaran Wayang Kulit dengan lakon Sri Sadana oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Dalang Ki Cermo Suwondo. Setelah semua rangkaian acara selesai para warga membersihkan
sisa-sisa sampah mulai dari pinggir jalan, Joglo Parangtritis, dan sepanjang pantai. Kemudian
membereskan panggung beserta tenda-tenda yang masih terpasang. Sedangkan panitia sendiri
melakukan evaluasi bersama untuk membahas saran, masukan, kekurangan dan kelebihan selama
acara berlangsung, agar kegiatan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri kedepannya dapat lebih baik
lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
BAB IV
FUNGSI TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI
Pada bab empat ini akan dibahas fungsi dalam Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Untuk mengungkap fungsi tradisi tersebut digunakan empat fungsi folklor yang dikemukakan
oleh William R Bascom, yaitu sebagai sistem proyeksi, sarana legitimasi, sebagai alat pemaksa,
dan sarana pendidikan (Bascom, 196: 3-20).
4.1 Sistem Proyeksi
Sistem Proyeksi difungsikan sebagai alat pencermin angan-angan masyarakat. Dalam hal ini
masyarakat Dusun Mancingan mengadakan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri bukan semata-
mata untuk melestarikan tradisi, tetapi juga bagian dari proyeksi tersebut. Salah satu wujud
proyeksi tersebut adalah keinginan untuk menghormati leluhur mereka, salah satunya Nyai
Gedhojang dan Kyai Sela Hening (wawancara dengan Tuminah 31 Agustus 2017).
Nyai Gedojang itu merupakan anak putrinya Ki Sela Hening, kemudian Nyai Gedojang
memiliki putra bernama Kyai Reti atau Kyai Arisbaya. Menurut cerita warga kesaktian Kyai Reti
melebihi Syekh Bela-Belu. Ketika masih hidup, Kyai Arisbaya mempunyai hobi berburu
binatang liar, tetapi binatang tersebut harus ditangkap dalam keadaan hidup. Setelah tertangkap
kemudian binatang hasil buruan tersebut dipelihara dalam grogolan, yaitu semacam kandang
yang cukup luas yang dibuat di tengah hutan. Adapun kayu yang dipergunakan untuk membuat
grogolan tersebut adalah kayu jati glondongan. Terkadang hasil buruan tadi dipersembahkan
kepada Sang Raja di Mataram. Dengan adanya grogolan atau kandang hewan di tengah hutan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
tersebut, maka perkampungan jati itu terkenal dengan nama Kampung Grogol, dan nama itu
terus dipakai sampai sekarang (wawancara dengan Tuminah 31 Agustus 2017).
Selain para leluhur, masyarakat Mancingan juga menghormati dewa-dewa yang ada di
sekitar Pantai Parangtritis yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Penguasa laut selatan tersebut merupakan
objek proyeksi masyarakat, termasuk juga dewa hasil bumi Sri dan Sadana. Kanjeng Ratu Kidul
merupakan dewa pelindung mereka dari bencana laut khususnya sekaligus dewa penjaga laut
selatan, sedangkan Sri Sadana merupakan dewa kemakmuran. Sampai saat ini kepercayaan itu
masih tetap terjaga dan sampai saat ini juga kemakmuran dan keselamatan itu masih tetap ada.
Mereka percaya bahwa dewa-dewa tersebut merupakan perantara Tuhan sebagai pengayom
masyarakat Parangtritis. Melalui Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri itulah bentuk dari keinginan
masyarakat untuk menghormati mereka.
