STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY
TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL
DALAM JUAL BELI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
SulakhudinNIM: 052311036
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2012
ii
Ahmad Arif Budiman, M.AgPerum Asri 1.19 Kramas Tembalang Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplarHal : Naskah Skripsi
a.n. Sdr. Sulakhudin
Kepada YthDekan Fakultas Syari'ahIAIN WalisongoDi Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Sulakhudin
Nomor Induk : 052311036
Jurusan : MU
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI
ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK
DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL
DALAM JUAL BELI
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Mei 2012
iii
DEPARTEMEN AGAMA RIINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANGJL. Prof. Dr. HAMKA KM.2 Ngalian Telp. (024) 7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN
Skripsi saudara : SulakhudinNIM : 052311036Fakultas : Syari’ahJurusan : MUJudul : STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH
SHIDDIEQY TENTANG TIDAKDIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABULDALAM JUAL BELI
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
28 Juni 2012
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
tahun akademik 2010/2011.
Semarang, 28 Juli 2011
iv
MOTTO
فوا بالعقود نوا أو ين آم ا الذ )1: املائدة...(يا أيـهArtinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(QS.5: 1).
Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an danTerjemahnya, Jakarta: DEPAG, 1979, hlm. 156.
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Bapak dan Ibuku tercinta yang telah mengenalkan ku pada sebuah
kehidupan dengan sebuah kasih sayang yang tak bertepi Dalam diri
beliau kutemui contoh sosok orang tua yang sangat hebat.
o Istriku tercinta yang selalu menemaniku dalam suka dan duka
o Kakak dan adikku serta seluruh keluarga ku tercinta, semoga kalian
temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat, semoga semuanya
selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.
o Teman-teman Fak Syariah Jurusan Muamalah.
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang telah pernah ditulis oleh
orang lain atau diterbitkan, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
bahan rujukan.
Semarang, 15 Mei 2012Deklarator,
SulakhudinNIM: 052311036
vii
ABSTRAK
Kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiaporang yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan hargabarangnya pun tidak kecil. Sebagai rumusan masalah yaitu bagaimanapendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijabqabul dalam jual beli? Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi AshShiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli?
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sebagaidata primer yaitu Karya TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, PengantarHukum Islam. Adapun sumber data sekunder, yaitu rujukan dalam penelitianini digunakan beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-HaditsHukum; Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh IslamTinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam Islam;Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam Fiqih;Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’ii, Hanbali;Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah dan Biografi Empat ImamMazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali; Ensiklopedi Hukum Islam, AsyhadulMadarik, Syarkh Irsyad al-Syalik fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Aujazu al-Masalik Ila Mu’attai Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh al-Rizqany‘, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-Muqtasid, al-Muwatta’al-Muafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an danTafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Memasuki Dunia al-Qur’an, IkhtisaharMusthalah al-Hadits, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, dll yang adarelevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan demikian penelitimenggunakan teknik library research yaitu suatu riset kepustakaan.
Hasil pembahasan menunjukkan bahwa menurut TM.Hasbi AshShiddieqy jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan keduabelah pihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat puladengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjualmenyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembelimenyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudahterlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuantidak mesti diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan tanpalafazd ijab qabul. Metode istinbat hukum yang digunakan TM.Hasbi AshShiddiqie adalah al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 yang artinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1), dan haditsriwayat Bukhari dan Muslim yang artinya: "Mengapakah mereka menentukanberbagai syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidaktersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat.Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan (atasbekas budak) tetap bagi yang memerdekakannya". (H.R: Bukhari Muslim).
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI
ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB
QABUL DALAM JUAL BELI” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. Imam Yahya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Ahmad Arief Budiman, M.Ag selaku Dosen Pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan
layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,
yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu
menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Seluruh Staff Fakultas Syari'ah yang telah banyak membantu dalam
akademik.
Akhirnya hanya kepada Allah penulis berserah diri, dan semoga apa yang
tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan para
pembaca pada umumnya. Amin.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................ iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
DEKLARASI ............................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................ viii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 6
D. Telaah Pustaka .................................................................... 7
E. Metode Penelitian ................................................................ 10
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli ............................................................. 14
B. Landasan Hukum Jual Beli .................................................. 17
C. Syarat dan Rukun Jual Beli .................................................. 19
D. Macam-Macam Jual Beli ..................................................... 35
1. Jual Beli Benda yang Kelihatan ...................................... 35
2. Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji ..... 37
3. Jual Beli Benda yang Tidak ada...................................... 38
E. Pendapat Para Ulama tentang Ijab Qabul dalam Jual Beli..... 39
x
BAB III : PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK
DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL
BELI
A. Biografi dan Sketsa Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy... 42
B. Pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli................ 56
C. Metode Istinbat Hukum TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang
Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli...... 68
BAB IV: ANALISIS PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY
TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL
DALAM JUAL BELI
A. Analisis Pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli................ 72
B. Analisis Metode Istinbat Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy
Tentang Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul
dalam Jual Beli .................................................................... 80
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 83
B. Saran-saran .......................................................................... 84
C. Penutup................................................................................ 84
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri; namun demikian
hidupnya harus bermasyarakat. Dalam hal ini Allah SWT telah menjadikan
manusia masing-masing berhajat kepada yang lain, agar mereka tolong
menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup
masing-masing, baik dengan jual beli, sewa menyewa, bercocok tanam,
dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Keterangan di atas menjadi indikator bahwa manusia untuk memenuhi
kebutuhannya memerlukan orang lain. Salah satu kebutuhan yang memerlukan
interaksi dengan orang lain adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang menimbulkan akibat hukum yaitu akibat sesuatu
tindakan hukum.1
Dalam hukum Islam, secara etimologi jual beli adalah menukarkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain, sedangkan menurut syara’ ialah
menukarkan harta dengan harta.2 Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Gazzi
menerangkan:
يس مبال كخمر والبيع لغة مقابلة شيئ بشئ فدخل ما لىف تعريفه انه متليك عني مالية مبعاوضة باذن ماقيلواماشرعافاحسن
1Surojo Wignyodipuro, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983, Cet ke-3,hlm. 38.
2Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, Fath al- Mu’in Bi Sarkh Qurrah al-‘Uyun, Semarang: Karya Toha Putra, tth, hlm. 66.
2
3ن ماىلمتليك منفعة مباحة على التأبيد بثمشرعى او
Artinya: Jual beli itu menurut bahasanya ialah suatu bentuk akadpenyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena itu akadini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak berupa uang,seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jualbeli yang paling benar ialah memiliki sesuatu harta (uang)dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedarmemiliki manfaatnya saja yang diperbolehkan syara’untukselamanya, dan yang demikian itu harus dengan melaluipembayaran yang berupa uang.
Dalam kitabnya, Sayyid Sabiq merumuskan, jual beli menurut
pengertian lughawinya adalah saling menukar (pertukaran), sedang menurut
pengertian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.4 Jual beli
dibenarkan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma umat. Landasan Qur’aninya,
firman Allah:
ل ... أح رم الر و ح يع و )275: البقرة...( باالله البـArtinya: Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
(al-Baqarah: 275)5
Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
ة ابن رافع ان النيب صلى اهللا عليه وسلم سئل اى الكسب ععن رفارواه البزار وصححة (عمال الرجل بيده وكل بيع مربور : قالاطيب؟6)احلاكم
3Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Kairo: Maktabah Dâral-Turas, tth, hlm. 30.
4Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Juz III, Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 147.5Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Depag RI: Surabaya, 1980, hlm. 69.6Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani Al-San’ani, Subul al-Salam, Kairo:
Juz III, Dâr Ikhya’ al-Turas al-Islami, 1960, hlm. 4
3
Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a. (katanya): Sesungguhnya NabiMuhammad SAW. pernah ditanyai, manakah usaha yangpaling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorangdengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang bersih.(HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim).
Landasan ijmanya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan
dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik
orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.7
Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-
syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’
Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas al-Qur’an
menerangkan bahwa menjual itu halal; sedang riba diharamkan.8 Sejalan
dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya
salah satu rukun dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-qabul yaitu
ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak
lain. Adanya ijab-qabul dalam transaksi ini merupakan indikasi adanya rasa
suka sama suka dari pihak-pihak yang mengadakan transaksi. Transaksi
berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat rasa suka sama suka
yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi. Namun suka sama
suka itu merupakan perasaan yang berada pada bagian dalam diri manusia,
yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh karenanya diperlukan suatu
indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya perasaan dalam tentang suka
7Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.8T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
4
sama suka itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu
indikasi.9
Ibnu Rusyd dalam kitabnya menyatakan:
10ع ي بـ ال اظ ف ل ا ب ال ا ح ص ي ال د ق ع ال و
Artinya: dan akad tidak sah kecuali dengan lafadz jual dan beli.
Dari pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa ijab dan qabul
merupakan salah satu syarat sahnya jual beli. Namun, salah seorang ulama
Indonesia kelahiran Lhokseumawe, Aceh Utara 10 maret 190411 TM.Hasbi
ash Shiddieqy justru pendapatnya berbeda dengan pendapat di atas. TM.Hasbi
Ash Shiddieqy dalam bukunya: Al-Islam, mengemukakan sebagai berikut:
Jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belahpihak. Persetujuan dapat dilakukan dengan ucapan dan dapat puladengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjualmenyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembelimenyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual belisudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Buktipersetujuan tidak mesti diucapkan.12
Pendapatnya ia perkuat lagi dalam bukunya: Pengantar Hukum Islam,
antara lain dinyatakan:
Sebagian ahli fikih menolak segala rupa akad (perjanjian-perjanjian)yang tidak diikrarkan dengan lidah. Mereka yang mewajibkan ijab(kata penyerahan) dan qabul (kata penerimaan) dengan perkataan"ucapan lidah" tidak mensahkan suatu penjualan atau sesuatuperjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidakterjadi ijab dan qabul antara penjual dengan pembeli. Padahal jika
9Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 19510Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Juz 3, Beirut: Dar Al-Jiil,
1409 H/1989, hlm. 128.11TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,
1999, hlm. 24112TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001,
hlm. 193
5
dipikirkan benar-benar Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 1:13
فوا بالعقود نوا أو ين آم ا الذ )1: املائدة...(يا أيـهArtinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(QS.5: 1). 14
Nyatalah menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bahwa jual beli tanpa
lafadz ijab qabul adalah sah. Dari pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy
tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi latar belakang
pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sehingga berpendapat seperti di atas,
dan apa pula yang menjadi metode istinbath hukumnya. Menariknya
masalah ini adalah TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang secara sosiologis ia
lahir dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang demikian kuat dan
respeknya terhadap ulama salaf, tapi justru ia berseberangan dengan
jumhur ulama. Adapun pentingnya masalah ini diteliti adalah karena
kenyataan di masyarakat sering dijumpai dan dialami oleh setiap orang
yaitu transaksi jual beli tanpa lafadz ijab qabul, sedangkan harga
barangnya pun tidak kecil.
Karena itu diharapkan dari penulisan ini dapat memberikan jawaban
yang lebih mendekati kebenaran, yaitu apakah jual beli tanpa lafadz ijab qabul
itu sah.
Hal khusus melekat pada diri TM.Hasbi Ash Shiddieqy yang karena
dia patut diangkat menjadi objek kajian, adalah karena ia orang pertama yang
13TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2001, hlm. 471 – 475
14Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, op. cit., hlm. 156.
6
menganjurkan agar fiqh yang diterapkan di Indonesia adalah berkepribadian
Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara
tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.15
maka yang menjadi rumusan masalah penulisan ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak
diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli?
2. Bagaimana metode istinbath hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang
tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pendapat T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli.
2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis metode istinbath hukum
T.M.Hasbi Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul
dalam jual beli
15Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 112
7
D. Telaah Pustaka
Ada beberapa penelitian yang membahas persoalan jual beli, penelitian
yang dimaksud di antaranya sebagai berikut:
Skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas
Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493
KUH Perdata) yang disusun Sulistiyono. Menurut penyusun skripsi ini bahwa
asas kebebasan berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) jual
beli yang berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 1493 KUH Perdata: Kedua belah pihak diperbolehkan dengan
persetujuan-persetujuan istimewa memperluas atau mengurangi kewajiban
yang ditetapkan oleh undang-undang ini; bahkan mereka diperbolehkan
mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung
sesuatu apapun.
Dalam hukum Islam, para ulama menyatakan, jual beli dengan syarat
berakibat batalnya jual beli itu. Di antara fuqaha yang berpendapat demikian
ialah Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. Dengan demikian perjanjian jual beli
yang dibuat di luar ketentuan hukum Islam atau bertentangan dengan
ketentuan hukum Islam, maka jual belinya menjadi batal. Jadi bila misalnya
penjual meminta dikurangi kewajibannya seperti lepas tangan terhadap cacat
barang atau kerusakan barang maka perjanjian jual beli dengan syarat seperti
itu menjadi batal meskipun pembeli sepakat. Implikasinya maka bagi
8
produsen dan konsumen dapat menarik kembali perjanjian atau membatalkan
perjanjian jual beli, manakala menyimpang dari ketentuan hukum Islam,
apalagi jika hukum Islam melarangnya.16
Skripsi yang berjudul: Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang
Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli yang disusun
Khilmi Tamim. Menurut penyusun skripsi ini bahwa mengkomparasi pendapat
berbagai ulama dengan Sayyid Sabiq ternyata ada ulama yang berbeda
pendapatnya dengan Sayyid Sabiq, misalnya mazhab Hanafi dan Zahiri.
Menurut kedua mazhab ini bahwa jual beli barang yang mengandung unsur
najis boleh asalkan barang itu memiliki nilai manfaat bagi manusia.
Sedangkan dalam perspektif Sayyid Sabiq bahwa meskipun barang itu
mengandung manfaat namun jika najis maka barang itu tidak boleh dijual
belikan. Dalam perspektif Sayyid Sabiq barang yang bernajis mengandung
madarat yang lebih besar daripada manfaatnya.17
Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang
Jual Beli Jizaf'' yang dikaji oleh Tati Nurjanah, lebih memfokuskan pada
pendapat Sayyid Sabiq tentang jual beli jizaf yaitu jual beli yang serampangan,
tidak memakai timbangan atau ukuran (taksiran atau dikira-kira saja).18
Skripsi yang berjudul "Persepsi Ulama terhadap Jual Beli Kodok di
Purwodadi Kabupaten Grobogan" yang dikaji oleh Slamet Sholikhin, lebih
16 Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam JualBeli (Studi Analisis Terhadap Pasal 1493 KUH Perdata), (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAINWalisongo, 2004)
17 Khilmi Tamim, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagiBarang yang Dijadikan Obyek Jual Beli, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2005)
18Tati Nurjanah, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual Beli Jizaf, (Tidakdipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2006)
9
memfokuskan pada pendapat ulama terhadap jual beli kodok yaitu
menjualbelikan kodok hukumnya haram, karena memakannya haram, tapi ada
kalanya Islam membolehkan terhadap sesuatu yang diharamkan, karena
mengambil manfaatnya.19
Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang
Hukum Jual Beli Anjing dalam Kitab Al-Umm" yang dikaji oleh Fauzul Muna,
lebih memfokuskan pada pendapat Imam Syafi'i tentang hukum jual beli
anjing dan memelihara anjing adalah tidak boleh, namun Imam Syafi'i
mengecualikan pada orang yang menggunakan anjing itu untuk menjaga
ternak dan untuk berburu, dan apabila telah selesai kegunaan anjing itu untuk
menjaga dan berburu maka tidak diperbolehkan memelihara anjing.20
Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang
Syarat Manfaat Benda yang Diperjualbelikan" yang ditulis oleh Sawidi,
dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Imam Nawawi mengharuskan adanya
manfaat dalam benda yang diperjualbelikan, tetapi benda yang bermanfaat itu
juga harus suci, halal di makan, tidak menjijikkan, tidak sedikit jumlahnya dan
manfaatnya tidak di larang oleh syara.21
Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang membahas jual
beli tanpa lafadz ijab qabul perspektif T.M.Hasbi Ash Shiddieqy.
19Slamet Sholikhin, Persepsi Ulama Terhadap Jual Beli Kodok Di Purwodadi KabupatenGrobogan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)
20Fauzul Muna, Studi Analisis Pendapat Imam Syafi'i Tentang Hukum Jual Beli AnjingDalam Kitab Al-Umm, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)
21Sawidi, Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi Tentang Syarat Manfaat Benda YangDiperjualbelikan, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2003)
10
E. Metode Penelitian
Metode penelitian bermakna seperangkat pengetahuan tentang
langkah-langkah sistematis dan logis dalam mencari data yang berkenaan
dengan masalah tertentu untuk diolah, dianalisis, diambil kesimpulan dan
selanjutnya dicarikan cara pemecahannya. Metode penelitian dalam skripsi ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:22
Dalam usaha penulis memperoleh data yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan seputar permasalahan di atas, maka dalam penelitian
ini penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif artinya data-
data yang disajikan dalam bentuk kata, bukan dalam bentuk angka-angka.
