ALLERGIC MARCH
PENDAHULUAN
Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,
yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan
sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap alergen yaitu bahan yang pada umumnya
tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam
tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan.1
Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast
yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan
melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ,
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Manifestasi klinis alergi
dapat berupa rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria atau dermatitis atopi, alergi makanan, dan
konjungtivitis. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan.
Insidensi dermatitis atopi dan alergi makanan cenderung meningkat pada usia hingga 2
tahun, hal ini diikuti dengan meningkatnya resiko timbulnya manifestasi alergi lainnya seperti
asma dan rinitis alergi pada usia setelahnya. Fenomena perubahan alamiah manifestasi klinis
alergi sesuai dengan perubahan usia tersebut sering diistilahkan dengan “Allergic March”
atau “atopic march”.2,3
Pengetahuan tentang perjalanan alamiah dari atopi dan hubungannya dengan
manifestasi alergi sangat penting dalam praktek sehari- hari. Dengan penanganan yang tepat,
diharapkan dapat mengurangi manifestasi alergi yang muncul, sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup penderita alergi, atau jika mungkin mencegah timbulnya manifestasi alergi
lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA
SISTEM IMUN
Sistem imun dibagi menjadi dua, yaitu sistem imun self dan non self. Sistem imun
dapat mengenali dan menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat
melindungi tubuh terhadap benda asing tersebut. Sistem imun akan mengenali partikel yang
menempel di permukaan sel, kemudian terjadi reaksi untuk menghancurkan partikel asing
tersebut. Sel imun yang secara khusus berperan dalam pengenalan proses imun adalah
limfosit, limfosit mempunyai reseptor spesifik dipermukaannya untuk mengenal antigen,
epitop atau benda asing. Setiap limfosit mempunyai reseptor tertentu dalam jumlah banyak,
sehingga dibutuhkan limfosit dalam jumlah banyak untuk mengenali substansi asing yang
terpapar pada manusia selama proses kehidupannya.4
Teori tentang asal dan perkembangan sel imun menyatakan bahwa (a) antigen spesifik
hanya dapat dikenali oleh limfosit yang spesifik pula (b) spesifitas limfosit tersebut dibentuk
sebelum ada paparan antigen. Jadi, antigen yang kontak dan mengikat reseptor menyebabkan
limfosit langsung teraktivasi dan mengalami proliferasi. Proliferasi limfosit tersebut atau
clonal expansion menyebabkan terbentuknya limfosit dengan reseptor yang sama dalam
jumlah besar. Apabila ada paparan alergen ulang dari jenis yang sama, jumlah limfosit yang
mengenalinya akan meningkat dan reaksi yang ditimbulkannya akan semakin cepat dan
efektif (positive immunologi memory). 4,5
Sistem imun juga terdiri dari sistem imun non spesifik yang dapat meningkatkan efek
dari sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik terdiri dari: Fagosit, sel PMN, sistem
complement sebagai enzim (lisozim), mekanisme fisiologi (gerakan silia), interferon dan
protein (acute-phase protein).5
PERKEMBANGAN SISTEM IMUN
Semua sel yang berperan dalam sistem imun berasal dari stem sel yang bersifat
pluripoten. Stem sel ini berasal dari sumsum tulang dan dapat membentuk prekusor untuk
eritroid, myeloid dan limfoid. Prekusor limfoid pada akhirnya akan menjadi sel pre-B atau
sel pre-T. Sel B yang matur meninggalkan sumsum tulang dan bermigrasi ke sentrum
germinativum didalam folikel limfoid dalam limfonodi dan lien. Sel pre-T pada awalnya
bergerak dari sumsum tulang ke timus dan mengalami maturasi di timus. Sel yang telah
melewati proses pematangan di timus, akan keluar dari timus, menuju ke kortek dari
limfonodi dan di daerah perivaskuler medula lien. Pendistribusi ke limfonodi dan di
perivaskuler ini menyebabkan terjadi interaksi antara sel T, sel B dan makrofag.4
Limfosit (terutama sel T) selalu beredar didalam limfonodi, pembuluh darah, aliran
limfe dan organ tertentu sehingga dapat melindungi tubuh dari invasi benda asing. Sel-sel
imun yang beredar tersebut dapat bermigrasi ke tempat inflamasi sehingga migrasi limfosit
menjadi hal yang penting dalam proses pertahanan tubuh. 5
FISIOLOGI SISTEM IMUN
Cara kerja sistem imun sangat kompleks dan melibatkan interaksi antara komponen
humoral dan seluler dari sistem imun spesifik dan non-spesifik.
