SKRIPSI
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG KEJAHATAN PENCURIAN HEWAN
( Studi Kasus di Kab.Sidrap Tahun 2005 – 2009 )
OLEH :
ANDI NURILAH NOVIANTI FIRMAN JAYA B111 07 642
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM PIDANA MAKASSAR
2011
i
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TENTANG KEJAHATAN PENCURIAN HEWAN
( Studi Kasus di Kab.Sidrap Tahun 2005 – 2009 )
OLEH :
ANDI NURILAH NOVIANTI FIRMAN JAYA B111 07 642
SKRIPSI
Diajukan sebagai tugas akhir dalam rangka penyelesaian studi Sarjana dalam
Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
pada
UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM BAGIAN HUKUM PIDANA
MAKASSAR 2011
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
ANDI NURILAH NOVIANTI FIRMAN JAYA (B 111 07 642), Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan Pencurian Hewan Di Kabupaten Sidrap (Studi Kasus Di Kabupaten Sidrap Tahun 2005-2009 ) dengan dosen pembimbing M. Said Karim selaku pembimbing I dan Haeranah selaku
pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
terjadinya pencurian hewan di Kabupaten Sidrap, serta untuk mengetahui apa upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan menanggulangi terjadinya pencurian hewan di Kabupaten Sidrap. penelitian ini di laksanakan di POLRES Sidrap dengan mewawancarai oknum kepolisian di POLRES Sidrap, juga Pelaku Pencurian Hewan di RUTAN Sidrap.
Sumber data yang diperoleh yaitu data yang didapatkan dari hasil kunjungan ke lokasi penelitian yaitu Polres Kabupaten Sidrap, Pelaku dan Staf Lembaga pemasyarakatan, juga buku-buku yang relevan dengan masalah yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan kepustakaan yang merupakan rujukan untuk menganalisis hasil penelitian.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini antara lain bahwa, Faktor terjadinya pencurian hewan di daerah Kabupaten Sidrap disebabkan beberapa faktor yaitu faktor ekonomi yang lemah dimana pengaruh tekanan ekonomi yang lemah mendorong para pelaku untuk melakukan kejahatan pencurian, faktor pendidikan rendah disebabkan karena tingkat pendidikan para pelaku sangat rendah, faktor Lingkungan yang buruk dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan perbuatan jahat, faktor Agama karena rendahnya pemahaman dan keyakinan agama seseorang untuk mudah melakukan kejahatan. Adapun upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penanggulangan tindak pidana pencurian hewan ini adalah sebagai upaya untuk menekan laju peningkatan kejahatan pencurian. Dengan melihat laju peningkatan kuantitas kejahatan pencurian yang mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ketahun, yakni patroli, mengadakan pengarahan kepada masyarakat, melakukan pemeriksaan di daerah rawan, serta melakukan piket tiap-tiap daerah.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunianya, sehingga skripsi ini dapat dirampung sebagaimana
diharapkan.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah barusaha dengan
semaksimal mungkin sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Tinjauan Kriminologis Tentang Kejahatan Pencurian Hewan ( Studi
Kasus Di Kabupaten Sidrap Tahun 2005-2009 )” sebagai upaya untuk
memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian Studi Strata Satu ( S1 ) pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Terimakasih Ibunda tercinta Dra.Hj.Khaeriyah Misbah Harun, M.Si dan
Ayah tercinta dr.H.Andi Firman Jaya.BAP, Kakakku Andi Sabri Mundzir, S.IP
dan Andi Fithrani Neilufar,S.Ked, serta seluruh keluargaku yang telah
memberikan bantuan, dorongan dan Do’a hingga selesainya studi ini.
Penulisan Skripsi ini dibimbing dan diarahkan oleh Bapak Prof.Dr.H.M
Said Karim, S.H, M.H dan Ibu Hj. Haeranah, S.H, M.H yang masing-masing
sebagai pembimbing satu dan dua selama masa pembimbingan dan konsultasi
penulis banyak mendapatkan masukan dan wawasan yang memperkaya ilmu
pengetahuan penulis mulai dari tahap proposal penulisan sampai tahap
penyelesaian skripsi.
vii
Dengan tidak kalah pentingnya pula penulis mengucapkan banyak
terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Bapak Prof. DR. Dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B.O, selaku Rektor
Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Prof.Dr.H.M Said Karim, S.H, M.H selaku pembimbing
pertama yang telah membimbing dan memberi ilmunya hingga
selesainya skripsi ini.
3. Ibu Hj. Haeranah, S.H, M.H selaku pembimbing kedua yang telah
membimbing dan memberi ilmunya hingga selesainya skripsi ini.
4. Kepolisian Resort Sidrap dan Lembaga Pemasyarakatan Sidrap
yang telah memberikan bantuan dalam penulisan skripsi ini saya
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya.
5. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H. M.H., D.F.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
6. Bapak Alm. Prof.Dr. Mas Bakar, S.H, M.H dan Bapak Maskun, S.H,
LLM selaku Penasehat Akademik penulis yang telah memberikan
nasehat, baik dalam perkuliahan maupun di luar perkuliahan.
7. Bapak Prof.Dr.Ir. Abrar Saleng, S.H, M.H., Dr. Ansori Ilyas, Romi
Librayanto selaku Wakil Dekan 1, Wakil Dekan 2, dan Wakil Dekan
3 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar.
9. Habib Airlangga Nugraha yang telah banyak memberikan semangat
dan bantuan yang membuat saya semakin bangga dan banyak
belajar darinya, semoga hubungan kita dapat langgeng dan tetap
indah sampai tua, Aamiin.
10. Rekan mahasiswa di Fakultas Hukum dari beberapa Universitas,
khususnya kakak Sry Wahyuni, Ridwan S.H., kakak Nining
viii
Angraeny, Rustan S.H., dan kakak Citra Negara, S.H yang juga
banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Teman-teman DFF, Cozy, IKA SMA, IKA SMP, dan IKA SD yang
telah memberikan banyak semangat dan Do’a dalam terselesainya
skripsi ini untuk mencapai gelar Sarjana Hukum yang berkualitas.
12. Teman-teman OM yang sempat membuat saya drop, tapi itu
merupakan pembangkit semangat bagi saya untuk membuktikan
bawa saya hebat.
Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan serta jasa baiknya kepada penulis, disadari
sepenuhnya bahwa setiap orang mempunyai keterbatasan sehingga
kekurangan mungkin saja terdapat dalam skripsi ini, oleh karena itu saran dan
kritik dari pembaca sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya. Amin…!!!
Wassalamu Alaikum Wr. Wb
Makassar, 2011
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .................... iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................... .................. ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. . 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………… 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................... 6
D. Kegunaan Penelitian ......................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 7
A. Pengertian-pengertian ........................................................ 7
a. Pengertian Kriminologi .................................................... 7
b. Pengertian Kejahatan……………………………………… 14
c. Pengertian Delik dan Unsur-Unsurnya ........................... 25
d. Pengertian Pencurian dan Hewan ................................. 34
B. Jenis Pencurian dan Unsur-Unsurnya ................................ 37
x
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kejahatan dan Upaya
Penanggulangannya ........................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 44
A. Lokasi Penelitian ................................................................. 44
B. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 44
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 44
D. Analisis Data....................................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 46
A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Pencurian
Hewan ................................................................................ 46
B. Upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Berwenang Dalam
Menanggulangi Terjadinya Pencurian Hewan .................... 54
BAB V PENUTUP ............................................................................... 62
A. Kesimpulan ......................................................................... 62
B. Saran .................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 65
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini telah dinyatakan dengan
tegas dalam penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 bahwa “Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum
(rechstaat)”, tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machstaat).
Cita-cita filsafat yang telah dirumuskan para pendiri kenegaraan dalam
konsep “Indonesia adalah negara hukum”, mengandung arti bahwa dalam
hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada hukum
sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat. Dalam negara hukum
merupakan tiang utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada
kecenderungannya untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Pembicaraan mengenai
hukum selalu berkaitan dengan masalah penegakan hukum (law
enfocement) dalam pengertian luas juga merupakan penegakan keadilan.
Apabila dikonkrotkan lagi, akan terarah pada aparat penegak hukum, yaitu
mereka yang secara langsung terlibat dalam memperjuangkan penegakan
hukum dan keadilan.
2
Kepolisian sebagai salah satu penegak hukum merupakan alat negara
yang menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
Dalam rangka mengantisipasi era globalisasi laju perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam aspek kehidupan masyarakat, maka
Kepolisian Negara Republik Indonesia dituntut lebih professional. Efektif, dan
modern, Kepolosian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral
fungsi pemerintah Negara mempunyai tatanan yang sangat luas, oleh karena
fungsi kepolisian tidak hanya aspek refresif dalam kaitannya dengan proses
pidana khususnya pada tindak penyidik, tetapi mencakup pula aspek
preventif berupa tugas-tugas yang melekat pada fungsi utama administrasi
Negara mulai dari bimbingan dan pengaturan sampai dengan tindakan
kepolisian yang bersifat administrasi yang bukan kompetensi pengadilan.
Perubahan sosial yang ditimbulkan seringkali berdampak bagi
kehidupan masyarakat, di satu pihak memperlihatkan hasil yang bermanfaat
sedang di lain pihak melahirkan persoalan sosial seperti pengangguran,
gelandangan, perjudian, pembunuhan, dan kejahatan lainnya seperti
pencurian pada akhirnya dapat menimbulkan kecemasan dan keresahan
dalam masyarakat.
3
Upaya pemerintah dalam menekan laju perkembangan kejahatan
dengan segala macam cara, baik pencegahan maupun penanggulangan
yang timbul dan berkembangan dalam kehidupan masyarakat, masih saja
menemui jalan buntu bahkan dapat menyebar kemana-mana, sehingga
dapat menimbulkan akibat negative yang semakin luas dan dapat
menghambat kehidupan sosial masyarakat.
Salah satu bentuk kejahatan yang selalu meresahkan masyarakat
serta mengganggu ketentraman masyarakat adalah kejahatan pencurian
khususnya pencurian hewan ternak. Dari berbagai bentuk dan modus
operandinya terus berkembang seiring dengan perkembangan dalam
masyarakat, baik kualitas maupun kuantitasnya. Bentuknya semakin maju
sehingga masyarakat semakin resah serta menimbulkan kekhawatiran untuk
melakukan aktifitas sehari-hari. Delik pencurian diatur dalam Pasal 362
sampai dengan Pasal 367 KUHP, berdasarkan judul skripsi ini maka akan
menjadi sebuah rujukan kajian adalah dalam Pasal 363 KUHPidana.
