7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
1/12
rkel sli
PREVALENSI TINEA KRURIS PADA PEKERJA USAHA MAKANAN SE FOODKAKI
LIMA DAN BERBAGAI FAKTORYANG MEMPENGARUHINYA
Endang Basuki*, Suriadi**, Kusmarinah Bramono***
* Departemen I lmu Kedokteran Komunitas FKUI
**Program Studi Kedokteran Kerja, Pascasarjana FKUI
***Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUPN-CM/FKUI
BSTR K
Latar belakang: Tinea kruris adalah suatu infeksi jamur dermatofita pada, sela paha, pubis,
genital, perianal, dan bokong yang disebabkan oleh spesies dermatofita. Dalam melakukan
akvitas kerja pada usaha makanan seafood kaki lima, pekerja terpajan oleh berbagai faktor
risiko nea kruris.
Tujuan: Penelian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi nea kruris serta berbagai faktor
risikonya pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima di Kecamatan Taman Sari, Jakarta
Barat. Metode:
Penelian ini menggunakan desain potong lintang dengan jumlah sampel
sebanyak 87 orang.
Hasil:
Hasil penelian mendapatkan prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood
kaki lima di Kecamatan Taman Sari sebesar 33,3%. Umur, jenis kelamin, pendidikan,
kebersihan diri, dan status gizi dak terbuk merupakan faktor risiko terhadap kejadian nea
kruris. Walaupun demikian, kebersihan diri cenderung memiliki hubungan yang cukup kuat
dengan nea kruris (p=0,052).
Kesimpulan:
Prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood kaki lima ternyata cukup
nggi bila dibandingkan dengan komunitas pekerja lainnya.
Kata kunci:
pekerja seafood kaki lima, nea kruris, prevalensi, faktor risiko.
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
2/12
BSTR CT
Background:
Tinea cruris is a dermatophyte infecon of the groin, pubic area, genital,
perianal and glutea. The informal sector seafood stall workers are suscepble to this disease.
Purpose: The objecve of this study was to invesgate the prevalence of nea cruris among
the informal sector seafood stall workers and its risk factors.
Method: The design of this study was cross-seconal, with a total sample of 87.
Result: This study showed thatthe prevalence of nea cruris among the informal sector
seafood stall workers in Kecamatan Taman Sari was 33.3%. Age, sex, educaon, personal
hygiene, and nutrional status were not proved as the risk factors of nea cruris among
informal sector seafood workers. Personal hygiene tended to have a strong relaonship with
the occurrence of nea cruris (p=0.052).
Conclusion: The result of this research demonstrated that the prevalence of nea cruris
among the informal sector seafood stall workers in Kecamatan Taman Sari is apparently higher
than other worker groups.
Key Words: informal sector seafood stall workers, nea cruris, prevalence, risk factors.
PEND HULU N
Tinea kruris adalah suatu infeksi jamur pada daerah pubis, sela paha, bokong, dan
kadang sampai perut bagian bawah, yang disebabkan oleh spesies dermatofita.1,2
Penularan
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
3/12
nea kruris terjadi melalui beberapa cara, antara lain melalui kontak langsung dari pasien ke
orang lain, dan penyebaran dak langsung melalui kontak dengan benda-benda pribadi yang
dipakai oleh pasien seper handuk, perlengkapan dur, pakaian dalam dan kain sarung.1,3,4
Spesies ini mudah berkembang bila terdapat faktor pencetus, misalnya suhu panas dan
lembab, kebersihan diri yang kurang baik, serta faktor predisposisi yang berasal dari tubuh
pejamu, antara lain hiperhidrosis, obesitas, diabetes melitus, dan gangguan imunitas.1,3,5,6
Dalam melakukan akvitas kerja pada usaha makanan seafood kaki lima, pekerja
biasanya nggal di rumah majikan, dur bersama-sama sehingga memungkinkan terjadinya
kontak dengan pasien nea kruris di antara pekerja. Pada umumnya kebersihan diri mereka
juga kurang.7
Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering terjadi.1-3
Hamzah pada
penelian di RSU dr. Abdul Moeloek Lampung terhadap 7611 pasien yang datang berobat ke
Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin, menemukan 1173 menderita dermatofitosis. Lima
puluh dua persen di antaranya menderita nea kruris.8 Prevalensi nea kruris pada
komunitas umum di Jakarta sebesar 3,45%.7 Prevalensi nea kruris pada komunitas pekerja
