1
TAQDÎM DAN TA’KHÎR DALAM AL-QUR’AN DAN
TAFSIRNYA
Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, MA
Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Pontianak
Taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu keistimewaan gaya bahasa ( ushlûb )
balâghah yang memiliki keindahan makna serta pengaruh yang mendalam bagi
pendengar maupun si pembicara. Dan setiap kalimat yang terucap melalui kata-kata
serta susunan kalimat yang teratur merupakan ketinggian serta keindahan gaya bahasa
ini. Ushlûb menurut pandangan para-sastrawan ( al-Balîgh ) adalah salah satu seni
ilmu balâghah yang dapat mengungkap dan menyingkap rahasia serta sebab-sebab
kalimat dalam menempatkan kata-kata yang dapat menggugah dan menyentuh
perasaan. Dan taqdîm dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an terdapat bermacam-macam yang
memiliki sebab-sebab dan rahasia yang jelas, kemudian diungkap oleh para ulama
tafsir dengan berbagai penafsiran terhadap ayat-ayatnya.
A. Macam-macam bentuk taqdîm dan ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran
ayat-ayatnya.
2
Bentuk taqdim dan ta‟khîr dalam Al-Qur’an, menurut As-Zarkasyi
( w. 794 H )ada tiga macam, Pertama : Didahulukan dengan maknanya tetap sebagai
taqdîm ( ب لذ اؼ ػ١ ). Kedua : Didahulukan tetapi maksudnya diakhirkan,
Ketiga : Didahulukan dalam suatu ayat dan diakhirkan .( ب لذ ا١خ ث ازؤخ١ش )
pada ayat yang lain ( ش ف أخشب لذ ف أ٠خ أخ ). 1
Ketiga bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, berkembang dari pemahaman yang
dikembangkan oleh para pakar ilmu bahasa ( Nahwu-sharf, Balâghah serta sastra ),
dan pada awalnya dikembangkan oleh para ulama Balâghah, di antaranya : Pertama :
Oleh Abdul Qâhir Al-Jurjâni ( w. 471 H ) yang kemudian dilanjutkan oleh Khatîb
Al-Qazwainî ( w. 379 H ). Kedua : Oleh Syamsuddin Ibn Shâ’ig al-Khifnî
( w. 876 H ). Ketiga : Oleh Dhiyâuddin Ibn Atsîr ( w. 1239 H ). Dan yang Keempat :
Oleh ulama tafsir, yaitu Abu Su’ûd ( w. 982 H ) dan Imam Zamakhsyari ( 583 H ). 2
1. Metode ( manhaj ) yang dikembangkan para ulama Balâghah, berpegang
kepada unsur-unsur berikut ini :
a. Haqîkat ( kedudukan ) taqdîm.
b. Tujuan ( aghrâd ) taqdm.
c. Macam-macam taqdîm dan tema-temanya.
1
AZ-Zarkasyî ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1408 H /
1988 M ), Cet. I, Jilid ke-3, h. 279, 319, 329 2
Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, Khashâ‟is At-Ta‟bîr Al-Qur‟ani Wa Simâtuhu
Al-Balâghiyah, ( Kairo : Maktabah Wahbab, 1413 H / 1993 ), cet. I, Jilid ke-2, h. 79-80
3
Unsur kedua dan ketiga lebih terfokus kepada metode. Sedangkan unsur yang
pertama lebih cenderung kepada pembahasan sebab-sebab terjadinya taqdîm dan
ta‟khîr. Tujuan taqdîm menurut mereka ada dua macam, pertama : tujuan secara
umum, seperti ; ambil perhatian ( ihtimâm ), dan kedua : tujuan secara khusus yaitu
untuk mengkhususkan ( takhsîsh ).
Sedangkan macam-macam taqdîm menurut ulama Balâghah, adalah :
a. Taqdîm dengan niat ta‟khîr ( رمذ٠ ػ ١خ ازؤخ١ش ), yaitu mendahulukan
suatu kata tetapi niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan ). Contoh : ( ف ث١ز ٠ئر اؾى )
dalam hal ini, mendahulukan khabar sebelum mubtada‟, maksudnya meskipun
didahulukan khabarnya ( ف ث١ز ), namun tetap kedudukannya sebagai ta‟khîr. Juga
: terehadap mubtada’nya, yaitu ( ر١ ) yaitu mendahulukan khabar ( ر١ أب )
( أب ). Mendahulukan maf‟ûl sebelum fâ‟il atau fi‟ilnya, meskipun maf‟ûl
didahulukan tetapi maksudnya tetap sebagai maf‟ûl yang kedudukannya di akhir
( ta‟khir ), contoh ; ( ظشة غال ص٠ذ ).
b. Taqdîm tidak bertujuan ta‟khîr (رمذ٠ ال ػ ١خ ازؤخ١ش ), yaitu
mendahulukan sesuai dengan kedudukannya, seperti ; mendahulukan mubtada’
terhadap khabar, mendahulukan fi‟il terhadap fâ‟il. Cara-cara ini adalah menurut
Abdul Qâhir Al-Jurjâni dalam kitabnya ( Dalâ‟il I‟Jâz ) dan kemudian diikuti oleh
4
yang lainnya dari ulama Balâghah seperti Khatîb Al-Qazwâinî ( w. 379 H ), meskipun
dalam hal ini Zamakhsyari ( w. 538 H ) tidak sependapat. 3
Sedangkan tema-tema ( maudhu‟ât ) taqdîm, menurut ulama Balâghah, tentu
tidak keluar dari situasi berikut ini :
1.) Mendahulukan Musnad Ilaih. Dalam hal ini, hanya khusus untuk
mubtada’, seperti mendahulukn musnad ilaih, yaitu lafazh ( ص٠ذ ) dalam contoh
sedangkan dalam bentuk fâ‟il tidak ada tempat ,( Si Zaid Berangkat )( ص٠ذ طك )
dalam situasi ini, karena jika fâ‟il didahulukan terhadap fi‟ilnya maka ia harus
menjadi mubtada’ dan akan hilang kedudukan fi‟il dan fâ‟ilnya, contoh ( ,( ٠طك ص٠ذ
bila didahulukan fâ‟il-nya, maka menjadi ( ص٠ذ ٠طك ). Dengan demikian kalimat
tersebut bukan taqdîm dan tâ‟khîr.
2. ) Mendahulukan musnad. Hal ini khusus untuk khabar yang bukan dari
fi‟il. Karena bila khabarnya didahulukan, maka mubtada’-nya berubah menjadi fâ‟il.
Seperti contoh : ( اصذق ٠فغ ) maka menjadi ( ٠فغ اصذق ). Dan kalimat ini,
menjadi bab taqdîm dan ta‟khîr.
3. ) Mendahulukan muta‟alliqât terhadap „âmil ( faktor )-nya. Seperti ;
mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟il, dan sebagainya. 4
2. Metode Ibn Sha’ig ( w. 876 H ) dalam persoalan taqdîm.
3 Ibid., h. 81
4 Ibid., h. 80-81
5
As-Suyûtî ( 911 H ) dalam kitabnya Al-Itqân, membagi taqdîm menjadi dua
bagian, yaitu :
Pertama : Sesuatu yang tidak jelas maknanya secara zhâhir ( nyata ), dan
setelah diketahui bahwa pokok bahasan ini merupakan bab taqdîm dan ta‟khîr, maka
jelas maksudnya. Contohnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abû Hâtim
( w. 248 H ) , bahwa Al-Qur’an surat Thâha / 20 : 129, berbunyi :
( 129: 20/ ال وخ عجمذ سثه ىب ضاب أع غ ) غ
Artinya :
“ Dan sekiranya tidak ada ketetapan dari Allah SWT yang telah terdahulu
atau tidak ada ajal yang telah ditentukan pasti ( azab itu ) menimpa
mereka ( Thaha / 20 : 129 ).
Menurut As-Suyûtî, bahwa ayat di atas masuk dalam bab taqdîm dan ta‟khîr,
dengan taqdîr ( ال وخ أع غ ىب ضاب ), dimajukan lafazh ( ىب ضاب )
dan diakhirkan lafazh ( أع غ ) sehingga maksudnya, “ Dan sekiranya tidak ada
ketetapan dari Allah serta ajal yang telah ditentukan, pasti akan menimpa mereka.
Ketetapan serta ajal yang ditentukan Allah SWT menyebabkan tertundanya azab.
Demikian taqdîm ayat di atas tanpa mengubah maksudnya. 5
Kedua : As-Suyûtî memberi definisi dengan ungkapan ( ظ وزهب ١ )
( sesuatu yang tidak sama dengan maksud yang pertama ). Yaitu bahwa taqdîm yang
dimaksudkan adalah mendahulukan lafazh-lafazh yang keterangannya lebih penting
5 As-Suyûti, Al-Itqân îi Ulûmil-Qur‟an, ( Beirut : Darul-Fikr Li at-Thabâ’ah Wa Nasyr Wa
al-Tawzi’, 1416 H / 1996 M ), Jilid ke-2, Cet. Ke-1, h. 33
6
dan penjelasannya lebih diperlukan. Keterangan di atas merupakan penjelasan
Al-Imâm Syamsuddin Ibn Shâ’ig Al-Khifnî ( w. 876 H ), yang tertulis dalam
kitabnya yang berjudul ( امذخ ف أعشاس األفبظ امذخ )( pembukaan tentang rahasia
lafazh-lafazh yang didahulukan ), dan Imam berkata : “ bahwa hikmah yang
terpenting dalam mendahulukan lafazh-lafazh tersebut sama dengan yang dimaksud
oleh as-Sibawaih ( w. 181 H ) dalam kitabnya, dengan ungkapan, yaitu ( وؤ ٠مذ
bahwa mereka mendahulukan lafazh-lafazh yang ( ( از ث١ب أ ثج١ب أػ
dirasa keterangannya lebih penting dan penjelasannya lebih diperlukan ).Contoh,
didahulukannya lafazh Jalâlah ( Allah ) dalam persoalan yang sangat penting, dengan
tujuan tabaruk ( mencari berkah ). Sebagaimana dalam surat Ali-Imrân / 2 : 18 ( شذ
Allah menyatakan bahwasanya ) ( هللا أ ال ا اال االئىخ أا اؼ لبئب ثبمغػ
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakan keadilan. Para Malikat dan
orang-orang yang berilmu ). Tujuan dari taqdîm di atas, bahwa syahadat kepada
Allah lebih besar kedudukannya dari pada syahadat kepada Malaikat. Dan syahadat
kepada Malaikat lebih besar dari pada syahadat kepada para ulama, karena mereka
lebih dekat kepada Allah dan lebih ta’at. 6
3. Metode Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) dalam taqdîm.
Ibn Atsîr membagi taqdîm menjadi dua bagian, yaitu : pertama : sesuatu yang
khusus untuk penunjukan lafazh terhadap makna, ( ب ٠خزص ثذالخ األفبظ ػ اؼ ).
6 Abdul Adhîm Ibrâhim Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 104-105
7
Meskipun itu telah diakhirkan, namun tidak mengubah maknanya sebagai taqdîm.
Yang kedua : sesuatu yang khusus untuk tingkatan taqdîm dalam penyebutan
Dan menurut beliau, dalam bagian pertama bab .( ب٠خزص ثذسعخ ازمذ٠ ف ازوش )
taqdim ini, terdapat dua macam aspek, yaitu :
1. Sesuatu yang didahulukan itu lebih mengena ( ablag ). Seperti ;
mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟ilnya, mendahulukan khabar terhadap mubtada’,
mendahulukan hâl terhadap ‘âmilnya. Dan taqdîm semacam ini bertujuan untuk
pengkhususan ( ikhtishâsh ) dan juga untuk menjaga keserasian kalimat ( murâ‟atu
nazhm kalâm ). Pendapat ini tidak diterima oleh Al-Zamakhsyari ( w. 538 H )
kemudian dijadikannya sebagai satu maksud, yaitu ikhtishâsh ( pengkhususan ).
Contohnya, sebagaimana terdapat dalam surat Az-Zumar / 39 : 66( ث هللا فبػجذ و
Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah ) ( اشبوش٠
kamu termasuk orang-orang yang bersyukur ). Disebutkan dalam ayat ( بػجذث هللا ف )
dan tidak disebutkan ( ث اػجذ هللا ). Didahulukan maf‟ûl bih dengan tujuan
memberikan makna secara khusus terhadap perintah ibadah yang hanya kepada Allah
SWT semata dan tidak kepada selain-Nya. Meskipun kalimat ( ث اػجذ هللا ) itu
dibenarkan, namun mendahulukan maf‟ûl-bih dari fi‟ilnya adalah lebih utama. Ibn
Atsir ( w. 1239 H ) memberikan contoh lain, untuk menjaga keserasian kalimat
( Murâ‟atu Nazhm al-Kalâm ), dan surat Al-Fâtihah / 1 : 5 ( ا٠بن ؼجذ ا٠بن غزؼ١ )
( Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami
8
memohon pertolongan ). Namun Al-Zamakhsyari dalam hal ini menyebutnya sebagai
ikhtishâsh. Disamping tujuan keserasian kalimat, juga dimaksudkan untuk menjaga
keindahan susunan sajak yang diakhiri dengan huruf nûn, karena bila disebutkan
.maka akan hilanglah keindahan ( thalâwah ) kalimatnya ,( ؼجذن غزؼ١ه )7 Dan
contoh lain dari murâ‟atu nazhm kalâm, seperti yang terdapat dalam surat Al-Hâqqah
/ 69 : 30-32, yaitu ;
ص ف عغخ رسػب عجؼ رساػب * ص اغؾ١ ص * خز فغ
( 32-30: 69/ اؾبلخ * ) فبعى
Artinya :
( Allah berfirman ): " Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya,
Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.
Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. "
( Al-Hâqah / 69 : 30-32 )
Dalam hal lain, mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il, bukan bertujuan untuk
ikhtishâsh akan tetapi untuk menjaga keserasian susunan kalimat, seperti terdapat
dalam surat Yâsin / 36 : 37-39.
فبرا ظ * اشظ رغش غزمش ءا٠خ ا١ غخ ابس
ب ره رمذ٠ش اؼض٠ض اؼ١ * امش لذسب بصي ؽز ػبد وبؼشع
( 39-37: 36 / امذ٠ * ) ٠ظ
7 Ibid., h. 124-125
9
Artinya :
“ Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;
Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan, dan matahari berjalan di tempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan
telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia
sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan
yang tua. “ ( Yâsin / 36 : 37-39 ).
Ibn Atsîr ( w. 1239 H ) berkata, bahwa dalam ayat ( امش لذسب بصي ),
mendahulukan maf‟ûl fih terhadap fi‟il tidak termasuk dalam kajian bab ikhtishâsh,
akan tetapi bagian dari bab murâ‟atu nazm kalâm. Juga dalam kalimat ( غخ ا١
رغش اشظ ) Kalimat .( ابس ) dan kalimat ( لذسب امش ) semuanya untuk tujuan
keindahan susunan kalimat. Demikian juga dalam mendahulukan maf‟ûl yang
terdapat dalam surat Ad-Dluhâ / 93 : 9-11, yaitu untuk keserasian susunan kalimat. 8
فال رش * أب ثؼخ سثه فؾذس* اغبئفال رمش * أب ا١ز١فؤب
(11 -9: 93 / عؾ) ا
“Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-
wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta maka janganlah kamu
menghardiknya. Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya ( dengan bersyukur ). ( Ad-Dluhâ / 93 : 8-11 )
2. Suatu kalimat bila diakhirkan, lebih mengena ( ablag ). Maksudnya adalah
bila suatu kalimat didahulukan itu baik, tetapi akan lebih baik bila diakhirkan. Seperti
8 Ibid., h. 26
10
didahulukan sifat terhadap maushûf, didahulukan shilah terhadap maushûl. Sebagai
contoh Ibn Atsîr menyebutkan sebuah syair : 9
ث١ ػبء * ثشه فشال صشد ٠ص١ؼ -اشه -فمذ
Artinya :
“ Sungguh telah jelas keraguan itu setelah ada kesulitan bagiku, namun
begitu berpisah dengan cepatnya burung-burung ( berkepala ) besar itu
bersuara keras sambil menerkam burung-burung kecil itu “.
Taqdîr kalimatnya adalah ( صشد ٠ص١ؼ ثشه فشال ث١ ػبء ) ( burung-
burung bersuara keras ketika berpisah, ketika telah jelas kesulitan bagiku datang ).
Didahulukan ma‟mûl ( ثشه فشال ) sebelum „âmil-nya, yaitu ( ٠ص١ؼ ). Dan
kata ( صشد ) adalah burung yang berkepala besar bersuara keras dan memangsa
burung-burung yang lebih kecil. 10
4. Metode Mufassirin dalam taqdîm.
Bila diperhatikan ternyata bahwa metode yang dikembangkan oleh ulama
tafsir jelas perbedaannya dengan beberapa metode sebelumnya, baik metode Ibn
Shâ’ig, metode ulama Balâghah maupun metode Ibn Atsîr. Metode Mufassirin
dikembangkan dengan menjelaskan makna dan lebih mengutamakan I‟jâz
( keindahan ) bahasanya. Dengan demikian, metode yang dikembangkan ulama tafsir
ini, tidak terlepas dari ketiga metode sebelumnya, dengan menggabungkan metode-
9 Ibid., h. 131
10 Ibid.,
11
metode sebelumnya. Maka metode ini memiliki kekayaan yang sangat tinggi dalam
persoalan taqdîm dan rahasia yang terkandung di dalamnya, seperti menjaga
keserasian ( ri‟âyatul fasl ) sebagaimana yang dilakukan ulama Balâghah, dan
keindahan susunan sajak ( husnu nazhm saj‟î ) sebagaimana yang dilakukan Ibn
Atsîr. Metode yang dikembangkan ulama tafsir ini, landasannya adalah dua imam,
yaitu :
1. Al-Allamah Abu Su’ud ( w. 982 H ) dalam kitabnya, Irsadul Aql al-Salim
ila Mazaya Al-Kitab Al-Karim.
2. Al-Imam Mahmûd Ibn Umar Al-Zamaksyari ( w.538 H ), dalam kitabnya,
Al-Kasysyâf „An Haqâ‟iqi Gawâmidhi al-Tanzîl.
Beberapa contoh penafsiran dari metode Abu Su’ûd sebagaimana dalam surat
Al-Hajj / 22 : 23 ; yaitu :
( 23: 22 / اؾظ ) * ٠ؾ ف١ب أعبس رت ئئا جبع ف١ب ؽش٠ش
Artinya :
“ Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan
mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera “. ( Al-Hajj / 22 : 23 )
Abu Su’ûd ( w. 982 H ) mengatakan bahwa mendahulukan perhiasan
( tahliyah ) sebelum pakaian ( libâs ), dengan kata-kata ( رت ) dan ( ئئا ), karena
libâs itu adalah pakaian yang biasa dan lazim dipakai oleh manusia, sedangkan
12
tahliyah suatu yang berbeda dan istimewa, sehingga menurut Abu Su’ûd pantas untuk
didahulukan, karena memiliki makna khusus.11
Dalam menafsirkan surat Al-Mu’minûn / 23 : 23, Abu Su’ud menjelaskan
tentang mendahulukan suatu cerita ( qishah ), terhadap kisah yang lainnya. Yaitu
dimulai dengan kisah Nabi Nûh As sebagai berikut :
أفال مذ أسعب ؽب ا ل فمبي ٠بل اػجذا هللا ب ى ا غ١ش
(23: 23 /) ائ *رزم
Artinya :
“ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia
berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, ( karena ) sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa
( kepada-Nya ) ?" ( Al-Mu’minûn / 23 : 23 ).
