ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NOMOR
23 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh:
AINUR RAHMAN
NIM : 109044100054
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2014 M/1435 H
ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NOMOR
23 TAHUN 2006
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Ainur Rahman
NIM : 109044100054
Dibawah Bimbingan
Dr. H. JM. Muslimin, MA.,
NIP. 196808121999031014
PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2014 M/1435 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI
INDONESIA SETELAH BERLAKLINYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN NoMoR 23 TAHUN 2006" telah diujikan dalam sidang
munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah "Iakarta pada 9
Mei 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana syariah (S.SV) pada Plogram Studi Ahwal al-syakhshiyah.
Jakarta, 9 Mei 2014
M'eqggsahkan
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.,
NIP. 19s00306197603 1001
Hj. Rosdiana" MA..
NIP. 1 96906 1 02003 122001
Dr. H. JM. Muslimin, MA.,
NrP. 1 9680812199903 t0I4
Drs. H. A" Basiq Djalil, SH.. MA"
NIP. 19s00306197603 1001
H. Kamarusdiana, S.Ag, MH.,
NIP. 1 9720224199803 1 003
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
z;.."ttffi' /,7i;i\{lRr' ] 96808 12199903 101 4
{........................ .)Penguji iI
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;
Nama
NPM
Jurusan
: Ainur Rahman
:1040100054
: Peradilan Agama
Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :
1. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
pembimbing.
2. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atav pendapat yang telah di tulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini di buat dengan sebenarnya, apablla dikemudian hari
terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
.Iakarta
Yang \z!g$!.rla!
v
ABSTRAK
Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia setelah Berlakunya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006” oleh
Ainur Rahman, mahasiswa jurusan Peradilan Agama Fakultas Hukum dan
Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mana pada dasarnya agama apapun tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dan didalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang syah adalah menurut agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) dan selama bertahun-tahun ditafsirkan bahwa (UUP) sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama. Namun adanya aturan baru tentang perakwinan beda agama yang sama-sama memiliki kedudukan setingkat dalam perundang-undangan enjadi pertanyaan baru. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalah ini dengan mengaangkat rumusan masalah terkait kedudukan dan keabshan perkawinan beda agama.
Dibuatnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 35. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undanga-undang dengan isu yang dihadapi.
Hasil dari penelitian skrispsi ini yaitu bahwa aturan yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) terkait beda agama merupakan aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum bukan menghapus ketentuan yang lama, sehingga Undang-Undang Perkawinan masih beralaku dalam sistem peraturan nasional di bidang perkawinan. dibuatnya aturan tentang perkawinan beda agama ini dianggap sebagai solusi bagi pelaku perkawinan beda agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan pengadilan atau mengisi kekosongan hukum namun ternyta pasal ini malah menimbulkan masalah yang lebih rumit. Aturan yang dimuat yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada kenytaanya lebih dominan kepada adanya pertentanga dengan nilai-nilai agama sehingga jika dikaji secara horizontal maka aturan ini memiliki pertentangan dengan sistem hierarki tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Beda Agama, Undang-Undang Administrasi
Kependudukan
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS
PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN
2006” Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh dalam
menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Hukum dan Syariah di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa
skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang
diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Bapak. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing
utama, atas waktu, bimbingan, serta saran-sarannya dalam menyusun skripsi ini.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua
dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Rumadi, MA., selaku dosen akademik, atas waktu, kesabaran, dan
bimbingan, dalam menyusun skripsi ini.
4. Bapak Dennie Arsan Fatrika SH., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bogor yang
telah memberikan informasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dengan
vii
bijaksana membantu dan mengarahkan penulis dalam pengumpulan data selama
proses pelaksanaan observasi dalam penulisan skripsi ini.
5. Ayah dan Ibu, kakak serta adik-adikku di rumah yang memberi kasih sayang,
doa, dorongan dan dukungannya baik materiil maupun spiritual serta
memberikan motivasi kepada penulis dengan ketulusan.
6. Teman-teman kelas Peradilan Agama “B” yang selalu mendukung dan mengisi
hari-hari penulis dengan keceriaan.
7. Dosen-dosen, staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas
dukungannya.
8. Pihak-pihak lain yang terlibat dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir
kata penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika dalam pembuatan skripsi ini
penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja.
Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, April 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 10
D. Studi Review .................................................................................... 11
E. Metode Penelitian ............................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15
BAB II PERKAWINAN................................................................................... 17
A. Kajian Umum Tentang Perkawinan ................................................. 17
B. Tujuan Perkawinan ........................................................................... 26
ix
C. Syarat-Syarat Syahnya Perkawinan .................................................. 30
D. Pencatatan Perkawinan ..................................................................... 37
BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 41
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dari Sudut
Pandang Berbagai Agama di Indonesia .......................................... 41
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam
Hukum Positif di Indonesia ............................................................. 56
C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek ....................... 66
D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama ................................... 69
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN
PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 73
A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang No
23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................... 74
B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................................... 82
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 109
A. Kesimpulan .................................................................................... 109
B. Saran ............................................................................................... 113
x
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 115
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 200
1. Surat Permohonan Data/Wawancara.............................................. 200
2. Surat Bukti Wawancara.................................................................. 201
3. Hasil Wawancara ........................................................................... 202
4. Penetapan Nomor 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr .................................... 206
5. Penetapan Nomor 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj ................................... 212
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan
dengan makhluk lainnya, dengan kelebihan yang ada pada manusia maka sudah
sewajarnya bahwa manusia seharusnya menggunakan kelebihan tersebut dengan
baik.Manusia sebagai makhluk hidup dan sosial memiliki kebutuhan-kebutuhan
untuk melangsungkan eksitensinya sebagai makhluk.Manusia sebagai makhluk
sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.
Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Kebutuhan manusia
sangatlah banyak maka dari itu Maslow mengklasifikasikannya kedalam empat
bentuk yaitu dilihat dari hierarki atau dasar hakikat manusia antar lain : The
Physiological Needs (kebuthan fisik), The Safety Needs (rasa aman), Love Needs,
The Esteem Needs, The Needs For Self –Actualization.1 Kebutuhan fisiologis itu
sendiri adalah kebutuhan seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dapat diterima
dengan baik jika adanya hubungan seksual dengan lawan jenis yaitu antara wanita
dengan seorang pria. Namun dengan demikian hubungan seksual itu dapat
dilakukan melalui dua hal yaitu dengan cara ikatan perkawinan maupun tanpa
ikatan perkawinan atau hubungan seksual yang tak sah. Hubungan seksual tanpa
1 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,
2004), h. 16.
2
ikatan perkawinan yang sah dipandang sebagai aib dan perbuatan tersebut
dilarang norma masyarakat Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa hubungan
seksual yang dapat diterima oleh norma msyarakat Indonesia hanya melalui
perkawinan dan yang melatarbelakangi perkawinan adalah untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia.2
Perkawinan sendiri sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak dapat
lagi dipisahkan, Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan
keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia perbedaan
suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan perempuan yang
akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum negara Indonesia
tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang
berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Hal ini sesuai dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari bermacam-macam
suku dan adat istiadatnya, karena banyaknya perbedaan dan keragaman sering kali
menimbulkan masalah yang sangat komplek, misalnya perkawinan antar negara
ataupun yang labih rumit perkawinan antar agama.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan dalam Pasal 1
Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu :
“Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
2 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,
2004,) h. 21.
3
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Walaupun tentang
perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang
berkaitan dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-
Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.4
Fenomena perkawinan antar agama, bukanlah hal baru di Indonesia.
Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-
muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan
Kalima pada awal tahun 2005 lalu, di mana Deddy yang Katolik dinikahkan
secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan
Paramadina. Pengadilan Negeri Bogor sendiri telah mengeluarkan suatu
penetapan dan memberikan izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama
serta memerintahkan pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
(KCS) Kota Bogor untuk mendaftarkan suatu perkawinan beda agama (No.
111/Pdt.P/2007 / Pn.Bgr,)
3 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun
1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hill Co, 1990), h.3.
4 Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreini Carolina Palandi,
Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.
4
Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan
adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Dalam Islam
sendiri sudah jelas tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut
KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu
Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44.5 Hanya saja materi yang termuat dalam pasal
tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.
Dalamajaran Islam sendiri wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki non
muslim (QS al-Baqarah [2] : 221) selain itu dalam ajaran Kristen perkawinan
beda agama dilarang (I Korintus 6 : 14-18 )6. Agama Kristen Katholik secara
tegas menyatakan perkawinan antara seorang Katolikdengan penganut agama lain
adalah tidak sah (Kanon;1086), namun gereja memberikan dispensasi dengan
persyaratan yang ditentukan hukum gereja (Kanon;1125).7 Dispensasi dalam
realisasinya diberikan oleh Uskup setelah memenuhi persyaratan tertentu dan
kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis Pertama yang beragama Katolik
berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik
anak-anak mereka secara Katolik, Kedua, mereka yang tidak beragama Katolik
berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang
5 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 berbunyi : Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu pada huruf (c) seorang wanita
yang tidak beragama Islam. Dan Pasal 44 berbunyi : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus
Media, 2010), h. 16.
6 Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha,
2010,) h. 31.
7 Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah
dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat yahudi maupun kristiani.
5
beragama Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik
melaksanakan imannya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.
Menurut hukum Hindu suatu perkawinan hanya sah jika dilaksanakan upacara
suci oleh Pedende, dan Pedende hanya mau melaksanakan upacara pernikahan
kalau kedua calon pengantin beragama Hindu maka perkawinan orang Hindu
yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan.
Sehubungan dengan soal keabsahan dari perkawinan beda agamayang
masih menjadi dualisme yang dipertanyakan dan selama ini pelaksanaanya masih
belum mendapat kejelasan kini telah mendapat suatu dasar hukum yaitu
berdasarkan penetapan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang mana dalam salah satu pasalnya
Pasal 35 berbunyi: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 berlaku pula bagi :
a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan
b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan
Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf
(a) yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah
perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama8. Sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa Kantor Catatan Sipil kini memiliki kewenangan
8 Lihat Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), h. 17.
6
baru,yang sebelumnya hanya berwenang mencatatkan perkawinan selain
pasangan non-muslim sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983
tentang Penataan, Pembinaan, Penyelenggaraan Catatan Sipil yang pada Pasal 1
ayat 2 huruf (a) menyatakan kewenangan dan tanggung jawab di bidang catatan
sipil adalah: menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran,
akta kematian, akta perkawinan dan akta perceraian bagi mereka yang bukan
beragama Islam.9 Kemudian diperkuat dengan keputusan Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15 Tahun 1999 tentang Prosedur
Pelayanan Masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta Pasal 5
ayat (1) yang menyatakan setiap perkawinan WNI atau WNA yang telah sah
dilaksanakan oleh pemuka agama selain agama Islam dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 hari sejak peristiwa perkawinan.Dengan
adanya peraturan-peraturan tersebut maka Kantor Catatan Sipil tidak lagi
berwenang mengawinkan pasangan beda agama walaupun ada perintah dari
pengadilan untuk melaksanakannya.
Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Adminitrasi Kependudukan, Kantor Catatan Sipil memiliki tugas baru yaitu selain
mencatat perkawinan non-Islam kini juga mencatat pasangan beda agama. Jika
dilihat dari poin Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur ilegal
yang sering dilakukan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, ketentuan
9 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 12 Tahun 1983 Tentang
Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Presiden Republik Indonesia
7
pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan atas
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 terhadap Pasal 2 ayat 1 ini,
berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud
dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
undang-undang ini. Pasal 8 huruf (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Walaupun bunyi Pasal 8 huruf(f)
Undang-Undang Perkawinan , tidak tegas menyebutkan larangan perkawinan
beda agama, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap agama di
Indonesia melarang perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal tersebut
diperkuat dengan bunyi penjelasan atas Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Hal ini memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas
suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu
ketentuan undang-undang yang lain.10
Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah hukum negara telah
mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda
agama tersebut dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) UndangUndang
10
Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara Undang-Undang
Perkawinan dan Undang-Undang Adminduk, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013. h. 52
8
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan
pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat
pengaturan tersendiri. Berdasarkan hal yang diuraikan di atas penulis tertarik
untuk mengangkat topik yang berjudul: “Analisa Yuridis Perkawinan Beda
Agama di Indonesia Setelah diberlakukannya Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006”
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Dalam hal ini penulis hanya membatasi permasalahnya terkait dalam
keabsahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006
itu sendiri, yang mana disebutkan dalam salah satu pasalnya yaitu tentang
penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan ”perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang
berbeda agama, yang esensinya bertolak belakang dengan Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga hal ini membuka
celah baru bagi pasangan untuk menikah beda agama atau hal ini memiliki
peraturan yang terpisah ataukah pengecualian.
Secara deskriptif dapat ditarik permasalahanya bahwa Undang-Undang
Perkawinan dalam Pasal 2 menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan (UUP) adalah dasar hukum dilarangnya perkawinan beda
agama karena tidak ada agama di Indoesia dengan bebas memperbolehkan
9
umatnya menikah dengan penganut agama lain. KHI (Kompilasi Hukum Islam)
pun tegas melarang perkawinan beda agama akan tetapi kenyataanya perkawinan
beda agama saat ini bukan lagi rahasia umum, hal ini di buktikan dengan adanya
putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor(No. 111/Pdt.P/2007/Pn.BGR) dan
Pengadilan Negeri Lumajang Nomor (No. 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj) yang berisi
tentang pemberian izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama karena
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan terutama Pasal 35 yang menjadi dasarnya. Akibat lahirnya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut tanpa sadar telah
melegalkan perkawinan beda agama untuk disahkan dengan dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil.
Dari rumusan masalah tersebut penulis kembangkan pada bentuk
pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan
segala akibat perkawinan beda agama tersebut?
2. Bagaimana keabsahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal
35 huruf (a)
3. Apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) UndangUndang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengecualian dari
berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 atau perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri?
10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini adalah dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23
Tahun 2006 terutama dalam Pasal 35 huruf (a) berlaku dan apakah keberadaan
Pasal 35 huruf (a) UndangUndang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun
2006 merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 dan berarti perkawinan beda agama telah
mendapat pengaturan tersendiri. Dan tujuan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran dan pemahaman tentang bagaimana perkawinan itu sendiri
berkembang dan apa saja yang menjadi polemik yang termuat dalam aturan yang
sudah ada dan dilakukan sebagai pemahaman tentang asas perkawinan yang
berkembang di Indonesia, dengan mencoba mengidentifikasi isu-isu yang bisa
dipecahkan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi
kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut:
1. Penelitian ini secara khusus bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka
menganalisadan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan
masalah dalam penelitian.
2. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan kontribusi
pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum khususnya hukum
perdata dibidang perkawinan. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi
serta manfaat bagi individu, para penegak hukum dan masyarakat maupun
11
pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bagian informasi bagi masyarakat
mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan
perkawinan beda agama yang dilangsungkan didalam dan di luar negeri.
3. Untuk menjadi bahan referensi oleh pembaca baik mahasiswa, dosen, maupun
masyarakat umum.
D. Studi Review
Sebelum penulis membuat skrispi ini penulis melakukan telaah terlebih
dahulu mencari teks-teks atau naskah-naskah yang memiliki kesamaan dengan
tema atau malah sama percis dengan tema yang penulis angkat, hal ini dilakukan
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi plagiat (pencotekan
hak cipta). Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa naskah skripsi terdahulu
yang memiliki kaitan dan kesamaan.
Skripsi yang berjudul Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis
tentang Perkawinan Beda Agama karya Anih Robbani Tahun 2011 lebih
menekannkan tentang perubahan Kompilasi Hukum Islam yang diusung kaum
feminisme sudah tidak relevan dan tentang konsep perkawinan beda agama yang
di gagas kaum feminisme. Sedangkan skripsi yang berjudul Hak Anak dalam
Memilih Agama dari Pasangan Beda Agama karya Azazi Tahun 2008, lebih
menegaskan tentang hak-hak anak, kebebasan anak dalam menetukan pilihanya
dari pasangan beda agama dari persepktif Hak Asasi Manusia (HAM).
12
Jika penulis simpulkan dari skripsi-skripsi terdahulu jelas sekali perbedaan
yang dapat dilihat yang mana dalam pembahasan yang penulis angkat ini adalah
tentang aturan adanya celah baru tentang pelegalan perkawinan antar agama,
sedangkan skripsi terdahulu belum ada tentang aturan yang terkait atau sebelum
adanya aturan yang penulis angkat.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum
positif tertulis itu singkron atau bertentangan. Ada beberapa jalur dapat dilakukan
antara lain:11
1. Vertical yaitu dengan cara melihat suatu peraturan perundang-undanganyang
berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antar
satu dengan yang lainapabila dilihat dari sudut vertical atau hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Horizontal yaitu melihat dan meninjau peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang sama.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode antara lain:
1. Pendekatan Masalah
Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-
11
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo, 2005 ), h. 94.
13
undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain
yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun
2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara
Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada
tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undang-undang dengan
isu yang dihadapi.12
2. Sumber dan Jenis Data
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini penulis
menggunakan sumber dan jenis data library research yaitu penelitian yang
dilakukan di Kepustakaan.
Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan maka
penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research) yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-
masalah yang akan diteliti seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
Peraturan tentang perkawinan Gemengde Huwelijken Regeling (GHR)
Staatsblad 158-1898, norma dasar Pancasila, dan Yurisprudensi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 94.
14
mengenai bahan hukum primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah
hasil karya dikalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah
yang diteliti, memahami bahan hukum primer adalah rancangan peraturan
perundang-undangan,hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya ilmiah para
sarjana.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus bahasa
hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan internet.13
Tempat penelitian kepustakaan ini adalah:
a. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Perpustakaan Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Buku hukum dari koleksi pribadi.
d. Situs-situs hukum dari internet
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data ini penulis berusaha mencari dan
mengidentifikasi setiap masalah, baik bahan hukum primer maupun sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permsalahannya lalu dirumuskan sesuai isu
yang diteliti dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji
secara komprehensif. Adapun bahan hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan maupun artikel akan penulis uraikan
13
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 29.
15
dan hubungkan sehingga disajikan dalam penulisan yang sitematis guna
menjawab permasalahan. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul akan dipergunakan metode analisis normatif
kualitatif dengan menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis dan outentik
karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai
norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang
bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang
bersifat ungkapan monografis dari responden.
F. Sitematika Penulisan
Dalam skripsi ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab,
masing-masing bab terdiri atas subbab guna memperjelas ruang lingkup dan
cangkupan permasalahan yang dibahas. Adapun urutan tata letak masing-masing
bab serta pokok permasalahan sebagai berikut.