lainnya juga cukup nggi, seper yang didapatkan Athuf dan Siregar pada penelian
terhadap pekerja penebangan kayu di Sumatera Selatan, yakni 5% dari jumlah subyek
sebanyak 60 orang.9
Astono dan Sudarja pada penelian terhadap 2000 pekerja industri
plywood di Provinsi Kalimantan Selatan, menemukan 696 orang menderita penyakit kulit,
11% di antaranya menderita nea kruris.10 Aquariah yang meneli hubungan panas dan
lembab terhadap prevalensi nea kruris pada pabrik sepatu S di Tangerang dengan
responden sebanyak 130 orang, mendapatkan prevalensi nea kruris sebanyak 20,7% pada
bagian hot press line 9, sedangkan pada bagian sewinglantai II hanya 5,38%.11
Penelian oleh Hermia di Jakarta menunjukkan nea kruris banyak terdapat pada
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
4/12
golongan umur 25-44 tahun, yakni sebesar 31,6%, pasien laki-laki 71,1%, dan berpendidikan
rendah 78,9%.7
Penelian tersebut juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kejadian nea kruris dengan frekuensi gan pakaian; persentase nea kruris pada subyek
yang bergan pakaian 1x sehari 0,14%, sedangkan pada subyek yang bergan pakaian 2x
sehari hanya 0,01%.7 Satu penelian di pabrik teksl mendapatkan hubungan dak bermakna
(p=0,200; OR=2,3 95% CI= 0,8-7,0) antara kejadian nea kruris dan kandidosis kus
intertriginosa dengan status gizi (obesitas dan kelebihan berat badan)12
Tinea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima dapat menimbulkan
kerugian bagi usaha tersebut, baik langsung maupun dak langsung. Pekerja yang menderita
nea kruris akan terdorong sering menggaruk kulit sebagai respons terhadap rasa gatal, yang
dapat mempengaruhi produkvitas kerja. Dampak lain adalah kemungkinan berkurangnya
para pelanggan disebabkan kesan makanan yang kurang memenuhi syarat esteka. Kesan ini
dapat terjadi mengingat tata letak usaha tersebut yang terbuka sehingga memungkinkan
pelanggan melihat langsung pekerja yang tanpa sadar melakukan penggarukan.
Tujuan penelian ini adalah untuk mengetahui prevalensi nea kruris dan
hubungannya dengan umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, dan status gizi pada
pekerja makananseafoodkaki lima di Kecamatan Taman Sari, Jakarta. Dengan mengetahui
prevalensi nea kruris pada pekerja makanan seafood kaki lima, dan faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian nea kruris, diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan
yang tepat.
B H N D N C R
Penelian ini telah disetujui oleh Komisi Eka Penelian FKUI. Penelian dilakukan di
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
5/12
Kecamatan Taman Sari Kota Madya Jakarta Barat, dengan disain potong lintang. Populasi
penelian adalah pekerja makanan seafoodkaki lima yang terdapat di Kecamatan Taman
Sari, terdiri dari kasir, pelayan, tukang masak, asisten masak, tukang bakar, tukang potong
dan tukang cuci. Besar populasi terjangkau adalah 87 orang dan diambil seluruhnya sebagai
sampel. Diagnosis nea kruris ditegakkan bila terdapat keluhan gatal, lokasi yang sesuai, dan
ditemukan 1-3 tanda klinis, yaitu: 1) tepi lesi berbatas tegas, berbentuk polisiklik, 2) terdapat
tanda peradangan polimorfik, 3) tanda radang tersebut lebih jelas pada bagian tepi, atau
adanya central healing. Bila dak ditemukan keluhan subyekf berupa gatal dan tanda
obyekf kurang dari 3, maka dilakukan pemeriksaan penunjang sediaan langsung KOH.
Ditemukannya hifa panjang atau artrospora pada pemeriksaan KOH memaskan diagnosis
nea kruris.
Faktor risiko yang diteli adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, dan
status gizi. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan formal ternggi yang dicapai
responden, dibagi atas 2 kategori yaitu pendidikan rendah melipu SD sampai tamat SMP,
dan pendidikan nggi melipu SMA sampai sarjana. Konsep kebersihan diri yang dinilai
adalah kebiasaan mandi dan menggan pakaian. Jawaban dikategorikan atas baik bila mandi
2-3 kali/hari dengan menggunakan sabun, dan menggan pakaian bersih 2-3 kali/hari yang
sudah diseterika, dan dak bertukar-tukar handuk maupun pakaian luar atau dalam dengan
orang lain. Jawaban dikategorikan kurang bila salah satu dari kategori baik dak terpenuhi.