Mendahulukan qishah Nabi Nuh As. terhadap qishah nabi-nabi yang lain,
beralasan karena kedudukan Nabi Nûh As itu lebih dahulu adanya sehingga sesuai
dengan urutan zamannya. 12
Dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan di antara taqdîm yang
dikembangkan Al-Zamakhsyari dan Abu Su’ûd, namun metode taqdîm yang
dikembangkan kedua ulama tersebut sangatlah bebas dan memiliki penghayatan
yang mendalam serta tidak terfokus kepada kaidah bahasa ( nahwu-sharf ) dan
11
Ibid., h. 135
12
Ibid., h. 138
13
sebagai landasannya adalah surat An-Nahl / 16 : 6, dengan maksud tidak terikat
kepada kaidah bahasa dan memiliki keindahan.
( 6: 16 /ى ف١ب عبي ؽ١ رش٠ؾ ؽ١ رغشؽ ) اؾ
Artinya : “ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya ( binatang ternak ),
ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu
melepaskannya ke tempat penggembalaan “. ( An-Nahl / 16 : 6 ).
Az-Zarkasyi ( w.794 H ) dalam kitabnya menyebut sebagai contoh taqdîm
dalam surat Al-Baqarah / 2 : 67-73.
ار لبي ع م ا هللا ٠ؤشو أ رزثؾا ثمشح لبا أرزخزب ضا لبي
( لبا ادع ب سثه ٠ج١ ب ب 67) أػر ثبهلل أ أو اغب١
لبي ا ٠مي اب ثمشح ال فبسض ال ثىش ػا ث١ ره فبفؼا ب رئش
ا ٠مي اب ثمشح صفشاء ( لبا ادع ب سثه ٠ج١ ب ب ب لبي68)
( لبا ادع ب سثه ٠ج١ ب ب ا اجمش 69فبلغ ب رغش ابظش٠ )
( لبي ا ٠مي اب ثمشح ال ري 70) رشبث ػ١ب اب ا شبء هللا زذ
رض١ش األسض ال رغم اؾشس غخ ال ش١خ ف١ب لبا ا٢ عئذ ثبؾك
( ار لزز فغب فبداسأر ف١ب هللا خشط ب 71) فؼفزثؾب ب وبدا ٠
14
( فمب اظشث ثجؼعب وزه ٠ؾ١ هللا ار ٠ش٠ى 72وز رىز)
( 73-67: 2 /ءا٠بر ؼى رؼم ) اجمشح
Artinya :
Dan ( ingatlah ), ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang
yang jahil. Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami,
agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa
menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata:
"Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan kepada
kami apa warnanya". Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua
warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya. Mereka
berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat
petunjuk ( untuk memperoleh sapi itu ). Musa berkata: "Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah
dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak
cacat, tidak ada belangnya." Mereka berkata: " Sekarang barulah kamu
menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka
menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.
Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling
tuduh menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang
selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman: " Pukullah mayat itu
dengan sebahagian anggota sapi betina itu! " Demikianlah Allah
menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan
padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti ( Al-Baqarah / 2 :
67-73 ).
Az-Zarkasyi mengatakan, mengapa beberapa qishah dalam Al-Qur’an tidak
disebutkan secara berurutan. Yaitu yang seharusnya didahulukan adalah tentang
pembunuhan ( al-qatl ), kemudian qishah penyembelihan sapi, sebagaimana yang
15
dimaksudkan ( taqdîr ) lain : ( ار لزز فغب فبدسأر ف١ب فمب ارثؾا ثمشح اظشث
Dan ( ingatlah ), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu “ .( ثجؼعب
saling tuduh menuduh tentang itu, lalu Kami berfirman : “ Sembelihlah seekor sapi
dan kemudian pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi itu ).
Az-Zarkasyi menjawab atas petanyaan di atas, bahwa setiap qishah ( cerita )
tentang Bani Israil tidak diceritakan sesuai dengan urutannya, karena setiap qishah
sangat ditentukan sesuai dengan batasan dan beratnya suatu kejahatan ( jinâyat ).
Karena itu qishah di atas dibagi menjadi kepada dua kelompok berdasarkan taqrî‟
( celaan ). Pertama : dikelompokkan berdasarkan kekejihan perbuatannya, dan
diperintahkan untuk meninggalkannya. Kedua ; dikelompokkan berdasarkan atas
pembunuhan yang diharamkan. Sedangkan mendahulukan qishah penyembelihan
sapi ( dzabhul baqarah ) terhadap pembunuhan yang diharamkan dalam ayat di atas,
karena jika disesuaikan dengan urutannya ( pembunuhan yang diharamkan, kemudian
penyembelihan sapi ) maka qishah-nya masih tetap sama tentang pembunuhan dan
tidak ada perbedaan, oleh karena itu tidak perlu pengelompokkan. Dan dibedakan
sesuai dengan kejahatan dan dikelompokkan dengan dua celaan ( taqrî‟ ) untuk
membedakan kedua perbuatan dan dua bentuk kejahatannya. Demikian menurut
imam Al- Zamakhsyari . 13
13
Ibid., h. 143-144
16
B. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Al-Qur’an dan tafsiran
ayatnya.
Dari macam-macam bentuk taqdîm dan ta‟khîr di atas, yang pertama :
didahulukan dengan makna tetap ( ب لذ اؼ ػ١ ), atau dengan kalimat lain
-Kita yakin bahwa terdapat sebab-sebab dan rahasia .( رمذ٠ ال ػ ١خ ازؤخ١ش )
rahasia secara khusus. Secara global As-Suyûti ( 911 H ) dalam kitabnya
menyebutkan, dengan tujuannya sebagai berikut, 14
yaitu :
Pertama : Dengan tujuan tabarruk ( ازجشن ) yaitu mencari berkah. Terdapat
beberapa ayat-ayat yang mendahulukan „asmâ Allah, yaitu dengan tujuan untuk
memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mencari berkah. Contohnya dalam surat
Ali-Imrân / 3 : 18,
لبئب ثبمغػ الا اال أا اؼ االئىخأ ال ا اال هللاشذ
( 18: 3) اي ػشا / * اؼض٠ض اؾى١
Artinya :
“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu ( juga
menyatakan yang demikian ) tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha perkasa
dan Maha Bijaksana”. ( Ali-Imrân / 3 : 18 ).
Juga dalam surat Al-Anfâl / 8 : 41, yaitu :
14 As-Suyûtî ( 911 H ), Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M
), cet. I, Jilid ke-2, h. 35-39 , Az-Zarkasyi ( 794 H ), Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Beirut : Dar al-
Fikr, 1408 H / 1988 M ), cet. Ke I, h. 279
17
( 41: 8/خغ شعي ) األفبي هلل اػا أب غز شء فؤ
Artinya :
“ Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul….”
( Al-Anfâl / 8 : 41 ).
Didahulukan Lafazh Jalâlah dalam kedua ayat di atas, dengan alasan karena
lafazh Jalâlah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan mulia. Dan tidak diragukan
lagi bahwa persyaksian terhadap Allah lebih tinggi kedudukannya dibanding
persyaksian kepada Malaikat, dan persyaksian kepada Malaikat lebih tinggi dari para
ulama, maka didahulukan. 15
Ibn Katsîr menafsirkan dalam ayat Ali Imrân / 3 : 18,
bahwa dalam kalimat ( ش١ذا ) menyatakan, tentang tingginya sifat yang dimiliki
Allah SWT itu benar-benar Maha saksi, serta Maha Adil dari segala perkatan yang
disampaikan melalaui rasul-Nya. Dan ayat ( أ ال ا اال ) memiliki makna tauhid
ulûhiyyah, hanyalah Dia satu-satunya Tuhan untuk semua makhluk yang berhak
disembah. Di samping itu Dia sebagai Tuhan ( Khâliq ), dan semua makhluknya
membutuhkan kepada-Nya, karena Dia Maha Kaya. Allah juga menyatakan
persyaksiannya kepada Malaikat dan para ahli ilmi ( ulûl-Ilmi ), hal itu merupakan
pertanda salah satu keistimewaan yang Allah berikan kepada mereka, karena
kedudukannya yang mulia, memiliki sifat jujur dan benar dalam setiap hal. Kemudian
ayat di atas di akhiri dengan ( اؼض٠ض اؾى١ ) yaitu bahwa, Allah SWT Maha Mulia
15
Op.cit., h. 104 , As-Suyûtî, op.cit., h. 35
18
dan Maha Agung serta Maha Besar, dan Maha Bijaksana dalam setiap tindakan-Nya.
16 Sedangkan dalam penafsiran ayat 42 surat al-Anfal, bahwa lafazh jalâlah dalam
ayat ( شعي خغ هلل فؤ ) adalah sebagai pembuka kalâm, sebagaimana Allah
berfirman ( اغباد ب ف األسض هلل ب ف ), yaitu, bahwa Allah mendapat
seperlima ( khumûs ), juga rasulullah SAW seperlima dari pembagian harta rampasan
sebagai hasil peperangan. 17
Kedua : Untuk Ta‟dzîm ( ازؼظ١ ) yaitu untuk mengagungkan. Sebagaimana
surat An-Nisâ’ / 5 : 69 :
اج١١ي فؤئه غ از٠ أؼ هللا ػ١ شعا هللا ٠طغ
( . 69: 5 / اغبء) .اصبؾ١ اشذاء صذ٠م١ا
Artinya :
“ Dan barangsiapa yang menta`ati Allah dan Rasul ( Nya ), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni`mat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-
orang saleh “. ( Al-Nisâ‟ / 5 : 69 ).
Dalam ayat di atas perintah ta’at kepada Allah didahulukan terlebih utama
sebelum perintah ta’at kepada rasul, karena Allah itu lebih Agung kedudukan-Nya
dan lebih besar dari semua makluk-Nya. Dan lafazh Jalâlah didahulukan menurut al-
16
Ibn Katsîr, Mukhtashar Tafsîr Ibn Katsîr, Muhamad Ali Shâbunî ( tahqiq ), ( Kairo : Dar
As-Shâbuni, t.th ), Jilid : 1, h. 272
17
Ibid, jilid ke-2. h. 106
19
Baidhawi, karena perintah ta’at kepada Allah adalah sebagai sugesti ( targhîb ) bagi
umat Islam untuk menta’ati Allah kemudian menta’ati mereka-mereka yang
disebutkan dalam ayat, sesuai dengan janji-Nya, karena mereka memiliki ketinggian
akhlaq yang mulia. Yaitu para nabi ( nabiyyûn ) yang sukses dalam perjuangannya
sesuai dengan ilmu dan amal mereka dalam menegakkan kalimat tauhid. Juga orang-
orang yang jujur dan benar ( shiddîqun ) yang sangat tinggi derajat ketaqwaannya,
serta para ahli jihad yang mati syahid dalam menegakan agama Allah ( syuhadâ‟ )
dengan semangat yang kuat dalam berdakwah menegakan kalimat lâ ilâha-ilallah,
dan juga para orang-orang shaleh ( shâlihîn ) yang diberi umur panjang serta harta
benda yang cukup yang digunakan untuk tujuan beribadah dan mencari keridha’an
Allah SWT semata. Mereka tergolong orang-orang yang diberi nikmat ( oleh Allah )
kerena mereka betul-betul lebih mengenal Allah dibanding makhluk-makhluk lain,
sehingga orang-orang yang beriman diperintahkan untuk menta’ati mereka. 18
Ketiga : Untuk tujuan tasyrîf ( ازشش٠ف ) 19
yaitu untuk memulyakan. Ibn
Shâ’ig mengatakan, bahwa mendahulukan muzakkar ( laki-laki ) sebelum mu‟annats
18
Al-Baidlâwi, Tafsîr Al-Baidlâwi ( Anwârut Tanzîl wa Asrârut Ta‟wîl ), ( Beirut : Dar-al-
Fikr, 1416 H / 1996 M ), jilid ke-2, h. 214 19
Perbedaan antara ( ازؼظ١ ) dan ( ازشش٠ف ) yang artinya mengangungkan dan
memuliakan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan, karena mempunyai kesamaan tujuan yaitu
penghormatan, namun dilihat dari penggunaan lafazh-lafazh dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah SWT
mengunakan ta‟zhim sebagai penghormatan kepada yang lebih tinggi kedudukannya, seperti ;
kedudukan Allah sendiri, para nabi-nabi dan malaikat dan sebagainya ( QS. 4 : 69 ). Sedangkan kata
tasyrif digunakan untuk penghormatan kepada yang lebih rendah kedudukannya, diantara makhluk-
20
( perempuan ) seperti yang terdapat dalam surat Al-Ahzâb ayat 35, yaitu : ( ا
اغبد ائ١ ائبد اغ١ ),( Sesungguhnya laki-laki dan
perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min ), bahwa laki-laki
( muzhakar ) itu lebih didahulukan dari pada perempuan ( mu‟unats ), karena
kedudukan laki-laki lebih dimuliakan. Dan Al-Qurthubi menafsirkan bahwa ayat di
atas diawali dengan Islam, karena Islam mencakup di dalamnya makna iman yaitu
perbuatan yang diiringi dengan anggota badan. Kemudian disebutkannya kata
( imân ) dengan lafazh ( ائ ) yang merupakan kekhususan, yakni seorang
muslim yang memiliki keimanan yang sempurna. Sebagaimana juga didahulukan
lafazh al-Hurr ( orang merdeka ) sebelum al-abdu ( budak sahaya ) untuk
memuliakan orang yang merdeka, sebagaimana terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 :
178,
(178: 2/.) اجمشح ذ ثبؼجذ األض ثبألضؼجش ثبؾش اؾا
Artinya :
“ Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita
dengan wanita. “ ( QS. Al-Baqarah / 2 : 178 ).
Didahulukan orang merdeka, karena ia lebih mulia dari pada hamba sahaya.
Ibn Katsîr menyatakan bahwa hukum pembunuhan yang dimaksud adalah qishas.
Hukum Islam pada awal Islam menetapkan, bahwa qishas bisa terjadi pada orang
yang merdeka membunuh budak, atau budak pria membunuh budak wanita,
kemudian dijelaskan dengan riwayat yang disampaikan kepada Ibn Abbâs,
bahwa tidak dibenarkan seorang lelaki ( اؾش ثبؾشاؼجذ ثبؼجذ األض ثبألض )
makhluk-Nya, seperti Allah memulyakan bagi laki-laki dari wanita, atau memulyakan orang merdeka
dari budak sahaya, orang yang hidup dari yang mati, ( QS. 33 : 35 , QS. 2 : 178, QS. 30 : 19 ), Abdul
Azhîm Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 5-6
21
merdeka membunuh wanita budak sahaya, tetapi orang merdeka mengqishas orang
lelaki merdeka juga, sebagimana juga seorang wanita mengqishas seorang wanita
merdeka. Dan menurut pendapat yang diriwayatkan Abi Mâlik, bahwasanya ayat
tersebut telah di-nasakh ( diganti ) dengan ayat ( افظ ثبفظ ) 20
, sebagaimana
Allah berfirman dalam surat Al-Mâidah / 5 : 45.
اؼ١ ثبؼ١ األف ثبألف األر افظ ثبفظوزجب ػ١ ف١ب أ
ر اغ ثبغ اغشػ لصب ف رصذق ث ف وفبسح ثبأل
(45: ٠/5ؾى ثب أضي هللا فؤئه اظب * ) ابئذح
Artinya :
“ Dan telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya ( At Taurat )
bahwasanya jiwa ( dibalas ) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka ( pun ) ada
kishasnya. Barangsiapa yang melepaskan ( hak kisas ) nya, maka melepaskan
hak itu ( menjadi ) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim. “ ( Al-Mâidah / 5 : 45 ).
Juga didahulukan kata khail ( kuda ) terhadap bighâl dan hamîr ( keledai ),
dalam surat An-Nahl / 16 : 8 , yang berbunyi :
/) اؾ * اخ١ اجغبي اؾ١ش زشوجب ص٠خ ٠خك ب ال رؼ
16 :8 )
Artinya :
20
Op.cit, Ibn Katsir. h. 155-156
22
“ Dan ( Dia telah menciptakan ) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu
menungganginya dan ( menjadikannya ) perhiasan. Dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya. “ ( QS. An-Nahl / 16 : 8 ).
Tujuan didahulukannya khail terhadap bighâl karena khail ( kuda ) lebih baik
dari bighâl disebabkan banyak manfa’atnya. Dan juga lafazh al-Hayy ( yang hidup )
didahulukan terhadap lafazh al-Mayyît ( yang mati ) dalam surat Al-Rûm / 30 : 19
dan juga as-sama‟ ( pendengaran ) terhadap al-Bashar ( penglihatan ) dalam surat Al-
Baqarah / 2 : 7 dan surat Al-Isrâ’ / 17 : 36,
ا١ذ ٠خشط ا١ذ اؾ ٠ؾ١ األسض ثؼذ رب اؾ٠خشط
( 19: 30/ وزه رخشع ) اش
Artinya :
“ Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati
dari yang hidup dan menghidupkan bumi yang sudah mati. Dan seperti itulah
kamu akan dikeluarkan dari kubur”. ( Ar-Rûm / 30 : 19 ).
Didahulukan al-hayy dari pada al-mayyît dalam ayat di atas, disebabkan
karena orang hidup lebih mulia dari yang mati, sebagaimana juga terdapat dalam
surat Fâthir / 35 : 22
( 22: 35/د ) فبغشال األا ألؽ١بءب ٠غز ا
Artinya :
“ Dan tidak ( pula ) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang
mati. “ ( Fâthir / 35 : 22 ).
Adapun al-mayyit didahulukan dalam surat Al-Mulk / 67 : 2, sebab
keberadaannya terlebih dahulu.
