David Wyanto
10 2007 159
Blok 22 Neurology and Behaviour Science
Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang termasuk dalam kelompok gangguan
neurokognitif di mana terjadi gangguan dalam proses pikir dan persepsi. Pada tahun
1911, oleh Alfred Bleuler, memperkenalkan istilah “skizofrenia” yang ditandai
dengan empat gejala A yang menonjol (Asosiasi yang abnormal, gangguan Afek,
Autisme, dan Ambivalensi). Seseorang dikatakan menderita skizofrenia jika gejala-
gejala skizofrenia sudah dialami sekitar sekurangnya 1 bulan dan gejala menetap
sekurangnya selama 6 bulan. Jika kurang dari itu maka orang tersebut dikatakan
menderita psikotik akut atau lir-skizofrenia.
Jumlah penderita skizofrenia adalah sekitar 1% dari total populasi dunia. Jumlah pasti
penderitanya di Indonesia, belum diketahui hingga sekarang. Skizofrenia dimulai
antara masa remaja menengah sampai dewasa muda. Pada pria, onset gangguan ini
umumnya bermula pada usia awal dua puluhan (15-25) sedangkan pada wanita
bermula pada akhir tiga puluhan (25-35). Bila pria menderita skizofrenia maka lebih
parah daripada perempuan. Sedangkan jumlah penderitanya sendiri seimbang pada
kelompok pria dan wanita. Juga tidak ditemukan perbedaan dalam kelompok ras yang
berbeda-beda. Skizofrenia berupa sindrom yang heterogen, di mana diagnosisnya
belum dapat ditegakkan memakai suatu uji laboratorium tertentu. Diagnosisnya
ditegakkan berdasarkan sekumpulan gejala yang dinyatakan karakteristik untuk
skizofrenia.
Gangguan skizofrenik umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan persepsi yang
mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang
jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit
kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Karena permulaan serangan pada usia
muda maka individu dengan skizofrenia menjadi beban keluarga dan memerlukan
penanggulangan yang berlangsung lama.
Riwayat Psikiatrik
Anamnesis adalah wawancara seksama yang dilakukan pasien yang berguna untuk
menunjang diagnosis penyakit seorang pasien. Seringkali, diagnosis yang baik sudah
dapat menentukan penyakit seseorang. Anamnesis merupakan gabungan dari keahlian
mewawancarai dan pegetahuan yang mendalam tentang gejala dan tanda suatu
penyakit sehingga dapat melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang yang sesuai
untuk penyakit tersebut.
Anamnesis dibedakan menjadi 2 yaitu
Auto anamnesis = Anamnesis yang dilakukan kepada pasien
sendiri
Allo anamnesis = Anamnesis yang dilakukan terhadap keluarga
atau pengantarnya
(tuliskan tanggal wawancara, nama (inisial) orang yang diwawancara, hubungannya
dengan pasien, tempat wawancara)
A. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke
dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus disertai
indicator waktu, berapa lama mengalami hal itu.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang adalah cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai
kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Uraikan
secara kronologis onset gangguan kejiwaannya, perkembangan gejala, faktor-faktor
yang mempengaruhi (stresor organobiologik, psikososial), dampak gangguan pada
fungsi pekerjaan, fungsi sosial dan kegiatan sehari-hari, pernah diobati/dirawat di
mana sebelum dibawa ke RS, diberikan obat apa, bagaimana reaksinya; upayakan
sedapat mungkin sampai didapat kesan diagnosis sementara gangguan jiwanya.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Gangguan psikiatrik
Uraikan secara kronologis onset penyakit yang pertama kali, usia awitan,
perkembangan gejala, faktor-faktor yang mempengaruhi (faktor organobiologik,
psikososial). Dampak gangguan pada fungsi pekerjaan, fungsi sosial dan kegiatan
sehari-hari. Pernah diobati/ dirawat di mana, diberikan obat apa (warna obatnya),
bagaimana reaksinya; efek samping obat, kepatuhan pengobatan, upayakan sedapat
mungkin sampai didapat kesan diagnosis gangguan jiwanya pada saat itu, hasil
pengobatannya (efek terapeutiknya), gejala sisa, remisi parsial / remisi total, kegiatan
setelah terapi)
Gangguan medik
Penyakit / gangguan fisik yang pernah dialami, diagnosis, terapi,kondisi setelah
terapi.
Penggunaan zat psikoaktif
Uraikan jenis zat psikoaktif yang pertama kali digunakan, kapan, dosis, frekuensi,
cara pemakaian, dampak penggunaannya, gejala putus zat, terapi, sembuh / masih
menggunakan zat itu atau menambah/ mengganti dengan zat lain, pemakaian terakhir.
D. Riwayat Kehidupan Pribadi
Riwayat perkembangan fisik
Dari dalam kandungan sampai dengan saat ini, kondisi ibu saat kehamilan, keadaan
pada saat partus, cacat bawaan, perkembangan fisik, motorik, pernah sakit yang
bermakna, kecelakaan yang bermakna, kejang, operasi, dirawat, gejala sisa dll.
Riwayat perkembangan kepribadian
Mulai dari masa kanak, remaja, dewasa, lansia
Pola perkembangan psikomotor, psikososial, kognitif, dan moral
Kualitas komunikasi orang tua – anak (pola asuh)
Sifat, temperamen, karakter, kebiasaan
Gangguan perkembangan atau perilaku
Pola pergaulan, hubungan sosial, hubungan interpersonal, persepsi diri
Identitas diri, citra diri, tokoh idola, hobi
Problem emosional
Terdapat ciri-ciri/gangguan kepribadian tertentu
Riwayat pendidikan
Mulai dari masuk sekolah. Prestasi pelajaran, kegagalan, keberhasilan, berhenti,
pindah sekolah, kegiatan di luar sekolah, kegiatan setelah berhenti sekolah.
