10
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja adalah tempat dimana karyawan melakukan aktivitas setiap
harinya. Lingkungan kerja yang kondusif memberikan rasa aman dan
memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja optimal (Harrianto, 2010).
Lingkungan kerja dapat mempengaruhi emosi karyawan (Lewa dan Subowo,
2005). Jika karyawan menyenangi lingkungan kerja dimana dia bekerja, maka
karyawan tersebut akan betah dalam melakukan aktivitas, sehingga waktu kerja
dipergunakan secara efektif. Lingkungan kerja itu mencakup hubungan kerja
yang terbentuk antara sesama karyawan dan hubungan kerja antara bawahan dan
atasan serta lingkungan fisik tempat karyawan bekerja (Sedarmayanti, 2009).
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan termasuk hal yang penting untuk
diperhatikan. Meskipun lingkungan kerja yang memuaskan bagi karyawannya
dapat meningkatkan kinerja, sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai
akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja
karyawan (Sakitri, 2009; Nurhaida, 2010).
Menurut Supardi dalam Nurhaida (2010), lingkungan kerja merupakan
keadaan sekitar tempat kerja, baik secara fisik maupun non fisik yang dapat
memberikan kesan yang menyenangkan, mengamankan, menentramkan, dan
betah kerja. Nitisemito (2000) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja yang
dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diembankan.
11
Lewa dan Subowo (2005) menyatakan bahwa lingkungan kerja didesain
sedemikian rupa agar tercipta hubungan kerja yang mengikat pekerja dengan
lingkungannya. Lingkungan kerja yang baik apabila karyawan dapat
melaksanakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Lingkungan
kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja serta waktu yang lebih
banyak dan tidak mendukung diperolehnya rancangan sistem kerja yang efisien
(Lewa dan Subowo, 2005).
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan
segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk
fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi
dirinya dan pekerjaannya saat bekerja (Novita, 2013). Lingkungan kerja yang
mendukung produktivitas kerja akan menimbulkan kepuasan kerja bagi pekerja
dalam suatu organisasi. Menurut Sihombing (2004), indikator dari lingkungan kerja
adalah: fasilitas kerja, gaji dan tunjangan, serta hubungan kerja.
2.1.1 Jenis Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dapat dibagi atas 2 (dua) jenis, yaitu: lingkungan kerja non
fisik dan lingkungan kerja fisik (Nurhaida, 2010; Novita, 2013). Lingkungan kerja
non fisik mencakup hubungan kerja yang terbina dalam perusahaan (Sedarmayanti,
2009). Seseorang bekerja di dalam perusahaan tidaklah seorang diri, dan dalam
melakukan aktivitas, orang tersebut juga membutuhkan bantuan orang lain.
Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di
sekitar tempat kerja di mana dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung
3
maupun tidak langsung (Sedarmayanti , 2009). Lingkungan kerja fisik dapat dibagi
menjadi 2 (dua ) kategori yakni:
1. Lingkungan yang secara langsung berhubungan dengan karyawan
(seperti pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya).
2. Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut
lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya suhu,
kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis,
bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
Robbins dan Stephen (2002) menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah: suhu, kebisingan, penerangan, dan
mutu udara. Suhu adalah variabel dimana terdapat perbedaan individual yang besar.
Dengan demikian untuk memaksimalkan produktivitas, karyawan harus bekerja di
suatu lingkungan dimana suhu diatur sedemikian rupa, sehingga berada di antara
rentang kerja yang dapat diterima setiap individu.
Bekerja pada ruangan yang gelap dan samar-samar akan menyebabkan
ketegangan pada mata (Marji, 2012). Intensitas cahaya yang tepat dapat membantu
karyawan dalam memperlancar aktivitas kerjanya (ILO, 2013). Tingkat yang tepat
dari intensitas cahaya juga tergantung pada usia karyawan (Harrianto, 2010).
Pencapaian kinerja pada tingkat penerangan yang lebih tinggi akan lebih besar untuk
karyawan yang lebih tua dibandingkan yang lebih muda.
Mutu udara merupakan fakta yang tidak bisa diabaikan karena menghirup udara
yang tercemar membawa efek yang merugikan pada kesehatan pribadi (Suma’mur,
1980). Udara yang tercemar dapat mengganggu kesehatan karyawan (Harrianto,
4
2010; ILO, 2013). Udara yang tercemar di lingkungan kerja dapat menyebabkan
sakit kepala, mata perih, kelelahan, lekas marah, dan depresi (Harrianto, 2010).
Faktor lain yang mempengaruhi lingkungan kerja fisik adalah rancangan ruang
kerja. Rancangan ruang kerja yang baik dapat menimbulkan kenyamanan bagi
karyawan di tempat kerjanya. Menurut Robbins dan Stephen (2002), faktor-faktor
dari rancangan ruang kerja terdiri atas: ukuran ruang kerja, pengaturan ruang kerja,
dan privasi. Ruang kerja merujuk pada besarnya ruangan per karyawan, sedangkan
pengaturan merujuk pada jarak antara orang dan fasilitas. Pengaturan ruang kerja itu
penting, karena sangat mempengaruhi interaksi sosial (Novita, 2013). Orang lebih
mungkin berinteraksi dengan individu-individu yang dekat secara fisik. Oleh karena
itu , lokasi kerja karyawan mempengaruhi informasi yang ingin diketahui.
2.1.2 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi
lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan. Sedarmayanti (2009)
menyatakan terdapat 11 faktor yang menentukan lingkungan kerja yaitu:
1. Pencahayaan tempat kerja
Cahaya atau penerangan sangat besar manfaatnya bagi karyawan guna
mendapatkan keselamatan dan kelancaran kerja. Oleh karena itu, perlu
diperhatikan adanya penerangan yang cukup tetapi tidak menyilaukan. Cahaya
yang kurang jelas, sehingga pekerjaan akan lambat, banyak mengalami
kesalahan, dan pada akhirnya menyebabkan kurang efisien dalam melaksanakan
pekerjaan, sehingga tujuan organisasi sulit dicapai.
5
2. Suhu tempat kerja
Tubuh manusia selalu mempertahankan keadaan normal, dengan suatu sistem
tubuh yang sempurna, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi di luar tubuh. Namun demikian, kemampuan untuk menyesuaikan
diri tersebut ada batasnya. Tubuh manusia masih dapat menyesuaikan dirinya
dengan suhu luar jika perubahan suhu luar tubuh tidak melebihi dari 20% untuk
kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin dari keadaan normal tubuh.
