7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan satu dari sekian
banyak penyakit yang menjadi masalah utama kesehatan masyarakat dan endemis
hampir di seluruh kota/kabupaten di Indonesia dan penyebarannya semakin
meluas mencapai seluruh Provinsi di Indonesia. Penyakit DBD disebabkan oleh
virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes
albopictus. Namun, peran terbesar dalam menulurkan DBD adalah Aedes aegypti,
karena sering di temui berada di dalam dan sekitar rumah, sedangkan Aedes
albopictus sering jumpai di kebun, sehingga lebih jarang kontak dengan manusia
(DepKes RI, 2010; DepKes RI, 2011).
2.1.1. Perkembangan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Pada tahun 2015 Provinsi dengan IR (Incidence Rate) atau angka kesakitan
DBD tertinggi terjadi di Bali yaitu sebesar 257,75, Kalimantan Timur sebesar
188,46, dan Kalimantan Utara sebesar 112,00 per 100.000 penduduk. Menurut
pendataan Departemen Kesehatan pada tahun 2015 terdapat 5 provinsi yang
memiliki CFR (Case Fatality Rate) tinggi yaitu Provinsi Maluku (7,69%),
Gorontalo (6,06%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara (2,33%), dan Bengkulu
(1,99%). Data jumlah kematian akibat DBD yang tertinggi terjadi di Jawa Timur
sebanyak 283 kematian, diikuti oleh Jawa Tengah (255 kematian) dan Kalimantan
Timur (65 kematian) (DepKes RI, 2016).
2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue
Menurut Murdani et al (2017) cit Depertemen Kesehatan RI (2011)
terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit
DBD yaitu pertumbuhan jumlah penduduk, faktor urbanisasi yang tidak berencana
dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi sehingga
mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan penyediaan air
bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan nyamuk,
kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, melemahnya struktur
8
kesehatan masyarakat strain virus/serotipe virus yang menginfeksi, imunologi,
umur dan genetik juga berpengaruh terhadap penularan penyakit.
2.2. Krakteristik Nyamuk Aedes aegypti
2.2.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto (2006),
kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L.
2.2.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti ditandai dengan garis-garis putih keperakan di atas
dasar hitam terutama pada kakinya dan lira (lire-form) yang putih pada
punggungnya, yaitu ada dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan
(Gillot, 2005). Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput),
dada (thorax) dan perut (abdomen). Kepala nyamuk berbentuk bulat, dengan
probosis berbentuk ramping dan panjang.
Gambar 2.2 Perbedaan Nyamuk Jantan dan Betina
(Sumber : http://mrnyamuk.com )
Gambar 2.1 Nyamuk Aedes aegypti
(Sumber : http://mrcu.ky)
plumos
e
pilos
e
Jantan Betina
9
Nyamuk betina menggunakan probosisnya untuk menghisap darah,
sedangkan pada nyamuk jantan digunakan untuk menghisap nektar maupun sari
bunga, tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk betina dapat menghisap darah
pada mamalia karena mulut nyamuk betina dilengkapi dengan tipe menusuk dan
mengisap (rasping–sucking). Mulut nyamuk betina mempunyai enam stilet yang
terdiri dari mandibula dan maxilla yang digunakan untuk menemukan pembuluh
darah kapiler dengan mekanisme bergerak naik turun menusuk jaringan di bawah
permukaan kulit serta mengeluarkan cairan yang berfungsi sebagai zat
antikoagulan. Nyamuk memiliki sepasang antena berambut pada bagian kepala,
dimana nyamuk jantan memiliki rambut antena lebih berbulu dan lebat (plumose)
dibandingkan dengan antena nyamuk betina yang sedikit berbulu (pilose) (Sembel
DT, 2009).
2.2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Aedes aegypti mengalami metamorfosis lengkap/metamorfosis sempurna
(holometabola) yaitu siklus hidup berupa telur, larva (beberapa instar), pupa dan
nyamuk dewasa (James MT and Harwood RF, 1969).
Gambar 2 3. Daur Hidup Nyamuk Aedes aegypti
(Sumber : http://cbei.tk)
Telur nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk oval, mengapung
pada permukaan air jernih, atau menempel pada bagian dinding tempat
penampung air. Telur dapat bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering, dan jika
10
tempat tersebut tergenang air atau terjadi peningkatan kelembaban maka telur
akan menetas lebih cepat (DepKes RI, 2007; DepKes RI, 2011). Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Telur yang menetas
kemudian menjadi larva (jentik) dan akan mengalami 4 fase instar (DepKes RI,
2011).
Larva memiliki kepala yang cukup besar serta thorax dan abdomen yang
cukup jelas. Larva biasanya kerap berada di permukaan air untuk mendapatkan
oksigen dari udara serta menyaring mikroorganisme dan partikel - partikel lainnya
dalam air. Larva melakukan pergantian kulit sebanyak empat kali dan berubah
menjadi pupa sesudah tujuh hari. (Harwood RF and James MT, 1979). Pupa
nyamuk berbentuk seperti „koma‟ dan dua atau tiga hari setelahnya perkembangan
pupa sudah sempurna, maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa muda segera
keluar dan terbang (Sembel DT, 2009; DepKes RI, 2011).
Gambar 2 4. Larva Aedes aegypti
(Sumber : Dept. Entomology ICPMR 2002)
Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat
antropofilik). Agar telur nyamuk dapat menetas, maka selama proses pematangan
sel telur sangat dibutuhkan darah. Waktu perkembangan telur hingga telur
dikeluarkan, bervariasi antara 3 - 5 hari. Selama proeses pematangan telur,
nyamuk akan mencari tempat yang gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah,
serta berdekatan dengan habitat perkembangbiakannya. Satu nyamuk betina
mampu menghasilkan telur sebanyak ±100 butir dalam satu kali pematangan telur
(DepKes RI, 2011).
Nyamuk Aedes aegypti memiliki aktivitas menggigit, dengan 2 puncak
aktifitas mulai pagi antara pukul 09.00 -10.00 dan petang hari pukul 16.00 - 17.00,
11
serta kebiasaannya yang mengisap darah berulang-ulang kali untuk memenuhi
lambungnya sehingga nyamuk betina yang dalam proses pematangan telur sangat
efektif sebagai penular penyakit (vektor) (DepKes RI, 2011).
2.2.4. Pengendalian Vektor
Aedes aegypti merupakan nyamuk yang dapat berperan sebagai vektor
berbagai macam penyakit diantaranya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Beberapa spesies Aedes sp. berperan sebagai vektor tetapi Aedes aegypti tetap
merupakan vektor utama. Aedes aegypti dan Aedes albopictus selain
menyebabkan Demam Berdarah dapat membawa virus penyebab penyakit seperti
Chikungunya dan demam kuning (Gandahusada et al., 1998, dan Gubler 2009).
Perubahan iklim (climate change) global menyebabkan kenaikan rata-rata
temperatur, dan perubahan pola musim hujan serta kemarau, sehingga menjadi
penyebab resiko terhadap penularan DBD. Iklim yang tropis juga menyebabkan
suburnya perkembang biakan nyamuk, sehingga dibutuhkan penggendaliannya
(DepKes RI, 2011). Karbon dioksida (CO2) dan asam laktat dalam keringat pada
hewan berdarah panas bertindak sebagai zat yang menarik bagi nyamuk. Persepsi
bau muncul melalui reseptor kemo yang terdapat dalam antena nyamuk (Das et
al., 2003).
Pendekatan umum untuk pengendalian vektor nyamuk dan mengurangi
penularan patogen manusia didasarkan pada langkah-langkah intervensi berbasis
insektisida kimia yang telah berkembang di masyarakat. Hal ini dikarenakan anti
nyamuk kimia (sintetis) yang beredar di pasaran memiliki beberapa keunggulan
yaitu, lebih praktis karena penggunaannya dapat dilakukan dengan beberapa cara
dan dalam bentuk sediaan yang beragam (contohnya dibakar, disemprot, dioles
dan elektrik), lebih murah, serta dijual bebas di pasaran. Namun, penggunaan anti
nyamuk sintetis tanpa pemantauan dapat mengakibatkan terjadinya resisten
sehingga perlu dilakukan pengawasan penggunaan dan dampak agar tetap efektif
dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan (DepKes RI, 2008).
Keberhasilan dalam upaya pemberantasan vektor penular penyakit
ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain sarana, prasarana maupun sumber
daya manusia (DepKes RI, 2008). Pengusir nyamuk yang berasal dari ekstrak
tanaman, atau minyak atsiri tanaman dapat menjadi alternatif sebagai salah satu
12
metode dalam mencegah vektor nyamuk yang kompatibel dengan kehidupan
manusia dan lingkungan (Phukerd et al.,2013). Pengendalian vektor bertujuan
untuk menurunkan terjadinya kontak antara nyamuk dengan manusia sehingga
dapat menekan populasi vektor serendah-rendahnya (Erlina, 2015).