Riwayat pekerjaan
Mulai dari pertama kali bekerja, di mana, jenis pekerjaan, lama bekerja, alasan
berhenti/pindah, gaji, hubungan dengan atasan/bawahan/teman sejawat, dll.
Kehidupan beragama
Latar belakang pendidikan agama; sikap terhadap agama; ketaatan beribadah;
pandangan agama tentang kehidupan sekarang, bunuh diri, AIDS, dan gangguan jiwa;
pengaruh agama dalam kegiatan/kehidupan sehari-hari.
Riwayat kehidupan psikoseksual dan perkawinan
Masa pacaran,dijodohkan/pilihan sendiri, harapan terhadap pasangan hidup,
kehidupan seksual, keharmonisan perkawinan, kehamilan yang diharapkan, kelahiran
anak, siapa pencari nafkah utama, alasan perceraian, alasan rujuk, alasan kawin lagi;
kehidupan seksual sebelum menikah, dsb. Bila belum menikah bagaimana kehidupan
psikoseksualnya, pernah berpacaran, melakukan hubungan seksual, dsb.
Riwayat keluarga
Gambar pohon keluarga (segiempat untuk laki-laki, lingkaran untuk
perempuan, yang sakit jiwa diarsir, pasien diberi tanda panah, bila sudah
meninggal dunia diberi garis silang diagonal)
Tuliskan identitas masing2 anggota keluarga yg bermakna (umur, pendidikan,
status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, beri tanda bila mengalami
gangguan jiwa (yang diarsir), jenis gangguan jiwanya, sebab kematian dll)
E. Situasi kehidupan sosial sekarang
Sebaiknya dengan kunjungan rumah (dengan surat pengantar dari RS)
Kondisi fisik tempat tinggal dan lingkungan
Jumlah penghuni dalam rumah, hubungannya dengan pasien
Interaksi keluarga dengan pasien, sikap keluarga terhadap kondisi psikososial
pasien
Kesan kondisi sosial dan ekonomi keluarga
Status Mental
A. Deskripsi Umum
Penampilan
Deskripsikan apa yang tampak: sikap, cara berpakaian, dandanan . make up, postur
tubuh, rambut, jenggot, kumis, kebersihan diri, tampak lebih tua / muda / sesuai usia,
dll.
Kesadaran
Kesadaran neurologik/sensorium : compos mentis, apatis, somnolen, sopor, sporo-
koma, koma, delirium
Kesadaran psikiatrik (kualitas kesadaran)
Tampak terganggu (sikap, perilaku, gerak-gerik, ekspresi wajah yg tidak
wajar, sehingga didapat kesan sebagai orang yang sedang terganggu jiwanya)
Tampak tidak terganggu (sikap, perilaku, gerak-gerik, ekspresi wajah tampak
wajar, sehingga didapat kesan sebagai orang yang tidak tampak terganggu
jiwanya)
Perilaku dan aktivitas psikomotor
Perilaku dan aktivitas psikomotor seperti tenang, gelisah, cemas, katatonia, stereotipi,
hiperaktivitas, kompulsi, menarik diri, dll, pada saat :
sebelum wawancara
selama wawancara
sesudah wawancara
Sikap terhadap pemeriksa
Kooperatif, indeferen, apatis, curiga, antisosial, bermusuhan, pasif, aktif, ambivalen,
tegang, seduktif dan lain-lain.
Kualitas berbicara
Cara berbicara : spontan/tidak, cepat/lambat, keras/lemah, lancar, tersendat,
gagap, dramatik, monoton, sambil menggerutu/bergumam dan lain-lain
Gangguan berbicara : afasia, disartria/pelo, latah (ekolalia), dll
B. Alam Perasaan (Emosi)
Suasana perasaan (mood)
Emosi yang bersifat menetap (musimnya emosi), berlangsung lama, internal, yang
dapat dikemukakan pasien, dan mempengaruhi pesepsi/perilaku seseorang tentang
dunia sekitarnya, secara obyektif dapat dilihat dari cara berbicaranya, ekspresi
wajahnya, gerak-gerik tubuhnya, nada suaranya, kecepatan berbicaranya,
banyak/sedikit pembicaraannya
Eutim: suasana perasaan yang biasa, wajar, normal (normothyn)
Hipertim: suasana perasaan yang meningkat (bahagia, senang, gembira, puas,
terhibur, ekstasi / kenikmatan indrawi, hipoman sampai mania)
Distim: suasana perasaan yang iritabel (marah, beringas, benci, jengkel,
berang, tersinggung, bermusuhan, mengamuk, kebencian patologik sampai
mengarah ke tindak kekerasan, agresif)
Hipotim: suasana perasaan yang menurun (murung, pedih, muram, sedih,
melankolis, berkabung, putus asa, malu, ditolak sampai disforik, depresi)
Ketakutan: suasana perasaan yang berupa cemas, takut, khawatir, waswas,
waspada, ngeri sampai anxietas, fobia, panik, atau waham
Kosong: suasana perasaan yang inadekuat untuk dimasukkan ke salah satu
bentuk mood diatas
Siklotim: suasana perasaan yang bergelombang
Afek/ekspresi afektif
Respons emosional secara eksternal, yang tampak pada saat wawancara (hidup emosi,
cuacanya emosi), emosi yang sesaat/jangka pendek; tampak dari reaksi yang timbul
setelah membicarakan sesuatu hal yang dapat memicu emosi, yang dinilai adalah:
Arus : reaksi emosinya :cepat / lambat
Stabilitas : stabil (tak banyak berubah) / labil (cepat berubah)
Kedalaman : emosi yang dalam / dangkal
Skala diferensiasi : luas / sempit (reaksi emosi terhadap hal-hal yang tidak
langsung(luas) atau yang langsung/jelas (sempit))
Keserasian : serasi (reaksi emosi yang sesuai dengan rangsangan emosi), atau
tidak serasi (dirangsang yang sedih, reaksinya senang)
Pengendalian : kuat / lemah (pengedalian respons emosi)
Ekspresi : wajar / terbatas / tumpul / datar
Dramatisasi : ada / tidak ada (echt / unecht) – “acting emosional”
Empati : dapat / tidak dapat diraba-rasakan (kemampuan pemeriksa
menempatkan dirinya sebagai pasien dan sebaliknya)
C. Gangguan Persepsi (Persepsi panca indera)
Halusinasi (ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Ilusi (ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Deprsonalisasi (ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Derealisasi (ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
D. Sensorium dan Kognisi (Fungsi Intelektual)
Faktor organik spesifik yang mempengaruhi fungsi mental susunan saraf pusat
Sensorium (Kesadaran neurologik) => lihat pada deskripsi umum
Merupakan fungsi luhur yang paling rendah; sedangkan fungsi kognitif
merupakan fungsi luhur yang lebih tinggi seperti:
o Taraf pendidikan : sesuai dengan tingkat pendidikan / akademik
o Pengetahuan umum : luas, sempit, kurang
o Kecerdasan : diatas rata-rata, rata-rata, dibawah rata-rata (bila perlu IQ
test)
o Konsentrasi
o Perhatian
o Orientasi (waktu, tempat, perorangan)
o Daya ingat : jenis / tingkat (jangka panjang, jangka pendek, segera).