2. Sumber Data
a. Data primer: karya-karya ilmiah TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam,
Pengantar Hukum Islam.
b. Data sekunder: sebagai rujukan dalam penelitian ini digunakan
beberapa kitab atau buku antara lain: Koleksi Hadits-Hadits Hukum;
Pokok Pokok Pegangan Imam Mazhab; Hukum-Hukum Fiqh Islam
Tinjauan Antar Madzhab; Falsafah Hukum Islam.Kitab al-Fiqh ‘ala
al-Mazahib al-Arba’ah, Al-Uum, al-Risalah, Sejarah Hukum dalam
Islam; Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab; Riwayat Sembilan Imam
Fiqih; Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki,
22Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada UniversityPress, 1991, hlm. 24.
11
Syafi’ii, Hanbali; Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab; Sejarah
dan Biografi Empat Imam Mazhab Hanafi-Maliki-Syafi’i-Hambali;
Ensiklopedi Hukum Islam, Asyhadul Madarik, Syarkh Irsyad al-Syalik
fi Fiqhi Imam al-Aimmah Malik, Aujazu al-Masalik Ila Mu’attai
Malik, Musnad Ahmad, Nail al–Autar, Syarkh al-Rizqany ‘Al-
Muwattha al-Imam Malik, Bidayat al-Mujtahid Wa Nihayat al-
Muqtasid, al-Muwatta’al-Muafaqat fi Ushulisy syari’ah, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Mabahis fi Ulum al-Qur’an,
Memasuki Dunia al-Qur’an, Ikhtisahar Musthalah al-Hadits, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, Ilmu Ushul al-Fiqh, Ushul Fiqh, Al-
Mudawwanah al-Kubra, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu
Ishaq al-Shatibi’s Life and Thought, serta kitab atau buku-buku lain
yang ada relevansinya langsung dengan judul tersebut. Dengan
demikian peneliti menggunakan teknik library research yaitu suatu
riset kepustakaan.23
3. Metode Pengumpulan Data
Menurut Sumadi Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas
alat pengambil data atau alat pengukurnya.24 Berpijak dari keterangan
tersebut, penelitian ini bersifat literer dengan menggunakan buku-buku
yang terkait dengan tema skripsi tersebut.
23Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid 1, Yogyakarta: Andi, 2001, hlm. 9.24Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998,
hlm.84.
12
4. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat
ditafsirkan.25 Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data kualitatif,
yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara
langsung (statistik).26 Sebagai pendekatannya, peneliti menggunakan
metode deskriptif analitis. Penelitian analitis normatif tertuju pada
pemecahan masalah yang dihubungkan dengan apa yang ada pada masa
sekarang kemudian di analisisnya.27
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab dan dalam satu
kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang meliputi: latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi landasan teori yang meliputi (pengertian jual beli,
landasan hukum jual beli, syarat dan rukun jual beli, macam-macam jual beli,
pendapat para ulama tentang ijab qabul dalam jual beli)
Bab ketiga berisi pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak
diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang meliputi: biografi dan
sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy (latar belakang dan karya-karya
25Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hlm.102.
26Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995, hlm. 134.
27Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Bandung:Tarsito 1989, hlm. 139.
13
TM.Hasbi ash Shiddieqy, sketsa pemikiran TM.Hasbi ash Shiddieqy).
Pendapat T.M.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab
qabul dalam jual beli. metode istinbat hukum TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang
tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli
Bab keempat merupakan analisis terhadap pendapat TM.Hasbi ash
Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli yang
meliputi: (analisis pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak
diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli, analisis metode istinbat
hukum TM. Hasbi ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul
dalam jual beli)
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan; saran-saran dan
Penutup.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM JUAL BELI MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jual Beli
Sebelum membahas lebih mendalam tentang jual beli, ada baiknya
diketahui terlebih dahulu pengertian jual beli. Secara etimologis: jual beli
berasal dari bahasa arab al-bai' yang makna dasarnya menjual, mengganti dan
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam prakteknya, bahasa ini
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni kata as-syira' (beli).
Maka, kata al-bai' berarti jual, tetapi sekaligus juga beli.1
Sedangkan secara therminologis, para ulama memberikan defenisi
yang berbeda. Di kalangan ulama Hanafi terdapat dua definisi; jual beli
adalah:
- Saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu
- Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui
cara tertentu yang bermanfaat.
Ulama Madzhab Maliki, Syafi'i dan Hanbali memberikan pengertian,
jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan
milik dan pemilikan. Definisi ini menekankan pada aspek milik pemilikan,
untuk membedakan dengan tukar menukar harta/barang yang tidak
mempunyai akibat milik kepemilikan, seperti sewa menyewa. Demikian juga,
1Yazid Afandi, Fiqh Muamalah dan Implementasinya dalam Lembaga KeuanganSyari’ah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2012, hlm. 53.
15
harta yang dimaksud adalah harta dalam pengertian luas, bisa barang dan bisa
uang.2
Menurut Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, jual beli adalah
3وشرعا مقابلة مال مبال على وجه خمصوص
Artinya: menurut syara jual beli ialah menukarkan harta dengan hartadengan cara tertentu
Menurut Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, 4
واما شرعا فأحسن ما قيل ىف تعريفة انه متليك مالية مبعاوضة باذنة مباحة على التأبيد بثمن مايلشرعي أومتليك منفع
Artinya: menurut syara, pengertian jual beli yang paling tepat ialahmemiliki sesuatu harta (uang) dengan mengganti sesuatuatas dasar izin syara, sekedar memiliki manfaatnya saja yangdiperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian ituharus dengan melalui pembayaran yang berupa uang.
Menurut Sayyid Sabiq
البيع معناه لغة مطلق املبادلة ولفظ البيع والشرأ يطلق كل منهما على مايطلق عليه االخر فهما من االلفاظ املشرتكة بني املعاين
5املضادة
Artinya:Jual beli menurut pengertian lughawinya adalah salingmenukar (pertukaran), dan kata al-ba’i (jual) dan asy Syiraa(beli) dipergunakan biasanya dalam pengertian yang sama.
2Ibid., hlm. 533Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, Fath al-Mu’în, Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiah, tth, hlm. 664Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, Fath al-Qarîb al-Mujîb, Dâr al-Ihya al-Kitab,
al-Arabiah, Indonesia, tth, hlm. 305Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, Juz III, hlm. 147.
16
Dua kata ini masing-masing mempunyai makna dua yang satusama lain bertolak belakang.
Menurut pengertian syara, Sayyid Sabiq merumuskan yaitu pertukaran
harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan.6 Sementara menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, jual beli ialah
tukar menukar harta secara suka sama suka atau memindahkan milik dengan
mendapat pertukaran menurut cara yang diizinkan agama.7 Sedangkan Imam
Taqi al-Din mendefinisikan jual beli adalah saling tukar harta, saling
menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan kabul, dengan cara yang
sesuai dengan syara.8
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa pengertian jual
beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai
nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-
benda dan pihak lain sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah
dibenarkan syara' dan disepakati.
Jual beli dalam perspektif hukum Islam harus sesuai dengan ketetapan
hukum ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dan hal-hal
lainnya yang ada kaitannya dengan jual beli, maka bila syarat-syarat dan
rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara'. Yang
dimaksud dengan benda dapat mencakup pada pengertian barang dan uang,
sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang
6Ibid7Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj. Anshori Umar
Sitanggal, “Fiqih Wanita”, Semarang: CV Asy-Syifa, 1986, hlm. 490.8Imam Taqi al-Din Abu Bakr ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifâyah Al Akhyâr, Beirut:
Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, Juz, I, hlm. 239.
17
berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara', benda itu
adakalanya bergerak (bisa dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak dapat
dipindahkan), ada benda yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat
dibagi-bagi, harta yang ada perumpamaannya (mitsli) dan tak ada yang
menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya, penggunaan harta tersebut
dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara'.9
B. Landasan Hukum Jual Beli
Apabila mencermati landasan hukum jual beli, maka jual beli
disyariatkan berdasarkan Al-Qur'an, sunnah, dan ijma', yakni:
1. Al-Qur'an
a. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 275
رم الربا ح يع و ل الله البـ أح )275: البقرة(و
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli danmengharamkan riba (QS. Al-Baqarah : 275).10
b. Al-Qur'an, surat Al-Baqarah ayat 282
تم وا إذا تـبايـع د ه أش )282: البقرة(وArtinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli. (QS. Al-
Baqarah: 282).11
c. Al-Qur'an, surat An-Nisa'ayat 29
م اض منك ة عن تـر ون جتار )29: النساء(إال أن تكArtinya: Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama
suka. (QS. An-Nisa': 29).12
9Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 69.10Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
DEPAG RI, 1978, hlm. 69.11Ibid., hlm. 70.
18
2.Al-Sunnah, di antaranya:
a. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Bajjar
ئل أى الكسب لم س س صلى الله عليه و عن رفاعة بن رافع أن النىبور أط ر بـ ل بـيع م ه وك ل بيد ل الرج ؟ قال عم 13) رواه البزار (يب
Artinya: Rifa'ah bin Rafi', sesungguhnya Nabi SAW. ditanya tentangmata pencaharian yang paling baik. Nabi SAW menjawab:seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beliyang mabrur. (HR. Bajjar).
Maksud mabrur dalam hadiş di atas adalah jual-beli yang terhindar
dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain,
b. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah
ه عنه اج ابن م بان و رج ابن ح أخ ا البـيع عن و لم إمن س صلى الله عليه واض 14) رواه البيهقى وابن ماجه(تـر
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Hibban dan Ibnu Majah bahwa NabiSAW, sesungguhnya jual-beli harus dipastikan harus salingmeridai." (HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah).
3. Ijma'
Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.15
12Ibid., hlm. 122.13Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Kairo: Syirkah Maktabah
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 4.14Ibid.,15Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 147.
19
C. Syarat dan Rukun Jual Beli
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang
harus dipenuhi. Untuk memperjelas syarat dan rukun jual beli maka lebih
dahulu dikemukakan pengertian syarat dan rukun baik dari segi etimologi
maupun terminologi. Secara etimologi, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, rukun adalah "yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu
pekerjaan,"16 sedangkan syarat adalah "ketentuan (peraturan, petunjuk) yang
harus diindahkan dan dilakukan."17 Menurut Satria Effendi M. Zein, bahwa
menurut bahasa, syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang
lain atau sebagai tanda,18 melazimkan sesuatu.19
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala
sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan
tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan
adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum.20 Hal ini sebagaimana
dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, syarat adalah sesuatu yang keberadaan
suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaan
sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan
adalah keberadaan secara syara’, yang menimbulkan efeknya.21 Hal senada
dikemukakan Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu
16Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, 2004, hlm. 966.
17Ibid., hlm. 1114.18Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005, hlm. 6419Kamal Muchtar, Ushul Fiqh, Jilid 1, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 3420Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004,
hlm. 5021Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh, Kuwait: Dâr al-Qalam, 1978, hlm. 118.
20
yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum. Tidak adanya syarat
berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarath tidak pasti
wujudnya hukum.22 Sedangkan rukun, dalam terminologi fikih, adalah suatu
unsur yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu perbuatan atau
lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut, dan ada atau
tidak adanya sesuatu itu.23
Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun shalat. la merupakan
bagian dari shalat itu sendiri. Jika tidak ada rukuk dan sujud dalam shalat,
maka shalat itu batal, tidak sah. Salah satu syarat shalat adalah wudhu. Wudhu
merupakan bagian di luar shalat, tetapi dengan tidak adanya wudhu, shalat
menjadi tidak sah. Rukun jual beli ada tiga, yaitu aqid (penjual dan pembeli),
ma'qud alaih (obyek akad), shigat (lafaz ijab kabul).
1. aqid (penjual dan pembeli) yang dalam hal ini dua atau beberapa orang
melakukan akad, adapun syarat-syarat bagi orang yang melakukan akad
ialah:
a. Baligh berakal agar tidak mudah ditipu orang maka batal akad anak
kecil, orang gila dan orang bodoh, sebab mereka tidak pandai
mengendalikan harta, oleh karena itu anak kecil, orang gila, dan orang
bodoh tidak boleh menjual harta sekalipun miliknya, Allah berfirman:
ال تـؤتوا م و الك و اء أم ه )5: النساء...( السف
22Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958, hlm. 59.23Abdul Aziz Dahlan, et. al, (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 1510.
21
Artinya: Dan janganlah kamu berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh (al-Nisa: 5).
Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa harta tidak boleh
diserahkan kepada orang bodoh, 'illat larangan tersebut ialah karena
orang bodoh tidak cakap dalam mengendalikan harta, orang gila dan
anak kecil juga tidak cakap dalam mengelola harta, maka orang gila
dan anak kecil juga tidak sah melakukan ijab dan kabul.24
b. Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-
benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang
orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk
merendahkan mukmin,25 firman-Nya;
بيال ... نني س م ؤ افرين على الم لن جيعل الله للك )141: النساء...( وArtinya: Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir
untuk menghina orang mukmin" (al-Nisa: 141).
2. Ma'qud alaih (obyek akad). Syarat-syarat benda yang menjadi obyek akad
ialah:
a. Suci atau mungkin untuk disucikan, maka tidak sah penjualan
benda-benda najis seperti anjing, babi dan yang lainnya, Rasulullah
SAW. bersabda:
24Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 7525Ibid, hlm. 76.
22
مسع انه: عن يزيد بن اىب حبيب هن عطاء بن اىب رباح عن جابرم يقول ان اهللا حرم بيع اخلمروامليتة واخلنزيرواالصنام .رسول اهللا ص
فقيل يارسول اهللا ارايت شحوم امليتة فانه يطلى به السقن ويدهب م .
26عند ذلك قاتل اهللا اليهود ان اهللا ملا حرم سحومهامجلوه مث باعوا
Artinya: Dari Yaziz bin Abi Habib dari Ata bin Abi Rubah dariJabir bin Abdillah ra, sesungguhnya dia pernah mendengarNabi SAW bersabda: sesungguhnya Allah mengharamkanmenjual khamr, bangkai, babi dan patung berhala.Ditanyakan: ya Rasulullah, bagaimana pendapat andatentang lemak bangkai karena ia dipergunakan untukmengecat perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikanpenerangan oleh manusia? Beliau menjawab: ia adalahharam. Kemudian Rasulullah SAW bersabda saat itu:mudah-mudahan Allah memusuhi orang-orang Yahudi.Sesungguhnya ketika Allah mengharamkan lemakbangkai, mereka malahan mencairkannya lalu mereka jualkemudian mereka makan harganya (HR.Bukhari)
Menurut riwayat lain dari Nabi dinyatakan "kecuali anjing
untuk berburu" boleh diperjualbelikan. Menurut Syafi'iyah bahwa
sebab keharaman arak, bangkai, anjing, dan babi karena najis,
berhala bukan karena najis tapi karena tidak ada manfaatnya,
menurut Syara', batu berhala bila dipecah-pecah menjadi batu biasa
boleh dijual, sebab dapat digunakan untuk membangun gedung atau
yang lainnya. Abu Hurairah, Thawus dan Mujahid berpendapat
bahwa kucing haram diperdagangkan alasannya Hadits shahih yang
melarangnya, jumhur ulama membolehkannya selama kucing
26Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz 2, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 29.
23
tersebut bermanfaat, larangan dalam Hadits shahih dianggap sebagai
tanzih (makruh tanzih).27
b. Memberi manfaat menurut Syara', maka dilarang jual beli benda-
benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut Syara', seperti
menjual babi, cecak dan yang lainnya.
c. Jangan dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti; jika
ayahku pergi kujual motor ini kepadamu.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya jual motor ini
kepada Tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah,
sebab jual beli adalah salah satu sebab pemilikan secara penuh yang
tidak dibatasi apa pun kecuali ketentuan syara'.
e. Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat, tidak sah menjual
binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, barang-
barang yang sudah hilang atau barang yang sulit diperoleh kembali
karena samar, seperti seekor ikan jatuh ke kolam, maka tidak
diketahui dengan pasti sebab dalam kolam tersebut terdapat ikan-
ikan yang sama.
f. Milik sendiri, tidaklah sah menjual barang orang lain dengan tidak
seizin pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.28
g. Diketahui (dilihat), barang yang diperjualbelikan harus dapat
diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran
27Hendi Suhendi, op. cit, 72.28Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 72-73
24
yang lainnya, maka tidaklah sah jual beli yang menimbulkan
keraguan salah satu pihak.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi
menjadi tiga bentuk: ketiga bentuk jual beli sebagai berikut: 1) jual beli
benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam
janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.29
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan
akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan
penjual dan pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak,
seperti membeli beras di pasar dan boleh dilakukan.
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah
jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam
adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya
berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga
tertentu, maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-
barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga
yang telah ditetapkan ketika akad.
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah
jual beli yang dilarang oleh agama Islam, karena barangnya tidak tentu
atau masih gelap, sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh
29Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii HalliGhayatil Ikhtishar, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.
25
dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan
kerugian salah satu pihak.
3. Shigat (lafaz ijab kabul)
Ijab dan kabul terdiri dari qaulun (perkataan) dan fi'lun
(perbuatan). Qaulun dapat dilakukan dengan lafal sharih (kata-kata yang
jelas) dan lafal kinayah (kata kiasan/sindiran).