Tabel II. 1 Macam-macam metode pengendalian nyamuk (Kalita B. et al., 2013)
Metode Kimia Metode Non-Kimia Metode Biologi
Repelan sintetis:
DEET, Permethrin
Metode fisik :
pengobatan, tanpa
pengobatan, perangkap
nyamuk (kelambu)
Dengan menumbuhkan
beberapa spesies ikan
yang akan memakan jentik
nyamuk di air.
Penolak alami:
minyak neem, minyak serai,
lavender, jeruk nipis, dan
lain-lain.
Metode mekanik:
Penolak nyamuk elektrik,
raket nyamuk, lampu
penarik nyamuk
2.3. Repelan
Penggunaan repelan dan atau pakaian tertutup merupakan pecegahan dini
yang dapat dilakukan oleh setiap individu untuk memproteksi diri terhadap gigitan
nyamuk sehingga mengurangi kontak serta gigitan nyamuk meskipun hanya
sementara (Gul et al., 2013; WHO,2016). Repelan adalah bahan kimia untuk
menghindari gigitan dan gangguan serangga terhadap manusia. Cara memakai
repelan bisa dioleskan pada tubuh atau disemprotkan pada pakaian. Bahan yang
biasanya terdapat pada repelan yaitu DEET (N, N-Diethyl-m-Toluamide) yang
merupakan senyawa kimia tidak berbau, tapi menimbulkan rasa terbakar jika
mengenai mata, jaringan membranous, atau mengenai luka terbuka (Narsy, 2008;
Soedarto, 2011).
Aktivitas dan durasi repelan tergantung pada beberapa faktor, termasuk
jenis penolak (bahan aktif dan formulasi), cara aplikasinya, faktor lingkungan
(suhu, kelembaban, dan angin), daya tarik serangga terhadap mangsa, hilangannya
aktivitas repelan karena terhapus oleh keringat, sensitivitas serangga terhapdap
repelan, dan jumlah gigitan (Siriporn Phasomkusolsil et al., 2011).
Menurut Soedarto (1992) dan WHO (2008) memberikan definisi kriteria
13
repelan yang aman dan baik digunakan adalah sebagai berikut: untuk bahan aktif
yang memiliki aktivitas sebagai penolak nyamuk harus efektif dan dapat
digunakan pada berbagai jenis permukaan, dapat bekerja pada kondisi lingkungan
yang berbeda, ramah lingkungan bila diterapkan kulit manusia atau hewan,
diterima dalam formulasi kosmetika, tidak merusak pakaian, tidak menimbulkan
iritasi pada kulit, tidak menganggu pemakainya, tidak beracun, memiliki bau yang
menyenangkan bagi pemakainya dan orang sekitarnya, daya durasi pengusir yang
tahan lama, biaya yang relatif rendah dan efektif terhadap jenis umum serangga
lainnya, seperti lalat. Repelan secara garis besar dibagi menjadi dua kategori,
repelan alami dan repelan kimia.
2.3.1. Repelan Kimia
Repelan kimia yang umum digunakan yang tersedia adalah dalam bentuk
sediaan semprot, bakar, electric dan losion. Penggunaan dengan cara dibakar dan
disemprotkan memiliki efek yang berbahaya untuk kesehatan karena dapat
terhirup dan masuk dalam saluran pernafasan menuju paru-paru dan dapat masuk
kedalam aliran peredaran darah (Widiawati, 2014).
Anti nyamuk komersial mengandung zat sintetik (kimia) seperti DEET,
DEPA (N, N-dietil phenylacetamide), permethrin, dan komponen aktif
deltametrin, yang dapat diserap tubuh manusia dan menyebabkan ganguan
kesehatan bila digunakan dalam jumlah yang besar atau pengunaan dalam jangka
waktu yang lama (Choochote et al., 2007; Pappayee & Saraswathy, 2015).
Losion repelan merupakan salah satu alternatif insektisida yang tidak
terlalu mengganggu sistem pernafasan dikarenakan aplikasinya langsung pada
kulit manusia. Losion digunakan untuk menghindari gigitan serangga. Pada
umumnya losion yang dijual di pasaran mengandung bahan aktif kimiawi yaitu
DEET, di Indonesia penggunaannya hanya diperbolehkan dalam konsentrasi 15%
(Fajarin & Murrukmihadi, 2015). DEET merupakan amida aromatik yang efektif
untuk digunakan pada produk repelan. Senyawa DEET yang dioleskan pada kulit
terkadang menimbulkan reaksi alergi lokal, iritatif terhadap kulit, berbahaya bila
terkena kulit yang luka dan selaput lendir tubuh, urtikaria serta dermatitis kontak
(Ngurah, 2005). DEET yang diabsorbsi kulit hingga menembus ke sirkulasi darah
dapat mempengaruhi sistem saraf (Bell et al., 2002; Sangeetha, 2015).
14
Pemanfaatan repelan kimia dapat menyebabkan resistensi pada nyamuk
yang terpapar bila digunakan terus menerus. Dengan berbagai masalah yang
muncul akibat penggunaan insektisida sintesis, perlu dicari sediaan anti nyamuk
yang berasal dari bahan alam untuk menggantikan DEET. Oleh karena itu, ada
kebutuhan mendesak untuk mengembangkan formulasi penolak nyamuk baru
menggunakan bahan alami sebagai alternatif bahan sintetik sehingga dapat
mengendalikan nyamuk serta memberikan solusi terkait dampak negatif pada
kesehatan manusia dan lingkungan (Koul et al., 2008; Dhiman et al., 2012; Gul et
al., 2013; Zakaria et al., 2015). Dengan kriteria lebih ramah lingkungan dan
berkelanjutan untuk pengendalian nyamuk, aman, biodegradable, efek non-toksik
pada manusia dan hewan, serta spesifik terhadap vektor (Benner JP,1993; Kumar
et al, 2011; Rabha et al, 2012; Malebo et al., 2013, R V Geetha et al., 2014).
2.3.2. Mekanisme Kerja Repelan
Secara umum, penolak nyamuk akan memanipulasi bau dan rasa dari kulit
dengan melawan reseptor asam laktat pada antena nyamuk, sehingga mencegah
nyamuk untuk mendekati kulit, umumnya dilakukan penambahan beberapa bau
aromatik dominan pada repelan seperti kulit jeruk atau lavender. Prinsip ini juga
diterapkan untuk obat nyamuk dari minyak tembakau, di mana selain memiliki
potensi sebagai pestisida, bio oil tembakau juga memiliki bau yang dominan
sehingga dapat memanipulasi nyamuk dengan menutupi bau CO2 yang dihasilkan
oleh kulit manusia (Qui et al., 1998; Mahdi Jufri et al., 2016).
Nyamuk dapat menemukan inang (host) melalui 3 cara yaitu visual
(antena), termal (labellum), dan rangsangan penciuman yang berperan paling
utama. Indra penciuman nyamuk terdiri dari antena dan palps rahang atas
(maxillary palps) dimana terdapat suatu struktur yang disebut basiconic sensilla
yang terletak pada permukaan segmen keempat (IV) maxillary palps. Dalam
maxillary palps IV terdapat sensor kimia Olfactory Receptor Neuron (ORN) yang
terdiri dari ORN A, ORN B, dan ORN C sehingga dapat merespon CO2, 1-Octen-
3-ol, dan mendeteksi zat-zat kimia yang berasal dari kulit, tanaman/nektar, serta
tempat bertelur (oviposisi). 1-octen-3-ol merupakan seyawa yang terdapat pada
keringat dan nafas manusia, sehingga dapat dideteksi oleh nyamuk dalam jarak
2,5 meter (Syed Z and Leal WS, 2008; Debboun et al., 2015).
15
Gambar 2.5. Penginderaan kimia pada nyamuk betina Aedes aegypti
(Sumber : Debboun et al., 2015)
Pada bagian ujung proboscis nyamuk terdapat labellum yang memiliki
sesilia berupa sensor kimia Gustatory Receptor Neuron (GRN) yang bertangung
jawab sebagai indra perasa nyamuk sehingga mampu mendeteksi rasa pahit dari
repelan kimia seperti DEET, IR3535, dan Picaridin, serta minyak atsiri yang
memiliki potensial sebagai repelan alami. Rasa pahit yang ditimbulkan akan
menghalangi nyamuk untuk menghisap darah. DEET juga dapat mempengaruhi
daya penciuman serangga dengan mekanisme “olfactory masking agent” yang
menghalangi respon ORN terhadap atraktan seperti asam laktat dan
karbondioksida yang diproduksi host sehingga pendeteksian host (manusia atau
hewan, mamalia pada umumnya) dan peletakan telur juga terganggu (Debboun et
al., 2015).
16
2.3.3. Repelan Alami
Minyak atsiri dari ekstrak tanaman merupakan bahan pokok repelan alami.
Minyak atsiri tanaman telah menerima banyak perhatian sebagai senyawa bioaktif
yang berpotensi melawan serangga dengan menunjukkan spektrum aktivitas yang
luas, toksisitas rendah pada mamalia dan cepat terurai di lingkungan
(Govindarajan, 2011; R V Geetha et al., 2014).
