1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas
lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan
pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung
maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar,
penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan,
maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan
fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.
Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan
yang berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses
masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang
tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga pengelolaan kawasan
konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam laut tidak efektif.
Pengelolaan terumbu karang di kawasan Teluk Kupang merupakan salah
satu kawasan konservasi di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) juga
menghadapi pemasalahan seperti yang dipaparkan sebelumnya. Hal tersebut
bahkan diperburuk dengan minimnya pendanaan untuk operasional konservasi
dan kurangnya kesadaran dari masyarakat akan arti penting sumberdaya terumbu
karang baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Penangkapan ikan dengan
cara-cara tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bom telah
2
menghancurkan ekosistem terumbu karang di beberapa kawasan Teluk Kupang,
demikian pula aktivitas pariwisata sering menimbulkan dampak terhadap
kehidupan karang. Rusaknya ekosistem terumbu karang merupakan indikator
yang sangat nyata. Pada saat ini terdapat suatu program untuk memperbaiki
kondisi terumbu karang sedang dilaksanakan. Program tersebut, tampaknya dapat
diimplementasikan dengan mempertimbangkan perilaku masyarakat, pihak swasta
dan instansi pemerintah (pusat dan daerah) yang memiliki kewenangan terhadap
akses dan pemanfaatan sumber daya alam pesisir di Taman Wisata Alam Laut
Teluk Kupang.
Sejak ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 1993,
berbagai upaya pelestarian Kawasan TWAL Teluk Kupang telah dilakukan oleh
berbagai pihak (Departemen Kehutanan 1997). Namun sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang di kawasan TWAL Teluk Kupang
telah mengalami kerusakan (Bappeda Provinsi NTT 2003, Dewi 2009, Salean
2004). Berbagai kerusakan ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang dari
pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang tersebut. Pengelolaan TWAL Teluk
Kupang, sebagaimana halnya pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya,
seyogianya melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dalam berbagai kasus,
sering terjadi bahwa masyarakat sebagai salah satu pemangku kepentingan sering
kurang mendapat perhatian (Mudita & Natonis, 2008) telah menyatakan bahwa
dalam pengelolaan ketahanan hayati (biosecurity), suatu rencana pengelolaan
betapapun sempurnanya rencana tersebut, tidak akan menghasilkan apapun bila
masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama tidak dilibatkan.
3
Kenyataan yang terjadi adalah laju kerusakan lingkungan semakin
meningkat, yang ditandai dengan kerusakan semakin parah pada beberapa
ekosistem pesisir di sekitar kawasan. Kerusakan ekosistem terumbu karang di
Teluk Kupang, mengacu pada hasil penelitian Ninef, dkk (2002), mencapai
30,6%. Kegiatan memulihkan kondisi terumbu karang juga dilakukan melalui
program transplantasi karang. Meskipun kegiatan ini relatif berhasil, namun daya
pulih terumbu karang relatif lebih lama, sementara penambangan karang dan
penangkapan secara destruktif di daerah di dalam kawasan masih berlangsung
(Angwarmasse 2009).
Kesenjangan antara upaya pelestarian dan upaya pengelolaan kawasan
yang tidak ramah lingkungan, perlu dipersempit. Dengan demikian, terdapat
keterpaduan antara pemahaman masyarakat dan program kegiatan tepat guna dan
tujuan pemberian status kawasan pelestarian alam Teluk Kupang. Secara
sederhana, sejak ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam bentuk taman
wisata alam laut, seyogianya kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di
dalam kawasan berada pada nilai minimal sama dengan pada saat ditetapkan, se-
hingga tidak terjadi penurunan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan.
Kerusakan yang masih terus terjadi di kawasan TWAL Teluk Kupang
tersebut mengancam keberlanjutan TWAL Teluk Kupang. Mengingat lokasi
TWAL Teluk Kupang yang sangat strategis sebagai etalase pelestarian (karena
terletak tepat di depan Kota Kupang), maka ancaman kerusakan tersebut perlu
ditemukan akar permasalahannya guna menghasilkan suatu strategi pengelolaan
yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai pihak pemangku. Seiring
dengan perkembangan paradigma pengelolaan kawasan konservasi yang mutak-
4
hir, maka bukan tidak mungkin bahwa untuk mengatasi berbagai kerusakan yang
masih terus terjadi tersebut diperlukan perubahan paradigma pengelolaan dari
pengelolaan yang bersifat top-down menjadi pengelolaan bersifat bottom up.
Pengelola Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang, tampaknya
sangat memahami bahwa pembangunan yang terkait dengan sumber daya alam
adalah tanggung jawab penuh yang tantangan dan perlu dilaksanakan, dengan
mempertimbangkan kebutuhan para pihak yang kehidupannya sangat tergantung
pada sumber daya alam tersebut, baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Upaya untuk mencari suatu strategi pengelolaan dengan menggunakan pendekatan
struktural perlu diinisiasi oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan
demikian diharapkan dapat terselenggara efektivitas pengelolaan.
1.2 Rumusan Masalah
Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang memiliki sejumlah eko-
sistem penting sebagai obyek wisata alam, diantaranya ekosistem terumbu karang.
Kondisi ekosistem terumbu karang di dalam kawasan TWAL Teluk Kupang dapat
menentukan nilai ekologi dan ekonomi dari kawasan TWAL Teluk Kupang. Te-
rumbu karang yang kondisinya baik akan memberikan maanfaat secara ekologi
bagi ketersediaan sumberdaya hayati dan pada akhirnya akan memberikan man-
faat secara ekonomi bagi masyarakat sekitarnya dan pengelola. Pengelolaan yang
efektif dari TWAL Teluk Kupang akan memberikan dampak terhadap kondisi
biofisik kawasan termasuk kondisi terumbu karang dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat sekitarnya. Untuk itu yang menjadi indikator penting dalam peneli-
5
tian ini adalah tata kelola kawasan, kondisi biofisik terumbu karang dan kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang
Berdasarkan uraian tersebut di atas, adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tingkat capaian pelaksanaan pengelolaan di TWAL Teluk
Kupang?
2. Bagaimanakah kondisi terumbu karang terutama tutupan karang hidup (live
coral coverage) di kawasan TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan
berjalan?
3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir sekitar kawasan
TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan berjalan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan kawasan
TWAL Teluk Kupang.
2. Untuk mengetahui kondisi tutupan terumbu karang hidup kawasan TWAL
Teluk Kupang setelah pengelolaan.
3. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan
TWAL Teluk Kupang setelah pengelolaan berjalan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Diperolehnya informasi tingkat efektivitas pelaksanaan pengelolaan di
kawasan TWAL Teluk Kupang ini, nantinya dapat digunakan sebagai acuan
6
oleh pengelola kawasan untuk mempertahankan atau meningkatkan capaian
pengelolaan.
2. Diperolehnya data mengenai kondisi terumbu karang di kawasan TWAL
Teluk Kupang dan kondisi beberapa aspek sosial ekonomi masyarakat di
sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang setelah adanya inisiasi pengelolaan.
3. Diperolehnya informasi mengenai keterkaitan antara capaian pengelolaan
dengan kondisi ekosistem terumbu karang maupun indikator sosial ekonomi,
yang selanjutnya bisa dipakai acuan untuk mempertahankan atau
meningkatkan salah satu (atau lebih) indikator dimaksud.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sumber daya Wilayah Pesisir
Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali
secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari
lingkungan laut dunia benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang
dilindungi,bila dibandingkan dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai
kawasan perlindungan. Di perkirakan ±75% dari kawasan perlindungan laut
mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali
(WWF, 2000)
Upaya konservasi di alam Indonesia telah dikenal sejak 287 tahun yang
lalu (tahun 1714), saat seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis
Castelein mewariskan 2 bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para
pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) (Wiratno
dkk., 2004).
Dalam kurun waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah
dibentuk terutama untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi
genetiknya, khususnya fokus pada ekosistem yang rentan dan species yang
mempunyai nilai ekonomi penting. Pada saat ini, proses merosotnya mutu dan
fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan
(termasuk yang berada di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat yang memprihatinkan, dan telah
meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya alam serta berdampak
8
negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya
(Departemen Kehutanan, 2001).
Secara teknis kegiatan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah
dalam menjamin keberlangsungan pemanfaatan dan kelestarian alam, yang
dituangkan dalam bentuk berbagai kegiatan dan proyek pemerintah melalui
instansi-instansi teknis. Dalam perkembangannya hingga sekarang, masih
banyak dijumpai proyek-proyek pemerintah yang kurang memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi alam. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakpuasan
pihak-pihak pengguna, yang selanjutnya mencoba mendefinisikan dan
mengembangkan program-program konservasi yang sesuai kebutuhannya.
Pergeseran paradigma pendekatan teknis program konservasi, yaitu pendekatan
atas-bawah yang dilakukan oleh pemerintah, seharusnya diganti dengan
pendekatan dari bawah ke atas (pelaksanaannya berawal dan berkembang dari
masyarakat). (Anonim, 2001).
2.2 Efektivitas Pengelolaan Sumber Daya Alam
2.2.1 Pengertian Efektivitas Pengelolaan
Efektivitas pengelolaan adalah indeks yang menunjukkan apakah
kegiatan manajemen telah mencapai tujuan dan sasaran dari kawasan
perlindungan. Hal ini memungkinkan perbaikan manajemen perlindungan
kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosa masalah spesifik yang
mempengaruhi baik tujuan maupun sasaran yang telah dicapai. Selain itu juga
9
memberikan jalan untuk menunjukkan akuntabilitas dari pengelolaan sebuah
Kawasan Perlindungan Laut (KPL). Mengevaluasi efektivitas pengelolaan dari
sebuah kawasan perlindungan bukan merupakan pekerjaan mudah. Sebagai
contoh, walaupun usaha pengelolaan terbaik, gangguan alam dapat secara
radikal merusak ekosistem tanpa memperhatikan kualitas baik pengelolaan
kawasan telah dilakukan. Evaluasi harus tepat dan akurat dalam mengkaji derajat
atau ukuran pencapaian secara langsung berkaitan dengan kegiatan manajemen
(Pomeroy et al. 2004).
2.2.2 Manfaat Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Menurut Pomeroy et al, (2004) menyebutkan, bahwa melakukan
evaluasi pengelolaan akan menawarkan jalan yang terstruktur untuk
mempelajari keberhasilan dan kegagalan pengelolaan, serta membantu untuk
mengerti bagaimana dan mengapa latihan-latihan dilakukan dan diperbaiki
selalu sepanjang waktu. Selain itu evaluasi pengelolaan juga untuk identifikasi
langkah dan aktivitas yang jelas, membangun dukungan peraturan baru atau
menegakkan peraturan lama, menata agenda konservasi dan skala waktu yang
realistis, serta membuka peluang untuk mengikat para pemakai kawasan dalam
proses pembuatan keputusan.
Pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan lambat laun berubah
menjadi kegiatan profesional. Ada pengakuan terhadap kebutuhan bagi para
pengelola pesisir dan kelautan untuk lebih sistematik dalam menggunakan KPL,
untuk memperbaiki pembelajaran konservasi kelautan dan membuat contoh
terbaik kegiatan pengelolaan. Untuk mencapai kebutuhan ini, terdapat
10
kesepakatan umum diantara praktisi konservasi bahwa evaluasi efektivitas
pengelolaan akan memperbaiki kegiatan pengelolaan KPL. Efektivitas
pengelolaan dari KPL membutuhkan timbal balik informasi secara terus menerus
untuk mencapai tujuan. Proses pengelolaan mencakup perencanaan, desain,
implementasi, monitoring, evaluasi, komunikasi dan adaptasi. Evaluasi terdiri
dari kajian hasil dari kegiatan yang dilakukan dan apakah kegiatan tersebut
menghasilkan capaian yang diinginkan. Evaluasi adalah bagian rutin dari proses
manajemen. Evaluasi efektivitas pengelolaan dibangun pada rutinitas yang ada.
Manajemen adaptif adalah substansi fundamental yang mendasari siklus
proses pengelolaan, yang secara sistematis menguji asumsi-asumsi,
pembelajaran terus menerus dengan mengevaluasi hasil, dan selanjutnya
memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan manajemen. Hasil dari manajemen
adaptif dalam konteks kawasan perlindungan adalah terperbaharuinya efektivitas
dan meningkatkan kemajuan menuju pencapaian hasil dan tujuan (Pomeroy et
al., 2004).
2.2.3 Tahapan Proses Evaluasi Efektivitas Pengelolaan
Menurut Pomeroy et al. (2004), tahapan proses evaluasi efektivitas
pengelolaan meliputi:
1. Memilih kumpulan indikator terukur yang sesuai dengan tujuan dan sasaran
kawasan perlindungan laut.
2. Membangun rencana kerja yang realistis dan batasan waktu yang
dibutuhkan untuk melengkapi evaluasi.
11
3. Mengukur indikator dan mengumpulkan informasi penting untuk
mengadakan evaluasi.
4. Mengkomunikasikan hasil ke pengambil keputusan dan para pihak terkait
untuk menyesuaikan pengelolaan KPL.
2.2.4 Indikator Efektifitas Pengelolaan
Indikator efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut menurut
Pomeroy et al. (2004) terdiri dari tiga kategori yaitu:
1. Indikator biofisik
a. Kelimpahan species penting
b. Struktur populasi species penting
c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya
d. Komposisi dan struktur komunitas
e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas
f. Kesatuan jaring makanan
g. Tipe, level, dan kembalinya usaha perikanan
h. Kualitas air
i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan
j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia
2. Indikator sosio-ekonomi:
a. Pola penggunaan Sumber Daya Kelautan (SDK)
b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SDK
c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SDK
d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari laut (seafood)
e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal
12
f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan
g. Material gaya hidup
h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga
i. Kualitas kesehatan manusia
j. Struktur matapencaharian rumah tangga
k. Infrastruktur masyarakat dan usaha
l. Jumlah dan sifat pasar
m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam
n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat
o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan
p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi
3. Indikator pengaturan (governance)
a. Tingkat konflik terhadap sumber
b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan
c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan
d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan KPL
e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung
f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi KPL
g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah
h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat
i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak
j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan
k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi
l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan
13
m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan
n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas
o. Cakupan penegakan
p. Diseminasi informasi
2.2.5 Indikator dan Cara Menggunakannya
Sebuah indikator adalah sebuah unit informasi terukur dalam periode
waktu yang akan mengijinkan untuk mendokumentasikan perubahan yang
bersifat spesifik dari KPL. Sebuah indikator mengijinkan untuk mengukur aspek
yang tidak secara langsung dapat diukur atau sangat sulit untuk diukur, seperti
efektivitas. Efektivitas sulit diukur karena efektivitas adalah konsep
multidimensi, sejumlah indikator yang berbeda harus digunakan untuk
menentukan bagaimana perkembangan KPL. Indikator-indikator ini dapat
menyediakan bukti apakah tujuan dan sasaran dari KPL tercapai atau tidak
(Pomeroy et al. 2004).