Secara sederhana, cara kerja sistem imunitas adalah sebagai berikut:
1. Antigen dari luar dicegah agar tidak dapat masuk ke tubuh oleh sistem barrier imunitas
non spesifik.
2. Apabila barrier karena sesuatu hal dapat ditembus, maka komponen seluler sistem
imunitas non spesifik akan berusaha memusnahkan antigen dengan cara fagositosis.
3. Apabila antigen belum dapat dimusnahkan oleh komponen seluler, maka komplemen
(komponen humoral sistem imun non spesifik) akan diaktifkan guna memusnahkan
antigen secara langsung dan mengefektifkan fagositosis.
4. Bila antigen tidak dapat dimusnahkan juga, maka antigen tersebut akan tetap berada
ekstra seluler (di luar sel), atau berusaha masuk ke intra seluler (co: virus).
5. Untuk menghadapi antigen yang mastih berada di ekstra seluler, maka sel APC (yang
sebelumnya turut memfagositosis antigen) akan mengikatkan pecahan pecahan antigen
yang telah difagositosis tersebut pada HLA kelas II nya, dan kemudian menampilkannya
di permukaan sel APC tersebut.
6. Untuk menghadapi antigen yang berada intra seluler, maka sel yang terinfeksi (disusupi
antigen ) tersebut akan mengalami perubahan pada HLA kelas I nya, sesuai dengan jenis
protein antigen yang masuk tersebut, sehingga tidak lagi menyerupai HLA kelas I di
permukaan sel tubuh lain.
7. Limfosit T yang beredar dan memiliki CD 4+ akan mengenali HLA kelas II, mengalami
pematangan menjadi T-helper. T helper akan mengefektifkan fagositosis dan
“memanggil” sel-sel yang terlibat dalam sistem imun spesifik, antara lain Limfosit B.
8. Limfosit T yang beredar dan memiliki CD 8+ akan mengenali HLA kelas I dan
memaksa sel yang terifeksi tersebut untuk mengalami apoptosis (bunuh diri). Hal itu juga
“memanggil” sel-sel fagosit untuk memusnahkan sisa sel yang bunuh diri tersebut,
sehingga pecahan protein antigen dapat dikenali oleh sistem imunitas spesifik.
9. Pada saat sel-sel imunitas terpanggil akibat proses-proses di atas, mereka juga akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi, sehingga terjadi proses inflamasi.
10. Limfosit B, setelah mendapat sinyal dari Limfosit T dan mengalami pengenalan terhadap
fragmen protein antigen akan mengalami perubahan menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi (imunoglobulin) spesifik terhadap antigen tersebut.
11. Antibodi yang dihasilkan akan melapisi antigen, membuat antigen tersebut mengalami
netralisasi, sekaligus membuat antigen tersebut mengalami opsonisasi sehingga
fagositosis terhadap antigen akan jauh lebih efektif. Demikian akan terus berulang
proses tersebut di atas hingga pemusnahan terhadap antigen tersebut menjadi efektif.
12. Jika konsentrasi imunoglobulin dalam plasma telah cukup tinggi, maka sel plasma akan
berhenti menghasilkan antibodi, tetapi tetap menyimpan memori mengenai antigen
tersebut. Jika sel plasma tersebut di lain waktu mengenali antigen serupa, maka ia akan
kembali aktif menghasilkan antibodi dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Hal serupa
juga terjadi pada Limfosit T helper, yang akan “istirahat” ketika antigen sudah
ternetralisasi, dan kembali teraktifasi dengan jauh lebih kuat bila terpapar antigen yang
sama kembali. 4,5
IMUNOPATOLOGI
Imunopatologi adalah suatu respon imun yang terjadi secara berlebihan yang akan
menyebabkan kerusakan jaringan. Respon imun ini juga disebut reaksi hipersensitivitas dan
hanya terjadi jika ada kontak alergen spesifik yang kedua kali. Combs dan Gell membagi
reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe:
- Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga Immediate Hipersensitivity atau Anaphylactic
reaction terjadi apabila alergen direspon atau diikat oleh antibodi dari kelas IgE dimana
IgE ini mempunyai aktivitas biologi mampu mengaktifkan sel mast sehingga sel mast
mengalami degranulasi melepaskan mediator-mediator inflamasi terutama adalah histamin
sehingga terjadi reaksi inflamasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.