Kabupaten Sidrap merupakan salah satu daerah di Sulawesi selatan
yang sebagian besar penduduknya hidup dengan bergantung pada aktifitas
perdagangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan
transaksi jual beli misalnya hewan ternak. Pada umumnya masyarakat di
Kabupaten Sidrap dalam menjalankan aktifitas perdagangan hewan tidak
jarang pula seringnya diresahkan dengan hilangnya hewan ternak mereka.
4
Dalam bidang perdagangan hewan ternak merupakan kegiatan vital
yang bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Sidrap, oleh karena itu
perlunya perlindungan khusus agar tercipta keamanan dan ketentraman
dalam melakukan sistem jual beli hewan ternak maupun dalam melakukan
kehidupan beternak sehingga tercipta kenyamanan dalam mengelola
ternaknya sehari-hari.
Rasa aman dan tentram merupakan dambaan setiap anggota
masyarakat, namun kenyataannya selalu muncul dan stabilitas nasional.
Dalam hal ini bahwa kejahatan adalah suatu gejala atau persoalan klasik
yang menjadi bagian hidup masyarakat, karena manusia sesuai dengan
kodratnya lahir dan memiliki perbedaan signifikan baik tipe dan karakteristik
yang berbeda, hal tersebut selalu tidak sejalan dengan apa yang di
kehendakinya oleh tuntutan masyarakat. Meski telah banyak dirumuskan
kedalam suatu undang-undang namun selalu timbul persepsi yang keliru
tentang delik yang terjadi, sehingga penerapan undang-undang ada yang
kurang tepat, sehingga dapat menggoyahkan kepastian hukum juga sangat
tidak membantu pemeliharaan, dan tentram dalam masyarakat.
Negara Indonesia sebagai Negara hukum adalah prinsip dasar yang
tidak dapat di ganggu gugat, karena supremasi hukum dengan perangkat
hukum serta aparat hukum yang ada dalam penegakan hukum di
masyarakat sangat signifikan untuk mengstimulir kasus yang menimpa
5
warga masyarakat. Sebagai realisasi hal tersebut, maka di dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara yang selanjutnya disingkat GBHN 1998 mengarahkan
supaya hukum dapat menjadikan dasar penegak hukum guna melaksanakan
tugas mereka untuk menjamin agar masyarakat dapat menikmati kepastian
hukum, memberi rasa aman dan tentram, mendorong kreatifitas dan peran
aktif masyarakat dalam pembangunan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) secara tegas melarang
dan mengancam pidana bagi setiap orang yang melakukan pencurian hewan
(Pasal 363 KUHP), oleh karena pencurian hewan termasuk kejahatan yang
berkualisifikasi dengan ancaman pidana yang sangat berat.
Pengaruh pemidanaan termasuk kejahatan pencurian dan
pemberatan adalah masalah yang tidak dapat dilepas dari berbagai faktor,
baik faktor penyebab terjadinya kejahatan maupun faktor dalam proses
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Penjatuhan pidana merupakan faktor yang sangat menentukan, oleh
karena kelemahan-kelemahan pemidanaan yang dijatuhkan tanpa
pertimbangan mengenai jenis kasus tertentu, sehingga kemungkinan
tersebut tidak mencapai sasaran sebagaimana yang diharapakan sesuai
rasa keadilan masyarakat.
6
B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang pemikiran tersebut, maka dapat
diidentifikasikan pokok permasalahan yang dibahas, adalah sebagai berikut:
1. Faktor apakah yang menyebabkan terjadinya pencurian hewan di
Kabupaten Sidrap ?
2. Upaya apakah yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam
menanggulangi terjadinya pencurian hewan di Kabupaten Sidrap ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian hewan
di Kabupaten Sidrap.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan
menanggulangi terjadinya pencurian hewan di Kabupaten Sidrap.
D. Kegunaan Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada semua pihak, terutama kepada aparat
penegak hukum yang berwenang dalam hal ini polri dalam melakukan
suatu tindakan hukum terhadap delik pancurian hewan di Kabupaten
Sidrap.
2. Sebagai bahan yang dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan
informasi untuk mengetahui delik pencurian di Kabupaten Sidrap.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian-pengertian
a. Pengertian Kriminologi
Secara etimologi, istilah kriminologi berasal dari kata “crime” dan
“logos”. Crime berarti kejahatan, sedang “logos” berarti ilmu pengetahuan
jadi secara umum kriminologi dapat ditafsirkan sebagai ilmu pengetahuan
yang mempelajari tentang kejahatan atau lebih tegasnya dapat kita maknai
sebagai sarana untuk mengetahui sebab dan akibat kejahatan (Abdulsyani,
1987 : 6).
Rusli Effendi (1978 : 9), merumuskan kriminologi adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang kejahatan itu senduri, obyeknya adalah yang
melakukan kejahatan itu sendiri. Tujuannya adalah mempelajari sebab-
sebabnya sehingga orang itu adalah jahat ataukah disebabkan karena
keadaan sosiologi maupun ekonomis.
Sementara itu Romli Atmasasmita (1981 : 11) membedakan
kriminologi dalam 2 arti, yaitu:
1. Kriminologi dalam arti sempit, ialah ilmu yang mempelajari tentang
kejahatan.
8
2. Kriminologi dalam arti luas, ialah ilmu yang mempelajari tentang
penology (perkembangan hukuman) dan metode-metode yang
berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan
dengan tindakan-tindakan yang bersifat non-punitif.
Secara tegas, menurut Romli Atmasasmita ( 1984 : 5 ), dapat
dikatakan bahwa batasan kejahatan dalam arti yuridis adalah tingkah laku
manusia yang dapat dihukum berdasarkan Hukum Pidana.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan, Soedjono
Dirjosiswono ( 1984 : 28 ) memberikan batasan tentang tujuan tertentu dari
kriminologi, yaitu:
1. Memperoleh gambaran yang lebih mendalam mengenai perilaku
manusia dari lembaga-lembaga sosial masyarakat yang
mempengaruhi kecenderungan dan penyimpangan norma-norma
hukum.
2. Mencari cara-cara yang lebih baik untuk mempergunakan
pengertian kriminologi dalam melaksanakan kebijaksanaan sosial
yang dapat mencegah atau mengurangi dan menanggulangi
kejahatan.
Beberapa sarjana memberikan defenisi kriminologi sebagai ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
9
Melalui defenisi ini, Bawengan, (1991 : 5), membagi kriminologi
menjadi kriminologi murni yang mencakup:
1. Antropologi Kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa? Apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.
2. Sosiologi Kriminil, ialah ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat. Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.
3. Psikologi Kriminil, ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut jiwanya.
4. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil, ialah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.
5. Penologi, ialah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
Di samping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa:
1. Higiene Kriminil, ialah suatu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan, misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, system jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.
2. Politik kriminil, suatu usaha penanggulangan kejahatan di mana suatu kejahatan telah terjadi. Di sini dilihat sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Apabila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja, jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.
3. Kriminolistik (Polce Scientific), ialah merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan teknik kejahatan dan pengusutan kejahatan.
10
Menurut Soedjono (1984:7), memberikan defenisi tentang kriminologi,
yaitu sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan
untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan
dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-
keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal
yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi
masyarakat terhadap keduanya.
Romli Atmasasmita (1984 : 9), merumuskan bahwa Kriminologi
adalah suatu ilmu pengetahuan yang menggunakan metode-metode ilmiah
dalam mempelajari dan menganalisa keteraturan keseragaman pola-pola
dan faktor-faktor, sebab-sebab yang berhubungan dengan kejahatan dan
penjahat, serta reaksi-reaksi sosial terhadap kedua-duanya.
Bonger (1982 : 21), mengemukakan bahwa kriminologi dalam ilmu
pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya
(Kriminoogi teoritis atau murni)”. Bonger (Topo Santoso dan Eva achjani,
2004:9) lalu membagi kriminologi menjadi kriminologi murni yang mencakup:
a. Antropologi Kriminil
Yaitu Ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis).
b. Sosiologi Kriminil
Yaitu ilmu tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.
c. Psikologi Kriminil
11
Yaitu ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat dari sudut
jiwanya.
d. Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminil
Adalah ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat saraf.
e. Penologi
Adalah ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.
Wolfgang, Savitz dan Johnston (Topo Santoso dan Eva Achjani,
2004:120, memberikan defenisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan
mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan,
keseragaman-keseragaman, pola-pola, dan faktor-faktor kausal yang
berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat
terhadap keduanya.
Adapun Ruang lingkup kriminologi mencakup tiga hal pokok yakni:
a. Proses pembuatan hukum pidana dan acara pidana (making laws).
b. Etiologi criminal, yang membahas teori-teori yang menyebabkan
terjadinya kejahatan (breaking of laws), dan
c. Reaksi terhadap pelanggaran hukum (reacting toward the breaking
of laws). Reaksi dalam hal ini bukan hanya ditunjukkan kepada
pelanggar hukum berupa tindakan represif tetapi juga reaksi
12
terhadap “calon” pelanggar hukum berupa upaya-upaya pencegahan
kejahatan (criminal prevention).
Yang dibahas dalam proses pembuatan hukum pidana (process of
making laws) adalah:
a. Defenisi kejahatan;
b. Unsur-unsur kejahatan;
c. Relativitas pengertian kejahatan;
d. Penggolongan kejahatan;
e. Statistik kejahatan.
Yang dibahas dalam etiologi (breaking laws) adalah:
a. Aliran-aliran (mazhab-mazhab) kriminologi;
b. Teori-teori kriminologi; dan
c. Berbagai perspektif kriminologi.
Yang dibahas dalam bagian ketiga adalah perlakuan terhadap
pelanggar-pelanggar hukum (reacting toward the breaking laws) antara lain:
a. Teori-teori penghukuman;
b. Upaya-upaya penanggulangan/pencegahan kejahatan, baik berupa
tindakan pre-entif, preventif, represif, dan rehabilitatif.
Soedjono D (1983:1), merumuskan bahwa:
“Kriminologi adalah sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan
dan akibatnya, mempelajari cara-cara memperbaiki kejahatan dan cara-cara
mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan”.
13
Abdulsyani (1987:9), memberikan rumusan kriminologi bahwa
kriminologi dianggap bagian dari science yang dengan penelitian empiris
berusaha memberi gambaran tentang fakta-fakta kriminologi dipandangnya
sebagia suatu istilah global untuk suatu lapangan ilmu pengetahuan yang
demikian tidak mungkin dikuasai oleh seorang ahli saja.
