PEMAKNAAN SAPI SONOK BAGI
MASYARAKAT MADURA
SKRIPSI
Disusun oleh :
Ferry Yuliansyah
NIM: 071014005
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
Semester Genap 2015/2016
PEMAKNAAN SAPI SONOK BAGI
MASYARAKAT MADURA
Oleh: Ferry Yuliansyah
Abstrak
Masyarakat luar hanya mengenal Madura dari sisi kekerasan maupun kereligiusannya. Di
satu sisi, Madura merupakan entitas yang sebenarnya kaya akan seni dan tradisi. Salah satu
kesenian yang sebenarnya populer di kalangan masyarakat Madura adalah kesenian Sapi Sonok,
dimana sepasang sapi betina diperlakukan secara “manja” oleh pemiliknya dengan perlakuan-
perlakuan khusus yang berbeda dengan sapi biasa, sehingga menarik untuk dikaji bagaimana
masyarakat Madura memaknai sapi tersebut.
Untuk menganalisa fenomena ini peneliti menggunakan teori interaksionisme simbolik
dari Blumer. Metodelogi yang digunakan adalah kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif.
Penentuan subyek penelitian menggunakan teknik snow ball dengan pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara mendalam.
Dalam penelitian ini, berdasarkan data yang didapat dari hasil wawancara, dapat
diketahui bahwa sapi memiliki makna pemersatu bangsa, dan makna kebanggaan.
Kata kunci: Madura, Masyarakat Madura, Sapi Sonok, Makna, Interaksionisme simbolik
A. Pendahuluan
Masyarakat Madura merupakan masyarakat yang memiliki berbagai jenis
kebudayaan, namun demikian tidak banyak masyarakat luar yang mengetahui akan hal itu.
Masyarakat luar biasanya mengenal masyarakat Madura dengan Carok-nya yang memang
dikenal sebagi budaya yang khas, unik, dan, identitas budayanya itu dianggap sebagai jati diri
individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan. Masyarakat
Madura memang sangat memegang teguh Carok. Carok adalah pemulihan harga diri ketika
diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, tanah, dan, wanita.1 Ada
ungkapan dalam masyarakat Madura “Lebbi Bagus Pote Tolang atembang Pote Mata” (Lebih
baik putih tulang, daripada putih mata) yang mengandung makna “lebih baik mati daripada
hidup menanggung malu”. Selain dikenal dengan Carok-nya, masyarakat Madura juga dikenal
dengan tingkat religiusitasnya. Masyarakat Madura memang dikenal sebagai Masyarakat yang
sangat memegang teguh nilai-nilai keislaman.
Madura sebenarnya adalah entitas yang memiliki banyak ragam tradisi dan
budaya di dalamnya. Sejauh ini penelitian-penelitian tentang Madura hanya berkutat pada
masalah konflik, agama, maupun ekonomi. Sangat jarang menemukan sumber-sumber buku
yang menjelaskan Madura dari segi seni maupun budaya yang ada di dalamnya. Madura
sebenarnya memiliki seni budaya yang sangat menarik untuk dikaji. Bahkan, sebenarnya
kebudayaan ini sudah dikenal dimancanegara, ini terbukti dalam perhelatannya selalu ada turis
yang datang untuk menonton. Budaya itu biasa disebut dengan Sapi Sonok. Kebudayaan yang
satu ini berbeda dengan kebudayaan kerapan sapi, meskipun sama-sama menggunakan sapi
sebagai objeknya. Bedanya, jika kerapan sapi diadu kekuatan dan keperkasaannya dalam berlari,
1 Lihat dalam A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta,
2006), hal. 47
maka sapi sonok diadu kecantikan dan keanggunannya. Sapi tidak dipacu dan ditunggangi. Ia
malah diiring dengan musik dan tari-tarian saronen 2 yang merupakan sebuah musik khas yang
memang biasa digunakan untuk mengiring sapi sonok.3 Sapi-sapi ini dirawat agar bulunya bagus,
badannya sintal dan bisa berjalan serempak bersama pasangannya seperti pasukan yang sedang
baris berbaris.