Lafal sharih ialah sighat jual beli yang tidak mengandung makna
selain dari jual beli. Misalnya: بعتك ھذه السلعة بكذا (saya menjual
kepadamu ini barang dengan harga sekian), dan kemudian dijawab
استریتھا منك بكذا (saya membelinya dari kamu dengan harga sekian).30
Lafal kinayah ialah lafal yang di samping menunjukkan makna
jual beli juga dapat menunjukkan kepada arti selain jual beli. Misalnya
perkataan si penjual اعطیتك ھذا الثوب بذالك الثوب (saya memberi kamu
baju ini dengan baju itu) atau تلك الدبة بتلكاعطیتك (saya memberi
kamu binatang itu dengan itu). Lafal (اعطیتك) tersebut dapat
mengandung makna "jual beli" dan makna "pinjam meminjam." Apabila
lafal tersebut dimaksudkan jual beli, niat tersebut sah. Apabila lafal
kinayah tersebut disertai penyebutan harga, maka lafal kinayah tersebut
menjadi lafal sharih. Misalnya:
وھبتك ھذه الدار بمائة دینار (saya beri kamu rumah ini dengan uang
30Abd al-Rahman al-Jaziri, op. cit, hlm. 325
26
pengganti seratus dinar). Lafal الھبھ di atas apabila tidak disertai
penyebutan harga, maka menunjukkan makna hibah, tetapi jika disertai
penyebutan harga seperti di atas maka menunjukkan makna jual beli.
Demikian juga setiap lafal yang mempunyai makna tamlik apabila disertai
penyebutan harga, maka lafal tersebut menjafi lafal yang sharih.31
Adapun shighat berupa fi'lun (perbuatan) adalah berwujud serah
terima yaitu menerima dan menyerahkan dengan tanpa disertai sesuatu
perkataan pun. Misalnya: seseorang membeli sesuatu barang yang
harganya sudah dia ketahui, kemudian ia (pembeli) menerimanya dari
penjual dan dia (pembeli) menyerahkan harganya kepada penjual, maka
dia (pembeli) sudah dinyatakan memiliki barang tersebut karena dia
(pembeli) telah menerimanya. Sama juga barang itu sedikit (barang kecil)
seperti roti, telur dan yang sejenis menurut adat dibelinya dengan sendiri-
sendiri, maupun berupa barang yang banyak (besar) seperti baju yang
berharga.32
Shighat berupa fi'lun (perbuatan) merupakan cara lain untuk
membentuk 'akad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual
menyerahkan barang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan
saling menyerahkan harga dan barang atau disebut juga mu'athah.
Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat; tanpa
31Ibid, hlm. 32632Ibid, hlm. 319
27
kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan
uang seharga karcis sesuai dengan jarak yang ditempuh.
Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah. Selanjutnya,
dalam dunia modern sekarang ini, 'akad jual beli dapat terjadi secara
otomatis dengan menggunakan mesin. Dengan memasukkan uang ke
mesin, maka akan keluar barang sesuai dengan jumlah uang yang
dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang dengan menggunakan
credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin
otomatis, dan sebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara
mu'athah ini, untuk menumbuhkan akad maka jangan sampai terjadi
pengecohan atau penipuan.
Segala sesuatu harus diketahui secara jelas; atau transparan. Suatu
'akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam 'akad
jual beli, misalnya, 'akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik si
penjual. Sedangkan 'akad dalam pegadaian dan kafalah (pertanggungan)
dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar.33
Rukun yang pokok dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah
ijab-kabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan
penerimaan di pihak lain. Adanya ijab-kabul dalam transaksi ini
merupakan indikasi adanya saling ridha dari pihak-pihak yang
mengadakan transaksi.
33Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm. 65.
28
Transaksi berlangsung secara hukum bila padanya telah terdapat
saling ridha yang menjadi kriteria utama dan sahnya suatu transaksi.
Namun suka saling ridha itu merupakan perasaan yang berada pada bagian
dalam dari manusia, yang tidak mungkin diketahui orang lain. Oleh
karenanya diperlukan suatu indikasi yang jelas yang menunjukkan adanya
perasaan dalam tentang saling ridha itu. Para ulama terdahulu menetapkan
ijab-kabul itu sebagai suatu indikasi.34
اليفرتقن اثنان اال عن : عن ايب هريرة رضي اهللا عنه عن النيب صلعم قال35تراض
Artinya: “Dari Abi Hurairah ra. dari Nabi SAW. bersabda: janganlahdua orang yang jual beli berpisah, sebelum saling meridhai"(Riwayat Abu Daud danTirmidzi).
Ijab-kabul adalah salah satu bentuk indikasi yang meyakinkan tentang
adanya rasa suka sama suka. Bila pada waktu ini dapat menemukan cara lain
yang dapat ditempatkan sebagai indikasi seperti saling mengangguk atau
saling menanda tangani suatu dokumen, maka yang demikian telah memenuhi
unsur suatu transaksi. Umpamanya transaksi jual-beli di supermarket, pembeli
telah menyerahkan uang dan penjual melalui petugasnya di counter telah
memberikan slip tanda terima, sahlah jual-beli itu.36
Dalam literatur fiqih muamalah terdapat pengertian ijab dan kabul
dengan berbagai rumusan yang bervariasi namun intinya sama. Misalnya
dalam buku fiqih muamalah susunan Hendi Suhendi dijelaskan bahwa ijab
34Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 19535Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud,
Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 324.36Ibid
29
adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad
sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan kabul
ialah perkataan yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah
adanya ijab.37 Menurut madzhab Hanafi, ijab ialah sesuatu yang keluar
pertama kali dari salah satu dari dua orang yang mengadakan akad. Baik dari
si penjual, seperti ucapan: “saya menjual kepadamu barang ini” maupun dari
si pembeli, seperti ucapan: “saya membeli barang ini dengan harga seribu”,
kemudian si penjual menjawab: “barang itu aku jual kepadamu”. Sedangkan
“kaul” ialah sesuatu yang keluar kedua (sesudah ijab).38
Dalam buku Etika Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam,
terdapat penjelasan, dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan
oleh penjual, sedangkan kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari
pembeli.39 Rachmat Syafe’i dengan mengutip ulama Hanafiyah dalam redaksi
yang berbeda dengan di atas mengatakan: ijab adalah penetapan perbuatan
tertentu yang menunjukkan keridaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik
yang menyerahkan maupun yang menerima, sedangkan kabul adalah orang
yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridaan atas ucapan orang pertama.40
Dari rumusan-rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ijab adalah
suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan
37Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 47.38Abd al-Rahman al-Jaziri,, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 1970, hlm. 320.39Muhammad Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam,
Yogyakarta: BPFE, 2004, hlm. 155.40Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm. 45.
30
atau tidak melakukan sesuatu. Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari
pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama.
Dalam hubungannya dengan ijab kabul, bahwa syarat-syarat sah ijab
kabul ialah:
1. Jangan ada yang memisahkan, janganlah pembeli diam saja setelah penjual
menyatakan ijab dan sebaliknya.
2. Jangan diselangi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
3. Beragama Islam,
Syarat beragama Islam khusus untuk pembeli saja dalam benda-
benda tertentu, seperti seseorang dilarang menjual hambanya yang
beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar
kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama
Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan
kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
Menurut fuqaha Hanafiyah terdapat empat macam syarat yang harus
terpenuhi dalam jual beli: (1) syarat in'akad; (2) syarat shihhah; (3) syarat
nafadz, dan (4) syarat luzum. Perincian masing-masing sebagaimana
disampaikan berikut:
Syarat in'akad terdiri dari:
1. Yang berkenaan dengan 'aqid: harus cakap bertindak hukum.
2. Yang berkenaan dengan akadnya sendiri: (a) adanya persesuaian antara
ijab dan kabul, (b) berlangsung dalam majlis akad.
31
3. Yang berkenaan dengan obyek jual-beli: (a) barangnya ada, (b) berupa
mal mutaqawwim, (c) milik sendiri, dan (d) dapat diserah-terimakan
ketika akad.
Sedangkan syarat shihhah, yaitu syarat shihhah yang bersifat umum
adalah: bahwasanya jual beli tersebut tidak mengandung salah satu dari enam
unsur yang merusaknya, yakni: jihalah (ketidakjelasan), ikrah (paksaan),
tauqit (pembatasan waktu), gharar (tipu-daya), dharar (aniaya) dan
persyaratan yang merugikan pihak lain. Adapun syarat shihhah yang bersifat
khusus adalah: (a) penyerahan dalam hal jual-beli benda bergerak, (b)
kejelasan mengenai harga pokok dalam hal al-ba'i' al-murabahah (c)
terpenuhi sejumlah kriteria tertentu dalam hal bai'ul-salam (d) tidak
mengandung unsur riba dalam jual beli harta ribawi.
Adapun syarat Nafadz, yaitu ada dua: (a) adanya unsur milkiyah atau
wilayah, (b) Bendanya yang diperjualkan tidak mengandung hak orang lain.
Sedangkan syarat Luzum yakni tidak adanya hak khiyar yang memberikan
pilihan kepada masing-masing pihak antara membatalkan atau meneruskan
jual beli.41
Fuqaha Malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli: berkaitan
dengan 'aqid, berkaitan dengan sighat dan syarat yang berkaitan dengan obyek
jual beli. Syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) mumayyiz, (b) cakap hukum,
(c) berakal sehat, (d) pemilik barang.
41Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Juz, IV, Beirut: Dar al-Fkr, 1989,hlm. 149
32
Syarat yang berkaitan dengan shigat: (a) dilaksanakan dalam satu
majlis, (b) antara ijab dan kabul tidak terputus. Syarat yang berkaitan dengan
obyeknya: (a) tidak dilarang oleh syara', (b) suci, (c) bermanfaat, (d) diketahui
oleh 'aqid, (e) dapat diserahterimakan.42
Menurut mazhab Syafi'iyah, syarat yang berkaitan dengan 'aqid: (a) al-
rusyd, yakni baligh, berakal dan cakap hukum, (b) tidak dipaksa, (c) Islam,
dalam hal jual beli Mushaf dan kitab Hadis, (d) tidak kafir harbi dalam hal jual
beli peralatan perang. Fuqaha Syafi'iyah merumuskan dua kelompok
persyaratan: yang berkaitan dengan ijab-kabul dan yang berkaitan dengan
obyek jual beli.
Syarat yang berkaitan dengan ijab-kabul atau shigat akad:
1. Berupa percakapan dua pihak (khithobah)
2. Pihak pertama menyatakan barang dan harganya
3. Kabul dinyatakan oleh pihak kedua (mukhathab)
4. Antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain;
5. Kalimat kabul tidak berubah dengan kabul yang baru
6. Terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul
7. Shighat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain
8. Tidak dibatasi dalam periode waktu tertentu
Syarat yang berkaitan dengan obyek jual-beli:
1. Harus suci
2. Dapat diserah-terimakan
42Ibid., hlm. 387 – 388.
33
3. Dapat dimanfaatkan secara syara'
4. Hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya
5. Berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.43
Fuqaha Hambali merumuskan dua kategori persyaratan: yang
berkaitan dengan 'aqid (para pihak) dan yang berkaitan dengan shighat, dan
yang berkaitan dengan obyek jual-beli. Syarat yang berkaitan dengan para
pihak:
1. Al-Rusyd (baligh dan berakal sehat) kecuali dalam jual-beli barang-barang
yang ringan
2. Ada kerelaan
Syarat yang berkaitan dengan shighat
1. Berlangsung dalam satu majlis
2. Antara ijab dan kabul tidak terputus
3. Akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu
Syarat yang berkaitan dengan obyek
1. Berupa mal (harta)
2. Harta tersebut milik para pihak
3. Dapat diserahterimakan
4. Dinyatakan secara jelas oleh para pihak
5. Harga dinyatakan secara jelas
6. Tidak ada halangan syara.44
43Ibid., hlm. 389 – 393.44Ibid., hlm. 393 – 397.
34
Seluruh fuqaha sepakat bahwasanya jual beli bangkai, khamer dan
babi adalah batal atau tidak sah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Sabda
Rasullullah SAW.
ر بيب عن عطاء بن أيب ح ثـنا الليث عن يزيد بن أيب د يبة ح ثـنا قـتـ د باح حلم س سول الله صلى الله عليه و ع ر ي الله عنه أنه مس ض الله ر ابر بن عبد عن جنزير اخل يتة و الم ر و رم بـيع اخلم وله ح س ر تح إن الله و ة عام الف ك و مب ه يـقول و
ن ص األ ا السفن و ى ا يطل ه ـن فإ يتة م ال وم شح ت أرأي الله ول ا رس ي يل فق امام ر و ح ال ال ه ا الناس فـق بح ص ت يس ود و اجلل ا هن د ي 45)رواه البخاري(و
Artinya; Telah mengabarkan kepada kami dari Qutaibah dari al-Laitsdari Yazid bin Abi Habib dari 'Atha' bin Abi Rabah dariJabir bin 'Abdullah ra telah mendengar Rasulullah Saw.Bersabda: tahun pembukaan di Makkah: sesungguhnyaAllah mengharamkan jual-beli khamer (minuman keras),bangkai, babi dan berhala" Kemudian seseorang bertanya:"Bagaimana tentang lemak bangkai, karena banyak yangmenggunakannya sebagai pelapis perahu dan, meminyakikulit dan untuk bahan bakar lampu?" Rasulullah SAW.menjawab: "Tidak boleh, semua itu adalah haram". (H.R. al-Bukhari)
Mengenai benda-benda najis selain yang dinyatakan di dalam hadis di
atas fuqaha berselisih pandangan. Menurut Mazhab Hanafiyah dan
Dhahiriyah, benda najis yang bermanfaat selain yang dinyatakan dalam hadis
di atas, boleh diperjualbelikan sepanjang tidak untuk dimakan sah
diperjualbelikan, seperti kotoran ternak. Kaidah umum yang populer dalam
mazhab ini adalah:
ان كل مافية منفعة حتل شرعا فإن بيعه جيوز
45Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz 3, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, hlm. 35.
35
46
Artinya: Segala sesuatu yang mengandung manfaat yang dihalalkanoleh syara' boleh dijual-belikan.
Dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, mazhab Hanafi
menegaskan:
االنتفاع به ىف غري األكل كما جيوز بيع الدهن املتنجس و : قالوا–احلنفية
العني وإمنا الذي مينعونه بيع امليتة وجلدها قبل الدبغ وبيع اخلنزير وبيع اخلمر47
Artinya: Mereka berkata: Boleh menjualbelikan minyak yang terkenanajis dan memanfaatkannya selain untuk makan.Sebagaimana boleh memperjualbelikan kotoran yangtercampur dengan debu dan memanfaatkannya dan kotoranbinatang atau pupuk meskipun dia najis barangnya.Bahwasanya yang mereka larang adalah memperjual belikanbangkai, kulit bangkai sebelum disamak, babi dan arak.
D. Macam-Macam Jual Beli
1. Jual Beli Benda yang Kelihatan
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum
dan batal menurut hukum; dari segi obyek jual beli; dan dari segi pelaku
jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan obyek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin48 bahwa jual beli dibagi menjadi
tiga bentuk: 1) jual beli benda yang kelihatan 2) jual beli yang disebutkan
sifat-sifatnya dalam janji dan 3) jual beli benda yang tidak ada.
46Muhammad bin Ismail al-Kahlani as-San'ani, Subul as-Salam, Jilid III, Cairo: SyirkahMaktabah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1950, hlm. 17
47Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr,1972, hlm. 137.
48 Imam Taqiyuddin Abubakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayat Al Akhyar Fii HalliGhayatil Ikhtishar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 329.
36
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad
jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan
pembeli, hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak, seperti membeli
beras di pasar dan boleh dilakukan.
Jual beli itu dihalalkan, dibenarkan agama, asal memenuhi syarat-
syarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma
(ulama’ Mujtahidin) tak ada khilaf padanya. Memang dengan tegas-tegas
al-Qur’an menerangkan bahwa menjual itu halal; sedang riba
diharamkan.49 Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang
harus dipenuhi, di antaranya menyangkut barang yang dijadikan objek jual
beli yaitu barang yang diakadkan harus ada di tangan si penjual, artinya
barang itu ada di tempat, diketahui dan dapat dilihat pembeli pada waktu
akad itu terjadi. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Sabiq:
ااملعقود عليه فيشرتط فيه ستة شروط اإلنتفاع به ) 2(طهارة العني ) 1: (وامكون ) 6(العلم به ) 5(القدرة على تسليمة ) 4(له ملكيه العاقد) 3(
50املبيع مقبوضا
Artinya: Adapun tentang syarat barang yang diakadkan ada enamyaitu (1) bersihnya barang. (2) dapat dimanfaatkan. (3)milik orang yang melakukan akad. (4) mampumenyerahkannya. (5) mengetahui. (6) barang yangdiakadkan ada di tangan.
2. Jual Beli yang Disebutkan Sifat-Sifatnya dalam Janji
49T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab,Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
50Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 150
37
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual
beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah
untuk jual beli yang tidak tunai (kontan), salam pada awalnya berarti
meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu,
maksudnya ialah perjanjian sesuatu yang penyerahan barang-barangnya
ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah
ditetapkan ketika akad.