Constan (Abdulsyani, 1987:10), mengemukakan bahwa “Kriminologi
adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menentukan faktor-faktor yang
menjadi sebab musabab terjadinya suatu kejahatan dan penjahat.
Berdasarkan uraian-uraian yang dikemukakan, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa sasaran utama kriminologi adalah menyangkut
kejahatan dengan segala aspeknya yang ditunjang oleh berbagai ilmu
lainnya yang mempelajari kejahatan atau penjahat, penampilannya, sebab
dan akibat serta penanggulangannya sebagai ilmu teoritis sekaligus
mengadakan usaha-usaha pencegahan serta penanggulangan atau
pemberantasan terhadap hal-hal yang mempengaruhi terjadinya kejahatan
dan sebab-sebab orang melakukan kejahatan.
14
b. Pengertian Kejahatan
Kata kejahatan menurut pengertian orang banyak sehari-hari adalah
tingkah laku atau perbuatan yang jahat yang tiap-tiap orang dapat
merasakannya, bahwa itu jahat, seperti pemerasan, pencurian, penadahan
dan lain sebagainya yang dilakukan oleh manusia. Sebagaimana yang
dikemukakan Rusli Effendy (1978:1).
Kejahatan adalah delik hukum (Rechts delicten) yaitu perbuatan-
perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai
peristiwa pidana, tetapi dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan tata hukum.
Terdapat berbagai pendapat mengenai kejahatan. Menurut
B.Simandjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang
merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan
kegoncangan dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan:
Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan
merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu
masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan
menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan
sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa unsur penting dari
kejahatan adalah:
15
1. Perbuatan yang anti sosial
2. Merugikan dan menimbulkan ketidaktenangan masyarakat
3. Bertentangan dengan moral masyarakat.
Dari sudut pandang sosiologi. Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan
disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama,
yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi
dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama
terdapat terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi
organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi
rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan
organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Maka, angka-
angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan
kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dan
proses-proses. Misalnya, gerak sosial. Persaingan serta pertentangan
kebudayaan, ideologi politik, adama, ekonomi, dan seterusnya.
Kedua, para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses
yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial
psikologis. Beberapa orang ahli menekankan pada beberapa bentuk proses
seperti imitasi, pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, kompensasi,
identifikasi, konsepsi diri pribadi ( self conception ) dan kekecewaan yang
agresif sebagai proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi
16
penjahat. Sehubungan dengan pendekatan sosiologis tersebut di atas dapat
dikemukakan teori-teori sosiologis tentang perilaku penjahat. Salah-satu di
antara sekian teori-teori tarsebut adalah dari E.H Sutherland yang
mengatakan bahwa seseorang berperilaku jahat dengan cara yang sama
dengan perilaku yang tidak jahat. Artinya, perilaku jahat dipelajari dalam
interaksi dengan orang-orang lain, dan orang tersebut mendapatkan perilaku
jahat sebagai hasil interaksi yang dilakukannya dengan orang-orang yang
berperilaku dengan kecenduringan melawan norma- norma hukum yang ada.
Sutherland menyebutnya sebagai proses asosiasi yang diferensial
(differential association), karena apa yang dipelajari dalam proses tersebut
sebagai akibat interaksi dengan pola-pola perilaku yang jahat, berbeda
dengan apa yang dipelajari dalam proses interaksi dengan pola-pola perilaku
yang tidak suka pada kejahatan. Apabila seseorang menjadi jahat, maka hal
itu disebabkan orang tadi mengadakan kontak dengan pola-pola perilaku
jahat dan juga karena dia mengasingkan diri terhadap pola-pola perilaku
yang tidak menyukai kejahatan tersebut.
Selanjutnya dikatakan bahwa bagian pokok dari pola-pola perilaku
jahat tadi dipelajari dalam kelompok-kelompok kecil yang bersifat intim. Alat-
alat komunikasi tertentu seperti buku, surat kabar, film, televise, radio,
memberikan pengaruh-pengaruh tertentu, yaitu dalam memberikan sugesti
kepada orang perorangan untuk menerima atau menolak pola-pola perilaku
jahat.
17
Untuk mengatasi masalah kejahatan tadi, kecuali tindakan preventif,
dapat pula diadakan tindakan-tindakan represif antara lain dengan teknik
rehabilitasi. Menurut Cressey ada dua konsepsi mengenai mengenai taknik
rahabilitasi rahabilitasi tersebut. Yang pertama menciptakan sistem dan
program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat
tersebut. Sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya
hukuman bersyarat, hukuman kurungan serta hukuman penjara. Teknuk
kedua lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubag menjadi
orang biasa ( yang tidak jahat ). Dalam hal ini, maka selama menjalani
hukuman bersyarat, diusahakan mencari pekerjaan bagi si terhukum dan
diberikan konsultasi psikologis. Kepada para narapidana di lembaga-
lembaga pemasyarakatan diberikan pendidikan serta latihan-latihan untuk
menguasai bidang-bidang tertentu, supaya kelak setelah masa hukuman
selesai punya modal untuk mencari pekerjaan di masyarakat.
Suatu gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah apa yang
disebut sebagai white-collar crime, suatu gejala yang timbul pada abad
modern ini. Banyak ahli beranggapan, bahwa tipe kejahatan ini merupakan
akses dari proses perkembangan ekonomi yang terlalu cepat, dan yang
menekankan pada aspek material-finansial belaka. Karena itu, pada mulanya
gejala ini disebut business crime atau economic criminality. Memang, white-
collar crime merupakan kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha atau para
pejabat di dalam menjalankan peranan fungsinya. Keadaan keuangan yang
18
relatif kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang oleh hukum dan masyarakat umum dikualifikasikan sebagai kejahatan.
Golongan tersebut menganggap dirinya kebal terhadap hukum dan sarana-
sarana pengadilan sosial lainnya, karena kekuasaan dan keuangan yang
dimilikinya dengan kuat. Sukar sekali untuk memidana mereka, sehingga
dengan tepat dikatakan bahwa kekuatan penjahat whitw-collar terletak pada
kelemahan korban-korbannya.
Masalah di atas memang terkenal rumit karena menyangkut paling
sedikit beberapa aspek sebagai berikut :
a. Siapakah lapisan tertinggi masyarakat yang karena profesi dan
kedudukannya mempunyai peluang untuk melakukan kejahatan tersebut.
b. Apakah perbuatan serta gejala-gejala yang dapat dikualifikasikan sebagai
whitw-collar crime.
c. Faktor-faktor sosial dan individual apa yang menyebabkan orang berbuat
demikian.
d. Bagaimanakah tindakan-tindakan pencegahannya melalui sarana-sarana
pengendalian sosial tertentu.
Sebenarnya faktor-faktor individual tak akan mungkin dipisahkan dari
faktor-faktor sosial, walaupun dapat dibedakan. Namun demikian, faktor-
faktor ini akan dibicarakan tersendiri, semata-mata dari segi praktisinya.
19
Penelitian-penelitian terhadap faktor ini belum banyak dilakukan, karena
sulitnya memperoleh data dasar tentang white-collar crime tersebut.
Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan di beberapa negara Eropa
menunjukkan, bahwa dorongan utama adalah masalah kebutuhan. Hal ini
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari faktor sosial. Mungkin dorongan
tersebut sama saja dengan dorongan yang ada pada stratum rendah, yaitu
golongan blue-collar. Namun ada suatu perbedaan yaitu bahwa dorongan
pada golongan lapisan tertinggi terletak pada kemantapan untuk memenuhi
keinginan-keinginannya. Lagipula kebutuhan mereka terang lebih besar
daripada kebutuhan golongan strata rendah. Juga kedudukan serta peranan
mereka memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
Mengenai latar belakang sosialnya, maka mereka berasal dari
keluarga yang pada umumnya tidak mengalami gangguan. Walaupun
kadang-kadang ayah tidak melakukan peranannya sebagai seorang ayah
yang baik. Akan tetapi sejak kecil, dia tidak dididik untuk dapat
mengendalikan keinginan-keinginannya dalam memperoleh apa yang
dibutuhkan. Setelah semakin dewasa, keinginan-keinginan tersebut
bertambah banyak yang mau dipenuhi, dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sangat
kecil. Kecerdasannya cukup tinggi, orangnya praktis, akan tetapi tidak
mempunyai prinsip-prinsip moral yang kuat (kesusilaan yang kuat).
20
Faktor-faktor individual tersebut di atas dapat saja dimiliki oleh tipe
penjahat lain. Akan tetapi yang justru membedakannya adalah kedudukan
dan peranan yang melekat padanya. Peluang-peluang yang dapat
disalahgunakan justru tersedia karena kedudukannya tersebut.
Suatu studi yang pernah dilakukan di Yugoslavia misalnya
memberikan petunjuk bahwa timbulnya white-collar crime karena situasi
sosial memberikan peluang. Situasi tersebut justru dimulai oleh golongan
yang seyogyanya memberikan contoh teladan kepada masyarakat luas. Di
dalam situasi demikian terjadilah kepudaran pada hukum yang berlaku,
sehingga timbul suasana yang penuh dengan peluang-peluang dan
kesempatan-kesempatan. Situasi tersebut menyebabkan warga masyarakat
mulai tidak mempercayai nilai dan norma-norma hukum yang berlaku.
Setiap orang yang melakukan kejahatan akan diberi sanksi pidana
yang telah diatur dalam Buku kesatu KUHP yang dinyatakan didalamnya
sebagai kejahatan. Hal ini dipertegas oleh J.E Sahetapy (1989:11)
kejahatan, sebagaimana terdapat dalam perundang-undangan adalah setiap
perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum publik untuk
melindungi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh Negara.
Menurut A. S. Alam (2002:1) defenisi kejahatan dapat dilihat dari dua
sudut pandang, yaitu:
21
a. Dari sudut pandang hukum Kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum pidana, bagaimanapun jeleknya suatu perbuatan, sepanjang perbuatan itu tidak dilarang di dalam perundang-undangan pidana, perbuatan itu telah dianggap perbuatan yang bukan kejahatan. Contohnya: perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan penadahan. Dilihat dari defenisi kejahatan menurut hukum, perbuatan itu bukan kejahatan, karena dalam perundang-undangan pidana (KUHP), meskipun perbuatan itu sangat jelek bila dilihat dari sudut pandang agama, adat istiadat dan lain-lainnya.
b. Dari sudut pandang masyarakat Kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar norma-norma yang masih hidup di dalam masyarakat. Contoh: bila seorang meminum minuman keras sampai mabuk, maka perbuatan itu merupakan kejahatan (dosa) dari sudut pandang hukum.