- Hipersensitivitas tipe II yang disebut juga dengan ADCC Reaction( Antibody Dependent
Cell Cytotoxic ), pada reaksi ini yang berperan dalam mengikat alergen adalah Antibodi
dari kelas IgG atau IgM dimana aktivitas biologi dari kedua antibodi tersebut adalah dapat
mengaktifkan sel Killer untuk melakukan aktivitas fagosit atau juga dapat mengaktifkan
reaksi komplemen untuk melakukan aktivitas sitolisis.
- Hipersensitivitas tipe III disebut juga dengan immune complex reaction merupakan reaksi
hipersensitivitas yang terjadi akibat penumpukan antibodi pada jaringan dimana terdapat
alergen sehingga terjadi reaksi komplek imun yang dapat mengaktifkan reaksi
complement dan dapat merusak jaringan tersebut.
- Hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga Delayed Type Hipersensitivity (DTH) berbeda
dengan tiga tipe hipersensitivitas sebelumnya dimana pada tipe IV ini mediator yang
berperan bukan respon imun humoral (Antibodi) tetapi respon imun seluler. Pada tipe IV
ini alergen diikat oleh reseptor sel T(TCR) kemudian sel limfosit T yang teraktivasi
melepas mediator humoral yang berupa sitokin yang dapat mengaktifkan sel fagosit seperti
makrofag untuk melepas mediator inflamasi dan melakukan aktivitas fagositosis.4,5
Gambar1. Tipe Hipersensitivitas
ALERGI
Reaksi alergi merupakan reaksi imunopatologi yang terjadi akibat ikatan IgE dengan
reseptor yang berada di permukaan sel mast. Reaksi ini dapat digolongkan dalam
hipersensitivitas tipe 1.1,5
Asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik mempunyai dasar kelainan respons IgE
hipersensitivitas dan inflamasi jaringan spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal sel T
memori, sel eosinofil dan sel monosit/makrofag. Pada jaringan yang sedang mengalami
inflamasi akut, akan tampak infiltrasi sel limfosit T dengan ekspresi IL-4, IL-5, dan IL-13.
Sitokin ini diperkirakan memegang peran utama pada respon alergi.5 Riwayat keluarga
dengan alergi merupakan faktor risiko terjadinya alergi. Kedua orang tua dengan riwayat
alergi, lima puluh persennya anaknya akan alergi, jika hanya satu orang saja dari kedua
orang tua yang mempunyai riwayat alergi, maka kemungkinan anaknya menjadi alergi sekitar
30 %. 6
Proses Alergi
Produksi IgE secara lokal terjadi dipermukaan mukosa tempat masuknya antigen.
Ekstrak antigen dapat menembus atau bergerak diantara sel-sel epitel, kemudian berikatan
dengan sel APC sehingga kompleks antigen dengan APC menyebar keseluruh mukosa.
Respon imun mukosa pertama kali terjadi di aliran limfe dan di mucosal associated
lymphoid tissue (MALT). Tonsil dan adenoid merupakan organ disaluran nafas atas yang
pertama kali memberikan respon imun mukosa tersebut. MALT dapat meningkatan respon
memori dengan antigen-focusing activity, sedangkan makrofag dan sel langerhans bermigrasi
dari MALT ke limfonodi. Sel B dapat memproduksi IgE karena peranan APC dan sel Th.
IgE yang diproduksi secara lokal pertama kali akan berikatan dengan sel mast lokal. IgE juga
dapat beredar di pembuluh darah dan berikatan dengan reseptor basofil dan sel mast diseluruh
tubuh. 4,5
Sel Mast
Sel mast mempunyai peranan yang penting dalam reaksi alergi. Penggolongan sel
mast didasarkan atas isi protease, dimana isi tersebut antara lain: Triptase (MCT) dan triptase-
kinase (MCTC). Kedua sel ini berbeda dalam karakter, sifat biologi dan sifat farmakologinya.