Gangguan : amnesia, paramnesia, blackout
Pikiran abstrak (kemampuan berpikir konseptual, mengetahui arti peribahasa;
mengetahui persamaan beberapa benda)
Visuospasial (kemampuan menirukan gambar yang bertumpang tindih seperti
pentagon, segitiga, lingkaran; kemampuan menggambar jam)
Bakat kreatif (kreatifitas berdasarkan bakat pasien)
Kemampuan menolong diri sendiri (mandi, makan, mengganti pakaian dll)
E. Proses Pikir
Arus pikiran
Produktifitas (miskin / kaya ide, terbatas, loncat gagasan, logorrhea)
Kontinuitas (Asosiasi longgar : sirkusmstansialitas, tangensialitas, inkoherensi
dll)
Hendaya berbahasa (neologisme, word salad, asosiasi bunyi, dll)
Isi Pikiran
Waham, obsesi, fobia (ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Ideas of reference (gagasan rujukan : ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Ideas of influence (gagasan pengaruh : ada / tidak ada, jenisnya, isinya)
Preokupasi dalam pikiran (kecendrungan pikiran, pola sentral dalam pikiran)
F. Pengendalian impuls
Kemampuan mengendalikan impuls agresivitas, seksual, dorongan kehendak, dan
perilaku psikososial yang bisa membahayakan diri atau orang lain.
G. Daya Nilai
Daya nilai sosial (norma sosial): Persepsi pasien tentang perilakunya yang
dapat membahayakan dirinya atau lingkungannya, yang pernah dilakukannya
(pasien yang pernah memukul ibunya, ditanyakan apakah memukul ibu itu
boleh atau tidak, kalau boleh mengapa, kalau tidak juga mengapia?)
Uji daya nilai: Persepsi pasien tentang suatu peristiwa yang dikemukan
pemeriksa; seperti apa yang akan dilakukan pasien bila menemui sebuah
amplop tertutup yang ada alamatnya dan ada perangkonya
Daya nilai realitas: kalau terganggu, dalam hal apa?
H. Tilikan
1. Menyangkal bahwa dirinya sakit
2. Mengakui dan menyangkal bahwa dirinya sakit pada saat yang bersamaan
3. Menyalahkan orang lain / faktor eksternal sebagai penyebab sakitnya
4. Sadar bahwa sakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tak diketahui dalam
dirinya
5. Sadar bahwa dirinya sakit tetapi tidak bisa menerapkan pengetahuannya dalam
mengatasi penyakitnya
6. Sadar bahwa dirinya sakit dan sudah bisa menerapkannya sampai
kesembuhannya (tilikan emosional sejati).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan lain selain
kelainan jiwanya (komorbiditas).
Status Internistik
Keadaan umum Sistem Kardiovaskular
Kesadaran Sistem Respiratorius
Tensi Sistem Gastrointestinal
Nadi Sistem Muskuloskeletal
Suhu badan Sistem Urogenital
Frekuensi pernapasan Sistem Dermatologi
Tinggi badan dan berat badan Kelainan Khusus lainnya
Bentuk badan
Status Neurologik
Gejala rangsang meningeal dan tekanan intracranial
Mata (gerakan : kelumpuhan, nistagmus, dll)
Pupil (bentuk, rangsang cahaya, konvergensi, reaksi kornea)
Pemeriksaan oftalmoskopik (fundus, retina, papil oedem,dll)
Motorik dan sensibilitas
Fungsi luhur
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pada scenario perlu dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui penderita
menggunakan obat psikotropika atau tidak. Sedangkan pada pemeriksaan lainnya
dilakukan atas indikasi penyakit organobiologiknya (komorbid).
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada penderita Skizofrenia bukan ditujukan untuk
mendiagnosis. Tetapi ditujukan untuk bidang penelitian serta untuk melihat kelainan
struktur dan fungsi yang dihubungkan dengan gejala yang timbul pada pasien.