( 2: 67/ هاؾ١بح ) ا اداز خك
23
“ Yang menjadikan mati dan hidup “ ( Al-Mulk / 67 : 2 )
Dan Allah menjadikan manusia dari yang asalnya tiada menjadi ada dengan
tujuan untuk menguji mereka, diuji siapa di antara mereka ( manusia ) yang paling
baik amal perbuatannya, sebagaimana yang dimaksudkan Ibn Katsîr dalam
tafsirnya.21
Kemudian mendahulukan as-sama‟ dari al-bashar, sebagaimana dalam
surat Al-Baqarah / 2 : 7, yaitu :
غشبح ػزاة أثصبس ػ عؼخز هللا ػ لث ػ
( 7: 2 /اجمشح ػظ١* )
Artinya :
“ Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” ( Al-Baqarah / 2 :
7 )
Abdul ‘Azhîm Ibn Ibrâhim Muth’inî menulis dalam kitabnya, bahwa rahasia
didahulukannya sama‟ ( mendengar ) dari bashar ( melihat ) sebagaimana banyak
dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, karena mendengar ( as-sama‟ ) itu lebih utama
dari melihat ( al-bashar ), karena setiap ilmu atau hal-hal lain berupa informasi
( ma‟lumât ) didapat terlebih dahulu melalui proses pendengaran dari pada
penglihatan. 22
Dan al-qalb didahulukan dari pada sama‟ dan bashar dalam ayat di
atas, karena panca indra ( khawâs ) itu adalah alat pembantu hati yang paling utama.
Kita memahami bahwa hati adalah alat yang menerima segala apa saja hasil dari
21
Ibn Katsîr, op.cit., h. 527
22 Abdul ‘Azhîm bin Ibrâhîm Muhamad Muth’inî, op.cit., h. 107
24
proses mendengar dan melihat. Sedangkan qalb diakhirkan terhadap sama‟
sebagaimana dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 23 ( خز ػ عؼ لج ) bertujuan
untuk menjaga, bila terdapat kejanggalan ( cacat ) dalam pendengaran atau karena
tersumbat, sehingga telinga tidak bisa mendengar dengan baik. Dan Allah SWT
mencela jika, dalam hal ini ia tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Allah SWT,
sebagaimana dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 7-8.
( ٠غغ ءا٠بد هللا رز ػ١ ص ٠صش غزىجشا وؤ ٠7 ى أفبن أص١ )
( 8-7: 45 /٠غؼب. ) اغبص١خ
Artinya :
“ Kecelakaan yang besar bagi tiap-tiap orang yang banyak berdusta lagi
banyak berdosa, dia mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya
kemudian dia tetap menyombongkan diri seakan-akan dia tidak
mendengarnya. “ ( Al-Jâtsiyah / 45 : 7-8 ).
Maksud ayat Al-Baqarah / 2 : 7 di atas, bahwa Allah SWT telah mengunci
mati hati, pendengaran serta penglihatan mereka ( orang-orang kafir ). Didahulukan
hati ( qalb ) dalam ayat, karena panca indra ( telinga dan mata ) yang merupakan alat
bantu tadi, dan tidak dapat menyampaikan hasil kerjanya dengan baik, karena terutup
dan juga tidak bisa menerima petunjuk, disebabkan banyaknya perbuatan dosa. Allah
SWT benci atas perbuatan mereka, sehingga menutupi hati mereka yang
menyebabkan hati mereka tidak bisa memberikan inspirasi dan berfikir dengan
25
baik,yang akhirnya tidak bisa mendengar hal-hal yang baik dan juga tidak bisa
melihatnya. 23
Sedangkan didahulukan kata ( ع ) terhadap ( بس ), karena Nabi Mûsa
As. lebih mulia dari Nabi Harûn As. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-A’râf /
7 : 122.
(122 :7 /بس ) األػشاف عسة
" ( Yaitu ) Tuhan Musa dan Harun". ( al-‘Arâf : 7 : 122 ).
Sedangkan mendahulukan ( بس ) terhadap ( ع ) dalam surat Thâha /
20 : 70, bertujuan untuk menjaga keserasian dan persamaan akhir ayat ( شاػبح سإط
.( األ٠خ 24
, yaitu :
( 70: 20/ غ) ع بس ثشة ءاب لبا عغذا اغؾشح فؤم
Artinya :
“ Lalu tukang-tukang sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata: " Kami telah percaya kepada Tuhan Harun dan Musa ". ( Thâha / 20 : 70 ).
Dan mendahulukan manusia dari jin bertujuan untuk memuliakan manusia
sebagai makhluk Allah yang paling mulia, sebagaimana dalam surat Al-Isrâ’ / 17 : 88,
23
Al-Quthubî, Al-Jâmi‟ li Ahkâmi Al-Qur‟an, ( Beirut : Daru al-Fikr, 1419 H / 1999 M ),
cet. I, Jilid ke-4, h. 16
24
Abdul Azhîm Muth’inî, of.cit., h. 116
26
اغ ػ أ ٠ؤرا ثض زا امشءا ال ٠ؤر إلظل ئ اعزؼذ ا
( 88: 17 /ثض وب ثؼع جؼط ظ١شا. ) اإلعشاء
Artinya :
“ Katakanlah : " Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain ". ( Al-Isrâ’/ 17 : 88 ).
Didahulukan makhuk jin di dalam surat Al-An’âm / 6 : 130, karena
penciptaan jin lebih dahulu dari manusia.
إلظ أ ٠ؤرى سع ى ٠مص ػ١ى ءا٠بر ٠زسى ا اغ٠بؼشش
مبء ٠ى زا لبا شذب ػ أفغب غشر اؾ١بح اذ١ب شذا ػ
(130: 6/ أفغ أ وبا وبفش٠. )األؼب
Artinya :
“ Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-
rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat
Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari
ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan
dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka
sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir. “ ( Al-An’âm / 6 :
130 ).
Kemudian disebutkan dalam ayat yang lain, bahwa jin terlebih dahulu
penciptaannya dari makhluk lainnya.
(27: 15 /اؾغش ) . اغب خمب لج بس اغ
Artinya :
27
“ Dan Kami telah menciptakan jin sebelum ( Adam ) dari api yang sangat
panas. “ ( Al-Hijr / 15 : 27 ).
Dan boleh didahulukan jin sebelum manusia, bukan karena ia terlebih dahulu
dalam hal penciptaannya, tetapi karena ta‟ajub ( keheranan ), sebagaimana dalam
surat Ar-Rahmân / 55 : 33.
اإلظ ا اعزطؼز أ رفزا ألطبس اغاد األسض اغ٠بؼشش
(. 33: 55/ فبفزا الرفز اال ثغطب ) اشؽ
Artinya :
“ Hai jama`ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus ( melintasi )
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
melainkan dengan kekuatan.“ ( Ar-Rahmân / 55: 33 ).
Keempat : Untuk munasabah ( ابعجخ ) yaitu penyesuaian. Dalam hal ini,
As-Suyutti membagi munasabah tersebut kepada dua sebab. Pertama : penyesuaian
lafazh yang didahulukan ( al-mutaqaddim ) sebab siyaqul kalam ( konteks ).
Contohnya dalam surat Al-Nahl / 16 : 6, yaitu :
( 6: 16 /) اؾ . ؽ١ رغشؽ رش٠ؾى ف١ب عبي ؽ١
Artinya :
“ Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan. “ ( An -Nahl / 16 : 6 ).
28
Didahulukan kata ( رش٠ؾ ) terhadap ( رغشؽ ) karena siyaqul kalâm
( konteks-nya ) yaitu sama-sama memiliki kesamaan arti ( istirahat ), baik kata
Dan kedua lafazh tersebut sama-sama .( اإلساؽخ ) maupun dalam kata ( اغشاػ )
indah ( jamâl ). Namun keindahan yang dimiliki kata ( رش٠ؾ ) melebihi kata
karena istirahatnya ( binatang ternak ) dari tempat pengembalaan ,( رغشؽ )
( mar‟ah ) itu di sore hari, tentu dalam keadaan kenyang ( bithan ), dan hal itu lebih
menyenangkan dan menarik. Berbeda dengan waktu istirahat mereka di saat
melepaskannya menuju tempat pengembalaan ( di pagi hari, tentu tidak sama dengan
yang pertama, kerena mereka dalam keadaan lapar ( khumash ). Demikian
dimaksudkan as-Suyuti dalam kitabnya. 25
Juga hal yang semisal dengan taqdîm
dalam surat Al-Rûm / 30 : 24 yaitu :
( 24: 30/ب غؼب ) اشخف٠ش٠ى اجشق
Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk ( menimbulkan ) ketakutan dan
harapan. “ ( Ar-Ruum / 30 : 24 )
Didahulukan lafazh ( خفب ) terhadap ( غؼب ), karena rasa takut terhadap
petir itu lebih dahulu dari pada harapan akan datangnya hujan. Tidak mungkin terjadi
hujan kecuali setela terjadi beberapa kali petir. Demikian pula didalahulukan kata
25
As-Suyutî, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, ( Kairo : Dar-Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), cet. ke- 1, jilid ke-2, h. 36
29
israf ( pemborosan ) dalam kedua kalimat tersebut ( ٠غشفا ) dan ( ٠مزشا ),
dalam surat Al-Furqân / 25 : 67 yaitu :
/ * ) افشلب ا ٠مزشا وب ث١ ره لاب٠غشفاز٠ ارا أفما
25 :67 )
Artinya :
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan ( harta ), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak ( pula ) kikir, dan adalah ( pembelanjaan itu ) di
tengah-tengah antara yang demikian. “ ( Al-Furqan / 25 : 67 ).
Didahulukan al-isrâf ( berlebih-lebihan ) terhadap qutur ( kikir ), untuk
meniadakan sifat berlebih-lebihan tersebut, karena kemuliaan seseorang itu dengan
memberikan infâq ( shadaqah ) bukan karena berlebih-lebihannya atau kikir. Juga
dalam surat Al-Anbiya’ / 21 : 91, yaitu :
( 79: 21/ ب ػب ) األج١بءؽىوال ءار١ب
“ Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu “
( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 ).
Didahulukannya hukm ( hukum ) terhadap ilm ( ilmu ), meskipun ilmu itu
adalah lebih dahulu dari segalanya. Karena siyaqul kalâm ( konteksnya ) berkenaan
dengan Daud As dan Sulaiman As. dalam memutuskan suatu hukum.
داد ع١ب ار ٠ؾىب ف اؾشس ار فشذ ف١ غ ام وب ؾى
(78: 21 /) األج١بء .شبذ٠
30
“ Dan ( ingatlah kisah ) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-
kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan
yang diberikan oleh mereka itu, “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 78 )
Yang kedua : Penyesuaian lafazh baik untuk tujuan taqdim ataupun ta‟khir.
Contoh dalam surat Al-Hadîd / 57 : 3, yaitu :
( 3: 57/ ) اؾذ٠ذ * األي ا٢خش اظبش اجبغ ثى شء ػ١
“ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu. “ ( Al-Hadîd / 57 : 3 ).
Lafazh-lafazh pada ayat di atas, seperti lafazh ( ياأل ) didahulukan dari
lafazh (اظبش ), karena penyesuaian, yaitu al-awwal adalah sesuai dengan
kedudukannya di awal. Juga sebagaimana kata ( اغزمذ١ ) dalam surat Al-Hijr / 15
: 24, maka ia didahulukan terhadap ( اغزؤخش٠ ) yaitu ; ( مذ ػب اغزمذ١ ى
شبء ى أ ) ,dan juga dalam surat Al-Muddattsir / 73 : 34 ( مذ ػب اغزؤخش٠
: juga dalam surat Al-Qashâsh / 28 ,( ٠زمذ ) yaitu didahulukan kata ( ٠زمذ أ ٠زؤخش
70, mendahulukan lafazh ( األ ) dalam ayat ( األ ا٢خشح اؾذ ف ), juga
dalam surat Al-Wâqi’ah / 56 : 39-40, didahulukan lafazh ( األ١ ) dalam dua ayat
ini ; ( صخ األ١ ) dan ( صخ ا٢خش٠ ). Demikian selanjutnya. 26
Az-Zarkasyi
26
Ibid ., h. 37
31
menamakan hal itu dengan sebutan mura‟atul isytiqâq lafazh ( menjaga keserasian
asal lafazh ). 27
Kelima : Untuk mendorong ( اؾش ػ١ ) dan menjaga agar tidak
menyepelekan. Contoh dari rahasia taqdîm ini sebagaimana dalam surat An-Nisâ’ / 4
: 11 tentang mendahulukan wasiat ( washaya ).
( 11: 4 / ) اغبء خ ٠ص ثب أ د٠ص١ ثؼذ
“ ( Pembagian-pembagian tersebut di atas ) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau ( dan ) sesudah dibayar hutangnya. “ ( An-Nisâ’ / 4 : 11 ).
Alasan didahulukan washiyah ( wasiat ) terhadap dain ( hutang-piutang ) bagi
ibu / bapak yang meninggal dunia, untuk mendorong berwasiat dan menjaga agar
tidak menyepelekan hak mereka, karena kebiasaan yang terjadi bahwa wasiat itu
disepelehkan sedang hutang-piutang didahulukan.28
Az-Zarkasyi ( w. 794 H )
mengatakan, bahwa wasiat didahulukan terhadap dain, karena menurut hukum
syari’ah, bahwa wasiat itu berkenaan dengan warisan ( warasah ), dan cara
pengambilannya serupa dengan mirats ( harta warisan ) yang memerlukan
penyelesaian yang baik. Berbeda dengan hutang-piutang yang mudah dilaksanakan,
karena merupakan suatu kewajiban yang harus disegerakan bersamaan dengan
27
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 306
28
Abdul Azhim Muth’ini, op.cit., h. 118
32
wasiat. Sehingga digunakan kata auw (أ ) dengan pengertian mempunyai kedudukan
yang sama dalam syari’at, keduanya wajib. 29
Allah SWT memerintahkan berbuat adil, karena umat pada masa jahiliyah 30
tidak mengetahui hukum dalam pembagian harta warisan ( mirâts ) bagi nishâb laki-
laki dan perempuan. Dan keduanya mempunyai hak yang sama, sebagiamana
ketentuan syari’at bagian anak laki-laki sama dengan dua anak ( perempuan ), karena
seorang pria itu memiliki tanggungjawab yang penuh untuk memberi nafkah kepada
anak dan istrinya, dan bagi anak perempuan yang lebih dari dua, maka bagi mereka
dua pertiga dari yang diwariskannya, dan seorang ibu / bapak yang ditinggalkan
seperenam atau sepertiga, dan hal itu dilakukan setelah urusan wasiat serta hutang-
piutangnya telah diselesaikannya. 31
Juga taqdîm semacam ini, seperti mendahulukan
amwâl ( harta benda ) terhadap awlâd ( anak-anak ), sebagaimana dinyatakan dalam
surat Al-Kahfi / 18 : 46 , surat As-Syua’ara / 26 : 88, surat Al-Anfâl / 8 : 2, Saba’ / 34
: 37, yaitu :
* ( 46: 18/ ابي اج ص٠خ اؾ١بح اذ١ب ) اىف
( * 88: 26 / ٠ ال ٠فغ بي ال ث ) اشؼشاء
29
Az-Zamakhsyari, Al-Kasyâf „an Haqâ‟iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa Uyûn al-Aqâwil Fî
Wujûh at-Ta‟wîl, ( Beirut : Dar- Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M ), cet. Ke-1 h. 508,
30
“ Bahwa masyarakat jahiliyah, tidak memberikan yang senasab satu bapak, kecuali
mereka yang seibu dan sebapak dalam pembagian warisan “, Ibn Katsîr., op.cit., h. 363 31
Ibid., h. 363 - 364
33
8 / اػا أب أاى أالدو فزخ أ هللا ػذ أعش ػظ١ ) األفبي
ب أاى ال أالدو ثبز رمشثى ػذب صف اال ءا ( * 28:
ؾب فؤئه عضاء اعؼف ثب ػا ف اغشفبد ػ صب
* ( 37: 34 / ءا ) عجؤ
Artinya :
“ Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia. “ ( al-Kahfi / 18 :
46 ). ( yaitu ) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna ( al-
Syua’ara / 26 : 88 ). Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar. ( al-Anfâl / 8 : 28 ). “Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan ( pula ) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah
yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah
mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi
( dalam surga). “ ( Saba’ / 34 : 37 ).
Rahasia didahulukan harta benda ( amwâl ), karena manusia dalam hidup ini
memiliki harta terlebih dahulu sebelum mempunyai anak, dan dengan harta dia
menikah dan mempunyai anak dan juga karena harta benda itu lebih bermanfaat,
demikian didahulukanya amwâl ( harta ) menurut ulama Balâghah. 32
Keenam : Karena lebih dahulu ( اغجك ), yaitu mendahulukan karena
kejadiannya lebih dahulu, seperti mendahulukan malam terhadap siang. Karena itu
para ulama ilmu falak mengawali dalam penetuan tanggal ( târikh ) pada malam hari.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Ali-Imrân / 3 : 190,
32
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 147
34
ا ف خك اغاد األسض اخزالف ا١ ابس ٠٢بد أل األجبة
(190: 3 /اي ػشا )
Artinya :
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, “ ( Ali-Imrân / 3 : 190 )
Juga mendahulukan malaikat dari manusia, sebagaimana dalam surat Al-Hajj /
22 : 75, karena malaikat terlebih dahulu keberadaanya dari manusia.
( 75: 22 / هللا ٠صطف االئىخ سعال ابط ) اؾظ
“ Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia “
( Al-Hajj / 22 : 75 ).
Di samping itu, bahwa Allah SWT dengan kehendak dan kekuasaan-Nya
memilih malaikat sebagai utusannya, karena ia lebih mampu untuk menyampaikan
risalah dari Tuhan. 33
Demikian pula didahulukan sinnah ( عخ ) terhadap naum
( ), karena kebiasaan manusia sebelum tidur dimulai dengan merasa ngantuk,
sebagaimana dalam surat Al-Baqarah / 2 : 255, ( ال رؤخز عخ ال ) ( tidak
mengantuk dan tidak tidur ). Demikianlah ayat datang dengan kalimat yang sesuai
dengan kebiasaan manusia. Juga zulumât ( kegelapan ) didahulukan terhadap nûr
( cahaya ), karena kegelapan mendahului datangnya cahaya.