3. Kelembaban di tempat kerja
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara, biasa
dinyatakan dalam persentase. Kelembaban ini berhubungan atau dipengaruhi
oleh suhu udara, dan secara bersama-sama antara suhu, kelembaban dan
kecepatan udara serta radiasi panas akan mempengaruhi keadaan tubuh manusia
pada saat menerima atau melepaskan panas dari tubuhnya. Suatu keadaan
dengan suhu udara sangat panas dan kelembaban tinggi, akan menimbulkan
pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran, karena sistem penguapan.
Pengaruh lain, adalah makin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya
peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen, dan tubuh manusia selalu
berusaha untuk mencapai keseimbangan antara panas tubuh dengan suhu
sekitarnya.
4. Sirkulasi udara di tempat kerja
Oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh mahkluk hidup untuk menjaga
kelangsungan hidup, yaitu untuk proses metabolisme. Udara di sekitar dikatakan
kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan telah
6
bercampur dengan gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh.
Sumber utama adanya udara segar adalah adanya tanaman di sekitar tempat
kerja. Tanaman merupakan penghasil oksigen yang dibutuhkan oleh manusia.
Dengan cukup oksigen di sekitar tempat kerja, ditambah dengan pengaruh secara
psikologis akibat adanya tanaman di sekitar tempat kerja, keduanya akan
memberikan kesejukan dan kesegaran pada jasmani. Rasa sejuk dan segar
selama bekerja akan membantu mempercepat pemulihan tubuh akibat lelah
setelah bekerja.
5. Kebisingan di tempat kerja
Salah satu polusi yang cukup mengganggu adalah polusi suara, yang merupakan
bunyi yang tidak dikehendaki oleh telinga. Tidak dikehendaki, terutama dalam
jangka panjang karena bunyi tersebut dapat mengganggu ketenangan bekerja,
merusak pendengaran dan menimbulkan kesalahan komunikasi, bahkan menurut
penelitian, kebisingan yang serius bisa menimbulkan gangguan psikologis. Oleh
karena pekerjaan membutuhkan konsentrasi, maka suara bising hendaknya
dihindari agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien sehingga
produktivitas kerja meningkat.
6. Getaran mekanis di tempat kerja
Getaran mekanis artinya getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis, yang
sebagian dari getaran tersebut sampai ke tubuh karyawan dan dapat
menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Getaran mekanis pada umumnya
sangat mengganggu tubuh karena ketidakteraturannya dalam hal intensitas
maupun frekuensinya. Secara umum, getaran mekanis dapat menggaggu
7
konsentrasi bekerja, mengakibatkan kelelahan dan timbul beberapa penyakit,
seperti penyakit mata, saraf, peredaran darah, otot, tulang, dan lain-lain.
7. Bau-bauan di tempat kerja
Adanya bau-bauan di sekitar tempat kerja dapat dianggap sebagai pencemaran,
karena dapat mengganggu konsentrasi bekerja, dan bau-bauan yang terjadi terus
menerus dapat mempengaruhi kepekaan penciuman. Pemakaian sirkulasi udara
dan pertukaran udara merupakan salah satu solusi untuk mengurangi dampak
bau di tempat kerja.
8. Tata warna di tempat kerja
Tata warna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari segi dekorasi. Hal ini
dapat dimaklumi karena warna mempunyai pengaruh besar terhadap perasaan.
Sifat dan pengaruh warna kadang-kadang menimbulkan rasa senang, sedih, dan
lain-lain, karena dalam sifat warna dapat merangsang perasaan manusia.
9. Dekorasi di tempat kerja
Dekorasi berkaitan dengan tata letak, perlengkapan dan kemudahan akses
ergonomis dalam bekerja. Dekorasi yang baik adalah yang mendukung konsep
ergonomis yang mendukung aspek aksesibilitas dan tata letak barang maupun
perlengkapan.
10. Musik di tempat kerja
Menurut para pakar, musik yang nadanya lembut sesuai dengan suasana, waktu
dan tempat dapat membangkitkan dan merangsang karyawan untuk bekerja.
Oleh karena itu, lagu-lagu perlu dipilih dengan selektif untuk dapat
dikumandangkan di tempat kerja. Musik yang tidak sesuai dengan tempat kerja
8
justru akan merusak konsentrasi dalam bekerja.
11. Keamanan di tempat kerja
Dalam menjaga tempat dan kondisi lingkungan kerja tetap dalam keadaan aman
maka perlu diperhatikan adanya upaya menjaga keamanan di tempat kerja; tidak
saja aspek keamaan dari bahaya gangguan kriminal, tetapi lebih juga pada aspek
keamanan pekerja dalam melakukan pekerjaan dengan menekankan pada aspek
pelaksanaan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
2.2 Potensi Risiko danHazards Lingkungan Kerja Terhadap Pekerja
Jika tempat kerja aman dan sehat, setiap orang dapat melanjutkan pekerjaan
mereka secara efektif dan efisien (Kurniawidjaja, 2012). Sebaliknya, jika tempat
kerja tidak terorganisir dan banyak terdapat bahaya, kerusakan dan absen sakit tak
terhindarkan, mengakibatkan hilangnya pendapatan bagi pekerja dan produktivitas
berkurang bagi perusahaan (Harrianto, 2010; Mutaqin, 2013). Meskipun
kenyataannya, para pengusaha di seluruh dunia telah secara hati-hati
merencanakan strategi bisnis mereka, banyak yang masih mengabaikan masalah
penting seperti keselamatan, kesehatan dan kondisi kerja. Biaya untuk manusia
dan finansial dianggap besar (Subaris dan Haryono, 2008).
Menurut ILO (2013), setiap tahun ada lebih dari 250 juta kecelakaan di
tempat kerja dan lebih dari 160 juta pekerja menjadi sakit karena bahaya di tempat
kerja. Terlebih lagi, 1,2 juta pekerja meninggal akibat kecelakaan dan sakit di
tempat kerja. Data menunjukkan, biaya manusia dan sosial dari produksi terlalu
tinggi.
9
Dalam istilah ekonomi, diperkirakan bahwa kerugian tahunan akibat
kecelakaan kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan di beberapa
negara dapat mencapai 4 % dari produk nasional bruto (PNB). Biaya langsung dan
tidak langsung dari dampak yang ditimbulkannya meliputi (Kurniawidjaja, 2012;
ILO, 2013):
a. Biaya medis;
b. Kehilangan hari kerja;
c. Mengurangi produksi;
d. Hilangnya kompensasi bagi pekerja;
e. Biaya waktu / uang dari pelatihan dan pelatihan ulang pekerja;
f. Kerusakan dan perbaikan peralatan;
g. Rendahnya moral staf;
h. Publisitas buruk;
i. Kehilangan kontrak karena kelalaian.