Kelainan struktur otak yang bisa ditemukan pada pasien skizofrenia dengan
pemeriksaan MRI :
Regio otak Kelainan yang ditemukan
Serebrum
Serebelum
Ventrikel
Lobus temporal
Pengurangan volume korteks dan
kelainan waktu relaksasi
Inkonklusif
Lebih kecil terutama sisi kiri
Kelainan waktu relaksasi dan
pengurangan volume gray matter
Kelainan waktu relaksasi dan pengecilan
amigdala-hipokampus-parahipokampus
terutama sisi kiri
Mengecil dan kelainan waktu relaksasi ;
Lobus frontal
Nukleus kaudatus
Septum pelusidum
Thalamus
Korpus calosum
Girus singulat
penurunan fosfolipid turnover
Dapat lebih kecil atau besar
Membesar dan peningkatan kavum
septum pelusidum
Lebih kecil
Perubahan bentuk atau normal
Lebih kecil pada kedua sisi
Pencitraan dengan PET pada pasien skizofrenia
Kelompok kerja Gambaran klinis Gambaran PET
Retardasi psikomotorik Retardasi pada afek,
pembicaraan dan
pergerakan
Penurunan aliran darah di :
- prefontral
- parietal kiri
peningkatan aliran darah di
: nucleus kaudatus
Gangguan penilaian realita Halusinasi dan waham Peningkatan aliran darah
di :
- striatum
parahipokampus
ventral kiri
Penurunan di :
- Singulat posterior
kanan
- Temporal posterior
kanan
Disorganisasi Gangguan afek pikir dan
afek yang tidak serasi
Peningkatan di :
- singulat post.
Kanan
- thalamus
mediodorsal
penurunan di :
- frontotemporal
kanan
- area Broca
- girus angular kiri
dan kanan
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis gangguan jiwa maka menggunakan Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi 3 (PPDGJ III).
Pada scenario 3 pasien memiliki gejala :
halusinasi auditorik (menyuruh melakukan sesuatu, membicarakan dan
mengomentari tingkah lakunya)
waham aneh, paranoid
gejala negatif (mengurung diri, tidak kuliah)
halusinasi (8 bulan) dan gejala negatif (1 minggu)
Kriteria Diagnostik Skizofrenia
Skizofrenia ditandai adanya distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan
adanya afek yang tidak wajar atau tumpul. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ketiga (PPDGJ III) membagi simtom skizofrenia
dalam kelompok-kelompokpenting, dan yang sering terdapat secara bersama-sama
untuk diagnosis.
Kelompok simptom tersebut :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a) Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal)
Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap sesuatu kekuatan dari luar.
Delusional perception : pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi auditorik:
suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien
mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagi tubuh
(d) Waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa
(misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk
asing dari dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
(e) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang.
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor;
(h) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
(i) Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed atitude), dan
penarikan diri secara sosial.----
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut
tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis
pertama kali sebagai gangguan psikotik lir-skizofrenia akut.
Skizofrenia tipe Paranoid
Ini adalah skizofrenia yang paling sering dijumpai. Gambaran klinis didominasi oleh
waham yang relatif stabil, sering bersifat paranoid, disertai oleh halusinasi (terutama
halusinasi pendengaran), dan gangguan persepsi. Gangguan afektif, kehendak, dan
pembicaraan, serta gejala katatonik tidak menonjol.
Pedoman diagnostik :
Kriteria Skizofrenia terpenuhi
Gejala tambahan :
o Halusinasi yang mengancam atau memerintah pasien/halusinasi suara
o Halusinasi pembauan atau gustatorik
o Waham dikejar-kejar, control
o Gangguan afektif, kehendak, katatonik relatif tidak nyata/tidak
menonjol
Dengan gejala-gejala yang ada maka pasien menderita Skizofrenia Paranoid.
Diagnosis Banding
Skizofrenia tipe Hebefrenik
Pada tipe ini terjadi disintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat kekanak-kanakan,
ketolol-tololan, seringkali tertawa sendiri kemudian secara tiba-tiba menangis
tersedu-sedu. Terjadi regresi total, dimana individu menjadi kekanak-kanakan.
Individu mudah tersinggung atau sangat irritable. Seringkali dihinggapi sarkasme
(sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-ledak atau explosive tanpa sebab.
Kepribadian premormid khas pemalu & senang menyendiri. Gejala umum skizofrenia
harus tetap ada sebelum mendiagnosis subitpe ini. Perlu pengamatan 2 atau 3 bulan
lamanya untuk mematiskan bahwa perilaku yang khas seperti diuraikan di atas
memang benar bertahan. Gangguan afektif, dorongan, kehendak, serta gangguan
proses berpikir umumnya menonjol. Perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud
(khas)Adanya preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat.
Pedoman diagnostik :
a) Memenuhi kriteria umum diagnosa skizofrenia
b) Ditegakan pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun)
c) Kepribadian premorbid menunjukan ciri-ciri khas pemalu dan senang menyendiri.
Untuk meyakinkan diperlukan pengamatan selama 2-3 bulan untuk memastikan
gambaran lihat yang bertahan, antara lain perilaku yang tidak bertanggungjawab dan
tidak dapat di ramalkan, kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku tanpa
tujuan dan perasaan :
- Afek dangkal dan tidak wajar
- Proses fikir mengalami disorganisasi dan topik pembicaraan tidak menentu
(inkoheren)
- Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham biasanya ada tetapi tidak menonjol.
Skizofrenia tipe Katatonik
Gangguan psikomotor yang menonjol merupakan gambaran yang esensial dan
dominan dan dapat bervariasi antara kondisi ekstrem seperti hiperkinesis dan stupor,
atau antara sifat penurut yang otomatis atau negativisme. Sikap dan posisi tubuh yang
dipaksakan dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Gejala skizofrenia harus
tetap ada sebelum mendiagnosis subitpe ini. Fenomena katatonik dapat berkombinasi
dengan suatu keadaan seperti bermimpi dengan halusinasi pemandangan yang jelas.