Bab I pendahuluan, berisi uraian latar belakang, selanjutnya diikuti oleh
rumusan masalah yang nanti akan menjadi acuan untuk menentukan arah
penelitian, lalu tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi review serta metode
penelitian dalam hal ini kan diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah
pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum baik prosedur
pengumpulan sumber dan analisis yang dipakai dan yang mendukung terakhir
berisi sitematika penulisan.
16
Bab II menguraikan tentang kajian teoritis tentang perkawinan. Yaitu berisi
tentang pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan,
sahnya perkawinan. Lalu menguraikan perkawinan campuran dan terakhir
pandangan agama di Indonesia tentang perkawinan itu sendiri sekaligus analisa
pemikirannya terhadap perkawinana beda agama sesuai dengan tema yang akan
penulis bahas dan konsep-konsep hukum keluarga tentang perkawinan.
Bab III, berisi kajian tentang aturan hukum atau yuridiksi, tinjauan yuridis
tentang perkawinan beda agama sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang
Perkawinan, dan juga menguraikan posedur pencatatan atau pengesahan suatu
perkawinan terutama beda agama di Kantor Catatan Sipil yang menjadi
kewenangannya.
Bab IV membahas tentang eksitensi dan yuridiksi perkawinan beda agama.
Pada intinya pembahasan ini dilakukan untuk mengkaji implikasi dan urgensi
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terhadap
upaya pemberlakuan pengesahan atau pelegalan perkawinan beda agama yang
esensinya bertentangan dengan mayoritas salah satu norma agama, dan
menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang Administrasi Kependudukan
Nomor 23 Tahun 2006 cukup responsif atau malah bertentangan dengan aturan
yang sudah ada sehingga dapat ditarik kesimpulan atas kedudukan Undang-
Undang tersebut.
Bab V merupakan bab penutup, berisi simpulan dan rekomendasi antar lain
tentang perbaikan celah-celah yang merupakan kekurangan dari Undang-Undang
Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006.
17
BAB II
PERKAWINAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
1. Definisi Perkawinan Menurut Fiqih.
An-nikaah secara etimologi/bahasa berarti mengumpulkan atau
menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikaah adalah bersetubuh. Namun
secara majaz sering diungkapkan dengan arti akad perkawinan, penyebutan ini
termasuk al-musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah as-
sabab (akad pernikahan).1 Selain itu ada juga yang mengartikannya dengan
percampuran. Al-Fara’ mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk
kemaluan. Disebut sebagai akad karena ia merupakan penyebab terjadinya
kesepakatan itu sendiri. Sedangkan menurut Al-Azhari akar kata nikah dalam
ungkapan bahasa arab artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa
berpasangan itu juga merupakan salah satu dari makna nikah. Al-Farisi
mengatakan: “jika mereka mengatakan bahwa si fulan atau anaknya fulan
menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, namun jika
dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud adalah
berhubungan badan.2
1 Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Syarah
Bulugh Maram), (Jakarta : Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006) h. 252.
2 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami’fil Fiqh An-Nisa ( Fiqih Wanita), (Beirut
Libanon : Da’arul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Pertama, 1996), h. 375.
18
Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung
pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, berhubungan intim,
mencium dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram
dari segi nasab atau keluarga dan sepersusuan. Atau bisa juga diartikan bahwa
nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang befungsi
untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki.3
Para ulama Hanifiah mendefinisikan nikah adalah sebuah akad yang
memberikan hak kepemilikan seutuhnya artinya kehalalan seorang laki-laki
bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk
dinikahi secara syariat. Dengan adanya kata “ perempuan” maka tidak
termasuk di dalamnya laki-laki atupun banci musyikil4, seperti firman Allah
yang berbunyi:
Artiya :
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan
menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan
memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman
kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (an-Nahl : 72).
3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011,
Jilid Ke-9), h. 39.
4 Banci musykil adalah banci yang memiliki dua kelamin dengan kualitas fungsi yang sama.
19
Dan dalam al-Qu’ran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan,
hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah sebagaimana dalam
firman Allah dalam surat az-Zarariyat ayat 49 yang berbunyi :
Artinya ;
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah SWT” (az-Zarariyat: 49)
Dalam surat Yasin ayat 36 pun dijelaskan tentang perkwanina yaitu
dinyatakan dalam firman Allah yang berbunyi:
Artinya :“Maha suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin : 36)5
Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan
selanjutnya Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana dalam firman
Allah yang berbunyi:
5 Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,
Cet. Ketiga), h. 12.
20
Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]6 Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (an-Nisaa :1)
Sedangkan menurut Imam Syafi’i menyebut arti perkawinan sebagai
akad yang menjadikan kebolehan melakukan persetubuhan. Sementara Imam
Hambali mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang didalamnya terdapat
lafadz perkawinan secara jelas diperbolehkannya bercampur. Akad yang
dimaksud adalah serah terima antara orang tua atau wali calon mempelai.
Dengan adanya akad tersebut maka sudah halalnya sepasang insan untuk
melakukan hubungan intim dan terhindarlah dari perbuatan yang tidak di
inginkan.7Allah berfirman:
Artinya :
“janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah keji
dan seburuk-buruknya jalan.” (al-Isra : 32).
6 (263) maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang
rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang
menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.
7 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta, Khairul Bayan,
2003, h. 20.
21
Menurut ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata nikah digunakan secara
haqiqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz
(kiasan) artinya akad. Sekiranya kata nikah dalam Al-qur’an dan sunah tanpa
adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim. Kata
“nikah” di dalam bahasa arab menurut ahli fiqih dari senior empat mazhab
mereupakan kata yang di gunakan secara haqiqah dalam mengungkapkan
makna akad, sedangan digunakan secara majaz ketika mengungkapkan kata
hubungan intim.8
Dari penjelasan yang diuraikan diatas tampaknya para ulama
mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis
saja, hal ini adalah wajar karna makna asal itu sendiri sudah berkonotasi
hubungan seksual.9 Disamping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-
laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya
dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karna faktor ingin
memperoleh keturunan ataupun memenuhi kebutuhan seksualitasnya.
2. Definis Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia
Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan
berlaku, aneka ragam aturan tentang perkawinan sudah lebih dulu ada. Seperti
8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir,
2011, Jilid Ke-9), h. 40.
9 Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,
2006), h. 49.
22
Huwelijiks Ordinantie Christen Indonesia - Indonesia Java, Ninahassa en
Amboina (HOCI) S.1933 Nomor 74 (Undang-Undang Perkawinan Indonesia
Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon) aturan ini beralaku bagi golongan
Indonesia asli beragama Kristen di wilayah Jawa, Minahasa dan Ambon. Dan
bagi penduduk asli Indonesia yang beragama Islam beralaku hukum adat,
sedangkan bagi orang timur asing Cina dan warganegara keturunan Cina
berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer) atau
Burgerlijk Wetboek (BW) sama halnya dengan warga golongan Eropa.
Dan munculah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
mulai berlaku tangal 2 Januari 1974 menurut Prof. R. Sardjono, “ kita telah
lama bersatu dalam keinginan memiliki undang-undang perkawinan nasional
yang mampu menampung aspirasi bersama”. Beliau juga mengatakan
terbentuknya undang-undang ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil
daripada suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusun perundang-undangan
tentang perkawinanyang telah dilakukan bertahun-tahun.10
Dan sejalan
dengan itupun muncullah aturan bagi mayoritas muslim walaupun dalam
bentuk Intruksi Persiden Nomor 1 Tahun 1991 tetapi dapat digunakan sebagai
pelengkap dan mengisi kekosongan hukum.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir
bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan
10
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 7.
23
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tersimpul bahwa suatu rumusan dan tujuan dari
perkawinan. “arti” perkawinan yang dimaksud diatas adalah ikatan lahir batin
antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dan tujuanya tersirat
dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan
Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sepeti yang tercantum dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bila dipeirincikan sebagai
berikut :
a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri.
b. Ikatan lahir batin itu ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.
c. Ikatan lahir dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ketuhanan
yang maha esa.11
Menurut Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (KHUPer) atau
Burgerlijk Wetboek (BW) secara tegas tidak mengatur tetang definisi
perkawinan namun dalam Pasal 26 BW memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan perdata saja.12
Dalam konsep hukum perdata barat,
perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja maksudnya
11
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Aksara, , 1987 Cet. Pertama), h. 3. 12
Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), h. 5.
24
undang-undang tidak ikut campur dalam keterkaitan dengan adat istiadat atau
agama, undang-undang hanya mengenal perkawinan yang dilangsungkan
dihadapan pegawai catatan sipil. Perbedaan mengenai pengertian perkawinan
pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan pengertian perkawinan
yang terdapat didalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perkawinan
merupakan ikatan yang bersifat lahiriah namun tidak memperhatikan urusan
batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, mengartian perkawinan
sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri. Maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak
cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan
bathin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.
Pada umumnya perkawinan menurut hukum agama perkawinan adalah
perbuatan yang suci (sakramen), perkawinan yang di lakukan di Pengadilan
ataupun di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut
hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh
hukum adat atau aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan
menurut tata cara agama yang di akui pemerintah berarti tidak sah.13
Menurut
hukum adat sendiri perkawinan bukan saja perikatan adat14
melainkan
13
Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat, Psikiatri Forensic, (Jakarta:
Kedokteran EGC, 2003), h. 96.
14
Perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlakudalam
masyarakat yang bersangkutan.
25
perikatan kekeluargaan.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.15
Perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik
untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.
kata mitssaqan ghalidzan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat pada
surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi :
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”
(an-Nisa : 21)16
Di dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), perkawinan itu diartikan sebagai akad dan kontrak, sering
disebut perkawinan adalah “marriagein Islam is purely civil contract”
(perkawinan merupakan perjanjian semata-mata).
15
Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 7.
16
Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,
2006), h. 43.
26
B. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah sebuah peristiwa yang sakral, sebuah momentum yang
ditunggu-tunggu setiap pasangan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir
bathin yang sah untuk membentuk rumah tangga sejahtera dan bahagia dimana
keduanya memikul amanah dan tanggung jawab. Di dalamp setiap agama
manapun peristiwa-peristiwa sakral seperti perkawinan mengandung berbagai
maksud dan arti tersndiri,maksud-maksud itulah yang mendasari seseorang dalam
berumah tangga dan menjadi dasar bagi para pasangan untuk membentuk sebuah
keluarga berdasarkan keimanan. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari
dalam konteks spiritual.
Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang
Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal
perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan
perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah)
dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.
1. Tujuan Perkawinan Menurut Agama Islam
Bagi seorang muslim tujuan perkawinan adalah beribadah kepada Allah.
Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan Allah. Imam Abu
27
Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Malik bin Anas menyatakan untuk pribadi-
pribadi perkawinan bahkan bisa menjadi wajib, melakukannya agar dapat
menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akan mendapatkan pahala dari-
nya.17
Seperti firman Allah yang berbunyi:
Artinya ;
“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.”( ar-Rum:21).
Selain beribadah kepada Allah dalam arti sempit maupun luas tujuan
seorang muslim menjalin bahtera rumah tangga adalah untuk melestarikan
keturunan, tidak seperti orang-orang yang fanatik dengan kesukuan maupun
trah-nya, tujuan melestarikan keturunan bukan hanya membuat silsilah tapi
lebih menekankan pada terbentuknya generasi-generasi yang berpegang teguh
pada keimanan. Selain itu juga tujuan perkawinan dalam Islam untuk sarana
pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan syahwat yang merupakan
insting dasar semua makhluk hidup. Karena manusia bebeda dengan
binantang, maka mesti ada system dan syariat yang benar. Al-Qur’an
mengatakan “zuyyinah li al-nnasihubbu-al-syahwati min al-annisa” (QS. Al-
17
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan,
2003), h. 21.
28
Imran, 3:41) “manusia (laki-laki) dihisi kencintaan kepada perempuan. Laki-
laki menyukai dan mencintai lawan jenisnya.” Untuk penyaluran yang benar
Islam dari rasa suka dan cinta itu Islam membuat syariat,yakni
pernikahan.Rosulullah bersabda “Annikahusunnati” pernikahan merupakan
sunnahku, dalam sabda lainnya “Tidak ada suatu bentuk yang lebih baik
didalam Islam daripada perkawinan.”18
Imam al-Ghazali dalam faedah melangsungkan perkawinan, merincikan
tujuan perkawian sebagai berikut :
a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan
kasih sayang.
c. Memenuhi panggilan agama, untuk memelihara diri sendiri dari kejahatan
dan kerusakan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal.
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram
atas dasar cinta dan kasih sayang.19
18
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 38. 19
Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008, Cet. Ke-3), h. 24.
29
Sehingga dapat disimpulkan empat faktor penting dalam perkawinan itu
sendiri antara lain, menentramkan jiwa, melestarikan keturunan, memenuhi
kebutuhn biologis, dan latihan bertanggung jawab.20
2. Tujuan Perkawinan Menurut Agama-Agama di Indonesia
Dalam tradisi gereja masa lampau, tujuan primer perkawinan adalah
meneruskan keturun dan tujuan-tujuan lain dianggap tujuan tambahan. Hal ini
terbukti dari salah satu ayat dalam kitab suci injil yang berbunyi : “Allah
memberikan mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : beranak cuculah
dan bertambah banyak ; penuhilah bumi ini dan ditaklukanlah itu.” Dalam
perjanjian baru dijelaskan pula masalah perkawinan, dimana dikatakan bahwa
perkawinan merupakan hubungan lahir bathin yang sah antara seorang pria
dengan seorang wanita seperti yang dijelaskan dalam Kitab Suci Injil yang
berbunyi ; “Allah merencanakan kawin untuk mengadakan hubungan
sehingga pria dan wanita menjadi satu daging.”21
Dalam agama Konguchu tujuan perkawinan ialah memungkinkan
manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian
(Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam
20
Ali Hasan, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 21
21
Al Purwa Hadiwardoyo, Surat Untuk Suami Istri Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.
22. Lihat juga Al kitab, Robert Davidson : (Alkitab Berbicara), (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 13.
30
dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putri-putrinya.22
Dari uraian di atas ternyata pada dasarnya disetiap agama memilki
tujuan yang sama dalam perkawinan, dan di dalam Undang-Undang
Perkawinan yang berpegang pada Pasal 1 yang berbunyi “dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha esa”. Rumusan tersebut sudah mencangkup makna tujuan perkawinan
dari berbagai kalangan beragama, yang mengandung harapan bahwa dengan
melangsungkannya perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan baik materil
maupun spiritual.
C. Syarat-Syarat Syah Perkawinan
1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu.23
Syarat itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia
berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Syarat-syarat setiap akad, termasuk
akad nikah ada empat macam: syarat in’iqaad (pelaksanaan), syarat ini harus
dipenuhi di dalam rukun-rukun akad, syarat shihhah (sah) syarat ini
mempunyai konsekuensi syar’i terhadap akad, syarat nafaadz (terlaksana)
22
Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, dalam
Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius (Angota IKAPI), 2006), h. 63.
23
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 59.
31
yaitu syarat yang menentukan konsekuensi akad jika dilaksanakan, syarat
luzum (kelanggengan) yaitu syarat yang menentukan kesinambungan dan
kelanggengan akad.24
Rukun perkawinan sendiri ialah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-
laki dan perempuan), karena kerelaan adalah hal yang tersembunyi di dalam
hati. Caranya harus diungkapkan melalui ijab dan qabul, ijab dan qabul adalah
pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan
diri dalam suatu perkawinan.25
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :
a. Adanya calon suami istri
b. Adanya wali dari pihak wanita
c. Adanya dua orang saksi
d. Sighat akad nikah
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dalam saksi lalu
tentang mahar masih dalam iktilaf dikalangan ulama. Namun mayoritas
sepakat dengan rukun yang lima ini. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
dijelaskan juga tentang rukun dan syarat perkawinan yag tertuang di dalam
bab IV, yaitu Pasal 14 tentang bagian rukun dan Pasal 16-17 tentang aturan
calon memepelai, Pasal (19-23) tentang wali nikah, (Pasal 24-26) tentang
24
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir,
2011, Jilid Ke-9), h. 54.
25
Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), h. 53.
32
aturan saksi nikah dan Pasal (25-29) tentang akad nikah. Sedang bab V berisi
tentang ketentuan mahar.26
2. Syarat dan Sah Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia
Perkawinan itu adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan
hukum ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan
hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan di
Indonesia sejak 2 Januari 1974 adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh
ketentuan undang-undang tersebut.
Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa: ”Dengan perumusan
pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang
ini”.27
26
Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disingkat KHI merupakan Instruksi Presiden RI
Nomer 1 Tahun 1991, yang memuat tiga buku. Buku I berisi tentang Hukum Perkawinan, Buku ke II
tentang Hukum Kewarisan dan Buku ke III tentang Hukum Perwakafan , Bandung, Focus Media,
2010). 27
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta:
Akademika Presindo, 1986).
33
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini
menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaan masing-masing pemeluknya, berarti sudah tidak ada lagi
perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.28
Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan
kepercayaan.29
Syarat-syarat perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam
Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
1975. Syarat-syarat tersebut dikelompokan menjadi : 30
1) Syarat-syarat materil yang berlaku umum.
Syarat-syarat yang termasuk kedalam kelompok ini diatur di dalam pasal
dan mengenai hal sebagai berikut :
a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calonsuami-isteri
(Pasal 6 ayat 1Undang-Undang Perkawinan).
28
Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 7.
29
Lihat UUD 1945, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan,, 2011, h. 33.
30
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 22.
34
b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin
dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan).
c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 ( Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan).
d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11
Undang-Undang Perkawinan), yaitu :
a) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan
130 hari.
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90
hari.
c) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil,
maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda
dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka
tidak ada waktu tunggu.
2) Syarat materil bersifat khusus
Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-
hal sebagai berikut ;
a) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
35
Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undaang Perkawinan Nomor 1/1974 yaitu
mengenai laranga perkawinan,
b) Berhubungan darah dalam garis ketururnan lurus ke bawah ataupun ke
atas ataupun kesamping.
c) Berhubungan sebenda, susuan.
d) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi, kemenakan dari
istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang
e) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
f) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-Undang
Perkawinan).
g) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka
tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-
masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan)
3) Syarat formal
Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap,yaitu :
a) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
b) Penelitian syarat-syarat perkawinan
36
Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada
pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat
perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan
perkawinan menurut undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat
Perkawinan juga meneliti mengenai: Pengumuman tentang
pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.
Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi
kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan
keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan.
Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan
perkawinan, yang memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan
dilangsungkan.31
Dari ketentuan-ketentuan diatas jelaslah betapa besarnya peranan
hukum agama dalam menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kita
melihat juga adanya hubungan saling melengkaapi antara Undang-Undang
Perkawinan nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan
kepercayaan.
31
Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,
2006), h. 221.