33
Ibnu Katsîr, op.cit., h. 556
35
Sesuai dengan kewajiban dan taklîf ( beban ), seperti dalam surat Al-Hajj / 22
ااسوؼا اعغذ ) 77 : ), mendahulukan shafâ‟ terhadap marwâh, sebagaimana dalam
surat Al-Baqarah / 2 : 158 ( ا اصفب اشح شؼبئش هللا ), dan dimulai dengan
bilangan yang terendah, mastnâ ( dua ), tsulâsa ( tiga ), kemudian rubâ‟a ( empat ),
dalam surat An-Nisâ’/ 4 : 3, ( ض صالس سثبع ), juga dalam surat Al-Mujâdilah / 58
: 7, berkenaan dengan nasehat dimulai dari yang lebih banyak, yang sederajat,
kemudian sendiri-sendiri dalam tatanan kehidupan masyarakat. Sebagaimana dalam
surat Saba’ / 34: 46, ( ى ثاؽذح أ رما هلل ض فشاد ص رزفىشا ب ل اب أػظ
Katakanlah: " Sesungguhnya aku hendak memperingatkan ) .( ثصبؽجى عخ
kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas)
berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan ( tentang Muhammad )
tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu ).34
Ketujuh : Karena menjadi sebab ( (اغجج١خ . Contoh mendahulukan ( (
ب ا اال هللا ا هللا ) ,dalam surat Ali-Imrân / 3 : 62 ( اؾى١ ) terhadapاؼض٠ض
karena Dia Allah SWT adalah Azîs ( Maha Mulia ), maka Dia menjadi ,( اؼض٠ض اؾى١
Hakim ( mahabijaksana ). Juga mendahulukan ( اؼ١ ) terhadap ( اؾى١ ), dalam
surat Al-Baqarah / 2 : 22 ( عجؾبه ال ػ ب اال ب ػزب اه أذ اؼ١ اؾى١ لبا ),
karena adanya hukum dan kemapanan ( itqân ) keduanya timbul dan berkembang
34
As-Suyûtî, op.cit., h. 37-38 , Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit, h. 119
36
dengan adanya ilmu ( ilm ). Sedangkan mendahulukan ( اؾى١ ) terhadap ( اؼ١ )
dalam surat Al-An’âm / 6 : 83 ( شفغ دسعبد شبء ا سثه ؽى١ ػ١ ), dan 128
ب شبء هللا ا سثه ؽى١ ػ١خبذ٠ ف١ب اال ) ), dan 139 ( ع١غض٠ صف ا ؽى١ ػ١ ),
untuk memuliakan kedudukan hukum Islam ( tasyri ahkâm ). Dan didahulukan
lafazh ( ؼجذ ) sebelum lafazh ( غزؼ١ ), dalam surat Al-Fâtihah / 1 : 5, karena ibadah
adalah sebab datangnya pertolongan ( اإلػبخ ). Juga mendahulukan taubah, sebab
dengan bertaubat ( taubah ), akan datang kesucian diri ( thahâroh ), sebagaimana
dalam surat Al-Baqarah / 2 : 222 ( ا هللا ٠ؾت ازاث١ ٠ؾت ازطش٠ ), juga
mendahulukan ifk ( dusta ) terhadap itsm ( dosa ) dalam surat Jâtsiyah : 7 ( ٠ ى
karena kebohongan itu adalah sebab adanya dosa. Dalam hal ini terdapat ,( أفبن أص١
kesamaan pendapat antara Ibn Atsîr dengan Ibn Shâ’ig . 35
Kedelapan : Karena banyak ( اىضشح ), yaitu mendahulukan yang lebih banyak
terhadap yang sedikit, sebagaimana Allah SWT mendahulukan orang kafir terhadap
orang mu’min, dalam surat Al-Taghâbun / 64 : 2, yaitu :
ش ى ئ هللا ثب رؼ ثص١ش * وبف از خمى فى
( 2: 64 /) ازغبث
Artinya :
35
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 119-120, As-Suyûtî, opcit., h. 38
37
“Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan
di antaramu ada yang beriman. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan. “ ( At-Taghâbun / 64 : 2 )
Didahulukan ( اىبفش ) terhadap ( ائ ) karena banyak dari manusia yang
kafir, dengan bukti bahwa Allah SWT telah menyatakan dalam surat yang lain, surat
Yûsuf / 12 : 103, berbunyi :
( 103: 12 /ب أوضش ابط ؽشصذ ثئ١ ) ٠عف
Artinya :
“ Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu
sangat menginginkannya. “ ( Yûsuf / 12 : 103 )
Dan banyak manusia yang menjadi kafir, meskipun dengan usaha keras untuk
mengajak mereka beriman, mereka tidak akan beriman, karena keimanan itu tidak
bisa dipaksakan. Demikian juga dengan ayat lain dalam surat Fâthir / 35 : 32, dengan
didahulukan ( اظب )( orang zhâlim ), kemudian ( امزصذ )( pertengahan ), kemudian
: Sebagaimana bunyi ayatnya .( yang berlomba-lomba berbuat kebaikan ) ( اغبثك )
ذ مزص ظب فغص أسصب اىزبة از٠ اصطف١ب ػجبدب ف
( 32: 35 /ره افع اىج١ش ) فبغشثبر هللا عبثك ثبخ١شاد
Artinya :
“ Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di
antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri
mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara
mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.
Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.“ ( Fâthir / 35 : 32 )
38
Juga sama halnya dalam ayat lain yang mendahulukan ( شم )( yang
sengsara ) terhadap ( عؼ١ذ ) ( yang bahagia ) dalam surat Hûd / 11 ; 105, yaitu :
( 105: 11 /* ) د عؼ١ذ شم٠ ٠ؤد ال رى فظ اال ثبر ف
Artinya :
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara, melainkan
dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang
berbahagia. ( Hûd / 11 : 105 )
Taqdim semacam ini banyak terdapat dalam Al-Qur’an di antaranya dalam
surat Al-Mâidah / 5 : 38, dengan mendahulukan lafazh ( اغبسق )
) pencuri laki-laki ) dari pada ( لخاغبس )( pencuri perempuan ), yaitu :
اغبسلخ فبلطؼا أ٠ذ٠ب عضاء ثب وغجب ىبال هللا هللا ػض٠ض اغبسق
( 38: 5/ ) ابئذح * ؽى١
Artinya :
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ ( Al-
Mâidah / 5 : 38 )
Alasan ayat di atas, menurut Abdul Azhîm Muth’inî, didahulukan lafazh
karena sumber penyebab perbuatan pencurian ,( اغبسلخ ) terhadap ( اغبسق )
dilakukan kebanyakan oleh kaum pria dari pada kaum wanita. Hal ini tentu
disebabkan karena persoalan tanggung jawab mencari nafkah dipikul oleh kaum pria,
dan pencurian itu terjadi sesuai batas kemampuan seseorang dalam mencari nafkah.
39
Maksud dari hukuman tersebut, bahwa seoarang pencuri dipotong apabila mencapai
ukuran tertentu ( nishâb ), sehingg nabi bersabda dalam hal ini, tidaklah dipotong
seseorang yang mencuri kecuali telah mencapai seperempat dinar atau lebih,
demikian hukuman tersebut dijelaskan oleh Allah Maha Mulia dan Maha Bijaksana.
36 Dan didahulukan ( اضا١خ ) ( wanita perzina ) dari pada ( اضا ) ( pria pezina ),
dalam surat An-Nûr / 24 : 2, yaitu :
( 2: 24 /اضا فبعذا و اؽذ ب بئخ عذح ) اس اضا١خ
Artinya :
“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus kali dera,. “ ( An-Nûr / 24 : 2 )
Alasan Abu Su’ud dalam tafsirnya, karena kaum wanita kebanyakan yang
mengajak kepada perbuatan zina, dengan prilaku cara berpakaian, tanpa menutup
aurat, sehingga mengundang syahwat. Sedangkan dalam surat An-Nûr ayat 3, tidak
sama dengan taqdîm di atas, lafazh ( اضا ) didahulukan terhadap ( اضا١خ ), karena
persoalannya berbeda, kaum pria lebih berhak untuk mengajukan lamaran dengan
meminang sebelum menikah ( khithbah ), karena pria yang memiliki kafâ‟ah
( kecukupan ) dan memiliki kesanggupan terhadap pemberian nafkah. Maksud dari
ayat di atas, bahwa bahwa Al-Qur’an menjelaskan kepada kita, tentang ketentuan
hukuman seorang pelaku zina baik itu bikr ( yang belum menikah ), atau muhsin
36
Ibid., h. 515
40
( telah menikah ), dan apabila dia seorang bikr, maka had ( ketentuan ) hukumannya
dengan cambukan 100 kali kemudian diasingkan dari tempatnya menurut jumhur
ulama, sedangkan bagi yang telah menikah hukumannya adalah dirajam ( dilempari
dengan batu ). 37
Bunyi ayatnya yaitu :
ال ٠ىؼ اال صا١خ أ ششوخ اضا١خ ال ٠ىؾب اال صا أ ششن اضا
( 3: 24 /ؽش ره ػ ائ١ ) اس
Artinya :
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. “ ( An-Nûr / 24 : 3 )
Kata ( األصاط ) ( istri-istri ) didahulukan terhadap ( األالد )( anak-anak ),
dalam surat At-Taghâbun / 64 : 14, yaitu :
( 14: 64/ أالدو ػذا ى فبؽزس ) ازغبث أصاعىا
Artinya :
Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; ( At-Taghâbun /
64 : 14 ).
Ibn Hajib berpendapat bahwa hal itu disebabkan, karena istri-istri yang
menjadi musuh lebih banyak terjadi dari pada anak-anak. Allah SWT menerangkan
hal itu untuk menjadi peringatan bahwa kecintaan itu akan membuat seseorang lupa
untuk beribadah kepada Allah SWT. Demikian rahasia didahulukan kata azwâj dalam
37
Ibid., As-Suyûtî, h. 38, Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 120-121, Ibid ., h. 580-581
41
ayat di atas. Demikian juga didahulukan lafazh ( األاي ) terhadap ( األالد ) dalam
surat At-Taghâbun / 64 : 15, yaitu :
( 15: 64 / أالدو فزخ هللا ػذ أعش ػظ١ ) ازغبثأاىاب
Artinya :
“ Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan ( bagimu ):
dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” ( At-Taghâbun / 64 : 15 ).
karena amwal ( harta-benda ) kebanyakan menjadi penyebab datangnya
musibah ( fitnah ), dengan dalil surat Al-‘Alaq / 97 : 6-7 :
( 7-6: 97 /أ سآ اعزغ ) اؼك (6وال ا اإلغب ١طغ )
Artinya :
“ Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena
dia melihat dirinya serba cukup “. ( Al-„Alaq / 97 : 6-7 ).
Lafazh awlâd ( anak-anak ) tidak didahulukan dalam ayat di atas, karena tidak
semua awlâd itu menjadi penyebab datangnya fitnah, sebagai peringatan dari Allah
SWT terhadap makhluk-Nya siapa yang ta’at dan siapa yang ingkar kepadaNya.
Sedangkan didahulukan ( اؼزاة ) terhadap ( اغفشح )( ampunan ), sesuai
dengan konteks ( siyâqul kalam ), yaitu sesuai dengan sifat yang dimiliki Allah yang
Maha Kuasa untuk memberi azab atau Maha Pengampun dan Maha Bijaksana
terhadap hamba-Nya, 38
sebagaimana Allah berfirman :
38
As-Suyuti., Al-Itqan Fi Ulumil-Qur‟an, op.cit., h. 39
42
/ابئذح* ) اؾى١ اؼض٠ض أذ فبه رغفش ا ػجبدن فب رؼزث ا
5 :118 )
Artinya :
“ Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-
hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “ ( Al-Mâidah / 5 :
118 )
Demikian beberapa rahasia didahulukan lafazh-lafazh Al-Qur’an karena
banyak terjadi dalam kehidupan manusia.
Kesembilan : Dimulai dari yang lebih rendah kepada yang lebih tinggi
ألد ا األػازشل ا ) ), seperti mendahulukan kaki ( سع ) terhadap tangan
: sebagaimana firman Allah dalam surat Al-‘Arâf / 7 : 195, yaitu ,( ٠ذ )
٠جصش ثب أ أػ٠١جطش ثب أ أ٠ذ ٠ش ثب أ أسعأ
ص و١ذ فال رظش * ٠غؼ ثب ل ادػا ششوبءو ءارا
( 195: 7 /) األػشاف
Artinya :
“Apakah berhala-berhala mempunyai kaki yang dengan itu ia dapat berjalan,
atau mempunyai tangan yang dengan itu ia dapat memegang dengan keras,
atau mempunyai mata yang dengan itu ia dapat melihat, atau mempunyai
telinga yang dengan itu ia dapat mendengar ? Katakanlah: "Panggillah
berhala-berhalamu yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah
tipu daya (untuk mencelakakan) ku, tanpa memberi tangguh ( kepada ku ).“
( Al-‘Arâf / 7 : 195 )
43
Dalam ayat di atas, mendahulukan lafazh dari tingkatan yang rendah kepada
tingkatan yang tinggi. Seperti dimulai lafazh ( أسع ) sebelum ( أ٠ذ ), dengan tujuan
peningkatan derajat ( زشلا ). Yaitu karena derajat tangan itu lebih mulia dari pada
kaki, dan mata ( ain ) lebih mulia dari pada tangan ( yad ), dan pendengaran ( sama‟ )
lebih mulia dari pada penglihatan ( bashar ). Juga contoh, seperti mendahulukan
اشؽ ) )( Pengasih ) terhadap ( اشؽ١ ) ( Penyayang ), mendahulukan ( اشء ف )
( Pemurah ) terhadap ( اشؽ١ ), mendahulukan ( اشعي ) terhadap ( اج ).
Sebagaimana dalam surat Maryam / 19 : 51,
: 19/ ج١ب ) ش٠ سعالروش ف اىزبة ع ا وب خصب وب ا
51 )
“ Dan ceritakanlah ( hai Muhammad kepada mereka ), kisah Musa di dalam
Al-Kitab ( Al Qur'an ) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang dipilih dan
seorang rasul dan nabi.” ( Maryam / 19 : 51 ).
Kesepuluh : Dimulai dari predikat yang tinggi kepada yang rendah
.( ازذ األػ ا األد )39 Contoh : didahulukan lafazh ( صغ١شح ) terhadap
,dalam surat Al-Kahfi / 18 : 49 ( وج١شح )
( 49: 18 /) اىف0بب ال وج١شح اال أؽص صغ١شحال ٠غبدس
Artinya :
“ Yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak ( pula ) yang besar,
melainkan ia mencatat semuanya ". ( Al-Kahfi / 18 ; 49 )
39
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 121
44
Allah menerangkan setiap perbuatan buruk sekecil apapun apalagi yang besar,
atau perbuatan baik, maka Allah SWT akan membalasnya sesuai dengan catatannya.
Didahulukan lafazh ( صغ١شح )( kesalahan kecil ) terhadap( وج١شح ) ( kesalahan
besar ), karena kesalahan yang kecil itu lebih ringan dan lebih sedikit ( dosa )nya dari
pada kesalahan yang besar ( وج١شح ). Yang kecil itu tentu lebih tinggi ( tingkatan )
kebaikannya. Demikian pula mendahulukan Al-Masih terhadap Malaikat dalam surat
An-Nisâ’ / 4 : 172,
( 172: 4 / ٠غزىف اغ١ؼ أ ٠ى ػجذا هلل ال االئىخ امشث *) اغبء
Artinya :
“ Al Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah dan tidak
( pula enggan ) malaikat-malaikat yang terdekat ( kepada Allah ).“ ( Al-Nisâ‟
/ 4 : 172 )
Karena tingkatan Al-Masih lebih tinggi dari Malaikat dalam hal ketaatan
kepada Allah SWT, maka Al-Masih didahulukan terhadap Malâikat, demikian
menurut Ibn Shâ’ig. Menurut sebagian ulama, suatu kalimat yang tingkatannya lebih
rendah ( lemah ) didahulukan terhadap yang lebih kuat ( qudrah ), seperti
mendahulukan penyebutan hewan yang berjalan di atas perutnya, kemudian yang
berjalan dengan dua kaki, kemudian yang berjalan dengan empat kaki, sebagaimana
dalam surat An-Nûr / 24 : 45 ;
٠ش ػ ثط بء ف ٠ش ػ داثخهللا خك و
( 45: 24/) اس أسثغ ٠ش ػ سع١
45
Artinya :
“ Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian
dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan
dengan dua kaki, sedang sebagian ( yang lain ) berjalan dengan empat kaki.
“ ( An-Nûr / 24 : 45 )
Binatang yang berjalan dengan perutnya didahulukan karena lebih rendah
kemampuannya dan menakjubkan dibanding dengan hewan yang berjalan dengan dua
kaki, dan yang berjalan dengan dua kaki tidak lebih mampu dibanding dengan yang
berjalan dengan empat kaki. Contoh taqdîm ini didasarkan kepada kemampuan dan
juga menakjubkan, seperti mendahulukan ( اغجبي ) terhadap ( اط١ش ), dengan tujuan
ta‟ajub ( menakjubkan ), sebagaimana dalam surat Al-Anbiyâ’ / 21 : 79 :
( 79: 21 /ج١بء ي ٠غجؾ اط١ش ) األاغجبعخشب غ داد
Artinya :
“ Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua
bertasbih bersama Daud. “ ( Al-Anbiyâ‟ / 21 : 79 )
Az-Zarkasyi berpendapat bahwa mendahulukan gunung-gunung terhadap
burung dalam ayat di atas, adalah karena dalam penciptaan gunung-gunung ( jibal )
itu serta cara bertasbihnya lebih mengherankan dari pada kemampuan burung-burung,
karena benda padat berbeda kemampuannya dengan burung sebagai hewan natiq
( yang berbicara ). Karena itu didahulukan. 40
40
As-Suyûtî, op.cit., h. 39-40
46
Kesebelas : Untuk tujuan dâ‟iyah ( اذاػ١خ ) yaitu ajakan, seperti perintah
menahan pandangan ( gaddul basyar ), karena pandangan dapat mengajak kepada
perbuatan syahwat ( farj ), sebagaimana dalam surat Al-Nûr / 24 : 30, yaitu ;
ا هللا ره أصو فشع ٠ؾفظا أثصبسل ئ١ ٠غعا
( 30: 24 /خج١ش ثب ٠صؼ ) اس
Artinya :
“ Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu
adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang mereka perbuat". “ ( An-Nûr / 24 : 30 ).