Untuk mendiagnosis skizofrenia katatonik harus terdapat 1 atau lebih dari perilaku
berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya :
Stupor (kurang reaktif terhadap lingkungan dan ativitas spontan) atau mutisme
Kegelisahan (gerakan motor tak bertujuan dan tanpa stimuli eksternal)
Berpose (mempertahankan sikap tubuh tak wajar)
Negativisme (perlawanan yang jelas tidak bermotif terhadap instruksi atau
bergerak kea rah berlawanan)
Rigiditas
“waxy flexibility” (mempertahankan posisi anggota gerak dan tubuh yang
dilakukan dari luar)
gejala-gejala lain (comman automotism)
Etiologi dan Patofisiologi
Sampai saat ini belum diketahui etiologi pasti skizofrenia. Skizofrenia tidak dapat
dinilai dari aspek biologis saja tapi harus dipandang melalu aspek biopsikososial,
sehingga pasien dapat dilihat secara utuh.
Pendekatan Biologis
A. Faktor Genetik
Seperti halnya psikosis lain, schizophrenia nampaknya cenderung berkembang lewat
keluarga. Penelitian terhadap munculnya schizophrenia dalam keluarga biasanya
diadakan dengan mengamati penderita schizophrenia yang ada di rumah sakit jiwa
dan kemudian meneliti tentang perkembangan kesehatannya serta mencari
keterangan dari berbagai pihak untuk menentukan bagaimana schizophrenia dan
psikosis lainnya muncul di antara keluarga penderita. Dari penelitian yang dilakukan
ditemukan bahwa resiko timbulnya psikosis, termasuk schizophrenia, sekitar empat
kali lebih besar pada hubungan keluarga tingkat pertama (saudara kandung, orang tua,
anak kandung) dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Semakin dekat hubungan genetis antara penderita schizophrenia dan anggota
keluarganya, semakin besar kemungkinannya untuk terkena schizophrenia. Hal ini
menunjukkan bahwa kecenderungan terkena schizophrenia dapat ditularkan secara
genetis. Keluarga penderita schizophrenia tidak hanya terpengaruh secara genetis
akan tetapi juga melalui pengalaman sehari-hari. Orang tua yang menderita
schizophrenia dapat sangat mengganggu perkembangan anaknya. Hal ini
menimbulkan persoalan tentang mana yang lebih berpengaruh : genetis atau
lingkungan. Hubungan biologis atau genetis dengan penderita schizophrenia
nampaknya merupakan faktor yang paling menyolok untuk menimbulkan
schizophrenia. Schizophrenia muncul sebagai akibat dari interaksi gen tunggal dan
tekanan lingkungan..
B. Faktor Biokimia
Skizofrenia ditandai dengan delusi, halusinasi, perilaku yang secara social tidak dapat
diterima dan asosiasi yang tidak adekuat (gejala positf). Kekurangan motivasi dan
emosi (gejala negatif). Pada beberapa pasien gejala negatif yang mendominasi (tipe
1), jika gejala positif yang mendominasi (tipe 2).
Pada skizofrenia terdapat penurunan aliran darah dan ambilan glukosa terutama di
kortes prefrontalis, pada tipe 2 terdapat penurunan jumlah substansia nigra.
Atrofi penonjolan dendrit dari sel pyramidal di korteks predfrontalis dan girus
singulata. Penonjolan dendrit mengandung sinaps glutamatergik, jika atrofi maka
transmisi glutamatergik terganggu. Pada area yang terkena pembentukan GABA juga
menurun sehingga penghambatan sel pyramidal berkurang.
Avaibilitas atau agonis dopamin yang berlebihan menimbulkan gejala skizofrenia.
Penghambat reseptor dopamine-D2 telah sukses digunakan untuk terapi skizofrenia.
Penurunan reseptor D1 dan D2 di korteks prefrontalis berkaitan dengan gejala
negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh dopamine yang meningkat.
Dopamin berperan sebagai transmitter melalui beberapa jalur :
Jalur dopaminergik ke sistim limbic (mesolimbik)
Ke korteks (system mesokorteks)
System tubuloinfundibular, dopamine mengatur pelepasan hormon hiposisis
(pelepasan prolaktin)
Dopamine mengatur aktifitas motorik pada system nigrostriatum
Pelepasan dan kerja dopamine ditingkatkan oleh beberapa zat yang meningkatkan
perkembangan skizofrenia. Jadi pengobatan dopaminergik pada penyakit Parkinson
dapat menimbulkan gejala skizofrenia.
Serotonin mungkin juga berperan karena kerja serotonin nya berlebihan dapat
menyebabkan halusinasi, dan banyak obat antipsikotik akan menghambat reseptor 5-
HT2.
C. Otak
Sekitar 20-35% penderita schizophrenia mengalami beberapa bentuk kerusakan otak.
Penelitian dengan CT-scan dan MRI memperlihatkan bahwa sebagian penderita
schizophrenia memiliki ventrikel serebral yang jauh lebih besar dibanding dengan
orang normal. Itu berarti jika ventriker lebih besar dari normal, jaringan otak pasti
lebih kecil dari normal. Pembesaran ventrikel berarti terdapat proses memburuknya
atau berhentinya pertumbuhan jaringan otak. Bebebrapa penelitian memperlihatkan
bahwa lobus frontalis, lobus temporalis, dan hipokampus yang lebih kecil pada
penderita schizophrenia. Penelitian dengan PET (Positron Emission Topography)
pada penderita schizophrenia memperlihatkan tingkat metabolisme yang rendah
pada lobus frontalis.
Kelainan syaraf ini dapat pula dijelaskan sebagai akibat dari infeksi yang disebabkan
oleh virus yang masuk otak. Infeksi ini dapat terjadi selama perkembangan janin.