Dasar hukum jual beli salam dapat dilihat dalam hadis sebagai
berikut:
ــيح عــن جن يان عــن ابــن أيب ــف ثـنا س ــد يلــي ح ــد النـف ثـنا عبــد اللــه بــن حمم ــد حــن ا ــال ع ه نـ الم ــن أيب ــري ع ث ــن ك ــد اللــه ب ضــي اهللا عنــه قــال عب ــن عبــاس ر ب
يــل ك ــلف يف ــيئ فـليس ش ــلف يف ــن أس ــلم م س ــه و ــلى اللــه علي ــول اللــه ص س رلوم ع ل م لوم إىل أج ع زن م و لوم و ع )رواه ابن ماجة(م
51
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Muhammadal-Nufaily dari Sufyan dari Ibnu Abi Najih dari Abdullah bin Kasirdari Abi al-Minhal dari Ibnu Abbas ra. Telah berkata RasulullahSaw: jika kamu melakukan jual beli salam, maka lakukanlahdalam ukuran tertentu, timbangan tertentu, dan waktu tertentu.(HR Ibn Majah).
Dalam salam berlaku semua syarat jual beli dan syarat-syarat
tambahannya ialah:
51Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, hadis No. 2065dalam CD program Mausu'ah Hadis al-Syarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic SoftwareCompany)
38
1. Ketika melakukan akad salam disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin
dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar,
ditimbang maupun diukur.
2. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi
dan memperendah harga barang itu, umpamanya benda tersebut
berupa kapas, sebutkanlah jenis kapas saclarides nomor satu, nomor
dua dan seterusnya, kalau kain, maka sebutkanlah jenis kainnya, pada
intinya sebutkanlah semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang
yang ahli di bidang ini, yang menyangkut kualitas barang tersebut.
3. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa
didapatkan di pasar.
4. Harga hendaknya dipegang di tempat akad berlangsung.52
3. Jual Beli Benda yang Tidak ada
Menurut Abu Bakr al-Jazairi, seorang muslim tidak boleh menjual
sesuatu yang tidak ada padanya atau sesuatu yang belum dimilikinya,
karena hal tersebut menyakiti pembeli yang tidak mendapatkan barang
yang dimilikinya.53
Dalam kaitan ini Ibnu Rusyd menjelaskan, barang-barang yang
diperjual belikan itu ada dua macam: pertama, barang yang benar-benar
ada dan dapat dilihat, ini tidak ada perbedaan pendapat. Kedua, barang
yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat
akad itu terjadi, maka untuk hal ini terjadi perbedaan pendapat di antara
52Hendi Suhendi, op.cit., hlm. 76.53Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim: Kitab Aqa'id wa Adab wa Ahlaq wa
Ibadah wa Mua'amalah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004, hlm. 297.
39
para ulama. Menurut Imam Malik dibolehkan jual beli barang yang tidak
hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di tempat akad itu
terjadi, demikian pula pendapat Abu Hanifah. Namun demikian dalam
pandangan Malik bahwa barang itu harus disebutkan sifatnya, sedangkan
dalam pandangan Abu Hanifah tidak menyebutkan sifatnya pun boleh.54
Pandangan kedua ulama tersebut (Imam Malik dan Abu Hanifah)
berbeda dengan pandangan Imam al-Syafi'i yang tidak membolehkan jual
beli barang yang tidak hadir (gaib) atau tidak dapat dilihat dan tidak ada di
tempat akad itu terjadi.
Menurut Sayyid Sabiq, boleh menjualbelikan barang yang pada
waktu dilakukannya akad tidak ada di tempat, dengan syarat kriteria
barang tersebut terperinci dengan jelas. Jika ternyata sesuai dengan
informasi, jual beli menjadi sah, dan jika ternyata berbeda, pihak yang
tidak menyaksikan (salah satu pihak yang melakukan akad) boleh
memilih: menerima atau tidak. Tak ada bedanya dalam hal ini, baik
pembeli maupun penjual.55
E. Pendapat Para Ulama tentang Ijab Qabul dalam Jual Beli
Pendapat para ulama tentang jual beli tanpa lafaz ijab yang dalam hal
ini terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan ini jika dikelompokkan maka ada
tiga pendapat. Pertama, pendapat ulama Syafi'iyah, kedua, pendapat Imam
Nawawi, dan ketiga, pendapat para ulama kontemporer.
54Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,1409 H/1989, hlm. 116 – 117.
55Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 155.
40
Di zaman modern perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan,
tetapi dilakukan dengan shigat bentuk af'al (perbuatan) seperti sikap
mengambil barang dan membayar uang dari pembeli, serta menerima uang
dan menyerahkan barang oleh penjual, tanpa ucapan apa pun. Misalnya, jual
beli yang berlangsung di pasar swalayan. Dalam fiqh Islam, jual beli seperti
ini disebut dengan bai' al-mu'athah.
Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini (bai' al-
mu'athah) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Jumhur ulama
berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal itu sudah
merupakan kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri; karena hal itu telah
menunjukkan unsur ridla dari kedua belah pihak. Menurut mereka, di antara
unsur terpenting dalam transaksi jual beli adalah suka sama suka (al-tara'dhi),
sesuai dengan kandungan surat an-Nisa', 4: 29. Sikap mengambil barang dan
membayar harga barang oleh pembeli, menurut mereka, telah menunjukkan
ijab dan qabul dan telah mengandung unsur kerelaan.
Dalam masalah ijab qabul, ulama Syafi'iyah berpendapat, bahwa
transaksi jual beli harus dilakukan dengan ucapan yang jelas atau sindiran,
melalui kalimat ijab dan qabul. Oleh sebab itu, menurut mereka, jual beli
seperti kasus di atas (bai al-mu'athah) hukumnya tidak sah, baik jual beli itu
dalam partai besar maupun dalam partai kecil.56 Alasan mereka adalah unsur
utama jual beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Unsur kerelaan, menurut
mereka, adalah masalah yang amat tersembunyi di dalam hati, karenanya perlu
56Nasroen Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, hlm. 117
41
diungkapkan dengan kata-kata ijab dan qabul; apalagi persengketaan dalam
jual beli boleh terjadi dan berlanjut ke pengadilan.
Sebagian ulama Syafi'iyah yang muncul belakangan seperti Imam an-
Nawawi, seorang fakih dan muhadis mazhab Syafi'i, dan al-Baghawi, seorang
mufasir mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa jual beli al-mu'athah adalah sah,
apabila hal itu sudah merupakan kebiasaan suatu masyarakat di daerah
tertentu.57 Akan tetapi, sebagian ulama Syafi'iyah lainnya, membedakan antara
jual beli dalam jumlah besar dengan jual beli dalam jumlah kecil. Menurut
mereka, apabila yang dijual-belikan itu dalam jumlah besar, maka jual beli al-
mu'athah tidak sah, tetapi apabila jual beli itu dalam jumlah kecil, maka jual
beli al-mu'athah hukumnya sah.58
57Ibid58Ibid, hlm. 117
42
BAB III
PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK
DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
A. Biografi dan Sketsa Pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy
Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam skripsi ini
terkadang hanya disebut Hasbi termasuk untuk sebutan karya-karyanya—
dilahirkan di Lhokseumawe, Aceh Utara, pada 10 Maret 1904, di tengah-
tengah keluarga ulama pejabat. Secara geneologis, Hasbi adalah keturunan
campuran Aceh-Arab1 dan diketahui bahwa dia keturunan yang ke-37 dari
Abu Bakar ash-Shiddiq2, khalifah pertama dalam deretan khulafa Al-
Rasyidin.3 Itulah sebabnya Hasbi membubuhkan ash-Shiddieqy sebagai nama
keluarganya.4
1 Ibunya, Tengku Amrah, adalah putri Tengku Abdul Aziz, pemangku jabatan QadhiChik Maharaja Mangkubumi. la juga keponakan Abdul Jalil, bergelar Tengku Chik di AweGeutah, seorang ulama pejuang yang bersama Tengku Tapa bertempur di Aceh melawan Belanda.Tengku Chik di Awe Geutah, oleh masyarakat Aceh Utara dianggap sebagai seorang wali yangdikeramatkan. Kuburannya masih diziarahi untuk meminta berkah. Pamannya yang lain, bernamaTengku Tulot, menduduki jabatan Raja Imeum di awal pemerintahan Sri Maharaja Mangkubumi.Ayah Hasbi, al-Haj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad Su'ud, adalah seorang Qadhi Chik,yang menempati posisi itu setelah mertuanya wafat (informasi lebih jauh lihat: NourouzzamanShiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. LihatSulaiman al-Kumayi, Inilah Islam, Yogyakarta: Pustaka Rizki Putra, 2006, hlm. 13-16.
2 Silsilah Hasbi: Muhammad Hasbi ibn Muhammad Husein ibn Muhammad Su'ud ibn'Abdur-Rahman ibn Syati' ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Taufiqi ibn Fathimi ibn Ahmadibn Dhiauddin ibn Muhammad Ma'sum (Faqir Muhammad) ibn Ahmad Alfar ibn Mu'aiyidin ibnKhawajaki ibn Darwis ibn Muhammad Zahid ibn Marwajuddin ibn Ya'kub ibn 'Alauddin ibnBahauddin ibn Amir Kilal ibn Syammas ibn 'Abdul 'Aziz ibn Yazid ibn Ja'far ibn Qasim ibnMuhammad ibn Abu Bakar ash-Shiddiq.
3 Abu Bakar, seorang pendukung dan teman setia Nabi Muhammad paling awal, yangpercaya kepadanya dan memimpin salat jemaah selama sakit terakhir yang diderita Nabi, ditunjuksebaga penerus Nabi (8 Juni 632) melalui pemilihan yang melibatkan para pemimpin masyarakatIslam yang berkumpul di Madinah. la melaksanakan semua tugas dan meneladani semuakeistimewaan Nabi, kecuali hal-hal yang terkait dengan kenabiannya—karena kenabian berakhirseiring dengan wafatnya Nabi Muhammad (Philip K. Hitti, History of Arab: Rujukan Induk dan
43
Prof. Dr. Hamka menerangkan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq berasal
dari Banu Taim ibn Murrah ibn Ka'ab ibn Lubai ibn Ghalib Al-Quraisyi. Pada
Banu Murrah nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad. Gelar ash-
Shiddiq diperolehnya dari Nabi, karena dia percaya sepenuh iman ketika Nabi
memberitahukan bahwa dia telah di-i'sra-kan dari Masjidil-Haram ke Baitul-
Maqdis dan di-mi'rojkan ke Sidratul-Muntaha dalam satu malam pulang pergi,
sedangkan orang lain ada yang meragukannya.5
Melihat latar belakang keluarga Hasbi, dapat diketahui bahwa darah
keulamaan itu telah menjadi bagian integral dalam dirinya. Karena itu,
pendidikan keagamaan Hasbi ditempa dari internal keluarganya sendiri,
terutama ayahnya. Ditambah lagi, dia dianugerahi oleh Allah dengan otak
yang cerdas sehingga tidak mengherankan dalam usia tujuh tahun ia telah
mengkhatamkan Al-Qur'an. Masih dalam asuhan sang ayah, Hasbi
mempelajari qiraah, tajwid serta dasar-dasar fiqh dan tafsir. Ilmu-ilmu dasar
yang memang menjadi semacam kurikulum wajib bagi calon ulama, di mana
keinginan terbesar sang ayah adalah agar Hasbi menjadi seorang ulama.
Tampaknya, karena alasan inilah ayah Hasbi menolak tawaran seorang
kontroler Lhokseumawe yang bermaksud menyekolahkan Hasbi karena
khawatir anaknya nanti menjadi kafir. Mungkin jika dilihat dari perspektif
modern, penolakan ini suatu kebodohan. Tetapi ayah Hasbi punya alasan
Paling Otoritatif tentang Sejarah Peradaban Islam, penerj. R. Cecep Lukman Yasin dan DediSlamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 222.
4 Nourouzzaman Shiddiqi, Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Perspektif SejarahPemikiran Islam di Indonesia, Disertasi Doktor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1987, hlm. 122.
5 Hamka, Sejarah Umat Islam, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, cet. Ill, 2001), hlm.200; Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, penerj. Ali Audah, Jakarta: LiteraAntar Nusa, cet. 27, 2002, hlm. 159.
44
sendiri. Menurut M. Hasbi Amiruddin, alasan penolakan ini sebenarnya sangat
logis dan kondisi saat itu memang mengharuskan demikian. Katanya:
Karena sebuah kenyataan, di kala Belanda sedang berusaha penetrasidan menaklukkan masyarakat Aceh dia mengambil simpati pribumidengan memberi fasilitas-fasilitas tertentu. Lagi pula tujuanmenyekolahkan anak negeri ketika itu bukan dengan tujuan inginmencerdaskan bangsa Indonesia, akan tetapi agar menjadi tenaga kerjamereka dalam rangka memperlancar proses penaklukkan anak negeri.Menurut ulama Aceh ketika itu usaha penaklukkan Belanda terhadaporang Aceh dianggap perang meruntuhkan Islam dan umatnya, karenaitu perang melawan mereka dianggap jihad fisabilillah. Karena itu pulakalau ada negeri yang membantu Belanda itu mereka menganggapberarti membantu kafir, mereka dapat dihukum sama dengan kafir.6
Penolakan ini sebenarnya memberi dampak yang positif bagi
pengembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman Hasbi. la lebih bisa
berkonsentrasi "melahap" ilmu-ilmu keislaman di bawah asuhan ayahnya ini.
Beberapa hal yang menarik pada diri TM. Hasbi Ash Shiddieqy, antara
lain:
Pertama, ia sangat menggemari buku, hampir pada setiap sudut
ruangan rumahnya terdapat kamus bahasa, dan di ruangan tempat ia belajar
tersusun kitab secara sistematis. Uniknya ia tidak pernah memberi pinjam
buku, kecuali membaca di rumahnya. Di samping itu ia adalah seorang
otodidak pendidikan yang ditempuhnya dari dayah ke dayah, dan hanya satu
setengah tahun duduk di bangku sekolah al-Irsyad, 1926. Dengan basis
6 Lihat M. Hasbi Amiruddin, "Biografi Hasbi Ash-Shiddieqy: Menelusuri Jejak SangPembaruan Pemikiran Islam di Indonesia", makalah disampaikan dalam Simposium Nasional"Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia dalam Rangka Hari Jadi ke-40 IAIN Ar-Raniry, 5Oktober 1963-5 Oktober 2003; M. Hasbi Amiruddin, Ulama Dayah: Pengawal Agama MasyarakatAceh, Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003, hlm. 15-16; E. Gobee dan Adrianse, Nasihat-nasihat C. S. Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1963,penerj. Sukarsih Qakarta: INIS, 1991, hlm. iii.
45
pendidikan formal seperti itu, ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang
pemikir. Kemampuan intelektualnya diakui oleh dunia international. Ia
diundang dan menyampaikan makalah dalam international islamic qolloquium
yang diselenggarakan di Lahore Pakistan, 1958. Selain itu, berbeda dengan
tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, ia telah mengeluarkan suara pembaruan
sebelum naik haji atau belajar di Timur Tengah.
Muhammad Hasbi menitik beratkan pembaruannya pada bidang
hukum Islam dengan semboyannya yang terkenal “pintu ijtihad terbuka
sepanjang zaman tidak pernah tertutup dan tidak ada manusia manapun yang
berhak menutupnya” (Prof. H. Ali Hasyim, Waspada, Medan, 19 September
1983).7
Kedua, ia mulai bergerak di Aceh, di lingkungan masyarakat yang
terkenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun Hasbi pada
awal perjuangannya berani menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari
perjuangannya kendatipun karena itu ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan
oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
Ketiga, dalam berpendapat ia merasa dirinya bebas tidak terikat
dengan pendapat kelompoknya. Ia berpolemik dengan orang-orang
Muhammadiyah dan Persis, padahal ia juga anggota dari perserikatan itu. Ia
bahkan berani berbeda pendapat dengan jumhur ulama, sesuatu yang langka
terjadi di Indonesia.
7Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan1992, hlm. 852-853.
46
Keempat, ia adalah orang pertama di Indonesia yang sejak tahun 1940
dan dipertegas lagi pada tahun 1960, menghimbau perlunya dibina fiqh yang
berkepribadian Indonesia. Himbauan ini menyentak sebagian ulama
Indonesia. Mereka angkat bicara menentang fiqh (hukum in concreto)
diindonesiakan atau dilokalkan. Bagi mereka, fiqh dan syari’at (hukum in
abstracto) adalah semakna dan sama-sama universal. Kini setelah berlalu
empat puluh lima tahun sejak 1960, suara-suara yang menyatakan masyarakat
muslim Indonesia memerlukan “fiqh Indonesia” terdengar kembali. Namun
sangat disayangkan, mereka enggan menyebut siapa penggagas awalnya.