Didahulukan ( غط اجصش ) ) menjaga pandangan ) terhadap ( ؽفع افشط )
( memelihara kemaluan ), karena pandangan dapat mengajak kepada perbuatan farj
( syahwat ), sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan ibn Mâjah ( اؼ١ب رض١ب
kedua mata berzina, dan farj membenarkannya atau ) ( افشط ٠صذق ره أ ٠ىزث
mendustakannya ), maka Allah memerintahkan kepada seorang mu’min untuk
menjaga pandangan serta menjaga kehormatan dari apa yang diharamkan Allah. Hal
itu disebabkan perbuatan maksiat dimulai dengan melihat. Demikian Allah
menerangkan itu, karena Allah Maha Mengetahui perbuatan yang dilakukan
hambaNya. 41
41
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 293 , Ibnu Katsîr, op.cit., h. 598
47
Keduabelas : Untuk tujuan tartîb ( لصذازشر١ت ) yaitu berurutan, sebagaimana
dalam ayat wudlu’ surat Al-Mâidah / 5 : 6 ;
ا أ٠ذ٠ى عى٠بأ٠ب از٠ ءاا ارا لز ا اصالح فبغغا
( 6: 5 /ا اىؼج١ ) ابئذح أسعى شءعىاشافك اغؾا ث
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan ( basuh ) kakimu sampai dengan kedua mata kaki “
( Al-Mâidah / 5 : 6 ) Mengusap ( mashû ) sebagian kepala setelah dua basuhan ( gaslain ) yaitu
membasuh muka dan kedua tangan hingga kedua siku, juga larangan melihat ke kiri
atau ke kanan untuk menjaga / menghidari percakapan, dengan demikian bukti
diperintahkan tartîb ( berurutan ) dalam pelaksanaan wudhu’. Karena itu Imam Asy-
Syafi’i mewajibkan tartib. Juga dengan alasan, bahwa huruf ( fâ‟ ) dalam kalimat
mendahulukan perintah membasuh ( muka ), kemudian membasuh ( فبغغا )
anggota-anggota wudhu’ lainnya, dan hal ini sebagai bukti bahwa pelaksanaannya
harus berurutan ( tartîb ). Juga menyelipkan perintah mengusap kepala setelah
membasuh muka dan kedua tangan sebagai bukti diwajibkannya tertib. Maksud ayat
adalah bahwa perintah berwudhu’ bagi yang berhadats sebelum sholat adalah dengan
membasuh muka, setelah niat, kemudian membasuh kedua tangan hingga kedua siku,
kemudian menyapuh sebagian kepala menurut sebagian pendapat mazhab, kemudian
48
membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Demikian penjelasan tertib dari ayat wudhu’
di atas. 42
Ketigabelas : untuk perhatian bagi mukhatab ( اخبغت ػذ اإلزب ) Seperti
mendahulukan para kerabat ( امشث ) dari anak-anak yatim ( ا١زب ) dan orang-
orang miskin ( اغبو١ ) serta Ibnussabîl ( اغج١ اث ), dalam hal pemberian
shadaqah, sebagaimana dalam surat Al-Anfâl / 8 : 41
أب غز شء فؤ هلل خغ شعي ز امشث ا١زب اػا
(41: 8 /اغبو١ اث اغج١ ) األفبي
Artinya :
“ Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil “ ( Al-Anfâl / 8 :
41 )
Didahulukan para ahli kerabat ( امشث ) kemudian para yatim ( ا١زب )
kemudian para miskin dan seterusnya untuk tujuan ihtimâm ( perhatian ) bagi atau
oleh mukhâtab, karena mereka lebih diutamakan dan lebih membutuhkan. 43
Taqdîm dan ta‟khîr yang kedua : ialah mendahulukan suatu kata, sedangkan
niatnya adalah ta‟khîr ( diakhirkan )( بلذ ا١خ ث ازؤخ١ش ) atau dengan kalimat lain
seperti mendahulukan khabar terhadap mubtada’. Dalam ,( رمذ٠ ػ ١خ ازؤخ١ش )
42
Az-Zarkasyi, op.cit., h.317, Ibn Katsîr, op.cit., h. 488-489
43
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 309
49
taqdîm bentuk ini terdapat rahasia dan sebab-sebab, sebagaimana disebutkan oleh
Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhân, dan juga As-Suyûtî yang memberikan
maksud lain yaitu ( ش فب ػشف أ ثبة ازمذ٠ ازؤخ١ش اظب ب أشى ؼب ثؾغت
sesuatu yang belum jelas maknanya secara zhahir, namun setelah diketahui )( ارعؼ
bahwa hal itu termasuk taqdîm dan ta‟khîr, maka jelas maksudnya ). Seperti
mendahulukan maf‟ûl terhadap fâ‟il, sebagaimana dalam surat Fâthir / 35 : 28 ;
( 28: 35 / ػجبد اؼبء ) فبغش هللا اب ٠خش
Artinya :
“ Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. “ ( Fâthir / 35 : 28 )
Didahulukan lafazh ( ؼبءا ) sebagai maf‟ûl terhadap lafazh ( هللا ).
Tujuannya untuk memberitahukan kepada umat, bahwa hamba Allah yang paling
takut kepada-Nya adalah para ulama. Demikian juga dalam ayat ini ( ار اثز اثش١
( سث ) sebelum lafazd ( اثش١ ) didahulukannya maf‟ûl ,( Al-Baqarah / 2 : 124 )( سث
sebagai fâ‟il. Yang bertujuan bahwa penyebutan Ibrâhim karena beliau sebagai imam,
maka didahulukannya lebih baik, dan juga untuk memberitakan kepada manusia
bahwa ia sebagai manusia yang mulia. 44
Juga mendahulukan maf‟ûl tsâni ( ا )
terhadap maf‟ûl awwal ) dengan tujuan inâyah ( perhatian ). Sebagaimana ( ا
surat Al-Jâtsiayah / 45 : 23 ( أفشأ٠ذ ارخز ا ا )( Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya ). Asal taqdîrnya
44
Ibid., h. 319
50
yaitu ( ا اأفشأ٠ذ ارخز ) yang menjadikan berhala atau hawa nafsu sebagai
sesembahan. Juga contoh taqdîm ini terdapat dalam surat Al-Qamar / 54 : 1, yaitu :
( 1: 54 /امش) امش اشك اغبػخ الزشثذ
Artinya :
“ Telah dekat ( datangnya ) saat itu dan telah terbelah bulan. “ ( Al-Qamar /
54 : 1 )
Didahulukannya lafazh ( الزشثذ اغبػخ )( telah dekat hari kiamat ) terhadap
اشك امش الزشثذ ) yang asal taqdîrnya adalah ,( terbelahnya bulan ) ( اشك امش)
Terbelahnya bulan .( terbelahnya bulan itu tanda datangnya kiamat )( اغبػخ
merupakan tanda datangnya hari kiamat, dan langit serta bumi akan hancur sa’at itu.
Karena itu didahulukan lafazh ( اغبػخ الزشثذ ) meskipun maknanya adalah sebagai
ta‟khîr ( diakhirkan ), dan sebab dan rahasia didahulukannya untuk menjaga
keserasian akhir kalimat ( murâ‟atul fashilah ). 45
Dan mendahulukan maf‟ûl dalam
surat Yâsîn / 36 : 37, 38, 39, 40 ;
ءا٠خ ا١ غخ ابس فبرا ظ* اشظ رغش غزمش
ع ب ره رمذ٠ش اؼض٠ض اؼ١ * امش لذسب بصي ؽز ػبد وبؼش
( 39 -37: 36/ امذ٠* ) ٠ظ
Artinya :
45
Ibid., h. 325
51
“ Dan suatu tanda ( kekuasaan Allah yang besar ) bagi mereka adalah
malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta
mereka berada dalam kegelapan. dan matahari berjalan di tempat
peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah,
sehingga ( setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir ) kembalilah dia
sebagai bentuk tandan yang tua. “ ( Yâsîn / 36 : 37-39 )
Didahulukan maf‟ul dalam ayat ( امش لذسب بصي ) dengan tujuan menjaga
keserasian susunan kalimat ( murâ‟atu nazhm kalâm ). Kemudia Allah berfirman
maka terlihat ,( اشظ رغش ) kemudian ayat berikutnya ,( ا ١ غخ ابس )
keindahan susunan kalimat ( nazhm ). Apalagi setelah datangnya ayat berikutnya
semuanya tersusun dengan satu keserasian ( nazhm ). Dan ,( امش لذسب بصي )
jika dikatakan ( لذسب امش بصي ), maka hilang keindahan serta keserasian susunan
kalimat ( nazm ). Maksud ayat, bahwa apabila berganti siang kemudian berpindah
menjadi malam, maka ia menjadi gelap gulita, dan matahari berhenti dari
peredarannya pertanda datangnya hari Kiamat, maka tidak ada keputusan, tiada gerak,
demikian ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana, dan kami
jadikan bulan berjalan sesuai dengan waktunya, maka terlihatlah cahaya malam dan
matahari berputar pada waktunya, maka terlihatlah cahaya siang, dan apabila bulan
pada malam pertamanya, terlihat sedikit cahaya, dan setiap berpindah manâzil
( tempat ), maka bertambah cahaya, hingga sempurna cahaya pada malam ke-14,
kemudian berkurang sedikit demi sedikit hingga akhir bulannya, maka akan tampak
52
seperti ( urjûn yang tua ). Demikian Allah tentukan setelah itu awal bulan yang lain.
46
Dan mendahulukan ma‟bûd ( اؼجد ) ( yang disembah ) yaitu Allah SWT,
dengan perbuatan seorang hamba ( اإلخال ) dengan tujuan yaitu ikhtishâsh
( kekhususan ). Karena ayat tersebut memberitakan agar seorang hamba
mengkhususkan dalam penyembahannya hanya kepada Allah SWT semata, dengan
penuh keikhlasan. Sebagaimana disebutkan dalam surat Az-Zumar / 39 : 14,
( 14: 39/ أػجذ خصب د٠ ) اضش هللال
Artinya :
“ Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam ( menjalankan ) agamaku". “ ( Az-Zumar / 39 :
14 )
Demikian pula mendahulukan dua jar-majrûr ( ) dalam surat At-Taghâbun
/ 64 : 1, yaitu ; ( اه اؾذ )( hanya Allahlah yang mempunyai semua
kerajaan dan semua puji-pujian ). Yaitu segala bentuk kekuasaan atau kerajaan ( al-
Mulk ) yang haqiqi hanyalah Allah SWT pemilikNya. Begitu pula dengan segala puji-
pujian yang merupakan sumber asalnya dari-Nya, oleh karena itu segala bentuk
kerajaan dan segala pujian dikhususkan hanya untuk Allah SWT semata. 47
46
Muhamad Syeikhûn, Dirâsah Fî Lughah Al-Arabiyah Wa Adâbuha, ( Kairo : Maktabah
Dirasat Islamiyah wal Arabiyah, 1417 H / 1996 M ), h. 142, Ibn Katsîr, op.cit., h. 162-163
47
Mohamad Syaikhûn, op.cit., h. 142,
53
C. Sebab dan rahasia Taqdîm dan Ta’khîr dalam Ilmu Qirâ’at dan tafsiran
ayat-ayatnya.
Pertama : Tentang Qirâ‟ah ( لزا ( لبرا ) yaitu mendahulukan ,( لبرا
terhadap ( لزا ) dalam ayat ( ,( yang berperang dan yang terbunuh )( لبرا لزا
surat Ali-Imran / 3 : 195, yaitu :
فبعزغبة سث أ ال أظ١غ ػ ػب ى روش أ أض ثؼعى
لبرا بعشا أخشعا د٠بس أرا ف عج١ ثؼط فبز٠
ألوفش ػ ع١ئبر ألدخ عبد رغش رؾزب األبس صاثب لزا
( 195: 3 / ػذ هللا هللا ػذ ؽغ اضاة * ) اي ػشا
Artinya :
Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya ( dengan berfirman ),
" Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal
di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, ( karena ) sebagian kamu
adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah,
yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang
berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-
kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang
mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik." ( Ali-Imran / 3 : 195 )
Dan Imam Hamzah ( w. 156 H ) dan Imam Kisa’i ( w. 189 H ) membacanya
dengan mendahulukan bentuk maf‟ul ( لزا ) terhadap bentuk fa‟il ( لبرا ).
54
Maksud ayat di atas adalah jawaban atas pertanyaan, tentang apakah akan dihapus
dosa-dosa orang-orang yang berperang di jalan Allah atau terbunuh ?, Rasulullah
SAW menjawabnya, ya, karena itu Allah berfirman : ( أوفش ػ ع١ئبر ألدخ
bahwa Allah SWT akan menghapuskan kesalahan ,( عبد رغش رؾزب األبس
orang-orang yang berperang di jalanNya, atau terbunuh, dan memasukkanNya
kedalam Surga, yang terdapat didalamnya bermacam-macam minuman ( masyrab ),
susu, madu dan yang lainnya, yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah
terdengar oleh telinga, dan tidak pernah tersirat dalam sanubari. Demikian itu,
sungguh karena besarnya kekuasaan Allah serta balasan-Nya yang tiada terbilang.
Demikianlah maksud ayat ( Allah mengangkat setinggi-tingginya ,( لبرا لزا
derajat orang-orang yang berperang di jalan Allah SWT apapun resikonya membunuh
atau terbunuh. Demikian menurut Ibn Katsir dalam kitabnya. 48
Kedua : Mendahulukan huruf hamzah ( ضح ) terhadap huruf ya‟ ( ( ٠بء
dalam surat Ar-Ra’du : 31 dalam bacaan ( أف ١٠ؤط ), yaitu :
أ لشءاب ع١شد ث اغجبي أ لطؼذ ث األسض أ و ث ار ث
از٠ ءاا أ ٠شبء هللا ذ ابط ع١ؼب ١٠ؤطهلل األش ع١ؼب أف
48
Ibn Katsir, op.cit., h. 348-349, Alamudin Ramadhan Al-Jundy, et. al., Al-Ghayah fi Al-
Qira‟at Asyar lil Hafizh Abu Bakr Ahmad bin Husein bin Mahran Al-Ashbahani ( w 371 H ), ( Saudi
Arabiyah : Darussyawaf li Nasyr Wa Tawzi’, 1411 H / 1990 M ), cet. ke-2, h. 221
55
بسػخ أ رؾ لش٠جب داس ال ٠ضاي از٠ وفشا رص١ج ثب صؼا ل
(31: 13 /اشػذ ) ؽز ٠ؤر ػذ هللا ا هللا ال ٠خف ا١ؼبد
Artinya :
Dan sekiranya ada suatu bacaan (kitab suci) yang dengan bacaan itu
gunung-gunung dapat digoncangkan atau bumi jadi terbelah atau oleh
karenanya orang-orang yang sudah mati dapat berbicara, ( tentu Al Qur'an
itulah dia). Sebenarnya segala itu adalah kepunyaan Allah. Maka tidakkah
orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Allah
menghendaki ( semua manusia beriman ), tentu Allah memberi petunjuk
kepada manusia semuanya. Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa
bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat
tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya
Allah tidak menyalahi janji. ( Ar-Ra‟d / 13 : 31 )
Maka bacaan yay‟asi ( أط ٠ )( mengetahui ) dibaca menjadi ya‟yasi (
-Kedua bacaan tersebut dibenarkan ( shahihah ), menurut Imam Qalun ( 120 .( ٠ؤ٠ظ
205 H ) dan Imam Warsy ( 110- 197 H ). Dalam dua qira‟at di atas ( أط ٠ )
atau ( ؤ٠ظ٠ ), adalah menjelaskan tentang iman umat terdahulu mengetahui dan
membuktikan, bahwa Zabur adalah bukan sekedar hujjah ( dalil ) atau mu’jizat, akan
tetapi dirasakan serta masuk akal, karena bukti-bukti dapat diterima dengan baik dan
sempurna. Dan semua kitab-kitab yang diturunkan kepada umatnya, serta mukjizat
yang terdapat didalamnya, selesai dengan kematian para Nabinya, akan tetapi kitab
56
Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW sebagai kitab mukjizat, tetap
abadi dan menjadi panutan bagi umat islam hingga hari kiamat. 49
Ketiga : Mendahulukan bentuk maf‟ul ( ٠مز ) terhadap fa‟il ( ٠مز )
dalam bacaan ( ٠مز Dan Hamzah ,( mereka membunuh dan terbunuh )( ف١مز
( 80 H – 156 H ) dan Kisa’i ( 119 H – 189 H ) membacanya dengan mendahulukan
bentuk maf‟ul terhadap bentuk fa‟il. Sebagaimana dalam surat At-Taubah / 9 : 111,
yaitu :
ا هللا اشزش ائ١ أفغ أا ثؤ اغخ ٠مبر ف عج١
ػذا ػ١ ؽمب ف ازساح اإلغ١ امشءا ف١مز ٠مزهللا
ظ١أف ثؼذ هللا فبعزجششا ثج١ؼى از ثب٠ؼز ث ره افص اؼ
( 111: 9: / ) ازثخ
Artinya :
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji
(Allah), yang melawat, yang ruku`, yang sujud, yang menyuruh berbuat
ma`ruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu. ( At-Taubah / 9 : 111 )
Didahulukan atau diakhirkan pada ayat ( ف١مز ٠مز ) tidak berpengaruh
kepada maksud ayatnya, karena menurut Ibn Katsir bahwa huruf wawu ( ا ) tidak
49
Ibid., Jilid ke-2, h. 282
57
bertujuan untuk tartib ( urutan ), akan tetapi untuk persamaan ( taswiyah ), karena itu
baik didahulukan atau sebaliknya, maka balasan dari perbuatan tersebut ( membunuh
atau terbunuh ) dalam peperangan ( fi Sabilillah ) adalah mendapat pahala surga.
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an.