Akan tetapi, jika kerusakan otak terjadi pada masa awal perkembangan seseorang,
pertanyaan yang muncul adalah mengapa psikosis ini baru muncul pada masa dewasa.
Weinberger mengatakan bahwa luka pada otak saling mempengaruhi dengan proses
perkembangan otak yang normal. Lobus frontalis merupakan struktur otak yang
terlambat matang, khususnya pada usia dewasa. Dengan demikian, luka pada daerah
tersebut belum berpengaruh pada masa awal sampai lobus frontalis mulai berperan
dalam perilaku.
Pendekatan Psikoanalisa
Menurut Freud kepribadian terdiri atas 3 (tiga sistem atau aspek, yaitu : id, ego dan
super ego. Pada schizophrenia, pola kepribadian immature yang berkaitan dengan
impuls seksual dan agresi merupakan predisposisi untuk menimbulkan gangguan
tersebut. Berkembangnya gangguan schizophrenia lebih lanjut biasanya diawali oleh
apa yang disebut sebagai precipitating event atau peristiwa pencetus. Dalam
menghadapi peristiwa pencetus tersebut, melalui pola kepribadian yang immature,
individu mengembangkan defence mechanism yang berlebihan, dimana individu
akan mengembangkan pola penyelesaian masalah yang tidak berhubungan dengan
realita yang ada, yang sampai akhirnya antar aspek-aspek kepribadian terjadi
disintegrasi atau terpecah. Kondisi tersebut, menyebabkan putusnya hubungan antara
individu dengan dunia nyata. Dalam hal ini terjadi beberapa defence mechanism yang
saling berbenturan secara bersamaan. Misalnya, pada mulanya individu menggunakan
mekanisme pertahanan rasionalisasi. Kemudian, rasionalisasi tersebut direpressnya.
Kemudian, individu mengungkapkan hal yang berlawanan dengan perasaan yang
direpressnya melalui reaksi formasi. Oleh karena itu, simptom delusi dan halusinasi
yang dikembangkan oleh schizophrenia merupakan defence terhadap defence yang
lain.
Pendekatan Teori Belajar (sosial)
Tingkah laku schizophrenia sebagai hasil proses belajar lewat pengkondisian dan
pengamatan. Seseorang belajar untuk "menampakkan" tingkah laku schizophrenia bila
tingkah laku demikian lebih memungkinkan untuk diperkuat daripada tingkah laku
yang normal. Teori ini menekankan nilai penguatan stimulasi sosial. Schizophrenia
mungkin muncul oleh karena lingkungan tidak memberi penguatan akibat pola
keluarga yang terganggu atau pengaruh lingkungan lainnya sehingga seseorang tidak
pernah belajar merespon stimulus sosial secara normal. Bersamaan dengan itu,
mereka akan semakin menyesuaikan diri dengan stimulus pribadi atau idiosinkratis.
Selanjutnya, orang-orang akan melihat bahwa mereka sebagai orang aneh sehingga
mengalami penolakan sosial dan pengasingan yang akan semakin memperkuat
tingkah laku yang aneh. Perilaku aneh ini akan semakin bertahan karena tidak ada
penguatan dari orang lain berupa perhatian dan simpati. Pandangan tersebut didukung
oleh pengamatan dengan pengkondisian peran. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa perilaku yang aneh dapat dibentuk melalui proses penguatan. Akan tetapi
fakta ini belum dapat memperlihatkan apakah tingkatan perilaku yang aneh pada
schizophrenia dapat dijelaskan melalui penmgalaman belajar. Selain itu, fakta lain
menunjukkan bahwa beberapa orang yang hidup dalam lingkungan yang keras dan
tertekan tetapi tidak menarik diri ke dalam dunia khayalannya dan tidak bertingkah
aneh. Beberapa penderita schizophrenia bahkan tumbuh dalam lingkungan keluarga
yang mendapat dukungan sosial.
Teori belajar sosial menerangkan bahwa gejala-gejala schizophrenia terjadi dalam
lingkungan rumah sakit jiwa. Dalam lingkungan tersebut, penderita belajar dengan
mengamati perilaku pasien lain dan mengikutinya. Hal ini diperkuat lagi oleh petugas
yang memberi perhatian khusus pada penderita yang berperilaku aneh. Pandangan ini
sesuai dengan pengalaman di sekolah dimana guru memberi perhatian khusus justru
pada anak yang nakal. Barangkali beberapa perilaku schizophrenia dapat diterangkan
dengan peniruan dan penguatan, akan tetapi banyak orang menderita schizophrenia
tanpa lebih dahulu bertemu dengan penderita lainnya. Selain itu, kenyataannya justru
gejal-gejala schizophrenialah yang menyebabkan seseorang dimasukkan ke rumah
sakit jiwa, dan bukannya akibat yang diperoleh di dalam rumah sakit jiwa.
Epidemiologi
Jumlah penderita skizofrenia adalah sekitar 1% dari total populasi dunia. Jumlah pasti
penderitanya di Indonesia, belum diketahui hingga sekarang. Skizofrenia dimulai
antara masa remaja menengah sampai dewasa muda. Pada pria, onset gangguan ini
umumnya bermula pada usia awal dua puluhan (15-25 tahun) sedangkan pada wanita
bermula pada akhir tiga puluhan (25-35 tahun). Sangat jarang pasien dengan umur
<10 tahun atau >45 tahun. Bila pria menderita skizofrenia maka lebih parah daripada
perempuan. Karena hormon estrogen merupakan antidopaminergik. Sedangkan
jumlah penderitanya sendiri seimbang pada kelompok pria dan wanita. Juga tidak
ditemukan perbedaan dalam kelompok ras yang berbeda-beda.
Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita
penyakit fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab umum
kematian diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah mencoba
bunuh diri 1 kali seumur hidupnya dan 10% berhasil melakukannya. Faktor risiko
bunuh diri adalah adanya gejala depresif, usia muda dan tingkat fungsi premorbid
yang tinggi.