Van Bemmelen (Roeslan Saleh 1983 : 17) merumuskan kejahatan:
Tiap kelakuan yang bersifat merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencela dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
Frank Tannembaum (J.E Sahetapy, 1979:11) menyatakan, crime is
eternal as society, artinya dimana ada manusia disana pasti ada kejahatan.
Lebih lanjut pengertian kejahatan dapat dilihat dari pembagian
dibawah ini sebagai berikut:
a. Pengertian dari sudut pandang hukum
Secara hukum kejahatan menurut pengertian sehari-hari adalah
tingkah laku atau perbuatan jahat yang tiap-tiap orang dapat
22
merasakannya bahwa perbuatan itu adalah jahat, seperti pencurian,
penadahan, dan lain-lain yang dilakukan manusia.
Menurut A. S. Alam (2002:310), menyebutkan pengertian kejahatan
dari sudut pandang hukum adalah sebagai berikut:
Pandangan dari hukum adalah suatu perbuatan itu telah diatur oleh
suatu peraturan perundang-undangan atau satu aturan pidana.
b. Pengertian dari sudut pandang sosiologi
Sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-
kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan
perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi dan
proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama
terdapat hubungan antara variasi angka dengan variasi organisai-
organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Maka angka
kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan
kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-
kondisi dan proses-proses. Misalnya gerakan sosial, persaingan
serta pertentangan kebudayaan, sosiologi politik, agama, ekonomi
dan seterusnya.
Kedua para sosiolog berusaha untuk menentukan proses-proses
yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat
sosial psikologis. Beberapa ahli menekankan pada beberapa bentuk
proses seperti imitasi, konsepsi, pelaksanaan peranan sosial,
23
asosiasi differentasial, konpensasi, isentifikasi, konsepsi diri pribadi
dan kekecewaan yang agresif sebagai proses-proses yang
menyebabkan seseorang menjadi penjahat.
Untuk lebih mengetahui pengertian kejahatan dapat dilihat dari
beberapa pakar:
R. Soesilo (1985:19) mengemukakan pengertian kejahatan sebagai
berikut:
Kejahatan sebagai suatu perbuatan yang merumuskan kejahatan hukum, jika perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum kalangan rakyat, terlepas dari pada hal apakah asas-asas tersebut dicantumkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Gerson W. Bawengan (Abdul Wahid dan Muhammad Irfan
2001:27) membagi tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya
masing-masing yaitu:
a. Pengertian secara praktis Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma-norma yang berasal dari adat istiadat yang mendapat reaksi baik berupa hukuman maupun pengecualian.
b. Pengertian secara religious Kejahatan dalam arti religious ini mengidentifikasikan arti kejahatan dengan dosa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa.
c. Pengertian secara yuridis Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari buku kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat menjumpai hukum pidana khusus, hukum
24
pidana militer, fiscal, ekonomi, atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.
Hal itu sejalan dengan A. Qirom Syamsuddin dan E. Sumaryono
(Abdul Wahid dan Muhammad Irfan 2001:28) yang memberikan
penjelasan mengenai kejahatan sebagai berikut:
a. Segi Sosiologi Kejahatan yang ditekankan pada ciri-ciri khas yang dapat dirasakan dan diketahui oleh masyarakat tertentu. Masalahnya terletak pada perbuatan moral yang dipandang secara objektif, yaitu jika dari sudut masyarakat di mana masyarakat dirugikan.
b. Segi Psikologi Kejahatan merupakan manifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
c. Segi Yuridis Kejahatan yang dinyatakan secara formil dalam hukum pidana.
Jadi semua perbuatan manusia yang memenuhi perumusan ketentuan
hukum pidana secara definite dinyatakan sebagai perbuatan kejahatan.
Menurut Hari Saheroji (Abdul wahid dan Muhammad Irfan 2001:28)
kejahatan diartikan sebagai berikut:
a. Perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau Undang-Undang pada suatu waktu tertentu.
b. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja. c. Yang perbuatan mana diancam dengan hukuman/suatu
perbuatan anti sosial yang sengaja, merugikan serta menggangu ketertiban umum, perbuatan mana dapat dihukum oleh Negara.
Beberapa defenisi kejahatan diatas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa unsur-unsur dari kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan dengan
25
sengaja, perbuatan yang merugikan orang lain, perbuatan yang
menimbulkan kejengkelan pada orang lain (masyarakat)
c. Pengertian Delik dan Unsur-Unsurnya
Kata delik berasal dari bahasa latin “delictum” atau “delicte” yang
dalam bahasa Belanda dengan istilah “strafbaar feit”. Kata strafbaar feit oleh
para pengarang di Indonesia menggunakan sebagai istilah sesuai dengan
sudut pandangnya masing-masing (Andi.Zainal.Abidin, 1983:145).
Moeljatno (Adami Chazawi, 2002:72) mengatakan bahwa suatu
strafbaarfeit itu sebenarnya adalah suatu kelakuan manusia yang diancam
pidana oleh peraturan perundang-undangan.
Utrecht (1990 : 252) memakai istilah peristiwa pidana yang
rumusannya sebagai berikut : Suatu peristiwa hukum (rechts Feit) yaitu suatu
peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum,
alasan Beliau sehingga lebih cenderung menggunakan istilah peristiwa
pidana karena peristiwa itu meliputi suatu perbuatan atau suatu melalaikan
maupun akibat (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau
melalaikan itu).
Simons (Bambang Poernomo,1973:65), memakai istilah strafbaarfeit
menyatakan bahwa: Strafbaarfeit (terjemahan harafiah: peristiwa pidana)
26
ialah perbuatan yang melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan
(schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang
dimaksud adalah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja)
dan culpa late (alpa dan lalai).
Vos (Andi Zainal Abidin Farid, 1995 : 225) memberikan defenisi
yang singkat tentang strafbaarfeit bahwa : Strafbaarfeit ialah kelakuan atau
tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan
pidana.
Moeljatno ( 1982 : 54 ) lebih suka memakai istilah perbuatan pidana
yang dirumuskan sebagai berikut : Perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu hukum, karena larangan maka disertai ancaman yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.
Andi Zainal Abidin Farid ( 1981 : 145 ), lebih senang memakai
perkataan delik, yang berasal dari bahasa latin delictum dan delicta karena:
1. Bersifat Universal, semua orang di dunia ini mengenalnya;
2. Bersifat Ekonomis, karena singkat;
3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi perbuatannya);
4. Luas pengertiannya sehingga meliputi orang yang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi pidana Indonesia.
27
Berikut adalah beberapa pengertian tindak pidana dalam arti
strafbaarfeit menurut pendapat ahli:
Pompe (Bambang Purnomo, 1982) membagi atas dua pengertian
yaitu:
1. Defenisi menurut teori memberikan pengertian “strafbaarfeit” adalah
suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si
pelanggar dan ancaman dengan pidana untuk mempertahankan tata
hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum
2. Defenisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian ”strafbaarfeit”
adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan
dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum
Simon (P.A.F Lamintang, 1997:18)
“Strafbaarfeit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah
dilakukan dengan sengaja ataupun dilakukan dengan tidak sengaja oleh
seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum”
Van Hammel (P.A.F Lamintang, 1997:18)
“Strafbaarfeit adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak
orang lain.”
Istilah strafbaarfeit juga diterjemahkan oleh R. Soesilo (1984:6)
sebagai berikut:
“Tindak pidana sebagai istilah delik atau peristiwa pidana atau perbuatan
yang dapat dihukum yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan
oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang
yang melakukan atau mengabaikan akan diancam dengan pidana.”
28
Sedangkan Bambang Purnomo (1982:90) menyatakan bahwa:
“Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUUHPid) dikenall
dengan istilah strafbaarfeit. Kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilan peristiwa pidana tanpa mempersoalkan
perbedaan istilah tersebut”.
Lebih lanjut, Bambang Poernomo menjelaskan bahwa istilah delik,
strafbaarfeit, peristiwa pidana dan tindak pidana serta perbuatan pidana
mempunyai pengertian yang sama yaitu suatu perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum dan larangan tersebut disertai dengan ancaman dan sanksi
berupa pidana yang melanggar larangan tersebut.
Vos (Bambang Poernomo, 1982:90) terlebih dahulu mengemukakan
arti delik sebagai “Tatabestandnassigheit” dan delik sebagai “Wasenschau”.
Makna “Tatabestandnassigheit” merupakan kelakuan yang yang mencocoki
lukisan dan ketentuan yang dirumuskan dalam undang-undang yang
bersangkutan maka disitu telah ada delik. Sedangkan makna “Wasenschau”
merupakan kelakuan yang mencocoki ketentuan yang merupakan
dirumuskan dalam undang-undang yang bersangkutan, maka baru
merupakan delik apabila apabila kelakuan itu “dem Wesen Nach” yaitu
menurut sifatnya cocok dengan makna dari ketentuan yang dirumuskan
dalam undang-undang yang bersangkutan.
Delik menurt pengertian “Wesenchau” telah diikuti oleh para ahli
hukum pidana dan yurisprudensi Nederland dalam hubungannya dengan
ajaran sifat melawan hukum yang materil. Pengertian dan istilah Strafbaarfeit
29
menurut Vos (Bambang Purnomo,1992:91) mengatakan bahwa
strafbaarfeit adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh
peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya yang
dilarang dengan ancaman pidana”.
Di dalam mencari elemen yang terdapat pada Strafbaarfeit oleh Vos
telah ditunjuk pendapat oleh Simons (Bambang Poernomo, 1982:92) yang
menyatukan suatu Strafbaafeit adalah perbuatan yang melanggar hukum
dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dari pengertian ini dapat dikatakan strafbaarfeit
mempunyai elemen “Wederrechtinjkheid” dan “Schuld”.
Hal ini sesuai dengan pandangan dari Pompe yang menyebutkan
defenisi menurut hukum positif dan menurut teori, sedangkan bagi
Jokers menyebutkan sebagai defenisi pendek dan defenisi panjang. Bagi
Vos lebih menjurus kepada pengertian Strafbaarfeit dalam arti menurut
hukum positif atau defenisi pendek. Hal ini akan berbeda dengan Simons
yang memberikan pengertian Strafbaarfeit dalam arti menurut teori atau
defenisi yang panjang.