Demikianlah janji Allah bagi orang-orang yang beriman atas suatu kemenangan yang
sangat besar. 50
Taqdîm dan ta‟khîr yang ketiga : ialah mendahulukan kalimat dalam suatu
ayat dan mengakhirkan dalam ayat lain. ( أ٠خ أخش ف أخش ف لذ ب ). Taqdîm
semacam ini sebagian ulama menyebutnya taqdîm yang bukan istilah
,Dalam hal ini terdapat sebab-sebab serta rahasia khusus .( ازمذ٠ غ١ش االصطالؽ )
sebagaimana disebutkan oleh Az-Zarkasyi dalam kitabnya, yaitu :
Pertama : Didahulukan lafazh ( اؾذ ) dalam surat Al-Fâtihah / 1 : 1 ( اؾذ
ف اؾذ ) dan diakhirkan dalam surat Al-Jâtsiyah / 45 : 36 yaitu ( هلل سة اؼب١
dalam surat Al-Fâtihah ( اؾذ ) Didahulukan .( سة اغاد سة األسض سة اؼب١
karena ia sebagai asal, yaitu sebagai mubtada‟. Sedangkan diakhirkan ( اؾذ ) dalam
surat Al-Jâtsiyah adalah sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, yang seakan-akan
ada pertanyaan, “ Untuk siapa semua puji-pujian itu ? ( اؾذ ؟ ). Dan siapa
pemiliknya ? ( أ ؟ ). Dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab
50
Al-Baidhâwi ( w. 791 H ), Tafsir Al-Baidhâwi ( Anwârut Tanzîl Wa Asrârut Ta‟wîl ),
( Libnani, Dârul Fikr, 1416 H / 19 96 ), Jilid ke-3, h. 174
58
sebagaimana jawaban Al-Qur’an dalam surat Al-Jâtsiyah di atas ( ف اؾذ )( maka
milik Allah SWTlah segala puji-pujian itu ). Yaitu bahwa Allahlah penguasa bagi
yang ada di langit dan di bumi. Dan contoh semacam ini, juga diungkap dalam
Al-Qur’an surat Ghâfir / 40 : 16 ; ( ؟ ا١ اه ) ( Kepunyaan siapakah kerajaan
pada hari ini? ). Dan sebagai jawabannya adalah (هلل ااؽذ امبس )( Kepunyaan Allah
Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan ).51
Kedua : Mendahulukan kalimat ( اجبة دخي ) terhadap lafazh ( ثبؾطخ امي ).
dalam surat Al-Baqarah / 2 : 58 ( ادخا اجبة عغذا لا ؽطخ )( dan masukilah
dari gerbang sambil membungkuk dan makanlah dari hasil buminya ) dan diakhirkan
dalam surat Al-A’râf / 7 : 161 ( عغذا اجبة ادخا ؽطخ لا ) ( Dan makanlah dari
hasil buminya dan masukilah dari pintu gerbangnya sambil membungkuk ). Para
ulama balaghah dan ulama lainya seperti Az-Zamakhsyari dan Abû Su’ûd tentang
taqdîm dan ta‟khîr ini, berpendapat bahwa perintah dalam dua ayat di atas adalah
dengan menggabungkan maknanya, yaitu baik ( ثبؾطخ امي ) atau ( عبعذ٠ اذخي )
tanpa harus berurutan di antara keduannya, dengan membolehkan mana yang harus
didahulukan. Dan As-Suyûtî berpendapat, meskipun ada perbedaan dalam dua ayat
tersebut, namun tujuannya adalah untuk keindahan dalam kefasihan ( tafannûn fil
51
Az-Zarkasyi, op.cit., h. 329, Ibn Katsîr, op.cit., h. 314
59
fashîhah ). 52
Maksud surat Al-Baqarah / 2 : 58, bahwa Allah memerintahkan kepada
Bani Israil memasuki ardhul muqaddas ( Baitul Maqdis ) ada yang mengatakan
Ariha’, karena pertolongan Allah dan keluar dari tîh selama 40 tahun setelah
pembukaan maka diperintahkan untuk bersujud ( baca : bersyukur ) kepada Allah atas
kemenangan dan pembukaan kota baru, dan beristigfar, maka Allah akan
mengampuni kesalahan dan ditambahkan segala kebaikan. 53
Ketiga : Mendahulukan ( اخبغج١ ) terhadap ( -dalam dua surat Al ( األالد
An’âm dan Al-Isra’ dengan redaksi yang berbeda. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 151
berbunyi :
( 151: 6 /* ) األؼب ا٠ب ىال رمزا أالدو االق ؾ شصل
Artinya :
“ Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka". ( Al-An‟âm / 6 :
151 )
Surat Al-Isra’ / 17 : 31 berbunyi :
ا لز وب خطئب وا٠ب ال رمزا أالدو خش١خ االق ؾ شصل
( 31: 17 /* ) اإلعشاء وج١شا
Artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. “ ( Al-Isra‟ /
17 : 31 )
52
Ibid., h. 332, Abdul Azhm Muth’inî, op.cit., h. 150-151 53
Ibn Katsîr, op.cit., h. 68
60
Di dahulukan mukhâtab dengan dhamîr ( و ) ) شصلى ) dalam surat Al-An’âm
/ 6 : 151 dan tidak didahulukan dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, dengan khîtab pada
ayat Al-An’âm ditujukan kepada orang-orang miskin ( افمشاء ). Ini dibuktikan dengan
dalil ( االق ), yaitu karena kemiskinan. Dan kemiskinan itu bagi orang-orang
miskin, tentu telah terjadi. Maka janji Allah untuk memberikan rejeki bagi orang-tua
mereka lebih penting dari pada anak-anak mereka, karena itu didahulukan dlamîr kum
.( ا٠ب ) terhadap dlamîr hum ( شصلى )
Sedangkan khitâb Allah dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31 dengan mendahulukan
dlamîr ( )( شصل ) yang ditujukan kepada orang-orang kaya ( أغ١بء ), dengan
dalil ( خش١خ اإلالق )( takut kemiskinan ). Dan kata “ khasyiah “ adalah sebagai bukti
adanya kekhawatiran mereka akan kemiskinan, yakni mereka takut bila terjadi
terhadap anak-anak mereka. Dengan demikian rejeki bagi anak-anak mereka lebih
penting, maka janji Allah untuk pemberian rejeki bagi anak-anak mereka diutamakan
dari pada rejeki bagi orang-tua mereka.
Melihat dua redaksi ayat yang berbeda di atas, Ibn Katsir menjelaskan dalam
kitabnya tentang surat Al-An’âm / 6 : 151, bahwa Allah SWT melarang pembunuhan
yang dilakukan orang tua terhadap anak-anaknya disebabkan kemiskinan yang tidak
dapat memberikan nafkah ( rejeki ) dengan baik terhadap anak-anak mereka. Maka
dalam ayat tersebut didahulukan dlamîr-kum, sebagai ta‟kîd ( penekanan ), bahwa
janji Allah untuk mengutamakan rejeki bagi mereka ( orang-tua ) karena rejeki bagi
61
mereka lebih penting. Sedangkan maksud larangan Allah atas pembunuhan yang
terdapat dalam surat Al-Isra’ / 17 : 31, ditujukan kepada selain orang miskin ( baca :
orang kaya ), akan tetapi orang kaya takut jatuh miskin di suatu hari dan hal itu bisa
mengakibatkan kelaparan bagi anak-anak mereka. Maka rejeki bagi anak-anak
mereka adalah lebih penting dari pada rejeki orang tua mereka. Karena itu Allah
berjanji untuk mendahulukan rejeki anak-anak mereka. Dan redaksi ayat
mendahulukan dhamir-hum ( شصل ) terhadap dlamîr-kum ( ا٠بو ), karena rejeki
bagi anak-anak mereka lebih penting. Demikian maksud Allah dalam dua ayat di atas,
karena Allah SWT Maha Penyayang terhadap hambaNya. 54
Keempat : Tentang ( ذ هللا اذ )( petunjuk Allah itulah petunjuk
yang sebenarnya ). Terdapat redaksi yang berbeda antara surat Al-Baqarah / 2 : 120
dan yang terdapat dalam surat Ali-Imrân / 3 : 73.
Dalam surat Al-Baqarah / 2 : 120, yaitu :
ذ هللا رشظ ػه ا١د ال اصبس ؽز رزجغ ز ل ا
( 120: 2 /. ) اجمشح اذ
Artinya :
“ Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka “. ( Al-Baqarah / 2 : 120 )
54
Abdul Azhîm Ibrâhim Al-Muth’inî, op.cit., h. 183, Az-Zarkasyi, op.cit., h. 330, Ibn Katsîr
, op.cit., h. 375
62
Didahulukan ( ذ هللا ) terhadap ( اذ ), kemudian datang ayat lain
dengan redaksi yang berbeda, dengan mendahulukan ( اذ ) dari pada ( ذ هللا )
sebagaimana dalam surat Ali-Imrân / 3 : 73 yaitu :
: 3 /* ) اي ػشا ا اذ ذ هللاال رئا اال رجغ د٠ى ل
73 )
Artinya :
“ Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu, katakanlah : “ sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti )
adalah petunjuk Allah “. ( Ali-Imrân / 3 : 73 )
Bila diperhatikan dari beberapa redaksi ayat-ayat di atas, dapat dipahami,
bahwa didahulukan ( ذ هللا ) dalam dua tempat ( surat Al-Baqarah / 2 : 120 dan
Al-An’âm / 6 : 71 ) terhadap ( اذ ), terdapat sebab-sebab, yaitu :
( 1 ). Adanya nash yang menyatakan, bahwa petunjuk Allah SWT adalah
petunjuk yang sebenarnya ( ذ هللا اذ ), sebagai bantahan atas pengakuan
dengan adanya petunjuk selain dari Allah SWT.
( 2 ). Dalam surat Al-Baqarah / 2 : 120, Yahudi dan Nasrâni itu mengaku,
bahwa petunjuk itu dari mereka. Dengan adanya pengakuan itu, seakan-akan mereka
tidak setuju kepada umat saat itu kecuali mengikuti dan membenarkan petunjuk
mereka ( رشظ ػه ا١د ال اصبس ). Dan dalam hal ini, seakan-akan
mereka menolak semua petunjuk kecuali dari mereka. Oleh karena itu Allah SWT
mendatangkan nash, dengan penekanan atas batalnya dakwaan mereka, dengan
63
redaksi ( ل ا ذىبهلل اذ ), yang maksudnya bahwa tidak ada petunjuk kecuali
dari Allah SWT.
( 3 ). Sedangkan didahulukannya ( اذ ) terhadap ( ذ هللا ) dalam surat
Ali Imrân : 73, karena umat belum terlihat nampak keingkaran mereka dengan adanya
petunjuk Allah SWT, bahkan mereka menyetujuinya dengan tujuan ingin memfitnah
terhadap mereka-mereka yang telah beriman kepada Allah, karena kedengkian
mereka ( hasad ) terhadap orang-orang yang diberikan Allah atas karunia-Nya,
karena itu datang nash dengan redaksi ( ل ا اذ ذ هللا ), bantahan jelas,
terhadap sekelompok masyarakat yang mengira mereka bisa menyesatkan orang-
orang mu’min. Maka kata ( اذ ) dalam ayat Ali-Imrân / 3 : 73 ini, ditambah
dengan alif dan lam, dan menjadi pokok pembicaraan, bahwa maksud dari
dengan alif dan lam. Sebagaimana bunyi ( اذ ) adalah sama dengan ( ذ هللا )
ayatnya :
ذ هللا أ ٠ئر أؽذ ض ب اذى ل ا ال رئا اال رجغ د٠
أر١ز أ ٠ؾبعو ػذ سثى , ل ا افع ث١ذ هللا ثئر١ ٠شبء , هللا
( 73: 3/ اعغ ػ١ * ) اي ػشا
Artinya :
“ Dan Janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti
agamamu. Katakanlah: " Sesungguhnya petunjuk ( yang harus diikuti ) ialah
petunjuk Allah, dan ( janganlah kamu percaya ) bahwa akan diberikan
kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan ( jangan pula
kamu percaya ) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi Tuhanmu
64
“, Katakanlah : Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah, Allah memberikan
karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas
( pemberian-Nya ) lagi Maha mengetahui " ( Ali-Imrân / 3 : 73 )
Dan kesimpulan bahwa maksud ayat Al-Baqarah / 2 : 120, bahwa ayat ini
ditujukan kepada Nabi SAW dan pengikutnya untuk meninggalkan petunjuk Yahudi
dan Nasrani dan menerima petunjuk Allah SWT dalam hal perintah berdakwa yang
jelas-jelas nyata kebenarannya. Maka dengan ayat ( ذل ا ذ هللا ا )
menegaskan kepada Nabi Muhamad SAW bahwa hidayah Allahlah yang
mengutusmu ke jalan yang lurus ( agama yang lurus ), dan jika kamu mengikutinya
setelah datangnya ilmu ( Al-Qur’an ), maka Allah tidak bisa melindungi dan menjadi
penolong. Sedangkan maksud dalam Ali Imrân / 3 : 73, bahwa orang-orang mu’min
tidak akan mendapatkan ketenangan kecuali dengan mengikuti petunjuka Allah
( agam Islam), dan Allah berfirman ( ل ا اذ ذ هللا ) menegaskan bahwa
hidayah Allah yang memberikan petunjuk ke dalam hati setiap mu’min dengan
petujuk rasul-Nya dan dengan ayat-ayat-Nya. 55
Kelima : Terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an berkenaan dengan
ungkapan ( ta‟bîr ) al-Qur’an yang berbunyi ( هللا غ١ش أ ب ) ( yang disembelih
atas nama selain Allah SWT ). Dalam tiga tempat didahulukan ungkapan ( هللا غ١ش )
terhadap ( ث ) yaitu dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3, surat / 6 : Al-An’âm / 6 : 145, dan
55
Abdul Azhîm Ibrîhim Muth’inî, op.cit., h. 114 dan 292
65
surat An-Nahl / 16 : 115, sedangkan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173 didahulukan
هللا غ١ش ) terhadap ( ث ) ).
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3 :
: 5 /) ابئذح ب أ غ١ش هللا ثؽشذ ػ١ى ا١زخ اذ ؾ اخض٠ش
3 )
Artinya :
“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, ( daging
hewan ) yang disembelih atas nama selain Allah. “ ( Al-Mâidah / 5 : 3 )
Dalam surat Al-An’âm / 6 : 145 :
ل ال أعذ ف ب أؽ ا ؾشب ػ غبػ ٠طؼ اال أ ٠ى ١زخ أ
6/ ) األؼب أ غ١ش هللا ثدب غفؽب أ ؾ خض٠ش فب سعظ أ فغمب
:145 )
Artinya :
“ Katakanlah : " Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging
babi -karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah “. ( Al-An’âm / 6 : 145 )
Dalam surat An-Nahl / 16 : 115 :
/* ) اؾ ب أ غ١ش هللا ثاب ؽش ػ١ى ا١زخ اذ ؾ اخض٠ش
16 :115 )
66
Artinya :
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu ( memakan ) bangkai,
darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain
Allah .“ ( Al-Nahl / 16 : 115 )
Dan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173
٠ب أ٠ب از٠ أا وا غ١جبد ب سصلبو اشىشا هلل ا وز ا٠ب
ب أ ث غ١ش هللااخض٠ش رؼجذ * اب ؽش ػ١ى ا١زخ اذ ؾ
( 173 -172: 2 / ) اجمشح*
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rejeki yang baik-baik
yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-
benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya
mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
( ketika disembelih ) disebut ( nama ) selain Allah. “ ( Al-Baqarah / 2 : 172-
173 )
Dari empat nash di atas, terdapat tiga redaksi yang berulang-ulang dengan
ungkapan ( ب أ غ١ش هللا ث ), sebagaimana dalam surat Al-Mâidah / 5 : 3, surat
Al-An’âm / 6 : 145 dan surat An-Nahl / 16 : 115, yaitu dengan mendahulukan
غ١ش هللا ) ) terhadap ( ث ). Dan seharusnya ( asal ) didahulukan ( ث ) terhadap
غ١ش هللا ) ), karena dhamîr dalam ( ث ) kembali kepada mâ ( ب ), dan ( غ١ش هللا )
tidak terlepas maksudnya dari ( أ ), sebagai shilah dari maushûl. Dan hal ini,
diungkap dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173, dengan ungkapan ( ب أ ث غ١ش هللا ).
67
Dari empat nash di atas terdapat rahasia sebab-sebab didahulukan atau diakhirkannya,
yaitu :
( 1 ). Didahulukan ungkapan ( غ١ش هللا ) terhadap ( ث ) sasarannya ditujukan
kepada Ahli Makkah, yang mayoritas saat itu belum beriman kepada Allah SWT.
Juga sebagai pencegahan terjadinya kemusyrikan serta pembatalan atas aqidah
mereka dengan menjadikan berhala sebagai tuhan yang disembah, serta
penyembelihan yang mengatasnamakan nama tuhan mereka ( berhala ), sebagaimana
diungkap dalam surat Al-An’âm / 6 : 145 dan An-Nahl / 16 : 115
( keduanya Makiyah ), dan Al-Mâidah / 5 : 3 adalah Madaniyah, terkecuali ayat yang
menyatakan tentang haji wada’ adalah Makiyah.
( 2 ). Sedangkan didahulukan lafazh ( ث ) terhadap ( غ١ش هللا ), sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Baqarah / 2 : 173, sasarannya ditujukan kepada Ahli
Madinah yang kita ketahui mayoritas mereka telah beriman. Dan mereka bukan
penyembah berhala, juga bukan kafir tetapi untuk mencegah kemusyrikan, dan juga
untuk menerangkan hukum-hukum Islam, seperti ; halal, haram dan sebagainya.
Karena itu awal ayatnya dimulai dengan ungkapan ( ٠بأ٠ب از٠ آا ) ( wahai orang-
orang yang beriman ).
3. Didahulukan ( غ١ش هللا ) terhadap ( ث ) dalam tiga tempat ( surat Al-
An’âm : 145, An-Nahl : 115, serta surat Al-Mâidah : 3 ), untuk tujuan ta‟kîd
( penekanan ) tentang batalnya keimanan selain kepada Allah SWT, sehingga
didahulukan lafadz ( غ١ش هللا ), karena sangatlah penting. Sedangkan dalam surat Al-
68
Baqarah : 173 sesuai dengan asalnya ( ب أ ث غ١ش هللا ), dengan memajukan
lafazh ( ث ), kerena sebagian mereka telah beriman, maka diakhirkan kalimat ( غ١ش
.karena tidak dibutuhkan penekanan ( ta‟khîd ) ( هللا56
Maksud ayat di atas, bahwa Allah SWT memberitakan kepada seluruh umat
Islam tentang mengharamkan bangkai, darah, daging babi, serta penyembelihan yang
disebutkan selain nama Allah SWT, karena memakan makanan yang baik ( tayyib )
adalah syarat diterimanya do’a dan amal ibadah, sedangkan memakan makanan yang
diharamkan menghalangi diterimanya do’a dan ibadah. Sebagaimana hadits nabi
SAW, “ Wahai manusia sesungguhnya Allah itu baik, maka Dia tidak akan menerima
kecuali yang baik juga “ ( HR. Muslim ). Sedangkan kepada yang terpaksa Allah
SWT hanya membolehkannya, kecuali tidak berlebihan sebagai rukhshah
( keringanan ) dari Allah SWT, karena Dia Maha pengampun dan lagi Maha
penyayang. Demikian maksud ayat-ayat di atas menurut ulama tafsir. 57
Keenam : Mendahulukan ( هلل لا١ ) ( orang-orang yang menegakan
keadilan karena Allah ) terhadap ( ثبمغػ شذاء ) ( menjadi saksi dengan adil )
dalam surat Al-Mâidah / 5 : 8, dan mendahuluakn ( ثبمغػ لا١ ) ( orang yang
56
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 162-163
57
Ibid., h. 150, 478, 626, 350
69
benar-benar penegak keadilan ) terhadap ( هلل شذاء ) ( menjadi saksi karena Allah )
dalam surat An-Nisâ’ / 4 : 135. Bunyi ayat Al-Mâidah, yaitu :
٠بأ٠ب از٠ ءاا وا لا١ هلل شذاء ثبمغػ ال ٠غشى شآ ل
*ج١ش ثب رؼػ أال رؼذا اػذا ألشة زم ارما هللا ا هللا خ
( 8: 5 /) ابئذح
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan ( kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( Al-Mâidah / 5 : 8 )
Dan ayat An-Nisâ’ / 4 : 135, yaitu :
ز٠ ءاا وا لا١ ثبمغػ شذاء هلل ػ أفغى أ ٠بأ٠ب ا
ااذ٠ األلشث١ ا ٠ى غ١ب أ فم١شا فبهلل أ ثب فال رزجؼا ا أ
: 4 /) اغبء* رؼذا ا را أ رؼشظا فب هللا وب ثب رؼ خج١شا
135 )
Artinya :
“ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu
kerjaan. “ ( An-Nisâ‟ / 4 : 135 )
70
Dua surat di atas ( An-Nisa’ dan Al-Maidah ) adalah keduanya madaniyah
sebagaimana disepakati jumhur ulama, namun ayat al-Maidah berkenaan dengan ayat
ini, terdapat perselisihan pendapat. Dan disepakati ulama ( ijma’ ), bahwa Al-Maidah
atau An-Taubah surat yang turun terakhir dari Al-Qur’an. Sebagaimana Az-Zarkasyi
mengatakan dalam kitabnya, al-Burhan, bahwa Rasulullah membaca surat Al-Maidah
ketika haji wadâ‟, kemudian Rasulullah bersabda ; “ sesungguhnya akhir al-Qur‟an
yang turun adalah Al-Mâidah, dan menghalalkan yang telah ditetapkan
kehalalannya, dan mengaharamkan yang telah diharamkan “. Sebagaimana juga as-
Suyuti mengatakan dalam kitabnya. 58
Dan dari taqdîm dan ta‟khîr kedua ayat di
atas terdapat rahasia yang terkandung di dalamnya, yaitu :
1. Didahulukan ayat ( وا لا١ ثبمغػ ) karena khitâb-nya ditujukan
kepada orang-orang mu’min secara mutlak. Karena mereka memiliki kewajiban
secara mutlak menjadi penegak keadilan. Dan perintah tersebut ditunjukan bagi
orang-orang yang beriman. Demikian yang dimaksudkan dalam surat An-Nisa’/ 4 :
135. Diriwayatkan bahwa turunnya ayat ini, sebagaimana dikutip oleh Al-Wâhidi
dalam kitabnya ( asbâbu an-nuzl ). Diriwayatkan oleh Abi Hâtim dari as-Sa’dy
bahwa ayat ini turun kepada Nabi SAW, tentang pesengketaan di antara orang kaya
dan orang miskin, dan menjelaskan orang miskin tidak akan berbuat zhalim terhadap
orang kaya. Maka kata Nabi, tidaklah Allah menghukum terhadap perkara mereka
58
Ibid.,h. 165
71
keculi dengan adil. Maka turunlah ayat ini ( وا لا١ ثبمغػ ٠بأ٠ب از٠ ءاا )
sampai ( ١شا فبهلل أ ثبا ٠ى غ١ب أ فم ).