Mencatat penggagas awal dalam sejarah adalah suatu kewajiban, demi
tegaknya kebenaran sejarah.8
Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri ulama, pendidik
dan pejuang – jika ditelusuri sampai ke leluhurnya, dalam dirinya mengalir
campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan
ketika ayahnya dalam posisi Qadli Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan
seperti juga derita yang dialami oleh masyarakat. Selain faktor pendidikan,
bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut membentuk diri Hasbi
menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecenderungan
membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan kejumudan serta mandiri tidak
terikat pada sesuatu pendapat lingkungannya.
Hasbi sejak remaja telah dikenal dikalangan masyarakatnya karena ia
sudah terjun berdakwah dan berdebat dalam diskusi-diskusi. Di Aceh ada
8TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Cet. 4, Semarang: PT PustakaRezki Putra, 2001, hlm. 220-221.
47
tradisi yang disebut dengan meuploh-ploh masalah, mengurai masalah agama
yang dipertandingkan. Masalah yang disampaikan dalam bentuk syair harus
dijawab oleh pihak lain. Kalau tidak bisa menjawab, kelompok tersebut
dinyatakan kalah dalam pertandingan. Hasbi sering diminta untuk mengambil
peran sebagai penanya atau penjawab atau setidak-tidaknya sebagai konsultan
dalam diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengheran jika
Hasbi populer di kalangan masyarakat. Banyak orang menginginkan Hasbi
bisa menjadi menantunya. Sejak remaja dia sudah dipanggil dengan sebutan
Tengku Muda atau Tengku di Lhok. Di Aceh seseorang yang dihormati tidak
lagi dipanggil dengan nama dirinya tetapi dengan nama akrabnya.
Hasbi menikah pada usia 19 tahun dengan Siti Khadidjah, seorang
gadis yang masih ada hubungan kekerabatan dengannya. Perkawinan dengan
gadis pilihan orang tuanya ini tidak berlangsung lama. Siti Khadidjah wafat
ketika melahirkan anaknya yang pertama. Anaknya yang dilahirkan itu, Nur
Jauharah, segera pula menyusul ibunya kembali kerahmat Allah. Kemudian
Hasbi menikah dengan Tengku Nyak Asyiyah binti Tengku Haji Hanum,
saudara sepupunya. Tengku Haji Hanum atau lebih akrab dipanggil dengan
Tengku Haji Nom adalah saudara kandung Tengku Amrah, ibu Hasbi. Dengan
Tengku Nyak Asyiayah inilah Hasbi mengayuh bahtera hidupnya sampai
akhir hayatnya. Dari perkawinannya ini lahir empat anak; dua orang
perempuan dan dua anak laki-laki.9
9TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, edisi II, Cet. 2, Semarang: PTPustaka Rizeki Putra, , 2001, hlm. 559-560.
48
Hasbi sangat menghargai orang berpendapat. Ia tidak gusar jika
pendapatnya dibantah walaupun oleh anaknya sendiri. Bahkan dengan
anaknya, ia mengajak berdiskusi yang kadangkala berlangsung seperti orang
bertengkar tidak pula jarang terjadi ia mendiskusikan sesuatu yang sedang
ditulisnya dengan anaknya yang bertindak sebagai juru ketik dan korektor uji
cetak buku-bukunya. Jika pendapat anaknya dirasa benar, diakuinya. Jika
salah, ia membetulkannya dengan menasehati agar belajar lebih banyak
dengan membaca seperti yang diperbuatnya.
Hasbi yang cerdas dan dinamis serta telah bersentuhan dengan
pemikiran kaum pembaharu, dilihat oleh Syekh al-Kalali mempunyai potensi
dikembangkan menjadi tokoh yang menggerakkan pemikiran pembaruan
Islam di Aceh. Untuk keperluan itu, ia menganjurkan Hasbi pergi ke Surabaya
belajar pada perguruan al-Irsyad yang diasuh oleh pergerakan al-Irsyad wal
ishlah yang didirikan oleh Syekh Ahmad as-Surkati pada tahun 1926, dengan
diantar oleh Syekh al-Kalali, Hasbi berangkat ke Surabaya setelah di tes ia
dapat diterima di jenjang takhasus. Di jenjang ini Hasbi memusatkan
perhatiannya belajar bahasa Arab yang memang mendapat kedudukan
istimewa dalam kurikulum perguruan al-Irsyad. Percepatan penguasaan
bahasa Arabnya didukung pula oleh pergaulannya dengan orang-orang Arab
di Surabaya. Ia bemain bola bersama mereka. Ia juga mondok di rumah
seorang Arab. Satu setengah tahun Hasbi belajar di al-Irsyad dengan
perolehan kemahiran bahasa arab dan kemantapan berada di barisan kaum
pembaru untuk mengibarkan panji-panji Islam serta semangat kebangsaan
49
Indonesia yang memang telah bersemi dalam dirinya sejak ia meudagang di
Tunjungan Barat, di Samalanga. Pada waktu itu, rakyat samalanga yang telah
memperlihatkan kepahlawanan melawan penjajah, pada tahun 1916
mendirikan cabang SI.10
Perguruan al-Irsyad jenjang takhasus adalah pendidikan formal
terakhir yang ditempuh Hasbi. Ia tidak pernah belajar ke luar negeri. Selesai
belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dirinya dengan ilmu
melalui belajar sendiri, otodidak. Buku adalah guru terbaik. Berkat minat
bacanya yang besar, semangat belajar dan menulisnya yang tinggi Hasbi
menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula artikel. Ia
memperoleh dua gelar Doktor H.C., satu dari UNISBA (1975), dan satu dari
IAIN Sunan Kalijaga (1975), dan menduduki jenjang fungsional pada tingkat
guru besar pada tahun 1960.11
Setelah Hasbi melepas jabatan Dekan Fakultas Syari’ah di Aceh,
sekitar tahun 1963 – 1966, ia merangkap pula jabatan pembantu Rektor III di
samping dekan Fakultas Syaria’h di IAIN Yogyakarta.
Di samping merangkap jabatan di IAIN, Hasbi juga mengajar dan
memangku jabatan struktural pada perguruan tinggi – Perguruan Tinggi Islam
Swasta. Sejak tahun 1964 ia mengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) di
Yogyakarta Tahun 1967 sampai wafatnya pada tahun 1975. Ia mengajar dan
menjabat dekan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Sultan Agung
10TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PTPutaka Rizki Putra, 1997, hlm. 560-562.
11TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Edisi II, Cet.2, Semarang: PT. PustakaRizky Putra, 1997 hlm. 241-242.
50
(UNISSULA) di Semarang. Pada tahun 1961 – 1971 dia menjabat rektor
Universitas al-Irsyad Surakarta, di samping pernah pula menjabat rektor
Cokroaminoto yang bermula dari Akademi Agama Islam (AAI) di Surakarta.
Nama Hasbi dipasang pula sebagai pengajar siyasah syari’ah di IAIN
Walisongo Semarang, di Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan
Universitas Muslim Indonesia (UMI) di Ujung Pandang. Setelah itu Hasbi
juga menjabat ketua lembaga fatwa IAIN Sunan Kalijaga dan pemimpin post
graduate course (PGC) dalam ilmu fiqih bagi dosen IAIN se Indonesia. Ia
juga menjabat ketua lembaga fiqih Islam Indonesia , ketua lembaga fatwa
IAIN Sunan Kalijaga dan anggota Majelis Ifta’wat Tarjih DPP al-Irsyad.12
Adapun sketsa pemikiran TM. Hasbi Ash Shiddieqy dapat kita awali
dengan bertitik tolak pada kurun waktu tahun 1359/1940, ketika itu Hasbi
berumur 36 tahun, dalam polemiknya dengan Soekarno ia menulis: Fiqih yang
kita junjung tinggi ialah fiqih Qurisany dan fiqih Nabawi. Adapun fiqih
ijtihady, maka senantiasa kita lakukan nadzar, senantiasa kita jalankan
pemerikasaan dan boleh kita mengambil mana yang lebih cocok dengan nusa
dan bangsa kita.
Duapuluh satu tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 2 Rabiul Awal
1381/1961, dalam orasi ilmiyah yang berjudul “Syari’at Islam Menjawab
Tantangan Zaman” yang diucapkannya pada upacara peringatan Dies Natalis
IAIN yang pertama, Hasbi berseru: “maksud mempelajari syariat Islam di
Universitas-universitas Islam sekarang ini, supaya fiqih/syari’at Islam dapat
12Nourouzzaman Shiddiqi, Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Yogyakarta, Pustaka Pelajar(Anggota LKAPL), 1996, hlm. 217-220. Cf. Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqih Indonesia Menggagasdan Gagasnnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar (Anggota LKAPL), 1907, hlm. 3-61.
51
menampung seluruh kemaslahatan masyarakat dan dapat menjadi pendiri
utama bagi pembangunan hukum di tanah air kita yang tercinta ini. Maksud
kita supaya dapat menyusun suatu fiqh yang berkepribadian kita sendiri.13
Dua pernyataan Hasbi di atas menjadi petunjuk, bahwa Hasbi
menghimbau perlu dibina fiqh yang berkepribadian atau fiqh yang
berwawasan ke-Indonesiaan. Maksudnya, fiqh yang cocok dengan keadaan
dan kebutuhan masyarakat Indonesia. Dengan demikian, fiqh yang oleh
sebagian orang Indonesia mengangapnya sudah menjadi barang antik yang
hanya layak untuk dipajangkan di musieum saja, mampu memecahkan
permasalahan-permasalahan hukum yang timbul di kalangan masyarakat
Indonesia. Bahkan diharapkan dapat menjadi tiang utama bagi pembinaan
hukum nasional Indonesia.
Sepanjang yang diketahui dalam catatan sejarah pemikiran Islam di
Indonesia, sebelum tahun 1359/1940, bahkan sampai tahun 1381/1961, belum
pernah terdengar suara yang menyampaikan gagasan seperti yang diajak oleh
Hasbi. Karena itu, dapatlah dikatakan, Hasbi adalah orang pertaama
dikalangan pemikir Islam di Indonesia yang mencetuskan gagasan seperti itu.
Bahkan sampai sekarangpun, setidaknya sampai tahun 1405-6/1985, masih
ada yang mempertanyakan dan bersikap “tak perlu ada fiqh yang berdimensi
ruang dan waktu”14
Adapun tujuan kajian ini, dengan mendeskripsikan dan menganalisis
fiiran-fikiran Hasbi dengan menggunakan pendekatan analisis teks dari
3TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Syariat Islam Menjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta:IAIN, 1961, hlm. 41.
14KH. Ali Yafie, Matarantai Yang Hilang, Pesantren, no. 2/Vol II/1985, hlm. 36.
52
tulisan-tulisan Hasbi sendiri, diharapkan dapat membantu memperjelas
pemahaman dan pendirian Hasbi tentang fiqh pada umumnya dan fiqh yang
berkepribadian Indonesia, fiqh yang diterapkan di Indonesia-, pada
khususnya. Hal ini barangkali dapat pula membantu upaya Kompilasi Hukum
Islam yang dikerjakan oleh Mahkamah Agung bekerjasama dengan
Departemen Agama R.I. (pada saat Menteri Agama, Munawir Sadzali, dan
sudah selesai dikerjakan).
Peristiwa yang mendorong lahirnya ide Hasbi tentang fiqh yang
berkepribadian Indonesia, ialah gejala historis – sosiologis yang
menggambarkan tentang perlakuan fiqh di kalangan kaum muslimin
Indonesia. Hasbi mengamati fiqh seakan lesu darah. Ibarat kitab tua yang
sudah dimakan rengat, dibuang sayang tetapi sudah tidak dapat dibaca lagi.
Pada tahun 1368/1948 dia menulis: “barang siapa di antara kita yang sudi
melepaskan pemandangan keinsyafannya ke dalam kehidupan umat Islam
dewasa ini, tentulah bakal terlihat olehnya dengan jelas dan nyata, akan
lemahnya bekas-bekas hukum Islam atas pemeluk dan pergaulan kaum
muslimin, istimewa di tanah Indonesia yang cantik molek ini.15
Pengamatan Hasbi pada tahun 1368/1948 tidak jauh berbeda, -
kalaupun tidak mau dikatakan lebih merosot -, dari keadaan kehidupan fiqh
pada tahun 1381/1961, ketika dia menyampaikan orasi ilmiah “Syariat Islam
Menjawab Tantangan Zaman”. Bagi Hasbi, keadaan fiqh yang lesu darah ini
terasa aneh. Sebab, kaum muslimin di Indonesia yang berjumlah banyak,
15TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Menghidupkan Hukum Islam dalam Masyarakat, AliranIslam, No. I, 1948, hlm 43.
53
lebih banyak dari kaum muslimin yang berada di timur tengah digabung
menjadi satu, yang sepatutnya menjadi pendukung fiqh, tetapi
mengabaikannya bahkan mencari hukum yang lain.
Pada waktu itu, kedudukan Peradilan Agama tidak lebih dari sebuah
lembaga pemberi fatwa. Keputusan-keputusanya tidak mempunyai kekuatan
hukum yang memaksa. Dia baru mempunyai kekuatan yang memaksa jika
dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri. Biasanya, Pengadilan Negeri sebelum
memberikan pengukuhannya terlebih dahulu melakukan pemeriksaan ulang
dengan mengambil hukum adat sebagai pedoman. Hasbi mempetanyakan
pada dirinya sendiri, mengapa nasib fiqh menjadi begini. Tentu ada sesuatu
pada diri fiqh yang telah menjadi fakor penyebab tidak mendapat perlakuan
dan penghargaan yang layak.
Hasbi melihat, salah satu penyebab fiqh tidak mendapat sambutan
yang hangat di kalangan muslimin Indonesia, ialah karena ada bagian-bagian
fiqh berdasarkan ‘‘urf di timur tengah yang tidak sesuai dengan rasa
kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga dalam hukum
adat. Bagian-bagian fiqh yang seperti ini tentunya terasa asing bagi mereka,
akan tetapi dipaksakann juga berlaku atas dasar taqlid. Dalam kalimat Hasbi
sendiri tertulis: “fiqh yang berkembang dalam masyarakat kita sekarang
sebagiannya adalah fiqh Hijazi, fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat
dan ‘urf yang berlaku di Hijaz, atau fiqh Misry yaitu fiqh yang terbentuk atas
dasar adat-istiadat dan kebiasaan Mesir, atau fiqh Hindi yaitu fiqh yang
terbentuk atas ‘urf dan adat-istiadat yang berlaku di India.
54
Selama ini kita belum mewujudkan kemampuan untuk berijtihad,
mewujudkan kaum fiqh yang sesuai dengan kepribadian Indonesia, karena itu
kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijaz atau fiqh Misry atau fiqh Iraki
berlaku di Indonesia atas dasar taqlid.
Adapun karya tulis Hasbi dapat disebutkan antara lain:
1. Hadits
a. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta, Bulan Bintang, 1954;
1955; 1965; 1974; 1977; 1980, 420 p.
b. 2002 Mutiara Hadits, 8 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, 1954 – 1980,
jilid I, 1954; 1955; 1961; 1975, 540 p. jilid II, 1956; 1975; 1981, 588
p. jilid III, 1962; 1977, 668 p. jilid IV, 1977, 692 p. jilid V, 1977; 628
p. jilid VI, 1980, 584 p. Jilid ke VIII belum diterbitkan .
c. Koleksi Hadits-Hadits hukum, ahkamun Nabawiyah. 9j. Bandung: al-
Ma’arif, 1970-1976 Jilid I: 1970;’72, ’81; 380 p. jilid II : 1972; 400p.
jilid III : 1972; ? ‘81 493 p. jilid IV: 1972; 379 p. jilid VI : 1976: 307
p. jilid VII sampai dengan XI belum diterbitkan. Naskahnya sudah
siap.
d. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1952: ’55; ’62;
’70; ’78 pada penerbitanya yang pertama yang diterbitkan oleh
Pustaka Islam Jakarta buku ini berjudul pedoman Hukum Syar’i yang
berkembang dalam kalangan Sunni. Buku ini memuat materi hukum
dari semua madzhab Sunni (Madzhab empat)
55
e. Pengantar Hukum Islam, 2 jilid, Jakarta, Bulan Bintang, jilid I : 1953;
’58; ’63; ’68; ’75; ’80 jilid II: 1953; ’58; ’63; ’68; ’75; ’81.
f. Sjari’at Islam Mendjawab Tantangan Zaman, Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga, 1961. Cet kedua diterbitkan di Jakarta : Bulan
Bintang, 1966.
g. Pengantar Ilmu Fiqih, Jakarta, Bulan Bintang, 1967; ’74.
h. Beberapa Problematika Hukum Islam, Yogyakarta, Lembaga hukum
Islam Indonesia, 1972. Pada cetakan kedua, buku ini diberi judul
Beberapa Permasalahan Hukum Islam, Jakarta, Tintamas, 1975.
i. Kumpulan Soal Jawab, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
2. Tafsir dan Ilmu al-Quran:
a. Beberapa Rangkaian Ajat, Bandung: al-Ma’arif, tt. (1952 ?) Buku ini
dimaksudkan sebagai buku pelajaran tafsir tingkat permulaan . (44 p)
b. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/tafsir, Jakarta, Bulan Bintang
1954; 1955; 1961; 1965; 1972;1977; 1980 (308 p). buku ini sebuah
refisi dari bukunya yang semula berjudul sejarah dan pengantar ilmu
tafsir.
c. Tafsir al-Qurnul Majied “an-Nur”, 30 Juz Jakarta, Bulan Bintang
1956-1973; 1956; 1965; 1976. Pustaka Rizki Putera (4 jilid). Setiap
jilidnya antara 300-360 p. Sistem penafsirannya adalah paragraf per
paragraf (qith’ah) seperti yang dilakukan oleh al-Maraghi.