Adapun unsur delik menurut doktrin, terdiri dari unsur subjektif dan
unsur objektif. Leden Marpaung (2005:9) mengemukakan unsur-unsur delik
sebagai berikut:
a. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana mengatakan “tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan”
(does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus non fault
reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud disini adalah kesalahan
yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan kealpaan
(schuld).
30
b. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri perilaku yang terdiri atas:
1) Perbuatan manusia berupa:
a) Act, yakni perbuatan aktif atau posesif;
b) Omissions, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan
2) Akibat (Result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang diperintahkan oleh hukum, misalnya
nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan sebagainya.
3) Keadaan-keadaan (Circumstances)
Pada umumnya keadaan ini dibedakan antara lain:
a) keadaan pada saat perbuatan dilakukan;
b) keadaan setelah perbuatan dilakukan;
c) sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan parilaku dari hukum. Adapun sifat melawan hukum adalah
apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan
larangan atau perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah satu
unsur saja terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan dari pengadilan.
Berdasarkan dari beberapa pengertian tentang delik oleh beberapa
ahli hukum pidana, penulis mencoba memberikan pengertian bahwa delik
adalah suatu perbuatan yang melawan hak atau perbuatan yang oleh hukum
dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang bagi barang siapa yang
melakukan perbuatan tersebut oleh orang yang dapat dipertanggung
jawabkan.
31
Untuk mengetahui bahwa apakah suatu perbuatan termasuk delik
(strafbaarfeit), terlebih dahulu harus mengetahui unsur-unsur dari suatu delik.
Untuk mengetahui unsur-unsur dari sebuah delik penulis mengutip beberapa
pendapat ahli hukum tentang unsur sebuah delik yaitu:
Menurut pandangan monistis yang dikemukakan oleh Simon ( Andi
Zainal Abidin Farid, 1983 : 44-46 ) mempersatukan unsur perbuatan dan
unsur pembuatnya, yang meliputi:
a. Kemampuan bertanggung jawab.
b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/kealpaan.
c. Tidak ada alasan pemaaf.
Moeljatno ( 1982 : 32 ), syarat-syarat adanya delik adalah sebagai
berikut :
1. Adanya unsur perbuatan yaitu;
a. Dilarang oleh undang-undang yang diancam pidana.
b. Melawan hukum (tidak ada alasan pembenaran).
c. Tidak patut, menurut pandangan masyarakat, (sifat melawan
hukum materil)
2. Adanya unsur pembuatan yaitu:
32
a. Ada kesalahan.
b. Dapat dipertanggung jawabkan (tidak ada alasan pemaaf)
c. Dapat menginsafi bahwa perbuatan itu adalah keliru.
Andi Zainal Abidin Farid, (1995:235) menyebutkan unsur delik
sebagai berikut:
a. Unsur-unsur konstitutif sesuai uraian delik (bestandelan ; tatbestanmassingkeit)
b. Unsur diam-diam (kenmerk elemen)
1. Perbuatan aktif atau diam.
2. melawan hukum obyektif atau subyektif.
3.Tidak ada dasar pembenaran (rechtsvaardingingsgrond, justification).
Dengan melihat unsur delik yang dikemukakan oleh para ahli hukum,
maka penulis menarik suatu kesimpulan bahwa suatu perbuatan termasuk
delik apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Harus ada perbuatan (perbuatan manusia);
b. Harus ada perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana;
c. Harus ada bukti-bukti adanya kesengajaan atau kelalaian;
d. Dapat dipertanggung jawabkan;
e. Harus ada ancaman dalam Undang-Undang.
Menurut hukum pidana ada dua aliran atau pandangan terhadap delik
yaitu aliran monoisme dan aliran dualism. Aliran monoisme tentang delik
33
menyatukan unsur perbuatan pidana dengan pertanggungan jawaban
pidana. Aliran ini berpandangan bahwa jika ada delik di situ ada orang yang
harus dipidana. Ini berarti semua unsur delik sama dengan syarat-syarat
orang yang dijatuhi pidana.
Berikut ini pendapat para pakar mengenai unsur-unsur tindak pidana:
a. Moeljatno (Adami Chazawi, 2001:79)
Unsur tindak pidana adalah:
1) Perbuatan;
2) Yang dilarang (oleh aturan hukum);
3) Ancaman pidana (bagi pelanggarnya).
b. Jonkers (Adami Chazawi, 2001:81)
Unsur tindak pidana adalah:
1) Perbuatan (yang);
2) Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
3) Kesalahan.
c. Vos (Adami Chazawi, 2001:80)
Unsur tindak pidana adalah:
1) Kelakuan manusia;
2) Diancam dengan pidana;
Dalam peraturan perundang-undangan.
Lain halnya dengan aliran dualisme yang berpandangan bahwa dalam
suatu delik haruslah dipisahkan antara perbuatan dan pembuat (feit dan
dader) yang masing-masing mempunyai unsur-unsur tersendiri. Unsur-unsur
yang masuk perbuatan mencocoki rumusan delik, melawan hukum (tak ada
34
alasan pembenar), sedangkan unsur pembuat ialah kesalahan (dolus atau
culpa) dan kemampuan bertanggung jawab (tidak ada alasan pemaaf). Akan
tetapi kedua aliran ini tidaklah terpisah secara prinsipil melainkan hanya
bersifat teknis saja. Tujuannya ialah untuk menggampangkan bagi hakim
dalam menjatuhkan pidana. Pemisahan itu diadakan pada waktu menyelidiki
atau tidaknya delik guna mensistimatisir tumpukan syarat-syarat pemidanaan
yang rumit.
d. Pengertian Pencurian dan Hewan.
a. Pengertian pencurian
Untuk lebih memudahkan memberikan pengertian tentang
pencurian maka terlebih dahulu penulis menguraikan secara etimologi,
pencurian berasal dari kata curi yang berawalan pen dan berakhiranan.
Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan properti
milik orang lain secara tidak sah tanpa seizing pemilik. Kata ini juga
digunakan sebagai sebutan informal untuk sejumlah kejahatan
terhapdap properti orang lain, seperti perampokan rumah, penggelapan,
larseni, penjarahan, perampokan, pencurian toko, penipuan dan kadang
pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi tertentu pencurian dianggap sama
dengan larseni, sementara yang lain menyebutkan pencurian telah
menggantikan larseni.
35
Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam
pencurian disebut pencuri dan tindakannya disebut mencuri.
Purwadarminta ( 1984 :217 ) dalam Kamus Umum Indonesia
yaitu sembunyi-sembunyi atau diam-diam dan pencuri adalah orang
yang melakukan perbuatan pencurian. Olehnya itu pengertian pencurian
adalah orang yang mengambil barang orang lain secara sembunyi-
sembunyi atau diam-diam dengan jalan yang tidak sahatau bertentangan
dengan hukum (melawan hak).
Purwadarminta ( 1982 : 27 ) juga merumuskan bahwa : Curi
sama dengan maling, mencuri berarti mengambil milik orang lain tidak
dengan jalan yang sah.
Dalam hukum kriminal, pencurian adalah pengambilan
properti milik orang lain secara tidak sah tanpa seizin pemilik. Kata ini
juga digunakan sebagai sebutan informal untuk
sejumlah kejahatan terhadap properti orang lain, seperti perampokan
rumah,penggelapan, larseni, penjarahan, perampokan, pencurian
toko, penipuan dan kadang pertukaran kriminal. Dalam yurisdiksi
tertentu, pencurian dianggap sama dengan larseni; sementara yang lain
menyebutkan pencurian telah menggantikan larseni.
Seseorang yang melakukan tindakan atau berkarir dalam
pencurian disebut pencuri, dan tindakannya disebut mencuri.
36
Menurut Fauzal Al Anshari dan Abdurrahman Madjrie (2002:8)
menyatakan bahwa : Mencuri ialah suatu tindak kejahatan mengambil
harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi, baik dari pandangan
pemilik harta yang dicuri atau pihak lain menurut anggapan orang yang
mencurinya.
b.Pengertian hewan
Definisi hewan menurut UU di Negara ini masih terlalu sederhana
dan sempit. Pengertian hewan seperti halnya yang tertuang dalam UU
No 06 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan, bahwa hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik
yang dipelihara maupun yang hidup secara liar. Sehingga makhluk hidup
yang hidup selain di darat, seperti contohnya di air (ikan, udang, dan
lain-lain) bukan termasuk hewan.
Hewan binatang atau margasatwa atau satwa saja adalah
sekelompok organism yang diklasifikasikan dalam kerajaan Aninalia atau
Metozoa, adalah salah satu dari berbagai makhluk hidup yang terdapat
di alam semesta. Hewan dapat terdiri dari satu sel (uniseluler) ataupun
banyak sel (multiseluler).
Para ilmuan mengklasifikasikan hewan kepada dua kelompok
besar, yaitu hewan bertulang belakang dan hewan tanpa tulang
belakang.
37
1. Hewan yang bertulang belakang disebut Vertebrata
2. Hewan tanpa tulang belakang disebut Invertebrata atau
Avertebrata.
Hewan juga diklasifikasikan menurut makanan mereka.
1. Hewan yang memakan daging dikenal sebagai hewan
karnivora.
Contoh: anjing, kucing, harimau.
2. Hewan yang memakan tumbuhan dikenal sebagai hewan
herbivora.
Contoh: kambing, kuda.
3. Hewan yang memakan daging dan tumbuhan dikenal sebagai
hewan omnivora.
4. Hewan yang memakan serangga dikenal sebagai hewan
insektivora.
B. Jenis Pencurian dan Unsur-Unsurnya
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 362 KUHP unsur-unsur
pencurian adalah sebagai berikut :
1. Tindakan yang dilakukan adalah “Mengambil” 2. Yang diambil adalah “Barang”
38
3. Status barang itu “seluruhnya atau sebagian milik orang lain”
4. Tujuan perbuatan itu adalah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.
Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHP suatu perbuatan baru dapat
dikatakan mencuri apabila maksud untuk memiliki sebagian atau seluruhnya
kepunyaan orang lain tersebut harus ada sejak semula dan harus dibarengi
dengan perbuatan mengambil. Seseorang yang menerima titipan untuk
disampaikan kepada orang lain di mana niat untuk memiliki barang tersebut
tidak ada sejak semula namun ketika barang tersebut sudah ada di
tangannya muncul niat untuk memiliki sehingga barang tersebut tidak
disampaikan kepada orang yang dimaksud untuk barang tersebut, hal
tersebut tidak dapat dikatakan mencuri karena niat/ maksud untuk memiliki
barang tersebut muncul setelah barang berada di tangannya sehingga tidak
dapat dikenakan Pasal 362 KUHP, tetapi dapat dikenakan atau dituntut
dengan perkara penggelapan (Pasal 372 KUHP).