2. Sedangkan didahulukannya ayat ( وا لا١ هلل ) karena khitâbnya
ditujukan kepada orang-orang beriman secara khusus dan semua manusia secara
umum. Karena ayat ini, sebagaimana menurut ijma’ ulama turun di saat haji wada’
dan dia adalah surat yang terakhir turun dari Al-Qur’an. Oleh karena itu Ahli-Makkah
termasuk dalam khitâb ayat ini. Dengan demikian ayat ini, sebagai ayat nasehat
terhadap umat manusia pada umumnya. Kerena itu didahulukan ( وا لا١ هلل ),
karena perintah menegakan kebenaran karena Allah adalah bukan hanya tanggung
jawab mukhâtab akan tetapi ditujukkan kepada sebagian umat muslim lainya. 59
Sehingga ditafsirkan, bahwa kedua ayat di atas, memerintahkan kepada setiap
mu’min berlaku adil, baik terhadap diri sendiri, terhadap kedua orang tua atau
kerabat, kaya atau miskin dengan ikhlas karena Allah SWT, karena yang demikian itu
lebih mendekati kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada-Nya karena Dia Maha
mengetahui apa yang dilakukan hamba-Nya. 60
Ketujuh : Didahulukan lafazh ( ش١ذا )( saksi ) terhadap ( ث١ ث١ى )
dalam surat Al-Isra’ / 17 : 96 sementara dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 52
didahulukan ( ث١ ث١ى ) terhadap (ش١ذا ).
59
Ibid., h. 166
60
Ibid., h. 447-447 dan 494-495
72
Surat Al-Isra’ / 17 : 96 yaitu :
/ا وب ثؼجبد خج١شا ثص١شا ) اإلعشاء ث١ ث١ى ش١ذال وف ثبهلل
17 :96 )
Artinya :
“ Katakanlah : " Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku dan kamu
sekalian. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya ". “ ( Al-Isrâ‟ / 17 : 96 )
Sedangkan surat Al-Ankâbut / 29 : 52 mengatakan :
ش١ذا ٠ؼ ب ف اغاد األسض از٠ ث١ ث١ىل وف ثبهلل
( 52: 29 /ءاا ثبجبغ وفشا ثبهلل أئه اخبعش ) اؼىجد
Artinya :
“Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia
mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya
kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang
merugi. “ ( Al-Ankâbut / 29 : 52 ).
Didahulukan ( ش١ذا ) terhadap ( ث١ى ث١ ) dalam ayat 96 surat Al-Isra’/
17, dan diakhirkan dalam ayat 52 surat Al-Ankâbut / 29, disebabkan :
1. Didahulukan ( ش١ذا ) dalam surat Al-Isra’, karena bila kita amati sikap
penolakan kafir Quraisy terhadap Rasululullah SAW sungguh telah sampai kepada
puncak keingkarannya. Dibuktikan dengan ayat 90-93 dalam surat Al-Isrâ’ ini, yaitu :
لبا ئ ه ؽز رفغش ب األسض ٠جػب * أ رى ه عخ
خ١ ػت فزفغش األبس خالب رفغ١شا * أ رغمػ اغبء وب
73
صػذ ػ١ب وغفب أ رؤر ثبهلل االئىخ لج١ال * أ ٠ى ه ث١ذ
أ رشل ف اغبء ئ شل١ه ؽز رضي ػ١ب وزبثب مشإ صخشف
( 93-90: 17 /) اإلعشاء
Artinya :
“Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga
kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai
sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah
kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas
kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-
malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah
rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan
mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab
yang kami baca " ( Al-Isrâ‟ / 17 : 90-93 )
2. Diakhirkan ( ش١ذا ) dalam al-Ankabut atau didahulukan ( ث١ ث١ى ).
Karena ayat ini bercerita tentang pengingkaran kafir Quraisy terhadap Rasul yang
masih bersifat umum. Redaksi ayat Al-Ankâbut / 29 : 50-51, itu adalah sebagai
berikut :
أب ز٠ش لبا ال أضي ػ١ ءا٠بد سث ل اب ا٠٢بد ػذ هللا اب
ج١* أ ٠ىف أب أضب ػ١ه اىزبة ٠ز ػ١ ا ف ره شؽخ
( 51-50: 29 /روش م ٠ئ ) اؼىجد
Artinya :
“ Dan orang-orang kafir Mekah berkata: " Mengapa tidak diturunkan
kepadanya mu`jizat-mu`jizat dari Tuhannya?" Katakanlah: " Sesungguhnya
mu`jizat-mu`jizat itu terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya aku hanya
seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan apakah tidak cukup bagi
74
mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab ( Al Qur'an ) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam ( Al Qur'an ) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. “
( Al-Ankâbut / 29 : 50-51 )
Dari perbedaan bentuk pengingkaran mereka, maka didahulukan( اشبدح )
( saksi ) terhadap ( اج١خ )( bukti ). Dan hal ini terbukti bahwa dakwah yang
disampaikan oleh para rasul dan keingkaran mereka terhadap dakwah tersebut tidak
membuahkan hasil. Karena itu seakan-akan, Rasul berkata : Saya telah
menyampaikan dakwah ini kepada mereka, dan engkau, ya Allah telah mengetahui
apa yang aku sampaikan “. Hal ini diisyaratkan dengan adanya bukti saksi dengan
ayat ( ا وب ثؼجبد خج١شا ثص١شا ) ( Sesungguhnya Dia adalah Maha Mengetahui lagi
Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya ). Dengan alasan demikian, maka
didahulukan zharaf ( ث١ ث١ى ) terhadap lafazh ( ش١ذا ) untuk tujuan takhshis
( pengkhususan ). Karena itu ayat Al-Ankâbut / 29 : 52 ini bertujuan untuk
pengkhususan ( ل وف ثبهلل ث١ ث١ى ش١ذا ٠ؼ ب ف اغباد األسض ), takdirnya
Dan kekhususan itu terletak hanya pada ilmu .( ث١ أب ث١ى أز ال ث١ أؽذ غ١شو )
Allah, yaitu ilmu Allah terhadap hamba-Nya. Karena itu didahulukan zharaf untuk
tujuan kekhususan ( takhshîsh ). 61 Dan maksud ayat di atas bahwa Allah SWT
memberi pelajaran kepada Nabi SAW tentang hujjah terhadap kaumnya, bahwa
61
Abdul Azhîm Ibrâhim Muth’inî, op.cit., h. 171-173
75
segala yang disampaikannya itu benar, dan Allah menjadi saksi terhadap Nabi-Nya
dan juga terhadap kaumnya. 62
Kedelapan : Berkenaan dengan ( األو اشغذ )( memakan banyak dan enak ).
Didahulukan lafazh ( سغذا ) terhadap ( ؽ١ش شئزب ) dalam surat Al-Baqarah / 2 : 35
dan didahulukan ( ؽ١ش شئز ) terhadap ( سغذا ) dalam Al-Baqarah / 2 : 57. Redaksi
ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Surat Al-Baqarah / 2 : 35 :
ؽ١ش شئزب ال رمشثب سغذاعه اغخ وال ب لب ٠بآد اعى أذ ص
( 35: 2/ ز اشغشح فزىب اظب١ ) اجمشح
Artinya :
“ Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga
ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja
yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan
kamu termasuk orang-orang yang zalim. “ ( Al-Baqarah / 2 : 35 )
Surat Al-Baqarah / 2 : 58 :
سغذا ادخا اجبة عغذا ؽ١ش شئزار لب ادخا ز امش٠خ فىا ب
( 58: 2 /و عض٠ذ اؾغ١ ) اجمشحلا ؽطخ غفش ى خطب٠ب
Artinya :
62
Ibn Katsîr, op.cit. h. 401 dan h. 41
76
“ Dan ( ingatlah ), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini
( Baitul Maqdis ), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak di
mana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud,
dan katakanlah: "Bebaskanlah kami dari dosa", niscaya Kami ampuni
kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami)
kepada orang-orang yang berbuat baik".“ ( Al-Baqarah /2 : 58 )
Apa rahasia taqdîm dan ta‟khîr dari kedua redaksi ayat di atas ?. Rahasianya :
( a ). Didahulukan ( سغذا ) terhadap ( ؽ١ش شئزب ), karena khitâb Allah itu
ditujukan terhadap Nabi Adam As dan Siti Hawa’ agar masuk surga dan memakan
makanan di dalamnya dengan suka hati dan banyak. Karena itu didahulukan
raghadan ( banyak dan enak ) yang dimaksudkan adalah makanan, karena
didulukannya makanan itu lebih penting bagi keduanya. Sedangkan makna yang
terkandung dalam ( ؽ١ش شئزب ), bahwa Adam dan Hawa’ di dalam surga berada
dalam keadaan tenteram dan damai tidak ada tekanan dan ganngguan apapun.
( b ). Sedangkan didahulukan ( ؽ١ش شئز ), karena khitâb Allah itu ditujukan
kepada Bani Isrâil ketika memasuki kota Ariha dan di dalamnya terdapat banyak
penduduk, maka mendahulukan lafazh tersebut lebih penting. Sedangkan makna
kalimat ( ؽ١ش شئز ), adalah bahwa suatu tempat ( kota besar ), jika banyak
penduduknya tentu tidak nyaman, karena di dalamnya kurang ketentraman dan
dibutuhkan usaha keras untuk mencari rejeki dan juga sebagai tempat tinggal yang
layak. Maka mendahulukan ( ؽ١ش شئز ) lebih penting bagi mereka. 63
Tafsir ayat
Al-Baqarah / 2 : 35 adalah bahwa Allah SWT memuliakan Adam AS, kemudian
63
Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit.,h . 188
77
Allah SWT memerintakan kepada para Malaikat bersujud kepadanya, kemudian
mereka bersujud kecuali Iblîs, dan Allah SWT memberikan kebebasan memakan
sesukanya ( ragadan ), kemudian Allah SWT menguji Adam dan istrinya dengan
perintah menjauhkan pohon larangan, namun dengan godaan syaithan akhirnya
keduanya melanggar larangan Allah, karena itu Allah menyuruh mereka keluar dari
surga tersebut hingga datangnya waktu kiamat. Sedangkan dalam ayat Al-Baqarah / 2
: 58, perintah Allah ditujukan kepada Bani Israil untuk memasuki Baitul Maqdîs
setelah menaklukan orang-orang kafir. Mereka diperintahkan memasuki kota itu
dengan menundukan kepala ( sujûd ), kemudian bersyukur dan beristigfar kepada
Allah, lalu Allah menambahkan nikmat-Nya. 64
Kesembilan : Tentang syafâ‟at dan keadilan ( اشفبػخ اؼذاخ ). Terdapat dua
redaksi yang sama tetapi kata “ syafâ‟ah “ didahulukan dalam suatu ayat dan
diakhirkan dalam ayat yang lain. Yaitu :
( a ). Surat Al-Baqarah / 2 : 48 berbuyi :
خ ال ٠ئخز شفبػارما ٠ب ال رغض فظ ػ فظ ش١ئب ال ٠مج ب
( 48: 2 / ال ٠صش ) اجمشح ػذيب
Artinya :
“ Dan jagalah dirimu dari ( `azab ) hari ( kiamat, yang pada hari itu )
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan ( begitu
pula ) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka
akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 48 )
64
Ibn Katsîr, op.cit., h.54-55, dan 68
78
( b ). Terdapat dalam surat Al-Baqarah / 2 : 123 berbuyi :
ال رفؼب ػذيارما ٠ب ال رغض فظ ػ فظ ش١ئب ال ٠مج ب
( 123: 2 /خ ال ٠صش ) اجمشحشفبػ
Artinya :
“ Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat
menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu
tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfa`at sesuatu syafa`at
kepadanya dan tidak ( pula ) mereka akan ditolong. “ ( Al-Baqarah / 2 : 123 )
Dalam kedua redaksi ayat di atas terdapat perbedaan yang nyata :
( 1 ). Dalam ayat pertama, Al-Baqarah / 2 : 48, didahulukan lafazh ( اشفبػخ )
terhadap ( اؼذي ) sedangkan lafazh ( اشفبػخ ) menjadi nâib-fâ‟il dari fi‟il yang
manfi ( ٠ئخذ ال ) menjadi nâib fâ‟il dari fi‟il ( اؼذي ) dan lafazh ( ٠مج ال ).
( 2 ). Dalam ayat kedua , Al-Baqarah / 2 : 123, didahulukan lafazh ( اؼذي )
terhadap ( اشفبػخ ), sedangkan lafazh ( اؼذي ) menjadi nâib-fâ‟il dari fi‟il yang manfi
.menjadi nâib-fi‟il dalam ayat pertama ( ا شفبػخ ) sebagaimana lafazh ,( ال٠مج )
( 3 ). Lafazh ( اشفبػخ ) diakhirkan dalam ayat kedua, dengan berganti fi‟il
yang menjadi musnad ( predikat ) lafazh ( اؼذي ) dalam ayat pertama, yaitu fi‟il
.ketika diakhirkan ,( ال٠ئخز )
Abdul Azhîm Muth’inî memberikan penjelasan tentang kedua redaksi ayat di
atas, sebagai berikut :
79
( 1 ). Kembalinya dlamîr dalam ayat pertama ( ال ٠مج ب شفبػخ ) tentu
kepada jiwa ( nafs ) karena ayat ini berbicara tentang mereka yang tidak bisa
memberikan pertolongan kepada orang lain, juga tidak diterima syafa’at dan juga
tebusan. Karena itu jika kembalinya dhamîr ( ب ) dalam ayat di atas bukan kepada
jiwa ) orang yang berbuat dosa ), maka redaksi ayat seharusnya seperti ini ( ال ٠مج
Jika kembalinya dhamir pertama kepada nafs ( orang yang berbuat dosa .( ف١ب شفبػخ
yang tidak bisa memberi pertolongan ), maka kembalinya dhamir dalam ( ال ٠ئخز
kepada jiwa juga. Dengan demikian ayat Al-Baqarah / 2 : 48, mempunyai ( ب ػذي
makna bahwa seorang mu’min tidak bisa memberikan pertolongan kepada orang lain,
dan yang mendapatkan syafa’at tidak dapat memberikan syafa’at kepada orang lain,
atau pemberian syafa’atnya itu ditolak. Jika dimintakan ganti dari syafa’at kepada
tebusan, maka tebusan itu juga ditolak. Ayat Al-Baqarah / 2 : 123 menjelaskan,
bahwa di akhirat itu semua hubungan kehidupan sosial terputus ( baik kepada kedua
orang tua, anak, saudara, ataupun istri ). Sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat
An-Najm / 53 : 39 yaitu :
( 39: 53 /أ ١ظ إلغب اال ب عؼ ) اغ
“ Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya. “ ( An-Najm / 53 : 39 )
Dengan demikian jelas kembalinya dlamîr kepada ayat-ayat ( ال رغض ال ) ,(
.( ال ٠ئخز ) ,( ٠مج
80
( 2 ). Sedangkan dlamîr dalam ayat kedua ( Al-Baqarah / 2 : 123 ), hanya
kembali kepada jiwa orang kedua yang berbuat maksiat. Dengan maksud bahwa
orang-orang yang berbuat maksiat pada hari kiamat tidak bisa digantikan sedikitpun,
meskipun itu mempunyai hubungan kekeluargaan. Dan apabila ia ingin menggantikan
tebusan maka tebusan itu tidak diterima, dan apabila memberikan syafa’at kepada
orang lain, maka tidak bermanfa’at.
Sedangkan mendahulukan ( اشفبػخ ) dalam ayat pertama dan mengakhirkan
dalam ayat kedua, juga mengakhirkan ( ػذي ) dalam ayat pertama dan
mendahulukannya dalam ayat kedua, adalah bertujuan untuk meniadakan harapan
( raja‟ ), terhadap jiwa seseorang di hari Kiamat, dan menyatakan penolakan terhadap
Bani Israil meskipun bapak-bapak mereka adalah para nabi, sehingga mereka mengira
akan mendapatkan syafa’at dari bapak-bapak mereka di hari Kiamat. 65
Demikianlah
maksud taqdîm dan ta‟khîr dalam ayat di atas.
Kesepuluh : Tentang ( اؼت ) dan ( ا ) yaitu main-main dan senda gurau.
Dalam hal ini terdapat empat tempat dalam Al-Qur’an, didahulukannya ( اؼت )
terhadap ( ا ). Yaitu :
1. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 32, bunyi ayat :
ذاس ا٢خشح خ١ش ز٠ ٠زم أفال رؼم* ؼتب اؾ١بح اذ١ب اال
( 32: 6 /) األؼب
65 Abdul Azhîm Muth’inî, op.cit., h. 189-194
81
Artinya :
“ Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau
belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya ? “ ( Al-An‟âm / 6 : 32 ).
2. Dalam surat Al-An’âm / 6 : 70, bunyi ayat :
( 70: 6 /ا غشر اؾ١بح اذ١ب ) األؼبب ؼجرس از٠ ارخزا د٠
“ Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai
main-main dan senda-gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia. “
( Al-An‟âm / 6 : 70 )
3. Dalam surat Muhamad / 47 :36 :
ا رئا رزما ٠ئرى أعسو ال ٠غؤى ؼتاذ١ب اب اؾ١بح
( 36: 47 /أاى* ) ؾذ
Artinya :
“ Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan
jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu
dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.“ ( Muhamad / 47: 36 )
4. Dalam surat Al-Hadâd / 57 : 20
ص٠خ رفبخش ث١ى رىبصش ف األاي ؼتاػا أب اؾ١بح اذ١ب
( 20: 57/ األالد ) اؾذ٠ذ
Artinya :
“ Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu
serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. “ ( Al-Hadîd /
57 : 20 ).