Di masa lalu, kecelakaan dan gangguan kesehatan di tempat kerja dipandang
sebagai bagian tak terhindarkan dari produksi (Suma’mur, 1980; Subaris dan
Haryono, 2008). Namun, waktu telah berubah. Sekarang ada berbagai standar
hukum nasional dan internasional tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang
harus dipenuhi di tempat kerja (Kurniawidjaja, 2012). Standar-standar tersebut
mencerminkan kesepakatan luas antara pengusaha/pengurus, pekerja dan
pemerintah bahwa biaya sosial dan ekonomi dari kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja harus diturunkan. Sekarang dipahami bahwa semua biaya ini
memperlamban daya saing bisnis, mengurangi kesejahteraan ekonomi negara dan
10
dapat dihindari melalui tindakan di tempat kerja yang sederhana tetapi konsisten
(Nitisemito, 2000).
Seperti diketahui, potensi bahaya keselamatan dan kesehatan kerja dapat
berupa berbagai bentuk. Terlebih lagi, masing-masing risiko bisa menjadi tinggi
atau rendah, tergantung pada tingkat peluang bahaya yang ada.
Risiko yang ditimbulkan dapat berupa berbagai konsekuensi dan dapat dibagi
menjadi 4 (empat) kategori besar seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1Potensi Bahaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Didasarkan Pada Dampak
Korban
Sumber : ILO (2013)
Dari sudut pandang kesehatan kerja, sistem kerja mencakup empat komponen
kerja, yaitu pekerja, lingkungan kerja, pekerjaan, pengorganisasian pekerjaan dan
11
budaya kerja (Subaris dan Haryono, 2008; Kurniawidjaja, 2012). Setiap
komponen tersebut dapat menjadi sumber atau situasi yang berpotensi
menimbulkan kerugian bagi kesehatan pekerja. Sumber atau situasi yang potensial
tersebut dikenal sebagai hazard atau faktor risiko kesehatan (Harrianto, 2010;
Kurniawidjaja, 2012). Sedangkan peluang hazard kesehatan menimbulkan suatu
cidera atau gangguan kesehatan disebut sebagai risiko (Kurniawidjaja, 2012).
Kurniawidjaja (2012) menyebutkan bahwa terdapat 6 buah sumber hazard
kesehatan di tempat kerja, antara lain :
1. Somatic Hazard
Somatic hazard merupakan hazard yang berasal dari tubuh pekerja yang
berupa kapasitas kerja dan status kesehatan pekerja. Contohnya yaitu
pekerja dengan buta warna kemudian mengerjakan alat elektronik yang
penuh dengan kabel warna-warni, hazard somatiknya dapat
membahayakan dirinya maupun orang lain.
2. Behavioural Hazard
Hazard perilaku merupakan hazard yang timbul karena perilaku pekerja
itu sendiri. Contohnya kebiasaan merokok para pekerja bengkel yang
menyebabkan kerusakan fungsi paru dan bahkan risiko kebakaran atau
peledakan apabila di tempat tersebut terdapat uap yang mudah terbakar.
3. Environment Hazard
Hazard lingkungan dapat berupa faktor kimia, fisika dan biologi. Ketiga
faktor ini berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan apabila intensitas
pajanannya tinggi dan melampaui toleransi kemampuan tubuh pekerja.
12
Faktor atau bahaya fisik yang berpotensi menimbulkan penyakit akibat
kerja meliputi suhu lingkungan kerja yang ekstrim, kebisingan,
pencahayaan, getaran, tekanan dan radiasi baik pengion maupun tidak
(Daryanto, 2010; Harrianto, 2010). Sedangkan Faktor dari bahaya kimia
di lingkungan kerja seperti logam berat, pelarut organik, gas dan uap,
pestisida serta partikel di dalam udara (Kurniawidjaja, 2012).
Faktor risiko biologi di tempat kerja akan dapat menimbulkan penyakit
secara langsung kepada pekerja berupa penyakit infeksi seperti hepatitis,
tuberkulosis, jamur (mikosis), maupun parasit.
4. Ergonomic Hazard
Hazard ergonomi yang dimaksud terkait dengan kondisi pekerjaan dan
peralatan kerja yang dipakai oleh pekerja termasuk juga ke dalamnya
adalah work station.
5. Work Organization Hazard
Hazard pengorganisasian pekerjaan bisa menimbulkan stres kerja bagi
para pekerja. Pengaturan sumber daya manusia yang tidak baik serta jam
kerja yang tidak sesuai atau melebihi dari ketentuan undang-undang
dapat menimbulkan permasalahan kesehatan bagi pekerja.
6. Work Culture Hazard.
Hazard budaya kerja juga memiliki potensi menimbulkan penyakit dan
gangguan kesehatan bagi pekerja. Beban kerja yang berlebihan akibat
budaya kerja menunda pekerjaan serta budaya kerja sampai jauh malam
13
adalah contoh bagaimana budaya kerja dapat menurunkan kualitas
kesehatan pekerja.
2.3 Klasifikasi Bengkel
Bengkel merupakan suatu unit usaha yang padat karya karena di dalamnya
melibatkan banyak pekerja dengan masing-masing divisi yang mengerjakan tugas
berbeda (Daryanto, 2010). Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999) dalam
Keputusan No. 551/MPP/Kep/10/1999 mendefinisikan bengkel umum kendaraan
bermotor adalah bengkel umum kendaraan yang berfungsi untuk membetulkan,
memperbaiki, dan merawat kendaraan bermotor agar tetap memenuhi persyaratan
teknis dan laik jalan.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
551/MPP/Kep/10/1999 Tentang Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Industri dan Logam Mesin Elektronik dan
Aneka dengan mengeluarkan Keputusan Dirjen No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000
Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi Bengkel Umum Kendaraan Bermotor
(Dirjen Industri dan Logam Mesin Elektronik dan Aneka, 2000). Berdasarkan
peraturan tersebut, maka bengkel dapat dibagi menjadi :
a. Bengkel Kelas I tipe A, B dan C
b. Bengkel Kelas II tipe A, B dan C
c. Bengkel kelas III tipe A, B dan C
Menurut peraturan tersebut klasifikasi bengkel ini didasarkan atas tingkat
pemenuhan terhadap persyaratan sistem mutu, mekanik, fasilitas dan peralatan, serta
14
manajemen informasi sesuai dengan penilaian masing-masing kelas bengkel yang
telah diatur oleh keputusan Dirjen.