Terdapat 42 indikator seperti yang tercantum diatas, yang terdiri dari 10
indikator biofisik, 16 indikator sosio-ekonomi dan 16 indikator pengaturan. Agar
bermanfaat dan praktis, indikator tersebut dikembangkan dengan memenuhi
beberapa kriteria yang sesuai dengan lokasi KPL, misalnya tujuan pengelolaan
suatu kawasan bisa membutuhkan satu atau lebih indikator. Berdasarkan hasil
terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi lima kriteria:
1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.
14
3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal
yang sama.
4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual
dalam komponen ukur.
5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang
kompleks (Pomeroy et al. 2004).
Indikator menyediakan hasil untuk beberapa tujuan:
1. Indikator memberikan masukan ke dalam evaluasi KPL untuk mengukur
dan mendemonstrasikan efektivitas pengelolaan.
2. Pengukuran, analisa dan mengkomunikasikan indikator dapat mendorong
pembelajaran, pertukaran pengetahuan, dan pemahaman yang baik terhadap
kekuatan dan kelemahan dari pengelolaan KPL.
3. Pengelola dan praktisi KPL dapat menggunakan hasil indikator untuk
menggarisbawahi perubahan yang dibutuhkan dalam rencana pengelolaan
dan kegiatan untuk menyesuaikan dan memperbaiki KPL.
4. Indikator-indikator yang muncul akan membantu untuk mempelajari lebih
dalam tentang KPL dan masyarakatnya serta sumber-sumber yang
dipengaruhinya (Pomeroy et al. 2004)
2.2.6 Kondisi Sosial Ekonomi
Menurut Bunce dan Bob (2003) disebutkan bahwa pengelola Sumber
Daya Alam (SDA) pesisir menyadari bahwa SDA pesisir tidak lagi dapat
dikelola hanya dari segi biofisik saja. Perilaku masyarakat ke depan dan
pemanfaatan SDA pesisir mempunyai implikasi serius pada kondisi/kesehatan
15
biofisik dari ekosistem pesisir dan laut. Pengelolaan SDA pesisir juga
mempunyai implikasi serius terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Informasi sosial ekonomi sangat penting untuk pengelolaan pesisir yang efektif.
Sebagai contoh:
Daerah larangan tangkap diusulkan sebagai bagian dari perikanan yang
besar untuk melindungi lokasi ikan memijah dan daerah yang terancam.
Masyarakat pesisir menolaknya karena khawatir akan kehilangan mata
pencaharian mereka. Informasi pola penangkapan yang dikumpulkan secara
sistematis, jumlah nelayan dan persepsi nelayan akan membantu pengelola
menentukan secara akurat siapa yang menerima dampak dan
mengidentifikasi pilihan mata pencaharian yang dapat diterima.
Pembuat kebijakan dan masyarakat umum ingin mengetahui “apakah daerah
perlindungan laut sudah berjalan efektif?” Informasi perubahan persepsi
masyarakat dalam memenuhi dan menegakkan peraturan dapat
mengindikasikan kesuksesan atau kegagalan dari aktivitas pengelolaanjuga
penerimaan terhadap kawasan perlindungan laut.
Monitoring sosial ekonomi (sosek) adalah seperangkat panduan untuk
program monitoring sosek di wilayah pesisir. Panduan ini menyediakan daftar
yang sudah diprioritaskan sesuai dengan indikator sosek yang bermanfaat untuk
pengelola pesisir, juga pertanyaan-pertanyaan untuk pengumpulan data dan tabel
untuk analisis data. Diharapkan panduan ini akan menjalin kebutuhan-kebutuhan
di tiap-tiap site/lokasi. Monitoring sosial ekonomi diharapkan berguna untuk:
16
Menyediakan metodologi untuk mengumpulkan data dasar sosial ekonomi
secara rutin yang berguna untuk pengelolaan pesisir di tingkat lapangan/level
site
Menyediakan dasar untuk sistem regional dimana data di tingkat lapangan
dapat mendukung/sesuai dengan data dasar (database) nasional,regional dan
internasional untuk perbandingan.
Monitoring sosial ekonomi juga diharapkan mampu menyediakan
wawasan/pengetahuan kepada pengelola, yang kebanyakan datang dari latar
belakang pendidikan biologi, menjadi mengerti maksud sosial ekonomi,
bagaimana informasi sosial ekonomi bermanfaat untuk pengelolaan di lokasinya
(Bunce dan Bob, 2003).
2.3 Posisi Masyarakat Lokal
Roe (2004) menyatakan bahwa kini konservasi berbasis masyarakat
menjadi wawasan kebijakan lingkungan global setelah puluhan tahun
diperdebatkan. Dalam World Park Congress pada tahun 2003 di Durban,
diluncurkan suatu prinsip bahwa biodiversitas sebaiknya dilindungi demi
nilainya sebagai sumber daya masyarakat lokal dan sekaligus sebagai sumber
daya publik di tingkat nasional dan global, dan bahwa pembagian yang setara
antara biaya dan manfaat dari kawasan dilindungi harus terjamin terdistribusi di
tingkat lokal, nasional dan global.
Dalam pengelolaan KPL dukungan dan penghargaan masyarakat sangat
penting. Ketika masyarakat melihat KPL sebagai beban tanpa mendatangkan
dukungan yang positif maka dapat dikatakan pengelolaanitu menjadi tidak
17
efektif. Banyak cara masyarakat setempat mendapatkan keuntungan dari KPL
meliputi keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA),
pelestarian hak-hak adat dan kegiatan-kegiatan budaya hingga pemanfaatan
khusus buat masyarakat setempat (Jeanrenaud, 1997).
2.4 Pengaturan Yang Baik di Era Otonomi Daerah
Konservasi di Indonesia akan gagal, apabila tidak berhasil mendapatkan
dukungan yang konsisten dari pemerintah daerah. Sementara itu, kecenderungan
pemerintah daerah era otonomi ini adalah mengejar pendapatan asli daerah
(PAD). Selama arah politik pembangunan belum dirubah, maka kabupaten yang
bukan penghasil (baik tambang maupun kayu) sulit mendapatkan porsi dana
alokasi khusus (DAK) yang memadai. Pola ini mendorong kabupaten untuk
mendapatkan hak eksploitasi sumber daya alam. Kabupaten dengan berbagai
macam peraturan daerah (perda) yang ditetapkannya dapat melakukan apa saja.
Hal ini sangat mengkhawatirkan, kaitannya dengan bagaimana kawasan-
kawasan konservasi di daerah itu akan bertahan. Dengan dinamika perubahan
yang sangat cepat ini, tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak akan good
governance di daerah-daerah (Wiratno, 2005).
Pengelolaan/konservasi keanekaragaman hayati merupakan tanggung
jawab pemerintah serta semua pihak terkait seperti organisasi nonpemerintah,
kalangan akademisi, lembaga penelitian serta masyarakat yang diwujudkan
melalui konsep pengelolaan SDA secara terpadu dengan memasukkan prinsip
18
pendekatan ekosistem. Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi
mengembangkan model kerja sama kemitraan melalui pembentukan
kelembagaan kerja sama kemitraan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2005).
2.5 Pengelolaan Kawasan Pesisir di Teluk Kupang
2.5.1 Taman Wisata Alam Laut di kawasan pesisir Teluk Kupang
Taman Wisata Alam Laut (TWAL) adalah suatu kawasan pelestarian
alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan
rekreasi alam. Dalam beberapa kasus, manajemen KPL yang efektif akan
membutuhkan gambaran hubungan sebab-akibat antara kelautan dan lingkungan
darat dengan pemanfaatan manusia. Menurut Pomeroy et al (2004) Kriteria
Kawasan Perlindungan Laut (KPL):
1. Melindungi keanekaragaman laut dunia yang sangat penting dan spesies-
spesies langka
2. Menurunkan kemiskinan
3. Menyediakan masyarakat pesisir yang lebih sehat dengan dasar yang kuat
untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Teluk Kupang adalah teluk terbesar di ujung Barat Pulau Timor, Provinsi
Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pintu gerbang pelayaran terpenting ke
Provinsi NTT. Teluk Kupang merupakan kawasan taman wisata alam laut, dan
menurut administrasi pemerintahan berbatasan dengan Kecamatan Kupang
Barat, Semau, Kupang Tengah, Kupang Timur, dan Sulamu di Kabupaten
Kupang, dan berbatasan dengan Kecamatan Alak, Kelapa Lima, Maulafa, serts
Oebobo di Kabupaten Kupang. Menurut administrasi kehutanan, TWAL Teluk
19
Kupang berada dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA Timor Barat, Sub Balai
KSDA Nusa Tenggara Timur, BKSDA VII Kupang (Departemen Kehutanan,
1997).
Berdasarkan letak geografisnya, TWAL Teluk Kupang terletak bada
posisi 9,19o-10,57
o LS dan 121,30
o-124,11
o BT. Luas kawasan TWAL Teluk
Kupang, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS-
II/93 tanggal 28 Januari 1993 adalah 50.000 ha yang terbentang sepanjang pantai
Teluk Kupang, Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau Tikus, Pulau Kambing, Pulau
Tabui, dan Pulau Semau. Topografi daerah di sekitar kawasan TWAL Teluk
Kupang pada umumnya datar sampai bergelombang dengan titik tertinggi
mencapai 250 meter dpl (Departemen Kehutanan, 1997). Keanekaragaman
hayati, dan budaya masyarakat di daratan di dalam kawasan dan/atau di daratan
di sekitar kawasan adalah modal dasar pembangunan daerah.
Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk
melindungi spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut,
mengembalikan cadangan perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan
meminimalkan konflik diantara berbagai pengguna. Untuk mencapai tujuan ini,
sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan dalam konteks keluaran dan
hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan rencana
pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari
kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan,
danpada akhirnya aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses
perencanaan untuk memperbaiki tujuan, rencana dan capaian. Dengan kata lain,
kawasan perlindungan laut harus di kelola secara adaptif. Pemerintah, agen
20
donor dan para pihak yang berkentingan (stakeholders) yang mendapat
keuntungan dari kawasan perlindungan laut membutuhkan informasi mengenai
efektivitas pengelolaan yang akan mengijinkan mereka untuk mengkaji apakah
hasilnya sesuai dengan usaha dan sumber daya yang telah dikeluarkan serta
apakah sesuai dengan kebijakan dan tujuan pengelolaan (Pomeroy et al, 2004).
Pengelolaan dengan menggunakan pendekatan struktural yang
dilaksanakan di kawasan TWAL Teluk Kupang, dirancang untuk meningkatkan
efektivitas pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang dengan tujuan akhir
meningkatkan kesehatan terumbu karang untuk menghadapi perubahan iklim
seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di sekitar kawasan,
melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Kriteria dasar pengelolaan terpadu
dilakukan dengan membangun proses pengelolaan secara partisipatif, melalui
pelibatan masyarakat lokal, pihak swasta dan pemerintah daerah dalam
membangun konsep perencanaan kolaboratif. Kebutuhan yang sangat mendesak
untuk menggunakan indikator-indikator dalam menilai atau mengevaluasi
keluaran dari proses yang telah dibangun (WWF, 2003).
2.5.2 Degradasi ekosistem terumbu karang
Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas
lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Kenyataan bahwa
terumbu karang adalah mantap, terdiri dari bermacam-macam jenis, merupakan
ekosistem yang baik adaptasinya dengan tingkat simbiosis ke dalam sangat
tinggi, namun tetap tidak membuatnya tahan dari gangguan manusia. Kunzmann
(2001) mengatakan, meskipun terumbu karang penting bagi aktivitas perikanan
21
dan pariwisata, namun lebih dari 60% terumbu karang dunia terancam akibat
aktivitas manusia tersebut. Berdasarkan survey line intercept transect yang
dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari luas tutupan karang
hidup di Indonesia, hanya sekitar 6,2% dalam kondisi sangat baik, 23,72%
dalam kondisi baik, 28,3% dalam kondisi rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak
berat. Hasil pengamatan oleh juga menunjukkan bahwa terumbu karang di
Indonesia memiliki kondisi lebih buruk dari pada terumbu karang di perairan
kawasan tengah dan timur Indonesia (Idris,2001).
Kawasan pesisir Teluk Kupang memiliki kondisi ekosistem terumbu
karang tidak jauh berbeda dengan kondisi secara keseluruhan di Indonesia.
Berdasarkan hasil monitoring terumbu karang yang dilakukan oleh BAPPEDA
Propinsi NTT, didapatkan berupa Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan
Teluk Kupang (Gambar 2.1).
22
PETA SEBARAN TERUMBARANG DI KAWASAN TELUK KUPANG
Gambar 2.1 Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang
(Bappeda, 2004)
23
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
ISU KUNCI
TUJUAN PENELITIAN
Gambar 3.1 Diagram Alir Kerangka Konsep Penelitian
Paradigma Pengelolaan Kawasan Pesisir TWAL
Pelibatan para pihak dan
pemberdayaan masyarakat
di kawasan pesisir TWAL
Terjaganya kelestarian dan
pemanfaatan berkelanjutan
sumberdaya pesisir TWAL
Efektivitas Pengelolaan
Kawasan Pesisir TWAL
Status tutupan
karang hidup di
kawasan pesisir
TWAL
Kondisi sosial
ekonomi
masyarakat
Pengaturan
Pengelolaan
Monitoring
terumbu karang
Angket
(Kuesioner)
Analisa data
Hasil Evaluasi Efektivitas
Pengelolaan
METODE
HASIL PENELITIAN
24
Pengelolaan yang dilakukan di kawasan TWAL Teluk Kupang dilakukan
sesuai visi dan tujuan dari pengelolaan, yaitu melindungi keanekaragaman hayati dan
pemanfaatan secara lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mengukur
efektifitas (berkaitan dengan tujuan dan sasaran) pengelolaan WWF memberikan
panduan untuk melakukan proses evaluasi dengan indikator-indikator efektivitas
yang terdiri dari 1) Indikator biofisik, 2) Indikator sosio-ekonomi dan 3) Indikator
pengaturan (governance).
Indikator biofisik, yang dipakai adalah distribusi habitat dan kompleksitas
(habitat distribution and complexity), dalam bentuk jumlah (persentase) tutupan
karang hidup di kawasan TWAL Teluk Kupang sebagai ekosistem perairan yang
mendapatkan prioritas dalam pengelolaan.
Indikator sosio-ekonomi yang dipakai adalah pola penggunaan sumber daya
kelautan (local marine resource use pattern) yang meliputi alat tangkap dan
frekuensi penangkapan, nilai lokal dan kepercayaan tentang sumber daya kelautan
(local values and belief about marine resources) dan tingkat pengetahuan dampak
manusia terhadap sumber daya kelautan (level of understanding of human impact on
resources).