Pencurian merupakan suatu kejahatan, oleh pidana Indonesia
diancam dengan hukuman bagi barang siapa yang melakukannya. Berdasar
pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) pencurian dirumuskan
dalam Pasal 362-367 KUHP. Dan adapun jenis pencurian berdasarkan
KUHPidana adalah sebagai berikut :
1. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHPidana) 2. Pencurian dengan pemberatan ((Pasal 363 KUHPidana) 3. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana) 4. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHPidana)
39
5. Pencurian dengan penjatuhan pencabutan hak (Pasal 366 KUHPidana) 6. Pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHPidana)
Untuk lebih jelasnya, penulis menguraikan pasal demi pasal sebagai
berikut :
Ad.1. Arti beberapa istilah yang dipakai dalam Kitab Undang-Undang (Pasal 101 KUHPidana) Yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi.
Ad.2. Pencurian biasa (Pasal 362 KUHPidana), berbunyi : “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun, atau pidana denda paling banyak sebanyak Sembilan ratus rupiah”.
Ad.3. Pencurian dengan pemberatan atau pencurian berkualifikasi (Pasal
363 KUHPidana), berbunyi : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
Ke-1 Pencurian ternak; Ke-2 Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjur,
gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, hura-hura, pemberontakan atau bahaya perang;
Ke-3 Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
Ke-4 Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
Ke-5 Pencurian yang untuk masuk ke tempat kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam Butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Ad.4. Pencurian ringan (Pasal 364 KUHPidana), berbunyi :
40
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan Pasal 363 Butir 4, begitu pula perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 Butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dua puluh lima ribu rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.
Ad.5. Pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHPidana), berbunyi :
a. Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
b. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: Ke-1 Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; Ke-2 Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke-3 Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu; Ke-4 Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
c. Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidan penjara paling lama lima belas tahun.
d. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No.1 dan 3.
Ad.6. Pencurian dengan penjatuhan pencabutan hak (Pasal 366
KUHPidana), berbunyi : “Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 362, 363 dan 365 dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan Pasal 35 No.1-4”.
Ad.7. Pencurian dalam kalangan keluarga (Pasal 367 KUHPidana),
berbunyi :
41
(1) Jika perbuatan atau pembantu dari salah satu kajahatan dalam hal ini adalah suami (isteri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap perbuatan atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan padanya.
(2) Jika dia adalah suami (isteri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
C. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kejahatan dan Upaya
Pananggulangannya
Menurut Kartini Kartono (2006 : 109) mengemukakan bahwa factor
penyebab terjadinya kejahatan pada umumnya dibagi dua yaitu factor intern
dan factor ekstern.
a. Faktor Intern
Yang dimaksudkan adalah pendorong terjadinya kejahatan yang
berasal dari dalam diri setiap pelaku tindak pidana.
Yang dimaksud dalam factor ini antara lain :
- Faktor kepribadian
- Factor intelegansi (IQ)
- Factor usia
b. Faktor Ekstern
42
Yang dimaksudkan adalah factor pendorong terjadinya kejahatan
yang bersumber dari luar sisi seseorang pelaku atau biasa disebut juga
factor lingkungan, yaitu :
- Faktor lingkungan keluarga
- Faktor lingkungan sosial masyarakat
- Faktor kondisi ekonomi
Upaya penanggulangan kejahatan mencakup upaya yang bersifat
preventif dan usaha yang bersifat refresif, antara lain :
1. Upaya Preventif.
Upaya preventif dimaksud sebagai upaya untuk mengadakan
perubahan yang bersifat positif terhadap kemungkinan terjadi
gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan
keadilan.
Seperti yang telah dikemukakan bahwa usaha pencegahan
adalah lebih baik dari pada usaha penanggulangan kejahatan. Hal ini
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana menurut
Ninik Widiyanti (1987 : 154) mengemukakan bahwa :
a. Upaya pencegahan tidak selalu memerlukan suatu organisasi yang seperti halnya pada upaya penindakan dan pembinaan,
b. Upaya pencegahan lebih bersifat ekonomis, dalam arti bahwa untuk melayani orang yang lebih besar jumlahnya tidak diperlukan banyak tenaga dan biaya seperti pada upaya regresif dan rehabilitasi menurut perbandingan,
c. Upaya pencegahan dapat dilakukan secara perorangan dan tidak selalu memerlukan keahlian seperti pada penindakan pembinaan.
43
d. Upaya pencegahan dapat mempererat rasa persatuan, kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesame anggota masyarakat.
2 . Upaya Refresif
Upaya refresif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang
pernah mengalami gangguan, dengan kata lain upaya
penanggulangannya yang berwujud penindakan terhadap warga
masyarakat dan upaya pembinaan terhadap para pelaku kejahatan
agar tidak mengulangi kejahatan yang telah dilakukannya atau tidak
melakukan kejahatan lainnya.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sidrap, dengan
alasan bahwa kejahatan pencurian hewan di Kabupaten ini sering kali terjadi
dan cukup menonjol sehingga cukup mudah dalam pengambilan data di
Kabupaten Sidrap.
B. Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis dan data yang dibutuhkan dalam rangka penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
didapatkan dari hasil kunjungan ke lokasi penelitian yaitu Polres Kabupaten
Sidrap, Pelaku dan Staf Lembaga permasyarakatan, sedangkan data
sekunder adalah data yang didapatkan dari hasil pembacaan sejumlah
literatur yang relevan.
C. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. Untuk data primer pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara
langsung atau Tanya jawab dengan beberapa pihak yang dianggap
45
berkompeten dalam hal ini pelaku pencurian hewan, pihak lembaga
pemasyarakatan dan pihak kepolisian.
2. Untuk data sekunder pengumpulan data dilakukan dengan cara
penelusuran langsung dari beberapa literatur dan dokumen-dokumen
yang dianggap relevan dalam topik kajian ini.
D. Analisis Data
Dalam analisis data yang terkumpul baik data yang diperoleh dari
studi kepustakaan maupun data lapangan dianalisis Kualitatif kemudian
disajikan secara deskriptif yaitu menggambarkan fakta-fakta tentang factor
terjadinya delik pencurian hewan di Kabupaten Sidrap dan upaya
penanggulangannya, adapun data kuantitatif mengenai tingkat
perkembangan delik pencurian hewan di Kabupaten Sidrap sejak tahun
2005 hingga tahun 2009.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Pencurian Hewan.
Adapun informasi dari pihak Kepolisian Resort Sidrap bahwa yang
menyebabkan terjadinya pencurian khususnya pencurian hewan yang terjadi di
Kabupaten Sidrap yakni :
Faktor lingkungan,
Faktor agama,
Faktor ekonomi, dan
Faktor pendidikan.
Penulis memaparkan faktor yang menyebabkan terjadinya pencurian yang
khususnya pencurian hewan yang terjadi di Kabupaten Sidrap yang diantaranya
disebabkan oleh :
1. Faktor lingkungan yang buruk,
2. Faktor agama,
3. Faktor ekonomi yang lemah, dan
4. Faktor pendidikan rendah.
47
1. Faktor Lingkungan yang buruk
Seperti yang telah penulis kemukakan bahwa seseorang menjadi jahat
tidak terlepas dari pengaruh lingkungan dimana mereka berada. Pengertian
dalam arti sempit maksudnya hanya terbatas baik dalam lingkungan keluarga
maupun dalam lingkungan pergaulan didalam masyarakat dimana seseorang
bertempat tinggal.
Lingkungan dapat mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang.
Dalam keadaan keluarga yang tidak terlalu menguntungkan bagi diri seseorang
dapat menyebabkan dirinya akan mencari tempat diluar lingkungan keluarga
seperti dalam pergaulan dengan teman-temannya. Jika pergaulan yang
dimasukinya kurang sehat, maka terbentuk pribadi orang tersebut yang rapuh
serta tidak tahan menghadapi tantangan hidup didalam masyarakat.
Sehubungan dengan itu, maka untuk mengetahui tentang tingkah laku
jahat yang dilakukan oleh seseorang haruslah memperhatikan keadaan
lingkungan dimana ia berada.
Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa pengaruh
lingkungan dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat dapat
mempengaruhi seseorang untuk melakukan perbuatan jahat, seperti melakukan
kejahatan pencurian ternak yang banyak terdapat di pedesaan.
48
Sektor peternakan di Kabupaten Sidenreng Rappang mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut khususnya peternakan ayam.
Hal ini dimungkinkan karena pakan ternak ayam itu dedak sangat mudah
diperoleh dari hasil penggilingan padi. Banyaknya industri penggilingan padi
yang beroperasi di Kabupaten Sidrap merupakan modal utama dalam
pengembangan sektor peternakan.
Jenis ternak yang dikembangkan saat ini di Kabupaten Sidenreng
Rappang dibagi dalam dua kelompok ternak besar (sapi, kerbau, kambing atau
domba, dan kuda) dan ternak kecil (unggas).
Kabupaten Sidrap merupakan salah satu daerah di Sulawesi Selatan
yang sebagian besar penduduknya hidup dengan bergantung pada aktifitas
perdagangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan melakukan
transaksi jual beli misalnya hewan ternak. Pada umumnya masyarakat di
Kabupaten Sidrap dalam menjalankan aktifitas perdagangan hewan sering pula
diresahkan dengan hilangnya hewan ternak mereka.