Penafsirannya menggunakan metode campuran Ar-Riwayah (ma’tsur)
56
dan biad-dirayah (ma’qul). Di dalamnya termuat juga sebab-sebab
turunnya ayat (asbab an-Nuzul).
B. Pendapat T.M.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak Diperlukannya
Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli
Pada prinsipnya bahwa TM. Hasbi Ash Shiddieqy mendukung
pendapat yang menyatakan bahwa sumber fiqih dalam bidang muamalat ialah
al-Qur’an, Hadits/Sunnah Nabi, Ijma’, Qiyas, Ra’yu, Urf.
Pertama, al-Qur’an16 adalah sumber utama dalam pembinaan hukum
Islam. Namun al-Qur’an tidak banyak memberikan hukum-hukum yang terinci
dan pasti terhadap masalah-masalah yang menyangkut bidang muamalah
bahkan al-Qur’an melarang para sahabat banyak bertanya kepada Nabi
mengenai hukum-hukum yang belum diperlukan. Sebab, jangan sampai terjadi
karena banyak pertanyaan akan mengakibatkan timbul kesulitan dalam
pelaksanaannya, seperti kasus seorang Yahudi yang banyak bertanya tentang
bagaimana sapi yang harus mereka sembelih. Terhadap sesuatu yang menjadi
penyakit masyarakat, beban-beban hukumnya pun diberikan secara bertahap,
seperti hukum zina misalnya.
Mengenai metode penafsiran, Hasbi sependapat bahwa dalam
menafsirkan al-Qur'an pertama kali harus dicari penjelasannya pada al-Qur'an
16Al-Qur’an menurut bahasa, ialah bacaan atau yang dibaca. Al-Qur’an adalah mashdaryang diartikan dengan arti isim maf’ul yaitu maqru = yang dibaca. Lihat TM. Hasbi AshShiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, PT Pustaka Rizki Putra, Semarang,1997, hlm. 3. Menurut Subhi Shaleh al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagaimu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushab-mushab, yangdiriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah. Lihat Subhi Shaleh, Mabahisfi Ulum al-Qur’an, Dinamika Barakah Utama, Jakarta, tt, hlm. 21. dikutip dari Muhammad NurIhwan, Memasuki Dunia al-Qur’an, Lubuk Raya, Semarang, 2001, hlm. 37-38.
57
sendiri. Sebab, seringkali dijumpai ada ayat-ayat yang disebutkan secara
ringkas di suatu tempat, sedangkan penjelasannya terdapat pada ayat di tempat
lain. Mengapa penafsiran pertama kali harus dicari dalam al-Qur'an sendiri,
karena Allah yang lebih mengetahui kehendak-Nya. Jika tidak diketemukan
ayat atau ayat-ayat yang menjadi penjelas bagi sesuatu yang hendak
ditafsirkan, barulah dicari penjelasannya pada Hadits. Sebab, Nabi lebih
mengetahui tentang makna perintah atau berita yang disampaikan kepadanya.
Jika tidak ada Hadits barulah dilihat pada penafsiran sahabat. Karena
penafsiran Sahabat lebih dekat kepada kebenaran sebab mereka lebih
mengetahui maksud-maksud ayat lantaran mereka mendengar sendiri dari
Rasul dan menyaksikan sebab-sebab turun (asbab an-nuzul) ayat atau ayat-
ayat itu. "Wajib kita yakini bahwa Nabi saw telah menerangkan kepada para
sahabat makna-makna al-Qur'an," demikian kata Hasbi dengan mengutip Ibn
Taimiyah. Perlu dicatat pula, bahwa para Sahabat Nabi mengetahui betul
tentang bahasa Arab. Apalagi bahasa Arab yang dipakai pada saat ayat atau
ayat-ayat itu diturunkan. Akhirnya Hasbi berpesan kepada orang yang hendak
menerjemahkan al-Qur'an, agar mempelajari semua kitab tafsir, baik yang
menggunakan metode riwayah (bi al-ma 'tsur/bi al- manqul), maupun yang
menggunakan metode dirayah (bi ar-ra' yi/ bi al-ijtihadi/bi al-ma 'qui). Jika
dia seorang Muhaqqi (Pemilih) hendaklah dia menjelaskan pula cara-cara
pentahqiqkannya.17
17T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, PTPustaka Rizki Putera Semarang 1997, hlm. 200-208
58
Kedua, mengenai sunnah dan hadits18 sebagai sumber hukum yang
kedua, Hasbi memilih pendapat ahli ushul yang memformulasikan hadits
dengan: segala perbuatan, ucapan dan taqrir (persetujuan/keputusan) Nabi saw
yang berhubungan dengan hukum. Selanjutnya Hasbi mengingatkan, dalam
menghadapi hadits ada dua hal yang disepakati jumhur:
Pertama, hadits Rasul sebagai hujjah yang harus ditaati; kedua, hadits
sebagai penjelas bagi nash al-Qur'an yang bersifat umum (mujmal). Karena
itu, tidak mungkin ada hadits yang bertentangan dengan al-Qur'an. Akan tetapi
dalam menggunakan Hadits sebagai hujjah atau penjelas al-Qur'an ada dua
kenyataan yang membuat orang harus berhati-hati dalam menggunakan hadits.
Pertama, tidak semua yang dikatakan Hadits adalah benar. Hadits
dalam artian memang benar diucapkan, diperbuat atau ditaqrir Nabi. Banyak
Hadits palsu yang diedarkan untuk maksud-maksud tertentu. Di samping itu,
derajat Hadits pun bermacam-macam: mutawatir, hasan, dla'if dan
sebagainya. Tidak semua ulama sepakat dalam menggunakan derajat yang
mana boleh digunakan untuk menjadi dalil bagi sesuatu masalah tertentu.
Katakanlah, dalam masalah 'akidah misalnya. Kadangkala terjadi pula
perbedaan redaksi (matan) dari suatu Hadits yang jalur periwayatannya
(sanad) berbeda. Hal ini telah pula menjadi sebab timbul selisih pendapat di
kalangan ulama dalam menetapkan suatu hukum.
18Hadits ialah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupaperkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya. Lihat Fatchur Rahman, IkhtisaharMusthalah al-Hadits, Cet. 4, PT al-Ma’arif, Bandung, 1995, hlm. 6. TM. Hasbi Ash S Sejarahdan Pengantar Imu Hadits, Cet. 6, Bulan Bintang, Jakarta, 1980, hlm. 22-23.
59
Kedua, Hadits yang memang benar Hadits tidak pula semua menjadi
syari'at yang berlaku umum yang harus dilaksanakan di sembarang tempat dan
waktu. Harus diingat, Rasulullah, di samping berfungsi sebagai Rasul Allah,
juga seorang manusia biasa. Ucapan atau perbuatan Rasulullah dalam
kualitasnya sebagai manusia biasa tidak menjadi syari'at yang harus ditaati.
Hanya ucapan, perbuatan dan taqrirnya dalam kualitasnya sebagai Rasul, yang
memang berkewajiban menyampaikan wahyu dan menjelaskan syari'at, yang
wajib diikuti dan ditaati. Berdasarkan pengertian ini, maka cara Rasul
berjalan, makan, berpakaian, berkendaraan dan sebagainya, yang
dilakukannya sebagai seorang manusia, tidak menjadi aturan umum. Nabi
suka berpakaian yang terbuat dari kain Yaman, suka makan buah labu tanah
dan tidak suka daging dlab (sejenis kadal), semua itu tidak menjadi aturan
umum. Sebab, hal itu hanyalah soal selera. Demikian juga ucapan dan
perbuatan Nabi dalam masalah keduniaan, seperti mengatur taktik peperangan,
obat yang diminum, bercocok tanam yang berdasarkan pertimbangan pikiran
bukan berdasar wahyu, itu semua bukan aturan umum yang harus dipegang
teguh. Contohnya, Rasulullah menyuruh seseorang penderita penyakit perut
meminum madu dan Nabi berobat dengan berbekam atau digosokkan besi
panas. Hadits-hadits ini bukan berarti bahwa madu adalah obat bagi segala
macam penyakit perut dan berbekam adalah obat yang ampuh.
Ketiga, sebagai sumber hukum yang ketiga ialah ijma’19 yaitu
konsensus atau permufakatan terhadap penetapan sesuatu hukum. Kerena itu,
19Menurut Abd Wahab Khalaf, ijma’ menurut istilah para ahli ushul fiqh adalahkesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah
60
dasar yang melahirkan ijma’ adalah permusyawaratan.20 Nabi sendiri dalam
mengambil sesuatu keputusan yang bersifat duniawi, seperti kasus tawanan
Badr misalnya, melakukan permusyawaratan dengan para Sahabat. Dengan
menggunakan ijma' sebagai sumber hukum, maka fiqh dapat terus diperkaya.
Ijma' yang tidak bisa dilepaskan, kata Hasbi, ialah ijma' Shahabi dan
ulama Salaf Mutaqaddimin yang sah dan jelas, teristimewa dalam soal akidah
dan ibadat. Adapun terhadap sesuatu yang dikatakan sebagai hasil ijma' para
ulama Mutaakhkhirin perlu diteliti keabsahannya. Sebab, seringkali apa yang
dikatakan hasil ijma' para ulama Mutaakhkhirin, hanyalah ijma ulama di
kalangan mazhab tertentu saja.
Untuk menghindari berlanjutnya perbedaan paham tentang ijma', Hasbi
menekankan perlu dikembalikan pengertian ijma' kepada makna harfiahnya
seperti yang dipahami pada masa awal-awal Islam. Pada waktu itu, kata Hasbi,
makna ijma' ialah "permufakatan para Uli al-Amri atau Ahl al-Halli wa al-
'Aqdi tentang urusan yang menyangkut kemaslahatan umum". Jadi, ijma' ialah
hasil musyawarah bulat mufakat anggota Ahl al-Halli wa al-Aqdi.
Masa wajib mentaati sesuatu hasil ijma' ialah, selama ijma' itu belum
dibatalkan oleh ijma' yang lahir pada masa berikutnya. Dengan mengutip
pendapat Muhammad "Abduh, Hasbi mengatakan, ijma' yang mengenai
kemaslahatan rakyat yang belum diatur oleh nash dan ijma' itu lahir tanpa
paksaan atau pengaruh siapa pun adalah ijma yang harus ditaati.
SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Lihat Abd Wahab Khalaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, Jakarta, 1410 H/1990M. hlm. 45.
20Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 119
61
Keempat, qiyas21 sebagai sumber hukum terletak pada urutan keempat
setelah al-Qur’an, Sunnah dan ijma’. Ini mengandung pengertian bahwa qiyas
baru bisa dipergunakan jika tidak diperoleh ketetapan hukum dalam tiga
sumber yang mendahuluinya. Dengan kata lain, qiyas dipergunakan dalam
keadaan terpaksa. Kelima, urf mengenai sumber hukum urf, Hasbi
menyebutkan bahwa urf adalah adat kebiasaan yang dipandang baik oleh akal
dan diterima oleh tabiat manusia yang sejahtera. Dari pengertian urf seperti
ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa urf yang dimaksud sebagai sumber
hukum, bukan hanya adat kebiasaan Arab saja, tetapi semua adat kebiasaan
yang berlaku di masing-masing masyarakat atau tempat.22
Dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah baru yang bersifat
mubah Hasbi menggunakan metode analogi deduksi rasional seperti yang
dipakai oleh Abu Hanifah. Adapun terhadap masalah-masalah yang telah ada
ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu, baik yang dihasilkan
dari kalangan sunni semua mazhab yang ada dan pernah ada juga dari
kalangan syiah, khawarij dan lain-lain, Hasbi menggunakan metode komparasi
(muqarin). Yakni membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang
lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dan
21Menurut Hanafie dari segi bahasa, qiyas ialah mengukurkan sesuatu atas lainnya danmempersamakannya. Menurut istilah ialah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum adaketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya. lihat Hanafie. UshulFiqh, Cet. 14, Wijaya Jakarta, 2001, hlm. 128. Cf. Sobhi Mahmassani, falsafatut Tasyri’ afil IslamMuqoddimatun Filsafat ilmu Dirosatysy Syari’atil Islamiyyati ‘ala Dhau’I MadzhabihaMukhtalifati Wa Dhau’il Qowa-ni-nil haditsati, terj, Ahmad Soejono, Filsafat Hukum DalamIslam Mukaddimah Dalam Mempelajari Syari’at (Hukum) Islam Di Bawah Sinar Madzhab-Madzhabnya Dan Hukum-Hukum Modern, PT. Al-Maarif, Bandung 1976, hlm. 167-177.
22Nourouzaman Shidiq, Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Op. Cit, hlm. 105-124.
62
didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.23
Tentang hal anjurannya agar melakukan kajian komparasi dengan
pendapat-pendapat dari aliran non sunni, ia beralasan, bukan saja metode ini
digunakan juga oleh para muhaqiqin tetapi lebih dari itu, ulama mereka
sebenarnya adalah golongan umat Islam yang berijtihad. Maka para mujtahid
itu adakala benar, ada kala salah. Dan ijtihad itu sebagaimana berlaku dalam
bidang hukum, berlaku pula dalam bidang aqidah. Mereka juga mendasarkan
pahamnya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sungguh tidak layak mencela
golongan-golongan yang lain dari golongan yang dinamakan ahlussunnah ,
karena bukan sedikit imam-imam hadits yang menerima riwayat dari tokoh-
tokoh Mu’tazilah dan jami'yah itu. Bukhari dan muslim menerima riwayat dari
orang-orang Mu’tazilah, dari orang-orang ibadiyah, golongan murji’ah, dan
dari golongan syiah. Maka tidak ada alasan untuk memusuhi apalagi
mengkafirkan orang-orang itu.24 Kajian komparasi dianjurkannya juga agar
dilakukan antara fiqih dengan hukum adat dan hukum positif di Indonesia,
serta dengan syariat-syariat agama lain, juga dengan hukum-hukum barat.25
Dari anjuran-anjuran Hasbi ini dapat ditarik konklusi bahwa ia
menganut sistem berpikir eklektif. Karena itu, Hasbi membenarkan talfiq ia
berpendapat, talfiq adalah salah satu pondasi pembangunan hukum, karena dia
23TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm.34.
24TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ruang Lingkup Ijtihad Para Ulama Dalam Membina HukumIslam, Unisba Bandung, 1975, hlm. 34-35.
25TM. Hasbi Ash Shiddieqy. Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastis, Lengkap Bulat danTuntas, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 159.
63
dapat menghilangkan kesempitan dan kesukaran.26 Hasbi berpendapat, dalam
mengkaji fiqih warisan fuqaha masa lalu, harus dilakukan kajian komparasi
secara terpadu dari semua aliran. Sebab, kebenaran tidak hanya dimonopoli
oleh salah satu aliran saja. Menurut pendapat Hasbi, dengan melakukan kajian
perbandingan terpadu ini, maka problem hukum yang terus berkembang itu
dapat diketemukan teori dan acuan dasarnya pada apa yang telah dikemukakan
oleh para fuqaha terdahulu. Kaidah-kaidah fiqih yang diajukan mereka masih
tetap relevan.
Di samping itu, dengan menggunakan metode perbandingan terpadu
ini, fiqih akan tetap selalu muda, mempunyai daya tumbuh dan berkembang
tanpa perlu melepaskan diri dari acuan dasar yang telah digali oleh para
fuqaha terdahulu, yang telah dikerjakan dengan susah payah, penuh ketekunan
dan dengan cita-cita yang luhur serta ikhlas. Fiqih yang selalu muda pastilah
dapat mengikuti perkembangan masyarakat modern dan memenuhi kebutuhan
hukum mereka.27
Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian
komparasi terpadu ialah pertama, mengetahui pendapat-pendapat yang
disepakati dan yang diperselisihkan. Kedua, mengetahui sebab-sebab
timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode dan pendekatan
yang digunakan oleh masing-masing fuqaha.
Ketiga memperoleh ketetapan hati terhadap hukum yang di
istinbatkan, karena diketahui mana hukum yang dikutip dari al-Qur’an, mana
26TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit, hlm. 58-61.27TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastisitas, Bulat dan Tuntas,
Op.Cit., hlm. 159-160.
64
yang dari hadits, mana yang melalui qiyas dan mana yang menggunakan
kaidah-kaidah khusus dari suatu madhzab.28
Di samping itu, dengan menggunakan metode komparasi ini, dapat
pula dijelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum adat dan hukum
positif di suatu negri pada satu pihak dengan fiqih pada pihak yang lain.