Seperti layaknya model yang hemdak melenggang di catwalk, sapi-sapi itu
didandani dengan selempang keemasan di leher serta dada. Di leher sapi juga dipasang
pangonong, yaitu kayu perangkai sapi yang diukir indah dengan perpaduan warna merah dan
kuning emas. Sapi-sapi unggul dari berbagai penjuru pulau Madura itu bersiap mengikuti kontes
sapi sonok, ajang silaturahim para pemilik sapi di Madura yang dikembangkan menjadi kontes
sapi sejak tahun 1951.
Penilaian pada kontes Sapi Sonok disamping keindahan berjalan juga pakaian
yang dipakai pasangan sapi juga yang menentukan keserasian pasangan sapi ketika sampai di
garis finish, kaki depan kedua pasangan Sapi Sonok tersebut harus bersamaan naik ke atas altar
yang terbuat dari kayu dan hal itu yang menentukan bagus tidaknya sapi dalam kontes tersebut.
Setelah mencapai garis finish para pemilik sapi langsung menari dengan para sinden untuk
meluapkan kegembiraan dan tidak lupa memberi sawer kepada para sinden yang menari
mendampingi pasangan sapi kebanggaannya
2 Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, terj. Rahayu S. Hidayat,
Jean Couteau (Jakarta, 2002), hal. 55-61. Memberikan penejelasan yang sangat gamblang apa itu saronen
sebagai orkes dan penggunaanya, juga memuat unusur-unsur analisis musikal di dalamnya. 3 URNA (Jurnal Seni Rupa) 2012, ISSN 2301-8135, vol .1, no. 2, hal 141
Orang-orang di luar Madura biasa menyebut kontes ini tak ubahnya Fashion
show. Hanya saja, aktornya adalah sepasang sapi. Dan semua sapi yang ikut berlaga dalam
kontes ini harus berjenis kelamin betina. Dikatakan Sapi Sonok karena dalam kontes ini, sapi
dilepas digaris finis, diiring berjalan di lintasan, dan kemudian harus finis dengan masuk
(nyono’) di bawah sebuah gapura. Di garis finis ini, sapi-sapi dituntut bisa mengangkat kakinya
secara bersamaan dan meletakkannya di sebuah kayu melintang. Kayu tersebut sebelumnya
dibuat lebih tinggi dari lintasan. Yang paling anggun dan serempak berjalan, serta paling cepat
meletakkan kakinya di papan melintang di bawah gapura, adalah sapi yang memang sudah
sangat terlatih dan secara ekonomis sapinya akan otomatis makin tinggi nilainya.
Menurut penuturan bapak Achmad Zawawi (budayawan Madura), kesenian Sapi
Sonok terlahir dari kebiasaan atau budaya tani masyarakat Madura. Masyarakat Madura yang
mayoritas adalah para petani, yang tentu saja menggantungkan hidupnya dari hasil lahan
pertanian. Kebiasaan masyarakatnya menggunakan jasa sapi pada saat mengolah tanah pertanian
dengan cara membajak. Sapi-sapi yang digunakan dalam proses pengolahan tanah pertanian ini
umumnya adalah sapi-sapi betina yang disandingkan satu sama lain (berpasangan) untuk
menarik nangghale (alat membajak ladang). Berawal dari kebiasaan ini sapi-sapi betina itu
tampak nilai gunanya. Kekompakan pada saat menarik nangghale itulah yang kemudian menjadi
dasar kesamaan atau kekompakan dalam langkah-langkah sapi betina pada Kesenian Sapi Sonok.
Kebiasaan lainnya yang menjadi penanda terbentuknya Kesenian Sapi Sonok
adalah kebiasaan para petani memandikan atau membersihkan tubuh sapi yang dilakukan setelah
selesai membajak. Sapi-sapi dimandikan di kali dekat ladang, digosok sampai tampak bersih
kemudian diikatkan pada sepasang kayu atau pohon di sebelah kiri dan kanan sapi. Sapi-sapi
tersebut seperti dipajang, dan sipemilik sapi mengamatinya.4 Kebiasaan-kebiasaan yang
mengarah pada terbentuknya Kesenian Sapi Sonok juga disempurnakan dengan
dilangsungkannya kebiasaan memajang sapi-sapi para petani sekitar. Bentuk kegiatan ini,
menurut penuturan H. Zainuddin dan H. Hatib (tokoh Kesenian Sapi Sonok Waru dan Pasean
Pamekasan), mereka biasa menyebutnya dengan Sapi Taccek.