37
D. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan perkawinan adalah seseorang yang karena perubahan status
sipilnya dari yang sebelumnya lajang menjadi berstatus kawin, yang membawa
akibat hukum.32
Secara umum pencatatan di Indonesia menurut Undang-Undang
Perkawinan dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1. Pelaksanana perkawinan untuk orang non- muslim
2. Pelaksanaan perkawinan untuk orang Islam33
Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa Pasal
peraturan perundang-undangan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 mengatur “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku” pencatatan dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan Nikah (PPN) sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang
Nomer 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Sedangkan tata
caranya berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Selanjutnya
dalam Pasal 10 ayat (3) PP No 9/1975 menetukan bahwa perkawinan
dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat, yang dihadiri dua orang saksi. Fungsi
pencatatan disebutkan pada angka 4b, penjelasan umum Undang-Undang Nomer
1 Tahun 1974: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam ke hidupan seseorang, misalnya
32
Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan
Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 112.
33
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 19.
38
kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat daftar pencatatan.34
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2
Undang-Undang Perkawinan, berbunyi :
1. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu;
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari Pasal 2 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau
pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka
perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Akan tetapi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya
terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tentang pencatatan
perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi
mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan
34
M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 19.
39
di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari
mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum
Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan di Kantor
Catatan Sipil.35
Perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu perkawinan ditunjukan untuk
seluruh Warga Negara Indonesia (WNI). Bagi Warga Negara Indonesia yang
melangsungkan perkawinan di luar Indonesia diatur dalam Pasal 56 Undang-
Undang Perkawinan No. 1/179436
:
1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua Warga Negara
Indonesia atau Warga Negara Asing (WNA) adala sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi
warga Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang.
2. Dalam waktu 1(satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah
Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkn di kantor
pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
ini, antara lain pada ayat (1) : setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
35
Lihat Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Pustaka Widiyamata,, 2006), h. 47. 36
Henry Siswosoediro, Buku Pintar Pengurusan Perizinan dan Dokumen (Panduan Untuk
Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 197.
40
memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya Kepada
Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, pemberitahuan
dalam ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.37
Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum
yang didalam hal ini adalah perkawinan, sebenarnya tidak diambil dari hukum
barat atau Burgerlijk Wetboek (BW) tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT
yang dicantumkan dalam al-Qur’an surat ( al-Baqarah: 282 ) “ hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu melakukan suatu transaksi dalam waktu yang tidak
ditentukan (tidak tunai) hendaklah kamu mencatatanya…”38
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi kependudukan:
“ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.”39
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak
ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan
dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada
suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
37
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia “Studi
Kritis Perkembangan Huum Islam Dari Fiqih”, UU No 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),
h. 122.
38
Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia “Masalah-Masalah Krusia”l, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h. 21.
39
Lihat Udang-Undang Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 17.
41
BAB III
PERKAWINAN BEDA AGAMA
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Sudut
Pandang Berbagai Agama di Indonesia.
Perkawinan/pernikahan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang
sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya
perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah
perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak
ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.
Banyak perbedaan dalam pembuatan peraturannya ini disebabkan karna cara
berfikir dan adat istiadat yang berpengaruh, keberbedaan itu tidak hanya satu
agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat
yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun
dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan.
Yang menjadi masalahnya saat ini yaitu, terkadang sebuah peraturan yang
dibuat tidak menjawab masalah yang ada, atau belum adanya pengaturan yang
jelas sehingga banyak polemik dan kontroversi yang muncul. Misalnya tentang
perkawinan antar agama, memang bangsa Indonesia adalahnegara maupun bangsa
yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan
multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang
diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik,
41
Konguchu dan lain-lain dan tidak dipungkiri munculnya perkawinan antar agama
timbul dari salah satu sebab tersebut. Namun bukan jadi alasan sebuah peraturan
dibuat karna hanya berfikir tentang aspek globalisasi tapi pada kenyatanya yang
ada malah menyebabkan masalah baru di bidang sosial maupun hukum.
Perkawinan antar agama itu sendiri atau lintas agama sering disebut juga
perkawinan campuran dalam arti sempit yaitu perkawinan antara dua orang (pria
dan wanita) yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan agama.1
Perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau dalam media masa sering
disebut perkawinan antar agama.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan sendiri tidak diatur tentang
perkawinan beda agama. Ketentuan secara tegas dilarang atau tidak dilarangnya
perkawinan beda agama, tidak dapat ditemukan dalam Undang-Undang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya. Dengan
tidak adanya ketegasan perkawinan beda agama dalam aturan-aturan perkawinan
di Indonesia, dimana aturan-aturan perkawinan masih menyerahkan sepenuhnya
persoalan perkawinan kepada agama. Jadi tidak ada aturan diluar hukum agama
dan kepercayaanya jika tiap agama sudah ada ketentuannya dan tidak ada
kemungkinan untuk melanggar ketentuan agamanya sendiri,
1. Menurut Agama Islam
Perkawinan beda agama dalam pandangan hukum Islam dibagi kedalam
dua golongan, pertama perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim
1 Mohammad Daud Ali, Hukum Islamdan Peradilan Agama “Kumpulan Tulisan”,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 200), h. 55.
42
dan kedua yaitu perkawinan pria non muslim dengan wanita muslim. Dalam
al-qur’an sudah telah mebedakan antara ahli kitab dengan orang musyrik,
menurut Imam Al-Jaziry orang kafir terdiri dari tiga golongan2 :
a. Golongan yang tidak mempunyai kitab dari langit (Samawi)
b. Golongan yang mempunyai kitab dari langit semacam kitab Samawi,
mereka adalah orang-orang Majusi yang menyembah api.
c. Golongan yang beriman kepada kitab suci, yaitu seperti Nasrani atau
Yahudi.
Seorang muslim tidak boleh menikahi seorang perempuan musyrik yaitu
perempuan atheis atau materialis.3 Wanita-wanita yang tidak mengakui
keberadaan Allah seperti atheis, eksistensial, al-Baha‟iyyah dan al-
Qadiyaniyyah sesuai firman Allah SWT :
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlahkamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
2 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Yogyakarta: Khairul
Bayan, 2003), h. 41.
3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insane dan Darul Fikir,
2011, Jilid Ke-9), h. 147.
43
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran.” (Al Baqarah(2) : 221)
Mazhab Hanafi dan Syafi’i serta mazhab yang lainnya memasukan
perempuan murtad kedalam golongan perempuan musyrik dan tidak ada
seorang muslim yang boleh mengawininya karena dia telah meninggalkan
agama Islam, kesimpulannya tidak boleh menikahi perempuan yang tidak
termasuk ahli kitab, seperti watsaniyyah dan majusiyyah.
Sedangkan perkawinan seorang wanita muslimah dan laki-laki kafir
hukumnya haram karena dalam perkawinannya dikhawatirkan perempuan
yang beriman jatuh kedalam kekafiran. As-Sayyid Sabiq menyebutkan
beberapa argumen tentang diharamkannya wanita muslim menikah dengan
laki-laki nonmuslim sebagai berikut :
a. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS.an-Nisa
[4]: 141:….dan Allah takan memberikan jalan orang kafir itu
mengalahkan orang mukmin.
b. Laki-laki kafir dan Ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya
yang muslimah, malah sebaliknya ia akan mendustakan kitab dan
mengingkari ajarannya.
c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami istri tidak mungkin
tinggal dan hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.4
4 As-Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, Juz 2, ( Beirut: Da’r al-Kitab al-A’rabi, 1985), h. 99.
44
Imam Al-Qurthubi berkata “janganlah menikahkan wanita muslimah
dengan orang musyrik”, dan umat ini telah berijma bahwa laki-laki musyrik
itu tidak boleh menggauli wanita muslimah bagaimanapun bentuknya karena
perbuatan itu sama saja penghinaan terhadap umat Islam. Dan para ulama
mengemukakan larangannya dengan mengucapkan kata musyrik atau kafir,
karena itu sudah cukup jelas kata kafir mencangkup ahli kitab. Disamping itu
tidak ada ayat atau hadist yang membolehkannya setelah turunnya ayat 10
surat al-Mumtahanah.5
Secara umum, pada dasarnya kitab fiqih seperti kitab Al-Fiqh „ala al-
Madzahib al-Arba‟ah karya Abdurrahman al-Jaziri, kitab Bidayatul Mujtahid
karya Ibnu Rusyd6 dan kitab Fiqih as-Sunnah karya Sayid Sabiq,
mengharamkan perkawinan muslim dengan non muslim. Hanya saja ada
beberapa pengecualian, terutama akibat ketentuan khusus dari QS.al-Maidah
ayat 5, menjadi pergeseran dari tingkat hukum haram menjadi makruh,
mubah atau lainnya pada kasus laki-laki muslim mengawini perempuan ahli
kitab.7 Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang status perkawinan
ini antara lain :
5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta:,
Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 100-101.
6 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Beirut: Da’r al-Fikr, t.t) dalam konteks atau kasus
ini ia tidak banyak berbeda dengan fuqaha yang lain.
7 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS Yoyakarta, 2006),
h. 36-37.
45
a. Golongan pertama
Golongan ini termasuk jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan
laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-kitab8 diperbolehkan mereka
beralasan dengan ayat al-qur’an al-Maa’idah ayat 5 ;
Artinya :Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, (al-Maa’idah : 5)
Bahwa alasan dari pendapat dari golongan pertama mengemukakan
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 beserta Asbabun Nuzulnya diterima
secara bulat tetapi itu pengecualian yang datur oleh Allah dalam surat al-
Maidah ayat 5 yaitu mepertahankan laki-laki muslim dengan wanita
Yahudi/Nasrani tetapi jika wanitanya muslim menikah dengan laki-laki
Yahudi/Nasrani tetap di tolak, sesuai dengan pendapat Prof. Mahmud
Junus.9 Selain itu sejarah telah menunjukan bahwa beberapa sahabat
8 Perempuan ahli kitab adalah perempuan yang percaya terhadap agama samawi (agama yang
memiliki kitab yang diturunkan, serta memiliki nabi dan rosul )
9 Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama Memurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h 63.
46
Rosullulah seperti Thalhah Ibn Ubaidiyah, pernah mengawini perempuan
kitabiyah.10
Menurut golongan mayoritas (jumhur) ini, walapun aqidah
ketuhanan ahli-kitab tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, al-
Qur’an tidak menyebutkan mereka yang menganut Yahudi dan Nasrani
sebagai orang musyrik (QS al-Bayyinah [98] : 1 dan 6 ; al-Hajj [22]: 17).
Dengan demikian ahli-kitab tidak termasuk orang musyrik dan oleh karena
itu larangan menikahi waita musyrik sebagai mana di tegaskan QS al-
Baqarah tidak berlaku atas perempuan kitabiyah.11
b. Golongan kedua
Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim itu
haram hukumnnya. Salah satu sahabat Rosulullah yang mengharamkan
mengawini wanita non muslim adalah Abdullah bin Umar. Ketika beliau
ditanya tentang perkawinan dengan wanita Yahudi dan Nasrani ia
menjawab “sesungguhnya Allah telah megharamkan wanita-wanita
musyrik bagi kaum muslimin, aku tidak tahu syirik manakah yang lebih
besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa tuhannya adalah
Isa, sedangkan Isa adalah hamba Allah”.12
Dan golongan ini pun
berpegang pada surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mutahannah : 10
10
Bsiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 129. 11
Maria Ulfah Anshor. dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 44.
12
Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan,
2003), h.54.
47
“dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
wanita-wanita kafir” dan golongan ini juga berpendapat bahwa al-Baqarah
ayat 221 yang melarang menikahi wanita musyrik hingga ia beriman turun
lebih akhir dari surat al-Maidah ayat 5 (yang membolehkan mengawini
wanita-wanita al-Kitab yang baik) dengan demikian surat al-Baqarah ayat
221 menasakh ayat 5 surat al-Maidah.13
c. Golongan ketiga
Golongan ini berpendapat bahwa mengawini wanita non muslim itu
hukumnya makhruh, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i serta menurut
Maliki dalam salah satu pendapatnya, seorang muslim makruh menikah
dengan perempuan ahli-kitab dan ahli dzhimah. Sedang mazhab Hambali
berpendapat perkawinan dengan perempuan ahli-kitab adalah makhruh.14
Sayyid Sabiq mengatakan sekalipun kawin dengan wanita ahli kitab
dibolehkan tapi dianggap makhruh, hal ini dikarenakan tidak adanya rasa
aman dan ketentraman iman. Muhammad meriwayatkan atsar ini dalam
kitabnya al-aatsaar yang berisi tentang umar yang mengirim surat kepada
hudzaifah agar menceraikan istrinya yang beragama Yahudi, dengan alasan
bahwa kekhawatiran orang-orang muslim mengikuti perbuatannya.
Kemudian mereka memilih perempuan ahli dzimah karena kecantikannya,
13
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 134.
14
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir,
2011, Jilid Ke-9), h. 149-150.
48
dengan demikian mereka akan jadi fitnah bagi para istri kaum muslimin.
Dari atsar tersebut jelas ada larangan mengawini wanita ahli-kitab
dikarenakan keburukan yang ada di dalamnya yaitu bisa jadi terjatuh
kedalam perkawinan dengan pelacur dari mereka atau bisa jadi mereka
akan mengikuti jejaknya untuk menikah dengan wanita ahli-kitab dan
membiarkan perempuan muslimah menjadi perawan tua.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan tentang perkawinan
lintas agama atau antar agama sudah sangat jelas dan rinci, KHI
menempatkan perkawinan antar agama pada larangan perkawinan yang
tertuang pada Pasal 40 (c) dan Pasal 44 dan berikut bunyi pasalnya:15
Pasal 40 (c); Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; (c) seorang wanita
yang tidak beragama Islam.
Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl
al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab)
Pasal 44 : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam melangsungkan
perkawinan dengan non-muslim tanpa mengklasifikasikan antara musyrik
dan kitabiyah.
15
Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Focus Media, 2010), h. 16.
49
Skema Perkawinan Antar Agama Menurut Fiqih dan KHI16
2. Menurut Agama Kristiani
Dalam agama Kristen ada dua aliran pertama keristen Katolik dan kedua
Kristen Protestan. Agama Katolik sendiri menganggap nikah sebagai satu
sakramen. Gereja Roma Katolik mendasarkan ajaranya itu pada Efasus 5:25-
33, hukum gereja Katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian dengan
nama pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup
dari sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan serta pada kelahiran anak dan
pendidikanya oleh Kristus tuhan antara orang yang di baptis diangkat ke
16
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi
HukumIslam,(Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 188.
50
martabat sakramen. (Kan 1055:1).17
Pada tanggal 31 Maret 1970 Paus Paulus mengeluarkan surat Apostolic
Matrimonia Mixta,18
terkait pertanyaan tentang perkawinan campuran. Di
dalam surat tersebut di sebutkan bahwa perkawinan campuran adalah
perkawinan antara pria dan wanita dimana salah satu pihaknya adalah bukan
non Katolik. Dalam definisi tersebut ada perbedaan yang mana non Katolik
(Kristen Protestan) sedang non baptis (beragama lain), Paus Paulus
menyatakan bahwa perkawinan tersebut menimbulkan banyak permaslahan
karena perbedaan iman dan agama. Oleh karena itu sebisa mungkin umat
Katolik menghindari perkawinan campuran.19
Menurut hukum kanon gereja ada sejumlah halangan yang membuat
tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan, misalnya adanya ikatan nikah
(Kanon 1085), adanya tekanan baik secara fisik ataupun psikis (Kanon 1089
dan 1103), juga karena perbedaan gereja (Kanon 1124) maupun agama (Kanon
1086)20
.
17
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 35.
18
Matrimonia mixta berisi penjelasan tentang perkawinan campur. “Perkawinan campur yakni perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis…”. Pengertian perkawinan campur secara rinci: perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik dibaptis. Yang disebut dengan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) dan perkawinan antara orang katolik dengan orang non katolik tidak dibaptis (disparitas cultus). Pada intinya perkawinan campur adalah perkawinan antara orang katolik dan orang bukan katolik.
19
Agung Prihartana, Pendidikan Iman Anak dalam Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius), h. 37.
20
Maria Ulfah Anshor, dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralism,(Jakarta: KapalPerempuan, 2004), h. 53.
51
Namun dengan demikian tidak di pungkiri bagi mereka yang tetap
mempertahankan cintanya, pejabat gereja yang berwenang yaitu Uskup dapat
memberikan dispensasi (pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan
yang khusus) untuk tetap melakukan perkawinan asalkan memenuhi syarat
yakni yang beragama Katolik berjanji (kanon:1125)21
:
a. Akan tetap setia pada iman Katolik
b. Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara
Katolik,
c. Yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara
Katolik,
d. Tidak akan menceraikan yang beragama Katolik,
e. Tidak akan menghalangi pihak yang beragama Katolik untuk beribadah,
dan
f. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik,
Kendatipun diberi dispensasi sebenarnya Katolik memandang
perkawinan berbeda agama akan menimbulkan konflik dan pertentangan
sehingga merusak esensi dan tujuan dari perkawinan itu sendri, dan sebaiknya
dihindari.
Sedangkan menurut agama Protestan, Gustrude Nystrom mengatakan
yang menjadi dasar utama dari perkawinan dalam alkitab adalah “kasih” yang
tulus dari dua orang sehingga mereka menentukan untuk hidup bersatu suka
21
Mohammad Daud Al, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 60.
52
atau duka hingga kematian yang memisahkannya. Dengan kata lain dapatlah
dirumuskan perkawinan pandangan Protestan adalah suatu persekutuan hidup
dan percaya yang total, ekslusif, dan kontinyu antara seorang wanita dan pria
yang dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus.
Dalam Kristen Protestan memandang pernikahan pada dua aspek yaitu
sipil dan agama, pernikahan adalah soal agama maka sudah semestinya
dilakukan menurut hukum agama hukum tuhan Yesus agar sesuai dengan
kehendak tuhan namun pernikahan juga erat kaitannya dengan hubungan antar
sesama maka Negara pun berhak mengaturnya. Berdasarkan pada pandangan
itu Kristen Protestan memandang bahwa perkawinan sah jika dilakukan
menurut hukum agama dan negara.22
Meski pada prinsipnya Kristen Protestan menghendaki perkawinan itu
dilakukan dengan orang yang seagama, pada level tertentu agama Protestan
pun tidak menghalangi kalau terjadi perkawinan beda agama. Namun agama
Kristen lebih memilih pernikahan antar pemeluk agama Kristen Katolik
dengan Protestan dibandingkan menikah dengan agama lain dikarenakan
sesungguhnya hal itu bukanlah perkawinan antar agama melainkan hanya
perbedaan gereja.
3. Menurut Agama Hindu
Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci,
perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian
22
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, (Jakarta:Dian Rakyat, 1986), h. 40.