Beberapa penelitian telah melakukan studi terhadap minyak atsiri yang
berbeda dan melaporkan aktivitas formulasi repelan (Dhiman et al., 2012;
Hazarika et al., 2012; Das et al., 2015). Minyak atsiri tanaman yang telah
dilaporkan memiliki aktivitas repelan terhadap nyamuk dewasa, seperti minyak
atsiri dari Citrus aurantifolia, Citrus sinensis, Cinnamomum xeylanicum,
Cymbopogon nardus, Curcuma aromatik, Eucalyptus citriodora, Mentha piperita,
Ocimum basilicum, Syzygium aromaticum, Zingiber officinalis dan Lavandula
angustifolia (Pohlit AM et al., 2011).
2.3.4. Mekanisme Minyak Atsiri sebagai Repelan
Secara singkat mekanisme repelan alami minyak atsiri yaitu kandungan
senyawa kimia tertentu yang berada di dalamnya menimbulkan bau khas yang
akan meresap ke dalam celah atau pori-pori kulit akan menguap keudara karena
suhu panas yang ditimbulkan oleh tubuh serta lingkungan. Minyak atsiri bertindak
pada fasa uap dan umumnya efektif ketika baru saja diterapkan karena biasanya
efeknya akan menghilang dengan cepat dalam waktu singkat karena volatilitasnya
tinggi. Aroma khas yang ditimbulkan minyak atsiri ini akan terdeteksi oleh
reseptor kimia pada antena nyamuk yang kemudian diteruskan ke impuls saraf,
agar dapat direspon oleh otak sehingga nyamuk akan segera mengekspresikan diri
untuk menghindar (Shinta, 2012).
Pengusir nyamuk yang berasal dari minyak atsiri tanaman dapat digunakan
sebagai alternatif dalam mencegah vektor nyamuk karena kompatibel dengan
kehidupan manusia dan lingkungan dengan efeknya yang berlangsung dari
beberapa menit hingga beberapa jam (R V Geetha et al., 2014). Penggunaan
minyak atsiri sebagai repelan langsung kurang efektif karena sifatnya yang mudah
menguap (volatile), sehingga harus sering aplikasi berulang kali untuk
17
mempertahankan potensinya dan hanya dapat memberikan perlindungan dalam
jangka waktu yang pendek (Mahdi Jufri et al., 2016). Agar dapat mempertahankan
potensinya, sehingga dibuat dalam bentuk sediaan yang tepat agar praktis, efektif,
aman, dan dapat memberikan efek yang bertahan lama (Widawati, 2014). Hal ini
dapat dilakukan dengan cara pengembangan formulasi yang akan menjaga bahan
aktif yang digunakan pada permukaan kulit dapat bertahan dalam jangka waktu
yang lama atau dengan penambahan bahan fiksatif, seperti vanili, asam salisilat,
mustard, dan minyak kelapa yang dapat mengikat minyak atsiri agar tidak cepat
menguap (Siriporn Phasomkusolsil et al., 2011). Helmiyetti, Manaf, dan Juliana
(2009) menyimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang digunakan daya
repelan akan semakin besar, karena jumlah molekul minyak atsiri yang menguap
akan lebih banyak, sehingga Jumlah molekul minyak atsiri yang terdeteksi antena
nyamuk lebih besar.
2.4. Minyak Atsiri Lavender
Minyak lavender berasal dari destilasi uap bunga Lavandula angustifolia
yang merupakan tumbuhan berbunga yang termasuk kedalam suku Lamiaceae.
Bunga lavender memiliki 25-30 spesies, beberapa diantaranya adalah Lavandula
angustifolia, lavandula lattifolia, lavandula stoechas (Barocelli, 2004). Asal
tumbuhan lavender adalah dari wilayah Mediterania, Afrika Utara, dan India
bagian Barat, namun tumbuhan ini banyak dibudidayakan di luar daerah asalnya
karena produksi minyak atsrinya (Swanepoel, K M & Alberts, W G, 2009).
Lavender memiliki bau yang khas dan lembut sehingga membuat seseorang
menjadi rileks ketika menghirup aromanya (Hutasoit 2002).
Morfologi lavender merupakan tumbuhan menahun, jenis rumput-
rumputan, semak pendek dan semak kecil dengan tinggi 0,3 sampai 1,2 m. Dalam
keadaan alami tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada ketinggian 1700 m diatas
permukaan laut (Swanepoel, K M & Alberts, W G, 2009; Kurniawan, 2016).
Lavender memiliki bunga yang berukuran kecil, berwarna unggu kebiruan, bunga
ini tersusun dari beberapa jumlah kuntum berkisar 6-10 kuntum yang berbentuk
spiral. Bunga tumbuh dibagian ujung cabang, bunganya juga memiliki bulu halus
berjumlah banyak dan berwarna ungu keputihan hingga ungu kebiruan. Bunga ini
dapat di perbanyak secara generatif (menggunakan biji) (Kurniawan, 2016).
18
Daun bunga lavender berbentuk bulat oval, memanjang, pertulangan
sejajar, pangakal daun meruncing, memiliki permukaan halus dan lembut
berwarna hijau muda hingga tua. Selain itu, bagian bawah daun bunga lavender
ini memiliki pertulangan daun yang menonjol berwarna keputihan (Kurniawan,
2016). Batang berkayu, berbentuk bulat memanjang dengan diameter 3-4 mm
bahkan lebih, panjang batang mencapai 60 – 80 cm dan tumbuh dengan tegak.
Batang tanaman ini juga memiliki percabangan banyak yang berguna untuk
pertumbuhan daun. Akar tanaman tunggang, berserabut, dengan panjang
mencapai 1-2 m bahkan lebih, berwarna putih kotor hingga kecoklatan.
(Kurniawan, 2016).
2.4.1. Kandungan Kimia
Komposisi kimia minyak atsiri dari lavender dan Lavandin, umunya
diproduksi dengan cara distilasi uap dari bagian bunga hingga batang, dimana
terdapat senyawa terpen didalamnya (misalnya linalool dan linalyl asetat) dan
terpenoid (misalnya 1,8-cineole), yang terutama bertanggung jawab untuk
memberikan aroma khas dan bahan penolak serangga selain itu α-terpineol,
geranyl acetate, dan terpinen-4-ol juga memiliki aktivitas sebagai repelan (Pohlit
AM et al., 2011; Meessen et al., 2015).
Analisis Changmann et al., (2011) menggunakan GC-MS pada minyak
atsiri lavender mendeteksi komposisi kimia yaitu linalool (42,2%), linalyl asetat
(49,4%), terpinen-4-ol (5,0%), dan caryophyllene oxide (3,4%). Analisis GC-MS
Gambar 2 6. Morfologi lengkap tumbuhan lavender (Sumber : Köhler's Medicinal Plants by Franz Eugen Köhler, 1883 - 1914)
19
lainnya menunjukkan bahwa minyak atsiri lavender mengandung 26 konstituen, di
antaranya camphene (0,06%), alpha-pinene (0,22%), p-cymene (0,3%), cineol
(0,51%), limonene (1,06%), borneol (1,21%), geranyl acetate (2,14%), terpinen-
4-ol (4,64%), beta-myrcene (5,33%), linalool (26,12%), linalyl acetate (26,32%),
dan caryophyllene (7,55%) (Mc Lain DE., 2009). Berdasarkan uraian di atas,
dapat disimpulkan bahwa kandungan zat kimia yang utama dari bunga lavender
adalah linalyl asetat dan linalool.
Gambar 2.7 Struktur kimia dari linalool
(Sumber : http://www.chm.bris.ac.uk)
2.4.2. Manfaat Minyak Atsiri Lavender
Beberapa penelitian menunjukkan minyak atsiri herbal memiliki khasiat
obat yang lebih baik dari pada ekstrak herbalnya. Oleh karena itu, minyak atsiri
dapat juga digunakan sebagai substitusi yang lebih baik dan lebih aman dibanding
zat penolak kimia seperti DEET (Barat, 2012; Shooshtari et al., 2013). Secara
tradisional, minyak atsiri lavender dan lavandin digunakan dalam produk
manufaktur sebagai produk aromaterapi, perawatan pribadi (sabun, sampo,
parfum, kosmetik, dan shower gel), pengolahan makanan, dan pemeliharaan
rumah (deterjen dan pelembut kain). Sejumlah studi telah melaporkan bahwa
minyak atsiri lavender memiliki manfaat dalam berbagai aplikasi medis, yaitu
sebagai aktivitas antibakteri, antijamur, insomnia, antidepressive dan efektif untuk
luka bakar, gigitan serangga, alopecia (rambut rontok), kecemasan, stres dan rasa
sakit pasca operasi (Cavanagh, 2002; Bakkali et al. 2008; Meessen et al., 2015).