Sapi Taccek disini pada intinya sekadar memajang sapi pada sebatang penyangga
atau potongan pohon bambu, tanpa perlengkapan atau aksesoris. Kebiasaan ini sebenarnya
dilatar-belakangi oleh prosesi pemajangan sapi yang dalam posisi berdiri tegap, keindahan tubuh
dan warna kulit yang mengkilap (Ensiklopedi Pamekasan; 2010). Sapi Taccek inilah yang juga
menjadi cikal-bakal terbentuknya Kesenian Sapi Sonok. Dari aktivitas atau kebiasaan para petani
yang spontanitas itulah kemudian kesenian ini menemukan bentuknya. Maka seiring berjalannya
waktu, kesenian ini dikenal dengan Kesenian Sapi Sonok.
Daya tarik pada Kesenian Sapi Sonok ini adalah terdapat pada “kecantikan” sapi-
sapi. Artinya sapi-sapi yang dilombakan merupakan sapi-sapi betina pilihan, tampak sehat,
berbadan bagus, dengan warna kulit mengkilat. Dan lebih menarik lagi, sapi-sapi betina ini
didandani layaknya seorang peragawati. Hampir di sekujur tubuh sapi dilengkapi dengan
aksesoris dengan warna yang mencolok (merah, kuning, hijau, keemasan). Sebelum acara
inti dimulai, para pemilik sapi mengiringi langkah gemulai sapi sambil menari. Suasananya
tampak semakin semarak karena langkah gemulai Sapi Sonok ini diiringi dengan musik
tradisional Madura bernama Saronen5. Keberadaan atau kepemilikan akan sapi, telah
4 DR. FarahdillaKutsiyah, S.Pt., M.p., Sapi Sonok & Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat
Madura (Yogyakarta, 2015) 5 Op chit, Bouvier hal. 61
memunculkan beragam perilaku atau aktivitas dan kreativitas yang lainnya. Sapi pada akhirnya
sedemikian “dihargai”. Sapi dicintai dipelihara, dirawat, bahkan “didandani” demi
memunculkan sebuah nilai yang lebih lagi. Sapi kemudian tak cukup membantu dalam proses
pengulahan ladang atau sekadar ditaruh di dalam kandang.
Sapi-sapi yang digelar dalam prosesi Kesenian Sapi Sonok adalah sapi-sapi yang
benar-benar memiliki banyak kelebihan. Artinya kualitas sapi sudah benar-benar tertangkap dari
aspek visualisasi postur atau bentuk tubuh sapi. Sapi yang berkualitas dalam Kesenian Sapi
Sonok bukan sekadar bobot tubunya yang ideal (tidak kurus atau tidak terlalu gemuk, kulit
mengkilat, memiliki mata dan tanduk yang bagus, dsb), akan tetapi kualitas pasangan Sapi Sonok
itu diketahui juga dari keserasiannya dalam melangkah. Jika dalam melangkah terjadi semacam
ketidakserasian (tidak kompak) maka sapi-sapi tersebut belum bisa dikatakan berkualitas.
B. Fokus Penelitian
Bagaimana masyarakat Madura memaknai Sapi Sonok sebagai bagian dari
kehidupan mereka?
C. Kerangka Teoritik
Dalam penelitian ini peneliti memilih teori interaksionisme simbolis Herbert
Blumer karena dalam teori interaksionisme simbolik Blumer yang merujuk pada karakter
interaksi khusus yang berlangsung antar manusia. Seseorang tidak langsung memberi respon
pada tindakan orang lain, tetapi didasari oleh pengertian yang diberikan kepada tindakan itu6.