53
banyak sakramen sejak lahirnya (Gharbadana) sampai proses upacara
kematian (Antyasty). Perkawinan diartikan sebagai “Yajna” orang yang tidak
kawin adalah orang yang tanpa Yajna (Manudharmasastra II:67). Pengertian
perkawinan menurut agama Hindu adalah ikatan suci antara pria dengan
seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu
keturunan “purusa”.23
Agama Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari
banyaknya samskara, sebagai sesuatu yang suci yang diatur oleh dharma
danharus tunduk kepada dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila
dilakukan menurut hukum agama dengan melalui upacara sakramen yaitu
“Wiwaha Homa”, bila perkawinan tidak dilakuakan menurut hukum agama
maka segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dianggap tidak sah.
Oleh karenanya, dalam agama Hindu suatu pernikahan akan dianggap
batal jika tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya bila pernikahan itu
dilakukan menurut hukum Hindu tetapi pengesahanya tidak memenuhi syarat
pengesahannya, contohnya jika salah satunya bukan penganut Hindu atau
pernikahan antar penganut Hindu dengan penganut nonhindu maka pernikahan
itu dianggap tidak sah menurut hukum agama Hindu.
Pengesahan suatu pernikahan menurut agama Hindu harus dilakukan
dihadapan Padende yang memenuhi syarat untuk itu. Kalau ada perkawinan
beda agama Padende tidak akan mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam
23
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 45.
54
agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama ini karena
sebelumnya perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan,
apabila salah seorang calon mempelai bukan Hindu ia wajib disucikan terlebih
dahulu sebagai penganut agama Hindu jika tidak maka ia melanggar ketentuan
dalam kitab Seloka V-89 kitab Manawadharmasastra yang berbunyi :
“air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri.”
24
4. Menurut Agama Budha
Perkawinan menurut agama Budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang
harus dijalani dengan cinta kasih seperti yang diajarkan oleh Budha. Atau
dapat dikatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin dari dua orang yang
berbeda kelamin yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama
melaksanakan Dharma Vinaya supaya mendapatkan kebahagian dalam hidup.
Dan menurut Sang Agung Indonesia perkawinan beda agama yang melibatkan
agama Budha dan non Budha diperbolehkan asalkan tata caranya dilakukan
menurut aturan agama Budha dan tidak diharuskan pasangan yang nonbudha
masuk agamanya, namun dalam upacara ritual dalam perkawinan ia harus
mengucapankan “atas nama Budha, Dharma dan Sangka.”25
24
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118.
25
Nur Afida, “Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi dalam Perspektif Perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.),Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013, h. 30.
55
Menurut Surya Widya ada 14 langkah yang harus dilakukan dalam
prosesi perkawinan, namun yang menjadi inti dalam pelaksanaanya ada tujuh
langkah, berikut tiga langkah yang termasuk inti dalam tujuh langkah
pelaksanaan perkawinanan;
a. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa pada pemimpin
“Namaksara”.26
b. Pernyataan ikrar perkawinan oleh kedua mempelai yang di pimpin pendeta,
lalu ke dua mempelai mebaca Vandana.
c. Lalu pengucapan Namaksara dan di akhiri penutupan dari pendeta.27
5. Menurut Agama Konguchu
Menurut pandangan Konghuchu pernikahan adalah salah satu dari tiga
momen amat penting dalam kehidupan seorang manusia, selain kelahiran dan
kematian. Itulah sebabnya dalam kitab Li Ji XLIV:1 dikatakan “camkanlah
benar-benar pernikahan itu karena dialah pohon dari segala kesusilaan dan
mencangkup penghidupan manusia”. Agama Konguchu/ Ru Jio sendiri
termasuk agama yang paling tua, kurang lebih sekitar 2500 sebelum Nabi
Kongzi lahir, sehingga mereka tak mengenal agama lain selain Tiong’oha
maka dengan begitu tidak pula mengenal pernikahan beda agama. Walaupun
begitu mereka tak melarang pernikahan beda agama namun bukan berati bebas
26
Namaksara adalah khutbah nikah bagi agama budha yang berisi puji-pujian kepada sang pencipta, sedangkan vandana adalah janji atau ikrar
27
Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi
HukumIslam, (Jakarta:Dalbun Salam, 2005), h. 128.
56
dan tanpa aturan tetap ada persyaratan. Dalam kitab Li Ji XXVII:3,1 dikatakan
bila bebas tanpa keselarasan antara langit dan bumi takan tumbuh segenap
kehidupan. Pernikahan adalah pangkal kehidupan dan pangkal peradaban
sepanjang zaman.28
Menurut penganut kepercayaan jika dilhat dari arti
penganut /aliran kepercayaan sudah barang tentu pernikahan agama bukanlah
hal yang mereka permasalahkan, menurut pangeran Djatikusuma dari
komunitas adat memandang perbedaan agama itu hanya terletak dari adat/ tata
cara upacara pernikahan atau terkait ritualpada intinya mereka tetap percaya
pada Tuhan hanya saja sebutannya berbeda.
B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif di
Indonesia
Dalam sejarah di Indonesia perkawinan antar agama lebih sering disebut
perkawinan campuran, perkawinan campuran sendiri di definisikan dalam arti
luas dan sempit. Perkawinan campuran dalam arti luas yaitu perkawinan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda
berdasarkan hukum agama, adat maupun kewarganegaraan dan telah diatur dalam
jaman kolonial hingga paska kemerdekaan. Sedangkam perkawinan dalam arti
sempit dikenal dengan perkawinan bedaagama yaitu perkawinan campuran beda
agama terjadi apabila pria dan seorang wanita yang berbeda keyakinan atau
28
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama,….Op.
Cit, h. 121.
57
berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap
mempertahankan agama masing-masing.
Kalau kita berbicara tentang aturan/hukum perkawinan terutama tentang
perkawinan atau pernikahan antar agama yang saat ini berlaku di Indonesia,
berarti kita bukan hanya berbicara tentang satu macam aturan melainkan
banyaknya peraturan yang pernah berlaku. Di Indonesia sendiri banyak berlaku
berbagai peraturan tentang hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga
negara dan berbagai daerah, berikut aturan hukum yang ada :
1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Perlu kita ketahui di Indonesia sendiri sudah pernah ada peraturan dalam
hukum antar golongan yang mengatur masalah-masalah perkawinan, dari
mulainya bangsa kolonial sampai paska kemerdekaan banyak peraturan yang
diberlakukan. Unifikasi dan kodifikasi hokum adalah upaya bangsa kolonial
untuk menjadikan hukum di Negara jajahannya sebagai satu kesatuan yang
akan diberlakukan secara universal. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka
pada masa kolonial di bagi beberapa golongan dan hukum yang akan di
berlakukan seperti golongan Eropha berlaku pada aturan hukum
Eropha/Belanda, golongan Bumi putra tunduk pada hukum adat, golongan
timur asing tuduk pada hukum Eropha pada hal tertentu sampai akhirnya
penggolongan tersebut menjadi dasar dibuatnya peraturan lain yaitu BW
(Burgerlijk Wetboek)
58
BW (Burgerlijk Wetboek) sendiri hanya mengatur tentang masalah
hukum perorangan, hukum keluarga dan kebendaan. Terkait masalah
perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) hanya merupakan hubungan
yang bersipat perdata saja dan tidak ada turut campur atau keterkaitan dengan
adat maupun agama. Hal ini terlihat dalam Pasal 81 yang menyebutkan bahwa
tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan. Karenanya secara
implisit pengaturan tentang perkawinan antar agama tidak di bahas dalam BW
(Burgerlijk Wetboek), tidak ada pasal-pasal yang membahas secara detail
tentang pengaturan perkawinan antar agama.29
Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sendiri
sudah ada aturan yang mengatur masalah antar golongan termasuk antar agama
yaitu peraturan tentang perkawinan campuran. Pengaturan yang di maksud
adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda yang
bernama Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR) sebagaimana di muat
dalam staatsblad 1898 No.158. Beberapa ketentuan yang termuat dalam
regeling op de gemengde huwelijken tentang perkawinan beda agama adalah
sebagai berikut:
Pasal1 : Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda
tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.
Pasal 6 ayat (1) : Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang
29
Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama
“Perspektif Perempuan dan Pluralisme”, ( Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 96.
59
berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu
disyaratkan.
Pasal7 ayat (2) : Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak
dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.30
Pada masa Hindia Belanda keagamaan dipergunakan sebagai pedoman
dalam hal perkawinan campuran, seorang Keristen tidak bisa menikah dengan
seorang bukan Keristen karena tidak sesuai dengan waktu itu. Sehingga dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR)Pasal7 dan 2 bahwa perbedaan
agama tidak dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap perkawinan
campuran. Jika hanya salah satu pihak beralih agamanya sebelum perkawinan
dilangsungkan, perkawinan semula yang bersifat intern berubah menjadi
perkawinan campuran namun menurut Lemaire GHR tidak patut dianggap
berlaku untuk kejadian ini karena kejadian tersebut masuk kedalam lingkungan
“inheemsche rechter” dan jika diberlakukan maka ini bertentangan dengan
Pasal 139 IS, karena pada kenyataannya perkawinan terkait dengan perbedaan
suku dan agama biasanya dilakukan di luar Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR).31
Ada 3 pendapat mengenai apakah Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR) berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar
30
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No
1/1974, Op.Cit., h. 66.
31
Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:, Citra
Aditya Bhakti, 1996), h. 8.
60
tempat yakni: pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap
bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR); kedua, kelompok yang
berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar
agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam Regeling Op De Gemengde
Huwelijiken (GHR) ; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas
setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja
yang termasuk, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam
Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR). Sudargo Gautama
berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1 berarti
perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan
karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,
golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian
yang luaslahyang banyak di dukung oleh para sarjana hukum menurut O.S.
Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No.
31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan
antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA)
sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar
tempat dan antar golongan.32
32
Anggreini Carolina Palandi, Jurnal “ Analisis Yuridis Perkawinan Antar Agama”, Lex
Privatum/ Vol.I/N0.2/Apr-Jun/2013. Lihat juga buku karngan Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum
“Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), h. 185.
61
Penghapusan larangan kawin antar agama diikuti pula dengan usaha-
usaha untuk mengundang prinsip perkawinan perdata di Hindia Belanda.
Upaya ini berhasil, dengan diberlakukannya pada Tahun 1983 Ordonasi
Perkawinan Untuk Orang Keristen di Jawa, Madura, Minahasa dan Ambon
atau disebut dengan HOCI (Huwelijks Ordonnatie Cristen Indonesia 1933 No
74). Pasal 1 memuat ketentuan yang sama dengan Burgerlijk Wetboek (BW)
Pasal 26 dan pada Pasal 2 memuat ketentuan bahwa perkawinan menurut
HOCI adalah monogamy, sedangkan turan tentang perkawinan lintas agama
termuat pada Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-
laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua
suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan
ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen
Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen dan dalam Pasal 75 (a)
menyatakan bahwa ayat (1), 73 dan 74 berlaku bagi perkawinan campuran
(Stbld, 1998 No 158).33
2. Sesudah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Berbeda dengan hukum perkawinan sebelumnya yang menganut
konsepsi hukum perkawinan perdata, Undang-Undang Perkawinan justru
memberikan peranan yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon
mempelai, terbukti jelas pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah
33
Weineta Sairin dan Joseph Marcus, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam
Perspektif Kristen: Himpunan Telaah Tentang Perkawinan di Lingkungan Persekutuan Gereja-Gereja
Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), h. 133.
62
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal ini
sesuai dengan apa yang diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,
sebagai berikut:
Pasal 4: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam”,
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada yang menjelaskan
tentang aturan beda agama, pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan
beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf (f) dan Pasal 57.
Pasal 8 huruf (f) berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi :
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang berada di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.34
34
M.Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “ dari
Segi-Segi Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: IHC, 1990), h. 138.
63
Prof. Dr Hazairin SH, secara tegas menjelaskan bahwa dalam Pasal 2
ayat 1 bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar “hukum agamanya sendiri”
jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu maupun Budha.35
Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang
di jumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan-keyakinan yang
terbentuk dalam gereja-gereja Kristen atau dalam ketentuan masyarakat seperti
bali tetapi semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan (sekedar yang
masih berlaku ataupun tidak) baik yang sudah di tetapkan maupun yang akan
di tetapkan (lihat Pasal 66). Sehingga Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan
menghapuskan segala ketentuan-ketentuan mengenai atau keterhubungan
dengan perkawinan yang di jumpai pertama, BW, O.P.I.K (S.1933 : 74), P.P.C
( S.1898 : 158) dan kedua dalam peraturan-peraturan lain sejalan materinya
telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. 36
Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah
perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka
tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda
agama. Namun timbul permasalahan ketika Pasal 66 Undang-Undang
Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, yang
35
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1978), h. 16.
36
Sudarsono, Hukum Keluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 261.
64
mana dalam penjelasan Pasal 66 menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama
dapat di berlakukan selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya.
Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman
kepada peraturan perkawinan campuran, sedangkan dalam Pasal 57 Undang-
Undang Perkawinan menjelaskan perkawinan campuran itu hanya terkait
perkawinan antar negara sedangkan menurut peraturan lama perkawinan
campuran mencangkup perkawinan antar agama, jadi ketentuan-ketentuan
itulah yang membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan
perkawinan beda agama atau mengalihkan aturan yang ada sehingga munculah
penyelundupan hukum.
Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44 secara eksplisit
mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf
(c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita karena keadaan tertentu;
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan
pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.37
37
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) h. 16.
65
Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama
Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang
Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan antar umat beragama,
bahwa:
a. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram
hukumya.
b. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah.
Tentang perkawinan atara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
terdapat perbedaan pendapat.38
Selanjutnya Prof. Dr. Quraiysh Shihab, MA., dengan lantang mengatakan,
perkawinan ini tidak sah, baik menurut agama maupun menurut Negara.
Adapun putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986, putusan
tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum
karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan
sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan
beda agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari
sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.39
Dalam mengisi
kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
38
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:Elsas,
2008), h. 123.
39
Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama.
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 146.
66
secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, Mahkamah Agung
dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986,
memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa
perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan
Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan
permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib
menerima permohonan perkawinan, namun kenyataanya Kantor Catatan Sipil
(KCS) tetap menolak dengan alasan belum ada aturan yang baku. Namun kini
ada aturan baru dalam persoalan perkawinan dalam hal pencacatan terkait
prosedur pengesahan perkawinan yaitu lahirnya Undang-Undang Adminduk
Nomor 23 Tahun 2006 dalam Pasal 34 dan 35 tentang penetapan melalui
pengadilan yang mana dalam penjelasanya dikhususkan untuk perkawinan
beda agama, sehingga kantor catatan sipil tidak boleh lagi menolak
mencatatkan perkawinan yang beda agama karena sudah ada ketentuannya.
C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama dalam Praktek
Kenyataannya di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri
dari bermacam-macam suku, juga adanya agama yang beraneka ragam. Hal ini
sangat berpengaruh pada pergaulan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.
Tidak bisa di pungkiri juga kemajuan tekhnologi sebagai alat interaksi baru dalam
pergaulan, yang tak hanya bisa ditempuh dalam satu wilayah melainkan banyak
dan menyebar keseluruh dunia akibat dari globalisasi. Hal tersebut sedikt ataupun
67
banyak tetap saja ikut ambil alih dalam mendorong atau melatar belakangi
terjadinya perkawinan beda agama. Di tambah dengan tidak diaturnya perkawinan
beda agama secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan
yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda agama di
Indonesia tidak dapat dihindarkan.
Pada kenyataanya perkawina berbeda agama sudah berkembang dan
menjadi polemik sejak dulu, setelah kasus yang pertama kali muncul yaitu kasus
yang dilakukan oleh Andi Vonny G, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung
Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 perkawinan mereka telah sah, dan putusan tersebut
dijadikan acuan untuk mengesahkan perkawinan selanjutnya. Untuk dapat
mencatatkan perkawinan beda agama, menurut guru besar hukum perdata
Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata dalam seminarnya di Depok
menjelaskan ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin
melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu antara lain :
1. Meminta penetapan pengadilan. Pasal 21 ayat (1) – (4) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan
berpendapat bahwa perkawinan tersebut ada larangan menurut undang-undang
ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Didalam hal
penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu
68
keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan–alasan
penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat
perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan
keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan di atas.
Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan
memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau
memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
2. Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing-masing agamanya.
Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan
istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof.
Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah
perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan
yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang
dilangsungkan sebelumnya.
3. Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini
biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang
melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan
penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum
nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.
69
4. Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 Undang-Undang
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia
atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan
bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka. Namun sebenarnya cara ini tidak dapat
menjadi pembenaran dilangsungkan perkawinan beda agama. Karena sesuai
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut baru sah
apabila Warga Negara Indonesia (WNI) tidak melanggar ketentuan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.40
D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama
Aturan yang belum jelas dan ketidak pastian hukum pada pasangan yang
berbeda agama menimbulkan pertanyaan baru dan masalah tentang keabsahan
perkawinan, yang mana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal
2 dijelaskan bahwa :
40
Lihat situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-penyelu
ndupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agamadanhttp://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12
/perkawinan-beda-agama.html, di unduh tgl 21/10/2013 jam 14.20 WIB.
70
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu,
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Hal ini menunjukan bahwa ayat satu dan dua saling berkaitan dan tidak bisa
di pisahkan, perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut agama dan
dicatatkan di instasi yang sudah di tentukan. Sehingga bagi pasangan beda agama
pun berlaku hal yang sama, jika agama masing-masing tidak mengijinkan maka
perkawinannya pun dianggap tidak sah ditambah dalam pengesahnya harus
adanya bukti dalam bentuk akte nikah yang mana untuk mendapatkanya harus
melalui proses pencacatan, lalu instasi mana yang berwenang mencatatkan?
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tepatnya dalam bab II
Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa, perkawinan yang dilangsungkan menurut agama
Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan yang sebagaiman di jelaskan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan
rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan yang bukan beragama
Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
(KCS). Maka sudah jelas sekali bagi pasangan beda agama tak memiliki tempat
dimanapun. Namun kenyataanya Kewenangan Kantor Catatan Sipil dalam bidang
perkawinan sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 seperti kita tahu mengalami perubahan. Dalam hal perkawinan beda agama
71
perubahan kewenangan ini membawa dampak yang signifikan sehingga lembaga
ini satu-satunya yang memiliki kemungkinan untuk mencatatkan perkawinannya.
Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau
perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan
tegas. Oleh karenanya, ada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak
mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut
bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan ada
pula Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan
Gemengde Huwelijken Regeling, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum
suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.
Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400
K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan
perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai
salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam proses
perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan
antar agama dapat diajukan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dan
bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut
berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan
demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut
pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga Pasal 8
point f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan
72
untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami
isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena
kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama,
tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon
pasangannya.41
41
Maris Yolanda Soemarno, Tesis (Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama
Yang Dilangsungkan Di luar Negeri),Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan: 2009, h. 53.
73
BAB IV
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006
TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA
Perkawinan sebagai institusi sosial sungguh sama kompleks dengan
kontroversi dengan institusi mapan lainya yang sangat berpengaruh (negara). Kedua
institusi ini sama-sama di soroti sebagai arena pertarungan yang alih-alih berbasis
keadilan dan merealisasikan dalam kehidupan sosial untuk menegakan kedaulatan
individu sebenarnya untuk para pihak yang berkepentingan. Tak dapat di pungkiri,
nasib dari dua institusi mapan ini (Negara-Perkawinan) saling kait-mengait, banyak
peraturan yang berkembang dan tampak tak berpungsi atau malah menjadi hal yang
menuai pro dan kontra. Dengan alih-alih globalisasi atau pengaruh sekularis dan
berkata negara ini plural menjadi alasan dari tiap-tiap suatu peraturan di buat, dan
lebih dominan pada siapa yang berkuasa. Misal aturan tentang perkawinan lintas
agama atau antar agama yang masih menjadi polemik dan masih dalam perselisihan
hingga saat ini, di muatnya aturan yang belum pasti dan tidak jelas sehingga banyak
penyelundupan hukum. Namun ada lagi yang menjadi kontroversi yaitu munculnya
aturan baru yang masih di perbincangkan apakah aturan ini menjadi penegas bahwa
perkawinan antar agama sudah legal, bagaimana kedudukan aturan yang lama.
Berikut beberapa cara penyelesaian problem perkawinan antar agama dan keabsahan
perkawinan beda agama menurut aturan yang berlaku.
74
A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang Nomor23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan
penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam arti
sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat,
pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis
ketatausahaan. Menurut Arthur Grager Administrasi adalah fungsi tata
penyelenggaraan terhadap komunikasi dan pelayanan warkat suatu organisasi.
Administrasi menjadi hal yang sangat penting jika dihubungkan dengan segala
aktivitas berkehidupan, berhubung Negara Indonesia memiliki penduduk yang
sangat padat maka dibutuhkanlah sebuah aturan dalam berkependudukan
sehingga administrasi kependudukan menjadi sebuah kebutuhan untuk
menertibkan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat proses pencatatan atau
pengolahan yang berhubungan dengan ketertiban bersama1.
Administrasi kependudukan sendiri adalah rangkaian kegiatan penataan
dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui
pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan informasi administrasi
kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan
pembangunan sektor lain2. Administrasi kependudukan itu sendiri menyangkut
1 Http://Id.M.Wikipedia.Org/Wiki/Adminitrasi. Tgl 5 Januari 2014 Jam 10.0 WIB
2 Afdol,Seminar Nasional (Hak Masyarakat Adat Atas Pencatatan Sipil), (Depok: Lemabaga
Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Good Governance In Population
Administration “GGTZ GG PAS”, 2007),h. 3.
75
seluruh masalah kependudukan, yang meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan
sipil, dan pengelolaan data informasi kependudukan. Terkait dengan hal tersebut,
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kependudukan melalui Undang-
UndangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Materi yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan (Adminduk) terdiri dalam 14 bab, berikut pembagianya :
1. Bab I berisi tentang ketentuan umum, terdiri dari 1 Pasal.
2. Bab II berisi tentang Hak dan Kewajiban penduduk, terdiri dari 3 Pasal.
3. Bab III berisi tentang pengaturan Kewenangan Penyelenggaraan dan Instansi
Pelaksana, terdiri dari 8 Pasal.
4. Bab IV berisi tentang Pendaftaran Penduduk, terdiri dari 14 Pasal.
5. Bab V berisi tentang Pencatatan Sipil, terdiri dari 31 Pasal.
6. Bab VI berisi tentang pengaturan Data dan Dokumen Kependudukan, terdiri
dari 22 Pasal.
7. Bab VII berisi tentang pengaturan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
Saat Negara atau Sebagian Negara dalam Keadaan Darurat dan Luar Biasa,
terdiri dari 2 Pasal.
8. Bab VIII berisi tentang pengaturan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan, terdiri dari 2 Pasal.
9. Bab IX berisi tentang pengaturan Perlindungan Data Pribadi Penduduk, terdiri
dari 4 Pasal
10. Bab X Penyidikan, terdiri dari 1 Pasal.
76
11. Bab XI berisi tentang pengaturan Sanksi Administratif, terdiri dari 4 Pasal.
12. Bab XII berisi tentang Ketentuan Pidana terdiri dari 7 Pasal.
13. Bab XIII berisi tentang Ketentuan Peralihan terdiri dari 2 Pasal
14. Bab XIV berisi tentang Ketentuan Penutup terdiri dari 6 Pasal
Ketentuan tentang pentingnya suatu pencatatan baik kependudukan ataupun sipil
bisa kita lihat pada konsideren menimbang dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Yaitu ;
Huruf (a) : Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap
penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan
dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di
dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;3
Adanya kata penentuan status pribadi dan status hukum dalam konsideren
menimbang bermakna bahwa keharusan dibuatkan pencatatan dalam bentuk
sebuah dokumen adalah sebagai upaya perlindungan hukum. Pada hakikatnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan
dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap
Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami Penduduk. Tujuan
Di bentuknya Undang-Undang Administrasi Kependudukan adalah agar dapat
memberikan pemenuhan hak administrativ seperti pelayanan publik serta
3 Lihat Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. Pertama), h. 1.
77
perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya
perlakuan diskriminatif.
Pasal 26 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan hal-hal
mengenai penduduk diatur dengan undang-undang. Sebagai penjabaran hal
tersebut maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, sebagai landasan hukum pengaturan di bidang
kependudukan dan pencatatan sipil.
Melihat materi yang diatur adalah mengenai status hukum atas peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting maka seharusnya cara-cara memperoleh
status hukum tersebut tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, misalnya
dalam persoalan perkawinan yang termuat dalam Bab V tentang pencatatan sipil.
Pencatatan sipil itu sendiri berisi ketentuan tentang pencatatan yang penting
seperti kelahiran, kematian, pengangkatan anak, perceraian serta perkawinan.4
Catatan sipil sendiri bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, untuk
membentuk ketertiban hukum, guna pembuktian dan untuk memperlancar
aktivitas pemerintah dibidang kependudukan. Ternyata di dalam Undang-Undang
Administrasi Kependudukan ada salah satu pasal yang esensinya bertentangan
dengan nilai-nilai agama dan dengan aturan sebelumnya yang masih berlaku
sampai saat ini, yaitu pada bab V bagian ketiga tentang pencatatan perkawinan
4 Mohammad Farid, (Memahami Pencatatan Sipi) Tulisan Dalam 30 Kasus Catatan Sipil di
Indonesia, Analisis Kasus Dan Rekomendasi, (Jakarta: GTZ GG PAS, 2006, Edisi Pertama), h. 13.
78
tepatnya pada Pasal 35 yang berbunyi:5 Pencatatan perkawinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh
Pengadilan.
Penjelasan pada Pasal 35 sendiri berisi tentang : huruf (a) ; Yang dimaksud
dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang
dilakukan antar-umat yang berbeda agama
Aturan yang termuat dalam pasal tersebut sangatlah kotroversi dan terlihat
tidak jelas, karna esensi perkawinan yang menekankan pada perkawinan yang
seiman berubah menjadi kebolehan menikah dengan berbeda agama dan hal ini
bertentangan dengan aturan pada Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1)
tentang perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaang masing-masing.
Perkawinan beda agama yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan hanya berkisar tentang pencatatan perkawinan terkait
pengesahannya. Sehingga dapat diuraikan bahwa jika perkawinan bagi pasangan
yang berbeda agama maka ia harus mendapat penetapan dari pengadilan, jadi
keabsahan suatu perkawina bagi pasangan beda agama di tentukan oleh Hakim dan
selanjutnya barulah ia boleh di catatatkan pada instasi setempat. Namun instasi
mana yang memiliki kewenangan untuk mencatatkan perkawinan bagi pasangan
berbeda agama. Di dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendri
Pasal 34 ayat (4) yang berbunyi
5 Lihat Undang-Undang Adminduk Nomer 23 Tahun 2006, jakarta, Sinar Grafika, 2007. h.
17.
79
“Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama
Islam dilakukan oleh KUAKec,”
lalu didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Bab II Pasal 2 ayat (1) berbunyi :
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk.
Sehingga dengan kata lain Kantor Urusan Agama (KUA) hanya
mencatatkan perkawinan yang beragama Islam saja, diluar ketentuan itu berarti
mejadi kewenangan Kantor Catatan Sipil termasuk perkawinan beda agama yang
sekarang menjadi kewenangan Kantor Catatan Sipil.6
Didalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan terkait perkawinan
beda agama sendiri lebih ditekankan pada instasi mana yang berhak mencatatkan,
dan seperti apa prosedurnya, maka lahirnya Undang-Undangini memberi
kewenangan baru bagi Kantor Catatan Sipil disingkat (KCS) untuk mencatatkan,
yang mana sebelumnya belum ada aturan yang kuat dan masih berdasarkan pada
yurispudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu putusan Nomor 1400/K/Pdt/1986,
sehingga Kantor Catatan Sipil bisa menolak untuk mencatatkan perkawinan beda
6 Lihat Pasal 2 ayat 2 pada PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi pencatatan perkawinan dari
mereka yang melangsunga perkawinanya menurut agama dan kepercayaanya itu selain agama islam
dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud
didalam berbagi perundang-undangan mengenai pencatatn perkawinan.
80
agama karena belum adanya legalitas. Di dalam penjelasan umum Undang-
Undang Perkawinan angka 4 huruf (b) menyatakan; pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting
dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar
pencatatan.7 Walaupun pencatatan perkawinan ini bukan menjadi satu-satunya
syarat utama untuk menetukan keabsahan suatu perkawinan, akan tetapi dengan
tertib administrasi kependudukan serta menjamin kepastian hukum terutama
dalam kepentingn pembuktian, maka pencatatan perkawinan adalah suatu
keharusan untuk diselenggarakan. Lembaga catatan sipil merepakan suatu
lembaga pencatatan peristiwa kependudukan yang berada ditingkat daerah, tugas
daripada catatan sipil secara nasional yang telah diuraikan sebelumnya, yakni
melakukan pencatatan peristiwa penting kehidupan seseorang pribadi, dengan
selengkap-lengkapnya dan sebesar-besarnya, untuk kepentingan pelayanan dan
administrasi kependudukan. Tugas pokok kegiatan pelayanan administrasi
daripada catatan sipil ini juga memberikan pelayanan pencatatan sipil untuk
pecatatan perkawinan seperti pada Pasal 32 ayat (2d) dan penerbitan aktanya di
Pasal 33 (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007.8
7 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,( Jakarta: Sinar Grafika,
2006, Cet. Ke-6), h.24
. 8 Lihat Pasal 32 dan 33 PP Nomor 37 Tahun 2007tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, dan lihat Nomor 102 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
81
Maka terkait persoalan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang
Administrasi Kependudukan sendiri dibuat untuk mencegah adanya usaha
penyelendupan hukum dengan cara-cara yang sudah di paparkan pada bab
sebelumnya, sehingga diakomodir dalam suatu bentuk perundang-undangan yaitu
Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006. Dan
prosedur pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan diatur pada Pasal 34, 35 dan 36 Undang-Undang Administrasi
Kependudukan.9 Pokok dari pasal tersebut antara lain :
1. Pasal 34
a. Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
b. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pejabat
pencatatan sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan
Kutipan Akta Perkawinan.
c. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-
masing diberikan kepada suami dan istri.
d. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
beragama Islam dilakukan oleh KUA Kec.
e. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUA Kec. kepada
9 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cet. Pertama), h. 225-226.
82
instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
pencatatan perkawinan dilaksanakan.
f. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
memerlukan penerbitan kutipan akta pencatatan sipil.
g. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana
2. Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Administrasi
Kependudukan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan
(Pasal 35 hurup a), dalam hal ini yang dimaksud pada pasal tersebut adalah
perkawinan antar umat beragama (penjelasan Pasal 35 huruf a). Sedangkan
perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan
Warga Negara Asing yang bersangkutan (Pasal 35 huruf b), yang syaratnya
harus mengikuti ketentuan perkawinan di Indonesia (penjelasan Pasal 35
huruf b).
3. Sedangkan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akte
perkawinan, maka pencatatan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan
(Pasal 36 Undang-Undang Administrasi Kependukdukan)
B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan
Pembentukan suatu peraturan yang baik haruslah merujuk pada unsur-
unsur yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, hal ini bertujuan agar saat
peraturan tersebut diterapkan bisa menyelesaikan atau meminimalisir masalah
83
yang terjadi bukan menimbulkan masalah baru sehingga aturan yang di buat
tersebut tepat sasaran. Namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi kependudukan terutama dalam Pasal 35 berisi sebuah
ketentuan baru yang menimbulkan perdebatan yang sampai saat ini menjadi pro
dan kontra, karena dianggap bertentangan dengan nila-nila agama, namun
sebagian kalangan masyarakat menganggap lahirnya pasal ini sebagai jawaban
penghapusan diskriminatif.
Menurut Soerjano Soekanto dan Purbacaraka untuk membentuk suatu
peraturan yang baik harus memenuhi beberapa asas sebagai berikut:10
1. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut
2. Undang-Undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi
3. Undang-Undang yang bershifat khusus mengesampingkan Undang-Undang
yang bersifat umum.
4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang
yang berlaku terdahulu
5. Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat
6. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai
kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui
pembaruan maupun pelestarian
10 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik (Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, h 117.
84
Hal yang menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah perkawinan
yang dicatatkan dengan penetapan pengadilan sesuai dengan Pasal 35 huruf (a)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sah menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam permasalahan ini untuk melihat aturan
mana yang mesti diberlakukan dan adakah pertentangan kita harus mengaitkanya
dengan asas-asas pembentukan peraturan agar terlihat titik persoalan secara
sistematis.
Menurut Van Der Vlies suatu peraturan yang akan dibuat harus memiliki
tujuan yang jelas, dengan tujuan yang jelas maka akan dapat dicapai sebuah
aturan yang menjawab permasalahan.11
Dalam teknis pembentukan peraturan
perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas di cantumkan pada bagian
konsidern (menimbang) termasuk pula bagian penjelasan. Dalam konsideren yang
termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan pada
penyelenggaraan pecatatan sipil maupun pencatatan kependudukan yang erat
kaitanya dengan upaya perlindugan status hukum setiap peristiwa kependudukan
dan peristiwa penting. Penduduk berhak mendapatkan dokumen kependudukan
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dimana hak-hak tersebut berkaitan dengan peristiwa kependudukan dan
peristiwa penting yang dialami oleh seseorang tanpa adanya diskriminatif. Dalam
pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih ditemukan
penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang
11
Ibid, h.145.
85
membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam
berbagai peraturan produk kolonial Belanda.12
Maka adanya Pasal 35 terkait
perkawinan beda agama adalah upaya untuk menghilangkan deskriminatif dan
upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Maka munculnya Pasal 35 menurut
dianggap sebagai suatu kemajuan HAM khususnya hak warga negara untuk
dicatat. Dengan maksud bahwa agama bukan lagi masalah krusial agar suatu
perkawinan bisa dicatatkan.
Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah didasarkan pada
asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan
keterbukaan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi kedudukanya.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5.13
Sehingga dalam
menganalisa suatu peraturan perundang undangan, ada beberapa langkah yang
mesti diperhatikan antara lain14
;
12
Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tetang Administrasi
Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama), h. 44. 13
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, (Bandung: Nuansa Indah 2011, Cet. Pertama), h.5. 14
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik (Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.171.
86
1. Sitematika penulisan sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan
yang baru,
2. Dasar hukum yang dijadikan acuan harus sesuai dengan aturan pembentukan
perundang-undangan yang baru,
3. Masalah sosial yang ingin diatasi,
4. Dan norma-norma pokok yang terdapat dalam peraturan yang akan dibuat
Hal ini bertujuan untuk melihat efesiensi dan efektivitas peraturan tersebut,
apakah menimbulkan masalah baru atau adanya sebuah kepentingan dalam
pembentukan peraturan tersebut.
Jika kita analisis Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut
Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, secara aspek teknis pembentukan peraturan perundang-
undangan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri telah sesuai
dengan aturan yang berlaku baik, secara sitematika penulisan ataupun secara
teknis pembentukan. Bisa kita lihat dari segi sitematika penulisanya, yaitu
adanya judul yang jelas, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan dan
lampiran. Di dalam pembukaan itu sendri berisi konsideren/ pertimbangan yang
memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran dari Undang-Undang
Administrasi Kependudukan yaitu adanya upaya perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum sehingga jika ditafsirkan
dibuatnya undang-undang ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan
mengisi kekosongan hukum agar terciptanya keadilan. Maka jelas bahwa
87
dimuatnya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah salah satu upaya
untuk menghilangkan perbedaan dan upaya mengisi kekosongan hukum yang
mana sebelumnya belum ada aturan jelas yang mengatur perkawinan antar
agama.
Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang
Administrasi Kependudukan sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7
terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu susunan tertinggi
harus berdasarkan Undng-Undang Dasar 1945, sedangkan masalah sosial yang
ingin diatasi sendri dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan bisa dilihat
dalam bab penjelasan yaitu terkait pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang
Pencatatan Sipil, yang masih ditemukan penggolongan Penduduk yang
didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku,
keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.
Dan itulah yang menjadi latar belakang lahirnya Pasal 35 Undang-Undang
Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda
agama15
. Namun kenyataannya dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sangat
bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang menekankan sebuah perkawinan
pada ikatan yang syakral.
Hukum agama sendiri merupakan salah satu hukum yang hidup dan
menjiwai seluruh umat manusia, dan diyakini kebenarnya sehingga memberi efek
15
Lihat UU Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, h. 17.
88
sosiologis pada seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hukum khusus yaitu
hukum perkawinan, maka dari itu suatu perkawinan seharusnya sesuai dengan
aturan agama dan bangsa. Indonesia sendiri merupakan bangsa yang monotheis
dan bukan atheis,16
oleh karena itu agama dijadikan landasan filsafah bangsa
Indonesia dan bisa kita lihat pada sila pertama dalam Pancasila yakni “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Paham inilah yang menjadi dasar dilahirkannya Undang-
Undang Perkawinan yang mana agama diajdikan hal utama yakni hukum agama
sebagai pengesah suatu perkawinan, misalnya seorang muslim maka ia
berdasarkan hukum agamanya sebaliknya agama lain.