Studi yang dilakukan pada Aedes aegypti menunjukkan bahwa minyak
atsiri dari bunga lavender memberikan perlindungan mulai 120 hingga 180 menit
(Amer, 2006). Martha, et al, (2010) menyimpulkan bahwa tanaman lavender ini
cukup ampuh untuk mengusir nyamuk dalam waktu 5 menit, dan melemahkan
20
nyamuk dalam waktu 23 menit. Pada penelitian lainnya yang dilakukan oleh Vijay
Veer dan D. Sukumaran (2014) mendapatkan hasil uji toksisitas 23 minyak atsiri
yang diperoleh dari sumber tanaman yang berbeda yang digunakan untuk efek
reppelen terhadap Aedes Aegypti. Pada metode Cage Bioassay untuk melihat
seberapa lama nyamuk hinggap, dengan konsentrat 0,1%, 1%, dan 5% minyak
atsiri dari tanaman lavender menunjukkan efektif hingga 30 menit.
2.5. Minyak Atsiri Jeruk Nipis
Jeruk nipis atau Citrus aurantifolia termasuk kedalam suku Rutaceae.
Minyak atsiri jeruk nipis diperoleh dari bagian kulit buah yang dikupas dan
didestilasi uap. Morfologi jeruk nipis merupakan habitus berupa perdu dengan
tinggi ± 3,5 m. Batang berkayu, berbentuk bundar, berduri, dan berwarna putih
kehijauan. Daun majemuk, berbentuk membundar telur atau melonjong
membundar telur, pangkal membundar atau menumpul dengan ujung tumpul dan
tepi beringgit. Panjang daun 2,5-9 cm, lebar 1,5-5,5 cm. Pertulangan daun
menyirip, dengan panjang tangkai 5-25 mm, bersayap, dan berwarna hijau. Bunga
majemuk atau tunggal, terletak di ketiak daun atau di ujung batang. Diameter
bunga 1,5-2,5 cm. Kelopak bunga
berbentuk mangkok, berbagi empat
sampai lima dengan diameter 0,4-
0,7 cm dan berwarna putih
kekuningan. Benang sari 0,5-0,9
cm, tangkai sari 0,35-0,40 cm,
berwarna kuning (BPOM RI, 2008).
Bakal buah berbentuk bulat
dan berwarna hijau kekuningan.
Tangkai putik berbentuk silindris,
putih kekuningan. Kepala putik
berbentuk bulat, tebal dan berwarna
kuning. Daun mahkota berjumlah
empat sampai lima, berbentuk
membundar telur atau melonjong,
Gambar 2 8. Morfologi jeruk nipis
(Sumber : Köhler's Medicinal Plants by
Franz Eugen Köhler, 1883 - 1914)
21
panjang 0,7-1,25 cm, lebar 0,25-0,5 cm dan berwarna putih (BPOM RI, 2008).
Buah buni, berdiameter 3,5-5 cm, saat masih muda berwarna hijau dan
setelah tua berwarna kuning. Biji berbentuk bulat telur, pipih, putih kehijauan.
Akar tunggang, berbentuk bulat dan berwarna putih kekuningan (BPOM RI,
2008).
2.5.1. Kandungan Kimia
Eugenol, linalool, dan geraniol dikenal sebagai zat penolak serangga
sehingga zat tersebut juga berfungsi sebagai pengusir nyamuk. Kulit buah jeruk
nipis efektif sebagai penolak nyamuk karena mengandung salah satu dari zat
penolak nyamuk (Kardinan, 2003).
Destilasi air dari jeruk nipis yang dianalisis menggunakan GC-MS
menunjukkan komposisi kimia dari minyak atsiri jeruk nipis yaitu d-
dihydrocarvone, d-limonene, α-terpineol. d-limonene (30,13%) dan d-
dihydrocarvone (30,47%) ditemukan menjadi senyawa utama dalam minyak atsiri
jeruk nipis (Patil JR et al., 2009). Karoui dan Marzouk (2013) juga melaporkan
90,25% komposisi dalam ekstrak minyak atsiri kulit C. aurantifolia adalah d-
limonene dan α-terpineol yang merupakan prinsip aktif utama dalam minyak atsiri
kulit buah jeruk yang bertanggung jawab atas aktivitas anti-serangga (Tripathi et
al, 2003;. Karr et al, 1988; Pohlit AM et al., 2011).
Gambar 2.9 Struktur kimia d-limonene
(Sumber : https://cfpub.epa.gov)
2.5.2. Manfaat Minyak Atsiri Jeruk Nipis
Minyak atsiri jeruk nipis memiliki berbagai kegunaan, terutama untuk
bumbu aroma dalam banyak produk makanan (Steuer et al., 2001). Dalam industri
farmasi, minyak atsiri jeruk digunakan sebagai agen penyedap untuk menutupi
rasa tidak menyenangkan obat, selain itu digunakan juga dalam parfum dan
kosmetik (Steuer et al., 2001). Penelitian Soonwera (2015) menunjukkan bahwa
22
semua minyak atsiri dari tanaman Rutaceae memberi perlindungan berarti
terhadap gigitan nyamuk Aedes aegypti. Delapan minyak atsiri yang berasal dari
tanaman jeruk (Citrus aurantifolia, Citrus aurantium, Citrus hystrix, Citrus
maxima, Citrus medica, Citrus retikulat, Citrus sinensis, dan Citrofortunella
microcarpa) dievaluasi untuk aktivitas repelan terhadap nyamuk dewasa betina
Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus, dan membandingkannya dengan losion
repelan komersial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri Citrus
aurantifolia memiliki aktivitas sebagai repelan tertinggi dibandingkan dengan
tanaman jeruk lainnya dan efektif terhadap Aedes aegypti dengan perlindungan
sebesar 98,5% dan Cx. quinquefasciatus dengan perlindungan sebesar 98,3%
(Soonwera, 2015).
Pada penelitian Magdarita et al (2016) menggunakan minyak atsiri kulit
buah jeruk nipis dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%, 6,25% dan 3,12% yang
disemprotkan pada tiap lengan bawah probandus lalu dimasukkan dalam kandang
nyamuk yang berisi 20 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa dan dihitung jumlah
nyamuk yang hinggap selama 30 detik. Daya proteksi pada konsentrasi terendah
yang tercatat adalah 39,16%, sehingga perlu dilakukakan pengembangan efek
repelan dari minyak atsiri jeruk nipis yang dikominasikan dengan minyak atsiri
lavender agar dapat memberikan efek daya tolak nyamuk yang tinggi.
Nyamuk tidak tertarik pada aroma yang ditimbulkan ekstrak kulit jeruk
dikarenakan bahan aktif yang terdapat dalam ekstrak fitokimia dari kulit jeruk
telah memberikan beberapa efek penghambatan pada sel-sel reseptor asam laktat
oleh masking atau mengubah asam laktat yang biasanya menarik mereka sehingga
membingungkan atau mengganggu nyamuk (Ansari dan Razdam, 1995). Bahan
aktif dalam ekstrak volatil fitokimia jeruk ketika dipakai menguap pada saat
aplikasi di kulit dan dilepaskan dengan CO2, sehingga mengubah tanda CO2 dari
manusia dengan aroma tanaman. Dengan ini nyamuk sekarang memandang CO2
sebagai tanaman dan bukan dari manusia. Dengan demikian, kontak atau respon
nyamuk untuk mengigit dapat dicegah (Jacobson, 1990; Foster dan Duke, 1990).
2.6. Losion
Xue, Barnard, dan Ali (2003) dalam Kardinan (2007) menyatakan bahwa
cara menghindari nyamuk yang paling baik adalah dengan pemakaian pengusir
23
nyamuk berbentuk losion, krim, atau pakaian tertutup yang dapat melindungi
tubuh dari gigitan nyamuk. Losion merupakan salah satu bentuk sediaan emulsi
yang termasuk dalam kosmetik pelembab yang secara umum dipakai untuk
melembabkan, melembutkan dan menghaluskan kulit karena adanya kandungan
emolien, humektan dan zat pembawa (Afifah dan Mirwan, 2008).
Losion digiolongkan ke dalam dua bentuk sediaan, yaitu sediaan cair dan
sediaan setengah padat baik berupa suspensi atau dispersi. Losion yang paling
banyak dijumpai biasanya terdapat dalam tipe emulsi minyak dalam air, fase
pendispersi atau bagian eksternal adalah air dan fase terdispersi atau bagian
internal adalah minyak. Penggunaan losion dimaksudkan untuk melembapkan
kulit dengan segera, mengurangi dan mencegah kulit menjadi kering (Balsam et
al. 1970). Pada penyimpanannya, losion dapat memungkinkan terjadinya
pemisahan. Agar meningkatkan akseptabilitas dalam formulasi pembuaatan
sediaan losion dapat diberi bahan tambahan berupa zat pengawet, coloris, dan
odoris yang cocok (DepKes RI, 1993). Perbedaan antara losion dan krim secara
karakteristik fisik yaitu terdpat pada viskositasnya, dimana krim memiliki
viskositas lebih tinggi sehingga sukar dituang, sedangkan pada losion memiliki
viskositas yang relatif lebih rendah dari krim sehingga dapat dengan mudah
dituang (Barel, 2002).