Dalam perayaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri terdapat rangkaian acara berupa bersih-
bersih lingkungan seperti makam, pinggir jalan, rumah dan pertokoan, karena salah satu tujuan
dari Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri adalah membersihkan lingkungan, atau memurnikan
kembali perkampungan yang sudah penuh dengan segala bentuk kotoran. Menurut kepercayaan
masyarakat di Indonesia, kebersihn adalah sebagian dari iman. Maka dari itu masyarakat
memiliki keinginan membersihkan lingkungan agar senantiasa bersih dari kotoran dalam bentuk
apapun, melalui Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Kemudian kegiatan tersebut juga merupakan
bentuk usaha masyarakat untuk memperkenalkan wisata Pantai Parangtritis. Selama ini Pantai
Parangtritis hanya menawarkan wisata pantai dan rumah makan saja, tetapi dengan adanya Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri akan menambah ikon wisata baru berupa wisata budaya yang
dimiliki oleh warga asli Pantai Parangtritis. Selain itu sebagai upaya pemajuan kebudayaan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
sesuai dalam Pasal 5 UUD RI Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan)
4.2 Legitimasi
Legitimasi dalam hal ini tergolong dalam legitimasi tradisional yang menjelaskan
mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan keputusan atau kebijaksanaan,
yang diambil pemimpin dalam lingkup masyarakat adat. Tuturan dari leluhur itulah yang
membuat masyarakat Dusun Mancingan percaya akan keberadaan dewa yang ada di sekitar
mereka. Legitimasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga masyarakat seperti kelurahan juga
berkaitan dengan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, salah satunya adalah hari jadi Kelurahan
Parangtritis yang bertepatan dengan terselenggaranya Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Selain itu fungsi untuk lembaga kebudayaan seperti Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Bantul dapat mengesahkan atau mengarsipkan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
sebagai event pariwisata dan kebudayaan yang ada di Bantul khususnya di Desa Parangtritis.
Dengan adanya pengarsipan tersebut maka Pemerintah Kabupaten Bantul akan mengakui bahwa
tradisi tersebut asli milik masyarakat Bantul. Selain itu Pemerintah Bantul akan memberikan
dukungan seperti anggaran biaya yang bisa digunakan untuk perayaan Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri.
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri merupakan sarana atau sebagai obyek legitimasi
masyarakat, seperti kontak dengan Kanjeng Ratu Kidul dan kepercayaan kepada Dewi Sri dan
Raden Sadana. Kanjeng Ratu Kidul sebagai penguasa laut selatan menjadikan masyarakat
Parangtritis percaya akan keberadanya, sebagai dewa pelindung mereka. Dengan adanya tradisi
ini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan lokal yang berasal dari leluhur mereka masih tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
dipertahankan dan diwariskan ke generasi muda, dibuktikan dengan keterlibatan pemuda-pemudi
bahkan anak-anak dalam rangkaian acara tersebut. Selain itu akan menambah pengaruh pada
pihak pengelola pantai dan pedagang di sekitar Pantai Parangtritis, karena melalui tradisi tersebut
Parangtritis akan lebih dikenal oleh masyarakat luas dan peminat pengunjung tentunya akan
meningkat dan menguntungkan pihak-pihak terkait.
Masyarakat Dusun Mancingan rata-rata berprofesi sebagai petani, maka dari itu terdapat
legitimasi agraris. Dalam perayaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri terdapat Jodhang yang
berisikan hasil bumi seperti padi, umbi-umbi dan sayuran. Dari peristiwa tersebut dapat
dibuktikan bahwa masyarakat Mancingan bermata pencaharian sebagai petani. Berdasarkan
tradisi setelah panen padi dan umbi mereka melakukan syukuran setiap tahunya berupa
persembahan hasil bumi kepada Tuhan sebagai wujud syukur mereka, disitu bisa dibuktikan
bahwa Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri merupakan bagian dari wujud syukur masyarakat
Mancingan dan sebagai bukti bahwa masyarakat agraris di daerah Parangtritis memiliki hasil
bumi yang makmur.
4.3 Alat Pemaksa
Tradisi tersebut merupakan bagian dari norma masyarakat yang harus dipatuhi khususnya
Mancingan karena mereka masih percaya dengan adanya dewa, roh leluhur, maupun makhluk
yang menghuni atau menjaga di sekitar tempat mereka tinggal. Maka dari itu warga yang tinggal
di situ harus mau melaksanakan tradisi tersebut sebagai salah satu cara menghormati nenek
moyang atas dasar norma yang berlaku.