Selanjutnya penulis mengemukakan faktor-faktor penyebab pencurian
hewan yang disebabkan kesalahan pemilik hewan tersebut. Berdasarkan hasil
pengamatan penulis selama melakukan penelitian di Kabupaten Sidrap terlihat
ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemilik hewan baik secara sadar
maupun tanpa disadarinya, dapat memberikan peluang terjadinya pencurian
hewan sebagai berikut :
49
a. Masih banyak pemilik hewan yang tidak mendaftarkan hewan untuk
identifikasi oleh pihak peternakan. Hal ini disebabkan karena belum
disadari kegunaannya, selain itu karena mereka tidak mau mengeluarkan
uang sebagai kas Desa yang terlalu banyak prosedurnya.
b. Pengawasan pada tempat pemotongan hewan kurang ketat, sehingga
masih ada hewan tidak memiliki identitas lolos dari periksaan tempat itu,
karena hal ini kurang terkoordinir dengan baik atau ada kerja sama
dengan petugas setempat, tentu saja hal ini dapat memungkinkan adanya
hewan hasil curian yang lolos dari tempat pemotongan.
c. Terlihat masih ada pemilik hewan yang belum menyadari kegunaan
kandang khusus untuk tempat hewan, agar hewan mereka tidak lagi
berkeliaran dan mudah diawasi serta mudah diberi makanan sehingga
tidak lagi berkeliaran dijalan.
d. masih terjadi penjualan hewan yang tidak sesuai dengan aturan yang
sebenarnya, yaitu tanpa memakai surat hewan atau surat tanda bukti
lainnya, sehingga hal ini dapat dipergunakan oleh pihak tertentu secara
tidak sah.
Hal-hal yang telah dikemukakan dapat mempengaruhi terjadinya
pencurian ternak atau setidak-tidaknya memberikan peluang bagi para pelaku
kejahatan pencurian hewan tersebut. Faktor lingkungan menurut penulis sangat
mempengaruhi terjadinya pencurian hewan di Kabupaten Sidrap karena
50
manusia sebagai subjek si pelaku yang dilahirkan dan dibesarkan di tengah-
tengah lingkungan pergaulan keluarga maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Hasil wawancara penulis dengan salah seorang pelaku pencurian hewan,
bahwa pelaku pernah dihukum karena pernah mencuri dua ekor sapi, ia
mengatakan bahwa perbuatan tersebut dilakukan bersama-sama dengan
temannya karena tekanan ekonomi.
Selanjutnya penulis berpendapat bahwa apabila teman bergaul sering
melakukan perbuatan jahat, maka tanpa disadari seseorang dapat dipengaruhi
karena lingkungan pergaulan.
2. Faktor Agama
Kejahatan dapat terjadi disebabkan oleh berkurangnya atau lunturnya
nilai-nilai agama yang tertanam dalam dirinya. Norma-norma yang terkandung
dalam agama (semua agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan)
mempunyai nilai-nilai yang tinggi dalam hidup manusia, sebab norma-norma
tersebut merupakan norma Ke-Tuhanan dan segala sesuatu yang digariskan
oleh agama itu senantiasa baik dalam membimbing manusia kearah jalan yang
benar.
Norma-norma dalam agama menunjukkan hal-hal yang dilarang dan
diharuskan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga manusia benar-
benar mendalami dan menghayati tentang isi ajaran agamanya dan senantiasa
51
menjadi manusia yang baik pula yakni tidak akan berbuat hal-hal yang
merugikan pihak lain, akan tetapi kalau sebaliknya nilai-nilai agama telah
berkurang atau luntur bahkan hilang sama sekali dalam diri seseorang maka
kemungkinan orang tersebut gampang terseret pada perbuatan-perbuatan yang
menyimpang.
Jika ajaran agama ini tidak berfungsi bagi manusia, artinya hanya
sekedar lambang saja, maka ia akan tidak berarti sama sekali bahkan akan
mudah sekali untuk melakukan hal-hal yang buruk karena sosial kontrolnya
tidak kuat dan itulah sebabnya di Lembaga Pemasyarakatan pada waktu
tertentu diberi ceramah agama dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Hal
ini dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan para terpidana agar kembali
kejalan yang benar sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing agar dapat
menjadi anggota masyarakat yang baik dan berguna artinya tidak akan
mengulangi lagi perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma yang ada,
khususnya perbuatan yang pernah mereka lakukan.
3. Faktor Ekonomi yang lemah
Pada hakikatnya seseorang melakukan kejahatan disebabkan karena
dorongan ekonomi yang lemah, hal ini dilakukan karena untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya faktor ekonomi merupakan salah satu
pendorong yang sangat mempengaruhi timbulnya keinginan seseorang untuk
melakukan kejahatan.
52
Pengaruh kemiskinan bagi seseorang dalam melakukan kejahatan
senantiasa mendapat perhatian dan usaha yang dilakukan oleh berbagai pihak
dan para ahli sejak dahulu kala sampai sekarang.
Sehubungan dengan pengaruh ekonomi terhadap timbulnya kejahatan di
daerah Kabupaten Sidrap khususnya pencurian hewan, maka sangat menonjol
sekali pada umumnya para pelaku pencurian hewan berasal dari masyarakat
ekonomi lemah dan pengangguran.
Latar belakang ekonomi sangat berpengaruh terjadi adanya kejahatan
sebagai akibat kondisi dinamis masyarakat yang masih terbagi dalam golongan
kaya dan miskin.
Berdasarkan hal tersebut, penulis berkesimpulan bahwa :
1. Akibat pengaruh tekanan ekonomi yang mendesak dan meningkat
sehingga seseorang terdorong untuk melakukan kejahatan.
2. Seseorang yang tingkat ekonominya serba kekurangan selain mudah
tergoda dan terpengaruh untuk melakukan kejahatan, juga dapat
mengganggu segala kegiatan atau pergaulan yang selalu berdampak
negatif.
3. Faktor ekonomi yang dikondisikan oleh kebutuhan kongkrit serta harapan
yang mengalami frustasi dapat membuat seseorang melakukan suatu
kejahatan.
53
4. Faktor Pendidikan yang rendah
Pendidikan sangat besar pengaruhnya dan merupakan salah satu tolak
ukur bangsa terutama disaat sekarang ini. Kemajuan suatu bangsa tidak saja
dilihat dari perkembangan teknologinya tetapi ditentukan pula oleh banyak
warga negara yang telah menikmati pendidikan non formal maupun formal, jadi
tidak heran jika bangsa Indonesia mengemukakan bahwa pendidikan itu dapat
dituangkan dalam suatu konsep nasional yang setiap lima tahun ditinjau
kembali atau dievaluasi jika perlu diadakan perubahan seperlunya.
Tentang masalah pendidikan sebagaimana yang rendah dalam
hubungannya dengan faktor-faktor terjadinya pencurian hewan di daerah
Kabupaten Sidrap, maka penulis berpendapat bahwa sangat mempengaruhi
seseorang baik itu pengaruh terhadap jiwanya maupun tingkah lakunya. Jika
tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi maka cara berpikirnya semakin
rasional dan dalam mengambil tindakan selalu dipertimbangkan terlebih dahulu.
Salah satu faktor penyebab terjadi pencurian hewan di Kabupaten Sidrap
adalah rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para pelaku kejahatan
pencurian. Hal ini dapat mendorong serta mempengaruhi seseorang untuk
berlaku jahat, daya nalar dan cara berpikir yang sangat terbatas dapat dengan
mudah terjerumus dalam melakukan tindakan kriminal.
Selanjutnya bahwa yang mempengaruhi atau berhubungan dengan
masalah ini adalah pengangguran. Mereka yang tidak melanjutkan pendidikan
54
kejenjang yang lebih tinggi atau karena putus sekolah dan tidak mampu
membayar uang sekolah akhirnya jadi pengangguran. Hal ini mendorong
mereka mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang walaupun dengan
melakukan kejahatan.
B. Upaya-upaya Yang Dilakukan Oleh Pihak Berwenang Untuk
Menanggulangi Pencurian Hewan Di Kabupaten Sidrap
Upaya-upaya pemerintah yang khususnya pihak kepolisian dalam
menekan laju perkembangan kejahatan dengan segala macam cara, baik
pencegahan maupun penanggulangan yang timbul dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat, masih saja menemui jalan buntu karena kurangnya
sarana dan prasarana yang menunjang.
Adapun upaya-upaya yang dikemukakan oleh Brigadir Ibrahim
(Wawancara, tanggal 18 November 2011) :
Melakukan patroli,
Mengadakan pengarahan kepada masyarakat yang dilakukan oleh
pihak-pihak Bimaspol,
Melakukan piket pada tiap-tiap daerah,
Melakukan pemeriksaan di daerah.
55
Dari uraian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa untuk
menghambat terjadinya kejahatan khususnya pencurian hewan, maka pihak
kepolisian harus terjun langsung di tiap-tiap daerah.
Selanjutnya jika ada laporan dari masyarakat bahwa telah terjadi suatu
kejahatan, maka polisi yang menerima laporan tersebut langsung menuju ke
tempat kejadian perkara yang telah dilaporkan oleh masyarakat tentang
terjadinya suatu tindak pidana dan diadakanlah penyelidikan.
Disinalah peran serta aparat kepolisian khususnya penyidik untuk
mencari perbuatan kejahatan yang tentunya para penyidik tersebut adalah
orang-orang yang telah ditentukan oleh KUHP.
Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak Rumah Tahanan dalam
melakukan pembinaan terhadap pelaku pemidanaan (Wawancara, 17
November 2011):
1. Kepribadian
Pendidikan
Kebangsaan
Mental
2. Kemandirian
Keterampilan
56
3. Asimilasi
Kerja di luar tembok
PB : Pembebasan bersyarat
CMB : Cuti Menjelang Bebas
CB : Cuti Bersyarat
Tugas pokok pemidanaan yakni memberi pembinaan serta pendidikan
terhadap pelanggar hukum setelah diputuskan oleh Hakim. Tujuan pemidanaan
yakni mengembalikan dan mengembangkan pengetahuan, kemampuan dan
motifasi seseorang pelaku kejahatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa :
1. Setelah keluar dari rumah tahanan tidak lagi melakukan tindak pidana,
2. Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam
membangun Bangsa dan Negara,
3. Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa dan mendapatkan
tempat di dunia dan akhirat.
Adapun Hambatan yang dihadapi pihak Kepolisian Resort Sidrap dalam
rangka menjaga keamanan dan ketertiban, maka peran kepolisian sebagai
pengayom dalam pelaksanaan tugas dan wewenang untuk bertindak menurut
penilaian sendiri demi kepentingan umum (diskreasi) perlu dikembangkan,
57
sehingga upaya perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat dapat
dilaksanakan dengan baik.
Pelaksanaan tugas dan wewenang polisi dihadapkan pada situasi
konflik dimana ia bertugas untuk mengambil keputusan dalam menghadapi
situasi konflik tersebut. Apabila ia pada akhirnya bertindak maka pada saat itu
telah melakukan sesuatu yang menguntungkan atau melindungi salah satu
pihak dalam konflik itu, tetapi dengan melawan, mengalahkan dan merugikan
pihak lain.