Dalam Surat Keputusan menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
191/MPP/Kep/2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 551/MPP/Kep/10/1999 (Menteri Perindustrian dan
Perdagangan RI, 1999) , disebutkan tentang tipe bengkel didasarkan pada tipe
pekerjaan yang mampu dilakukan, yaitu:
a. Bengkel tipe A merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis
pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, perbaikan
chasis dan body.
b. Bengkel tipe B merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis
pekerjaan perawatan berkala,perbaikan kecil dan perbaikan besar, atau
jenis pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil serta sebagian
perbaikan chasis dan body.
c. Bengkel tipe C merupakan bengkel yang mampu melakukan jenis
pekerjaan perawatan berkala, perbaikan kecil.
Klasifikasi sistem mutu bengkel seperti yang tampak pada Tabel 2.2, terdiri dari
5 (lima) point persyaratan yaitu persyaratan umum, pedoman bengkel, pengendalian
atas peralatan bengkel, personil bengkel kendaraan bermotor dan kemampuan
identifikasi telusur hasil perawatan dan perbaikan kendaraan.
Penetapan kelas bengkel ditentukan dari capaian yang ditentukan dengan persen
pada masing-masing point seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.2.
15
Tabel 2.2Point Dasar Penilaian Kelas Bengkel Umum Kendaraan
No Persyaratan Sistem Mutu Kelas Bengkel
I II III1 Peryaratan umum
Men
capa
i nila
i > 8
0 da
lam
siste
m p
enila
ian
MEn
capa
i nila
i 60
s/d 8
0 da
lam
sist
em p
enila
ian
Men
capa
i nila
i < 6
0 da
lam
sist
em p
enila
ian2 Pedoman Bengkel :
a) Tanggung jawab manajemenb) Perencanaan sistem mutuc) Prosedur mutu
1. Proses penerimaan order2. Proses pengerjaan perawatan dan perbaikan3. Proses inspeksi / pemeriksaan dan
pengendalian hasil perawatan perbaikan4. Proses penyerahan5. Suku cadang6. Standar biaya/standar jam kerja7. Pelatihan8. Penanganan limbah
3 Pengendalian atas peralatan bengkel4 Personil bengkel kendaraan bermotor5 Identifikasi dan mampu telusur hasil perawatan dan
perbaikanSumber : Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999).
Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI tahun 1999 menjelaskan bahwa
bengkel kendaraan bermotor baik roda 4 atau lebih dan bengkel kendaraan roda 2
sekurang-kurangnya harus memiliki fasilitas, yang terdiri dari.:
1. Fasilitas umum, adalah fasilitas yang disediakan untuk memberikan
pelayanan kepada pelanggan atau personil bengkel yang terdiri dari :
a. Ruang penerimaan pelanggan
b. Ruang administrasi
c. Ruang tunggu dan toilet
d. Ruang staf dan mekanik
e. Area parkir
16
2. Fasilitas penyimpanan, adalah fasilitas yang disediakan dan berfungsi sebagai
ruang / tempat penyimpanan dari :
a. Peralatan
b. Suku cadang
c. Oli/pelumas
3. Fasilitas keselamatan, adalah fasilitas yang disediakan untuk penanggulangan
bahaya seperti kebakaran dengan penyediaan :
a. Alat pemadam api ringan
b. Tanda/petunjuk penyelamatan
4. Fasilitas penampung limbah, adalah fasilitas yang disediakan untuk
menampung /menyaring limbah bengkel yang berupa :
a. Oli bekas
b. Sampah suku cadang bekas
c. Air bekas cucian kendaraan
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Industri dan Logam Mesin Elektronik dan
Aneka No. 04/SK/DJ-ILMEA/V/2000 Tentang Persyaratan dan Penilaian Klasifikasi
Bengkel Umum Kendaraan Bermotor (Dirjen Industri dan Logam Mesin Elektronik
dan Aneka, 2000) disebutkan bahwa setiap bengkel kendaraan bermotor wajib
memiliki dan memenuhi persyaratan fasilitas bengkel, stall atau pit dan peralatan
sesuai kelas dan tipenya, serta kualifikasi mekanik sesuai dengan kelas bengkel
tersebut. Stall atau pit adalah area khusus disediakan untuk melakukan kegiatan
perawatan dan perbaikan tertentu kendaraan bermotor.
17
2.4 Limbah Industri Bengkel
Dalam pikiran beberapa orang, bengkel selalu identik dengan kesan kotor, hiruk
pikuk, berlumuran minyak dan kumuh, hampir setiap hari bengkel membuang
limbah oli bekas yang kotor dan berlumpur (BPPT, 2008). Begitu juga dengan bahan
buangan seperti air aki bekas, pelarut cat, cairan pembersih yang semuanya
mengganggu kesehatan. Ada 3 (tiga) penyebab yang membuat bengkel motor atau
mobil tampil kotor yaitu (BPPT, 2008; Daryanto, 2010) :
a. Pertama, sumber daya manusianya kurang memahami kegiatan kerja
perbengkelan. Akibatnya sering terjadi kesalahan prosedur reparasi dan
servis. Akibat lebih jauh, mereka cenderung mengabaikan kedisiplinan,
keselamatan dan kesehatan kerja.
b. Kedua, penataan ruangan yang kurang baik. Ukuran ruangan yang tidak
dirancang sesuai dengan standar, tetapi apa adanya. Ini mengganggu
pekerjaan yang seharusnya bisa cermat, tidak ceroboh dan asal-asalan.
c. Ketiga, kesadaran lingkugan yang amat rendah, kurangnya pemahaman
akan arti pentingnya kesehatan lingkungan, sehingga mereka tidak
memperdulikan bahaya limbah terhadap lingkungan dan pada akhirnya
akan berimbas ke manusia juga.
Jenis limbah yang dihasilkan oleh aktivitas perbengkelan terdiri dari beberapa
jenis yaitu (BPPT, 2008) :
2.4.1 Limbah Gas
Hasil pembakaran bahan bakar pada kendaraan bermotor merupakan faktor
penyebab pencemaran udara. Komponen utama bahan bakar fosil ini adalah hidrogen
18
(H) dan karbon (C). Pembakarannya akan menimbulkan senyawa hidrokarbon (HC),
karbon monoksida (C), karbon dioksida (CO2), serta nitrogen oksida (NOx) pada
kendaraan yang berbahan bakar bensin (BPPT, 2008; Marji, 2012). Pada kendaraan
yang berbahan bakar solar, gas buangnya mengandung sedikit HC dan CO tetapi
lebih banyak SO-nya. Dari senyawa-senyawa itu, HC dan CO paling berbahaya bagi
kesehatan manusia. Jika sering terhirup, HC bisa mengakibatkan timbulnya penyakit
kanker, asma, dan sakit kepala, sedangkan CO dapat menyebabkan radang
tenggorokan. Yang lebih berbahaya lagi bila kadarnya tinggi, di mana gas CO
mampu melumpuhkan sistem pembuluh darah serta meredam kemampuan sel darah
merah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh (Harrianto, 2010). Dalam hal ini sel
darah merah akan sangat mudah berafiliasi dengan gas CO.