Komorbiditas Skizofrenia dengan penyalahgunaan alkohol kira kina 30% sampai
50%, kanabis 15% sampal 25% dan kokain 5%-10%. Sebagian besar penelitian
menghubungkan hal ini sebagai suatu indikator prognosis yang buruk karena
penyalahgunaan zat menurunkan efektivitas dan kepatuhan pengobatan. Hal yang
biasa kita temukan pada penderita skizofrenia adalah adiksi nikotin, dikatakan 3 kali
populasi umum (75%-90% vs 25%-30%). Penderita skizofrenia yang merokok
membutuhkan anti psikotik dosis tinggi karena rokok meningkatkan kecepatan
metabolisme obat tetapi juga menurunkan parkinsonisme. Beberapa laporan
mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai pada orang orang yang tidak menikah
tetapi penelitian tidak dapat membuktikan bahwa menikah memberikan proteksi
terhadap Skizofrenia.
Faktor Risiko
Penggunaan halosinogen, mariyuana, simpatomimetik yang tidak terkontrol
atau penyalahgunaan obat. Lisergic acid diethylamid (LSD) dan canabis
menimbulkan halusinasi (agonis reseptor serotonin).
Sperma dari pria berumur 45-49 tahun akan meningkatkan risiko skizofrenia
pada anaknya dua kali lipat dibandingkan dengan pria berumur 25 tahun. Pada
pria berumur >50 tahun maka risiko skizofrenia pada anak meningkat tiga kali.
Kembar monozigot 65% dan dizigot 12%
Kedua orang tua menderita skizofrenia maka risiko pada anak 46%. Jika salah
satu orang tua maka risikonya 5-10%
Lahir pada musim dingin atau awal musim semi 60% (dikaitkan dengan
infeksi virus tapi tidak terbukti)
Ibu hamil yang malnutrisi dan terkena infeksi virus
Perjalanan Skizofrenia
Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui
fase-fase:
1. Fase premorbid
Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif.
2. Fase prodromal
Adanya perubahan dari fungsi-fungsi pada fase premorbid menuju saat muncul
simtom psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu atau
bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini rerata antara 2 sampai 5 tahun. Pada
fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar
(pekerjaan sosial dan rekreasi) dan muncul simtom yang nonspesifik, misal gangguan
tidur, ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan
adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial.
Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti
sudah mendekati mulai menjadi psikosis.
3. Fase psikotik
Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase
stabilisasi dan kemudian fase stabil.
Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai
adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau.
Simtom negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu
untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas.
Fase stabilisasi berlangsung selama 6-18 bulan, setelah dilakukan acute
treatment.
Pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari simtom positif. Di
mana simtom positif bisa masih ada, dan biasanya sudah kurang parah
dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis,
sedangkan individu lain mengalami simtom nonpsikotik misalnya, merasa
tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi:
1. Terapi somatik: terdiri dari obat anti psikotik
2. Terapi psikososial
3. Perawatan rumah sakit (Hospitalize)
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia,
penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat
perbaikan klinis. Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke
dalam regimen obat dan harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar
pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan
antipsikotik dan psikososial.
Medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia disebut antipsikotik.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola pikir yang
terjadi pada Skizofrenia. Pemilihan obat pada dasarnya semua obat anti psikosis
mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama
pada efek sekunder ( efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan
jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping
obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu
tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka
waktu yang tepat, dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan
yang tidak sama) dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat
antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir baik,
maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila gejala negatif lebih
menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal, Sebaliknya
bila gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah
tipikal. Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita
adalah jenis atipikal. Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik
generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok reseptor D2 di mesolimbik,
mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan
gejala positif tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa:
gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin yang akan
menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan memperberat gejala
negatif maupun kognitif. Selain itu APG I menimbulkan efek samping antikolinergik
seperti mulut kering pandangan kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I
dapat dibagi lagi menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama
dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine, haloperidol dan
pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi sindrom psikosis dengan gejala
dominan apatis, menarik diri, hipoaktif, waham dan halusinasi. Potensi rendah bila
dosisnya lebih dan 50 mg diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine
digunakan pada penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit
tidur. APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat
jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan
sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah
clozapine, olanzapine, quetiapine dan rispendon.
Pengaturan Dosis Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
Onset efek primer (efek klinis) : 2-4ininggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar) sehingga tidak
mengganggu kualitas hidup penderita.
Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc atau
haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna untuk
pasien yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi pemeliharaan.
Cara / Lama pemberian Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
dinaikkan setiap 2-3 hr sampai mencapai dosis efektif (sindrom psikosis reda),
dievaluasi setiap 2ininggu bila pertu dinaikkan sampai dosis optimal kemudian
dipertahankan 8-12ininggu. (stabilisasi). Diturunkan setiap 2ininggu (dosis
maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun ( diselingi drug holiday
1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off (dosis diturunkan 2-4ininggu) lalu stop.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi pemeliharaan
paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 sampai 5 kali).
Pada umumnya pemberian obat antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian
mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung, mual, muntah,
diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
anticholmnergic agent seperti injeksi sulfas atropin 0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl
3x2 mg/hari.
Skema Medikamentosa Pada Skizofrenia :
Efek Samping Obat-obat Antipsikotik
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang lama, sangat
penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang timbul. Mungkin
masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang menggunakan antipsikotik
konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan otot-otot yang disebut juga Efek
samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan
kaku, sehingga agar tidak kaku penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan
akhirnya mereka tidak dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah
tremor pada tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat
antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik untuk
mencegah atau mengobati efek samping ini.