Berdasarkan sifat bahan-bahannya losion merupakan sediaan yang
digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit sebagai pelindung atau untuk
terapi. Konsistensinya yang cair menyebabkan cepat merata permukaan pada kulit
yang luas, segera kering setelah pemakaian dan meninggalkan lapisan tipis pada
permukaan kulit (Jellink, 1970).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuaatan sediaan losion adalah
viskositas losion yang akan dihasilkan, sehingga losion memiliki konsistensi yang
tepat, tidak terlalu kental atapun terlalu cair sehingga mudah di tuang dan
digunakan (Jellink, 1970). Agar terbentuk sediaan losion yang memenuhi kriteria,
mudah dituang dan cepat merata dikulit, mudah dicuci, tidak berbau tengik, dan
stabil dalam penyimpanan, maka perlu diperhitungkan konsentrasi bahan-bahan
penyusunnya yang sesuai. Komposisi losion pada dasarnya terdiri dari 5-10%
humektan, 10-15% fase minyak, dan 75-85% fase air (Balsam et al. 1970).
24
Losion adalah sediaan yang tidak meninggalkan noda pada penggunanya.
Selain itu, losion berbentuk cair, sehingga memfasilitasi bahan aktif dalam losion
yang akan merata diserap melalui kulit memberikan perlindungan bagi
penggunanya. Penambahan agen fiksatif dalam substansi repelan meningkatkan
potensi losion repelan memiliki khasiat yang sama pada losion yang mengandung
DEET (Widawati & Riandi, 2015).
2.6.1. Losion Bentuk Emulsi
Emulsi merupakan campuran yang terdiri dari dua fase cairan dalam sistem
terdispesri, dimana fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan homogen ke
dalam fase cairan yang lain, yang distabilkan dengan zat pengemulsi atau disebut
emulgator. Fase cairan yang terdispersi disebut fase dalam atau internal dan fase
cairan pembawa disebut pendispersi atau fase luar atau external. Jika fase cairan
external adalah air atau larutan air dan fase cairan internlanya berupa minyak atau
larutan zat dalam minyak maka tipe emulsi adalah minyak dalam air (M/A),
begitu pula sebaliknya untuk tipe emulsi air dalam minyak (A/M), fase
terdispersinya adalah air atau larutan air dan fase pendispersinya berupa minyak
atau larutan zat dalam minyak (Ansel, 1989).
Sediaan losion repelan yang diformulasikan dalam bentuk tipe emulsi M/A
(minyak dalam air), lebih memberikan banyak keuntungan dibandingkan dalam
bentuk A/M (air dalam minyak). Keuntungan yang diperoleh dari sediaan M/A
yaitu sediaan yang tidak lengket di kulit, mudah di cuci dengan air sehingga
memberikan efek yang lebih nyaman pada penggunaannya dan penguapan minyak
atsiri sebagai fase terdispersi dapat ditahan oleh adanya air sebagai fase
pendispersinya (Novitasari, 2010).
Berdasarkan teori klasik mekanisme pembentukan emulsi adalah zat aktif
permukaan mampu mengurangi tegangan permukaan dan bertindak sebagai
penghalang bergabungnya tetesan karena zat-zat tersebut diabsorbsi pada
permukaan tetesan-tetesan yang terdispersi. Secara umum mekanisme emulgator
atau zat pengemulsi dalam membentuk dan menstabilkan emulsi dibagi menjadi
tiga cara, yaitu :
a. Mengurangi tegangan antarmuka
25
b. Pembentukan suatu lapisan antarmuka yang kaku sebagai pembatas mekanik
untuk penggabungan.
c. Pembentukan lapisan listrik rangkap sebagai penghalang elektrik untuk
mendekati partikel-partikel (Jellink, 1970; Lachman, 1994).
2.6.2. Bahan-Bahan Pembentuk Losion
Dalam pembuatan sediaan kosmetik losion anti nyamuk, minyak atsiri
tanaman digunakan sebagai komponen bahan aktif, serta ditambahkan bahan-
bahan tambahan lainnya untuk memperoleh sediaan losion yang ideal dan
memenuhi SNI (Dewi, 2012).
Umumnya bahan penyusun dalam formula losion yaitu :
a. Barrier agent (Pelindung)
Chew (2006) cit Kurpiewska & Liwkowicz (2012) Suatu bahan tambahan
yang berfungsi sebagai pelindung kulit dan mengurangi dehidrasi. Barrier
agent dirancang untuk mengurangi dan mencegah penetrasi serta penyerapan
berbagai zat berbahaya ke dalam kulit, mencegah lesi atau efek toksik lainnya
dari paparan dermal. Barrier agent melindungi kulit terhadap zat berbahaya
seperti air, larutan garam, asam, basa (sampai dengan 5% dari konsentrasi),
deterjen, sabun dan lain-lain. Contohnya : bentonit, asam stearate, seng oksida,
dimetikon, dan titanium oksida, (Lachman, 1994; Kurpiewska & Liwkowicz,
2012).
b. Emollient (Pelembut)
Emolien merupakan campuran dari senyawa kimia komplek khusus yang
dirancang untuk meningkatkan hidrasi kulit dan melembabkan kulit tangan.
Dalam Cosmetology emolien dapat diambil dari berbagai sumber bahan baku
alami atau sintetis, yang dapat melembabkan kulit. Emolien bertindak
melembutkan kulit dengan memperlambat hilangnya air dari permukaan kulit
sehingga permukaan kulit menjadi lentur. Contohnya : paraffin, lanolin, stearil
vaselin, dan alkohol. (Lachman, 1994; Kurpiewska & Liwkowicz, 2012).
Minyak kelapa murni (VCO) digunakan sebagai bahan aktif untuk pelembab
kulit topikal serta memiliki kandungan tinggi asam lemak (terutama asam
laurat), memiliki kandungan fenolik yang tinggi dan aktivitas antioksidan
26
dibandingkan dengan minyak kelapa biasa (Marina et al., 2009). VCO
tergabung dalam partikel lipid yang kuat. Partikel lipid padat dapat
meningkatkan penetrasi dan transportasi zat aktif, terutama senyawa lipofilik,
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi bahan aktif yang dibawanya pada
kulit (R.H. Müller et al., 2002). Dalam pelembab, VCO dapat bertindak
sebagai emolien dan sebagai agen oklusif jika diterapkan pada konsentrasi
yang tepat (Norhayati Mohamed Noor et al., 2013).
c. Humectant (Pelembab)
Humektan merupakan senyawa yang menarik air dari dermis ke stratum
corneum, dengan menahan atau mengontrol kadar air dan kelembapan dari
lingkungan atau pada sediaan baik yang telah diaplikasikan pada kulit.
Contohnya : propilenglikol, gliserin, dan sorbitol. Gliserin memiliki sifat
higroskopis sehingga yang dapat mestabilkan sediaan karena afinitasnya yang
tinggi memungkinkan untuk menarik dan menahan molekul air dengan cara
mengabsorbsi kelembapan dari lingkungan dan mengurangi penguapan air dari
sediaan (Barel et al., 2009) Kemampuan gliserin dalam mengikat air
menyebabkan peningkatkan ukuran unit molekul sehingga tahanan sediaan
untuk mengalir dan menyebar serta viskositasnya akan meningkat (Martin et
al., 1993).
d. Thickeners dan Film Farmer (Pengental dan Pembentuk Film)
Fase air akan mengental dengan penambahan agen pengental sehingga
memberikan viskositas yang sesuai untuk menjaga komposisi agar dapat
kontak dengan kulit dalam jangka waktu yang lama. Setil alkohol selain
berfungsi sebagai stabilizer dan pengental sehingga sediaan dapat menyebar
dengan pas, memberi efek lebih halus dan daya lekat yang bertahan lama pada
kulit. Contohnya : setil alkohol, vegum, karbopol, tragakan, gliseril
monostearat, dan gum,. Setil alkohol merupakan pengental yang banyak
digunakan karena dapat bertindak sebagai emulsifier dan emolien. Konsentrasi
pengental tergantung pada jenis pengental yang dipilih dan viskositas yang
diinginkan. Konsentrasi setil alkohol, sebagai pengental yang disukai 0,5-10%
(Kaiser et al., 2002).
27
e. Emulsifier (Zat Pembentuk Emulsi)
Emulsifier merupakan zat pembentuk dan satbilisator pencampuran antara 2
fase cairan jenis air dalam minyak atau minyak dalam air. Mekanisme
emulsifier yaitu menurunkan tegangan permukaan antara dua fase cairan
sehingga dapat bersatu. Contohnya : asam stearate, BKC, setil alkohol tween,
sapan, dan trietanolamin, (Lachman, 194l).
f. Air
Pembentuk komponen utama dalam losion dengan persentase terbesar adalah
air. Umumnya air berfungsi sebagai bahan pelarut namun, dalam emulsi tipe
air dalam minyak memiliki peran penting serta sangat efektif sebagai emolien
(Wilkinson et al., 1962; Barnett, 1962).
g. Pengawet
Bahan pengawet digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme
dan melindungi body lotion dari kontaminasi sehingga menghasilkan produk
tanpa cacat. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan
bahwa golongan ester paraben (metil, etil, propil dan butyl paraben) sebagai
bahan pengawet yang paling umum dan sering digunakan (Steinberg, 2006).