Menurut Daud Ali dalam Negara yang berdasarkan Pancasila tidak boleh
berlaku aturan hukum yang bertentangan dengan hukum agama, agama-agama
yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama. Maka dalam Negara
Pancasila tidak boleh terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
Bustanul Arifin berpendapat bahwa dalam sistem perkawinan kita sekarang tidak
ada lagi tempat untuk perkawinan yang bersifat sekuler seperti perkawinan
perdata masa dulu, karena Pancasila tidak menampung hal-hal yang bersipat
sekuler.17
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu yang bersipat prinsipil,
karena berkaitan langsung dengan akibat–akibat perkawinan. Hal ini lah yang
melatarbelakangi lahirnya Pasal 2 ayat (1) yakni “ perkawinan adalah syah
16
Monotheis adalah sebuah paham yang menyakini adanya suatu Tuhan sebagai pencipta
kehidupan manusia, sedangkan atheisme adalah paham yang tidak menyakini adanya tuhan.
17
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan
Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Pertama), h. 81-82.
89
menurut agama dan kepercayaan masing-masing”, hukum masing-masing agama
itu termasuk pula ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaanya sepanjang tidak bertentangan atau
ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.18
Dari ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa perkawinan mempunyai
kaitan erat dengan agama yang dianut oleh calon mempelai, sehingga perkawinan
dapat dikatakan syah secara yuridis apabila perkawinan tersebut dilakukan
menurut agama orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Maka bagi
orang Islam perkawinan mereka dikatakan syah jika mengikuti aturan tata cara
hukum Islam, dan bagi pasangan yang berbeda agama maka perkawinannya dapat
dikatakan tidak sah.
Menurut penulis adanya pelarang perkawinan beda agama atau
perkawinan beda agama tidak syah bukanlah sebuah pelanggar Hak Asasi
Manusia, jika dikaitkan dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi; “ Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undangdengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis” maka jika ditapsirkan bahwa hak asasi
18
H.M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Pertama), h. 12.
90
manusia dibatasi selama tidak melanggar nilai-nilai agama dan sebagainya.19
Dari ketentuan pasal di atas dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama
bukan lagi Hak Asasi Manusia, karena sudah melanggar nilai-nilai agama
walaupun pada kenyataanya perkawinan tersebut bisa diberlangsungkan dengan
adanya dipensasi. Pada dasarnya dikeluarkanya dispensasi dari masing-masing
agama bukanlah degan cuma-cuma tapi ada persyaratan yang mesti dilakukan
terlebih dahulu, hal ini menandakan bahwa perkawinan beda agama sangatlah
tidak disukai di setiapa ajaran agama manapun. Dampak yang ditimbulkan dari
perkawinan beda agamapun sangatlah lebih banyak, terkait masalah anak
terutama dalam pertumbuhan kejiwaanya. Kewajiban orang tua mendidik
anaknya dengan nilai-nilai agama merupakan hak setiap anak, bagaimana
pasangan beda agama dalam meberikan pendidikan untuk tumbuh kembang anak,
menjadi masalah yang mesti diperhatikan.
Walaupun benar bahwa perkawinan adalah hak setiap orang, dan adanya
Pasal 35 tentang perkawinan beda agama adalah untuk menghilangkan adanya
diskriminasi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia diskriminasi dimaksudkan kepada adanya pembatasan, pelecehan,
pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pembedaan
manusia atas dasar etnis, agama, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial,
19
Jimmy Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia
Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama), h.127.
91
status ekonomi dan sebagainya.20
Dan dalam Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa
“setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunannya
dengan melalu perkawinan yang sah, dan dalam ayat 2 menyatakan perkawinan
yang sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.21
Maka sebagian
aliansi seperti Paramadinan dan Indonesian Conference in Region and Peace
(ICRP) mengatakan bahwa perkawinan beda agama adalah hak asasi manusia,
namun jika dilihat dari makna diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut adalah dalam perlakuan atau tindakan diskriminatif adalah tindakan yang
bertujuan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap sesama warga negara
hingga hilangnya kesempatan dan kesetaraan dalam menjalankan kehidupannya.
Sedangkan dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 memberikan
jaminan, perlindungan dan kesempatan untuk berkehidupan namun dibuatnya
batasan pada dasarnya untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, saling
menghargai dan menghormati satu sama lain. Oleh karena itu adanya aturan baru
yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminstrasi
Kependudukan Pasal 35 huruf (a) terkait perkawinan beda agama bukanlah
sebuah kemajuan HAM melainkan membuka permasalahan baru dan berimplikasi
20
Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan
Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, (Jakarta: Sekertariat Jendral DPR-RI,
2001), h. 154-155. 21
Ahmad Baso Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama (Kesaksian, Argument
Keagamaan Dan Analisa Kebijakan), (Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2005, Cet. Pertama), h.258.
92
pada pelanggaran nilai-nilai agama yang nantinya dikaitkan pada hal penistaan
agama seperti kasus Asmiranda, dan banyak dampak negatif yang di timbulkan.
Ternyata aturan tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang
Perkawinan namun bertentangan dengan esensi yang terkandung pada Undang-
Undang Dasar 1945.
Selanjutnya jika dikaitkan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang
penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama sama-sama pasal yang
menyangkut masalah kerohanian yang mana dalam Undang-Undang Perkawinan
mengutamakan agama sebagai sumber utama dalam pengesahan perkawinan
sedangkan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan lebih
menekankan pada hak asasi manusia atau lebih tepatnya agama bukan masalah
krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya
Pasal 29 ayat 2 memuat ketentuan yang bermakna untuk memeluk agama dan
kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
yang diyakini.22
Menurut Prof. Mohammad Daud Ali terkait pemaknaan pada Pasal 29
ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kata-kata agama dan kepercayaan
dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar
1945. Adapun pendapat mereka antara lain:
22
Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah
Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta ,Sekretaris Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33.
93
1. Menurut H.Agus Salim menyatakan makna Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan atau
akidah agama, “tidak ada seorangpun diantara kami (para perancang atau
penyusun Undang-Undang Dasar 1945) yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud
adalah, akidah atau kepercayaan agama.
2. Menurut Mohammad Hatta menyatakan arti perkataan kepercayaan dalam
Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan agama,
ditambah lagi oleh Mohammad Hatta kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung
bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Kata “itu” menurut beliau
adalah menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan
tersebut. Dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis, Mohammad Hatta
menjelaskan hal tersebut adalah logis, karena kata-kata agama dan
kepercayaan itu digandengkan atau disandingkan dalam satu kalimat dan
diletakan di bawah bab agama dan benar sesuai dengan penjelasan H. Agus
Salim.
3. Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota
PPK yang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengatakan bahwa
makna kepercayaan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak lain adalah
kepercayaan yang termasuk dalam lingkup “agama” yang dipeluk bangsa
Indonesia.23
23
David Hartadi Tenggara, “ Dampak Lahirnya Undang-Undang Administrasi
Kependukdukan Terhadap Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Depok ,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.
94
Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari
penjelasan diatas menurut Prof. Muhammad Daud Ali bahwa dalam Undang-
Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 yang mana kata agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dan
penjelasan dari pasal tersebut yaitu “ dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-
masing agama dan kepercayaan itu‟‟ sehingga jika tarik kesimpulan dari
penjelasan pasal tersebut bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar „hukum
agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar hukum agamanya hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr
Hazairin SH.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 (b) berbunyi “setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
syah” ditafsirkan bahwa perkawinan yang syah merupakan persyaratan untuk
timbulnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan maka negara
tidak menjamin hak seseorang jika dalam membentuk keturunan tanpa adanya
proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang
Perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan.24
Menurut Hadikusuma di
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional mengatakan bahwa
perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan
yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama
24
Jimly Asshiddiqie, Kometar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.
95
yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum
dari salah satu agama itu, bukan masing-masing agama calon mempelai. Dan ia
mendefiniskan perkawina beda agama sebagai perkawinan yang dilaksanakan
menurut tata tertib salah satu agama, bukan oleh setiap agama, sehingga ia
menekankan pada penundukan salah satu agama.25
Munculnya sebuah ketentuan
baru dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan
perkawinan beda agama untuk dicatatkan sehingga memberikan definisi baru
bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata
lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.
Dilahirkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk meminimalisir
adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda agama
tidak diakomidir dalam Undang-Undang tersebut. Timbulnya permasalahan
dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, penulis rasa lebih
menekankan pada masalah apa yang ingin diatasi Undang-Undang Administrasi
Kependudukan itu sendiri. Ternyata banyak muatan materi yang bertolak
belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma
yang hidup di masyarakat, apalagi dalam pasal-pasal yang menyoroti masalah
keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut
dengan disharmoni hukum. Disharmoni hukum biasanya timbul karena adanya
25
Ichtijanto, Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996), h. 37.
96
perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan
bisa juga dikarenakan adanya pertentangan dengan peraturan pelaksanaan dan
sebagainya. Misalnya pertentangan antara Undang-Undang yang kedudukanya
sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan
dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai.
Undang-Undang Perkawinan yang sudah mendasari hukum perkawinan
hingga saat ini, secara yuridis merupakan ketentuan yang tertinggi dalam
mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap
suatu perkawinan bagi masyarakat di Indonesia. Namun dengan dilahirkanya
Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis
menjadi sebuah ketentuan perundang-undangan yang tertinggi dalam
penyelesaian administrasi kependudukan, sehingga ketentuan sebelumnya yang
hanya berupa Keppres posisinya naik menjadi undang-undang. Hal tersebut
menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat
pluralistis harus mengacu pada aturan ini. Sedangkan Undang-Undang
Perkawinan dianggap memiliki ketentuan yang pluralistis hukum dan adanya
diskriminatif terutama dalam hal pencatatan perkawinan, terlihat dari banyaknya
pro kontra dalam masyarakat mengenai keabsahan dan pencatatan bagi mereka
yang memilki perbedaan agama sehingga adanya Undang-Undang Administrasi
Kependudukan dianggap sebagi solusi atau mengakomodir bagi mereka yang
ingin dicatatkan dan mendapat pengakuan. Tetapi banyak yang menganggap
perkawinan yang berbeda agama adalah hal yang sangat sensitip karena ini
97
menyangkut konteks agama bukan lagi terkait Hak Asasi Manusia melainkan
sebuah keyakinan yang menyangkut orang banyak bukan lagi masing-masing
pihak walaupun dalam Pasal 29 ayat 2 mengatakan “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu” dengan kata lain
bukan berati kita bisa melanggar ketentuan agama yang bisa menimbulkan
konflik lebih banyak. Sehingga kedudukan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sendiri terhadap Undang-Undang Perkawinan harus di lihat dari
segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat
kedudukan masing-masing.
Untuk menyelesaikan pertentangan yuridis terkait dalam Pasal 35 huruf
(a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang
Perkawinan Pasal 2 ayat 1 maka didalam sistem perundangan pada umumnya
mengunakan tiga asas hukum yaitu :
1. Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, maksud dari asas ini adalah
bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang
menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula
diperlakukan umum atau lebih luas yang juga dapat mencangkup peristiwa
khusus. Asas ini lebih sering diartikan sebagai suatu aturan yang bersipat
khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.
2. Asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori, yang dimaksud dengan asas ini
adalah, bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) yang
98
mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru
(yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan
tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang
yang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). Asas ini
sering diartikan bahwa ketentuan yang dibuat dan berlaku belakangan
membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.
3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini
adalah sebuah aturan yang dibuat dan kedudukannya lebih tinggi posisinya
mengalahkan ketentuan yang lebih rendah.26
Ketiga asas tersebut dapat digunakan jika terjadi ketidakharmonisan dalam
suatu peraturan perundang-undangan, dan menetukan aturan mana yang lebih
diutamakan dan diberlakukan.
Mengingat bahwa Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan
Undang-Undang Perkawinan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dalam
hirarki peraturan perundang-undangan dan jika penulis kaji mengunakan asas
diatas sudah sangat jelas asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori tidak bisa
digunakan. Berhubung masalah yang dikaji ini terkait perkawinan beda agama
yang mana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan
pada pencatatan perkawinan maka asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori tidak
bisa digunakan juga dalam persoalan ini karena isi kandungan dalam Undang-
26
C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 391-393.
99
Undang Administrasi Kependudukan jelas berbeda dengan Undang-Undang
Perkawinan sendri, Administrasi Kependudukan lebih menekankan persoalan
kependudukan dan administrasi sedangkan Undang-Undang Perkawinan
membahas tentang esensi perkawinan secara menyeluruh maka kedua aturan ini
tentulah sangat berbeda karena tidak seluruh subtansi undang-undang yang satu
merupakan bagian dari undang-undang yang lainnya. Namun adanya salah satu
pasal dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyangkut
perkawinan apalagi tentang perkawinan beda agama yang sebelumnya tidak ada
aturan yang mengatur hal tersebut manjadi persoalan.
Maka terkait Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi
Kependudukan yang termuat pada bab V tentang pencatatan sipil terkait
perkawinan beda agama dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 tentang
syahnya perkawinan bisa kita kaji mengunakan asas Lex Specialis Derograt Lex
Generalis, yaitu melihat dari segi hubungan umum khusus antara Pencatatan dan
Syahnya Perkawinan. Asas ini menjelaskan bahwa aturan hukum yang khusus
dapat mengesampingkan aturan yang bersipat umum. Asas lex Specialis Derograt
Lex Generalis hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki
sederajat.27
Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang perkawinan dan subtansi
tentang dasar perkawinan, larangan, syarat-syarat, pencegahan, batalnya
27
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perusahaan,( Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009,
Cet. Peratama), h. 10.
100
perkawinan dan lain-lain. Sedangkan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan subtansinya mengatur tentang administrasi kependudukan atau
pencatatan peristiwa penting yaitu kematian, kelahiran, perkawinan, perceraian,
pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status kewarganegaraan,
pencatatan penduduk dan lain-lain. Pencatatan perkawinan sendiri merupakan
salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Pasal 2 ayat (2) yang
berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”, demikian juga dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pencatatan perkawinan masuk kedalam peristiwa penting yang
mesti dicatatkan. Oleh karena itu dalam menetukan kedudukan umum khusus
harus dengan melihat dari segi substansi atau materinya tidak bisa dilihat hanya
dari judulnya saja.28
Jika dari segi pencatatan dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sendiri diatur secara umum sedangkan dalam Undang-Undang
Perkawinan diatur secara khusus karena dalam Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pencatatan peristiwan penting mencangkup banyak hal dan
perkawinan adalah salah satunya. Oleh karena itu perkawinan masuk kedalam
peristiwa penting yang harus dicatatkan, maka kemunculan Undang-Undang
Perkawinan menjadi aturan yang menetapkan perkawinan yang bagaimana dapat
dicatatkan.
28
Mifta Adi Nugraha, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara
Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang administrasi kependukdukan, Privat Law Edisi 01
Maret-Juni 2013. h. 58.
101
Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka hal ini terkait syahnya
suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan syahnya suatu
perkawinan ditentukan menurut agama dan kapercayaanya Pasal 2 ayat
(1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan tetapi
undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan syahnya suatu perkawinan
secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur oleh agama dengan kata lain
agama adalah penentu syahnya suatu perkawinan, sehingga aturan tentang
syahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan berlaku umum dan
Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku khusus.29
Kemunculan
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan
pengecualian untuk pelaksanan perkawinan beda agama yaitu dengan cara
pentapan pengadilan. Oleh karena itu perkawinan diangap syah untuk pasangan
berbeda agama hanya ada dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan
maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan bersipat lebih khusus. Sesuai
dengan asas yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-
Undang Perkawinan bersipat umum dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan bersipat khusus, sehingga Undang-Undang Administrasi
Kependudukan sebagai peraturan yang bersipat khusus dapat mengesampingkan
aturan yang bersipat umum.
Namun pada Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi
Kependudukan pada dasarnya tidak dijelaskan tentang syahnya perkawinan beda
29
Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14.
102
agama secara jelas, yang ada hanya penetapan pengadilan dan tidak ada
penjelasan terkait persoalan agama dengan kata lain agama dianggap hal yang
tidak penting dan perkawinan mereka ditentukan oleh hakim bukan lagi oleh
sebuah keyakinan, hal ini bisa diartikan bahwa implikasi Pasal 2 ayat (1) pada
Undang-Undang Perkawinan tentang pengesahan perkawinan menjadi tidak
berlaku, penetapan pengadilan diartikan sama dengan penetapan agama. Maka
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan berimplikasi
pada sebuah kenyataan bahwa perkawinan hanya sebatas pencatatan bukan lagi
sebuah hal yang sakral, perkawinan hanya sebuah simbol dan hanya untuk
mendapat bukti hukum saja. Syarat utama perkawinan menurut Undang-Undang
Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua calon
mempelai, akan tetapi hal ini menjadi lengkap dan tak terpisahkan secara dejure30
bila tidak dilakukan pencatatanya. Akibatnya perkawinan yang tidak dicatat
dianggap tidak syah meski perkawinan dilakukan menurut agama sehingga
dampak yang terjadi di masyarakat adalah hukum negara yang utama dan agama
bukan lagi hal yang ditakutkan karena masuk kedalam ranah privasi seseorang.
Dalam pengesahan suatu perkawinan jika dilihat dari segi pencatatan
maka terdapat tiga perkawinan yang dicatatkan berdasarkan prosesi perkawinan,
antara lain pencatatan bagi orang muslim adalah setelah adanya ijab qabul
dihadapan penghulu dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang
30
De jure (dalam bahasa latin klasik: de iure) adalah ungkapan yang berarti “berdasarkan
atau menurut hukum”
103
beragama selain Islam dilaksanakan di tempat peribadatan atau dihadapan
pemuka agama yang akan mengeluarkan bukti perkawinan, bukti itulah yang
menjadi dasar Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dukcapil) mencatatkan
perkawinan mereka, dan bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan salah
satunya perkawinan antar agama dianggap ada jika mendapat penetapan dari
pengadilan, salinan penetapan tersebut menjadi dasar Dinas Dukcapil untuk
mencatatkan perkawinan mereka.