Fenotip akhirnya tergantung faktor lingkungan. Kedua tipe sel mast tersebut mengandung
histamin serta menetap di mukosa hidung. Peningkatan jumlah sel mast terjadi setelah ada
paparan alergen. Alergen yang terhirup pertama kali kontak dengan sel mast permukaan
mukosa. Pelepasan mediator oleh sel mast menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah mukosa tempat masuknya alergen, sehingga alergen bisa bergerak ke
submukosa. Di submukosa alergen akan berikatan lagi dengan sel mast dan dimulailah respon
inflamasi tersebut.5,6
Mast Cell Triggering
IgE terikat di Fc reseptor di permukaan sel. Cross linking antara dua IgE menyebabkan
degranulasi sel mast. Sel mast juga bisa dipicu dengan mekanisme lainnya, misalnya lektin
bisa terikat di residu karbohidrat pada regio Fc di perbatasan IgE, neuropeptida, f-met-Leu-
Phe dan beberapa sitokin. Beberapa senyawa kimia juga bisa menyebabkan degranulasi sel
mast, antara lain produk pemecahan komplemen (anaphylatoxins C5a dan C3a) dan stimulus
fisik. Beberapa substansi dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara langsung antara lain
kalsium ionopor, obat-obatan (kodein, morfin dan hormon adrenokortikotropin sintetis).
Pengaktifan sel mast menyebabkan influk ion kalsium. Proses tersebut menghasilkan
eksositosis isi granul disertai pelepasan mediator (histamin, heparin dan enzim proteolitik).
Pengaktifan sel mast juga menyebabkan sintesis mediator baru yang berasal dari fosfolipid
membran. Mediator baru tersebut : prostaglandin (PG), leukotrin (LT) dan platelet-activating
factor. Efek klinik dari produk-produk tersebut tergantung dari senyawa di lingkungan
sekitar, sebab beberapa anggota produk yang sama tersebut mempunyai efek berlawanan.
Sebagai contoh, PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler,
PGF2 menyebabkan vasodilatasi. Beberapa sitokin, seperti IL-3,4, TNF2 dan GM-CSF juga
diproduksi sel mast. Histamin dan mediator lain dilepaskan pada reaksi fase awal, sedangkan
sitokin dilepaskan pada reaksi fase lambat.4,5,6
Gambar 2. Patofisiologi alergi
Teori Higiene.
Peningkatan prevalensi alergi selama beberapa tahun terakhir disebabkan oleh
terganggunya keseimbangan Th1-Th2. Penyebab dari terganggunya keseimbangan Th1- Th2
pada penderita alergi sendiri belum dapat dipastikan, teori yang paling diterima adalah
“hygiene theory” atau Teori higiene. 7
Teori Higiene menyatakan bahwa berkurangnya paparan terhadap bakteri karena
adanya peningkatan pelayanan kesehatan, pengurangan jumlah anggota keluarga, kontak
infeksi yang lebih sedikit, dan penggunaan antibiotik yang dini dapat mengakibatkan
penurunan Th1 yang merupakan respon imun terhadap infeksi. 2,7 Alam dapat memberikan
kekebalan terhadap perkembangan penyakit alergi dan asma melalui infeksi dan paparan
terhadap sistem respirasi,saluran cerna dan kulit pada masa awal kehidupan. Proses
sensitisasi terhadap kulit akan berpengaruh terhadap proses sensitisasi di dalam saluran
pernafasan,yang berdampak pada keseimbangan Th1-Th2 dan produksi sitokin. Juga akan
menginduksi produksi Ig E dan eosinophil.6
Hipotesis teori higiene bermula saat pola kehidupan mengalami perubahan yang
berkibat menurunnya stimulasi terhadap regulasi sel T. Perubahan pola hidup tersebut terdiri
dari menurunnya jumlah parasit,endotoksin,paparan terhadap lingkungan, jumlah anggota
keluarga, meningkatnya penggunaan antibiotik, perubahan susunan flora normal saluran
cerna, menurunnya paparan terhadap alergen dan makanan yang terbebas dari
mikroorganisme- mikroorganisme yang semuanya akan meningkatkan kejadian alergi.
Fungsi proteksi imun Th1 terhadap paparan mikrobial berlangsung segera sesaat setelah
kelahiran karena saat itu bayi meninggalkan lingkungan dalam rahim yang relatif steril.