Indikator pengaturan (governance) yang dipakai adalah pemahaman lokal
terhadap aturan dan peraturan kawasan perlindungan laut (local understanding of
MPA rules and regulations), keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi
masyarakat (existence and activity level of community organization), tingkat
pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi (level of training
provided to stakeholders in participation) dan tingkat partisipasi masyarakat (level of
training provided to stakeholders in participation).
25
Penelitian ini pada dasarnya model survei dan bersifat eksploratoris-deskriptif
sehingga tidak ada hipotesis yang muncul dalam penelitian ini. Eksploratoris berarti
penelitian ini mengungkap atau menjajagi sesuatu yang belum dikenal atau hanya
sedikit dikenal. Deskriptif artinya penelitian ini akan mengadakan deskripsi atau
pencandraan untuk memberi gambaran yang lebih jelas tentang situasi tertentu,
dalam hal ini adalah prosentase tutupan karang hidup dan situasi sosial ekonomi
serta mencari keterkaitan antara pengelolaan dengan pendekatan struktural,
presentase tutupan karang hidup dengan situasi sosial masyarakat.
26
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilakukan di kawasan pesisir Teluk Kupang Provinsi Nusa
Tenggara Timur khususnya lokasi-lokasi yang menjadi kawasan pemanfaatan
paling intensif (zona pemanfaatan intensif). Lokasi-lokasi yang di fokuskan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Desa Sulamu Kecamatan Sulamu
2. Desa Uiasa Kecamatan Pulau Semau
3. Desa Pulau Kera Kecamatan Pulau Semau
4. Desa Oesapa Kecamatan Kelapa Lima
Penelitian telah dilakukan selama lima bulan (Maret - Juni) dengan jadwal
kegiatan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1
Jadwal Kegiatan
Urutan Kegiatan
Tahun 2010
Maret April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Pengumpulan data
Penyusunan Proposal,
Kuesioner dan Bimbingan
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Uji Kuesioner
Kelapangan
Penyusunan Laporan
Seminar Hasil Penelitian
27
4.2 Ruang Lingkup dan Sampel Penelitian
Batasan-batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengambilan data biofisik dilakukan dengan melakukan monitoring terumbu
karang terhadap persentase tutupan karang hidup di kawasan pesisir Desa
Sulamu Kecamatan Sulamu, Desa Uiasa Kecamatan Pulau Semau, Desa
Pulau Kera Kecamatan Pulau Semau dan Desa Oesapa Kecamatan Kelapa
Lima(Gambar 4.1). Daerah tersebut berada pada zona pemanfaatan intensif
kawasan pesisir TWALTeluk Kupang.
2. Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode
angket dengan instrumen kuesioner. Kuesioner diberikan kepada anggota
masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai responden. Adapun peta lokasi
pengambilan sampel seperti yang terlihat pada Gambar 4.1.
28
1
2
3
4
Gambar 4.1 Peta lokasi pengambilan sampel terumbu karang dan sosial ekonomi(1)Desa Sulamu,(2) Desa Uiasa, (3) Desa Pulau Kera dan
(4) Desa Oesapa, Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang (Sumber : Indoprima, 2002)
2a
A
3a
1a
4a
29
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Jenis Data
Menurut cara mendapatkannya jenis data pada penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder yaitu sebagai berikut :
1. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber data berupa persentase
tutupan karang hidup yang diperoleh dengan metode Line Intercept Transect
(LIT), data berupa kondisi aspek sosial ekonomi masyarakat dan data
pengaturan (governance).
2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung meliputi
data-data dari pemerintah dan non pemerintah. Data dari pemerintah meliputi
dokumen rencana pengelolaan, rencana zonasi, program kerja serta
pendanaan dari BBKSDA dan instansi terkait. Data non pemeritah didapatkan
dari LSM, swasta, media dll.
4.3.2 Metode dan teknik penentuan Sampel
Dalam mendapatkan informasi sosial ekonomi serta data awal untuk
analisis tingkat capaian pengelolaan, maka dilakukan penentuan sampel yang
nantinya dapat menjawab tujuan penelitian. Metode yang digunakan untuk
penentuan sampel adalah metode Non Random (Non Probability). Menurut
Burhan (2005) pada metode non random tidak semua unit populasi memiliki
kesempatan untuk dijadikan sampel penelitian, hal ini dikarenakan sifat populasi
yang heterogen.
30
Teknik Non Random yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
Purposive Sampling. Menurut Notoatmodjo (2005) pengambilan sampel secara
purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat peneliti
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi. Menurut Burhan (2005) teknik purposive
sampling digunakan pada penelitian-penelitian yang lebih mengutamakan tujuan
penelitian daripada sifat populasi.
Kriteria populasi yang digunakan sebagai calon responden dalam
penelitian ini adalah orang yang memenuhi syarat berikut :
1. Bersedia menjadi responden
2. Memiliki profesi sebagai nelayan dan/atau sebagai tokoh masyarakat (ketua
adat dan/atau tokoh agama)
4.3.3 Penentuan Besar Sampel
Menurut Notoatmodjo (2005), penentuan besar sampel/responden untuk
populasi kecil atau lebih kecil dari 10.000 dapat di hitung menggunakan rumus
berikut :
2Ne 1
Nn
………………………………....……….…………………….. (1)
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
e = Nilai kritis yang diinginkan (dalam penelitian ini digunakan nilai e = 10%)
Total seluruh populasi pada kawasan penelitian berjumlah 773 maka
setelah dilakukan perhitungan didapatkan jumlah sampel sebesar 88 sampel. Ber-
31
dasarkan sampel yang diperoleh maka masing – masing desa diambil 22 respon-
den yang dilakukan secara acak (random) dan terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh
agama dan masyarakat nelayan.
4.4 Instrumen Penelitian
4.4.1 Pengamatan Kondisi Tutupan Terumbu Karang
Pengamatan kondisi tutupan terumbu karang dilakukan untuk mengetahui
besaran tutupan per satuan luas areal pengamatan. Kegiatan pengamatan kondisi
tutupan terumbu karang telah dilakukan dengan dua teknik pengamatan yaitu
Line Intercept Transect (LIT). Pada penelitian ini, pemantauan kondisi tutupan
terumbu karang dilakukan dengan menggunakan LIT.
Pengamatan kondisi terumbu karang dengan metode LIT dilakukan
dengan membuat garis tegak lurus pantai menuju laut yang ditarik pada sejajar
dengan garis pantai/kontur kedalaman (3 dab 10 meter), selanjutnya pengamatan
dilakukan disepanjang garis tersebut. Pembuatan garis dilakukan dengan
menggunakan meter rol plastik sepanjang 50 meter dengan ketelitian 1 cm.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan pengamatan dengan mencatat data tutupan
terumbu karang dengan pencatatan data menggunakan underwater pastic slate
yang dilengkapi dengan pensil HB. Sebagai alat transportasi ke dan selama
kegiatan lapangan digunakan perahu motor dengan mesin tempel (outboard
engine) merk Yamaha 40HP. Penentuan posisi peletakan garis transek
menggunakan GPS (Global Positioning System). Semua koloni karang dan semua
biota yang berasosiasi dengan karang serta komponen abiotik lainnya yang dilalui
32
oleh garis transek diukur dan dicatat panjangnya pada data sheet (English et al.,
1994).
Instrumen yang digunakan dalam pengamatan kondisi ekosistem terumbu
karang yaitu :
1. Seperangkat alat selam (masker, bouyancy control device), baju selam (wet
suit), regulator, pemberat (weighbelt), sepatu selam (booties) dan fin.
2. Peralatan monitoring terumbu karang (meteran/roll meter, pensil, slate/sabak)
4.4.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat danPengukuran Tingkat Capaian
Pelaksanaan Pengelolaan
Metode yang digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi
masyarakat dan tingkat capaian pelaksanaan pengelolaan adalah menggunakan
metode angket dengan instrumen kuesioner.
4.5 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap yaitu sebagai
berikut :
1. Pemantapan proposal penelitian (termasuk studi pendahuluan)
Tahapan ini dilakukan untuk memastikan bahwa proposal penelitian yang
dibuat sesuai kebutuhan dan penting, semua komponen penelitian tersedia
(data sekunder) serta pengambilan data primer memungkinkan untuk
dilakukan. Pemantapan proposal dilakukan dengan kajian terhadap
komponen-komponen permasalahan penelitian, judul penelitian, sasaran,
paradigma, problematika penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
33
perlu/tidaknya hipotesis, kerangka teori dan berfikir, metodologi, organisasi
dan jadwal penelitian, maupun implikasi biaya yang dibutuhkan.
2. Penyusunan instrumen pengumpulan data.
Kuesioner disusun berdasarkan indikator-indikator efektivitas pengelolaan
kawasan perlindungan laut yang dibuat IUCN dan WWF. Dari sekian banyak
indikator yang tersedia maka dipilih beberapa indikator yang memungkinkan
untuk diambil datanya melalui kuesioner.
3. Menyiapkan subyek penelitian dan perijinan.
Subyek dari penelitian ini adalah tutupan terumbu karang, masyarakat lokal
dan pihak yang terlibat dalam pengelolaan di kawasan pesisir TWAL Teluk
Kupang seperti pihak pemerintah daerah. Sebelum penelitian ini dilakukan
maka pengajuan perijinan penelitian ditujukan kepada pemangku wilayah
yaitu Kepala Desa dari empat desa lokasi penelitian ((1) Desa Sulamu, (2)
Desa Uiasa, (3) Desa Pulau Kera dan (4) Desa Oesapa). Subyek uji coba
(kuesioner) ini diambil dari populasi penelitian (karena relatif banyak),
dengan harapan kondisinya relatif sama dengan subyek yang akan digunakan
untuk penelitian.
4. Pengumpulan data
Pengumpulan data akan dilakukan oleh peneliti dengan dibantu oleh beberapa
orang dari masyarakat lokal dengan menyebarkan kuesioner dan melakukan
monitoring terumbu karang.
5. Penyusunan laporan (termasuk analisis data dan diskusi)
34
4.6 Teknik Analisis Data
4.6.1 Tutupan Terumbu Karang
Monitoring kondisi terumbu yang dilakukan dengan metode LIT (Line
Intercept Transect), diklasifikasi berdasarkan jumlah tutupan karang mengacu
pada teori Gomez and Yap (1988) yang mengelompokkan menjadi 4 kategori
yaitu:
a. kategori buruk : 0 - 24,9%
b. kategori sedang : 25 - 49,9%
c. kategori bagus : 50 - 74,9%
d. kategori sangat baik : 75 - 100%
4.6.2 Pengukuran Tingkat Efektivitas Pelaksanaan Pengelolaan
Efektivitas pelaksanaan pengelolaan dilakukan dengan menggabungkan
variabel yang digunakan untuk melakukan penilaian. Variabel tersebut antara lain:
1. Efektivitas penerapan pengelolaan di nilai dari perubahan kondisi tutupan
terumbu karang teluk Kupang.
2. Efektivitas penerapan pengelolaan di nilai dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang memanfaatkan teluk Kupang.
35
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Kawasan TWAL Teluk Kupang
Kawasan Teluk Kupang merupakan kawasan Marine Coastal management
Area (MCMA) di Propinsi Nusa Tenggara Timur, memiliki potensi sumber daya
alam yang sangat kaya, seperti pantai pasir putih, terumbu karang, padang lamun,
perikanan, bahan galian tambang, dan hutan mangrove. Selain sumber daya alam
tersebut, lokasi ini memiliki Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang dengan pu-
lau-pulaunya yang sangat strategis untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata
bahari.
Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang menurut admi-
nistrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah kecamatan Kupang Barat, Kecama-
tan Semau, Kecamatan Kupang Tengah, Kecamatan Kupang Timur dan Kecama-
tan Sulamu di Kabupaten Kupang serta Kecamatan Alak dan Kecamatan Kelapa
Lima, Kecamatan Maulafa dan Kecamatan Oebobo, Kota Kupang Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Sedangkan menurut administrasi Kehutanan Teluk Kupang be-
rada dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA VII Kupang. Berdasarkan letak
geografisnya antara 9,19o-10,57
o LS dan 121,30
o-124,11
o BT berada pada di de-
pan Kota Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur seperti yang terlihat pada
Gambar Profil Pesisir TWAL Teluk Kupang dengan latar belakang kawasan
pertokoan (Gambar 5.1)..
36
Gambar 5.1 Profil Pesisir TWAL Teluk Kupang
Dengan luas mencakup 50.000 Ha, dan keanekaragaman potensi yang dapat
dikembangkan untuk wisata alam, wisata bahari, wisata budaya dan wisata ilmiah
memungkinkan usaha pengembangannya dari kondisi sekarang menjadi asset
yang sangat penting bagi pengembangan pariwisata di masa yang akan datang
Untuk memadukan kepentingan pelestarian alam dan kepentingan pariwi-
sata yang keduanya saling berkaitan dan saling mengisi melalui peningkatan fung-
si dan manfaat obyek wisata alam, maka dalam menentukan efektivitas pengelo-
laan perlu ditinjau kembali Program Pemerintah dalam Pengelolaan Taman Wisa-
ta Alam Laut Teluk Kupang yang memuat kebijakan-kebijakan pengembangan
kawasan konservasi secara umum dan keterkaitannya dengan kebijaksanaan pem-
bangunan daerah.
5.1.1. Topografi
Topografi daerah disekitar kawasan TWAL Teluk Kupang pada umum-
nya datar sampai bergelombang dengan titik tertinggi mencapai 250 meter dpl.
Kondisi permukaan daratan terdiri dari batuan karang dengan permukaan yang
37
sangat kasar dan lapisan tanah relatif tidak tebal dan agak tandus, hanya sebagian
saja yang ditumbuhi vegetasi.
5.1.2. Keadaan Cuaca Umum Teluk Kupang
1. Iklim
Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferquson Kabupaten Kupang termasuk
dalam type iklim F dengan jumlah curah hujan rata-rata 1.284,9mm/th, dimana
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember sampai Maret, sedangkan curah
hujan terkecil terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Nopember, pada
periode ini terjadi musim kemarau panjang.
2. Cuaca
Musim hujan berlangsung dalam bulan Desember hingga Maret dengan curah
hujan antara 170mm – 450mm dan jumlah hari hujan antara 14-20 hari. Jumlah
hujan terbesar terjadi dalam bulan Januari dan Pebruari. Dalam periode musim
hujan cuaca berawan sampai mendung, hujan sedang/lebat kadang-kadang disertai
angin kencang dan kilat terutama terjadi dalam bulan Januari dan Pebruari. Musim
kemarau/kering berlangsung dalam bulan April sampai Nopember jumlah curah
hujan antara 10mm – 150mm dengan hari hujan antara 1-11 hari.
Dalam bulan Mei sampai Oktober (musim Timur) jarang terjadi hujan. Jarak
penglihatan mendatar pada umumnya baik (10-20 km) kecuali pada waktu terjadi
cuaca buruk dan jarak penglihatan bisa kurang dari 2 km.