6 Margaret M. Poloma, Sosologi Kontemporer, terj. YASOGAMA (Jakarta, 2013), hal. 263
Interaksi manusia antar individu maupun dalam kelompok dijembatani oleh simbol-simbol
penafsiran yang ditemukan pada makna tindakan orang lain.7
Bagi Blumer (1969: 2), interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada
sesuatu itu bagi mereka,
2. Makna terebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain,
3. Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial berlangsung.
Aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan, dan menstransformir makna
dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya.8 Menurut
Poloma, interaksionoisme simbolis Blumer mengandung sejumlah root images atau ide-ide
dasar.
1. Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi,
2. Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan
manusia lain. Interaksi-interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang sederhana,
seperti halnya batukuntuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis
mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorng pura-pura batuk ketika
tidak setuju dengan pokok-pokok persoalan yang disampaikan oleh pembicara, batuk
tersebut menjadi simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan.
Bahasa tentu saja merupkan simbol berarti yang paling umum,
3. Obyek-obyek tidak mempunyai makna yang instrinsik, makna lebih merupakan produk
interaksi simbolis. Obyek-obyek tersebut diklasifikasikan dalam tiga katagori yang luas:
7 Ibid. 8 Ibid. hal. 260
(a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial, seperti ibu, guru,
menteri, atau teman; (c) obyek abstrak, seperti nilai-nilai, hak, dan juga peraturan. Blumer
sendiri membatasi obyek sebagai “segala sesuatu yang berkaitan dengannya”. Dunia
obyek “diciptakan, disetujui, ditransformir, dan dikesampingkan” lewat interaksi simbolis,
4. Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai
obyek,
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu sendiri,
6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal
ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial dari perilaku
tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan-tindakan bersama tersebut
dilakukan berulang-ulang dan stabil,melahirkan apa yang disebut sebagai kebudayaan dan
aturan sosial.
D. Metode Penelitian
Kajian ini merupakan termasuk pada penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
dapat diartikan sebagai penelitian yang mampu menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata
lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti.
Penggunaan tipe penelitian pada kajian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta dan karakteristik mengenai suatu bidang
tertentu.
Pada penelitian ini, peneliti memilih Kecamatan Waru, Kabupaten Pamekasan
sebagi setting penelitian, atas dasar, Kecamatan Waru merupakan pusat dari kesenian Sapi
Sonok se-Madura, sehingga bisa diasumsikan dengan mengambil setting pada tempat ini sudah
bisa memberikan gambaran yang komprehensif tentang Sapi Sonok.
Subjek pada penelitian ini ditentukan secara sow ball. Hal ini dikarenakan peneliti
tidak memiliki kenalan sama sekali tentang para pemilik Sapi Sonok, sehingga peneliti terlebih
dahulu meminta bantuan kepada seseorang yang bisa “menyambungkan” peneliti kepada
pemilik Sapi Sonok. Dari informan pertama inilih selanjutnya peneliti meminta rekomendasi
informan selanjutnya.
Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah lima orang subyek dengan kategori
jenis kelamin, pekerjaan, usia, dan lama atau tidaknya tergabung dalam paguyuban Sapi Sonok.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam atau indept interview
dengan menggunakan pedoman wawancara untuk lebih menyelami tentang makna yang
berkaitan dengan topik penelitian.
E. Hasil Penelitian
Berdasarkan temuan data di lapangan, dapat diketahui bahwa Sapi Sonok
merupakan sebuah kebudayaan yang sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan
menurut pemaparan para informan, Sapi Sonok sudah ada sejak sebelum mereka lahir. Dengan
kata lain Sapi Sonok sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka sejak pertama kali mengenal
kehidupan. Pengenalan pertama kali mereka akan Sapi Sonok, tentu saja berawal dari ketika
mereka berinteraksi dengan lingkungan atau orang yang memang sudah lebih dahulu mengenal
Sapi Sonok dari pada mereka. Dari proses interaksi inilah akhirnya orang yang tidak mengenal
Sapi Sonok akhirnya menjadi tahu apa itu Sapi Sonok.