Status gizi yang dinilai adalah indeks masa tubuh (IMT) responden, yaitu perbandingan
berat badan dalam kilogram (Kg) dengan kuadrat nggi badan dalam meter (M) Status gizi
dikatakan kurang bila IMT < 18,5, normal bila IMT 18,5-25, berat badan lebih ( overweight)
bila IMT antara > 25 sampai 30, dan kegemukan (obese)bila IMT > 30. Tinggi badan diukur
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
6/12
dalam keadaan berdiri tanpa alas kaki, ukuran dalam senmeter. Berat badan diukur tanpa
alas kaki, menggunakan mbangan berdiri dan ukuran dalam kilogram. Jawaban
dikategorikan berat badan lebih bila dengan IMT > 25.
Pengumpulan data dilakukan dari tanggal 18 November 2004 sampai 22 Desember
2004. Sebelum dilakukan pengumpulan data, kepada responden diberikan penjelasan
tertulis dan lisan tentang penelian yang akan dilaksanakan hingga responden memahami
maksud penelian. Responden yang setuju diminta membubuhkan tanda tangan pada
lembar informed consent. Data merupakan data primer yang diperoleh langsung dari
responden, antara lain dengan melakukan wawancara di tempat kerja, pemeriksaan fisik di
Puskesmas Kecamatan Taman Sari atau di Klinik Spesialis Budi Lestari, serta pemeriksaan
sediaan langsung KOH yang dikerjakan di Laboratorium Jamur Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUPN-CM/FKUI.
Dilakukan analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan komputer dan
programSPSS 11 for Windows. Batas kemaknaan pada penelian ini ditetapkan 0,05.
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui rerata dan frekuensi distribusi dari
variabel umur, pendidikan, jenis kelamin, kebersihan diri, dan status gizi (IMT). Analisis
bivariat yang dipakai adalah uji kemaknaanChi-square. Analisis ini dimaksudkan untuk
melihat hubungan antara masing-masing faktor risiko dengan kejadian nea kruris.
H SIL PENELITI N
Tabel 1 memperlihatkan karakterisk demografik pekerja usaha makananseafoodkaki
lima berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Pada tabel tersebut tampak
bahwa sebagian besar pekerja usaha makanan seafoodkaki lima adalah laki-laki, berumur
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
7/12
antara 20-29 tahun dan berpendidikan relaf rendah.
Tabel 1. Karakterisk demografi pekerja makanan seafoodkaki lima,Kecamatan Taman Sari, 2004
Jumlah Persentase
Kelompok Usia
< 20 thn
20 29 thn
30 + thn
19
59
9
21,8
67,9
10,3
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
81
6
93,1
6,9
Pendidikan
Rendah
Tinggi
76
11
87,4
12,6
Tabel 2 memperlihatkan prevalensi nea kruris berdasarkan pemeriksaan klinis dan KOH.
Tampak bahwa prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makananseafoodkaki lima sebesar
33,3%.
Tabel 2. Prevalensi nea kruris pada pekerja makanan
seafood
kaki lima, Kecamatan Taman Sari, 2004
Tinea kruris Jumlah Persen
Pemeriksaan klinis + KOHPosif
Negaf
29
58
33,3
66,7
Pada tabel 3 disajikan sebaran responden menurut faktor risiko nea kruris, antara lain
umur, jenis kelamin, pendidikan, kebersihan diri, serta status gizi. Untuk melihat faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap nea kruris, dilakukan analisis bivariat antara faktor risiko dengan
kejadian nea kruris.