3. Angin
Angin musim Barat bertiup dari bulan Desember hingga Maret, angin bervariasi
dari Barat Laut sampai Barat Daya, angin dominan Barat. Angin musim Barat
38
bertiup pada siang hari. Bulan Januari angin maksimum dan tetap dengan rata-rata
dari Barat dengan kecepatan 16-21 knot. Kecepatan rata-rata berkisar antara 7-12
knot selamamusim Barat. Angin musim Timur bertiup dari bulan Mei hingga
September dengan variasi angin dari Timur Tenggara. Kecepatan angin rata-rata
berkisar antara 7-16 knot.
4. Gelombang
Tinggi gelombang dalam musim Barat lebih kecil dari pada musim Timur, tinggi
gelombang berkisar antara : 0,5-1,5 meter kadang-kadang mencapai lebih besar
dari 1,5 meter ketika terjadi cuaca buruk. Pada musim Timur tinggi gelombang
berkisar antara 0,5-2 meter kadang-kadang lebih dari meter.
5.1.3. Kondisi Perairan Teluk Kupang
Karakteristik kondisi perairan Teluk Kupang mempengaruhi kondisi tipe
ekosistem perairan Teluk Kupang maupun ekosistem perairan pantai Pulau Kera.
Karakteristik kimiawi perairan Teluk Kupang dibandingkan dengan karakteristik
kimiawi perairan di sekitarnya disajikan pada Tabel 5.1.
39
Tabel 5.1
Karakteristik fisik kimiawi perairan Teluk Kupang dan perairan lainnya
di sekitar Teluk Kupang
Parameter Satuan
Lokasi Pengamatan
Perairan
Semau
Perairan
Selat Semau
Perairan
Teluk Kupang
Perairan Pulau
Kera
Kecerahan m 10,0-17,0 15-18 13-14 20-25
Suhu oC 26,0-27,2 26,1-27,9 26,5-28,5 27,6-28,5
Salinitas promil 31,8-32,7 32,7-33,1 32,8-33,3 30-32
pH 7,6-8,3 7,75-8,92 7,41-9,01 8,21-8,31
Oksigen terlarut ppm 7,8-9,4 7,33-9,40 7,12-8,54 7,33-9,40
Biologycal Oxygen
Demand (BOD) ppm 4,7-6,0 4,1-5,8 4,8-5,57 4,1-4,8
Chemical Oxygen
Demand (COD) ppm 17,1-102,4 21,3-55,5 59,7-64,0 18,9-100,4
Sulfida ppm 0,3-1,4 3,6-3,9 3,57-4,16 0,3-1,4
Nitrat ppm 0 0,044-0,45 0,007-3,77 0,002-0,009
Nitrit ppm 0,002-
0,003
0-0,06 0-0,0018 0-0,03
Padatan
tersuspensi ppm 97,6-155,6 12 116,4-122,8 11
Sumber : Bappeda Provinsi NTT (2006)
Karakterisitik fisik kimiawi perairan sangat berpengaruh pada dinamika
kehidupan makhluk hidup yang ada seperti ikan hias dan sea grass (lamun).
Karakteristik kimiawi sebagai indikator kualitas perairan di antaranya pH, oksigen
terlarut, Biologycal Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Deman (COD),
dan nitrit. Berdasarkan Tabel 5.1, parameter kualitas air pada ketiga perairan
berada pada kisaran normal, sehingga sangat mendukung kehidupan biota perairan
yang ada di perairan tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, kecepatan arus perairan Pulau
Kera berkisar antara 0,2-0.8 meter/detik. Di samping kecepatan arus dan pola arah
arus, tinggi gelombang sangat menentukan jenis atraksi wisata alam yang
direkomendasikan di Pulau Kera. Perairan dengan tinggi gelombang yang relatif
besar sangat sesuai untuk kegiatan berselancar, sedangkan perairan dengan tinggi
40
gelombang relatif kecil sangat sesuai untuk kegiatan berenang, snorkling, dan
bersampan. Berdasarkan hasil pengamatan Bappeda Prov. NTT (2006), tinggi
gelombang di perairan Pulau Kera berkisar antara 1-2 meter (musim barat) dan
0,2-0,5 meter (musim timur).
Kecerahan dan kedalaman perairan menentukan keberhasilan kegiatan
pariwisata pantai, khususnya pada kegiatan snorkling dan berenang. Tingkat
kecerahan perairan yang tinggi sangat diperlukan untuk kegiatan snorkling atau
pengamatan biota akuatik di dasar perairan, sedangkan topografi dasar perairan
yang relatif landai sangat cocok untuk kegiatan bersampan dan berenang.
Berdasarkan hasil pengamatan Bappeda Prov. NTT (2006), tingkat kecerahan di
Pulau Kera relatif tinggi yaitu berkisar antara 10-30 meter.
5.2. Keadaan Biotik
Dari hasil pengamatan pada 4 (empat) lokasi penelitian ditemukan keadaan
biotiknya adalah seperti yang terdapat pada Tabel 5.2.
41
Tabel 5.2
Jenis flora dan fauna yang terdapat di kawasan TWAL Teluk kupang
No Jenis Biotik Keterangan
1 Flora -Bakau (Mangrove),
Hasil pengamatan terdapat 17
jenis bakau dan Soneratia alba
adalah jenis bakau yang
merupakan jenis yang dominan
baik untuk kategori pohon
(diameter >10)
Kondisi hutan
pantai tidak utuh
lagi sebagian
telah berubah
menjadi tambak
garam dan
pemukiman
penduduk -Padang Lamun,
Dari hasil pengamatan Thalasia
hempricii merupakan jenis yang
paling dominan selain itu ada
juga Enhalus acoroides
2 Fauna -Jenis mamalia dan reptilia,
Jenis satwa yang terdapat di
Teluk Kupang yang termasuk
mamalia yaitu Babi Hutan (Sus
vitatus),Kera(Macaca fascularis)
sedangkan jenis reptil antara lain
Ular phyton, Biawak(Varanus),
Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata) dan Penyu Hijau
(Chelonia mydas).
Kedua jenis
penyu ber telur di
pasir putih di
Pantai P.Kera dan
P. Semau
-Jenis Burung,
Jenis burung yang terdapat di
kawasan Teluk Kupang antara
lain, Camar (Sterna spp), Elang
laut (Haliarctus leucogaster),
Dara (Sterna sp), Raja Udang
(Halcyon sp)
-Terumbu Karang,
Keanekaragaman jenis karang di
tiap lokasi penelitian cukup
tinggi sekitar 85-120 jenis
karang yang mewakili 15 famili
Kondisi karang
kurang baik
(terutama di
P.Kera karena
sering terjadi
pemboman ikan)
5.3. Potensi Budidaya Perikanan
Luas areal potensi lahan budidaya perikanan laut di Kabupaten Kupang
sebesar 35.455 Ha. Berdasarkan luas areal tersebut sesuai dengan kondisi perairan
42
dan kelayakan ekologis cocok untuk dikembangkan jenis komoditas budidaya
perikanan dengan distribusi luas areal untuk budidaya ikan (11,587 Ha), rumput
laut (3000 Ha) teripang (1012 Ha) dan kerang mutiara (10 Ha).
Dari jumlah potensi areal budidaya yang ada sudah dimanfaatkan secara
optimal. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pemanfaatan yang telah 12.934 Ha
(82,86%). Namun masih terbatasnya sumberdaya manusia yang terdapat di
TWAL Teluk Kupang. Belum banyak nelayan atau masyarakat pesisir yang
memiliki keterampilan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang memadai dalam
kegiatan budidaya perikanan laut (Gambar 5.2).
Gambar 5.2. Luas Areal Budidaya Laut Menurut Komoditas dan
Tingkat Pemanfaatan
Potensi budidaya perikanan yang ada di kawasan TWAL Teluk Kupang
sudah dimanfaatkan oleh penduduk daerah pantai sebagai sumber penghasilan
dan pendapatan rumah tangga yakni terumbu karang dimanfaatkan sebagai tempat
penangkapan ikan dan kerang-kerangan dan diambil batu karangnya sebagai
43
bahan bangunan dan kapur. Hutan Mangrove dimanfaatkan sebagai tempat
pencarian ikan, tempat membuat tambak, dan diambil sebagai bahan bakar. Pantai
berpasir dimanfaatkan sebagai tempat persiapan melaut, diambil pasirnya sebagai
bahan bangunan dan tempat wisata, sedang padang lamun baru dimanfaatkan
rumput dan pasirnya. Sementara itu, laut dimanfaatkan sebagai tempat menangkap
ikan biota lain.
Kondisi sumberdaya hayati ditekankan pada pengamatan ikan, khususnya
ikan yang mendiami ekosistem terumbu karang dan padang lamun, karena sumber
daya lain seperti Krutase (kepiting dan udang), Moluska (kerang-kerangan) dan
Echinodermata (teripang dan bulu babi) tidak dijumpai dalam jumlah nyata
Khusus wilayah perairan pesisir dan laut Teluk Kupang memiliki potensi
budidaya ikan terdiri dari jenis-jenis ikan pelagis dan ikan demersal yang
mempunyai nilai ekonomis penting dan merupakan komoditas ekspor (Tabel 5.3).
44
Tabel 5.3
Jenis-jenis ikan yang ditangkap di kawasan TWAL Teluk Kupang
No Nama Desa Potensi Jenis Ikan
1 Pulau Kera Ikan Kerapu (Epinephelus sp.), Kakap Putih (Lates
sp.), Ekor Kuning (Caesio sp.), ikan hias, ikan
Napoleon, dan Lobster
2 Sulamu Ikan Kerapu (Epinephelus sp.), Kakap Putih (Lates
sp.), Ekor Kuning, ikan Tuna (Thunus sp.), Cakalang
(Katsuwonus pelamis), ikan Tongkol (Auxis sp) , ikan
hias, ikan teri, tembang ,selar
3 Uiasa Ikan Tuna (Thun sp.), Cakalang (Katsuwonus pelamis),
ikan Tongkol (Auxis sp) , ikan hias, ikan teri ,
tembang, selar
4 Oesapa
Barat
Ikan Tuna (Thun sp.), Cakalang (Katsuwonus pelamis),
ikan Tongkol (Auxis sp) , ikan hias, ikan teri, tembang
(sardinella sp),selar
Dari hasil pengamatan potensi lestari komoditas perikanan dan tingkat
pemanfaatannya di wilayah TWAL Teluk Kupang belum dimanfaatkan secara
maksimal. Secara potensial pemanfaatan sumber daya pantai dan laut di TWAL
Teluk Kupang masih dapat ditingkatkan
Upaya peningkatan pemanfaatan sumberdaya alam tersebut harus
memperhatikan aspek konservasi agar pemanfaatannya dapat dilakukan secara
berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah khususnya pemerintah daerah setempat
dapat mengeluarkan ketentuan dan peraturan dengan sanksi yang efektif dalam
pemanfaatan sumberdaya. Ketentuan tersebut antara lain menyangkut pola
penggunaan ruang baik di bagian darat wilayah pantai maupun di laut. Peraturan-
peraturan menyangkut larangan menggunakan bom atau bahan peledak dalam
penangkapan ikan, upaya penanaman bakau kembali, serta larangan pengambilan
batu karang di kawasan Teluk Kupang.
45
Penggunaan alat tangkap merupakan salah satu faktor yang menentukan
jumlah dan hasil tangkapan nelayan dan berdasarkan hasil pengamatan kondisi ini
dapat mempengaruhi perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap setiap tahun
(Gambar 5.3) Selain itu penggunaan alat tangkap yang dioperasikan secara
berlebihan seperti adanya bagan sebanyak 123 buah perairan Oesapa adalah
melebihi daya dukung perairan. Akibatnya ekosistem terumbu karang menjadi
rusak yang pada gilirannya ikan-ikan yang berukuran ekonomis akan mati. Bila
ini dibiarkan terus menerus berlangsung pada satu saat perairan di Kabupaten
Kupang akan miskin.
Gambar 5.3 Perkembangan Jumlah dan Jenis Alat Tangkap Tahun 2003-2010
dikawasan TWAL Teluk Kupang
5.4. Mata Pencaharian
Sesuai letak geografis dan potensi yang dimiliki penduduk di sekitar
Teluk Kupang sebagian besar mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan dan
petani. Pengembangan TWAL Teluk Kupang diharapkan dapat meningkatkan
46
perekonomian disekitar kawasan tersebut. Jumlah angkatan kerja di kawasan
TWAL Kupang mencapai kurang lebih 50%. Latar belakang pendidikan yang
rendah yaitu SD atau kurang dan belum meratanya mendapat kesempatan kursus
dan penyuluhan menyebabkan terbatasnya peluang penduduk dalam memasuki
lapangan kerja dan produktivitas kerja dari usaha yang dijalankan masih rendah.
Tabel 5.4
Perkembangan Jumlah Nelayan Dikawasan TWAL Teluk Kupang 2003 – 2009
NO TAHUN NELAYAN (RTP)
Jumlah
Penuh Sambilan
utama
Sambilan
tambahan
1 2003 75 150 106 331
2 2005 240 282 222 744
3 2010 701 683 452 1836
Sumber : Dinas Perikanan Kabupaten Kupang, 2010 dan Olahan Peneliti, 2009
Data pada tabel 5.5. tampak bahwa terjadi kecenderungan peningkatan
jumlah nelayan dari tahun ke tahun terutama terjadi peningkatan pada tahun 2003
dan 2005. Peningkatan jumlah nelayan ketika itu disebabkan oleh adanya motivasi
dan dorongan oleh hadirnya Program Pemerintah baik melalui Program
Pemberdayaan Eknonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) maupun Program
GEMALA melalui Surat Keputusan Gubernur Propinsi Nusa Tenggara Timur
Nomor 24 Tahun 2002 tentang Gerakan Masuk Laut. Namun demikian
peningkatan jumlah nelayan tersebut belum secara optimal dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan kelautan karena banyak kelompok nelayan yang
terbentuk demi mengadopsi sumber dana yang tersedia. Nelayan yang terpanggil
bukan karena profesi sehari-hari sebagai nelayan melainkan hanya sebagai
nelayan sambilan tambahan. Hal ini dapat dibuktikan melalui peningkatan jumlah
47
nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan pada tahun 2005 dan
2010.
Dalam pembentukan kelompok nelayan, aspek keterampilan, pengalaman
dan profesionalitas tidak menjadi pertimbangan yang matang, sehingga
keberlanjutan usaha nelayan menjadi tersendat-sendat bahkan mubazir.
5.5. Efektifitas Pengelolaan
5.5.1. Penataan Kawasan dan Ruang
Penataan kawasan merupakan upaya kebijaksanaan pengelolaan dalam
rangka penataan sesuai dengan peruntukannya dari masing-masing areal, sehingga
optimalisasi fungsi kawasan sebagai objek wisata alam dapat terwujud. Sejalan
dengan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwi-
sata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman
Wisata Alam, maka aspek penataan kawasan dan ruang TWAL Teluk Kupang
dijabarkan sebagai berikut:
1. Blok Perlindungan
Wilayah ini diperlakukan secara khusus untuk kepentingan perlindungan
kawasan sehingga tidak diperkenankan adanya pengembangan fisik, kecuali sara-
na dan prasarana untuk kegiatan monitoring serta tidak dapat dilakukan kegiatan
yang bersifat merubah bentang alam.