Pada Pasal 35 huruf (a) yang berbunyi Pencatatan yang dimaksud dalam
Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku pula bagi
perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, dan ini hanya berlaku untuk
perkawinan antar agama. Didalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan
pengadilan mana yang berwenang untuk mengeluarkan penetapan bagi pasangan
beda agama, pengadilan agama ataukah pengadilan negeri. Menurut Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 1 ayat (1)
berbunyi : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam” dengan kata lain peradilan agama hanya berkuasa atas perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi kewenangan
peradilan umum.31
Perkawinan antar agama bukan kompetensi absoulut Peradilan
Agama sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang di paparkan di atas,
oleh karena itu jika terjadi perkara perkawinan antara pemeluk beda agama
31
Lihat Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
104
penyelesaianyya bukan pada Pengadilan Agama tetapi pada Pengadilan Negeri.32
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun
2009 Pasal 25 ayat 2 dan ayat 3.33
Lahirnya Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan
hanya memberi jalan khusus untuk melaksanakan dan mencatatkan perkawinan
tersebut yaitu melalui penetapan pengadilan, yang diketahui bahwa pengadilan
merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Hakim pada Penetapan Perkawinan
Beda Agama di Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj dan
Pengadilan Negeri Bogor Nomor 111/Pdt,P/2007/Pn.Bgr merujuk pada ketentuan
bahwa menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya” dan seorang hakim memiliki kewajiban untuk
menciptakan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan kata lain
seorang hakim harus bisa melihat, membaca, memahami dan mempertimbangkan
nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.
Menurut Denny, selaku salah satu hakim di Pengadilan Negeri Bogor
32
Neng Djubaedah, Ibid, h. 227. 33
Didalam Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi : “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan Pasal 25 ayat 2 berbunyi ; Peradilan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana
dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
105
mengatakan bahwa perkawinan agama sebagai akibat dari perubahan zaman yang
tidak bisa di hindari, selayaknya hukum harus mengikuti perubahan zaman
tersebut, maka lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberi
jalan bagi pasangan beda agama untuk merealisasikan perkawinannya tersebut.
Menurut beliau agama adalah hak asasi manusia dan di dalam Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945 tentang di jaminannya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap
warganegara untuk memeluk Agamanya masing-masing. Pasal 29 ayat (2)
disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu, namun bukan berati Undang-Undang Perkawinan sudah tak
berlaku lagi, adanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut
beliau sebagai pengkhususan “Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis” yang
artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.34
Seorang hakim dalam menilai keabsahan perkawinan antar umat yang
berbeda agama tetap harus memperhatikan keabsahan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan aspek-aspek agama serta aturan yang
lebih tinggi. Kantor Catatan Sipil hanya lembaga yang berwenang mencatatkan
perkawinan sedangkan yang melangsungkan perkawinan tetap pemuka agama
menurut hukum agama masing-masing. Jadi keberadaan Pasal 35 huruf a
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak berarti perkawinan sipil dapat
34
Wawancara Dengan Bapak Dennie Arsan Fatrika S.H, Selaku Hakim Di Pengadilan Negeri
Bogor, Tgl 16 Desember 2013.
106
dilangsungkan. Perkawinan harus tetap dilangsungkan menurut hukum agama
untuk kemudian dinilai oleh hakim mengenai keabsahannya, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 bukan tidak melarang perkawinan antar umat yang berbeda
agama melainkan tidak mengaturnya. Artinya selama hukum agama
membolehkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan merupakan suatu benturan. Hal
inilah yang harus diperhatikan oleh hakim karena hukum agama tertentu masih
membuka kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antar umat yang berbeda
agama dengan dispensasi-dispensasi tertentu.
Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 memang
memberikan kewenangan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan
perkawinan yang telah mendapat penetapan pengadilan. Ketika pengadilan telah
mengeluarkan penetapan yang memerintahakan Kantor Catatan Sipil untuk
mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka tidak ada
alasan untuk menolaknya. Adanya persyaratan penetapan pengadilan untuk
mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama memberikan
kewenangan yang besar pada hakim untuk menentukan apakah suatu perkawinan
antar umat yang berbeda agama sah atau tidak. Dalam menentukan keabsahan
perkawinan antar umat yang berbeda agama, dengan kata lain syahnya
perkawinan beda agama kini ditentukan oleh pengadilan bukan lagi oleh agama.
Melalui hukum yang dilahirkan pengadilan maka pejabat pencatat
perkawinan kini memiliki dasar hukum untuk mencatat perkawinan beda agama
107
tersebut. Pengaturan yang demikian menunjukan konsep pencatatan beda agama
yang administratif, perkawinan beda agama tidak didasarkan pada syahnya
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu menurut agama tapi
perkawinan beda agama dapat dicatatkan karena adanya aturan hukum yaitu
penetapan pengadilan yang menyuruh untuk dicatatkan, namun hal ini menjadi
tidak kalah penting karena dengan adanya pencatatan memberikan bukti autentik
terhadap status hukum seorang warga negara, dengan diterbitkannya buku nikah
atau akta perkawinan menjadi bukti bahwa perkawinan benar-benar telah terjadi.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perkawinan beda agama tetap
tidak syah karena pengadilan sendiri tidak menyebutkan dalam penetapnya bahwa
perkawinan yang mereka lakukan menjadi syah, pengadilan sendiri hanya
mengeluarkan penetapan untuk kebolehan dicatatkan agar mendapat bukti dan
mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil
mecatatkan perkawinan yang tidak syah, dan untuk dapat melangsungkan
perkawinan yang absah dan diakui negara maka perkawinan tersebut haruslah
memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan syarat syahnya suatu perkawinan
dibagi dalam dua syarat yakni syarat materil yaitu syarat mengenai diri pribadi
para calon sedangkan syarat formil adalah formalitas-formalitas yang harus di
penuhi para pihak sebelum dan sesudah perkawinan. Sedangkan dalam Undang-
Undang Perkawinan syarat formal tidak dipaparkan secara langsung terkait
pencatatan perkawinan maka ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi
108
Kependudukanlah yang digunakan yaitu Pasal 34, 35 dan 36. Berdasarkan isi
Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan dicatatkanya perkawinan
yang tidak syah bukan tidak mungkin, karena pada ayat 1 dijelaskan bahwa
perkawinan yang syah wajib dilaporkan dan pada ayat 2 menyatakan berdasarkan
laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat perkawinannya. Oleh karena itu
dalam Pasal 34 ayat 1 tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang syah saja
yang dapat dicatat, dan pada ayat 2 pun tidak mengatur bahwa hanya laporan atas
perkawinan yang syah saja yang hanya di catatkan. Dan dalam Pasal 36 sendiri
memberikan penjelasan bahwa perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan
akta perkawinan harus mendapat penetapan pengadilan hal ini berati bahwa
dengan adanya syarat dalam melangsungkan perkawinan beda agama harus
mendapat penetapan pengadilan, dengan begitu barulah Kantor Catatan Sipil
memiliki kewenangan untuk mengeluarkan akte perkawinan.
Menerima dan mencatatkan perkawinan hanya sebagi konsep dari Kantor
Catatan Sipil dan pada dasarnya dalam mencatatkan perkawinan beda agama,
Kantor Catatan Sipil hanya bersipat pasif dalam arti bahwa tidak memberikan
penolakan melainkan memberi saran atau solusi dengan adanya penetapan
pengadilan, sehingga pencatatan dan pengesahan perkawinan beda agama hanya
menyakut dua unsur yang pertama terkait maslah yuridis, khususnya masalah
pembuktian dan yang kedua menyangkut masalah administratif.
109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Analisis secara yuridis dan problematika yang terjadi, tentang Undang-
UndangAdministrasi Kependudukan(UU Adminduk) Nomor 23 Tahun 2006
Pasal 35 huruf (a)terkait perkawinan beda agama telah dilakukan pada bab-bab
sebelumnya. Sebagai jawaban atas permasalahan yang penulis ajukan dalam awal
penelitian, yaitu tentang kebijakan pemerintah atas diberlakukanya Undang-
Undang Administrasi Kependudukan terkait pelaksanaan perkawinan beda
agama yang menjadi sorotan publik dan dalam Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara pasti tentang perkawinan beda
agama sehingga kemunculan Undang-Undang Administrasi Kependudukan
membuka peluang bahwa perkawinan tersebut kini mendapat tempat dan
diperbolehkanya, yang pada dasarnya belum ada aturan yang pasti, dengan kata
lain negara kini memfasilitasi perkawinan beda agama. Aturan tersebut menjadi
perdebatan dan masih menjadi masalah sampai saat ini karena dianggap
melanggar nilai-nilai agama, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan adalah dalam rangka mewujudkan penyelanggaran
administrasi, baik itu pencatatan sipil maupun kependudukan yang efesien
dan efektif. Akan tetapi lahirnya Undang-Undang Administrasi
110
Kependudukan ini banyak menimbulkan masalah baru dan tidak
menyelesaikan masalah, banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan lain yang masih berlaku sampai saat ini.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilahirkan untuk meminimalisir
adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda
agama tidak diakomidir dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang
Perkawinan inipun mempelopori pembaharuan sitem perkawinan nasional
dan memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama masing-
masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan
Pasal29 Undang-Undang Dasar1945. Walaupun agama menjadi dominan
dalam Undang-Undang Perkawinan tidak berarti menentukan keabsahan
suatu perkawinan, guna memenuhi unsur administrasi maka pencatatanpun
mesti dilakukan sebagai bukti dan perlindungan hukum, ini dilakukan agar
meminimalisir permasalahan yang bisa terjadi nanti dan memberi kepastian
hukum serta rasa keadilan pada semua pihak. Perkawinan antar agama
memang tidak diakomidir dalam Undang-Undang Perkawinan namun dalam
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 sub f tentang larangan perkawinan, maka untuk
melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan agama akan sangat
tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi calon suami istri
yang bersangkutan.
3. Namun adanya Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Adminstrasi Kependudukan membuka peluang untuk
111
melegalkan perkawinan beda agama sehingga esensi perkawinan yang dianut
Undang-Undang Perkawinan yaitu perkawinan yang seiman bukan lagi
menjadi dasar dan adanya Pasal2 ayat (1) jo Pasal8 sub f menekankan
perkawinan seiman sebagai konsekuensi berlakunya sistem perkawinan
menurut Undang-Undang Perkawinan, maka perkawinan harus tunduk pula
pada pasal tersebut sebagai norma dasar sistem hukum perkawinan, nampak
sudah tak dihiraukan lagi. Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka
hal ini terkait syahnya suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang
Perkawinan syahnya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan
kapercayaanya Pasal 2 ayat (1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang
rukun perkawinan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan
syahnya suatu perkawinan secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur
oleh agama dengan kata lain agama adalah penentu syahnya suatu
perkawinan, sehingga aturan tentang syahnya perkawinan dalam Undang-
Undang Perkawinan berlaku umum dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan berlaku khusus atau disebut Lex Specialis Derograt Lex
Generalis (aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum ).
Dibuatnya pasal ini adalah dianggap sebagai solusi bagi perkawinan beda
agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan
pengadilan atau mengisi kekosongan hukum dan Undang-Undang
Perkawinan masih sumber utama dalam rujukan hakim terkait masalah
perkawinan. Namun yang perlu ditekankan disini adalah terkait keabsahan
112
perkawinan tersebut, perkawinan beda agama hanya mendapat pengakuan
dari negara dan terkait masalah agama bukan menjadi hal yang krusial atau
menjadi penghalang dengan kata lain agama tidak menjadi dasar pada
perkawinan mereka.
Dan dalam Pasal 35 huruf (a) pun hanya menekankan kebolehan perkawinan
beda agama dicatat jika mendapat penetapan pengadilan sehingga yang menetukan
keabsahan perkawinan tersebut ditentukan oleh hakim, bukan lagi oleh agama
ataupun pemuka agama dan acara perkawinan atau prosesi dalam perkawinan
agama yang kini nampak seperti sebuah adat. Setelah mendapat penetapan maka
perkawinan mereka didaptarkan di Kantor Catatan Sipil untuk dicatatakan dan
mendapat bukti akta nikah, sedangkan keabsahanya perkawinan beda agama hanya
bersifat administartif atau hanya memenuhi unsur-unsur administarsi negara.
Jika perkawinan beda agama dianggap sebagai kemajuan dalam hal Hak
Asasi Manusia maka menurut penulis ini tidak bisa dibenarkan, memang benar
setiap orang berhak untuk memilih agama dan kepercayaan masing-masing dan
berhak untuk membentuk keluarga namun setiap hak yang manusia peroleh maka
harus diimbangi dengan kewajiban dan hak seseorang itu memiliki batasan, jika
tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena
itu hak seseorang haruslah dibatasi. Perkawinan beda agama dianggap melanggar
nilai-nilai agama dan pada dasarnya setiap agama tidak menghendaki perkawinan
yang berbeda, adanya dispensasi yang mereka keluarkanpun menekankan
persyaratan tertentu untuk menghindari adanya penistaan agama atau pencemaran
113
atas nama agama. Hal ini membuktikan bahwa agama adalah hal yang penting dan
menetukan. Maka jelas terlihat aturan ini memiliki banyak penafsiran hukum
sehingga jelas sekali di berlakukanya pasal tersebut sebagai adanya konflik
kepentingan anggota masyarakat, sebagai reaksi atas diberlakukanya sebuah
ketentuan yang dianggap menyudutkan mereka atau merugikan kepentingan
mereka.
B. Saran
Bila penulis cermati, munculnya pasal ini sangatlah tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan sangat bertentangan dengan norma-norma di
masyarakat. Memang benar lahirnya pasal tersebut dalam bentuk undang-undang
menandakan negara mengatur perkawinan beda agama, namun apakah negara
menjamin akibat yang di timbulkan dari perkawinan beda agama itu sendiri,
dampak yang timbul dari perkawnan beda agama lebih banyak ketimbang
perkawinan yang seiman. Seharusnya negara bisa bersikap tegas dan
meminimalisir atau memperbahrui aturan lama bukan membuat aturan baru yang
menimbulkan masalah baru, lagi-lagi ketidak tegasan pemerintah dan kepentingan
para pihak lebih dikedepankan ketimbang melihat dampak dan efesiensi aturan
tersebut.
Maka saran penulis dalam hal ini adalah :
1. Apabila negara benar-benar ingin mengakomodir perkawinan beda agama di
Indonesia maka seharusnya negara merevisi ulang undang-undang terkait
114
masalah perkawinan, bukan memuat aturan baru atau memasukan ketentuan
tersebut kedalam aturan lain. Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan beda agama memiliki banyak penafsiran hukum sehingga
sudah tidak layak lagi dalam perkembangan zaman dimasa sekarang, oleh
sebab itu seharusya negara bisa merevisi/memperbahurui undang-undang
tersebut.
2. Pada Pasal 35 huruf (a)Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak
serta merta membolehkan perkawinan beda agama, maka dibuatlah
persyaratan dengan dimintanya penetapan pengadilan, sehingga seorang
hakim tetap merujuk pada ketentuan perkawinan berdasarkan tata cara
perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun karena muatan
materi dalam pasal ini multitafsir dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunnyi Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, yang artinya bahwa negara tidak bisa mengabaikan masalah
agama maka ketentuan yang dianggap melanggar nilai-nilai agama harus
dicabut, dan Negara harus bersikap tegas.
115
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,
Jakarta, Akademika Presindo, 1986.
Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram
(Syarah Bulughul Maram), Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama “Kumpulan Tulisan”,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002
_________Al-Qur’an Dan Terjemahan, Jakarta, Toha Putra Semarang, 1989
Anshor, Maria Ulfah. dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan
Pluralisme, Jakarta, Kapal Perempuan, 2004.
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan
No 1/1974, Jakarta, PT Dian Rakyat, 1986.
Asshiddiqie, Jimmy, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic
Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta, Gema Insani dan Darul
Fikir, 2011, Cet. Ke-9.
Baso, Ahmad Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama (Kesaksian,
Argument Keagamaan Dan Analisa Kebijakan), Jakarta, Komnas HAM-
ICRP, 2005, Cet. Ke-1.
Djalil, Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi
Hokum Islam, Jakarta, Dalbun Salam, 2005
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut
Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika,
2010, Cet. Ke-1.
Davidson, Robert: (Alkitab Berbicara), Jakarta, Gunung Mulia, 2001
Ghozali, Abdhur Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2008, Cet. Ke-3.
Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung,
Citra Aditya Bhakti, 1996
116
Hadiwardoyo, Al Purwa, Surat Untuk Suami Istri Katolik, Yogyakarta, Kanisius,
2002.
Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, Jakarta, Khairul
Bayan, 2003
Hasan, Ali, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga Dalam Islam”, Jakarta, Prenada
Media, 2003
Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, Jakarta, Tintamas, 1976.
Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Dan Perceraian, Ciputat,
Kataelha, 2010.
Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta,
Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Ke-1.
Ilmy, Bachrul, Pendidikan Agama Islam, Bandung, Grafindo Media Pratama, 2007.
Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta,
Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Jehani, Libertus, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Jakarta, Forum Sahabat, 2008.
Kansil, C.S.T. Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta,
Rineka Cipta, 2011
Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, Dalam
Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Kanisius (Angota
IKAPI), 2006.
Manan, Abdul dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.
M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial),
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group,2008.
Nurudin, Amiur dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia ( Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI
), Jakarta, Kencana, 2006.
117
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia,
Jakarta, Bina Aksara, 1987 Cet. Ke-1
Ramulyo, Moh Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind Hill Co, 1990.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Beirut: Da’r al-Fikr, t.t)
Sabiq, As-Sayyid, Fiqih As-Sunnah, Juz 2, Beirut, Da’r al-Kitab al-A’rabi, 1985.
Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalian Indonesia, 1978.
Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta,
Elsas, 2008.
Siswosoediro, Henry, Buku Pintar Pengurusan Perizinan Dan Dokumen (Panduan
Untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta, Visimedia, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, Raja Grafindo, 2011.
Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Nalar Islam, Yogyakarta, LKIS Yoyakarta,
2006
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
2005.
Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006.
Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan
Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, Jakarta,
Sekertariat Jendral DPR-RI, 2001
Uwaidah. Syaikh Kamil Muhammad, Al-Jami’fil Fiqh An-Nisa ( Fiqih Wanita),
Beirut Libanon, Da’arul Kutub Al-Ilmiyah, 1996, Cet. Ke-1.
Walgito, Bimo.Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta :Andi
Yogyakarta, 2004,
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik
(Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2009.
118
Peraturan Perundang-Undangan
_________Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Admininistrasi
Kependudukan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.
_________Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretaris Jendral Dan
Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011.
_________Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta,
Sinar Grafika, 2006. Cetakan ke-6
_________Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, Bandung, Nuansa Indah 2011, Cet. Ke-1.
_________Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum Islam,
Bandung, Focus Media, 2010.
_________Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukandan Nomor 102 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan.
Artikel/skripsi
Afida, Nur, 2013, Dasar Dan Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan
Permohonan Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Dalam
Perspektif Perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.),Skripsi, Universitas
Brawijaya Malang.