Saat proses interaksi berlangsung, aktor melakukan penilaian-penilaian terhadap
sesuatu yang terjadi pada diri mereka. Dari penilaian-penilaian itulah akhirnya timbul anggapan-
anggapan akan “objek” eksternal mereka. Anggapan-anggapan inilah yang membuat mereka
membayangkan atau merencakan apa ke depannya, yang pada akhirnya juga mempengaruhi
tindakan mereka terhadap objek tersebut. Dari situlah akhirnya sang aktor memiliki pandangan
akan sesuatu tersebut.
Masyarakat terdiri dari manusia yang saling berinteraksi. Kegiatan tersebut saling
bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi. Ide
dasar pertama ini bisa dilihat pada fenomrna Sapi Sonok, dimana setiap para pemilik Sapi Sonok
saling melakukan tukar pikiran berkaitan dengan sapi-sapi mereka. Pemilik sapi yang
berkualitas, biasanya akan memberikan masukan-masukan pada pemilik lain guna meningkatkan
kualitas sapi-sapi mereka, mulai cara perawatan yang benar, jamu yang sesuai, maupun
informasi terkini tentang Sapi Sonok. Kesamaan hobi akan Sapi Sonok yang ada dalam diri
mereka inilah, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk membuat suatu organisasi
paguyuban. Keseuaian tindakan mereka ini bisa dilihat berdasar wawancara dengan bapak H.
Zainuddin, dimana pada tahun 1995-2000 awal kesenian Sapi Sonok hampir punah, dikarenakan
pada tahun-tahun sebelumnya Sapi Sonok dilombakan, bukan dikonteskan, padahal pada
awalnya Sapi Sonok hanya sekedar kontes. Dalam perlombaan-perlombaan tersebut banyak
indikasi kecurangan yang terjadi yang menjadi biang terjadinya konflik, untuk menghindari
konflik inilah akhirnya banyak orang yang memutskan untuk berhenti memelihara Sapi Sonok,
bahkan menurut penuturannya, pada saat itu di Pamekasan hanya ada enam belas pasang Sapi
Sonok. Hal inilah yang membuat para tokoh sepuh dalam kesenian Sapi Sonok membentuk
sebuah paguyuban dan “memformulasikan” ulang kesenian Sapi Sonok kembali pada asalnya,
yaitu tidak dilombakan, tapi hanya sekedar dikonteskan. Akhirnya banyak orang yang kembali
menekuni kesenian ini seperti saat ini. Inilah proses interaksi yang terjadi dalam kesenian Sapi
Sonok.
Interaksi terdiri dari berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi non simbolis mencakup stimulus-respon yang
sederhana, seperti halnya batuk untuk membersihkan tenggorokan seseorang. Interaksi simbolis
mencakup “penafsiran tindakan”. Bila dalam pembicaraan seseorang pura-pura batuk ketika
tidak setuju dengan pokok-pokok persoalan yang disampaikan oleh pembicara, batuk tersebut
menjadi simbol yang berarti, yang dipakai untuk menyampaikan penolakan. Bahasa tentu saja
merupkan simbol berarti yang paling umum. Kontes Sapi Sonok merupakan sebuah pertunjukan
dimana sapi-sapi berjenis kelamin betina dihiasi, didandani, dan sapi-sapi tersebut bisa
melangkah seirama dengan sapi-sapi yang menjadi pasangannya. Untuk bisa melangkah secara
berirama, tentu saja sapi-sapi tersebut dilatih cara berjalannya. Banyak perlakuan-perlakuan
“manja” yang diberikan pada sapi-sapi tersebut. Dalam kesenian Sapi Sonok ini, peneliti
menemukan data, bahwa tiga informan adalah orang yang pada masa lalunya merupakan orang
yang berkiprah pada Kerapan Sapi, namun mereka memutuskan untuk berhenti dikarenakan
adanya kekerasan dan seringnya timbul konflik dalam kebudayaan tersebut. Sedangkan kedua
informan yang lain, meskipun mereka tidak pernah memelihara sapi kerap, mereka juga menolak
terhadap adanya kekerasan pada hewan, dan kelima informan juga memiliki tujuan yang sama
dalam memelihara Sapi Sonok, yaitu untuk menambah teman dan menjalin silaturahim dengan
para pemilik sapi yang lain.