Fungsi pokok dari blok perlindungan ini adalah untuk melindungi habitat
dan populasi flora dan fauna khususnya biota laut dan mangrove serta daerah pe-
sisir karena sifat kepekaan lingkungan yang tidak memungkinkan untuk dikem-
bangkan. Wilayah ini diperlakukan juga untuk kepentingan rehabilitasi dan pemu-
48
lihan kawasan yang telah mendapat tekanan dari masyarakat sehingga diperlukan
rehabilitasi dan pemulihan untuk perbaikannya. Pemulihan ekosistem terumbu
karang yang mengalami kerusakan berat akibat adanya penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak (dinamit) dan kimia beracun (potasium).
2. Blok Pemanfaatan
Wilayah ini dimaksudkan sebagai daerah yang dapat dimanfaatkan secara
optimal untuk pengembangan wisata bahari dengan memperhitungkan aspek-
aspek kelestarian sumberdaya alam yang ada.
a. Blok Pemanfaatan Intensif
Wilayah ini dimaksudkan sebagai daerah pengembangan pariwisata alam
yang intensif, dan multiguna. Arealnya meliputi wilayah daratan, pesisir maupun
perairan laut yang tidak termasuk blok perlindungan. Pembangunan fisik diarah-
kan dapat dilakukan di wilayah daratan.
b. Blok Pemanfaatan Terbatas
Wilayah ini diperlakukan secara khusus dan terbatas untuk kepentingan wi-
sata bahari dan arealnya meliputi wilayah pesisir dan perairan laut tertentu. Pada
lokasi ini tidak diperkenankan adanya pengembangan pembangunan fisik.
3. Blok Pendukung
Wilayah ini dimaksudkan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat se-
tempat antara lain melalui pemanfaatan ekstraktif yang berkelanjutan oleh masya-
rakat setempat serta pemanfaatan untuk budidaya biota berkelanjutan oleh masya-
rakat setempat.
49
Wilayah ini diperuntukkan pula untuk mengendalikan perubahan-perubahan
lingkungan di wilayah perairan antara lain pemanfaatan jalur lalu lintas perairan,
perubahan Laut Tenau, pelabuhan pertamina dan perikanan laut. Pembagian blok
dan fungsi serta jenis kegiatan yang diperbolehkan di kawasan TWAL lintas Te-
luk Kupang (Gambar 5.3).
50
# #
#
#
#
#
#
#
#
#
#
Oiisina Sekalak
Kurong
TenauOenau
Naekean
KUPANG
TulakabokOelbaki
Areal Perlindungan TWAL
Hutan Mangrove dan lainnya
Zona Konservasi :
Daerah Lingkungan Kerja PelabuhanDaerah Lingkungan Kerja Rencana
Alur Pelayaran
Areal Bagan Apung
Areal Bagan Tancap
Areal Budidaya Mutiara
Areal Penangkapan (Lampara)
Areal Budidaya Rumput Laut
Kawasan Industri Bolok
Hazardous and Dangerous Ship
Floating Repair Ship
Dead Ship Area
Areal Kapal Karantina
Bulk Cargo Ship
General Cargo Container Ship
Reserve Area
Tankers
Tankers Mooring Pool
Tenau Kupang Mooring Pool
120
120
123
123
126
126
-12 -12
-9
-9
10°2
0'
10°20'
10°1
0'
10°10'
10°0
0'
10°00'
123°20'
123°20'
123°30'
123°30'
123°40'
123°40'
123°50'
123°50'
-10 -10
Zonasi Wilayah PerairanTeluk Kupang dan sekitarnya
Nusa Tenggara Timur
Zona Pemanfaatan Umum : Zona Penggunaan Khusus : Zona Lorong/Alur :
1 : 250.000
Zona Penggunaan Khusus :
Kerja sama antara :
BAPPEDA PROPINSI NTT
dan
Jurusan Perikanan dan Kelautan
Fakultas Pertanian
Universitas Nusa Cendana
Gambar 5.3 Peta Pembagian Blok dan Fungsi serta Jenis Kegiatan pada kawasan Perairan Teluk Kupang
51
5.6. Upaya Pokok dan Rencana Kegiatan
5.6.1. Penataan Batas Kawasan
Untuk memperoleh kepastian hukum yang kuat dalam rangka menunjang
upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan TWAL Teluk Kupang perlu segera
dilaksanakan penataan batas-batas kawasan. Penataan posisi titik batas kawasan di
darat ditandai dengan prasasti yang menyajikan informasi posisi koordinat dan
jarak dalam kilometer. Gambaran letak lokasi yang bersangkutan dalam peta ka-
wasan keseluruhan, serta dasar hukum pengelolaan. Penetapan tata batas kawasan
dilakukan lewat koordinasi dengan lembaga-lembaga lain yang berkompeten dan
terkait terutama Badan Pertahanan Nasional Propinsi Nusa Tenggara Timur,
LANAL Kupang dan Sub Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan (BIPHUT)
Kupang, yang mempersiapkan dan memasang prasasti tersebut.
Tata batas di laut dangkal (<10 meter) dapat ditandai dengan “Mouring
Bouys”, sedangkan tata batas di laut dalam tidak dapat ditandai karena dasar per-
mukaan laut dalam tidak dapat ditandai karena dasar permukaan laut terlalu dalam
secara teknis menyulitkan pemasangannya dan memerlukan biaya yang sangat
besar.
5.6.2. Perencanaan
Penyusunan Rencana Pengembangan sebagai tindak lanjut penjabaran
dari rencana pengelolaan ini dituangkan dalam bentuk rencana karya yang disusun
oleh pihak pengelola. Apabila pihak ketiga sudah masuk dan mendapat izin untuk
mengusahakan/mengelola pariwisata alam atau usaha-usaha lain di kawasan ini,
maka kepada yang bersangkutan diwajibkan membuat Rencana Karya Pengusa-
52
haan (RKP) dan desain fisik sarana/fasilitas yang akan digunakan sesuai dengan
yang digariskan dalam ketentuan-ketentuan yang berlaku.
5.6.3. Pembangunan Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka kegiatan pengelo-
laan TWAL Teluk Kupang, terutama untuk menunjang pelaksanaan paket kegia-
tan pengelolaan dan pelayanan pengunjung secara umum, akan diatur sesuai den-
gan standar dan kriteria penggunaan bangunan di TWAL, dengan maksud untuk
menciptakan keharmonisan dengan keadaan lingkungan alam sekitarnya. Dengan
demikian nilai-nilai visual alamiah dapat dijaga kelestariannya dan corak serta
kekhasan budaya daerah dapat tetap dipelihara. Rincian sarana dan prasarana yang
dibutuhkan dalam pengelolaan TWAL Teluk Kupang antara lain dapat dilihat
pada Tabel 5.5.
53
Tabel 5.5
Jenis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Pengelolaan di TWAL Teluk Kupang
No Jenis Sarana Jumlah Keterangan
Satuan
(Unit/buah)
1 Kantor Pengelola 1
2 Menara Pengintai 5
3 Pondok Kerja 6
4 Pos Jaga 8
5 Mes Petugas 1
6 Instalasi Air 5
7 Genset 5
8 Speed Boat 5 40 PK, 80 PK, 200 PK
9 Perahu 5
10 SSB 3
11 HT 12
12 Shelter 15
13 Pusat Informasi 2
14 Peralatan Selam 20
15 Perahu Karet 2
16 Stasiun Kelautan 1
5.7. Pembinaan Kawasan
Kegiatan pembinaan kawasan meliputi kegiatan pengamanan areal moni-
toring, monitoring potensi dan pembinaan potensi kawasan.
a. Pengamanan Areal
Untuk menertibkan serta menjaga agar tidak terjadi kerusakan kawasan
akibat gangguan dari masyarakat maupun nelayan, perlu dilaksanakan kegiatan
pengamanan areal secara intensif dan terpadu antara pihak pengelola dan pihak
ketiga yang akan mengusahakan kegiatan wisata. Dalam mencapai sasaran kegia-
tan tersebut perlu dipersiapkan sarana dan prasarana memadai antara lain:
Satuan pengamanan untuk masing-masing blok
54
Pembuatan pos jaga di wilayah yang strategis dan dilengkapi dengan sarana
mobilitas dan alat komunikasi (HT)
Disamping pengadaan sarana dan prasarana pengamanan, perlu dilaksana-
kan koordinasi antara pihak pengelola/pengusaha dengan aparat keamanan daerah
(Polsek, TNI Angkatan Laut) dan membuat peraturan-peraturan yang tegas.
b. Monitoring Kawasan
Untuk mencegah terjadinya degradasi potensi daratan dan perairan serta
lingkungannya perlu dilaksanakan pemantauan terhadap setiap kegiatan pengun-
jung yang dapat menyebabkan degradasi potensi kawasan. Pemantauan dilaksana-
kan terhadap:
Areal perairan yang sering mendapat gangguan
Kemungkinan terjadinya dampak lingkungan akibat aktivitas pengunjung
dengan indikator pencemaran sampah.
Jenis kegiatan dan keselamatan pengunjung.
c. Pembinaan Potensi
Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan potensi kawasan dan
ekosistemnya perlu dilaksanakan kegiatan pembinaan potensi yang meliputi:
Pembinaan ekosistem pesisir dan laut agar tidak terjadi kelangkaan potensi
terutama pada daerah-daerah perlindungan yang sudah digarap penduduk
setempat.
Perbaikan fisik dan ekosistem lingkungan yang telah mengalami kerusakan.
Mencegah timbulnya pencemaran dari pembuangan sampah ke laut.
55
d. Pengelolaan pengunjung
Aspek pengelolaan pengujung mencakup ketertiban, keamanan dan pe-
layanan pengunjung, meliputi kegiatan-kegiatan berikut:
Pada tempat-tempat strategis harus disiapkan satuan pengamanan terutama
pada lokasi-lokasi daerah rawan baik bagi pengunjung maupun bagi kelesta-
rian sumberdaya alam.
Penempatan petugas di pusat informasi untuk memberikan informasi sebuah
kawasan serta aspek-aspek yang dipandang perlu.
Upaya terhadap kerusakan kawasan yang diakibatkan oleh pengunjung perlu
disiapkan perangkat lunak dalam bentuk peraturan-peraturan yang berlaku.
Melaksanakan program cinta alam dalam rangka meningkatkan kesadaran
kepadamasyarakat dan pengunjung agar dapat berperan aktif dalam program
pelestarian alam yang sedang digalakkan.
5.8. Organisasi dan Tata Kerja
5.8.1. Organisasi Pengelola Kawasan
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 144/Kpts-II/1991
tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam, kawasan
TWAL Teluk Kupang saat ini berada dalam wilayah kerja Sub Seksi Konservasi
Sumber Daya Alam Timor Barat, Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Nusa
Tenggara Timur, Balai Konservasi Sumber Daya Alam VII Kupang.
Sehubungan dengan pembagian wilayah kerja tersebut, maka untuk me-
ningkatkan intensitas dan efektivitas pengelolaan kawasan perlu penyempurnaan
56
tatanan organisasi yang sudah ada. Penyempurnaan tersebut didasarkan pada hal-
hal sebagai berikut:
Dalam upaya penyempurnaan jenis kegiatan dalam kawasan
Fungsi dan luas dari blok-blok dalam kawasan
Kegiatan sekitar kawasan
Adanya pengusahaan dalam kawasan
Organisasi tersebut, maka kedudukan lokasi pengelola disesuaikan sebagai
berikut:
1. Kepala Unit Taman Wisata Alam/ pejabat Sub Seksi KSDA yang wilayah ker-
janya meliputi kawasan TWAL Teluk Kupang berkedudukan di Kupang.
2. Pembantu/Staf Kepala Unit TWAL Teluk Kupang membantu dalam penye-
lenggaraan administrasi, berkedudukan di Pulau Semau.
3. Petugas lapangan/pengamanan adalah petugas yang secara langsung mengawa-
si kegiatan dalam kawasan yang berkedudukan di lapangan.
Selain organisasi pengelola kawasan berdasarkan hasil pengamatan di
sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang dapat di indentifikasikan beberapa
stakeholders yang juga berperan aktif menurut kepentingan dan keterlibatannya
selain masyarakat lokal dalam pengelolaan TWAL Teluk Kupang (Tabel 5.6).
57
Tabel 5.6
Stakeholders menurut kepentingan dan keterlibatannya dalam pengelolaan
TWALTeluk Kupang
No Stakeholders Kepentingan Keterlibatan
1 Pemerintah:
- BKSDA (Pusat)
- Dinas Kehutanan,
Dinas Perikanan,
Bappeda,
Bapedalda, Dinas
Pariwisata
- Meningkatkan intentitas dan
efektifitas pengelolaan
- Pembangunan Daerah
(termasuk sektor pariwisata)
-Kesejahteraan masyarakat
-Pelestarian Sumber daya
kelautan
- Dukungan dan
kebijakan
-Dukungan dan
kebijakan dalam
pengelolaan
TWAL Teluk
Kupang
-Dukungan sarana
dan prasarana
2 Tokoh masyarakat
(Tokoh Agama, Tua-
tua adat) dan Aparat
Desa
-Kesejahteraan masyarakat
-Keamanan dan ketertiban
warga
-Pembangunan Desa
-Penyadaran
masyarakat
-Pengawasan dan
penegakan
hukum/sanksi
3 LSM -Kesejahteraan masyarakat -Mendukung
pelaksanaan
pengelolaan
TWAL
3 Swasta ( Penginapan,
Rumah makan)
-Keuntungan usaha
-Kesejahteraan masyarakat
-Mendukung
pelaksanaan
pekerjaan
alternatif pada
masyarakatat
melalui program
usaha
4 Nelayan -Meningkatkan hasil
tangkapan
-Pemanfaatan hasil
sumber daya laut
-Menjaga dan
melindungi
terumbu karang
58
5.9. Pengaturan Pengelolaan Taman Wisata Alam Laut Teluk Kupang
Mempertimbangkan bahwa kondisi lingkungan fisik pulau-pulau dalam
kawasan TWAL Teluk Kupang sangat rentan dan memiliki fungsi lindung, maka
segala kegiatan pengelolaan pariwisata alam hanya dilaksanakan di blok peman-
faatan TWAL Teluk Kupang sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 18 tahun 1994 tentang pengelolaan pariwisata alam
zona pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan pariwisata alam
antara lain:
1. Penyelenggaraan pengelolaan pariwisata alam dilakukan pada blok pemanfaa-
tan TWAL Teluk Kupang.
2. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari blok
pemanfaatan kawasan TWAL Teluk Kupang.