Masyarakat Pantai Parangtritis khususnya Dusun Mancingan melakasanakan Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri bukan tanpa alasan sembarang, keberadaan dewa-dewa seperti Kanjeng Ratu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Kidul merupakan hal yang tidak asing lagi bagi mereka Masyarakat Mancingan masih kental
dengan tradisi sanksi adat. Sanksi adat yang mungkin biasa dilakukan oleh masyarakat
Mancingan kepada masyarakat yang menolak atau mengganggu proses berjalanya upacara salah
satunya bentuk teguran, peringatan, dikucilkan, hingga dikeluarkan dari perkampungan. Semua
itu tergantung dari keputusan masyarakat dan kepala dusun.
Namun kini masyarakat Mancingan telah sadar dengan adanya Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri kehidupan menjadi tenang dan keadaan lingkungan jadi lebih nyaman. Hasil padi
melimpah tanpa adanya hama tikus, pedagang parangtritis juga tidak sepi dari pembeli. Menurut
Bapak Suparno dahulu penduduk yang rumahnya berada di bibir Pantai Parangtritis sering
terendam air, tetapi setelah diadakan upacara tersebut peristiwa tersebut sudah jarang terjadi.
Kemudian dahulu pernah ada orang yang mengganggu berjalanya tradisi tersebut, akibatnya
orang tersebut meninggal dunia (wawancara dengan Suparmi 31 Agustus 2017).
4.4 Sarana Pendidikan
Dalam dunia pendidikan mempelajari tradisi sangatlah penting, generasi muda pada zaman
sekarang banyak yang tidak tahu tradisi yang ada di daerahnya sendiri. Maka dari itu anak muda
perlu dikenalkan mengenai budaya tradisi lisan yang masih aktif dan masih dilestarikan seperti
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, agar nantinya mereka tahu bahwa ternyata Indonesia memiliki
banyak tradisi lisan yang masih dilestarikan. Selain itu tradisi ini sebagai salah satu bukti
kecintaan masyarakat Mancingan terhadap budaya Indonesia, yang perlu dicontoh masyarakat di
daerah lain.
Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri memiliki nilai-nilai fungsi yang bermanfaat, dalam dunia
pendidikan kita belajar dari masyarakat Dusun Mancingan dalam melaksanakan upacara adat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
yang selalu rutin diadakan setiap tahun dan belum pernah berhenti melaksanakan upacara.
Menurut Tuminah (melalui wawancara tanggal 31 Agustus 2017) saat berlangsungnya Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri, masyarakat Dusun Mancingan sengaja meliburkan diri dari rutinitas
sehari-hari untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Mereka melakukan dengan
sepenuh hati, bersama-sama, dan bergotong-royong untuk menyelenggarakan Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri. Selain itu, kegiatan lomba-lomba kesenian seperti macapat, karawitan
merupakan bentuk kegiatan yang memberikan wadah masyarakat untuk belajar berkesenian.
Siswa yang duduk di kelas Sekolah Dasar sudah diajarkan pelajaran sejarah, tentunya Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri juga mempunyai peran sebagai objek pembelajaran sejarah. Seperti
cerita-cerita yang berasal dari leluhur masyarakat Parangtritis salah satunya cerita Ratu Kidul
yang melegenda dan juga cerita Sri Sadana. Mereka bisa belajar bahwa kisah Kanjeng Ratu
Kidul sangat erat dengan Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, karena dengan adanya
upacara ini generasi muda tidak akan lupa dengan sejarah dan mitos yang diwariskan oleh
leluhur.
Kegiatan ini mengajak masyarakat Mancingan untuk saling toleransi dan tanggung jawab
terhadap diri sendiri maupun antar kelompok, dibuktikan dengan sumbangsih dan keikhlasan
warga untuk ikut terlibat dalam kegiatan tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
BAB V
PENUTUP TRADISI BEKTI PERTIWI PISUNGSUNG JALADRI
5.1 Kesimpulan
Penelitian Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri ini mengkaji mitos, ritus, dan fungsi.