2.4.2 Limbah Padat
Bengkel pada umumnya juga menghasilkan limbah padat. Limbah padat dari
daerah perbengkelan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu limbah logam dan
non logam (Marji, 2012). Limbah padat non logam dapat berupa ban bekas/karet,
busa, kulit sintetis, kain lap bekas yang telah terkontaminasi oli bekas/pelarut
(majun), cat kering, dan lain-lain. Limbah logam banyak terdiri dari berbagai
potongan logam, mur/skrup, bekas ceceran pengelasan dan lain-lain.
2.4.3 Limbah Cair
Limbah cair dari usaha perbengkelan dapat berupa oli bekas, bahan ceceran,
pelarut/pembersih, dan air (Ayuningtyas dan Wilujeng, 2012). Bahan
pelarut/pembersih pada umumnya mudah sekali menguap, sehingga keberadaannya
19
dapat menimbulkan pencemaran terhadap udara yang dihirup oleh para pekerja.
Bahan bakar cairan merupakan cairan yang mudah terbakar oleh nyala api, dan juga
merupakan bahan yang mudah sekali dibawa oleh aliran air. Bahan bakar bensin
mudah sekali menguap dan terhirup oleh pekerja (Daryanto, 2010).
Air limbah dari usaha perbengkelan banyak terkontaminasi oli, gemuk, dan
bahan bakar. Air yang sudah terkontaminasi akan mengalir mengikuti saluran yang
ada, sehingga air ini mudah sekali untuk menyebarkan bahan-bahan kontaminan
yang terbawa olehnya. Oli bekas jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan
kesan kotor dan membutuhkan waktu untuk membersihkannya yang berakibat pada
lantai yang licin yang memudahkan terjadinya kecelakaan (Ayuningtyas dan
Wilujeng, 2012).
2.5 Standar Operasional Prosedur Sebagai Aspek Penting K3 (Kesehatan danKeselamatan Kerja) Bengkel Sepeda Motor
2.5.1 Petunjuk Bagi Pekerja
Sebelum seseorang bekerja pada bengkel diharuskan terlebih dahulu
memahami tentang petunjuk dan peraturan-peraturan tentang keselamatan kerja.
Walaupun setiap pekerjaan selalu ada risiko, akan tetapi dengan memahami
terlebih dahulu sebab-sebab terjadinya kecelakaan dan mengikuti petunjuk-
petunjuk kerja, maka jumlah kecelakaan pasti akan berkurang. Menurut perkiraan
70% dari kecelakaan yang terjadi di bengkel disebabkan oleh ketidaktelitian atau
kelalaian kerja (Daryanto, 2010; ILO, 2013).
Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia, termasuk pekerja
sepeda motor, kurang memperhatikan keselamatan kerja (ILO, 2013).
20
Kemungkinan penyebabnya pertama, mereka mungkin tidak memiliki
pengetahuan tentang keselamatan kerja. Kedua, mereka sudah tahu, tetapi
mengabaikan karena punya kebiasaan buruk (Suma’mur, 1980; Saifuddin et al.,
2013). Kebiasaan tidak mematuhi aturan keselamatan kerja untuk pekerja
teknologi sepeda motor tidak dapat ditolerir. Untuk menjadi pekerja profesional,
setiap orang wajib terlebih dahulu mempelajari keselamatan kerja (Daryanto,
2010; Mutaqin, 2013). Semuanya ada aturan, dan aturan keselamatan kerja harus
dilaksanakan dengan kesadaran yang tinggi. Sikap dan kebiasaan kerja yang
profesional dibentuk melalui disiplin yang kuat. Bahkan, sikap dan kebiasaan
kerja merupakan kunci sukses seorang teknisi yang sukses. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa keselamatan kerja dapat dinyatakan sebagai sesuatu
yang menjamin keadaan, keutuhan, kesempurnaan, baik jasmani maupun rohani
manusia, serta hasil karya dan budayanya tertuju pada keselamatan masyarakat
pada umumnya dan pekerja.
Keselamatan kerja adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan, kerusakan dan segala bentuk kerugian baik terhadap manusia,
maupun yang berhubungan dengan peralatan, obyek kerja, bengkel tempat
bekerja, dan lingkungan kerja, secara langsung dan tidak langsung (Daryanto,
2010; Marji, 2012). Sejalan dengan kemajuan teknologi, maka permasalahan
keselamatan kerja menjadi salah satu aspek yang sangat penting, mengingat risiko
bahaya dalam penerapan teknologi juga semakin kompleks. Keselamatan kerja
merupakan tanggung jawab semua orang baik yang terlibat langsung dalam
21
pekerjaan dan juga masyarakat produsen dan konsumen pemakai teknologi pada
umumnya (ILO, 2013).
Peraturan keselamatan kerja harus diberlakukan di mana saja oleh setiap
orang yang bekerja, maupun oleh instansi yang memberikan pekerjaan. Hal yang
harus dilakukan seseorang untuk melaksanakan keselamatan kerja (Suma’mur,
1980; Daryanto, 2010; Mutaqin, 2013) adalah :
a. Bersikap mawas diri terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan;
b. Bekerja dengan sungguh-sungguh, cepat, teliti, dan tekun;
c. Menghindari sikap melamun dalam bekerja;
d. Usahakan untuk tidak ceroboh dalam bekerja;
e. Istirahat bila sudah lelah dan bosan;
f. Menghindari sikap bercanda dalam bekerja;
g. Memahami prosedur kerja dan tidak mencoba-coba;
h. Waspada dalam bekerja;
i. Menggunakan alat pengaman dalam bekerja dan tindakan lainnya
yang menunjang untuk selamat dalam bekerja.
Kecelakaan akibat kerja dapat dicegah dengan (Suma’mur, 1980; Harrianto,
2010) :
a. Disiplin terhadap peraturan perundangan;
b. Standarisasi prosedur kerja;
c. Pengawasan;
d. Penelitian bersifat teknis;
e. Riset medis;
22
f. Penelitian psikologis;
g. Penelitian secara statistik;
h. Pendidikan dan latihan keselamatan
i. Petunjuk keselamatan kerja yang jelas dan tertulis
Bengkel yang bersih dan tersusun rapi, sangat membantu dalam mengurangi
jumlah kecelakaan. Alat-alat dan benda kerja jangan sampai ditinggalkan pada
tempat di mana seseorang dapat terjatuh. Gang dan jalan yang dilalui oleh pekerja
harus bersih. Oleh karena itu, bangku kerja, alat-alat dan benda kerja harus
tersusun secara rapi dan sistematis. Khusus untuk bengkel otomotif, minyak,
minyak pelumas dan gemuk yang berserakan dilantai, sebelum menimbulkan
kecelakaan harus ditutup dengan pasir atau serbuk gergaji (ILO, 2013; Novita,
2013).