Ini artinya mereka memelihara Sapi Sonok sebagai bentuk penolakan mereka
terhadap kekerasan pada hewan dan juga bisa diartikan sebagai budaya pemersatu. Dikatakan
sebagai budaya pemersatu dikarenakan dengan adanya kesenian ini, orang yang tidanya hanya
mengenal masyarakat di sekitar lingkungan mereka, dengan memelihara Sapi Sonok mereka
bisa mengenal orang se-Madura lewat paguyuban-paguyuban yang ada. Ketika mereka sudah
saling mengenal satu sama lain, apalagi tergabung dalam paguyuban yang sudah ada, sengat
kecil kemungkinan untuk terjadinya konflik, dan hal ini tidak ditemukan dalam kebudayaan
Sapi Kerap.
Manusia tidak hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya
sebagai obyek. Menurut mead (1934/1962: 134) dengan cara merefleksikan-dengan
mengembailkan pengalaman individu pada dirinya sendiri-keseluruhan proses sosial
menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu
bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesesuaikan
dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam
tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu.
Kesenian Sapi Sonok merupakan sebuah kesenian yang sudah sejak lama ada dalam masyarakat
Madura. Setiap individu yang lahir pasca adanya kesenian ini pastilah akan mengalami proses
internalisasi dalam dirinya. Mereka mulai mengenal lingkungan mereka lewat sosialisasi yang
ada dalm lingkungannya. Salah satu tujuan dari sosialisasi ini adalah untuk mengenalkan budaya
pada generasi yang lebih muda, karena setiap masyarakat pastilah menginginkan budayanya
lekang. Sosialisasi inilah yang pada akhirnya menumbuhkan rasa tanggung jawab dari generasi
selanjutnya untuk tetap melanggengkan kebudayaan tersebut. Dengan kata lain, mereka sadar
bahwa mereka sebagai orang Madura (obyek) yang mempunyai kewajiban untuk melestarikan
budaya yang sudah diwariskan oeh nenek moyang mereka. Hal ini terbukti berdasarkan data
yang peneliti temukan di lapangan, informan menyadari bahwa kesenian Sapi Sonok merupakan
budaya yang harus tetap dilestarikan dan tidak boleh punah karena merupakan warisan leluhur.
Tindakan manusia adalah tindakan interpretatif yang dibuat oleh manusia itu
sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Lewis dan Smith (1980: 24), sebagaimana dikutip oleh
Soeprapto (2002) bahwa perspektif ini memahami individu sendiri sebagai agen yang secara
eksistensial bebas yang bisa menerima, menolak, memodifikasi, atau sebaliknya, ‘menegaskan’
norma-norma, peran-peran, kepercayaan-kepercayaan masyarakat, dan sebagainya sesuai dengan
kepentingan-kepentingan dan rencana-rencana mereka sendiri pada waktu itu. Dalam lapangan
ditemukan bahwa aktor sebelum memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok, sang aktor terlebih
dahulu melakukan pertimbangan-pertimbangan rasional yang sekiranya bermanfaat bagi mereka,
dengan demikian keputusan mereka dalam memelihara Sapi Sonok tentu saja berlandaskan
alasan-alasan yang rsional dari mereka.
Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota
kelompok, hal ini disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai “organisasi sosial dari
perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan-tindakan bersama
tersebut dilakukan berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut sebagai kebudayaan
dan aturan sosial. Dalam kesenian Sapi Sonok sendiri, sebenarnya terdapat satu lagi kesenian
yang selalu menjadi pengiring bahkan sudah dianggap sebagai satu kesatuan dari kesenian Sapi
Sonok itu sendiri. Kesenian tersebut adalah musik Saronen, sebuah permainan musik tradisional
yang sebenarnya juga dapat dijumpai di daerah lain, tapi sudah dianggap sebagai ciri khas
Madura. Ini merupakan penyesesuaian dari dua tingkah laku yang berbeda yang memang sudah
berjalan sejak lama, dan pada akhirnya melahirkan kebudayaan Sapi Sonok itu sendiri, yang
memang tidak bisa lepas dari permainan Saronen ini.