Dalam Bab II penulis berupaya menjawab masalah pertanyaan pertama yakni, mendeskripsikan
konteks mitos asal-usul Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Konteks pertama mendeskripsikan
gambaran masyarakat Dusun Mancingan dan menjelaskan asal-usul Dusun Mancingan. Zaman
dahulu Mancingan merupakan tempat memancing, maka sampai sekarang disebut mancingan.
Konteks kedua adalah menceritakan tentang asal-usul Parangtritis. Parangtritis berasal dari kata
parang yang artinya bukit kapur yang terjal dan tritis yang artinya air menetes dari atas batu
atau tempat tinggal. Konteks ketiga mendeskripsikan sejarah Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Dahulu terdapat tradisi yang dikenal dengan baritan atau masyarakat menyebutnya sedekah laut,
kemudian ada tradisi ngguwangi atau disebut juga majemuk umum. Untuk membentuk event
budaya dilakukan musyawarah untuk dengan mengubah tradisi ngguwangi dan baritan menjadi
satu sebagai hari jadi Kalurahan Parangtritis. Bapak Camat bersama tokoh spiritual B. Suparno,
B.A, mengadakan diskusi dan terbentuklah sebuah nama Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri yang
sampai saat ini tradisi tersebut dilaksanakan satu bulan sekali.
Masih dalam konteks yang sama, kemudian penulis menganalisis mitos asal-usul Keraton
Segara Kidul dan Sri Sadana. Untuk menganalisis mitos ini menggunakan struktur aktansial dan
fungsional Aj Greimas. Dalam struktur aktansial Kraton Segara Kidul, Retna Suwidi diposisikan
sebagai pengirim karena dia yang menginginkan kehidupan abadi sebagai objeknya, untuk
memperoleh kehidupan abadi ia ditolong oleh Dewa. Subjek dalam cerita tersebut adalah Retno
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Suwidi, kemudian penantang dalam cerita ini adalah Raja Padjajaran karena ia ingin anaknya
Retna Suwidi menikah dengan pangeran kerajaan tetangga. Sedangkan penerima masyarakat
melalui Raksasa Putri dan Nawang Wulan yang diangkat sebagai patih oleh Kanjeng Ratu Kidul
untuk melindungi masyarakat dari bencana. Kanjeng Ratu Kidul berhasil menjadi makhluk halus
yang hidup abadi dan mengayomi masyarakat Pantai Selatan. Dalam struktur fungsional Kanjeng
Ratu Kidul berhasil mencapai tahap akhir dan bisa mengayomi masyarakat Parangtritis.
Dalam struktur aktansial Sri Sadana, pengirim diposisikan kepada Sri dan Sadana karena ia
berkeinginan untuk membantu rakyat dan negeri tetangga yang terkena musibah. Objek dari
cerita ini adalah sebuah pengabdian dan pengayoman yang dilakukan oleh subjek dari cerita,
yaitu Dewi Sri dan Raden Sadana. Kemudian sebagai penerima dari pertolongan itu sendiri
adalah masyarakat.
Prabu Sri Mahapugung diposisikan sebagai penantang karena ia yang mengutuk Sri dan
Sadana lantaran sakit hati atas kaburnya mereka dari istana untuk membantu masyarakat luar.
Bathara Guru juga diposisikan sebagai penantang karena ia yang menginginkan kematian putra
Kyai Wirgu karena putranya adalah titisan dari Bathari Tiksnawati yang tanpa sepengetahuan
dewa turun ke bumi. Sedangkan penolongnya adalah Begawan Brahmanaresi dan Kyai Wirgu,
karena mereka yang membuat kutukan Sri dan Sadana hilang. Sri dan Sadana berhasil menjadi
dewa, Dewi Sri diangkat menjadi dewi yang memberikan berkah lewat tumbuhan padi dan
Raden Sadana diangkat menjadi dewa yang mengayomi umbi-umbian, pakaian, dan bumi.