Kemudian, akan diperoleh pula wawasan yang luas sehingga dimungkinkan
untuk memilih secara tepat, mana yang lebih kuat dalilnya, lebih dekat kepada
kebenaran dan dapat membawa kemaslahatan kepada umat dan mencerminkan
kepada ruh syari’at.29 Dengan menggunakan kajian komparasi, maka usaha
kompilasi hukum Islam, lebih mudah dapat dikerjakan. Sebab, mudah memilih
mana materi hukum yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia.30
Ditilik dari sejarah pemikiran Islam usaha kompilasi atau kodifikasi
hukum Islam sudah ada gagasannya sejak abad 2/8. Namun sayang sampai
wafatnya Hasbi, belum lagi terwujud. Ibn al-Muqaffa (w. 144/761) dalam
suratnya Risalat ash-Shahabah yang dikirim kepada Abu Ja’fal al-Masur
(136/754-158/775) dari dinasti ‘Abasiyah, mengusulkan pemerintah agar
mengundangkan sebuah kodifikasi hukum yang menjadi pegangan bagi
seluruh aparat hukum. Maksudnya ialah untuk mengakhiri keberagaman
hukum, agar masyarakat pencari keadilan memperoleh kepastian hukum.31
Sumbernya adalah al-Qur’an, as-Sunnah, dan ra’yu dengan memperhatikan
28TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Op.Cit., hlm.36-37.29TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqih, Bulan Bintang , Jakarta, 1974, hlm.
92.30TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqih Islam Mempunyai Daya Elastisitas, Bulat dan Tuntas,
Op.Cit, hlm. 39.31TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975,
hlm. 44.
65
kaidah-kaidah umum dan kemaslahatan umat jika tidak ada nash yang telah
mengaturnya terlebih dahulu. Bukan dengan menetapkan salah satu madzhab
saja yang berlaku. Sayang usul al-Muqaffa ini tidak diterima oleh khalifah.
Keinginan al-Manshur untuk menetapkan al-Muwwatta’ sebagi satu-satunya
kitab hukum yang berlaku, ditolak oleh Malik. Kitab undang-undang hukum
keluarga (Majallah al-Ahkam al-Ad-liyah) yang ditetapkan oleh pemerintah
dinasti Osmani (Utsmani) pada tahun 1326/1908 dan kitab fatawa al-Hindia
atau Fatawa alamgiri hasil susunan sebuah panitia yang dibentuk oleh
Muhyiddin Aurangzeb Alam Giri (1068/1658-1118/1707), keduanya disusun
atas dasar madzhab Hanafie.32
TM.Hasbi Ash Shiddieqy menguraikan tentang jual beli tanpa lafadz
ijab qabul, maka jual beli yang demikian adalah sah. Menurutnya jual beli itu
sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat
dilakukan dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah
pihak itu).
Selanjutnya TM.Hasbi Ash Shiddieqy menegaskan jual beli sudah
terlaksana, apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang.33
Lebih jauh TM.Hasbi Ash Shiddieqy memaparkan, penjual tidak perlu
mengucapkan lafadz ijab, seperti: "saya jual buku saya ini kepada tuan dengan
harga Rp. 30,-." Demikian pula, pembeli tidak perlu menjawab lafadz ijab itu
32TM. Hasbi Ash Shiddieqy , Pengantar Ilmu Fiqih,Op.Cit, hlm. 93-94.33T.M.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam , jilid 2, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, hlm. 193
66
dengan lafadz qabul, seperti: "Saya membeli buku Al Islam ini dari tuan
dengan harga Rp.30,-".
Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bukti persetujuan tidak mesti
diucapkan. Atas dasar inilah dapat dipandang sah penjualan dengan tanpa
lafadz ijab qabul. Namun demikian, para penjual wajib membuka cacat
barangnya kepada para pembeli jika barang itu ada cacatnya. Kalau tidak
diterangkan, maka para pembeli berhak membatalkan pembelian setelah nyata
cacat terdapat pada barang itu. Selanjutnya dengan tegas TM.Hasbi Ash
Shiddieqy menandaskan bahwa sesuatu barang yang dibeli dengan ada
penipuan di dalamnya, pembeli boleh mengembalikannya.34
Lebih jauh T.M.Hasbi Ash Shiddiqy berpendapat bahwa satu hal lagi
yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan, ialah jual beli tanpa lafadz ijab
qabul. Sebagian ahli fiqh menurut Hasbi menolak segala macam akad
(perjanjian-perjanjian) yang tidak diikrarkan oleh lidah. Mereka yang
mewajibkan ijab (kata penyerahan) dan qabul (kata penerimaan) dengan
perkataan ucapan lidah tidak mensahkan suatu penjualan atau sesuatu
perjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidak terjadi
ijab dan qabul antara penjual dengan pembeli, demikian keterangan Hasbi.35
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual beli
adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat
dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Menurut mereka, ijab dan qabul perlu
34Ibid, hlm. 19335T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang Pustaka Rijki Putera,
2001, hlm. 471-475
67
diungkapkan secara jelas dalam transaksi-transaksi yang bersifat mengikat
kedua belah pihak, seperti akad jual beli, akad sewa menyewa, dan akad
nikah. Terhadap transaksi yang sifatnya mengikat salah satu pihak, seperti
wasiat, hibah, dan waqaf, tidak perlu qabul, karena akad seperti ini cukup
dengan ijab saja. Bahkan, menurut Ibn Taimiyah, ulama fiqh Hambali, dan
ulama lainnya, ijab pun tidak diperlukan dalam masalah wakaf.36
Di zaman modern perwujudan ijab dan qabul tidak lagi diucapkan,
tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan membayar uang dari
pembeli, serta menerima uang dan menyerahkan barang oleh penjual, tanpa
ucapan apa pun. Misalnya, jual beli yang berlangsung di pasar swalayan.
Dalam fiqh Islam, jual beli seperti ini disebut dengan bai' al-mu'athah.
Dalam kasus perwujudan ijab dan qabul melalui sikap ini (bai' al-
mu'athah) terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh. Jumhur ulama
berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila hal itu sudah
merupakan kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri; karena hal itu telah
menunjukkan unsur rida dari kedua belah pihak. Menurut mereka, di antara
unsur terpenting dalam transaksi jual beli adalah rela sama rela (al-tara'dhi),
sesuai dengan kandungan surat an-Nisa', 4: 29 di atas. Sikap mengambil
barang dan membayar harga barang oleh pembeli, menurut mereka, telah
menunjukkan ijab dan qabul dan telah mengandung unsur kerelaan.
36Mustafa Ahmad az-Zarqa, al-'Uqud al-Musammah, Beirut: Dar al-Fikr, 1982, hlm. 43
68
C. Metode Istinbat Hukum TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli
Dasar pijakan yang diambil oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy dalam
menggunakan metode istinbat hukum terhadap jual beli tanpa lafadz ijab
qabul adalah pertama berdasarkan dalil naqli dan kedua dalil aqli sebagai
berikut:
Pertama berdasarkan dalil naqli:
a. Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 1 Allah swt., berfirman:
فوا بالعقود نوا أو ين آم ا الذ )1: املائدة...( يا أيـهArtinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ;
Al Maidah: 1).37
Menurut T.M.Hasbi Ash Shiddieqy ayat di atas memberi petunjuk
bahwa sempurnakanlah segala macam akad (janji, kontrak) yang telah kamu
akadkan antara kamu dengan Allah, atau antara kamu dengan dirimu sendiri,
atau antara kamu dengan sesama manusia, baik berupa perintah syara',
ataupun larangannya atau akad di antara kamu seperti penjualan, pembelian
dan nikah.38
b. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
37 Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an danTerjemahnya, 1986, hlm.
38 T.M.Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir al Qur’an al Majid an Nur, juz 2, Semarang: PTPustaka Rizki Putra, 1995, hlm. 986.
69
ما كان من شرط . مابال رجال يشرتطون شروطا ليست ىف كتاب اهللاليس ىف كتاب اهللا فهو باطل وأن كان مائة شرط قضأ اهللا أحق
ا الوأل ملن اعتق )رواه البخارى ومسلم(وشرط اهللا أوثق أمنArtinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang
tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidaktersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupunseratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allahlebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagiyang memerdekakannnya". (H.R: Muslim).39
Inilah menurut Hasbi dalil yang paling kuat untuk menolak segenap
rupa syarat yang kita perbuat, jika syarat itu tak ada dalam Al Qur'an dan As
Sunnah. Sebenarnya jika hadits ini kita renungkan benar-benar, nyatalah
kepada kita, bahwa makna hadits itu begini: Mengapa kamu mengerjakan
perbuatan-perbuatan (masyruth-masyruth) yang berlawanan dengan ketetapan
Allah? Segala masyruth yang berlawanan dengan masyruth-masyruth yang
telah ditetapkan Allah, batal; walaupun seratus masyruth. Jadi, tidak diambil
harfiahnya (teks) saja, melainkan konteks. Tegas dikehendaki dengan syarat di
sini, ialah masyruth (pekerjaan yang diberi persyaratan). Mensyaratkan
sesuatu yang dibolehkan Allah, berarti ada dalam kitabullah. Pengertian yang
ini, terpaksa dilakukan begitu; mengingat Nabi saw., menyabdakan hadits ini,
yaitu:
جــأتىن بريــرة فقالــت إىن كاتبــت أهلــى علــى تســع اواق : قالــت عائشــةىف كــــل عــــام اوقيــــة فــــأعينيين فقلــــت إن أحــــب أهلــــك أن أعــــد هــــاهلم
39 TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2001, hlm. 472.
70
ويكــــون والؤك ىل فعلــــت فــــذهبت بريــــرة إىل اهلهــــا فقالــــت هلــــم فــــأبوا : ليــه وســلم جــالسعليهــا فجــأت مــن عنــدهم ورســول اهللا صــلى اهللا ع
اىن قــــد عرضــــت ذلــــك علــــيهم فــــأبوإال أن يكــــون هلــــم الــــوأل : فقالــــتفســـمع النـــىب صـــلى اهللا عليـــه وســـلم فـــأخربت عائشـــة النـــىب صـــلى اهللا
خذيها و اشرتطى هلم الوأل وأمنا الوأل ملن أعنق: عليه وسلم فقالArtinya: "Aisyah r.a berkata: "Barirah datang kepadaku lalu berkata:
"Sesungguhnya aku telah membuat janji dengan pemilikkuuntuk membayar kepadanya sembilan uqiyah, pada tiap-tiaptahun satu uqiyah, maka tolonglah daku". , Maka aku(Aisyah) berkata: "jika pemilikmu menyukai, akumemberikan uqiyah-uqiyah itu kepada mereka dan wala'muuntukku niscaya aku akan melakukan", maka pergilahBarirah kepada pemiliknya menerangkan itu kepadamereka." Pemilik-pemilik tidak mau memberikan wala'kepada Aisyah. Kemudian Barirah datang dari sisi merekakepada Aisyah, sedang Rasulullah saw. lagi duduk di rumahAisyah, Barirah berkata : "Sesungguhnya aku telahmengemukakan yang demikian kepada mereka, lalu merekaenggan, terkecuali kalau wala' itu untuk mereka. Nabimendengar pembicaraan itu, maka Aisyah mengkabarkannyaNabi saw,: Maka bersabdalah beliau; "ambillah Barirah dansyaratkanlah wala' untuk mereka, karena hanya saja wala' ituuntuk yang memerdekakan".40
Anjuran Nabi itu disambut oleh Aisyah dengan girang. Kemudian Nabi
bangun dari tempat duduknya pergi mendapati orang ramai, dan di sana Nabi
berpidato menerangkan: mengapakah kiranya mereka menetapkan syarat-
syarat yang tak ada (berlawanan) dalam Kitabullah ?
Menurut Hasbi, tertolaknya syarat tuan budak itu, bukan karena syarat
itu tak ada dalam Kitabullah, hanya karena berlawanan dengan yang telah ada
dalam Kitabullah. Syara' telah menetapkan bahwa hak wala' itu dimiliki oleh
40Ibid, hlm. 473-474
71
yang memerdekakan itu. Dan pula kejadian ini masuk golongan agama, masuk
golongan pekerjaan agama, yaitu melepaskan atau memerdekakan budak.
Maka dalam urusan agama, wajib kita menanti nash.41
Adapun dalam urusan keduniaan, seperti jual-beli, tidaklah ditunggu
kedatangan nash, kita diberi hak berpegang kepada uruf negeri dan kepada
keridlaan kedua belah pihak.42
Kedua berdasarkan dalil aqli, TM.Hasbi Ash Shiddieqy beralasan
sebagai berikut:
1. Di zaman yang makin maju terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka banyak jual beli yang dilakukan tanpa bertemu muka dan
tanpa ijab.
2. Masyarakat selalu mengalami perubahan dan bergerak sesuai dengan
zaman. Bersamaan dengan itu tuntutan manusia makin mengarah kepada
cara yang lebih praktis misalnya jual beli dengan hanya menggunakan
perantaraan fasilitas teknologi.43
41Ibid, hlm. 474.42Ibid, hlm. 474.43Ibid., hlm. 475.
72
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT TM.HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK
DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI
A. Analisis Pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy Tentang Tidak
Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli
Apabila memperhatikan pendapat TM.Hasbi Ash Shiddieqy tentang
tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli seperti telah penulis
ketengahkan sebelumnya, maka pendapatnya dapat dianalisis seperti di bawah
ini:
Dalam hukum Islam, transaksi ekonomi telah terjadi dan mengikat
kedua belah pihak pada saat mengucapkan 'aqd (baca: 'aqad} untuk
mengadakan suatu perjanjian. Saat mengucapkan pernyataan untuk menjual
suatu barang, begitu juga pihak lain, berarti ia telah menyatakan kesediaannya
untuk membeli, terikatlah kedua belah pihak untuk melaksanakan perjanjian
tersebut.
Transaksi ekonomi dianggap terjadi dan mengikat pada saat
menyatakan keinginan untuk menjual dan menyatakan keinginan untuk
membeli antara kedua belah pihak. Pernyataan tersebut mengandung
komitmen untuk mengadakan suatu perjanjian sehingga berakibat mewajibkan
penjual untuk menyerahkan barang dan berhak menerima harga penjualan,
demikian juga pembeli berkewajiban membayar harga serta berhak menerima
barang pembelian tersebut.
73
Dalam hukum Islam,1 yang menjadi dasar untuk adanya perjanjian
adalah pernyataan-pernyataan yang diucapkan serta mengandung janji-janji
antara kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum tertentu.
Setelah terwujudnya suatu janji, timbullah hubungan hukum yang
mengikat, masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya
sebagaimana pernyataan yang telah diucapkan bersama. Hal ini dikarenakan
dalam hukum Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menunaikan setiap
janji yang telah mereka buat secara suka rela. "Janji itu diumpamakan sebagai
tali yang justru dapat putus dan dapat menjadi kuat".2
Selanjutnya hukum Islam menetapkan bahwa setiap janji itu harus
dipenuhi. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:
فوا بالعقود نوا أو ين آم ا الذ )1: املائدة...( يا أيـهArtinya: Hai orang-orang beriman, penuhilah janji-janjimu... (al-
Maidah: 1).
1Kesepakatan ini dinyatakan dalam bentuk sighat 'aqad. Sighat 'aqad artinya pernyataanijab dan qabul oleh kedua belah pihak. Ijab dan qabul ini termasuk salah satu rukun jual beli.Sighat 'aqad dapat dilakukan secara lisan, tulisan, isyarat, atau perbuatan. Yang disebut terakhir inimerupakan cara lain untuk membentuk 'aqad dan paling sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, sorang pembeli menyerahkan sejumlah uang; kemudian penjual menyerahkanbarang kepada pembeli. Cara ini disebut jual beli dengan saling menyerahkan harga dan barangatau disebut juga mu'athah. Demikian pula ketika seseorang naik bus menuju ke suatu tempat;tanpa kata-kata atau ucapan (sighat) penumpang tersebut langsung menyerahkan uang sehargakarcis sesuai dengan jarak yang ditempuh. Sewa menyewa ini disebut juga dengan mu'athah.Selanjutnya, dalam dunia modern sekarang ini, 'aqad jual beli dapat terjadi secara otomatis denganmenggunakan mesin atau otomat. Dengan memasukkan uang ke mesin, maka akan keluar barangsesuai dengan jumlah uang yang dimasukkan. Demikian juga, pembelian barang denganmenggunakan credit card (kartu kredit), transaksi dengan pihak bank melalui mesin otomatis, dansebagainya. Perlu dicatat bahwa yang terpenting dalam cara mu'athah ini, untuk menumbuhkan'aqad maka jangan sampai terjadi pengecohan atau penipuan. Segala sesuatu harus diketahui secarajelas; atau transparan. Suatu 'aqad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam'aqad jual beli, misalnya, 'aqad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milikkepada pembeli dan harganya telah menjadi milik si penjual. Sedangkan 'aqad dalam pegadaiandan kafalah (pertanggungan) dianggap telah berakhir apabila utang telah dibayar (Ed.). Informasilebih lanjut mengenai 'aqad lihat Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (HukumPerdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2000.
2Mohd. Dahlan, et.al., Tafsir Ayat-Ayat Hukum dan Uraian Perintah-perintah dalam al-Qur'an, Bandung: CV. Diponegoro, 1976, hlm.141.