Ketika proses ini berlangsung normal, perkembangan Th1 mencegah perkembangan yang
berlebihan dari Th2 proalergi dan perkembangan keadaan atopi,dimana keadaan atopi
tersebut menjadikan lingkungan sekitar menjadi suatu sumber alergen. Fungsi imunitas Th1
yang lain adalah meningkatkan kekebalan tubuh melalui mekanisme induksi antiviral yang
mencegah proliferasi virus pada epitel saluran pernafasan yang akan mengakibatkan
perubahan patologis dari jaringan respiratorius pada keadaan penyakit asma. Apabila ekspresi
Th2 yang lebih dominan,maka akan terbentuk sitokin- sitokin IL-4, IL-5, IL 10 dan IL-14.
Sitokin- sitokin tersebut dapat merangsang produksi IgE dan mengaktifkan eosinofil yang
berperan dalam proses peradangan karena alergi. Selanjutnya akan terjadi peningkatan Th2
dan peningkatan ekspresi sitokin 6,7
ALLERGIC MARCH
Allergic march adalah perjalanan alamiah penyakit alergi yang ditandai urutan gejala
penyakit yang mulai muncul pada masa anak-anak dan bertahan selama beberapa tahun.3
Beberapa kondisi klinis menjadi lebih menonjol sementara gejala lain berkurang atau
menghilang. Allergic march memiliki beberapa karateristik rangkaian urutan yang khas mulai
dari sensitasi dan menimbulkan gejala- gejala yang muncul pada usia- usia tertentu, yang
kemudian menetap selama beberapa tahun dan menghilang pada usia tertentu pula. Pada
allergic march, biasanya salah satu bentuk manifestasi alergi akan semakin nyata sesuai
dengan usia, sementara manifestasi lainnya akan berkurang atau menghilang.2,3
`
Gambar 3. Perjalanan manifestasi alergi sesuai umur
Secara singkat, terdapat 4 karakteristik utama dari allergic march :3
1. Alergi makanan dan dermatitis atopik biasanya terjadi lebih awal, bukan sejak lahir tapi
mulai usia 3-12 bulan.
2. Kondisi tersebut dapat membaik atau dapat teratasi pada usia prasekolah
3. Asma dan rhinitis alergi cenderung terjadi lebih lambat, umumnya mulai terjadi pada
usia 3-4 tahun hingga usia sekolah.
4. Anak dengan alergi makanan dan/atau dermatitis atopik pada akhirnya sering
berkembang menjadi rhinitis alergi dan asma
Perjalanan manifestasi alergi tersebut dibuktikan oleh penelitian Rhodes et al terhadap
100 bayi dari keluarga atopi di Inggris dalam kurun waktu 22 tahun melaporkan bahwa
prevalensi dermatitis atopi mencapai puncak pada 20% anak pada usia 1 tahun dan kemudian
menurun hingga dibawah 5% pada akhir penelitian. Keluhan wheezing yang dilaporkan oleh
orang tua anak sebesar 5% pada tahun pertama meningkat menjadi 40% pada usia 22 tahun.
Perkembangan allergic march berhubungan dengan penyakit alergi pada saluran
pernafasan. Penyebab keadaan atopi adalah terjadi penyimpangan saat pembentukan sistem
imun terhadap paparan yang tidak dapat dihindari dan terdapat dimana-mana.8 Paparan yang
tidak seharusnya ini akan mengakibatkan cedera dan inflamasi saluran pernafasan dan dapat
terjadi pemulihan jaringan yang meyimpang dari yang seharusnya. Jika keadaan ini terjadi
saat periode kritis pembentukan paru-paru saat setelah kelahiran maka akan terbentuk
anatomi paru- paru yang berbeda dari paru- paru normal. Hal ini menimbulkan fenotip asma
yang persisten.8
Proses sensitasi dapat terjadi mulai dari saat prenatal (selama kehamilan) dan postnatal
(setelah kelahiran). Proses ini merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.