Menurut Blumer, tindakan manusia bukan disebabkan olen beberapa ”kekuatan luar” (seperti
yang dimaksudkan oleh kaum fungsionalis-struktural), tidak pula disebabkan oleh ”kekuatan
dalam” (seperti yang dinyatakan oleh kaum reduksionis-psikologis). Blumer (1969: 80)
menyanggah individu bukan dikelilingi lingkungan obyek-obyek potensial yang
mempermainkannya dan membentuk perilakunya. Tetapi individulah yang membentuk obyek-
obyek itu – misalnya berpakaian atau mempersiapkan diri untuk karir profesional – individu
sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya makna,, menilai
kesesuaiannya dengan tindakan, dan mengambil keputusa berdasarkan penilaian tersebut
(Poloma, 2003: 260-261).
Dengan demikian, manusia merupakan aktor yang sadar dan refleksif, yang
menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut Blumer (1969: 81)
sebagai Self-Indication. Self-indication merupakan proses komunikasi yang sedang berjalan
dimana individu mengetahui sesuatu, menilaiya, memberinya makna, dan memutuskan untuk
bertindak berdasarkan makna tersebut. Sapi Sonok merupakan sebuah kebudayaan yang sudah
berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, bahkan menurut pemaparan para informan, Sapi
Sonok sudah ada sejak sebelum mereka lahir. Dengan kata lain Sapi Sonok sudah menjadi
bagian dari kehidupan mereka sejak pertama kali mengenal kehidupan. Pengenalan pertama kali
mereka akan Sapi Sonok, tentu saja berawal dari ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan
atau orang yang memang sudah lebih dahulu mengenal Sapi Sonok dari pada mereka. Dari
proses interaksi inilah akhirnya orang yang tidak mengenal Sapi Sonok akhirnya menjadi tahu
apa itu Sapi Sonok.
Saat proses interaksi berlangsung, aktor melakukan penilaian-penilaian terhadap
sesuatu yang terjadi pada diri mereka. Para informan memeliliki penilaian yang berbeda-beda
akan kesenian Sapi Sonok, namun demikian secara umum penilaian merekan pada kesenian ini
adalah penilaian ekonomi, sosial, dan budaya. Yang dimaksud dengan penilaian ekonomi di sini
adalah bahwa para informan terlebih dahulu melakukan pertimbangan-pertimbangan ekonomis
sebelum memutuskan untuk memelihara Sapi Sonok. Dengan kata lain setelah mereka
mengatahui apa rugi dan untungnya menggeluti kesenian ini bagi mereka, mereka baru
memutuskan akan memelihara Sapi Sonok apa tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan
pertimbangan sosial adalah mereka menyadari bahwa dengan memelihara Sapi Sonok mereka
bisa mendapatkan “keluarga” baru bagi mereka. Seperti yang diketahui, bahwa banyaknya
masyarakat yang terjun dalam kesenian ini, menandakan bahwa kesenian ini sudah mendapat
tempat di hati masyarakat, ini juga menunjukkan kesadaran masyarakat Madura untuk tetap
melestarikan kesenian dari leluhurnya. Supaya kesenian ini tetap lestari, maka diperlukan sebuah
wadah yang berfungsi untuk melestarikan kasenian ini, maka dibentukklah paguyuban-
paguyuban yang tersebar di beberapa tempat di masing-masing kabupaten yang ada di Madura.