2.5.2 Tata Peralatan Ruang Bengkel
Bengkel kerja yang bersih dan tersusun rapi, sangat membantu dalam
mengurangi jumlah kecelakaan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
No. 1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, pasal 3 mengatur mengenai syarat–
syarat keselamatan kerja (Kurniawidjaja, 2012). Pada pasal 3 menyebutkan bahwa
“Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja
untuk memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban ”.
Alat-alat dan benda kerja jangan sampai ditinggalkan pada tempat di mana
seseorang dapat terjatuh. Jalan yang dilalui oleh pekerja harus bersih (Daryanto,
2010). Bangku kerja, alat-alat dan benda kerja harus tersusun secara rapi dan
sistematis. Oli atau minyak pelumas dan gemuk yang berserakan dilantai, sebelum
23
menimbulkan kecelakaan harus ditutup dengan pasir atau serbuk gergaji
(Harrianto, 2010; Marji, 2012).
2.5.3 Bahan Bakar dan Minyak Pelumas
Di dalam bengkel otomotif biasa terdapat bahan bakar dan minyak pelumas
seperti bensin atau premium, solar dan adakalanya minyak tanah, oli dan gemuk
(Daryanto, 2010). Bahan ini dipergunakan untuk percobaan menghidupkan mesin
maupun sebagai bahan pencuci. Penyimpanan bahan bakar haruslah di tempat
yang tertutup, dan jauh dari nyala api maupun cahaya yang keras. Bahan bakar
mempunyai sifat yang mudah sekali menguap. Uap bensin mempunyai berat jenis
yang lebih ringan dari udara (Mahardika, 2012). Karena itu, bahan bakar yang
menyebar di lantai harus segera dibersihkan. Bila dibiarkan, uap bensin dengan
udara sangat mudah menyambar percikan api dan menimbulkan kebakaran dan
ledakan.
Bila ada bahan bakar yang tumpah di lantai, janganlah mengerjakan
penyambungan kabel, ataupun alat yang berarus listrik, karena pekerjaan
demikian dapat menimbulkan bunga api. Namun, jika terjadi kebakaran terhadap
bahan bakar jangan sekali-kali menyiramnya dengan air, karena bahan bakar
tersebut akan mengapung di atas air dan kebakaran akan menyebar.
Pergunakanlah gas racun api (extinguisher) atau pasir dan karung goni yang basah
untuk memadamkan api (Daryanto, 2010; Marji, 2012). Gemuk dipergunakan
untuk melindungi komponen yang selesai dibersihkan atau untuk membantu
pemasangan komponen. Pemakaian yang berlebihan akan menyebabkan benda
kerja malah jadi kotor atau hinggap pada bagian-bagian lain atau di lantai. Bila
24
terjadi demikian, harus segera dibersihkan. Tidak perlu ditunggu dan dicari siapa
yang ceroboh melakukannya.
2.5.4 Karbonmonoksida
Gas sisa pembakaran yang keluar dari knalpot (silencer) mengandung
karbonmonoksida (CO). Pembakaran yang sempurna menyisakan gas
karbonmonoksida yang tidak berwarna, namun tetap berbahaya (Harrianto, 2010).
Bila pembakaran tidak sempurna, maka asap hitam akan mengepul. Bila ini terjadi
maka dianjurkan untuk mematikan mesin segera, karena mesti ada sesuatu yang
tidak benar terutama dalam penyetelan pembakaran (Daryanto, 2010). Gas buang
melalui knalpot dapat dijadikan indikasi kondisi mesin sebagai ukuran apakah
pembakaran sempurna atau kurang sempurna (Suma’mur, 1980).
Gas ini adalah racun, masuk ke dalam paru-paru melalui pernafasan yang
dapat mematikan manusia. Karena itu jika ada motor yang dihidupkan maka
pintu-pintu harus dibuka semua. Sebuah bengkel otomotif harus mempunyai
ventilasi yang baik (Marji, 2012). Tempatkanlah mesin-mesin percobaan pada
ruang terbuka dengan sirkulasi udara yang cukup. Dianjurkan untuk tidak
menghidupkan mesin percobaan terlalu lama. Bila harus melakukan pemanasan
mesin, lakukanlah di luar ruangan (Daryanto, 2010).
2.5.5 Peralatan Mesin Tangan (Portable Machines)
Bagian-bagian mesin yang berputar seperti ban, roda, puli, batang poros, roda
gigi dan rantai yang ada di bengkel otomotif haruslah mempunyai pelindung
(Mutaqin, 2103). Alat-alat pelindung yang sudah rusak dan alat pengaman lainnya
25
yang sudah tidak berfungsi lagi, harus segera dilaporkan pada pengawas untuk
diganti (Harrianto, 2010). Mesin kompresor bekerja dengan ban pemindah
putaran. Ban tidak boleh dibiarkan dalam keadaan terbuka. Tutup pelindung ban
harus selalu terpasang. Mesin lain yang paling sering digunakan adalah bor
tangan, mesin gerinda dan pemutar baut. Mata bor dan batu gerinda harus
terpasang dan dikunci secara kuat.
Mesin bor tangan (portable) merupakan peralatan yang perlu diperhatikan
pemakaiannya. Kerusakan yang sering terjadi adalah mata bor sering tumpul atau
patah (Marji, 2012). Mata bor yang tersedia di pasaran mulai dari yang kualitas
rendah sampai kualitas tinggi. Tentunya disarankan agar menggunakan alat dan
bahan yang berkualitas tinggi. Perhatian yang lain adalah posisi kerja yang
nyaman (ergonomic).
2.5.6 Hazard Fisik di Bengkel Motor
Hazard fisik di bengkel sepeda motor yang sering dijumpai antara lain
kebisingan, getaran dan suhu ruangan serta pencahayaan. Sumber kebisingan di
bengkel sepeda motor berasal dari suara mesin gerinda dan suara kompresor yang
dipakai saat proses perbaikan dan perawatan sepeda motor (Daryanto, 2010;
Marji, 2012).
Kebisingan dapat diartikan sebagai suara yang timbul dari getaran-getaran
yang tidak teratur dan periodik serta menciptakan suara yang tidak dikehendaki.
Pengaruh utama dari kebisingan terhadap kesehatan adalah kerusakan pada indera
indera pendengar, yang menyebabkan ketulian progresif (Harrianto, 2010;
Kurniawidjaja, 2012). Akibat kebisingan selama bekerja di bengkel akan
26
membuat pembicara terpaksa berteriak-teriak yang memerlukan tenaga ekstra,
kesulitan berkonsentrasi dalam bekerja yang pada akhirnya berpotensi
menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Subaris dan Haryono, 2008).