Respon imun manusia diketahui sudah mulai tampak pada minggu ke-20 masa
kehamilan,dimana ditemukan alergen tungau debu rumah pada cairan amnion. Mekanisme
transport alergen- alergen tersebut melalui transplasental .3,8
Paparan partikel udara berdebu yang mengandung mikroba akan menginduksi proses
inflamasi pada paru- paru,termasuk peningkatan ekspresi dari Toll Like Receptor (TLR) (yang
merupakan suatu protein penting dlm sistem imun bawaan ) dan produksi sitokin. Sitokin
kemungkinan akan masuk ke dalam aliran sirkulasi darah dan diantarkan langsung ke dalam
jaringan plasenta, dan menekan ekspresi TLR, produksi sitokoin dan mempengaruhi fungsi
sel-sel myeloid. Sitokin yang berada di dlm aliran darah ini juga akan masuk ke dalam
sumsum tulang (bone marrow),dimana mereka akan menstimulasi dan memprogram
prekursor dari sel- sel myeloid. Sel- sel dendritik (APC) dan monosit selanjutnya akan masuk
ke dlm aliran darah dan beberapa diantaranya memasuki lapisan desidua dimana sel- sel
dendritik dan monosit ini akan menggantikan populasi sel-sel myeloid 3,9
Pada masa setelah kelahiran,alergen-alergen inhalan dan alergen makanan berperan saat
sensitasi terhadap individu-individu yang memiliki predisposisi genetik. Penyakit-penyakit
alergi saluran pernafasan seperti rinitis alergi dan asma meningkat hingga puncaknya saat
usia 7 tahun.8
DERMATITIS ATOPIK
Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kronis yang disertai gatal dan
kelainan kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi, dan likenifikasi.10 Kebanyakan terjadi pada
masa bayi dan anak, sering dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE)
dan adanya riwayat atopi pada diri sendiri atau keluarga seperti rinitis alergi atau asma.
DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60%
pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik
antara usia 6 sampai 20 tahun.10 Data dari catatan medik pasien rawat jalan klinik Alergi
KTHT-KL RSUP Dr. Kariadi dari Juli 1996-Juni 1999 menunjukkan jumlah kasus rata-rata
313 kasus per tahun dari 20.630 kasus THT, meliputi kasus anak hingga dewasa.11 Data
dermatitis atopik pada tahun 1996-2000 menunjukkan angka tertinggi pada usia kurang dari 5
tahun (62,6%), dan pada kelompok umur 5-14 tahun 37,4%.12
Patofisiologi DA belum diketahui pasti.12,13 Faktor genetik, lingkungan, disfungsi barier
epitel dan gangguan regulasi respon imunologis diduga berperan dalam patogenesis
dermatitis atopik. Dari penelitian sebelumnya14 dikatakan bahwa alergen inhalan yang paling
sering berpotensi menyebabkan dermatitis atopik antara lain house dust mite (HDM), kecoa,
pet dander dan berbagai polen. Melalui aktivitas proteolitik alami, protein inhalan yang
dihasilkan HDM dapat merusak langsung fungsi barier kulit dan menghambat proses
regenerasi barier pada penderita dermatitis atopik. Makanan yang sering merupakan faktor
pencetus terjadinya DA adalah susu sapi, telur, makanan hasil laut misalnya ikan dan udang
serta buah-buahan atau sayur-sayuran tertentu misalnya kacang-kacangan. alergi makanan
yang menimbulkan DA dapat juga diperantarai oleh cell mediated immunity15 Sedangkan
alergi makanan yang diperankan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II dan III jarang dilaporkan.
Penelitian oleh Wistiani (2011) di klinik KTHT-KL RSDK dari 18 kasus dermatitis atopik
pada anak, alergen yang teridentifikasi berupa debu rumah dan human dander, kecoa, mite
culture, alergen dog dander, makanan laut, telur, maize pollen, mixed fungi, dan cat
dander,sedangkan sumber alergen terbanyak berupa aeroalergen debu rumah, human dander
dan kecoa. 16
Dermatitis diduga sebagai ‘entry point’ untuk penyakit alergi yang berkelanjutan,
sehingga diharapkan dengan penanganan dermatitis yang efektif dapat mencegah timbulnya
manifestasi alergi di saluran nafas atau setidaknya dapat mengurangi tingkat keparahannya.
Dohi et al meneliti 8 pasien dengan asma tanpa dermatitis atopi dan 8 pasien dengan
dermatitis atopi tanpa asma yang diberi sensitisasi berupa tungau debu rumah. Kedua
kelompok tersebut menghirup asetilkolin, bronkodilator, dan tungau debu rumah. Kedua
kelompok menunjukkan adanya hipersensitivitas pada tungau debu rumah di saluran nafas,
dan pada pasien dengan dermatitis atopi menunjukkan respon terhadap asetilkolin dari
normal sampai timbulnya gejala asma. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan kulit yang
tersensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat memiliki sensitifitas saluran nafas yang
sama.17 Penelitian kohort di Jerman juga melaporkan bahwa adanya sensitisasi dengan telur
pada usia < dari 12 bulan dapat digunakan sebagai dugaan akan terjadi sensitisasi dengan
aeroalergen pada usia 3 tahun.18 Peran aeroalergen pada DA dilaporkan lebih banyak pada
usia > 2 tahun yang dibuktikan dengan uji tempel dan IgE spesifik dalam serum.19
RINITIS ALERGI
Rinitis alergi (RA) menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, adalah kelainan pada hidung yang dikarenakan proses inflamasi mukosa hidung
yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,
rinore, dan hidung tersumbat20.