Antar paguyuban saling berinteraksi dengan paguyuban yang lain dengan cara diadakannya
kontes Sapi Sonok secara rutin setiap bulan yang diselenggarakan secara bergantian oleh
masing-masing pauyuban yang ada, dan stiap paguyuban mengadakan kontes, maka paguyuban
yang lain wajib mengirim minimal satu pasang Sapi Sonok untuk mengikuti kontes tersebut. Dari
interaksi inilah akhirnya Sapi Sonok bisa membentuk sebuah jaringan sosial yang pada akhirnya
menyatukan masyarakat Madura. Sedangkan yang dimaksud dengan penilaian budaya adalah,
bahwa para informan sadar bahwa kesenian Sapi Sonok ini merupakan warisan para nenek
moyang yang harus mereka lestarikan dan jangan sampai punah. Dari penilaian-penilaian itulah
akhirnya timbul anggapan-anggapan akan “objek” eksternal mereka. Para informan menganggap
dengan adanya kesenian Sapi Sonok ini, masyarakat bisa bersatu dan saling mengenal
masyarakat Madura yang lain. Hal ini bisa dilihat dari alasan para informan yang memutuskan
untuk memelihara Sapi Sonok salah satunya adalah untuk menambah teman dan menjalin
silaturahim dengan masyarakat Madura yang berasal dari daerah lain. Selain itu, berdasarkan
pemaparan dai informan bahwa yang menggeluti kesenian ini merupakan orang yang secara
perekonomian berada pada kelas menengah ke atas. Dengan kata lain bahwa kesenian ini
memiliki prestis tersendiri dalam masyarakat. Dari situlah akhirnya sang aktor memiliki
pandangan akan Sapi Sonok sebagai sabuah kesenian yang bisa memberikan keuntungan secara
ekonomi dan sosial bagi mereka, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk memelihara Sapi
Sonok dalam kehidupan mereka.
F. Kesimpulan
1. Sapi Sonok adalah simbol pemersatu bangsa. Dalam kesenian ini terkandung
nilai-nilai persatuan yang dianut oleh masyarakat Madura, dimana dengan memlihara
Sapi Sonok mereka akan mengenal masyarakat Madura yang “lain” yang juga
menganut nilai-nilai yang sama dengan mereka, dan nilai-nilai yang sama itulah yang
bisa menghindarkan mereka dari konflik. Sapi Sonok juga membentuk sebuah
jaringan sosial melalui paguyuban-paguyuban yang tersebar di setiap kabupaten yang
ada di Madura yang saling berhubungan satu sama lain. Interaksi yang dijalin oleh
paguyuban-paguyuban inilah yang bisa mengikat rasa kekeluargaan di antara para
anggota paguyuban-paguyuban yang ada.
2. Sapi Sonok mengandung makna prestis di dalamnya. Dimana para pemilik sapi
adalah orang-orang yang memang secara ekonomi berada dalam kalangan atas,
dimana dalam setiap kontesnya terdapat adu gengsi antar pemilik di dalamnya.
G. Saran
1. Dikarenakan penelitian ini jauh dari kata sempurna, maka perlu ada penelitian
lanjutan terkait tema yang sama dengan menggunakan landasan teori lain, sehingga
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif terkait kesenian Sapi Sonok.
2. Dikarenakan minimnya penelitian tentang kebudayaan Madura, diperlukan adanya
penelitian lain yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang ada di Madura, karena
dalam kenyataannya Madura memang kaya akan budaya warisan nenek moyang,
sehingga pemahaman orang luar terhadap Madura lebih konprehensif, tidak hanya
pada ranah kekerasan dan keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Azwar, Sifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bouvier, Helene. 2002. Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura.
Jakarta: YOI.
Craib, Ian. 1986. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: Rajawali.
Goodman, Douglas J dan Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Kutsiyah, Farahdilla. 2015. Sapi Sonok & Karapan Sapi: Budaya Ekonomi Kreatif Masyarakat
Madura. Yogyakarta: Plantaxia
Latief, A. Wiyata. 2006. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LKIS.
Poloma, Margaret M. 2013. Sosologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.
Rtzer, George. 2011. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Edisi Kedelapan 2012). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soeprapto, H.R. Riyadi. 2002. Interaksionisme Simbolik. Malang: Averroes Press.
Suyanto, Bagong dan Sutinah (ed). 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana
Journal:
URNA (Jurnal Seni Rupa) 2012, ISSN 2301-8135, vol .1, no. 2, hal 141.
Ensklopedi:
Ensiklopedi Pamekasan; 2010.
Top Related