Tabel 3. Hubungan antara berbagai faktor risiko dengan kejadian nea kruris pada
pekerja makanan seafoodkaki lima, Kecamatan Taman Sari, 2004
Tinea kruris 95% CIFaktor risiko
Posif Negaf
P OR
Low High
Kelompok usia
> 20 tahun
< 20 tahun
23
6
45
13
0,929 1,11 0,33 3,79
Jenis kelamin *)
Laki-laki
Perempuan
28
1
53
5
0,659 0,38 0,02 3,64
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
8/12
Pendidikan *)
Rendah
Tinggi
28
1
48
10
0,891 5,83 0,70 128,2
Kebersihan diri*)
Kurang baik
Baik
28
1
46
12
0,052 7,30 0,90 158,4
Status gizi *)
Berat badan lebih
Normal/kurang
4
25
5
53
0,474 1,70 0,34 8,18
Ket : *) Uji mutlak Fisher
PEMB H S N
Pada penelian ini diperoleh prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makanan
seafoodkaki lima di Kecamatan Taman Sari adalah sebesar 33,3%. Hasil ini menunjukkan
ngginya prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood kaki lima
dibandingkan dengan prevalensi pada komunitas umum atau pekerja lainnya. Penelian
Hermia di satu RW di Jakarta, memperoleh prevalensi nea kruris pada komunitas umum
sebesar 3,45%.7 Angka pada penelian ini juga lebih nggi bila dibandingkan dengan hasil
penelian pada komunitas pekerja lainnya, misalnya pekerja industriplywoodsebesar 11%,
8
dan pekerja penebangan kayu sebesar 5%.9Panas dan lembab mungkin merupakan faktor
risiko untuk kejadian nea kruris pada pekerja usaha makananseafoodkaki lima. Penelian
yang dilakukan oleh Aquariah di pabrik sepatu S di Tangerang menunjukkan bahwa
prevalensi nea kruris pada pekerja yang terpajan panas dan lembab ternyata nggi. Untuk
penelian berikutnya perlu dikaji lebih lanjut tentang faktor panas dan lembab sebagai faktor
risiko nea kruris. Populasi yang dipilih adalah populasi dengan pajanan panas yang
berbeda, atau dengan menggunakan analisis tugas (job analysis) pada 2 kelompok yang iklim
kerjanya dak berbeda, dengan desain kasus-kontrol. Pada iklim kerja yang sama, kelompok
pekerja dengan beban kerja berat akan mendapat heat stress yang lebih besar daripada
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
9/12
pekerja dengan beban kerja ringan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat dak ditemukan hubungan yang bermakna antara
berbagai faktor risiko yang diteli dengan kejadian nea kruris, walaupun, kebersihan diri
memperlihatkan kecenderungan hubungan yang cukup kuat. Kusmayoni mendapatkan
kebersihan diri sebagai faktor risiko terhadap kejadian nea kruris (p
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
10/12
bermakna secara stask dengan kejadian nea kruris, walaupun proporsi nea kruris pada
kelompok berpendidikan rendah lebih nggi daripada kelompok yang berpendidikan nggi.
Hasil ini sesuai dengan penelian Aquariah yang juga menemukan variabel pendidikan dak
mempunyai hubungan (p =0,246) dengan kejadian nea kruris. Proporsi pekerja yang
menderita nea kruris pada kelompok yang berpendidikan rendah sebesar 46,7% dan pada
kelompok yang berpendidikan sedang sebesar 35,7%.11
Sedangkan hasil penelian Hermia
menunjukkan bahwa faktor pendidikan berhubungan bermakna dengan kejadian nea
kruris (p 20
tahun dan < 20 tahun. Hasil analisis bivariat menunjukkan dak terdapat hubungan yang
bermakna antara usia dengan kejadian nea kruris. Pada penelian ini, kelompok usia yang
banyak menderita nea kruris adalah usia > 20 tahun sebesar 26,4%. Hermia juga
menemukan prevalensi nea kruris terbanyak pada golongan umur 25-44 tahun sebesar
44,7%.7
Aquariah menemukan prevalensi nea kruris terbanyak pada golongan umur 20-30
tahun sebesar 35,7%.11,12,22
Sedangkan Budimulja menemukan yang banyak menderita nea
kruris kelompok umur 10-30 tahun.13 Keadaan tersebut sesuai dengan teori yang
menyatakan kelompok dewasa muda lebih banyak menderita nea kruris; diduga karena
kelompok tersebut lebih akf bergerak sehingga lebih banyak berkeringat.1,2
Meskipun
demikian, dermatofitosis dapat menginfeksi semua usia, walaupun lebih jarang pada
anak-anak.1,14,15,19-22
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
11/12
KESIMPUL N
Penelian ini mendapatkan prevalensi nea kruris pada pekerja usaha makanan seafood
kaki lima di Kecamatan Taman Sari-Kotamadya Jakarta Barat sebesar 33,3%. Walaupun pada
penelian ini dak dijumpai hubungan yang bermakna antara berbagai faktor risiko yang
diteli dengan kejadian nea kruris, namun ditemukan faktor kebersihan diri cenderung
memiliki hubungan yang cukup kuat dengan kejadian nea kruris.
S R N
Diperlukan beberapa penelian lanjutan agar faktor risiko nea kruris pada pekerja
makananseafoodkaki lima dapat diketahui. Untuk mengetahui pengaruh panas dan lembab
terhadap kejadian nea kruris di antara pekerja, diperlukan pengelompokan populasi yang
jelas berada pada dua tempat yang iklim kerjanya berbeda atau dengan melakukan analisis
tugas (job analysis) pada 2 kelompok yang iklim kerjanya dak berbeda. Untuk mengetahui
apakah kebersihan diri merupakan faktor risiko terhadap nea kruris, diperlukan penelian
dengan disain kasus-kontrol.