Berbagai kendala yang dialami Polri sehubungan dengan pelaksanaan
tugas, karena adanya peningkatan kompleksitas fungsi polisi yakni harus
memperhatikan semangat penegakan Hak Asasi Manusia, Hukum dan
Keadilan (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia). Adapun hambatan yang dikemukakan oleh
Brigadir Ibrahim (Wawancara 18 November 2011) yang bertugas di Kepolisian
Resort Sidrap :
Kurang Fasilitas Kendaraan,
Kurang Personil Polisi Yang Diturunkan,
Kurang Informasi,
Tidak Adanya Saksi Yang Mendukung,
Cuaca Yang Kurang Mendukung.
58
Permasalahan yang serius dihadapi polisi sebagaimana diuraikan oleh
Brigadir Ibrahim tersebut dapat dipahami dan hal ini adalah merupakan faktor
yang sangat menentukan pelaksanaan tugas pokok aparat kepolisian. Dalam
pelaksanaan tugas kepolisian, baik pencegahan maupun penaggulangan, polisi
diperhadapkan suatu kendala yang serius khususnya keterbatasan jumlah
personil dalam menanggulangi berbagai jenis kejahatan.
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat diketahui bahwa hambatan-
hambatan dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Polri adalah keterbatasan
personil dalam menanggulangi berbagai jenis kejahatan juga anggaran dan
sumber daya menjadi hambatan dalam hal ini adalah faktor yang harus
dipertimbangkan yaitu kerjasama masyarakat, pembinaan Hukum dan
kewaspadaan masyarakat terhadap gangguan keamanan ketertiban
masyarakat.
Data Jumlah Kejahatan Pencurian Hewan Di Kabupaten Sidrap Dari Tahun
2005 Sampai Tahun 2009.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Batas-batas wilayah Hukum Kepolisian Resort Sidrap
Sebelah Utara berbatasan dengan Kebupaten Enrekang dan Kabupaten
Luwu
59
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, Kota Pare-pare
dan Kabupaten Enrekang
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru dan Kabupaten
Soppeng
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten
Wajo.
Kabupaten Sidrap mempunyai luas wilayah sekitar 1.883,25 km2 yang terdiri
atas 11 kecamatan (Kecamatan Panca Lantang, Kecamatan Tellu Limpoe,
Kecamatan Watang Pulu, Kecamatan Baranti, Kecamatan Panca Rijang,
Kecamatan Kulo, Kecamatan Maritengngae, Kecamatan Wattang Sidenreng,
Kecamatan Pitu Riawa, Kecamatan Dua Pitue, Kecamatan Pitu Riase), 38
kelurahan dan 67 desa. Letak geografisnya berada pada titik koordinat 3o43o-
4o09 Lintang Selatan dan 119041-120o10 Bujur Timur.
2. Jumlah penduduk Kabupaten Sidrap yang tersebar dari beberapa
Kecamatan dari tahun2008 adalah 252.879 jiwa (Sumber : Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sidrap) terdiri dari :
3. Pendidikan :
SLTA
SLTP
SD
60
Tabel 1. Jumlah kejahatan pencurian hewan di Kabupaten Sidrap dari tahun
2005 sampai 2009.
TAHUN LAPOR SELESAI KET
2005 3 4
2006 5 3
2007 2 2
2008 - 2
2009 4 6
JUMLAH 15 17
Sumber : Polres Sidrap 2011
Dari data tersebut dapat diketahui jumlah pencurian hewan di Kab.
Sidrap sepanjang tahun 2005 sampai dengan 2009 (15) lima belas kasus, pada
tahun 2005 yang dilaporkan sebanyak tiga kasus dan selesai empat kasus,
kemudian disusul jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2006 sebanyak
lima kasus dan selesai sebanyak tiga kasus dan jika dibandingkan dengan
jumlah kasus pada tahun 2005, maka jumlah kasus yang terjadi pada tahun
2006 terdapat peningkatan yakni dua kasus.
Pada tahun 2007, ada dua kasus yang dilaporkan dan dua kasus
selesai. Jika dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2006, maka
jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2007 terjadi penurunan yakni tiga kasus.
Pada tahun 2008 tidak ada kasus yang dilaporkan dan dua kasus selesai, jika
61
dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2007, maka jumlah kasus
yang terjadi pada tahun 2008 mengalami penurunan sebanyak dua kasus.
Kemudian disusul jumlah kasus yang dilaporkan pada tahun 2009
sebanyak empat kasus dan selesai enam kasus, jika dibandingkan dengan
kasus yang terjadi pada tahun 2008, maka jumlah kasus yang terjadi pada
tahun 2009 terjadi peningkatan sebanyak empat kasus.
Dengan memperhatikan data pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa
tingkat Kriminalitas dalam jangka waktu tahun 2005 sampai dengan 2009
tergolong meningkat, walaupun dari tahun ketahun terjadi penurunan dan
peningkatan jumlah kejahatan tetap tidak berarti, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan tingkat Kriminalitas pada tahun-tahun berikutnya akan meningkat.
Untuk itu dapat ditangani dan dicegah laju perkembangan tersebut secara
efektif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penyelesaian kasus mendapat
kendala untuk mengungkap pelaku pencurian karena keterbatasan sarana dan
prasarana yang dimiliki pihak Kepolisian Resort Sidrap.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka penulis
dapat menarik kesimpulan dan memberikan saran yaitu :
1. Faktor terjadinya pencurian hewan di daerah Kabupaten Sidrap disebabkan
beberapa faktor antara lain :
a. Faktor Ekonomi yang lemah
Pengaruh tekanan ekonomi yang lemah mendorong para pelaku untuk
melakukan kejahatan pencurian. Hal ini disebabkan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari yang mendesak sehingga mendorong seseorang
melakukan kejahatan pencurian.
b. Faktor Pendidikan rendah
Salah satu penyebab terjadinya kejahatan pencurian hewan di Kabupaten
Sidrap disebabkan karena tingkat pendidikan para pelaku sangat rendah.
Hal ini yang mendorong pelaku tersebut mudah terpengaruh dan
terjerumus untuk melakukan kejahatan pencurian.
63
c. Faktor Lingkungan yang buruk
Pengaruh lingkungan dan pergaulan yang kurang baik dapat
mempengaruhi seseorang untuk melakukan perbuatan jahat.
d. Faktor Agama
Norma agama mengajarkan hal-hal yang dilarang dan diharuskan, mana
yang baik dan mana yang buruk. Rendahnya pemahaman dan keyakinan
agama seseorang untuk mudah melakukan kejahatan.
2. Adapun upaya yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan penanggulangan
tindak pidana pencurian hewan ini adalah sebagai upaya untuk menekan
laju peningkatan kejahatan pencurian. Dengan melihat laju peningkatan
kuantitas kejahatan pencurian yang mengalami peningkatan yang signifikan
dari tahun ketahun, yakni patroli, mengadakan pengarahan kepada
masyarakat, melakukan pemeriksaan di daerah rawan, serta melakukan
piket tiap-tiap daerah.
B. Saran
1. Menyarankan kepada Pemerintah Kabupaten Sidrap untuk membuka
lapangan pekerjaan khususnya bagi masyarakat yang berpendidikan
rendah dan ekonomi lemah dengan tujuan agar tingkat kesejahteraan
rakyat terjamin sehingga angka kejahatan khususnya pencurian yang
dilakukan oleh pelaku diminalisir.
64
2. Menyarankan kepada pimpinan Polri agar melakukan pembinaan
kemampuan profesional kepolisian lebih ditingkatkan yaitu dengan jalan
melalui kesempatan mengikuti pendidikan lanjutan seperti Strata Satu
(S1) dan Strata Dua (S2) yang bertugas dengan tugas kepolisian,
khususnya dibidang penyidikan, pembinaan etika profesi, pelatihan dan
penugasan secara berjenjang sesuai keahlian masing-masing personil
Polri.
65
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Syani, 1987. Sosiologi Kriminalitas, Remaja Karya. Bandung.
Andi Zaenal Abidin Farid, 1981. Azas-azas Hukum Pidana Bagian I Himpunan Kuliah 1960 Sampai 1981, Fakultas Hukum UNHAS.
Andi Zaenal Abidin Farid, 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia. Jakarta.
____________________ 1995. Hukum Pidana I, Cetakan I : Sinar Grafika. Jakarta.
A.S Alam, 2002, Kejahatan, Penjahat dan Sistem Pemidanaan, Makassar: Lembaga Kriminologi Universitas Hasanuddin.
Atmasasmita Romli, 1981. Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali. Jakarta.
________________ 1984. Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali. Jakarta.
A.W Bonger, 1977. Pengantar Tentang Psikologi, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Bawengan, 1991, Pengantar Psikologis Kriminal, Pradya Pramita Jakarta.
Chazawi, Adami. 2001. Pelajaran Hukum Pidana 1, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kartono Kartini, 2006, Patologi 2 (Kenakalan Remaja), PT. Raja Grasindo Persada. Jakarta.
Marpaung, Leden. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika. Jakarta.
66
Moleatno L, 1982, Azas-azas Hukum Pidana, PT. Bina Aksara. Jakarta.
_________ 1986, Kriminologi, Bina Aksara. Jakarta.
P.A F Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Poernomo, Bambang. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Ghalilea
Indonesia. Jogjakarta. _________1973. Azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia. Jakarta.
Purwardarminta. W.J.S, 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bali
Pustaka. Jakarta.
___________________ 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bali
Pustaka. Jakarta.
Rusli Effendi, 1978, Asas Hukum Pidana I, Lembaga Kriminologi UNHAS,
Ujung Pandang.
__________ 1989, Teori Hukum, Hasanuddin University Press.
Ujung Pandang.
Sahepti, J.E, 1978, Teori Kriminologi Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,
Centara. Jakarta.
Santoso, Topo dan E. A Zulfa. 2001. Kriminologi, PT. Raja Grafindo. Jakarta.
67
Soejono Dirjosiswono, 1984, Pengantar Tentang Kriminologi, Remaja Karya.
Bandung.
Soerjono Soekanto, 1990, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Pers. Jakarta.
Soesilo, R, 1985, Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab Kejahatan), Politea. Bogor.
_________1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia. Bogor.
Utrecht, 1990. Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas.
Jakarta.
Wahid, Abdul dan Irfan, Muhammad, 2001, Perlindungan Terhadap Kekerasan Seksual, PT. Refika Aditama. Jakarta
Widiyanti, Ninik dan Yulius W. Askita, 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat
dan Pemecahannya, Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Top Related