Efek samping lain yang dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi
pergerakan mulut yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace.
Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan menggunakan
dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila penderita yang menggunakan
antipsikotik konvensional mengalami tardive dyskinesia, dokter biasanya akan
mengganti antipsikotik konvensional dengan antipsikotik atipikal.
Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi seksual,
sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian obat-obatan
tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan menggunakan dosis efektif
terendah atau mengganti dengan newer atypical antipsycotic yang efek sampingnya
lebih sedikit.
Peningkatan berat badan juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan
obat. Hal ini sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal.
Diet dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini.
Efek samping lain yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana
timbul derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan
komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini membutuhkan
penanganan yang segera.
Terapi Psikososial
Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan ketrampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis,
dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan
pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau
menyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur
tubuh aneh dapat diturunkan.
Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam
keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali
mendapatkan manfaat dari terapi keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari).
Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan kecepatannya. Seringkali,
anggota keluarga, didalam cara yang jelas mendorong sanak saudaranya yang terkena
skizofrenia untuk melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat skizofrenia dan dari
penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia tanpa menjadi
terlalu mengecilkan hati. Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga
adalah efektif dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan
angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi keluarga sebesar 25-
50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan
hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku,
terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes
realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara suportif,
bukannya dalam cara interpretatif, tampaknya paling membantu bagi pasien
skizofrenia.
Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam pengobatan
skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi alah membantu dan menambah efek
terapi farmakologis. Suatu konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien
skizofrenia adalah perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi,
jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang
diinterpretasikan oleh pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang ditemukan di dalam
pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan hubungan seringkali sulit dilakukan;
pasien skizofrenia seringkali kesepian dan menolak terhadap keakraban dan
kepercayaan dan kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan rahasia, perintah
sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan terhadap kaidah sosial adalah
lebih disukai daripada informalitas yang prematur dan penggunaan nama pertama
yang merendahkan diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah
tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan, manipulasi, atau
eksploitasi.
Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik, menstabilkan
medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh, prilaku yang
sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.
Tujuan utama perawatan dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif
antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan. Dokter harus juga
mengajarkan pasien dan pengasuh serta keluarga pasien tentang skizofrenia.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung dari
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana
pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah masalah
kehidupan, perawatan diri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan
di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan
termasuk keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien kadang
membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.
Selain anti psikosis, terapi psikososial ada juga terapi lainnya yang dilakukan di
rumah sakit yaitu Elektro Konvulsif Terapi (ECT). Terapi ini diperkenalkan oleh Ugo
cerleti(1887-1963). Mekanisme penyembuhan penderita dengan terapi ini belum
diketahui secara pasti. Alat yang digunakan adalah alat yang mengeluarkan aliran
listrik sinusoid sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus putus.
Tegangan yang digunakan 100-150 Volt dan waktu yang digunakan 2-3 detik.
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia katatonik dan bagi pasien
karena alasan tertentu karena tidak dapat menggunakan antipsikotik atau tidak adanya
perbaikan setelah pemberian antipsikotik.
Kontra indikasi Elektro konvulsiv terapi adalah Dekompensasio kordis, aneurisma
aorta, penyakit tulang dengan bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas
otot pada pasien dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak
adalah tumor otak.
Sebagai komplikasi terapi ini dapat terjadi luksasio pada rahang, fraktur pada
vertebra, Robekan otot-otot, dapat juga terjadi apnue, amnesia dan terjadi degenerasi
sel-sel otak.
Prognosis
Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25%
individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami
perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang
akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut, riwayat sosial /
pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat keluarga gangguan mood,
sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan memberikan prognosis yang baik
sedangkan onset muda, tidak ada faktor pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial
buruk, autistik, tidak menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem
pendukung buruk, gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun,
sering relaps dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk.
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan
Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama. Jakarta : Depkes. 1993
2. Frankenburg FR. Schizophrenia. 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/288259-overview.
3. Gerstein PS. Schizophrenia (Emergency Medicine). 2009. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/805988-overview.
4. Ariswenni SA. Pencitraan Fungsional Otak Pada Skizofrenia. Pendekatan
Holistik Terhadap Skizofrenia. Jakarta : Yayasan Kesehatan Jiwa
“Dharmawangsa”. 2005.
5. Indriyani I. Kelainan Struktur Otak dan Fungsinya pada Saudara Kandung
Sehat Pasien Skizofrenia. Pendekatan Holistik Terhadap Skizofrenia. Jakarta :
Yayasan Kesehatan Jiwa “Dharmawangsa”. 2005.
6. Dixon L, Perkins D, Calmes. Practice Guideline for the Treatment of Patients
With Schizophrenia. 2009. Diunduh dari :
http://www.psychiatryonline.com/pracGuide/loadGuidelinePdf.aspx?
file=Schizophrenia_Guideline%20Watch. 7. Silbernagl S, Lang F. Skizofrenia. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
8. Hidayat D. Status Psikiatri. Buku Keterampilan Medik (Skills Lab). Jakarta :
Fakultas Kedokteran Ukrida. 2009.
9. Kapita Selekta edisi 3 jilid 1. Ilmu Kedokteran Jiwa :. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI. 2008.
10. Luana NA, Skizofrenia dan Gangguan Psikotik Lainnya. 2007. Diunduh dari :
http://www.idijakbar.com/prosiding/skizofrenia.htm.
11. Loebis B. Skizofrenia : Penanggulangan Pemakai Antipsikotik. 2007. Diunduh
dari : http://www.usu.ac.id/id/files/pidato/ppgb/2007/ppgb_2007/bahagia_
loebis.pdf.
12. Irwan M, Sinuhadji, et al. Penatalaksanaan Skizofrenia. 2008
Top Related