Dalam struktur fungsional Sri dan Sadana berhasil mencapai tahap akhir, mereka akhirnya
diangkat menjadi dewa yang mendatangkan berkah berupa hasil panen padi dan umbi-umbian
untuk masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Pada Bab III ini menjawab pertanyaan kedua, yaitu ritus dalam Bekti Pertiwi Pisungsung
Jaladri yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan upacara, pelaksanaan upacara dan
akhir. Dalam tahap persiapan upacara masyarakat membentuk panitia, kemudian mengadakan
kerja bakti membersihkan lingkungan seperti makam, jalan, pinggir pantai dan sebagainya.
Kemudian diadakan festival kesenian yang diikuti oleh masyarakat Parangtritis khususnya anak-
anak. Memasuki pelaksanaan upacara, masyarakat menggelar kenduri di setiap RT dan pagi
harinya berkumpul ke Joglo Parangtritis untuk berangkat bersama menuju Cepuri Parangkusumo
untuk melaksanakan labuhan sesaji. Acara ditutup dengan Pagelaran Wayang Kulit dan bersih-
bersih tempat.
Pada Bab IV menjelaskan fungsi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri, hal ini menjawab
persoalan ketiga. Penulis menjelaskan fungsi folklor yang dibuat oleh William R Bascom yang
terdiri dari empat fungsi, pertama sebagai sistem proyeksi yang berupa keinginan masyarakat
untuk menghormati leluhur mereka, salah satunya Nyai Gedhojang dan Kyai Sela Hening. Kedua
sebagai alat legitimasi yangterdiri dari legitimasi agraris, kontak dengan Ratu Kidul dan sebagai
hari jadi Desa Parangtritis. Ketiga adalah alat pemaksa, yaitu berupa aturan masyarakat untuk
melibatakan warganya mengikuti Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Keempat adalah sarana
pendidikan, yaitu objek pembelajaran sejarah, meningkatkan kerukunan warga dan sebagai
pembelajaran budaya.
5.2 Saran
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian budaya yang secara khusus membahas
mengenai tradisi. Belum banyak penelitian budaya yang dipublikasikan, dan disebarluaskan
sebagai pembelajaran. Saran dari penulis untuk peneliti budaya adalah peneliti mengambil topik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
mengenai tradisi lokal karena masih banyak tradisi lokal yang belum diketahui, dan tradisi lisan
di Indonesia cukup banyak untuk dibahas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
DAFTAR PUSTAKA
Bascom, William R. 1954 “Four Functions of Folklore” dalam The Journal of
American Folklore, Vol. 67, No. 266 (Oct. - Dec., 1954), pp. 333-349 Published
by: American Folklore Society Stable URL: http://www.jstor.org/stable/536411
Diunduh: 19/09/2017, 16:15.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng dan lain lain.
Jakarta: Grafiti.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1976-1977. Adat Istiadat Daerah Istimewa
Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka.
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Jakarta: Gramedia
Jalil, Abdul. 2015. “Memaknai Tradisi Upacara Labuhan dan Pengaruhnya Terhadap
Masyarakat Parangtritis”. Dalam Jurnal, Vol. 17, April 2015. Hlm. 102-105.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2017. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Jakarta: Direktorat Jendral Kebudayaan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Khoiri, Madhan. 2009.” Makna Simbol dan Pergeseran Nilai Tradisi Upacara Adat
Rebo Pungkasan”. Skripsi pada Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta.
Koentjaraningrat.1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Prasetyo, Nicolaus Ade. 2016. “Tradisi Kirab Kebo Kyai Slamet Keraton Kasunanan
Surakarta: Sejarah dan Pemaknaanya dalam Prespetif Semiotika C.s Pierce”,
Skripsi Pada Program Studi Sastra Indonesia , Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Pebriyanto, Rika. 2013. “Dinamika Masyarakat Dusun Mancingan Desa Parangtritis
Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Dalam Pelaksanaan Upacara Bekti
Pertiwi Pisungsung Jaladri Tahun 2002-2012”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Riyanto, Slamet. 2003. The Story Of Dewi Sri. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.