74
Perintah ini merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan.
Apabila diucapkan suatu janji untuk mengadakan transaksi ekonomi, terikatlah
kedua belah pihak antara calon pembeli dan calon penjual. Janji itu harus
dengan kata-kata jual dan beli, misalnya, penjual berkata, "Sudah saya jual
kepadamu" dan pembeli menjawab, "Sudah saya beli darimu."
Selanjutnya, Imam Malik menyebutkan bahwa perjanjian jual beli
telah terjadi dan mengikat kedua belah pihak jika masih berada dalam suatu
majelis atau tempat, kecuali ada alasan lain untuk itu. Sementara itu, menurut
Imam al-Syafi'i transaksi ekonomi biasa telah terjadi dengan kata-kata yang
jelas dan kata-kata kinayah (sindiran).3 Perjanjian jual beli telah terjadi dan
mengikat apabila masih dalam suatu tempat terjadinya penawaran. Dalam
suatu tempat pembicaraan untuk membuat suatu perjanjian itu, tidak boleh
terpisah sebelum adanya suatu kepastian untuk membeli atau tidak terhadap
suatu barang yang diperjualbelikan.
Dasar terjadinya perjanjian menurut hukum Islam adalah janji-janji
yang diucapkan oleh pihak-pihak dalam mengadakan transaksi. Pihak yang
satu mengucapkan kemauannya untuk menjual barang; begitu juga pihak yang
lain menyatakan kesediaannya untuk membelinya sehingga bertemulah dua
kemauan, yaitu menjual dan membeli. Penjual berkewajiban menyerahkan
barang kepada pembeli, sedangkan pembeli berkewajiban menyerahkan uang
kepada penjual sebagai harga penjualan. Karena menurut hukum Islam, setiap
perkataan yang diucapkan oleh seseorang harus dapat dipegang. Jadi, harus
3Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Semarang: Maktabah waMatba'ah Karya Toha Putra, tth, juz 2, hlm. 128.
75
ada konsekuensi terhadap perkataan atau ucapan yang telah diucapkan.
Memang hal ini merupakan suatu tuntunan yang diamanahkan Rasulullah
SAW:
اية املنافق ثالث إذا حدث كذب وإذاوعد أخلف وإذاؤمتن خانArtinya: Tanda orang munafik ada tiga, yakni apabila berbicara ia
berdusta, apabila berjanji ia mengingkarinya, dan apabiladipercaya ia berkhianat.4
Dalam hadits tersebut, tampak bahwa setiap pernyataan yang
diucapkan harus ditepati dan dinyatakan secara jujur.
علون ا ال تـف تـقولون م نوا مل ين آم ا الذ )2: الصف(يا أيـهArtinya: Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu kerjakan. (al-Shaf: 2).
Pada saat mengucapkan janji yang berdasarkan kesukarelaan,
terikatlah kedua belah pihak untuk menunaikan janji tersebut. Jika tidak
dilaksanakan terhadap suatu janji yang telah diucapkan, berarti telah
melakukan perbuatan tercela dan dosa, yang dalam hadits tersebut disebut
sebagai salah satu ciri orang munafik. Demikian pengaturannya mengenai
konsekuensi terhadap janji-janji yang telah diucapkan menurut ketentuan
hukum Islam. Dengan begitu, akan terwujudlah ketentraman dalam
masyarakat apabila setiap perkataan yang diucapkan itu dapat dipertanggung
jawabkan pelaksanaannya. Dalam praktik sehari-hari, terlihat bahwa transaksi
jual beli terjadi karena adanya ijab dan qabul. Hal ini merupakan perbuatan
4Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari,Sahih al-Bukhari, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M, tth., hlm. 15.
76
serah terima antara penjual dan pembeli, meskipun harganya telah dibayar
lunas.
Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa ijab dan qabul mempengaruhi
terjadinya perjanjian jual beli. Salah satu pihak tidak boleh terlambat dari
pihak lain. Penjual mengatakan maksudnya untuk menjual, tetapi pembeli
diam saja dan tidak menerima jual beli sehingga kedua belah pihak berpisah
kemudian pembeli datang dan berkata "Saya terima," kata-kata tersebut tidak
mengikat bagi si penjual5
Dalam hukum Islam, memungkinkan juga terjadinya jual beli
berdasarkan perantaraan atau alat komunikasi lainnya. Jika terjadi suatu
tawaran terhadap suatu barang kepada pihak lain dengan mengucapkan atau
menuliskan kehendaknya itu dan disampaikan kepada pihak lain, bagi dirinya
(calon penjual) telah mengikat, begitu juga pihak lain setelah mengucapkan
kehendaknya untuk membeli, terikatlah kedua belah pihak yang bersangkutan,
rasa terikat itu masih terpisah antara satu dan yang lain. Hal ini lebih pantas
saat terikatnya terhadap suatu perjanjian, jika pihak lain telah memberitahukan
kepada pihak yang melakukan penawaran dan telah mengetahui bahwa
tawaran itu telah disetujui oleh pihak lain.
Kemudian, perjanjian jual beli telah terjadi dan telah mengikat kedua
belah pihak sejak diucapkannya pernyataan untuk mengadakan suatu
perbuatan hukum tertentu. Kedua belah pihak tersebut tidak boleh memungkiri
ucapannya, kecuali pihak lain telah membatalkannya. Dalam hal ini, untuk
5Ibnu Rusyd, loc. cit
77
terwujudnya suatu kedamaian dan ketentraman dalam masyarakat sudah
sepantasnyalah hal tersebut merupakan pegangan karena hukum Islam
merupakan hukum yang lebih akurat, ulet, dan fleksibel daripada hukum
buatan manusia.
Dalam pada itu, transaksi jual beli yang masih dalam suatu majelis,
penjual dan pembeli bisa menarik kembali pernyataan tersebut sesudah
menelitinya selama kedua belah pihak belum berpisah. Janji atau 'aqad adalah
Pernyataan yang diucapkan oleh kedua belah pihak untuk melaksanakan suatu
perbuatan hukum. Dalam kaitan ini, Adnan Lubis menyebutkan bahwa yang
terpenting dalam hukum 'aqad adalah:
1. Sifat atau keadaan orang yang melakukan 'aqad.
2. Apa yang boleh dan tidak boleh disetujui atau di'aqad-kan.
3. Bagaimana mestinya tanda-tanda penyerahan dan penerimaan atau tanda
kerelaan masing- masing yang ber'aqad.
4. Adanya kebebasan kedua belah pihak dalam melakukan 'aqad itu, menurut
kemauan mereka dengan tidak terbatas seperti ditetapkan syarat-syarat
yang disetujui mereka atau adanya batasan-batasan tertentu.6
Penjualan itu hukumnya sah jika telah ada kerelaan antara kedua belah
pihak. Tanda rela dapat diwujudkan dengan ucapan atau dengan menanda-
tangani suatu surat perjanjian. Kemudian, penjual menyerahkan barang yang
dijual kepada pembeli dan pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang
tersebut. Dengan demikian, terwujudlah kerelaan kedua pihak, Sehubungan
6Adnan Lubis, "Hukum Persetujuan", Majalah al-Islam, No. 3-4, Medan: FirmanIslamiyah, 1959, hlm. 51.
78
dengan ini, Hasbi Ash Shiddieqy menjelaskan, di dalam perjanjian jual beli
tidak perlu para penjual mewujudkan suka rela itu dengan mengucapkan
kalimat ijab, begitu pula para pembeli menyahut lafaz qabul. Terwujudnya
suka sama suka itu tidak mesti dengan ucapan.7 Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah Saw.:
8)روا اىب ماجة(أمنا البيع عن تراض
Artinya: Hanya saja jual beli itu saling merelakan. (Hadis RiwayatIbnu Majah).
Dalam transaksi jual beli itu, harus adanya kerelaan antara kedua belah
pihak. Dalam hal ini, Sulaiman Rasyid menyebutkan, "Suka sama suka itu,
tidak dapat diketahui secara jelas melainkan dengan perkataan yang
menunjukkan akan suka seseorang dengan seseorang.... Apabila adat telah
berlaku yang seperti itu sudah dipandang jual beli, itu saja sudah cukup,
karena tidak ada suatu dalil yang terang untuk mewajibkan lafaz". Sementara
itu, jumhur ulama berpendapat bahwa pengucapan lafaz diwajibkan dengan
syarat keadaan lafaz itu memenuhi beberapa ketentuan berikut ini:
1. Keadaan ijab dan qabul berhubung. Artinya salah satu keduanya pantas
menjadi jawaban dari yang lain karena belum berselang lama.
2. Hendaklah mufakat (sama) makna keduanya walaupun lafaz keduanya
berlainan.
7T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1970, hlm 1938Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Yazid ibnu Majah al-Qazwini, Sunan Ibnu
Majah, Tijariyah Kubra, Kairo, tth., hlm 737.
79
3. Keadaan keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti
katanya, "Kalau saya M jadi pergi; saya akan menjual barang itu dengan
harga sekian".
4. Tidak dibatasi oleh waktu sebab jual beli yang dibatasi oleh waktu seperti
sebulan atau setahun tidak sah.9
Dengan terjadinya transaksi ekonomi secara suka rela dari kedua belah
pihak, perjanjian jual beli tersebut sudah mengikat, meskipun belum ada ijab
dan qabul. Hal ini juga dinyatakan dalam al-Qur'an:
ون ل إال أن تك م بالباط نك م بـيـ الك و لوا أم نوا ال تأك ين آم ا الذ يا أيـه م اض منك )29:النساء... (جتارة عن تـر
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakanharta benda di kalanganmu secara batil, kecuali apabila hal itudilakukan dengan jual beli yang saling rela di antaramu. (al-Nisa':29).
Menurut analisis penulis bahwa pendapat TM.Hasbi ash Shiddieqy
tidak bertentangan dengan dalil naqli karena tidak ada satupun dalil al-Qur'an
dan hadits yang menyuruh jual beli harus dengan ijab. Hal itu dapat
dimengerti karena teknis jual beli masuk dalam bidang muamalah yang lebih
cenderung menyerahkan kepada manusia sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman. Karena itu pendapat TM.Hasbi Ash Shiddiqie sesuai
dengan perubahan zaman. Dengan melalui kecanggihan fasilitas teknologi,
maka orang bisa melalukan jual beli tanpa harus saling mengenal melainkan
cukup lewat internet. Kenyataan ini tidak bisa dihindari karena zaman
9Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Jakarta: al-Thahiriyah, 1976, hlm. 272.
80
menuntut seperti itu. Karenanya konsep pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy
sangat tepat dan realistis dengan situasi dan kondisi manusia.
Penulis berpendapat bahwa dewasa ini banyak jual beli yang dilakukan
tanpa Lafadz Ijab Qabul dengan menggunakan jasa elektronika seperti jual
beli melalui via internet, melalui media elektronika dan sebagainya. Karena
jual beli perantaraan jasa elektronika tidaklah menyalahi aturan hukum Islam.
Karena tidak ada satu dalil pun yang mengharuskan jual beli dengan ijab
qabul, yang penting jual beli itu dilakukan saling rida meridlai dan tidak
adanya unsur menipu atau perbuatan curang.
B. Analisis Metode Istinbat Hukum TM. Hasbi Ash Shiddieqy Tentang
Tidak Diperlukannya Lafadz Ijab Qabul dalam Jual Beli
Dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan oleh TM. Hasbi
Ash Shiddieqy, maka ia menggunakan metode istinbat hukum terhadap jual
beli tanpa lafadz ijab adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur'an surat al-Maaidah ayat 1 Allah swt., berfirman:
فوا بالعقود نوا أو ين آم ا الذ )1: املائدة...( يا أيـهArtinya: "Hai orang-orang beriman, penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ;
Al Maidah: 1).10
Ayat al-Qur'an ini mengisyaratkan bahwa jual beli merupakan
bagian dari hukum perjanjian yang di dalamnya memuat janji antara
pembeli dan penjual. Maka ketika ada pengiriman barang dari penjual dan
10Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an danTerjemahnya, 1986, hlm.
81
pembeli kemudian menerima barang itu, maka sejak saat itu pembeli harus
memenuhi janjinya yaitu membayar barang yang sudah diterimanya. Hal
itu dianggap sudah terjadi ijab dan qabul meskipun ijab qabul itu tidak
diucapkan.
Dengan demikian penulis berpendapat bahwa dalil di atas sangat
tepat dijadikan dasar pijakan untuk membolehkan jual beli Tanpa Lafadz
Ijab Qabul, dan dengan demikian pula tepatlah istinbat hukum Hasbi
b. Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
ما كان من شرط . مابال رجال يشرتطون شروطا ليست ىف كتاب اهللاليس ىف كتاب اهللا فهو باطل وأن كان مأية شرط قضأ اهللا أحق
ا الوأل ملن اعتق )رواه البخارى ومسلم(وشرط اهللا أوثق أمنArtinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai syarat yang
tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidaktersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupunseratus syarat. Keputusan Allah lebih benar, syarat Allahlebih kokoh, hak kekuasaan (atas bekas budak) tetap bagiyang memerdekakannnya". (H.R: Imam Muslim).11
Menurut analisis penulis bahwa hadis di atas memberi petunjuk bahwa
syarat jual beli dengan ijab qabul tidak ada dalam al-Qur'an dan hadis. Karena
tidak ada dalam al-Qur'an dan hadis maka ijab qabul bukan merupakan syarat
sahnya jual beli. Dalam hadis di atas ditegaskan bahwa segala syarat apa saja
yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan hadis maka itu bukan syarat yang bisa
mempengaruhi keabsahan jual beli. Dengan demikian penulis berpendapat
11TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2001, hlm. 472
82
bahwa hadis ini dijadikan dalil oleh Hasbi sebagaimana tertera dalam bukunya
Pengantar Hukum Islam.12
12Ibid., hlm. 472.
83
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mencermati uraian dari bab per-bab sebelumnya, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy jual beli itu dianggap sah bila terjadi
dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan dapat dilakukan
dengan ucapan dan dapat pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak
itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang,
maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu
mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan. Atas
dasar inilah dapat dipandang sah penjualan tanpa lafazd ijab qabul.
2. Metode istinbat hukum yang digunakan TM.Hasbi Ash Shiddiqie adalah
al-Qur'an surat al-Maidah ayat 1 yang artinya: "Hai orang-orang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu " (QS. 5 ; Al Maidah: 1), dan hadits riwayat
Imam Muslim yang artinya: "Mengapakah mereka menentukan berbagai
syarat yang tidak disebut dalam Kitabullah. Segala syarat yang tidak
tersebut atau tak ada dalam Kitabullah, batal; walaupun seratus syarat.
Keputusan Allah lebih benar, syarat Allah lebih kokoh, hak kekuasaan
(atas bekas budak) tetap bagi yang memerdekakannya". (H.R: Bukhari
Muslim).
84
B. Saran-saran
1. Untuk Masyarakat
Masyarakat yang melakukan jual beli dengan lafadz ijab harus
didukung sebagai kebenaran sebaliknya bagi masyarakat yang tidak
menggunakan lafadz ijab harus dihargai sebagai sebuah pendapat. Dengan
demikian perbedaan perbedaan harus dihargai selama menggunakan
kaidah-kaidah yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan
2. Untuk Perguruan Tinggi
Kajian terhadap tokoh TM.Hasbi Ash Shiddiqie, cukup menarik
karena tidak sedikit pendapatnya terasa aktual. Karena itu hendaknya
kajian terhadapnya lebih dibuka lagi kemungkinannya untuk diteliti.
C. Penutup
Alhamdulillah penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT
atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini
masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu saran dan kritik dari para
pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abul Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayat alMujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Semarang: Maktabah wa Matba'ahKarya Toha Putra, tth, juz 2
Syarifuddin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003
Depag RI, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’andan Terjemahnya, 1986
Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993
Sayid al-Iman Muhammad ibn Ismail ash-San’ani, Subul as-Salam Sarah Bulughal-Maram Min Jami Adillat al-Ahkam, Mesir: Mushthafa al babi al-HalabiWa Auladuh, 1379 H/1960 M
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tth, juz 3
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: CV. Rajawali, 1982, Cet.Ke- 4
Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: al-Thahiriyah, 1976
Wignyodipuro, Surojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983,Cet ke-3
Ash Shiddiqy, T.M.Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang Pustaka RijkiPutera, 2001
____________________, Tafsir al Qur’an al Majid an Nur, juz 2, Semarang: PTPustaka Rizki Putra, 1995
____________________, Al-Islam, jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra,2001
_____________________, Pengantar Ilmu Fiqh, Semarang: PT.Pustaka RizkiPutra, 1999
Lubis, Adnan, "Hukum Persetujuan", Majalah al-Islam, No. 3-4, Medan: FirmanIslamiyah, 1959T
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
belum
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Sulakhudin
Tempat/Tanggal Lahir :,
Alamat Asal :
Pendidikan : - SDN lulus th 1998
- MTs lulus th 2001
- MA lulus th 2004
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2005
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Sulakhudin
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA
Nama : Sulakhudin
NIM : 052311036
Alamat : .
Nama orang tua : Bapak
Alamat :
Pekerjaan :
Top Related