Getaran merupakan hazard fisik yang juga sering dijumpai dan dihadapi oleh
para pekerja bengkel sepeda motor. Penggunaan alat pelepas baut yang terhubung
dengan kompresor serta penggunaan mesin gerinda merupakan salah satu contoh
alat yang menghasilkan getaran langsung pada tangan. Penggunaan alat pelindung
diri berupa sarung tangan pelindung akan mengurangi impact getaran yang
dihasilkan mesin ke tangan (Kurniawidjaja, 2012). Namun, sering kali dijumpai
para mekanik tersebut tidak memakai alat pelindung diri tersebut saat bekerja.
Nilai Ambang Batas (NAB) getaran alat kerja yang kontak langsung maupun tidak
langsung pada lengan dan tangan tenaga kerja sebesar 4 m/s2 untuk waktu paparan
selama 4 jam atau kurang dari 8 jam kerja (Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI, 2011).
Suhu lingkungan kerja juga sangat berpengaruh terhadap kesehatan para
pekerja mekanik di bengkel sepeda motor. Makin tinggi panas lingkungan,
semakin besar pula pengaruhnya terhadap suhu tubuh. Sebaliknya semakin rendah
suhu lingkungan, makin banyak pula panas tubuh yang akan hilang (Daryanto,
2010; Kurniawidjaja, 2012). Dengan kata lain terjadi suatu pertukaran panas
antara tubuh manusia yang didapat melalui proses metabolisme dengan tekanan
panas yang dirasakan sebagai kondisi panas lingkungan. Selama pertukaran ini
seimbang, tidak akan menimbulkan gangguan, baik penampilan kerja maupun
kesehatan kerja. Tekanan panas yang berlebihan akan merupakan beban tambahan
27
yang harus diperhitungkan. Beban tambahan berupa panas lingkungan dapat
menyebabkan beban fisiologis misalnya kerja jantung bertambah. Nilai ambang
batas untuk cuaca (iklim) kerja adalah 21-30 ˚C suhu basah. Sedangkan untuk
pekerja tropis suhu efektifnya adalah 22-27˚C (Subaris dan Haryono, 2008). Yang
dimaksud dengan temperatur efektif adalah suatu beban panas yang dapat diterima
oleh tubuh dalam ruangan. Temperatur efektif akan memberikan efek yang
nyaman bagi orang yang berada di luar ruangan.
2.5.7 Pengangkat Sepeda Motor ( Bike Lift)
Bengkel sepeda motor yang standar dilengkapi dengan peralatan khusus
pengangkatan sepeda motor. Gunanya adalah untuk kenyamanan dan kesehatan
para pekerja. Hampir semua pekerjaan pada sepeda motor berada pada posisi
rendah, kecuali pekerjaan pada bagian stang yang terdiri dari lampu, speedometer,
lampu-lampu dan kunci kontak (ignition key). Dengan menggunakan alat angkat
bike lift pekerja tidak perlu jongkok dalam bekerja. Pekerjaan yang membutuhkan
waktu yang lama, seperti pembongkaran mesin atau transmisi, pekerja akan cepat
lelah dan mengalami kesulitan menjangkau obyek kerja. Oleh karena itu, sepeda
motor ditempatkan di atas bike lift dan dikunci agar tidak jatuh. Kemudian bike lift
dinaikkan sehingga ketinggian obyek kerja sesuai dengan kebutuhan pekerja.
2.5.8 Petunjuk Khusus Pelayanan Bagi Pekerja Mekanik
Pekerjaan pelayanan (service) sepeda motor bervariasi mulai dari yang sangat
sederhana sampai kepada yang rumit. Namun pelayanan sepeda motor yang rumit
sekalipun tidak akan melebihi enam langkah (BPPT, 2008; Daryanto, 2010)
28
yakni: mengukur (measuring), membongkar (disassembling), perbaikan
(machining), memasang kembali yang baru atau hasil perbaikan (reassembling),
dan penyetelan. Enam langkah ini dapat diuraikan seperti di bawah ini.
a. Pengukuran (measuring) biasanya dilakukan dengan alat ukur seperti
feeler gauge, caliper, micrometer, depth and small hole gauges dan dial
indicators. Namun dalam praktek, mata, telinga dan penciuman
merupakan indera manusia yang digunakan untuk mengukur. Bila asap gas
buang terlihat hitam tebal bisa disimpulkan bahwa pembakaran tidak
sempurna. Gas buang yang mengeluarkan bau yang tajam dan tidak sedap
merupakan ukuran sensori bahwa sudah terjadi sesuatu misalnya dinding
silinder sudah aus, atau ring oli sudah aus. Baterai yang sudah lemah
diketahui dari ampermeter, voltmeter atau battery liquid tester. Telinga
juga dapat digunakan untuk mendengarkan kebisingan atau suara yang
tidak normal. Pada sepeda motor, tekanan kompresi diukur dengan
compression tester. Hasil dari pengukuran akan menjadi petunjuk bagian
mana yang harus dikerjakan, dan ini merupakan langkah pertama bagi
teknisi untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.
b. Membongkar (disassembly) atau membuka bagian yang akan diperbaiki.
Ada kalanya bagian yang dicurigai memerlukan perbaikan tidak dapat
langsung dibuka, tetapi harus dibuka bagian lain untuk sampai pada bagian
yang akan diperbaiki. Misalnya,bila dicurigai bahwa katup tidak bekerja
dengan baik, maka yang lebih dahulu dibuka adalah kepala silinder.
Pekerjaan membuka harus dikerjakan hati-hati dan bagian yang dibuka
29
ditempat pada tempat tersendiri atau panci. Pada waktu membuka ingat
posisi dan tempatnya. Bila perlu diberi tanda untuk diingat pada waktu
pemasangan kembali.
c. Langkah perbaikan (machining) yaitu melakukan pembersihan, penyetelan
dan perbaikan. Bila tidak bisa diperbaiki atau akan lebih baik diganti baru,
maka pekerjaan selanjutnya adalah mempersiapkan pemasangan kembali.
d. Pemasangan kembali (reassembly) dikerjakan dengan urutan terbalik dari
membongkar. Posisi bagian yang dibongkar dikembalikan secara benar.