Diagnosis RA dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala RA disebabkan oleh beberapa proses yaitu 1) permeabilitas
vaskuler yang menyebabkan terkumpulnya cairan pada mukosa sehingga menimbulkan
keluhan hidung buntu, 2) hidung berair yang disebabkan oleh hipersekresi dari kelenjar
submukosa oleh stimulasi histamin, 3) reflek bersin dan hidung gatal, bahkan bisa disertai
mata gatal. Terdapat faktor resiko paparan alergen dan riwayat alergi keluarga. Keluhan
biasanya akan timbul bila penderita telah terpapar alergen yang menyebabkan RA. Pada
pemeriksaan fisik biasanya akan didapatkan mukosa hidung yang edema, berwarna pucat atau
livid disertai adanya secret encer. Test diagnosis pada rhinitis alergi dilakukan untuk
mendeteksi IgE baik secara langsung IgE yang bebas dalam darah atau IgE yang terikat.
Berbagai metode pemeriksaan test diagnosis RA baik secara in vivo atau in vitro tetapi yang
sering digunakan pada umumnya adalah tes diagnosis in vivo dengan metode test cukit kulit
(skin prick test). Metode ini mudah dilakukan, dapat ditoleransi berbagai penderita termasuk
pada anak-anak serta mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap hasil
pemeriksaan IgE spesifik21
Klasifikasi RA menggunakan parameter gejala dan
kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4 hari
perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4
minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung
dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan tidur,
gangguan aktivitas harian, bersantai, olahraga, belajar, bekerja dan lain-lain yang
mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih gangguan tersebut di atas.22
ASMA
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi saluran napas pada penderita yang didasari
hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus yaitu kepekaan saluran nafas yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh dengan
manifestasi penyempitan saluran napas yang difus.23
Faktor resiko mayor asma pada dewasa adalah adanya sensitisasi awal terhadap
makanan pada tahun pertama kehidupan atau terhadap aeroalergen pada 2 tahun pertama
kehidupan. Penelitian tentang atopi multisenter di Jerman pada 1314 anak, melaporkan
bahwa pada usia 5 tahun 50% anak dengan dermatitis atopi dan riwayat alergi pada keluarga
menderita asma atau rhinitis alergi.24 Sedangkan anak tanpa dermatitis ataupun riwayat alergi
pada keluarga hanya 12% yang menderita asma ataupun rhinitis alergi. Hal yang hampir
serupa didapatkan oleh Punekar et al, yang menyatakan bahwa pada 24112 anak, 60.7%
penderita alergi yang didiagnosis awal dengan dermatitis, akan diikuti asma kemudian
rhinitis.25
Patogenesis asma menunjukkan gambaran proses penyakit yang kompleks yang
melibatkan sel mast, eosinofil, neutrofil, basofil makrofag, platelet dan sel T dengan
partisipasi sitokin dan mediator inflamasi lain.Inflamasi saluran nafas pada asma melibatkan
tahapan pelepasan mediator-mediator imunologik baik melalui mekanisme IgE Dependen,
limfosit T-Dependen, maupun melalui mekanisme IgE-Independen, limfosit T-Dependen.26
Preformed mediator, antara lain histamin, menyebabkan terjadinya respons asma tipe cepat
(early-phase asthmatic response/EAR). Sedangkan newly generated mediator, antara lain
leukotriene, menyebabkan respons asma tipe lambat (late phase asthmatic response/LAR).27
Penatalaksanaan
Pencegahan berkembangnya manifestasi alergi tersebut dapat dilakukan dengan cara
mencegah pajanan alergen yang berupa makanan atau bahan hirupan tertentu sejak lahir.