D FT R PUST K
1. Rippon JW. Medical mycology the pathogenic fungi and the pathogenic acnomycetes. 3 r ed. Philadelphia: W.B.
Saunders Co; 1988: 207-10.2. Goedadi H, Suwito PS. Tinea korporis dan nea kruris. Dalam: Budimulja, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastu P, Widaty S, editor. Dermatomikosis superficialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2004. 31-5.3. Marn Ann G, Kobayashi GS. Fungal diseases with cutaneous involment. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff
7/25/2019 Tmp 15487 Tineacruriseafood82135636
12/12
K,Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, Fitzpatrick TB, editor. Dermatology in general medicine. 5 t ed. New York:
McGraw-Hill; 1999: 2337-55.4. Hernandez AD. Dermatophytosis and other superficial mycoc infecons. Dalam: Roeningk HH, editor. Office
dermatology. Balmore: Willliams & Wilkins; 1982: 107-13.5. Stewart WD, Danto JL, Maddin S. Dermatology diagnosis and treatment of cutaneous disorders. 4th ed. Saint louis:
The C.V.Mosby Company;1978: 272-4.6. Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, editor. Textbook of dermatology. 5th ed. Oxford: Blackwell Scienfic
Publicaon; 1992.7. M Hermia T. Penelian nea kruris di satu rukun warga di Jakarta tesis . Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
8. Hamzah MS. Insiden dermatomikosis selama periode Januari 1996- Desember 1998 di RSU Dr. Abdul Moeloek
Bandar Lampung. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 2000; 1: 5-7.9. Athuf MT, Siregar RS. Dermatosis akibat kerja karyawan penebangan kayu di sumatera selatan. MDVI; 1995.22:
19-22.10. Astono S, Sudarja H. Penyakit kulit di kalangan tenaga kerja industri plywood di Propinsi Kalimantan selatan. CDK
2002; 136: 43-4.11. Aquariah L. Hubungan panas dan lembab terhadap prevalensi nea kruris pada pekerja hot press dan sewing
pabrik sepatu [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.12. Kusmayoni NWM. Prevalensi nea kruris dan kandidosis kus intertriginosa di lingkungan kerja panas dan lembab
pada pekerja wanita pabrik teksl S di Tangerang [Tesis]. Jakarta. Universitas Indonesia, 2005.13. Budimulja U. Penyelidikan dermatofitosis di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo tesis . Jakarta: Universitas
Indonesia, 1980.14. Hay RJ. Dermatophytosis and other superficial mycoses. In:Mandel GL, Douglas RG, John EB, editors. Principles
and pracce of infecous diseases. 3rded.New York: Churchill Livington Inc; 1990. p.20-5.
15. Wiederkehr M. Tinea cruris. Diunduh dari : URL: hp://www.emedicine.com/derm/topic471htm. Last
Updated: April29,2003.16. Elgart ML, Warren NG. The superficial and subcutaneous mycoses. Dalam: Moschella SL, Hurley HJ, editors.
Dermatology. 3rded. New York: W.B. Saunders Co;1992: 869-86.
17. Odom RB, James WD, Berger TG. Andrew diseases of the skin: clinical dermatology. 9t
ed. New York: W.B.
Saunders Co, 2000: 370-2.18. Pendit BU. Perbandingan evaluasi viabilitas dermatofita dengan pewarna merah netral terhadap biakan agar
mycobioc pada pasien nea kruris dan/atau korporis [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia, 1997.19. Rook, Wilkinson, Ebling. Textbook of dermatology. 6
ted. Champion RH, Burton JL, Burns DA, Breathnach SM,
editors. London: Blackwell Science; 1998: 1311-2.20. Hakim Z. Insiden dermatomikosis di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr. M.Jamil,Padang. Jurnal Mikologi
Kedokteran Indonesia 2000; 1: 1-3.21. Zaias N, Berman B, Cordero CN, Hernandez A, Jacobson C, Millikan L, et al. Efficacy of a 1 week, once-daily
regimen of terbinafine 1% cream in the treatment of nea cruris and nea corporis. J Am Acad Dermatol 1993; 29:
646-8.22. Werdani S, Ramali LM. Pengobatan nea kruris secara topikal dengan krim terbinafin 1% selama 1 minggu
dibandingkan dengan krim bifonazol 1% selama 3 minggu di RSUP. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Dokter Keluarga
1995; 2: 27-31.
Top Related