Sakai, Minako. 2006.” Remembering Origins: Ancestors And Places In The Gumai Society
Of South Sumatra”. Published by: ANU Press. (2006) Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/j.ctt2jbjrm.6. Diunduh: 16/12/17, 14:36.
Suparmi. 2017. Wawancara Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Parangtritis Kretek Bantul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Suparno, Budhiasih. 2002. Potensi Parangtritis Dalam Kontak Ratu Kidul. Parangtritis: Koleksi
Pribadi.
Suparno, Budhiasih. 2004. Misteri Parangtritis: Upacara Adat Bekti Pertiwi
Pisungsung Jaladri Dusun XI Pamancingan Parangtritis. Parangtritis: Koleksi
Pribadi.
Suparno, Budhiasih. 2017. Wawancara Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri.
Parangtritis Kretek Bantul.
Suseno, Frans Magnis. 1984. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Sutopo, HB. 2002. Metode Penelitian Kualitatif: Dasar, Teori dan Terapanya dalam Penelitian.
Surakarta: University Press
Suwito, Buiswanto, dkk. 2009. Upacara Daur Hidup Daerah Istimewa Yogyakarta Jilid 2.
Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yoyakarta.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan
Disertai Contohnya. Yoyakarta: Lamalera.
Triwibowo, Dasuki. 2017. Wawancara Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Grogol
Parangtritis Kretek Bantul.
Tuminah. 2017. Wawancara Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Mancingan
Parangtritis Kretek Bantul.
Wibowo, Hadi. 2017. Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Parangtritis: Dokumentasi Pribadi
Wibowo, Hadi. 2017. Wawancara Tradisi Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri. Perum
GKP Jalan Wates km 12 Sedayu Bantul.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Lampiran
1. Daftar Istilah
Arak : beriringgan, berbondong.
Cepuri : tempat bertemunya Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul.
Golong Kencana : sesaji berupa makanan terbuat dari pisang.
Jathilan : seni tari Jawa menggunakan kuda kepang.
Jodhang : kotak panjang yang dipakai untuk menaruh makanan (sesaji).
Kanjeng : pangkat dari sebuah kerajaan.
Karawitan : iringan music berasal dari Jawa.
Khayangan : tempatnya para dewa.
Kirab : berjalan secara bersama-sama.
Kliwon : hari ke lima pasaran Jawa.
Kolak Kencana : sesaji berupa olahan pisang dan ketela.
Lemper : makanan yang terbuat dari ketan.
Macapat : lagu-lagu bersyair Jawa.
Merti dusun : upacara wujud syukur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Nini : panggilan untuk perempuan yang sudah lanjut usia (nenek).
Nyai : panggilan untuk perempuan yang sudah dan belum kawin.
Oglek : kesenian tari mirip jathilan.
Ogoh-ogoh : patung raksasa yang terbuat dari bamboo dan kertas.
Oncor : alat penerangan tradisional menggunakan bambu dan minyak tanah.
Pendopo : bangunan luas untuk pertemuan yang ada hubunganya dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
keperluan masyarakat.
Roncean : rangkaian.
Suwiran : daging yang disobek panjang (biasanya daging ayam), kemudian
dibungkus denan daun pisang.
Ubo rampe : perlengkapan yang dibutuhkan.
Wage : hari ke empat dalam penanggalan Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
2. Foto Dokumentasi
Foto ini diambil dari dokumentasi pribadi pada perayaan Bekti Pertiwi Pisungsung Jaladri
tahun 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
BIOGRAFI PENULIS
Nugraha Dhayu Murti, lahir di Bantul, 23 Oktober 1995.
Anak pertama dari pasangan Semidi Martha dan Siti Suparyani.
Menyelesaikan pendidikan SD (2009) di Budi Mulia Dua Sedayu,
kemudian menyelesaikan pendidikan SMP (2011) di Pangudi Luhur
Sedayu. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA (2014) di Budya
Wacana Yogyakarta. Pada tahun 2014, penulis melanjutkan pendidikan
perguruan tinggi mengambil jurusan Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma. Penulis
memiliki hobi traveling dan sering mengikuti kegiataan kebudayaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Top Related