Farid , Mohammad,2006,(Memahami Pencatatan Sipi) Tulisan Dalam 30 Kasus
Catatan Sipil di Indonesia, Analisis Kasus Dan Rekomendasi, Jakarta, GTZ
GG PAS, Edisi Pertama
Nugraha, Mifta Adi, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara
Undang-Undang Perkawinan Dan Undang-Undang Administrasi
Kependudukan, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013
119
Palandi, Anggreini Carolina, Analisa Yuridis Perkangwinan Beda Agama Di
Indonesia, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013
Soemarno, Maris Yolanda, 2009, (Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama
Yang Dilangsungkan Di luar Negeri ), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Tenggara, David Hartadi, 2007, “ Dampak Lahirnya UU ADMINDUK Terhadap
Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Darmayanti, Eka, 2009, “ Kewenangan Catatan Sipil Mencatatkan Perkawinan Beda
Agama Yang Mendapatkan Penetapan Pengadilan Negeri Menurut Pasal 35
Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan ”, Skripsi, Fakultas Hukum, Depok.
Internet
Http://Www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Hol15655/Empat-Cara-Penyelundupan-
Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-Agama.
Http://Darahapsarinastiti.Blogspot.Com/2011/12/Perkawinan-Beda-Agama.Html.
diunduh tgl 21/10/2013 jam 14.20 WIB
Http://id.m.wikipedia.org/wiki/adminitrasi. Tgl 05/01/2014 jam 10.00 WIB
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesiaTelp. (62-21) 747 11537,7401925 Fax. (62-21)7491821Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : [email protected]
NomorLampiranHal
: Un.01 /F4l KM.00. 02/ 43tt/ 2013
: Permohonan Data / Wawancara
Kepada Yth,Pengadilan Negeri Bogordi
Tempat
Assalamu' alaikum Wr,W.
Dekan Fakultas Syariah dan HukumJakarta menerangkan bahwa:
Jakarta, 23 Oktob er 20'l.Z
UIN Syarif Hidayatullah
Ainur Rahman109046100054Bogor, 05 Mei 1991VIII (delapan)Peradiian Agama
Jl. Pahlawan No. 71 RT. 01 RW. 08 CiteureupBogor 16810089618770753
NamaNomor PokokTempat/Tanggai LahirSemester
Jurusan/KonsentrasiAlamat
Telp
Tembusan :
L. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta2. Ka / Sekprodi Ahwal Syakhsiyyah.
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum uIN SyarifHidayatullah Jakarta yar.g sedang menyusun skripsi dengan judul: J
" Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunyaundang-Undang Administrasi Kependudukan Nomer 23 Tahun 2006,'
untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/rbudapat menerima yanq bersangkutan untuk wawancara serta memperolehdata guna penulisan skripsi dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
WassaIam,
a.n. DEKAN,Wakil Dekan Bidang Akademik
i 3it g.;:r i
i\J , t
SLira: l-]
Fer.hr. r
T A \i i_::,.r
D, ,,'i r
:,. ,t: , ,'!:.. r.a -l
A 'r a
lbl -l\ ')-o\b:..^
i
I
IIt
I
.l'l\__ -_ -.j*a_
PEI{GADILAN NEGEru BOGORJalan Pengadilan No.10 Bogor
Telp. & Fax. (0251) 8323190 -8323121
SURAT KETERANGANNo. o L /Ket/[Ik.PR/20 13/PN.B gr.
Yang bertanda tangan dibawah inr :
Nama : IWAN DARMAWAN, S.H.
NIP : 195805171985021001
Jabatan : Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Bogor
Dengan ini menerangkan bahwa :
Nama
NPM
Semester
JurusarVKonsentrasi
Mahasiswa
AINUR RAHMAN
1 09046 1 00054
ViII (delapan)
Peradilan Agama
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No.05,Ciputat, J akafia - I 5 412.
__-Mahasiswa tersebut di414s telalLtne_1a\Ukg4_way4lgglq deqg?4 P_qjgb4ryglg berwenang di
Pengadilan Negeri Bogor, untuk melengkapi data-data penyusunan skripsi dengan judul
..ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH
BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
NOMOR 23 TAHUN 2006"
Demikian Surat Keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
t3 Desember 2013
ADILAN NEGERT BOGORRA / SEKRETARISfI-
s80sr 7198s021001
Daftar Pertanyaan Wawancara dan Jawaban
Nama : Dennie Arsan Fatrika S.H
Jabatan : Hakim
ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA
DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
NOMOR 23 TAHUN 2006
Terkait adanya aturan tentang perkawinan antar agama yang mana termuat
dalam Undang-Undang Adminduk Nomor 23 Tahun 2006 tepatnya Pasal 35 huruf (a)
adalah perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Bunyi Penjelasan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf a : Yang dimaksud dengan
"Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan
antar umat yang berbeda agama tersebut. Maka berikut beberapa pertanyaan
sehubung aturan tersebut.
1. Terkait denga aturan yang sudah di paparkan di atas, apakah dengan adanya
putusan dari pengadilan perkawinan mereka sudah diakui keabsahannya atau
legal?
Jawab : Pengadilan sendiri hanya mengeluarkan penetapan bukan menilai syah
atau tidaknya perkawinan, dan dalam memberikan penetapan hakim sendiri harus
memeriksa kelengkapan seperti surat ijin dari pemuka agama dan tetap saja
merujuk pada aturan yang berlaku, menurut saya sahnya perkawinan tentu saja
berdasarkan agama, penetapan ini hanya berisi penguat kebolehan perkawinan
tersebut dicatat untuk mendapat bukti nikah, bersipat administratif.
2. Jika ditelaah ternyata dalam Pasal aturan tersebut memiliki perbedaan dengan
salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 yang tertuang
dalam Pasal 2 ayat 1 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sehingga terlihat
bertentangan, menurut Hazairin bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar
‘hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu
maupun Budha.
Bagaimana bapak/ibu menanggapi hal tersebut, setujukah atau tidak?, Apakah
undang-undang tersebut menghapus ketentuan yang lama, atau undang-undang
tersebut berdiri sendiri atau malah aturan tersebut bebeda dengan aturan yang
lama sebelumnya?
Jawab : Saya rasa bukan menghapus, melainkan pengkhususan. Tetap saja dalam
membuat putusan penetapan Undang-Undang No 1/1974 masih dijadikan acuan
wajib, menanggapi aturan baru tersebut ini hanya sebuah pengkhususan yang
mana aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum. Pasal
35 dalam Undang-Undang Adminduk ini kan terkait pencatatan perkawinan dan
Undang-Undang No 1/1974 terkait perkawinan secar umum dan pencatatan
perkawinan masuk kedalam unsur perkawinan tersebut maka Undang-Undang
Perkawinan bersipat umum.
3. Faktor-faktor apa yang sering bapak atau ibu pakai sebagai acuan jika
memutuskan perkara dalam permohonan perkawinan antara agama!
Jawab: Ya, dalam memutuskan sudah barang tentu kami harus merujuk pada
aturan yang ada dan lebih baru, buka berarti aturan lama tidak dipakai, tetap kami
jadikan acuan, apa masih di bisa dipakai atau tidak. Pada dasarnya perkawinan
beda agama ini yang terpenting dispensasi dari pemuka agama (tanpa adanya
konsfirasi), kerelaan parapihak-pihak, maka dengan begitu kami bisa memutuskan
tanpa harus ambil pusing.
4. apakah dengan adanya aturan tersebut negara sudah menfasilitasi atau memberi
peluang dan mengakui perkawinan tersebut, bagaimana pandangan dari bapak/ibu
sendiri?
Jawab: Ya, jelas sekali adanya aturan tersebut negara memfasilitasi dan memberi
kedudukan untuk perkawinan beda agama dalam peraturan di Indonesia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P E N E T A P A NNomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj
Pengadilan Negeri Lumajang, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata
permohonan dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut
dalam perkara permohonan dari :
1. SRI MULYANI, Tempat /tanggal lahir Lumajang, umur 26 tahun Jenis Kelamin perempuan, Bertempat tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Kristen, pekerjaan tani;
Disebut sebagai PEMOHON I;
2. HADI SUSANTO,Tempat /tanggal lahir Malang, umur 24 tahun, Jenis Kelamin laki-laki, Bertempat tinggal di Dusunm Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Islam, pekerjaan swasta;
Disebut sebagai PEMOHON II;
Keduanya untuk selanjutnya disebut sebagai PARA
PEMOHON;
PENGADILAN NEGERI tersebut;
Telah membaca surat-surat dan berkas permohonan ;
Telah memperhatikan alat-alat bukti tertulis yang diajukan Para Pemohon ;
Telah mendengar keterangan saksi-saksi ;
TENTANG DUDUKNYA PERKARA
Menimbang, bahwa Para Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 18 Pebruari
2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Lumajang tertanggal
18 Pebruari 2013 dengan register perkara Nomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj., mengemukakan
dalil-dalil permohonan sebagai berikut :
1. Bahwa……..
1. Bahwa Pemohon I adalah seorang perempuan berumur 26 tahun dengan
status masih perawan, Warga Negara Indonesia pemeluk agama Kristen;
1
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Bahwa Pemohon II adalah seorang pria berumur 24 tahun dengan status
perjaka juga Warga Negara Indonesia, pemeluk agama Islam;
3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan keluarga baik
sedarah maupun semenda dan tidak terikat tali perkawinan dengan orang
lain;
4. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohonj II telah menjalin hubungan
cinta kasih secara serius dan ingin melanjutkan hubungan cinta kasih
Para Pemohon sampai ke jenjang perkawinan dan kemudian mencatatkan
perkawinan tersebut di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
5. Bahwa oleh karena Pemohon I sebagai pemeluk agama Kristen
sedangkan Pemohon II Agama Islam, maka untuk dapat melangsungkan
perkawinan terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dari Pengadilan
Negeri;
6. Bahwa agar tidak terdapat permasalahan hukum dikemudian hari, maka
Para Pemohon mengajukan permohonan ini dan mohon agar Pengadilan
Negeri Lumajang berkenan memberikan putusan berupa penetapan;
Berdasarkan dengan segala apa yang terurai di atas, Pemohon mohon berkenan kiranya Bapak
Ketua Pengadilan Negeri Lumajang segera memeriksa permohonan ini dan selanjutnya
memberikan penetapan sebagai berikut :
1.-- Mengabulkan permohonan para Pemohon;
2. Memberi ijin kepada Para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan
perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Lumajang;
3. Membebankan biaya permohonan ini kepada para Pemohon;
Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan untuk itu, para
Pemohon hadir menghadap dipersidangan dan selanjutnya permohonan dibacakan dan Para
Pemohon menyatakan tetap pada permohonan tersebut;
2
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Para Pemohon telah
mengajukan bukti-bukti tertulis berupa foto copy yang telah dicocokkan dengan aslinya serta
telah dibubuhi Meterai yang cukup yang masing-masing terdiri dari :
1. Kartu…….
1. Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia An. HADI SUSANTO NIK :
3507062107890002 tertanggal 20 Juli 2011 (bukti P.1);
2. Surat Keterangan untuk Nikah an.HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14
Nopember 2012 ( bukti P-2);
3. Surat Keterangan Asal-Usul an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14
Nopember 2012 ( bukti P-3);
4. Surat Keterangan Tentang Orang tua dari Kepala Desa Tamanasri, Kec.Ampelgading,
Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14 Nopember 2012
(bukti P-4);
5. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 14 Nopember
2012 (bukti P-5);
6. Kartu Leluarga Nama Kepala Keluarga USMAN ( ayah/orang tua HADI SUSANTO)
No.3507060309080004 tertanggal 14 Januari 2013 ( bukti P-6);
7. Ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri 1 Ampelgading Malang) No.DEN-05
DI 1147827 tertanggal 28 Juni 2004 (bukti P-7);
8. Surat Keterangan an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,
Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 474/30/421.619.010/2013 tertanggal 21
Januari 2013 ( bukti P-8);
9. Kutipan Akta Kelahiran an. SRI MULYANI yang dikeluarkan Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang No.
AL.702.0099332.01.2004/AT.151 tertanggal 24 Juni 2009 ( bukti P-9);
10. Surat Keterangan tentang orang tua SRI MULAYANI dari Kepala Desa Tempurejo,
Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.03/2012 tertanggal 19
Nopember 2012 (bukti P-10);
11. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 19 Nopember
2012 (bukti P-11);
12. Surat Keterangan Asal-Usul dari Kepala Desa Tempurejo, Kec.Tempursari,
Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/42/901.03/2012 tertanggal 19 Nopember 2012 (bukti
P-12);
3
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id13. Surat Keterangan Untuk Nikah an.SRI MULYANI dari Kepala Desa Tempurejo,
Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.07/2012 tertanggal 19
Nopember 2012 (bukti P-13);
Menimbang, bahwa selain mengajukan bukti-bukti tertulis, Para Pemohon juga telah
mengajukan saksi-saksi dan telah memberikan keterangan dipersidangan dengan terlebih dahulu
disumpah, yang pada pokoknya masing-masing menerangkan sebagai berikut :
1. Saksi…….
1.--Saksi I. FANI ADI PERMANA;
• Bahwa saksi kenal dengan Hadi Susanto karena dulu tetangga dan juga kenal
dengan Sri Mulyani karena saksi sering kerumah Sri Mulyani;
• Bahwa saksi mendukung perkawinan Para Pemohon yang beda agama karena
mereka saling mencintai;
• Bahwa benar Hadi Susanto adalah beragama Islam sedang Sri Mulyani beragama
Kristen dan mereka belum menikah;
2. Saksi II PONIMAN ;
• Bahwa benar antara Sri Mulyani dan Hadi Susanto ada memadu cinta dan saling mencintai,
mereka belum menikah;
• Bahwa benar Hadi Susanto beragama Islam dan Sri Mulyani beragama Kristen dan benar
mereka akan menikah secara sah;
• Bahwa benar orang tua Sri Mulyani dan orang tua Hadi Susanto tidak keberatan perkawinan
beda agama;
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi diatas, para Pemohon membenarkan
keterangan saksi-saksi tersebut;
Menimbang, bahwa orang tua Sri Mulyani juga hadir di persidangan dan menerangkan
setuju untuk menikahkan anaknya dengan Hadi Susanto yang beda agama dengan Sri Mulyani
dan keluarga Hadi Susanto juga setuju pernikahan tersebut dilaksanakan;
Menimbang, bahwa selanjutnya segala yang termuat dalam berita acara persidangan
dianggap sebagai telah turut termuat dalam penatapan ini;
4
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah
sebagaimana terurai diatas;
Menimbang, bahwa yang menjadi inti pokok permohonan para Pemohon adalah agar
para Pemohon diijinkan untuk dapat melangsungkan perkawinan di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;
Menimbang,…….
Menimbang, bahwa apakah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum yang
berlaku, maka akan terlebih dahulu diperhatikan bukti-bukti tertulis dan maupun keterangan
saksi-saksi yang diajukan para Pemohon di persidangan;
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis dan juga keterangan saksi-saksi yang
diajukan para Pemohon di dalam persidangan maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai
berikut :
• Bahwa Pemohon I (SRI MULYANI), tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001,
Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang,dan beragama Kristen, sedangkan HADI
SUSANTO, beralamat di Dusun Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan
Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005,
RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, beragama Islam;
• Bahwa para Pemohon telah memadu cinta dan saling mencintai dengan status belum
diikat perkawinan;
• Bahwa Pemohon I ( Sri Mulyani) telah dalam keadaan hamil sebagai hasil buah cinta
Pemohon I ( Sri Mulyani) dengan Pemohon II ( Hadi Susanto);
• Bahwa para Pemohon ingin melakukan perkawinan yang sah menurut hukum yang
berlaku di Negera Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas, para Pemohon menginginkan agar
hubungan percintaan diantara mereka dapat diikat dengan perkawinan yang sah;
Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis yang masing-masing diberi tanda P-1
sampai dengan P-13 adalah dibenarkan oleh para Pemohon maupun oleh saksi-saksi yang
diajukan para Pemohon, sehingga benar Pemohon I ( Sri Mulyani) adalah seorang perempuan
beragama Kristen sedang Pemohon II ( Hadi Susanto) adalah seorang laki-laki beragama Islam
5
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
yang ingin melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaklu di Negara
Republik Indonesia;
Menimbang, bahwa di dalam pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menyebutkan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
agama, dalam hal inin Pemohon I adalah beragama Kristen sedang Pemohon II beragama
Islam;
Menimbang,…….
Menimbang, bahwa dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan menegaskan” Perkawinan Campuran dicatat oleh Pegawai pencatat yang
berwenang” dan ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka
perkawinan tersebut harus dilasanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi;
Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon akan melangsungkan perkawinan sah
sedang para Pemohon berbeda agama sedang Undang-Undang mengharuskan dicatat oleh
Pegawai yang berwenang, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No.24 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan maka pejabat yang berwenang mencatatkan perkawinan
para Pemohon adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi yang diajukan para
Pemohon didepan persidangan bahwa permohonan para Pemohon adalah memenuhi syarat
hukum untuk melakukan perkawinan yang tunduk pada hukum di Indonesia dan hal ini tidak
dilarang oleh peraturan yang berlaku di Indonesia sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia No.245.K/Sip/1953 tanggal 16 Pebruari 1955 “ Permintaan akan
keterangan yang diperlukan oleh seorang wanita yang hendak kawin dengan laki-laki yang
berlainan agama tidak boleh ditolak atas alasan yang semata-mata berdasarkan perbedaan
agama”;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, dan demi untuk adanya kepastian
hukum, maka Pengadilan Negeri memberi ijin kepada pra Pemohon untuk melakukan
perkawinan yang tunduk pada hukum di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Lumajang;
6
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat dikabulkan, maka
biaya yang timbul dalam perkara permohonan ini dibebankan kepada para Pemohon;
Mengingat ketentuan Undang-UndangNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta
peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan ini;
M E N E T A P K AN:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon ;
2. Memberi…….
2. Memberi ijin kepada para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan
pencatatan perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Lumajang ;
3. Membebani para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan
secara tanggung renteng sebesar Rp. 241.000,00 ( dua ratus empat puluh satu ribu
rupiah);
Demikianlah ditetapkan pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, oleh kami,
HALOMOAN SIANTURI, SH.MH. Hakim pada Pengadilan Negeri Lumajang yang ditunjuk
berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Lumajang tanggal 21 Pebruari 2013
Nomor 198/Pen.Pdt./II/2013/PN.Lmj, penetapan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam
persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut, dibantu oleh NGATRIYANTO
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lumajang dan dihadiri oleh para Pemohon.--------
Panitera Pengganti, Hakim,
ttd Meretai ttd
( NGATRIYANTO ) (HALOMOAN SIANTURI, SH.MH)
7
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Perincian biaya :
1. Pendaftaran.......................... Rp. 30.000,00 ;
2. Administrasi...........................Rp. 50.000,00 ;
3. Panggilan .............................Rp. 150.000,00 ;
4. Redaksi Penetapan ...............Rp. 5.000,00 ;
5. Meterai Penetapan...............Rp. 6.000,00 ;
Jumlah ……………...Rp 241.000,00 ;
(dua ratus empat puluh satu ribu Rupiah) ;
8
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
9
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Top Related