3. Bentuk bangunan bergaya arsitektur budaya setempat
4. Tidak mengubah bentang alam
5. Pengelola pariwisata alam diwajibkan membuat dan menyerahkan Rencana
Pengelolaan kepada Menteri Kehutanan
6. Melaksanakan kegiatan secara nyata dalam waktu 12 bulan sejak ijin diberikan.
7. Membangun sarana dan prasarana kepariwisataan dan mengelolanya sesuai
dengan Rencana Karya Pengusahaan yang telah disahkan.
8. Mengikutsertakan masyarakat di sekitar kawasan pelestarian alam dalam kegia-
tan pengelolaannya.
59
9. Pengelola pariwisata alam diwajibkan untuk merehabilitasi kerusakan yang
diakibatkan oleh kegiatan usahanya, menjamin keamanan dan ketertiban para
pengunjung, serta turut menjaga kelestarian fungsi kawasan pelestarian alam.
Pembinaan dan pengawasan pengelolaan pariwisata alam dilaksanakan
oleh instansi yang berwenang melalui pengaturan, bimbingan, penyuluhan dan
sanksi .
5.10. Kondisi Terumbu Karang Teluk Kupang
Pengamatan terumbu karang pada tahun 2010 dilakukan pada 4 lokasi
dalam kawasan TWAL Teluk Kupang, masing-masing 1 lokasi di dalam wilayah
Kota Kupang dan 3 lokasi dalam wilayah Kabupaten Kupang. Dari hasil
pengukuran menunjukan bahwa persentase penutupan karang keras rata-rata
sebesar 44,70% dan termasuk kategori sedang/cukup (Tabel 5.7).
60
Tabel 5.7.
Persentase Tutupan Karang Keras di Perairan TWAL Teluk Kupang, Tahun 2010
No. Kecamatan Lokasi Persentase Tutupan
Karang Keras 2010
(%)
1
Kelapa Lima
Oesapa 50,00
2 Kelapa Lima -
3 Pasir Panjang 70,33
4 Alak Tenau 49,67
5 Kupang Barat Bolok 40,67
6
Semau
Hansisi 11,16
7 Uiasa 46,34
8 Pulau Kera -
9 Sulamu
Pulau Tikus -
10 Sulamu -
Rata-rata: 44,70
Keterangan: tanda ( - ) pada persentase tutupan karang keras 2010 menunjukan tidak
adanya proyek atau penelitian pada lokasi tersebut
5.11. Kondisi Sosial Ekonomi
Sumber penghasilan rumah tangga cukup beragam dan tersebar berasal
dari sektor tanaman bahan makanan, khususnya usaha tani lahan kering.
Penghasilan dari penangkapan hasil pantai dan laut, menyadap lontar, buruh dan
pedagang serta dari sektor industri sangat rendah. Ragam sumber pendapatan
rumah tangga ini di pengaruhi oleh sumberdaya yang tersedia dan etnis yaitu
budaya masyarakat. Di kawasan pantai di diami mayoritas suku Rote, mempunyai
penghasilan yang lebih beragam dari laut sampai ke darat (nelayan, meeting di
pantai, sadap lontar dan usaha tani tanaman), sedang kawasan pantai yang
mayoritas suku Timor mempunyai penghasilan yang lebih berorientasi ke darat
yaitu sadap lontar dan usaha tani, sedang kawasan pantai yang di diami mayoritas
61
suku/Etnis Bugis/Bajo mempunyai sumber penghasilan terutama dari eksploitasi
sumberdaya laut dan pantai.
Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara terhadap dengan responden
pada 4 (empat) lokasi penelitian didapati rata-rata penghasilan yang diproduksi
dari pengeluaran menunjukkan bahwa desa-desa di kawasan TWAL Teluk
Kupang mempunyai penghasilan yang cukup besar yaitu Rp. 6.000.000 per rumah
tangga per tahun (Tabel 5.8). Penghasilan rata-rata terbesar adalah di desa pantai
dengan ekosistem terumbu karang mempunyai penghasilan tertinggi yaitu kurang
lebih Rp. 7,5 juta per tahun sedangkan terendah adalah di desa pantai ekosistem
padang lamun dengan rerata kurang dari Rp.4 juta per tahun.
62
Tabel 5.8
Penduduk di kawasan TWAL menurut Mata Pencaharian
dan Penghasilan Tahun 2010
No Nama Responden Tingkat
Pendidikan
Mata
Pencaharian
Penghasilan/
Bulan
(Rp)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Alfons Lona
Zet Metta
Abraham Mboik
John Zuek
Hari Mone
Alfons Adu
Johny Ballo
Lazarus Kolo
Eben Laikodat
Adipapa Ballo
Godlif Maak
Tarmizi
Daniel Dethan
Yohanis Adoe
Zadrak Koeslulat
Benyamin Manafe
Edu Misa
Esau Benyamin
Ibrahim
Ori Daris
SD
SMP
SD
SD
SMA
SMP
SMP
SD
SD
SMP
SMA
SMP
SD
SD
SMP
SMA
SMP
SD
SMP
SD
Nelayan
Petani
Nelayan
Petani
Pedagang
Tukang bangunan
Petani
Nelayan
Petani
Petani
PNS
Nelayan
Petani
Petani
Nelayan
Petani
Petani
Nelayan
Nelayan
550.000
600.000
500.000
500.000
700.000
1.000.000
600.000
500.000
550.000
600.000
850.000
500.000
600.000
550.000
500.000
600.000
600.000
500.000
550.000
500.000
Meski pendapatan dan pengeluaran rata-rata per rumah tangga dan per
kapita cukup tinggi, tetapi terdapat ketimpangan yang cukup besar desa meskipun
memiliki ekosistem yang sama. Pendapatan dan aktivitas perekonomian desa-desa
pantai bukan hanya ditentukan oleh kesamaan ekosistemnya, tetapi faktor-faktor
pendukung lain seperti jarak dari pusat-pusat perdagangan, aksesibilitas dan
fasilitas-fasilitas sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, penyusunan tataruang
wilayah pesisir untuk kepentingan pembangunan harus dapat mengintegrasikan
faktor-faktor fisik, sosial ekonomi dan sosial budaya serta kelembagaan sebagai
variabel penentu satuan wilayah perencanaan secara formal dan fungsional.
63
Meski pengeluaran rumahtangga cukup besar, tetapi usaha yang
dilakukan oleh penduduk umumnya masih bersifat subsistem dengan teknologi
yang sederhana. Sebagian besar (40-60%) pengeluaran rumahtangga adalah untuk
bahan pangan yang diperoleh dari produksi hasil (tanaman dan ikan) sendiri
sehingga merupakan pengeluaran tidak tunai tetapi yang diperhitungkan. Sedang
teknologi dalam usaha, baik usaha tani tanaman, usaha penangkapan ikan di
pantai dan di laut, usaha pengambilan batu karang dan usaha penebangan hutan
bakau, masih sangat sederhana tanpa banyak memerlukan sarana dan prasarana
serta peralatan sebagai input sehingga biaya investasi sangat kecil. Kelengkapan
modal dan rendahnya pengetahuan, pendidikan dan ketrampilan masyarakat dalam
menjalankan usahanya, merupakan suatu kendala di dalam mempercepat laju
pembangunan di kawasan TWAL Teluk Kupang.
Pola pemukiman penduduk yang mendiami wilayah TWAL Teluk
Kupang pada umumnya terkonsentrasi pada lokasi di sekitar jalan dan pesisir
yang telah berubah dari pola tradisional yang bertumpu pada sekitar bangunan
adat. Sebagai dampak dari lancarnya transportasi dan urbanisasi maka desa-desa
pada ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove di pinggiran kota
Kupang memiliki kepadatan yang tinggi. Dengan kondisi demikian maka akan
berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan khususnya di wilayah pesisir.
Ditinjau dari segi heterogenitas penduduk telah terjadi peningkatan
heterogenitas ditinjau dari segi golongan etnis, budaya dan agama. Namun
heterogenitas tersebut tidak sampai menimbulkan dampak negatif kesenjangan
64
sosial karena adanya saling pengertian dan kerjasama antar mereka dalam
berbagai kegiatan sehari-hari.
5.12. Pariwisata
Perairan laut propinsi Nusa Tenggara Timjur mempunyai daya tarik
magnetik yang dipancarluaskan oleh kepariwisataan mulai dari perairan laut
Taman Nasional Komodo, luar Tamamn Nasional Komodo dan sepanjang
perairan laut Utara pulau Flores sampai ke Lembata.
Potensi laut perairan Selatan Nusa Tenggara Timur, juga sangat menarik
seperti Taman Laut Kabola Alor, Selat Pantar, Pantai Pasir Putih bagian Tenggara
dan Selatan Pulau Sumba yang berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia,
demikian pula Taman Laut dan lokasi pemancingan ikan Marlyn di Teluk Kupang
dan sekitarnya termasuk Nemberala, Ndana, Ndao,dan Ndoo yang terkenal
dengan pasir putih dan kegiatan selancar angin dan surfing.
Potensi laut Nusa Tenggara Timur sangat mendukung untuk
dikembangkan menjadi wisata Bahari, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Hasil penelitian LIPI Ambon dan PSL Undana (1995) menunjukkan
terumbu karang di Teluk Kupang cukup tinggi yaitu 160 jenis yang mewakili 115
famili, sedangkan sumberdaya hayati di jumpai 203 jenis ikan mewakili 32 famili.
Ikan-ikan yang di minati meliputi ikan target dan ikan-ikan hias sebanyak 119
jenis. Pilihan untuk mengembangkan sektor kelautan tidak dapat dianggap sepele,
karena sumber daya darat semakin terbatas dan pemanfaatan sumberdaya laut
meningkat semakin pesat.
65
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Efektifitas Pengelolaan TWAL Teluk Kupang
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut TWAL Teluk Kupang
berkelanjutan adalah paradigma pembangunan sebagai platform daerah. Guna
menjamin keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di TWAL
Teluk Kupang, maka Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur telah mendirikan
suatu lembaga yakni Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) yang
bertujuan untuk menata dan mengelola TWAL Teluk Kupang sesuai dengan pe-
runtukannya dari masing-masing areal, sehingga optimalisasi fungsi kawasan se-
bagai objek wisata alam dapat terwujud.
Dalam implementasinya, upaya-upaya pengelolaan secara terpadu dan
terintegrasi belum dilakukan dengan baik dalam wadah pengelolaan bersama.
BKSDA sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan
pengelolaan TWAL Teluk Kupang masih belum melakukan upaya-upaya
pengelolaan efektif. Upaya untuk mengimplementasikan rencana pengelolaan,
kebijakan, evaluasi, monitoring dan pelibatan para pihak (stakeholders) belum
dilakukan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila
dilihat karakteristik TWAL Teluk Kupang baik dari segi sumberdaya alam
maupun dari masyarakatnya yang sangat beragam, sehingga dalam pengelolaan
TWAL Teluk Kupang seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal.
66
Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik
Indonesia tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya TWAL Teluk Kupang secara langsung melibatkan
partisipasi masyarakat lokal baik dalam perencanaan, implementasi, monitoring
dan evaluasi, sehingga mampu menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup
masyarakat lokal serta kelestarian pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.
Upaya pengelolaan dan rehabilitasi masih dilakukan secara parsial dan
temporal oleh berbagai pihak dan belum adanya sinergis program yang
berkelanjutan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi NTT adalah melakukan upaya rehabilitasi melalui
pengembangan terumbu karang buatan dan transplantasi karang. Selain itu juga
secara rutin setiap tahun melakukan patroli gabungan yang melibatkan berbagai
unsur terkait dalam bidang pengawasan dan penegakan hukum di laut. Hal ini
dibarengi dengan upaya-upaya penyadaran masyarakat dalam melindungi dan
melestarikan ekosistem terumbu karang.
Dari hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa masyara-
kat mengetahui dan menyetujui peraturan pemerintah yang melarang pengambilan
terumbu karang dan penggunaan bom, namun hanya sedikit masyarakat yang
mengetahui adanya sanksi/hukuman bagi perusak terumbu karang, sehingga dapat
dimengerti jika hanya sebagian kecil anggota masyarakat yang mengetahui adanya
pelanggar yang dikenai sanksi. Kenyataan yang terjadi selama ini menunjukkan
penerapan sanksi terhadap perusak terumbu karang belum berjalan optimal.
67
Meskipun aparat desa dan tokoh masyarakat selalu menyerukan pelarangan peme-
rintah yang berhubungan dengan pengeboman ikan, penambangan karang dan
penggunaan potas, namun kurangnya kemampuan kontrol dari aparat untuk men-
gawasi perusak terumbu karang menyebabkan penegakan peraturan tidak berja-
lan. Belum tegasnya penerapan sanksi bagi pelanggar tersebut dapat mendorong
terjadinya pelanggaran secara lebih luas. Dalam kaitannya dengan implementasi
efektifitas pengelolaan TWAL Teluk Kupang, maka penegakan hukum merupa-
kan aspek yang perlu digalakkan.
6.2. Kondisi Terumbu Karang di TWAL Teluk Kupang
Berdasarkan Tabel 6.1 dapat diketahui bahwa hasil pengamatan pada
tahun 2002 menunjukkan kondisi terumbu karang di perairan TWAL Teluk
Kupang termasuk kategori Cukup/Sedang dengan persentase tutupan karang keras
rata-rata sebesar 31,37%. Lokasi yang memiliki kondisi terumbu karang yang
masuk kategori bagus/baik hanya dijumpai di perairan Pasir Panjang, sedangkan
lokasi lainnya memiliki kondisi terumbu karang sedang/cukup.
68
Tabel 6.1.
Persentase Tutupan Karang Keras di Perairan TWAL Teluk Kupang,
Tahun 2002 - 2005
No. Lokasi Kecamatan
Persentase Tutupan Karang Keras
(%)
2002 2003 2005
1 Oesapa Kelapa Lima 25,35 - 3,60
2 Kelapa Lima Kelapa Lima 35,30 - 15,10
3 Pasir Panjang Kelapa Lima 60,55 - 22,54
4 Tenau Alak 26,50 - 3,30
5 Bolok Kupang Barat - - 31,55
6 Hansisi Semau - 18,95 6,87
7 Uiasa Semau - - 29,35
8 Pulau Kera Semau 27,05 16,59 15,65
9 Pulau Tikus Sulamu 40,00 - -
10 Sulamu Sulamu 31,90 - -
Rata-rata: 31,37 17,77 16,00
Sumber : 1. Ninef, J.S.R. (2002); 2. Ninef, J.S.R. (2003);3. Ninef, J. S. R. (2005)
Keterangan : tanda ( - ) pada persentase tutupan karang keras 2010 menunjukan ti-
dak adanya proyek atau penelitian pada lokasi tersebut.
Hasil pengamatan tahun 2002 menunjukkan bahwa kondisi terumbu
karang di perairan TWAL Teluk Kupang dalam wilayah administrasi Kota
Kupang memiliki kondisi yang lebih baik dengan persentase penutupan karang
keras rata-rata sebesar 36,90 % dibandingkan dengan kondisi terumbu karang
dalam wilayah administrasi Kabupaten Kupang dengan persentase penutupan
karang keras rata-rata sebesar 23,9 % (Ninef, 2002).