Nipagin merupakan bahan pengawet yang paling banyak digunakan dalam
produk kosmetik. Keuntungan nipagin adalah bersifat spektrum luas terhadap
bakteri gram positif dan gram negative, jamur, toksisitas rendah, stabil dalam
rentang pH yang luas, mudah terdegradasi oleh lingkungan dan lebih mudah
digunakan dalam berbagai jenis produk (Mandasari, 2016). Kombinasi nipagin
dan nipasol berfungsi untuk memperpanjang umur simpan dari sediaan,
penggunaan kombinasi nipagin dan nipasol tersebut karena dapat
meningkatkan efeknya terhadap bakteri dan jamur (Harmely, 2014).
h. Antioksidan
Antioksidan merupakan preservatif yang banyak digunakan dalam kosmetik
untuk mencegah terjadinya ketengikan dan oksidasi yang dapat mengubah
warna dan bentuk kosmetik (Purwaningsih et al., 2014). Antioksidan yang
banyak di gunakan adalah BHT dan BHA. Penggunaan BHT dapat
meningkatkan stabilitas minyak (Bera et al., 2006). BHA yang bertindak
28
sebagai antioksidan adalah cincin aromatis terkonjugasinya yang dapat
bertindak sebagai stabilisator untuk radikal bebas, sehingga reaksi radikal
bebas selanjutnya dapat dihindari (Madhavi et al., 1996).
2.6.3. Evaluasi Fisik – Kimia Sediaan Losion
Tujuan dilakukannya evalusi adalah untuk mencari formulasi terbaik yang,
serta menghasilkan sediaan yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan, dan
kemudahan dalam penggunaannya. Evaluasi sediaan losion meliputi uji
karakteristik fisik yaitu organoleptis, homogenitas, tipe emulsi, daya sebar, dan
viskositas, uji karakteristik kimia yaitu pengukuran pH sediaan dan uji stabilitas
sediaan serta uji aktifitas repelan (Amelia dan Novira, 2015).
a. Organoleptis
Pengujian organoleptis adalah pengujian yang dilakukan berdasarkan
pengamatan subyektif pada proses pengindraan (Stephanie, 2015). Uji
organoleptis dilakukan dan secara visual terhadap sediaan losion, untuk
mengetahui penampilan fisik losion meliputi warna sediaan, bau dari sediaan dan
konsistensi sediaan losion (Febriana, 2015; Sri Mulyani et al., 2014).
b. Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mngetahui daya homogenitas dari
sediaan losion. Menurut Depkes RI, sebagaimana dikutip oleh Agustin et al.
(2013), krim atau lotion yang baik memiliki susunan yang homogen dan tidak
terlihat adanya bintik-bintik atau butiran (Supartono, 2014).
c. Tipe emulsi
Losion yang dibuat perlu dibuktikan tipe emulsinya, salah satunya dengan
metode pewarnaan. Metode pewarnaan merupakan metode yang cukup mudah
dalam pelaksanaan dan pengamatannya (Sri Mulyani et al., 2014).
Untuk mengetahui tipe emulsi pada suatu sediaan dapat dilakukan dengan
4 cara, yaitu:
1. Metode pengenceran fase
Umunya dilakukan dengan menambahkan air kedalam sediaan. Jika sediaan
dapat di ecerkan dengan air maka sediaan memiliki tipe emulsi minyak dalam
air (Anief, 1999).
29
2. Metode pewarnaan
Jenis emulsi dapat diketahui dengan menambahkan pewarna pada sediaan.
Pewarna yang larut dalam air yaitu metilen blue dan Sudan III yang
merupakan pewarna larut dalam minyak. Pengamatan metode pewarnaan
dapat dilakukan secara visual makroskopik dan miksroskopik. Jika sediaan di
tambahkan sudan III yang tampak adalah bintik-bintik merah yang tidak
menyebar secara merata, maka tipe emulsi dari sediaan adalah minyak dalam
air, begitu pula sebaliknya.
3. Metode konduktivitas listrik
Air merupakan penghantar listrik yang baik karena adanya zat-zat ionic
sehingga bila sediaan dapat menghantarkan aliran listrik maka tipe emulsi
sediaan adalah minyak dalam air (fase luarnya adalah air).
4. Metode fluoresensi
Berdasarkan karakteristik minyak yang dapat berfluoresensi bila diletakan di
bawah sinar UV. Bila sediaan di letakkan di bawah sinar UV menghasilkan
flouresensi seutuhnya maka tipe emulsinya adalah air dalam minyak dan jika
menunjukkan pola titik-titik, maka tipe emulsinya dalam minyak dalam air
(Lachman et al., 1994).
d. Daya sebar
Uji daya sebar dalam losion dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
seberapa mudah sediaan untuk menyebar pada kulit. Pengujian ini berkaitan
dengan daya distribusi bahan aktif dalam sediaan. Sediaan akan lebih disukai
apabila mudah menyebar sehingga penggunaan pada kulit akan semakin mudah
(Mutalikah, 2015). Permukaan penyebaran yang dihasilkan dengan menaiknya
beban ditujukan untuk menggambarkan suatu karakterisitik daya sebar. Dimana
luas permukaan yang dihasilkan berbanding lurus dengan kenaikan beban yang
ditambahkan. Semakin besar beban yang ditambahkan semakin meningkat daya
sebar losion (Sri Rahayu, 2016). Semakin besar luas penyebarannya, semakin
mudah losion menyebar merata diatas permukaan kulit (Febriana 2015).
e. Viskositas
Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tahanan dari
suatu cairan atau sediaan untuk mengalir. Viskositas berkaitan dengan kemudahan
30
pengolesan, semakin kecil viskositas losion semakin mudah losion dioleskan pada
permukaan kulit. Hal ini berhubungan juga dengan luas penyebaran losion, pada
uji daya sebar losion yang memiliki viskositas besar luas penyebarannya akan
semakin kecil (Febriana, 2015). Nilai kisaran viskositas yang disyaratkan oleh
SNI 16-4399-1996 yaitu berada dalam kisaran nilai viskositas 2000-50000 Cp (Sri
Rahayu, 2016).
Viskositas yang cukup tinggi dari suatu sediaan farmasi mempengaruhi
penerimaan pasien karena sediaan yang cukup kental memudahkan penuangan
dari wadah, namun viskositas yang terlalu besar pun akan menyebabkan sediaan
sukar didispersikan kembali dan sulit untuk dituang (Kurniawan, 2016).
f. Nilai pH
Pengukuran derajat keasaman pada sediaan losion repellent bertujuan
untuk menghindari terjadinya iritasi pada kulit pada saat pemakaian (Yuniarsih et
al. 2010). Nilai pH yang rendah atau asam pada sediaan dapat mengiritasi kulit,
dan sebaliknya jika pH sediaan terlalu tinggi akan mengakibatkan kulit menjadi
kering saat penggunaan. Syarat mutu pH standar sediaan losion menurut SNI 16-
4399-1996 yaitu berkisar antara 4,0-8,0.
Uji pH atau derajat keasaman merupakan salah satu parameter penting
untuk menentukan suatu sediaan stabil atau tidak dalam penyimpanan. Menurut
Budiman (2008) pH merupakan hasil dari pengukuran aktivitas hidrogen dalam
lingkungan air, perubahan pH yang cenderung mengarah ke asam kemungkinan
karena adanya reaksi kimia (Febriana, 2015).
2.6.4. Uji Stabilitas Sediaan Losion
Uji stabilitas dilakukan untuk melihat apakah losion stabil dalam
penyimpanan atau tidak (Febriana, 2015). Stabilitas sediaan losion dapat dilihat
dalam penyimpanan selama periode tertentu dan penggunaannya dengan
karakteristik fisik dan kimianya yang sama seperti saat sediaan losion itu di buat
(Djajadisastra, 2004).
Stabilitas karakteristik fisik sediaan ditunjukkan terdapat perubahan bau
sediaan, perubahan warna sediaan menjadi lebih pucat, konsistensi sediaan
berubah, perubahan bentuk kristal sehinnga sediaan menjadi tidak stabil, serta
31
rusaknya emulgator yang meyebabkan terjadi pemisahan fase (minyak dan air),
pengendapan suspensi atau caking. Stabilitas karakteristik kimia sediaan ditandai
dengan penurunan konsentrasi bahan utama atau zat aktif yang diakibatkan oleh
reaksi atau interaksi antara zat kimia bahan penyusun losion, eksipien mengalami
kerusakan struktur kimia karena hidrolisis dan reaksi sejenis, serta terjadi
pembentukan senyawa lain (Djajadisastra, 2004).
Uji stabilitas emulsi merupakan uji dipercepat sehingga dapat memberikan
informasi atau gambaran suatu produk yang diinginkan dalam waktu singkat.