82
Kemudian didahulukannya ( ا )( senda gurau ) terhadap ( اؼت )
( permainan ), terdapat dalam dua tempat, yaitu :
1. Dalam surat Al-A’râf / 7 : 51 Yaitu :
ب غشر اؾ١بح اذ١ب فب١ غب وب غا ؼج ااز٠ ارخزا د٠
( 51: 7 /مبء ٠ زا ب وبا ثآ٠برب ٠غؾذ ) األػشاف
Artinya :
“ ( Yaitu ) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai senda
gurau dan main-main, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka
pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka
melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka
selalu mengingkari ayat-ayat Kami. “ ( Al-A‟râf / 7 : 51 ).
2. Dalam surat Al-Angkabut / 29 : 64 yaitu :
ا اذاس ا٢خشح اؾ١ا وبا ؼت ب ز اؾ١بح اذ١ب اال
( 64: 29 /) اؼىجد *٠ؼ
Artinya :
“ Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main.
Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui. “ ( Al-Ankabût / 29 : 64 )
Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) menyebutkan, bahwa alasan didahulukan lafazh
( اؼت ) dalam beberapa ayat di atas, karena ( ا ) terhadap lafazh ( اؼت )
( permainan ) itu banyak dilakukan ketika masa kanak-kanak ( shiba’ ). Sedangkan
sering terjadi di masa dewasa ( syabbab ). Waktu sibâ’ lebih ( senda-gurau ) ( ا )
83
dahulu datangnya dari pada masa syabab. Sedangkan alasan mendahulukan ( ا )
terhadap ( اؼت ), dalam surat Al-A’râf menurut beliau, karena senda gurau akan
berakhir setelah datangnya hari Kiamat dan juga dimulai dengan dua masa tadi, yaitu
masa shibâ’ dan masa shabab. Dan dalam surat Al-Ankâbut / 29 : 64 didahulukan
karena masa-masa syabab ( muda ) lebih banyak senda-guaru dibanding pada ,( ا )
masa shibâ’. Dan didahulukan (ا ) dimaksudkan juga, untuk memberi isyarat
bahwa kehidupan di dunia lebih cepat dan tidak kekal ( fana’ ) dibanding dengan
kehidupan akhirat. Demikian menurut Az-Zarkasyi dalam kitab al-burhân
sebagaimana diungkap oleh Abdul Azhîm Muth’inî dalam kitabnya. 66
D. Analisis tentang taqdîm dan ta’khîr.
Setelah melalui proses panjang pembahasan tentang taqdîm dan ta‟khîr ini,
penulis baru bisa menganalisis tentang terjadinya perubahan-perubahan redaksi dalam
ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan bacaan umat Islam dan menjadi pedoman
hidup. Untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an tersebut dengan benar tentu kita
harus memahami jalan atau cara untuk mencapai tujuan tersebut, tentu dalam hal ini
berkenaan dengan beberapa syarat serta kaidah yang diperlukan bagi seorang
mufassir. Karena itu proses pencapaian tujuan tersebut memerlukan pemahaman
kajian ilmu-ilmu bahasa ( nahwu-sharf, balaghah dan sastra, ) dan ilmu-ilmu lainya
66
Ibid., h. 194 –195,
84
yang mendukungnya, seperti ; ushul tafsir, ushul fiqh, ilmu mantiq, nasikh-mansukh,
asbab nuzul, serta qirâ‟at yang keseluhannya merupakan sumber-sumber utama
dalam kajian Al-Qur’an.
Sedangkan kajian taqdîm dan ta‟khîr adalah salah satu dari sekian banyak cara
untuk memahami isi dan rahasia kandungan Al-Qur’an. Dan bila dilihat dari
definisinya, sebagaimana dibahas dalam bab II taqdîm dan ta‟khîr itu merupakan
kaidah dasar ilmu bahasa, sebagaimana dipahami dalam pandangan ulama nahwu,
ulama balaghah serta ulama lainnya. Menurut ulama nahwu, sebagaimana diungkap
oleh Mushtafah al-Ghalayini, bahwa taqdîm dan ta‟khîr adalah mendahulukan
kedudukan mubtada‟ sebagai muhkûm alaih ( subjek ) dan mengakhirkan khabar
sebagai mahkûm bih ( predikat ) dan kedua bentuk tersebut terkadang didahulukan
atau diakhirkan sesuai kehendak pembicara. Sedangkan menurut yang lain, seperti
ulama balaghah dan tafsîr misalnya, az-Zarkasyi ( w. 794 H ), bahwa taqdîm dan
ta‟khîr merupakan gaya bahasa ( uslub ) balaghah, yang lebih mementingkan
pemakaian kata-kata atau kalimat sehingga menjadi susunan kalimat yang indah dan
menarik. Di anrata taqdîm dan ta‟khîr ini, seperti mendahulukan khabar terhadap
mubtada’ dan sebaliknya, mendahulukan musnad ilaih terhadap musnad. Kemudian
berkembang pemahamannya sesuai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.,
seperti taqdîm dan ta‟khîr dalam balaghah dan sastra umpamanya mendahulukan
dengan tujuan-tujuan tertentu, antara lain untuk mengkhsuskan ( takhshîsh ),
penyesuaian konteks ( siyaqul kalâm ), menjaga akhir kalimat ( murâ‟atul fawâshil ),
dengan macam bentuk-bentuk taqdîm dan ta‟khîr dalam al-Qur’an. Juga metode ini
85
berkembang dimulai dari ulama balaghah yang dipelopori oleh Abdul Qâhir Al-
Jurjâni ( w. 471 H ), dan Khatîb Al-Qazwaini ( w. 379 H ), kemudian dikembangkan
lagi oleh ulama tafsir dan ulama-ulama lainnya, seperti ; Ibnu Shâ’ig dan diterusakan
oleh As-Suyûti ( w. 911 H ), Az-Zarkasyi ( w. 794 H ) dan ulama-ulama tafsir
lainnya, seperti Abu Su’ûd dan al-Zamakhsyari dan sebagainya. Dan dari perbedaan
macam bentuk taqdîm dan ta‟khîr serta metode yang dikembangkan masing-masing
ulama, mereka tidak bergeser dari unsur-unsur berikut ini :
a. Hakikat taqdîm dan ta‟khîr
b. Urgensi taqdîm dan ta‟khîr serta macam-macam dan bentuknya.
Dari urgensi ( tujuan ) taqdim menurut ulama balaghah di atas terdapat tujuan
secara khusus dan juga secara umum. Tujuan secara khusus, seperti untuk tujuan
takhsis, dan sebagainya dan tujuan secara umum seperti untuk ihtimâm terhadap yang
didahulukan ( bil muqadam ) dan sebagainya. Macam-macam taqdîm juga terdapat
pembagian dan bentuknya, seperti ; mendahulukan dengan niat untuk mengakhirkan,
seperti ; mendahulukan khabar terhadap mubtada’, mendahulukan maf‟ûl terhadap
fâ‟ilnya. Macam taqdim yang lain, seperti mendahulukan tidak bertujuan ta‟khîr,
seperti mendahulukan mubtada‟ terhadap khabar, mendahulukan fâ‟il terhadap
fi‟ilnya dan sebagainya.
Menurut pandangan ulama bahasa, dalam taqdîm dan ta‟khir terdapat banyak
perbedaan pendapat, seperti pendapat ulama Bashrah dan Kufah dalam ilmu nahwu
dan sharf, mereka masing-masing mempunyai argumentasi yang kuat sebagaimana
diungkap dalam pembahasan bab III. Dengan demikian taqdîm dan ta‟khîr bukan saja
86
ilmu yang tersusun dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu dan sharf, akan tetapi juga
seni bahasa dalam rangka menyusun bentuk kalimat yang indah yang tidak terikat
dengan kaidah-kaidah tertentu yang telah dikembangkan oleh ulama balaghah dan
ulama-ulama lainnya. Sehingga dengan berkembangnya pemahaman luas tentang
taqdîm dan ta‟khîr terdapat juga bentuk taqdîm dan ta‟khîr secara istilah dan juga
secara bukan istilah. Taqdîm dan ta‟khîr semacam ini, dikenal dengan istilah ulama
balaghah, ulama sastra dan juga ulama tafsir, dengan bentuk taqdîm dalam suatu ayat
dan takhîr dalam ayat yang lain. Ini banyak dicontohkan dalam Al-Qur’an dengan
taqdîm bukan istilah ( taqdîm gharu istilahi ). Demikian taqdîm dan ta‟khîr dalam al-
Qur’an. *
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karîm
Abdul Bâqi, Muhamad Fuâd, Al-Mu‟jam Al-Mufahrâs Li Al-Fâzh Al-Qur‟ân Al-
Karîm, Kairo : Dar Al-Hadîts, 1411 H / 1991 M, Cet. Ke-3
Akhdhori, Imâm, Ilmu Balâghah ( al-Ma’ni, Bayn, Badî’ ) ( terj. ), Jauhar Al-
Maknûn, Bandung : PT. Al-Ma’ârif, 1982 M, Cet. Ke-6
Al-Baili, Ahmad, Al-Ikhtilaf Baina Al-Qirâ‟at, Bairut : Dârul Jail, 1408 H / 1988 M,
et. Cet. Ke-1
87
Anbâri, Abdullah, Al-, ( w. 577 H ), Al-Inshâf Fi Masâ‟il al-Khilâf Baina al-
Nahwiyîn Al-Bashrîyîn Wa Al-Kûfîyyîn, Beirut : Dar Al-Kutûb Al-
Ilmiyah, 1418 H / 1998 M, Jilid ke-1, Cet. Ke- 1
Athief Zein, Sâmih, Majma‟ Al-Bayân Al-Hadîts ( Tafsir Mufradât Li Al-Alfâzd Al-
Qur’an Al-Karîm ), Beirut : Maktabah Al-Kitab Al-Lubnâni, 1404 H /
1984 M, cet. Ke-2.
……………….., Ushûl al-Fiqh Al-Muyassar Al-Muqadimah Li Al-Maushu‟ah Al-
Ahkâm As-Syar‟iyah Fi Al-Kitab Wa As-Sunnah, Beirut : Dar Al-Kitab
Al-Lubnani, 1410 H / 1990 M, cet. Ke- 1
Baidhâwi, Nashiruddîn, Tafsir Al-Baidhâwi ( Anwar al-Tanzîl Wa Asrâr al-Ta‟wîl ),
Beirut : Dar-Kutûb Ilmiyah, 1416 H / 1996M
Cowan, J. Milton, Mu‟jam Al-Lughah Al-Arabiyah Al-Mu‟ashirah ( Dictionary of
Modern Written Arabic, Hans Wehr ( Arabic-English ), Beirut :
Maktabah Lubnan, 1974, cet. Ke-3
Dayyab, Hifni Bek, ( ed. ), Kaidah Tata Bahasa Arab terjemahan Prof. Dr. Chatîbul
Umam et.al, Jakarta : Darul Ulum Press, t.th, cet. Ke-3
Echols, M. John, ( et.al ), Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1976, cet. Ke- 23
Ghalâyini, Syeikh Mushthafa, Al-, Jâmi‟ud Durûs Al-Arabiyah, Beirut : Al-Maktabah
Al-Ashriyah, 1441 H / 1991 M Jilid 1, cet. Ke-23
Hasan, Abbâs, An-Nahwu Al-Wâfi‟, Kairo : Dar- Al-Ma’ârif, t.th, cet. Ke- 11
88
Hâsyimi, Sayyid Ahmad, Al-, Jawâhir Al-Adab Fî Adabiyat Wa Insya‟ Lughatul
Arab, Kairo : Maktabah As-Tsaqâfah Ad-Diniyah, 13 89 H / 1969 M,
Jilid ke-1, cet. Ke- 27
Ibn Aqîl, Jamâluddin, Syarkh Ibn Aqîl, ( tahqiq HA. Fahuri ), Beirut : Dar Al-Jeil t.th,
cet. ke-1
Ibn Katsîr, Mukhtasyar Ibn Katsîr, ( Tahqiq : Muhamad Ali Shâbuni ), Kairo : Dar
As-Shâbuni, t.th
Ismâil, Sya’bân Muhamad, Dr., Al-Qirâ‟at Ahkâmuha Wa Mashdaruha , Kairo :
Darussalâm Li al-Thibâ’ah Wa Nasr Wa Al-Tawzi’, 1406 H / 1986 M
Jârim, Ali, Al-, dan Mustafa Amîn, Al-Balâghah Al-Wadhihah ( terj. ) Bandung :
Sinar Baru Algesindo, 1994, cet. Ke-1
Jurjâni, Abdul Qâhir Al-, Dala‟il I‟jâz, Beirut : Dar-Al-Kutub al-Ilmiyah, t.th,
Jurjâni, Muhamad Al-, ( w. 471 H ), Kitab Asrârul Balâghah, Kairo : Mathba’ah Al-
Madani, 1412 H / 1991 M, cet. Ke-1
Khifnî, Abdul Mun’im Al, Dr. , Kitab At-Ta‟rifat, Kairo : Dar Al-Rasyad, 1991
Ma’luf, Louis, Al-Munjîd, Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986, cet. Ke-4
Muhamad, Ahamad Sa’at, Al-Ushûl Al-Balâghiyah Fî Kitab Sibaweih, Kairo :
Maktabah Adab, 1419 H / 1999 M, cet. Ke-1
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya :
Pustaka Progressif, 1997
89
Mutawalli, Abdul Hamîd Mahmûd, Al-Mustanîr Fî Ulûmil Qur‟an, Kairo : Maktabah
Wa Mathba’ah Mushthafa AlBâbili Al-Halabi Wa Awlâduhu, 1411 H /
1991, cet. Ke-1
Muth’inî, Abdul Azhîm bin Ibrâhim Al-, Khasa‟is At-Ta‟bir Al-Qur‟ani Wa Simatuhu
Al-Balâghiyah, Kairo : Maktabah Wahbah, 1413 H / 1992, Jilid ke-2
Qâbil Nasr, Athiah, Al-Qabsul Jâmi‟ Li Qira‟ati Nafi‟ Min Tharîq Al-Syâtibiyah,
Kairo : t.t : 1415 H / 1994 M, Cet. Ke-1
Qattân, Manna’ Khalîl, Al-, Nuzul Al-Qur‟an „Ala Sab‟ati Ahrufin, Kairo : Maktabah
Wahbah, 1411 H / 1991 M, Cet. Ke-1
………………….…, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, ( terj. ), Drs. Muzakir As, Bogor :
Pustaka Litera Antar Nusa, 1996 M, cet. Ke-3
Qazwaini, Khatîb, Al-, Al-Idhâh Fî Ulûmi al-Balâghah, Beirut : Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, t.th
Sakkaki, Al-, Miftâhul Ulûm, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1403 H / 1993
Sibawaih, Abu Basyar bin Usman bin Qanbar, ( tahqiq : Abdul Salam Muhamad
Harun, Kitab Sibawaih, Beirut : Dar Al-Jeil, t.th, Jilid ke-1, cet. Ke- 1
Suyuti, Imâm Jalâluddin, Al-, Al-Itqân Fî Ulûmil Qur‟an, Beirut : Dar Al-Fikr, 14 16
H / 1996, cet . ke-1
……………………….., Ad-Dûr Mantsûr Fî Tafsîr Bil Ma‟tsûr, Beirut : Dar Al-
Kutub Ilmiyah, 1421 H / 2000 M, Jilid ke-3, Cet. Ke-1
Shihâb, Quraish, Dr. , Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 1992, cet. Ke- 2
90
Syeikhûn, Muhamad, Dirâsat Fî Al-Lughah Al-Arabiyah Wa Adâbuha, Kairo :
Dirasat Al-Islamiyah Wa Al-Arabiyah, 1417 H / 1996
Zamakhsyari, Abu Qâshim Mahmûd bin Umar, Al-, Asas al-Balâghah, Beirut : Dar
Al-Fikr, 1409 H / 1989 M
…………., Al-Kasyâf „An Haqâ‟iq Ghawâmidh At-Tanzil Wa Uyun Al-Aqâwil Fî
Wujûh At-Ta‟wil, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1415 H / 1995 M, cet. 1
Zarkasyi, Imam Badrudin bin Muhamad Abdullah, Al-, Al-Burhân Fî Ulûmil Qur‟an,
Kairo : Tabâ’ah Al-Halabi, 1973
Zarqâni, Syeikh Muhamad Abdul Azhîm, Al-, Manâhil Irfân Fi Ulûmil Qur‟an,
Kairo: Maktabah Al-Halabi, t.th ***
91
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Hasbullah Diman, lahir di Jakarta, 5 Juni 1968 dari pasangan Bapak H. Diman
( Jakarta ) dan Hj. Asmanih ( Jakarta ) kedua sudah Al-Marhum dan Al-Marhumah.
Dengan Pendidikan Dasar SDN 07 Pulo Gebang Jakarta Timur ( 1981 ), dan SMP
Negeri 138 Cakung Jakarta-Timur ( 1983 ), KMI Pondok Moden Gontor Ponorogo,
Jawa-Timur ( 1990 ).
Menyelesaikan Sarjana ( S1 ) di Al-Azhar University, jurusan Studi Islam dan
Bahasa Arab, Cairo-Mesir ( 1999 ). Dan pernah mengecap pendidikan SMA As-
Syafi’iyah, Jatiwaringin hanya satu tahun, kemudian pindah ke Pesantren Gontor
hingga selesai. Pernah menjadi staff pengajar di KMI Pondok Modern Arisalah,
Bakalan, Ponorogo ( 1990 ), pengajar di KMI Majlis Qurra’ Wal Huffadz Tuju-tuju-
92
Kajuara-Bone, Sulawesi-Selatan ( 1991 ), sebelum menyelesaikan ( S1 ) di Al-Azhar,
Kairo-Mesir.
Dan tahun 2000 melanjutkan ( S2 ) di Pascasarjana UIN ( Syarif
Hidayatullah ), Jakarta, jurusan Tafsir-Hadits ( 2000- 2004 ) dengan tesis “ Taqdîm
dan Ta‟khîr Dalam Al-Qur‟an “ ( Analisis Kebahasaan dengan Tafsir Terhadap Ayat-
Ayatnya ), sampai pada hari disidangkannya.
Dan kegiatan sehari-hari menjadi staf pengajar di Ma’had Da’wah dan Ilmu
Pengetahuan Islam, Al-Husnayain, Bekasi. Dan tinggal di Jakarta-Timur bersama
Istri tercinta Hj. Barkah dan kedua-anak, Asyrof Arobi ( 5,1 tahun ) dan Sofwatun
Nada’ ( 2,10 tahun ). Dan didampingi oleh seorang ibunda mertua tercinta. ***
93
Top Related