Pengamatan terumbu karang pada tahun 2003 hanya dilakukan pada dua
lokasi di dalam kawasan TWAL Teluk Kupang, yaitu di Hansisi dan Pulau Kera.
Secara umum kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang
69
keras termasuk kategori buruk/jelek dengan rata-rata persentase penutupan
sebesar 17,77%. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil pengamatan tahun 2002
mengingat pengambilan data hanya dilakukan pada dua lokasi dan tidak dapat
mewakili kondisi umum terumbu karang di perairan TWAL Teluk Kupang.
Khusus untuk terumbu karang di perairan Pulau Kera menunjukan adanya
penurunan persentase penutupan karang dibandingkan dengan tahun 2002 (Ninef
dkk, 2003)
Pengamatan terumbu karang pada tahun 2005 dilakukan pada 8 lokasi di
dalam kawasan TWAL Teluk Kupang. Persentase tutupan rata-rata karang keras
sebesar 16,00 % dan kondisi terumbu termasuk kategori buruk/jelek. Dari ke-8
lokasi yang disurvai menujukan hanya di perairan Bolok dan Uiasa yang memiliki
kondisi terumbu karang sedang/cukup (Gambar 6.1), sedangkan yang lainnya
termasuk kategori buruk/jelek.
Gambar 6.1 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Bolok dalam
kawasan TWAL Teluk Kupang
70
Dari data hasil pengamatan ini menunjukan hasil yang sangat berbeda
dengan data hasil pengamatan tahun 2002. Hal ini diduga karena adanya variasi
kedalaman pengambilan data yang tidak sama antara tahun 2002 dan 2005.
Pengamatan terumbu karang pada tahun 2005 dilakukan pada 3 kedalaman yang
berbeda yaitu top reef (1-2 meter), 3 meter dan 10 meter. Hal ini mengakibatkan
adanya variasi data persentase tutupan karang yang tinggi antar kedalaman.
Data hasil pengamatan tahun 2005 menunjukan bahwa pada perairan
dalam wilayah Kota Kupang memiliki persentase penutupan karang keras yang
rendah dibandingkan dengan wilayah kabupaten Kupang. Hal ini terutama
disebabkan karena pengambilan data di wilayah kota Kupang dilakukan pada
daerah top reef (1-2 meter). Daerah ini mengalami tekanan pemanfaatan yang
tinggi dari aktivitas makan meting dan dampak pembuangan limbah domestik.
Kondisi terumbu karang di perairan TWAL Teluk Kupang berdasarkan
data yang ada menujukkan bahwa pernah terjadi kerusakan yang dampaknya
masih terlihat hingga saat ini.
Kerusakan yang ada terutama akibat dari kegiatan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak (bom), penggunaan obat bius, penambangan
karang (Gambar 6.2a), jangkar perahu (Gambar 6.2b), sedimentasi, limbah
domestik, pemangsaan karang dan beberapa aktivitas masyarakat lainnya, seperti
makan meting (pengambilan hasil laut pada saat air laut surut).
71
Gambar 6.2. Beberapa kerusakan yang ada akibat dari kegiatan penangkapan ikan
di TWAL Teluk Kupang: A. Penambangan karang, B. Jangkar perahu
Terumbu karang akan mengalami pertumbuhan yang baik apabila faktor-
faktor yang menghambat pertumbuhannya dapat dikurangi terutama tekanan
pemanfaataan yang tinggi maupun aktivitas manusia lainnya. Adanya upaya-
upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lainnya
dalam upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya pesisir dan laut di Teluk
Kupang telah memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan pemahaman
dan perubahan perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
laut termasuk terumbu karang, sehingga telah berhasil mengurangi laju kerusakan
dan meningkatkan persentase penutupan karang keras. Hal terlihat pada beberapa
lokasi yang tekanan aktivitas yang merusak sudah mengalami penurunan, terumbu
karangnya mulai mengalami pemulihan secara alami yang ditandai dengan
meningkatnya pertumbuhan populasi karang lunak pada lokasi yang pernah
mengalami kerusakan. Proses ini merupakan suatu rangkaian suksesi yang
diawali dengan pertumbuhan alga dan berlanjut dengan perkembangan populasi
karang lunak (Gambar 6.3).
A B
72
Gambar 6.3. Terumbu karang yang mengalami pemulihan dari kerusakan yang
ditandai pertumbuhan populasi karang lunak pada patahan karang
(coral rubbles) di TWAL Teluk Kupang.
Upaya-upaya pengelolaan secara terpadu dan terintegrasi belum dilakukan
dengan baik dalam wadah pengelolaan bersama. BKSDA NTT sebagai lembaga
yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengelolaan TWAL Teluk Kupang
masih belum melakukan upaya-upaya pengelolaan efektif. Upaya untuk
mengimplementasikan rencana pengelolaan dan pelibatan para pihak
(stakeholder) belum dilakukan. Upaya pengelolaan dan rehabilitasi masih
dilakukan secara parsial dan temporal oleh berbagai pihak dan belum adanya
sinergis program yang berkelanjutan. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT adalah melakukan upaya rehabilitasi
melalui pengembangan terumbu karang buatan dan transplantasi karang. Selain
itu juga secara rutin setiap tahun melakukan patroli gabungan yang melibatkan
berbagai unsur terkait dalam bidang pengawasan dan penegakan hukum di laut.
Hal ini disertai dengan upaya-upaya penyadaran masyarakat dalam melindungi
dan melestarikan ekosistem terumbu karang.
73
Peningkatan persentase terumbu karang dapat dikatakan cukup
berdasarkan data monitoring terumbu karang yang dilakukan oleh beberapa orang
peneliti secara mandiri serta oleh institusi yang bekerja sama dengan pihak terkait
secara tidak rutin sejak tahun 2002 – 2005, yang ditandai dengan jenis/taxa karang
yang tidak berubah walaupun beberapa jenis karang pertumbuhannya lambat
karena faktor tekanan oleh alam yaitu pemutihan karang (coral bleaching) dan
serangan predator karang mahkota berduri (Acanthaster plancii). Genus karang
yang dijumpai di kawasan TWAL Teluk Kupang adalah dari Acropora, Merulina,
Pocillopora, Pectinia, Seriatopora, Stylophora dan Millepora. Banyak faktor
yang mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang di TWAL Teluk Kupang,
baik faktor alam maupun faktor manusia. Pemutihan karang (coral bleaching)
yang terjadi di kawasan TWAL Teluk Kupang pada tahun 1997-1998 akibat
pemanasan global berupa fenomena El- Nino dilaporkan telah membunuh hampir
100% terumbu karang pada kasus tertentu (Azhar et al, 1998). Terumbu karang di
TWAL juga tidak luput dari serangan predator karang mahkota berduri/Crown of
Thorn (CoT) secara berulang pada tahun 1998, 2000, 2004, 2005 hingga sekarang
pada tahun 2007 yang berakibat sangat buruk terhadap jumlah tutupan karang
hidup. Hal ini kemungkinan karena CoT memakan sebagian besar spesies karang
yang pertumbuhannya cepat, yang merupakan makanan favorit mereka dan
kemudian baru mulai melahap spesies karang dengan pertumbuhan yang lambat.
Kedua kejadian tersebut merupakan faktor alam yang sangat merusak ekosistem
terumbu karang, dan keadaan terumbu karang semakin parah akibat tekanan
manusia disaat pengeboman dan penggunaan potasium
74
Kondisi terumbu karang di perairan TWAL Teluk Kupang dalam wilayah
Kota Kupang memiliki persentase penutupan karang keras yang lebih baik yaitu
sebesar 56,66% dan termasuk kategori bagus/baik dibandingkan dengan terumbu
karang di wilayah kabupaten Kupang yang memiliki persentase penutupan rata-
rata sebesar 32,72% dan termasuk kategori sedang/cukup.
Dari pembahasan yang telah dikemukakan secara umum dapat di simpul-
kan jika data persentase tutupan karang keras pada tahun 2010 dibandingkan
dengan data hasil pengamatan tahun sebelumnya menunjukkan adanya
peningkatan persentase penutupan karang keras. Pada tahun 2002 persentase
penutupan karang keras rata-rata sebesar 31,37% mengalami peningkatan menjadi
44,70% pada tahun 2010, sehingga dapat terlihat bahwa persentase tutupan ka-
rang mengalami peningkatan sebesar 13,32% selama 8 tahun atau rata-rata sebesar
1,7% per tahun. Berdasarkan data perkembangan kondisi terumbu karang selama
8 tahun (2002-2010) menunjukkan bahwa adanya perubahan kondisi terumbu
karang menjadi lebih baik jika dibandingkan antara tahun 2002 dan 2010.
Perbandingan perkembangan kondisi terumbu karang di TWAL Teluk
Kupang dengan lokasi lainnya di NTT dapat di lihat pada Tabel 6.2.
75
Tabel 6.2.
Perbandingan Perkembangan Karang Keras di TWAL Teluk Kupang, TWAL 17
Pulau Riung dan TWAL Teluk Maumere.
No Lokasi
Persentase penutupan karang keras (%)
/ tahun Rata-rata
persen
per tahun 2002 2006 2010
1. TWAL Teluk
Kupang* 31,37 - 44,70 1,67
2. TWAL 17 Pulau
Riung, Ngada** 36,80 - 34,00 -0,35
3 TWAL Teluk
Maumere, Sikka*** 16,14 17,38 - 0,31
Sumber : *) Ninef, dkk (2002); **) Conteriusdkk (2002); Ninef, (2010); ***) Conterius,
dkk (2002); COREMAP Sikka (2006).
Data pada tabel 6.2. menunjukan bahwa perkembangan kondisi terumbu
karang di TWAL Teluk Kupang berdasarkan perkembangan persentase penutupan
karang keras rata-rata mengalami pertambahan sebesar 1,67 % selama 8 (delapan)
tahun. Kondisi ini lebih baik dibandingkan dengan perkembangan kondisi
terumbu karang di TWAL Teluk Maumere Sikka dan TWAL 17 Pulau Riung
Ngada.
6.3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat disekitar TWAL Teluk Kupang
Mengacu pada dokumen Rencana Aksi Pengelolaan Provinsi NTT,
khususnya untuk pengelolaan TWAL Teluk Kupang memiliki empat tujuan
sebagai berikut:
1. Tujuan Ekologi: mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya pengelolaan
wilayah pesisir dan laut yang berwawasan lingkungan dan
berkesinambungan.
2. Tujuan Ekonomi: menciptakan kegiatan ekonomi produktif di wilayah
pesisir untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat pesisir.
76
3. Tujuan Sosial Budaya: membuka akses terhadap informasi/pendidikan/
penyuluhan dan lainnya di wilayah pesisir untuk meningkatkan kualitas
hidup nelayan dan masyarakat pesisir.
4. Tujuan Hukum dan Kelembagaan: menyediakan perangkat hukum dan
aturan perundang-undangan daerah serta kelembagaan daerah dan
masyarakat yang berfungsi dengan baik untuk mendukung terlaksananya
pengelolaan wilayah pesisir secara lestari.
Penetapan kawasan pada saat itu, masyarakat tidak dilibatkan dalam
perencanaan dan penetapan kawasan Teluk Kupang sebagai taman wisata alam
laut. Hal ini diperkuat oleh pendapat masyarakat berdasarkan hasil wawancara
menggunakan kuisioner yang menyatakan bahwa masyarakat tidak dilibatkan
dalam penetapan kawasan, dan 30% responden menyatakan tidak mengetahui
bahwa Teluk Kupang merupakan kawasan pelestarian alam berbentuk taman
wisata alam laut.
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa 90% responden
menyatakan tidak mengetahui bahwa arahan pengelolaan TWAL Teluk Kupang
yang terintegrasi telah disusun. Keberadaan dokumen tersebut hanyalah
Pemerintah Daerah sebagai penyusun sehingga sosialisasi menjadi penting untuk
menyebarluaskan informasi ini kepada masyarakat.
Sejak ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam pada tahun 1993,
berbagai upaya pelestarian Kawasan TWAL Teluk Kupang telah dilakukan oleh
berbagai pihak (Departemen Kehutanan 1997). Namun, sejumlah penelitian
menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove di kawasan
77
TWAL Teluk Kupang telah mengalami kerusakan (Bappeda Provinsi NTT 2003,
Dewi 2009, Salean 2004). Dari berbagai kasus dalam pengelolaan TWAL Teluk
Kupang, sering ditemukan bahwa masyarakat sebagai pemangku kepentingan se-
lalu kurang mendapat perhatian, padahal sebagaimana telah ditunjukkan oleh
Mudita & Natonis (2008) dalam pengelolaan ketahanan hayati (biosecurity), suatu
rencana pengelolaan, betapapun sempurnanya rencana tersebut, tidak akan
menghasilkan apapun bila masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama tidak
dilibatkan.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat sebagian be-
sar tidak mengetahui tentang keberadaan rencana pengelolaan TWAL Teluk Ku-
pang dan implementasinya. Masyarakat juga menyatakan tidak terlibat dalam pe-
nyusunan dokumen tersebut. Upaya pemanfaatan pesisir yang cenderung tidak
ramah lingkungan masih berjalan seperti penambangan karang untuk batu kapur,
ini disebabkan oleh karena masih lemahnya pemahaman masyarakat tentang peng
elolaan TWAL dan hukum lingkungan.
Selain faktor-faktor eksternal yang mengancam kesejahteraan mereka,
ditinjau dari sumberdaya manusianya, sebagai para pengguna sumberdaya pesisir
sebagian besar mempunyai keterampilan dan modal usaha yang lemah.
Keterampilan mereka biasanya hanya bertani dan nelayan. Kurangnya pendidikan
dan kesadaran masyarakat dalam penggunaan sumberdaya alam secara lestari,
karena minimnya sarana dan prasarana pendidikan di desa-desa pesisir, juga
merupakan ancaman terhadap kesejahteraan hidup mereka. Sedang penanganan
terhadap kebutuhan pendidikan dan kesehatan dasar dari pemerintah masih
78
kurang. Kurangnya koordinasi dan prioritas pembangunan dari lembaga-lembaga
pengelola wilayah pesisir masih terjadi, sehingga pengembangan.
6.4. Strategi Pengelolaan TWAL Teluk Kupang Berkonsep Kolaboratif
Harus diakui dalam pengimplementasian dan penegakkan hukum bidang
kelautan di Indonesia masih lemah, begitu juga dengan pengelolaan TWAL Teluk
Kupang. Selama ini persoalan pengelolaan, penegakkan hukum dan peraturan
dilaut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar sektor
pembangunan, institusi, aparat pemerintah serta masyarakat lokal.