Adapun caranya adalah perancangan penyimpanan produk pada kondisi yang
dapat mempercepat terjadinya perubahan dari kondisi lingkungan normal menjadi
ekstrim (Laverius, 2011). Menurut Djajadisastra (2004) pengujian stabilitas
kelayakan suatu produk antara lain:
Elevated temperature merupakan uji indikator stabilitas yang perlu dilakukan
akibat dari selama proses pendistribusian baik impor ataupun ekspor dengan
iklim dari berbagai negara yang berbeda-beda atau selama penyimpanan
sediaan yang tidak dapat diprediksi akan di letakkan pada suatu tempat dengan
suhu dan kelembapannya yang tinggi. Namun, penyimpanan suhu tinggi dapat
memberikan manfaat yaitu suatu sediaan yang stabil pada penyimpanan suhu
tinggi (70-80° C) tidak terjadi perubahan kimiawi namun tidak harus
perubahan secara fisik dengan demikian dapat dipastikan akan sangat stabil
pada suhu normal (Cannell, 1985).
Elevated humidities merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui
kelayakan kemasan produk yang dilakukan dengan cara mengukur sifat wadah
sebagai penghalang atau pelindung produk. Pengujian ini dilakukan untuk
mempercepat gambaran untuk mengetahui perubahan pada produk selama
proses penyimpanan dari kondisi normal menjadi kondisi lingkungan ekstrim.
Sutau dikatakan memberikan perlindungan tidak memadai apabila selama
proses pendistribusian atau penyimpanan terpengaruh oleh paparan
kelembaban atmosfer, terjadi perubahan dengan pemaparan suhu tinggi,
masuknya air uap sehingga terjadi kelembaban tinggi, kehilangan air atau
konstituen lainnya yang mudah menguap (Cannell, 1985).
Cycling test termasuk freeze-thaw test merupakan uji yang dilakukan untuk
32
mengetahui ada atau tidak kristal yang dapat terbentuk akibat siklus perubahan
suhu dan kelembapan secara berkala. Pengujian stabilitas emulsi yang paling
umum dan banyak digunakan adalah cycling test (Puig et al., 2010).
Pemaparan terhadap cahaya merupakan pengujian produk bila berada dalam
keadaan di pasar. Salah satu faktor yang menyebabkan perubahan produk
adalah cahaya, seihingga produk yang berada dipasaran harus selalu diuji oleh
paparan terhadap cahaya (Cannell, 1985).
Tes mekanis yaitu Shaking test dan Centrifugal test meruapakan uji yang
dilakukan untuk mengatahui nilai stabilitas emulsi mengalami kerusakan
(pecahnya emulsi) sehingga terjadi pemisahan antar fase minyak dan air
(Cannell, 1985).
2.7. Monografi Bahan Tambahan
1. VCO (Virgin Coconut Oils)
Salah satu bahan penting pembentuk emulsi untuk sediaan emulsi kosmetik
perawatan tubuh adalah fase minyak. Menurut Hasibuan (2011), VCO merupakan
pelembab kulit alami karena mampu mencegah kerusakan jaringan dan
memberikan perlindungan terhadap kulit tersebut. Susunan molekular dari VCO
memberikan tekstur lembut dan halus pada kulit. Oleh karena itu, minyak kelapa
dapat menjadi losion (Fife, 2009).
Minyak kelapa murni yang dalam bahasa inggrisnya yaitu Virgin Coconut
Oils (VCO) bila digunakan secara topikal, dapat berfungsi sebagai pelindung
pada kulit dari radikal bebas, melembabkan kulit, memperbaiki sel kulit yang
terbakar, dan mencegah infeksi (Silalahi dan Chemayanti, 2015). VCO
mengandung senyawa-senyawa berkhasiat tinggi yang dapa digunakan sebagai
antioksidan atau agent anti penuaan dini sehingga vitalitas tubuh tetap tejaga yaitu
tokoferol dan betakaroten (Setiaji dan Prayugo, 2006). Selain itu pada sediaan
repelan topikal menurut penelitian yang dilakukan oleh Siriporn Phasomkusolsil
et al. (2011) didapatkan hasil bahwa minyak kelapa dapat berfungsi sebagai zat
fiksatif karena adanya kandungan asam lemak jenuh dan emulsifier yang dapat
mengikat wangi repelan sehingga minyak atsiri yang terkandung tidak mudah
menguap (Maia and Moore, 2011).
33
Dalam pengolahan VCO tidak diperkenankan untuk menggunakan suhu
tinggi karena dapat merusak kandungan senyawa-senyawa yang penting seperti
vitamin E dan serta enzim-enzim, sehingga cukup dilakukan pemanasan dalam
suhu rendah untuk mempertahankan senyawa-senyawa penting tersebut.
Umumnya, karakteristik fisik VCO yaitu berwarna bening, berbau harum khas
minyak kelapa, mengandung rendah kadar air, rendah kadar asam lemak bebas,
dan daya simpannya lebih lama, bisa lebih dari 12 bulan (Rindengan dan
Novarianto, 2004; Syah, 2005; SNI, 2008; Nurani,2013).
Pemerian VCO yaitu tidak berwarna, berbau sedikit asam dan caramel serta
kristal berbentuk seperti jarum. Pada suhu 20⁰ C berat jenis VCO adalah 0,883,
tidak menguap pada suhu 21⁰ C, titik lebur 20-25⁰ C serta titik didih 225⁰ C.VCO
tidak larut dalam air, larut dalam alkohol (1:1), pH VCO tidak terukur, karena
tidak larut dalam air namun VCO termasuk senyawa bersifat asam sehingga dapat
dipastikan nilai pH berada di bawah 7 (Darmoyuwono, 2006).
2. Setil Alkohol (Rowe et al., 2009)
Sinonim n-heksadesil alkohol, 1-heksadekanol, palmitil alkohol, ethol dan
lain-lain. Rumus molekul C16H34O (BM 242,4) dengan titik lebur 45–52⁰C.
Pemerian berwarna putih, serpihan granul licin, dan tidak berbau. Kelatutan setil
alkohol dalam air tidak larut, namun larut dalam etanol dan eter, serta
kelarutannya akan bertambah seiring naiknya suhu. Dalam farmasetik dan
kosmetik setil alkohol dikompoisikan dalam bentuk sediaan losion, salep, emulsi,
krim, sediaan supositoria, dan sediaan padat lepas lambat. Setil alkohol yang
diformulasikan dalam sediaan krim dan salep digunakan sebagai penambah
kekentalan dengan jalan menyerap air sehingga meningkatkan tekstur sediaan,
bahan pengemulsi, dan pelembut (emollient). Dalam emulsi minyak dalam air,
setil alkohol dilaporkan meningkatkan stabilitas dengan cara menggabungkan zat
pengemulsi yang larut dalam air. Rentang penggunaan sebagai emollient 2-5%.
Gambar 2. 10 Struktur Kimia Setil Alkohol (Rowe et al., 2009).
34
3. Asam Stearat (Rowe et al., 2009)
Sinonim Acidum stearicum, Acid cetylacetic Edenor; Emersol dan lain-
lain. Rumus kimia C18H36O2 (berat molekul 284,47) dengan titik lebur 69–70˚C.
Pemerian kristal padat berwarna putih atau putih sedikit kekuningan, sedikit
mengkilap, sedikit berbau, dan berasa lemak. Asam stearat larut dalam benzena,
kloroform, karbon tetraklorida, eter, larut alam etanol (95%), propilen glikol,
heksana, dan praktis tidak larut dalam air.
Asam stearat dalam formulasi sediaan topikal, digunakan sebagai
pengemulsi dan agent pelarut. Dalam pembentukan krim asam stearat digunakan
sebagai emulgator dengan cara mencampurnya atau menetralkannya dengan alkali
atau trietanolamin, asam sterat sebanyak 5-15 kali dari berat cairan, akan
membentuk basis krim. Rentang penggunaan sebagai emulsifier 1-20%.
Gambar 2 11. Struktur Kimia Asam Stearat (Rowe et al., 2009).
4. Triethanolamine (Rowe et al., 2009)
Sinonim TEA, Tealan, triethylolamine, trolaminum. Rumus kimia
C6H15NO3 (berat molekul 149,19) dengan pH 10,5 dan titik lebur 20 – 21˚C.
Pemerian jernih, tidak berwarna hingga kuning pucat, cairan kental,bau lemah
mirip amoniak. TEA dapat terlarut air, alkohol, larut dalam gliserin.
Triethanolamine yang banyak digunakan dalam formulasi farmasi sediaan topikal,
khususnya dalam pembentukan emulsi. Kegunaan lain sebagai buffer, humektan,
dan polimer.
Gambar 2 12. Struktur Kimia Triethanolamine (Rowe et al., 2009).
Ketika TEA dicampur dalam proporsi molar yang sama dengan asam
lemak, contohnya asam oleat atau asam stearat, TEA akan membentuk sabun
anionic dengan pH berkisar 8, sehingga dapat digunakan sebagai agen pengemulsi
35
untuk menghasilkan krim yang halus, dan emulsi minyak dalam air yang stabil.