Sangat direkomendasikan untuk melakukan test alergi terhadap anak-anak yang dicurigai
bertendensi mengalami allergic march. Bila terdapat makanan sebagai sumber alergi,maka
perlu dipertimbangkan kemungkinan susu sapi, telur dan alergen kacang. Pengenalan
makanan padat yang lebih lambat disarankan untuk bayi dengan atopi, dan pada bayi yang
sudah menderita dermatitis atopi dianjurkan untuk menghindari telur.21
Bayi dengan dermatitis atopi sebaiknya menjalani terapi untuk pencegahan asma.
Penelitian Iikura et al menerapi 121 anak ( umur 1-36 bulan) penderita dermatitis atopi
dengan ketotifen atau plasebo sebelum onset asma. Setelah diikuti selama satu tahun,
didapatkan lebih sedikit pasien yang menderita asma pada kelompok yang mendapat
ketotifen dibanding dengan kelompok yang mendapat plasebo.28 Penelitian prospektif ETAC (
Early Treatment of The Atopic Child) terhadap 817 bayi berusia 1-2 tahun penderita
dermatitis atopi dan riwayat atopi keluarga yang diterapi dengan cetirizine atau plasebo
selama 2 tahun, didapatkan hasil pada pasien yang sensitif terhadap tungau debu rumah pada
kelompok plasebo sebanyak 51% akhirnya menderita asma, sedangkan pada kelompok
cetirizine hanya sebanyak 28.6%. Pada pasien yang sensitif terhadap rumput, kelompok
plasebo yang akhirnya menderita asma sebanyak 58%, sedangkan pada kelompok cetirizine
hanya sebanyak 27.8%.29
Terapi lain yang sedang dalam penelitian adalah penggunaan probiotik. Probiotik
adalah hasil kultur “bakteri baik” yang dapat menjaga keseimbangan mikrobial dalam tubuh
dan mengembalikan permeabilitas serta mikroekologi usus. Probiotik juga dapat
meningkatkan fungsi barier imun dari usus dan mengurangi produksi sitokin penyebab
inflamasti karena alergi pada usus. Dalam uji klinis, pengggunaan probiotik pada berbagai
manifestasi klinis atopi dan sebagai pencegahan primer terhadap atopi tampak menjanjikan.3
Pajanan terhadap berbagai macam alergen pada waktu yang bersamaan ( allergen load)
berhubungan dengan derajat keparahan alergi, sehingga pembatasan alergen load akan sangat
mempengaruhi keberhasilan terapi.30 Di masa mendatang, diperlukan modalitas
penatalaksanaan yang memodifikasi penyakit atopik pada anak-anak, sehingga pada akhirnya
dapat mengurangi angka kejadian penyakit alergi di kemudian hari, dan juga mengurangi
akibat terjadinya allergic march
Kontroversi
Dapat pula terjadi perjalanan alergi yang tidak sesuai dgn pola teori,dimana beberapa
anak2 dgn rinitis atopi pertama menderita asma dilanjutkan dgn ekzema (reverse allergic
march).
Pada penelitian oleh Barberio et al.31 692 anak yang menderita asma saja diikuti selama
9 tahun. Sebesar 20% anak menderita dermatitis atopik setelah 9 tahun. Dari data
epidemiologi dan genetik baru- baru ini timbul keragu- raguan, apakah dermatitis
berkembang menjadi asma, ataukah kedua penyakit itu merupakan bagian dari suatu sindrom.
SIMPULAN
Penyakit alergi menjadi salah satu kelompok penyakit yang paling sering dijumpai pada
kanak-kanak. Penyakit trsebut dapat berubah-ubah bentuk bergantung pada umur penderita,
dan merupakan suatu kesatuan perjalanan penyakit. Perjalanan penyakit tersebut dinamakan
allergic march.
Allergic march dimulai dengan adanya sensitisasi saat prenatal. Pada tahun-tahun
pertama kehidupan manifestasi klinis yang mncul adalah alergi makanan atau dermatitis
atopik. Pada perkembangan selanjutnya manifestasi atopi akan berkembang menjadi rhinitis
alergi, kemudian asma.
Penatalaksanaan terutama dengan mencegah atau mengendalikan gejala perlu diberikan
sejak dini untukmencegah terjadinya perkembangan allergic march.
Penatalaksanaan untuk memodifikasi keparahan penyakit, misalnya pemberian
immunoterapi masih memerlukan penelitian lebih jauh dalam penggunaannya untuk
mencegah perkembangan allergic march.
Top Related