Satu upaya yang perlu dilakukan adalah menjembatani dan mencari akar
permasalahan utama sedemikian sehingga sinkronisasi arahan pengelolaan TWAL
Teluk Kupang dapat dilakukan. Strategi untuk memperkecil kesenjangan tersebut
adalah pengembangan Adaptif Collaborative Management (ACM) dalam
pengelolaan TWAL Teluk Kupang secara berkelanjutan.
Pendekatan ACM adalah suatu proses yang bertujuan mendorong para
pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, melaksana kan,
mengamati, dan mengambil pelajaran dari pelaksanaan rencana mereka di masa
pembelajaran bersama sebagai dasar untuk memperbaiki secara kolaboratif
strategi-strategi pengelolaan TWAL Teluk Kupang. Pada pengembangan model
ACM ini sebenarnya dilakukan untuk memberikan jawaban atas beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
1. Dapatkah kerja sama di antara para pemangku kepentingan dalam
pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang diperkuat oleh proses
79
pembelajaran sosial yang kemudian dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan memperbaiki kondisi TWAL Teluk Kupang?
2. Pendekatan-pendekatan apakah yang terfokus pada pembelajaran sosial dan
aksi kolaboratif antara para pemangku kepentingan yang dapat mendorong
pengelolaan TWAL Teluk Kupang yang berkelanjutan?
3. Bagaimanakah pembelajaran sosial dalam ACM mempengaruhi fungsi sosial,
ekonomi, dan ekologi?
Gagasan pengelolaan adaptif ini muncul ketika masyarakat menyadari
pentingnya menghadapi ketidakpastian, dengan cara merancang intervensi untuk
mendorong pembelajaran. Pengelolaan adaptif merupakan suatu cara bagi para
pemangku kepentingan untuk mengambil langkah secara bertanggung jawab
ketika menghadapi ketidakpastian. Pendekatan ini me mungkinkan dilakukannya
perbaikan sesering dibutuhkan melalui proses yang berulang-ulang. Proses
pengelolaan adaptif dimulai dengan refleksi untuk mengidentifikasi masalah-
masalah mendasar, peluang, dan pokok persoalan. Hasil refleksi itu kemudian
diangkat sebagai faktor yang penting untuk dipertimbangkan dalam perencanaan,
diikuti dengan tindakan nyata untuk mencapai tujuan pengelolaan.
Kunci keberhasilan pengelolaan adaptif adalah belajar dari pengalaman
yang lalu untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Proses berulang-ulang
sebagaimana di gambarkan di atas mengharuskan para pengelola untuk
terusmenerus menilai efektivitas rencana dan tindakan mereka. Dengan sendirinya
mereka akan menyadari perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka karena
80
tindakan-tindakan mereka. Dengan langkah ini, mereka dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungan yang terus berubah.
ACM merupakan suatu pendekatan yang mendorong para pemangku
kepentingan untuk bekerja sama dalam merencanakan, mengamati, dan menarik
pelajaran dari perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Maka penting untuk
dilihat bahwa ciri khas proses ACM adalah usaha-usaha sadar dari para
pemangku kepentingan untuk secara berkelanjutan menjalin komunikasi,
kolaborasi, dan negosiasi serta mencari peluang untuk belajar secara bersama
mengenai dampak dari tindakan-tindakan mereka, dengan memperhatikan dua
komponen utama yaitu:
1. Kemampuan beradaptasi adalah kemampuan sesuatu, seseorang, masyarakat,
atau sebuah kelompok di dalam masyarakat untuk menanggapi secara aktif
dan positif faktor-faktor luar (eksternal) atau faktor-faktor dalam (internal).
2. Kemampuan berkolaborasi adalah partisipasi secara sukarela para pemangku
kepentingan dalam proses pengelolaan, khususnya dalam proses
pembelajaran. Penting untuk dicatat bahwa kemampuan berkolaborasi tidak
mengacu pada tatanan tertentu pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang.
Kemampuan berkolaborasi tidak mensyaratkan siapa saja yang bisa dilibatkan
dalam suatu upaya kolaborasi, ataupun tentang pembagian peran dan
tanggung jawab di antara mereka. Apabila aspek etika dipertimbangkan dan
agar tujuan suatu upaya bersama benar-benar bermakna bagi mereka yang
terlibat, maka kolaborasi akan sangat ditentukan oleh partisipasi para
81
pemangku kepentingan yang memainkan peran kunci dalam suatu kawasan
TWAL Teluk Kupang, khususnya mereka yang tersingkirkan selama ini.
82
82
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu
dan berdasarkan tujuan dari penelitian ini, maka dapat dikemukanan beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Efektifitas pengelolaan di kawasan TWAL Teluk Kupang masih sangat rendah
dan kurang efektif disebabkan kurangnya peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan, pengelolaan sampai pengawasan serta evaluasi di kawasan
TWAL Teluk Kupang.
2. Persentase tutupan terumbu karang keras menunjukan adanya peningkatan
dibandingkan dengan persentase sebelumnya yang buruk serta masih
kurangnya penyuluhan tentang fungsi dan manfaat terumbu karang.
3. Kondisi sosial ekonomi:
a. Relatif cukup baik berdasarkan kepemilikkan material.
b. Ketergantungan masyarakat di kawasan TWAL Teluk Kupang (nelayan)
terhadap SDK relatif kecil karena terbatasnya akses.
c. Secara ekonomi masyarakat di kawasan TWAL Teluk Kupang tergantung
dari sektor pertanian dan sektor informal.
83
7.2. Saran-saran
1. Perlu dilakukan kerja sama formal antara BKSDA TWAL Teluk Kupang
dengan masyarakat lokal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta swasta
sebagai bentuk mekanisme pengelolaan kolaboratif kawasan TWAL Teluk
Kupang, yang dituangkan dalam sebuah Rencana Kerja Bersama (collaborative
management planning).
2. Melakukan evaluasi pengelolaan secara rutin dengan menggunakan skema
siklus pengelolaan proyek (project cycle management) sebagai kerangka kerja
efektivitas.
3. Sebaiknya program konservasi di kawasan TWAL Teluk Kupang dilakukan
lebih komprehensif dengan melibatkan seluruh penerima manfaat
(beneficiaries) termasuk masyarakat kota Kupang.
4. Perlu diversifikasi pola pemanfaatan sumber daya pesisir TWAL Teluk
Kupang untuk mengoptimalkan nilai ekonomi yang disumbangkan oleh
ekosistem terumbu karang.
84
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Kerangka Kerja Untuk Program CREED. Designed by AS in 2
August 2001.
Angwarmase, I. 2009. Struktur Komunitas Ikan Karang dan Valuasi Ekonomi
Karang di Desa Hansisi Kecamatan Semau Teluk Kupang. [Tesis]. Program
Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program
Pascasarjana Universitas Nusa Cendana. Kupang.
Bunce, L. dan Bob, P. 2003.Socioeconomic Monitoring Guideline For Coastal
Managers in Southeast Asia. World Commission on Protected Areas and
Australian Institute of Marine Science
Borrini Feyerabend, G.Taghi, F., Jean, C.N. dan Vincent, A.N. 2000. Co-
Management of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learning-
by-Doing. GTZ and IUCN, Kasparek Verlag, Heidelberg (Germany).
Burhan Bungin, 2005. Metode Penelitian Kuantitatif, Edisi Pertama, Cetakan ke
empat. Jakarta : Kencana.
Bappeda Provinsi NTT 2003. Integrated Coastal Zone Management. Laporan
Capaian Hasil Kegiatan Marine Coastal and Resourses Management.
Kupang.
Bappeda Provinsi NTT 2006. Dokumen Rencana Zonasi Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Kupang.
Burke L., E. Selig, & M. Spalding 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia
Tenggara. WRI. Washington.
Dahuri, R. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi
Ilmiah: Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumber DayaPesisir dan
Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Departemen Kehutanan. 2001. Naskah Akademik Pelaksanaan Pengelolaan
Kolaboratif di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dewi, I.A.L. 2006. Perencanaan Pariwisata Di Pulau Kera Kabupaten Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur [Tesis]. Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Departemen Kehutanan 1993. Pengelolaan Taman Wisata Alam Laut Teluk
Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang.
85
Gomez, E.D. dan Yap, H.T. 1988. Monitoring Reef Condition. In: Kenchington,
RA & BET Hudson (eds). Coral Management Handbook. Unesco Regional
Office for Science and Technology for South-East Asia. Jakarta
Gray,B. 2005. Collaborating: Finding Common Ground for Multiparty Problems.
Sinergi Jurnal Manajemen Kolaborasi, Vol. 1, No.1.
Idris, I.2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan
Perikanan.
Iskandar, J., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan
Mangrove, Makalah disampaikan dalam Pelatihan Peran Masyarakat Dalam
Pengelolaan Lingkungan Hutan Mangrove, 29-30 Agustus, Lampung.
Jeanrenaud, S. 1997. Perspective in People-Oriented Conservation. Arborvitae
Supplement. IUCN The World Conservation Union, World Wide Fund For
Nature.
Kementrian Lingkungan Hidup. 2005. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2004.
2004. Jakarta.
Kunzmann, A.2001. Coral, Fisherman Tourist. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol.4,
No. 1, 2001 (Supp 2).
Notoatmodjo, S. 2005. Metode Penelitian. Edisi Revisi Cetakan ketiga. Jakarta :
Rineka Cipta
Ninef, J.S.R., I.S. Angwarmase., I. Tallo., & Y. Linggi 2002. Monitoring dan
Evaluasi Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Kupang NusaTenggara
Timur. Coral Reef Information andTraining Centre (CRITIC) Nusa
Tenggara Timur. Kupang.
Ninef, J.S.R. 2003. Kondisi Terumbu Karang di Wilayah MCMA Teluk Kupang
dan Teluk Wini dalam Data dan Informasi Sumberdaya hayati Pesisir di
MCMA Teluk Kupang dan Teluk Wini. Bappeda NTT. Kupang.
Ninef, J. S. R. 2005. Data Tematik Terumbu Karang di Wilayah MCMA Teluk
Kupang dan Teluk Wini. Bappeda NTT. Kupang.
Onwuegbuzie, A.J., & C. Teddlie 2003. A Framework for Analyzing Data in
Mixed Method Research. In: Handbook of Mixed Methods in Social &
Behavioral Research. Pp. 351-384. A. Tashakkori & C. Teddlie (eds.).
SAGE Publications: Thousand Oaks, London, New York.
Pomeroy,R.S., John, E.P dan Lani M.W. 2004. How is your MPA doing? A
Guidebook of Natural and Social Indicators for Evaluating Marine
Protected Areas Management Effectiveness IUCN-The World Conservation
Union. Thaned Press Ltd, Margate, UK.
86
Ramirez, R. 2001. Understanding the approaches for accommodating
multiplestakeholders “Interest”. International Journal Agricultural
Resources, Governance and Ecology, Vol.1, Nos ¾..
Roe, D. 2004. The Milleniun Development Goals and Conservation. International
Institute for Environment and Development, 3 Endsleigh Street, London.
Tadjudin, D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Penerbit Pustaka Latin, Bogor.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Sumberdaya Alam Hayati dan Eko-
sistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
Tambahan lembaran Negara Nomor 3419.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.
Suporahardjo, 2005. Sinergi Jurnal Manajemen Kolaborasi, Vol. I, No. I. Strategi
dan Praktek Kolaborasi: Sebuah Tinjauan.
Salean, A. 2004. Partisipasi Masyarakat Pesisir dalam Melestarikan Ekosistem
Terumbu Karang di Kawasan Teluk Kupang. [Tesis]. Program Studi
Magister Studi Pembangunan. Program Pascasarjana. Universitas Kristen
Satya Wacana. Salatiga.
Wiratno, Danu, I., Ahmad, S., Ani, K. (2004). Berkaca Di Cermin Retak ;
Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Edisi
Kedua (edisi revisi), Publikasi Forest Press, The Gibbon Foundation
Indonesia, Departemen Kehutanan, PILI – NGO Movement.
Wiratno. 2005. Seperempat Abad Taman Nasional di Indonesia : Beberapa
Catatan Pemikiran. Paper Sarasehan Pengelolaan Kolaborasi Taman
Nasional. Sukabumi: 29-31 Agustus.
WWF, 2000a. Stakeholder Collaboration; Building Bridges for Conservation.
Ecoregional Conservation Strategies Unit, Research and Development,
World Wildlife Fund, Washington DC 20037.
WWF. 2000b. Improved Management of Marine Protected Areas. Available from:
URL: http:/www.panda.org/protected areas.
WWF. 2003. Improved Management of Marine Protected Areas. Available from:
URL: http:/www.panda.org/protected areas.
87
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar A. Pengambilan data sosial ekonomi dengan kuisioner
Gambar B. Potret keadaan sosial ekonomi penduduk lokal
88
HASIL REKAP DATA KUISIONER
Pertanyaan Pilihan Jawaban Total
Apakah masyarakat setempat terlibat dalam proses
perencanaan Pengelolaan TWAL Teluk Kupang
Ya 0
Tidak 88
Tidak Tahu 0
Tidak Berlaku 0
Apakah pemerintah setempat dilibatkan dalam
proses Perencanaan Pengelolaan TWAL Teluk
Kupang
0
Ya 6
Tidak 8
Tidak Tahu 74
Tidak Berlaku 0
Apakah aturan dan pedoman tentang Pengelolaan
TWAL Teluk Kupang sudah dipasang pada tempat
yang strategis agar masyarakat umum dan setem-
pat dapat melihat dan membacanya dengan mudah
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah pemantauan biofisik secara teratur sudah
dimulai
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah pemantauan terkait aspek sosial sudah
dimulai
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah tersedia anggaran dari pemerintah pusat
atau daerah atau dari sumber-sumber lainnya bagi
pengelola Pengelolaan TWAL Teluk Kupang
0
Ya 0
Tidak (mungkin) 10
Tidak Tahu 78
89
Pertanyaan Pilihan Jawaban Total
Tidak Berlaku 0
Apakah rencana pengelolaan TWAL Teluk Ku-
pang sudah dibuat
0
Ya 0
Tidak (mungkin) 15
Tidak Tahu 73
Tidak Berlaku 0
Apakah pembuatan rencana penglolaan TWAL
Teluk Kupang dilakukan bersama dengan semua
pemangku kepentingan kunci
0
Ya 0
Tidak (mungkin) 17
Tidak Tahu 71
Tidak Berlaku 0
Apakah rencana pengelolaan sudah diterima oleh
pemerintah setempat
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah rencana pengelolaan disertai dengan ren-
cana zonasi dibuat terpisah
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah pelampung tambat, tanda dan/atau tanda
batas sudah dipasang
0
Ya 0
Tidak (mungkin) 28
Tidak Tahu 60
Tidak Berlaku 0
Apakah prasarana sudah didirikan untuk menun-
jang pengelolaan TWAL Teluk Kupang
0
Ya 0
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Apakah pengelolaan TWAL Teluk Kupang sudah
dinyatakan secara resmi dengan SK
0
Ya 0
90
Pertanyaan Pilihan Jawaban Total
Tidak 0
Tidak Tahu 88
Tidak Berlaku 0
Top Related