Bila pada pembongkaran ada seal atau perapat atau baut yang lecet pada
waktu dibuka maka pada pemasangan kembali bagian tersebut sebaiknya
diganti baru. Bila ada baut yang dikencangkan, jarak platina, kelonggaran
katup, dan jarak elektroda busi haruslah mengacu pada standar spesifikasi
kendaraan.
e. Pekerjaan kelima adalah memastikan bahwa semua sudah terpasang
dengan benar dan siap untuk distel dan diuji coba. Sebelum mesin
dihidupkan, maka semua bagian yang bergerak harus digerakkan atau
diputar dulu dengan tangan. Sesudah dirasakan semua bergerak dengan
lancar barulah mesin dihidupkan secara stasioner.
f. Langkah terakhir adalah uji coba jalan (running test). Teknisi harus
mampu menentukan apakah pekerjaan sudah dapat diselesaikan dengan
baik. Semua bagian haruslah disesuaikan dengan standar baku, sesuai
dengan spesifikasi yang dikeluarkan pabrik pembuat kendaraan.
30
2.6 Uji Fungsi Paru
Uji fungsi paru merupakan salah satu metode yang dapat dipakai untuk
menentukan kesehatan paru pekerja yang terpapar oleh polutan berupa debu
ataupun senyawa pencemar udara lainnya (Budiono, 2007). Salah satu metode
untuk dapat melakukan pemeriksaan fungsi paru adalah spirometri (Subaris dan
Haryono, 2008). Pemeriksaan spirometri ini adalah pemeriksaan klinis dari fungsi
ventilasi paru-paru dengan menggunakan alat spirometer yang mengukur arus
dalam satuan isi dan waktu (Guyton dan Hall, 2012). Metode uji ini sangat
menguntungkan karena merupakan uji paling sederhana dan paling murah serta
terbukti dapat diandalkan untuk tujuan epidemiologi (Budiono, 2007; Harrianto,
2010).
Hasil dari uji fungsi paru dengan menggunakan spirometer ini tidak dapat
digunakan dalam mendiagnosis suatu penyakit paru-paru (Guyton dan Hall,
2012). Uji fungsi paru hanya memberikan gambaran tentang gangguan fungsi paru
yang dibedakan menjadi :
a. Kelainan restriktif
Kelainan restriktif merupakan gangguan pada fungsi paru yang
menimbulkan kekakuan paru sehingga mengakibatkan fungsi
pengembangan paru-paru menjadi terbatas. Gangguan restriktif ini
mempengaruhi kemampuan inspirasi.
b. Kelainan obstruktif
Kelainan obstruktif adalah setiap keadaan yang menimbulkan
terjadinya hambatan aliran udara yang ditimbulkan oleh sumbatan
31
atau penyempitan pada saluran nafas. Adanya kelainan obstruktif ini
menyebabkan limitasi pada kemampuan ekspirasi.
Dalam memeriksa atau menentukan fungsi paru ada banyak parameter yang
dapat diuji, tetapi dalam penelitian ini akan ditentukan 2 (dua) parameter yaitu
kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity) dan volume ekspirasi paksa dalam 1
detik (Forced Expiration Volume in 1 second).
a. FVC (forced vital capacity)/kapasitas vital paksa
Kapasitas vital paksa merupakan pengukuran kapasitas vital paru yang
diperoleh pada ekspirasi yang dilakukan dengan cepat dan sekuat
mungkin. Udara dalam FVC memiliki volume yang kurang lebih sama
dengan kapasitas vital paru.
b. FEV1 (forced expiration volume in 1 second)
Volume ekspirasi paksa dalam 1 (satu) detik merupakan volume udara
yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama. Nilai
normalnya adalah 3,2 liter. Orang sehat dapat menghembuskan 75-
80% atau lebih FVC-nya dalam satu detik, sehingga rasio normal
FEV1/FVC = 75-80%.
Prosedur yang paling umum digunakan dalam pengukuran spirometri adalah
subyek menarik nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan
selengkap mungkin dan nilai kapasitas vital paksa dibandingkan terhadap nilai
normal dan nilai prediksi berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin
responden (Guyton dan Hall, 2012). Cara menggunakan spirometer dalam
pengujian fungsi paru dapat diuraikan sebagai berikut :
32
1. Siapkan alat spirometer, dan kalibrasi harus dilakukan sebelum
pemeriksaan.
2. Responden harus dalam keadaan sehat, tidak ada flu atau infeksi
saluran napas bagian atas dan hati-hati pada penderita asma karena
dapat memicu serangan asma.
3. Responden harus menghindari memakai pakaian yang ketat dan
makan makanan berat dalam waktu 2 jam.
4. Responden juga tidak harus merokok dalam waktu 1 jam dan
menkonsumsi alkohol dalam waktu 4 jam.
5. Masukkan data yang diperlukan, yaitu umur, jenis kelamin, tinggi
badan, berat badan, dan ras untuk megetahui nilai prediksi.
6. Beri pentunjuk dan demonstrasikan manuver pada Responden, yaitu
pernafasan melalui mulut, tanpa ada udara lewat hidung dan celah
bibir yang mengatup mouth piece.
7. Responden dalam posisi duduk atau berdiri, lakukan pernapasan biaa
tiga kali berturut-turut, dan langsung menghisap sekuat dan sebanyak
mungkin udara ke dalam paru-paru, dan kemudian dengan cepat dan
sekuat-kuatnya dihembuskan udara melalui mouth piece.
8. Manuver dilakukan 3 kali untuk mendapatkan hasil terbaik.
Hasil dari pemeriksaan spirometri dapat diinterpretasikan berdasarkan nilai
dari FEV1, FVC, dan nilai rasio FEV1/FVC. Adapun nilai interpretasi dari
spirometri dapat dijelaskan sebagai berikut :
33
a. Normal: FVC≥ 80%, FEV1/FVC≥75%
b. Gangguan obstruksi: FEV1< 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 70% nilai
prediksi
c. Gangguan restriksi: Kapasitas Vital < 80% nilai prediksi, FVC<80% .
d. Gangguan campuran: FVC < 80% nilai prediksi, FEV1/FVC< 75% nilai
prediksi.
McKay et al. dalam Budiono, 2007 lebih lanjut memberikan klasifikasi yang
lebih rinci terkait dengan nilai gangguan restriktif dan obstruktif dari fungsi paru
seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3Interpretasi Nilai Restriktif Pada Spirometri
% FEV1 / FVC % FVC Kesimpulan
> 75 %
> 80 Normal60-79 Resriktif ringan30-59 Restriktif sedang< 30 Restriktif berat
Sumber : McKay et al. dalam Budiono, 2007
Tabel 2.4Interpretasi Nilai Obstruktif Pada Spirometri
% FVC % FEV1/FVC Kesimpulan
> 75 %
> 75 Normal60-74 Obstruktif ringan30-59 Obstruktif sedang< 30 Obstruktif berat
Sumber : McKay et al dalam Budiono, 2007
Top Related