Konsentrasi untuk menghasilkan emulsifikasi adalah 2-4% dari TEA dan 2-5 kali
dari asam lemak.
5. Nipasol (Rowe et al., 2009)
Sinonim Propylparaben, Propagin, dan Sorbitol P. Rumus kimia C10H12O3
(berat molekul 180,20). Pemerian kristal putih, tidak berbau, tidak berasa. Nipasol
larut dalam aseton, eter, 1,1 bagian etanol, 5,6 bagian etanol (50%), 250
bagian gliserin, 3330 bagian mineral oil, 70 bagian minyak kacang, 3,9 bagian
propilenglikol, 110 bagian propilenglikol (50%), 4350 bagian air (15⁰C), 2500
bagian air, 225 bagian air (80⁰ C).
Propylparaben merupakan pengawet yang banyak digunakan sebagai
antimikroba pada produk kosmetik, makanan, serta pada formulasi sediaan
farmasi. Pengunaannya secara tunggal atau dikombinasikan dengan golongan
ester paraben, atau dengan agen antimikroba lainnya. Nipasol adalah salah satu
pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik. Paraben memiliki
rentang pH dan spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba. Rentang 0,01–
0,6% (sebagai pengawet sediaan topikal).
Gambar 2.13 Struktur Kimia Nipasol (Rowe et al., 2009).
6. Nipagin (Rowe et al., 2009)
Sinonim Methylparaben, Methylis parahydroxybenzoas, dan Sorbol M.
Rumus kimia C8H8O3 (berat molekul 152,15). Pemerian serbuk kristal putih atau
hampir tidak berwarna, memiliki rasa yang sedikit membakar, dan tidak berbau
atau hampir tidak berbau. Nipagin pada suhu 25⁰ C larut dalam 2 bagian etanol, 3
bagian etanol (95%), 6 bagian etanol (50%), 200 bagian etanol (10%), 10 bagian
eter, 60 bagian gliserin, 2 bagian metanol, praktis tidak larut dalam minyak
mineral, larut dalam 200 bagian minyak kacang, 5 bagian propilan glikol, 400
bagian air (25⁰C) dan 30 bagian air (80⁰C).
36
Metil paraben meruapakan pengawet yang banyak digunakan sebagai
antimikroba pada produk kosmetik, makanan, serta formulasi sediaan farmasi.
Dapat digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan golongan paraben
lainnya atau antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, methylparaben adalah
pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Paraben memiliki rentang
pH dan spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba, meskipun penggunaannya
yang lebih efektif terhadap ragi dan jamur. Rentang 0,02–0,3% (sebagai pengawet
sediaan topikal).
Gambar 2.14 Struktur Kimia Nipagin (Rowe et al., 2009).
7. Gliserin (Rowe et al., 2009)
Sinonim glycerol, glycerine, glycerolum, Pricerine, glycerol. Rumus kimia
C3H8O3 (berat molekul 92.09) dengan titik lebur 17,8˚C. Pemerian tidak berwarna
dan berbau, cairan kental, higroskopis, berasa manis kira-kira 0,6 kali semanis
sukrosa. Kelarutan agak larut dalam aseton, larut dalam etanol 95% 1:500 dengan
eter, 1:11 dengan etil asetat, larut dalam air, larut dalam metanol, praktis tidak
larut dalam benzen, klorofom, dan minyak.
Gambar 2.15 Struktur Kimia Gliserin (Rowe et al., 2009).
Gliserin digunakan dalam berbagai formulasi farmasi termasuk oral, otic,
ophthalmic, topikal, dan parenteral. Pada formulasi sediaan farmasi topikal dan
kosmetik, gliserin digunakan terutama untuk humektan dan emollient. Dalam
sediaan krim dan emulsi, gliserin umunya digunakan sebagai pelarut atau
cosolvent. Rentang penggunaan sebagai humektan dengan konsentrasi ≤30%,
preservative < 20% & emollient ≤ 30%. Gliserin bersifat higroskopis dan tidak
37
stabil pada suhu lembab. Penyimpanannya harus dalam wadah tertutup rapat, di
tempat yang sejuk dan kering.
8. BHA (Rowe et al., 2009).
Sinonim Butylated Hydroxyanisole; tert-butyl-4-methoxyphenol; Nipanox
BHA, Tenox BHA. Rumus kimia C11H16O2 (BM 180,25) dengan titik lebur 47˚C.
Pemerian berwarna putih atau hampir putih, dapat berupa bubuk kristal atau lilin
berwarna putih kekuningan yang solid dengan karakteristik bau aromatik yang
samar. Kelarutan praktis tidak larut air, larut dalam metanol, bebas larut dalam ≥
50% etanol encer, propilen glikol, kloroform, eter, heksan, minyak biji kapas,
minyak kacang, minyak kedelai, gliseril monooleat, dan solusio dari alkali
hidroksida.
BHA merupakan antioksidan banyak digunakan dalam formulasi produk
kosmetik, makanan, serta obat-obatan. BHA berfungsi untuk menunda atau
mencegah ketengikan akibat dari oksidatif lemak dan minyak. Penggunaan BHA
antioksidan sering dikombinasi dengan BHT. Rentang penggunaan dalam minyak
dan lemak 0,02%, dalam formulasi topikal 0,005-0,02%. Paparan cahaya
menyebabkan perubahan warna dan menghilangkan aktivitasnya.
Penyimpanannya harus dalam wadah tertutup rapat yang terlindung dari cahaya,
dan di tempat yang kering dan sejuk.
Gambar 2.16 Struktur Kimia BHA (Rowe et al., 2009).
9. BHT (Rowe et al., 2009).
Sinonim agidol; butylhydroxytoluenum; dalpac; dibutylated
hydroxytoluene; Nipanox BHT; Tenox BHT. Rumus Kimia C15H24O (BM 220.35)
dengan titik lebur 70˚C. Pemerian kristal padat atau bubuk putih atau kuning
pucat, bau samar karakteristik fenolik. BHT praktis tidak larut dalam air, propilen
glikol, gliserin, solusio hidroksida alkali, dan larut asam mineral encer. Mudah
38
larut dalam benzena, etanol (95%), eter, aseton, metanol, Toluen, fixed oil, dan
minyak mineral. Lebih larut dari BHA dalam minyak makanan dan lemak.
Butylated hydroxytoluene (BHT) merupakan antioksidan yang banyak
digunakan pada produk kosmetik, makanan, serta obat-obatan. Antioksidan
digunakan untuk memperlambat atau mencegah ketengikan akibat dari lemak dan
minyak yang teroksidatif serta mencegah hilangnya zat bermanfaat seperti vitamin
yang terlarut dalam minyak. Rentang penggunaan dalam minyak atsiri dan
flavoring agents 0,02-0,5%, dalam lemak dan minyak 0,02 & formulasi topikal
0,0075-0,1%. Paparan cahaya, kelembaban, dan panas merupakan penyebab
perubahan warna dan penurunan aktivitas. Penyimpanannya harus dalam wadah
tertutup rapat, terlindung dari sinar matahari ataupun cahaya, serta di tempat yang
kering dan sejuk.
Gambar 2.17 Struktur Kimia BHT (Rowe et al., 2009).
10. Na-EDTA (Rowe et al., 2009).
Sinonim dinatrii edetas, disodium EDTA, disodium. Rumus kimia
C10H18N2Na2O10 (berat molekul 372,2) dengan pH 4,3 – 4,7 (1% b/v dalam
aquadest bebas CO2). Pemerian kristal atau bubuk putih, tidak berbau, dan rasa
sedikit asam. Praktis tidak larut dalam kloroform dan eter; sedikit larut dalam
etanol (95%); larut 1 bagian dalam 11 bagian air. Na-EDTA digunakan sebagai
chelating agent di berbagai sediaan farmasi, termasuk obat kumur, tetes mata
persiapan, dan persiapan topikal, biasanya pada konsentrasi antara 0,005 dan 0,1%
b/v. Na-EDTA berfungsi sebagai asam lemah, menggusur karbon dioksida dari
karbonat dan bereaksi dengan logam untuk membentuk hidrogen. Rentang
penggunaan dalam minyak atsiri dan flavoring agents 0,02-0,5%, dalam lemak
dan minyak 0,02 & formulasi topikal 0,0075-0,1%. Na-EDTA bersifat
higroskopis dan tidak stabil pada suhu lembab. Harus disimpan dalam wadah
39
tertutup rapat, di tempat yang sejuk dan kering. Inkompatibiltas oksidator kuat,
basa kuat, ion logam, dan logam campuran
Gambar 2.18 Struktur Kimia Na-EDTA (Rowe et al., 2009).
11. Aquadest (Ansel, 1989).
Aquadest diperoleh dengan cara penyulingan sehingga air yang dihasilkan
tidak mengandung pengotor. Aquades merupakan air murni yang umumnya
digunakan dalam sediaan-sediaan farmasi, kecuali dalam sediaan parenteral,
karena untuk keamannya aquadest harus disterilkan terlebih dahulu (Ansel, 1989).