Simbol dan Kuasa Studi Kasus: Gaya Empire pada Istana Daendels di Weltevreden, Batavia
Rousan Ilmy Hustamely1, Kemas Ridwan Kurniawan1
1Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai sebuah bangunan yang terasa memiliki suatu pengaruh kuasa terhadap lingkungan sekitarnya, seperti yang dapat kita temui pada monumen dan istana. Hal ini menjelaskan bahwa dalam arsitektur, kuasa dapat hadir melalui bentuk-bentuk dan elemen-elemen tertentu yang ada pada sebuah bangunan. Mengetahui bagaimana hubungan antara arsitektur dengan kuasa merupakan tujuan dari skripsi ini. Metode yang digunakan adalah dengan melakukan studi berbagai referensi terkait representasi kuasa melalui bentuk simbolis, dengan studi kasus Istana Daendels di Weltevreden, Batavia. Gaya Empire pada bangunan tersebut akan dianalisis sebagai suatu bentuk simbolis dalam merepresentasikan kekuasaan Belanda-Perancis di Batavia pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di awal abad ke 19. Bagaimana sebuah karya arsitektur dapat menjadi simbol kekuasaan, elemen arsitektur apa saja yang dapat menunjukan kuasa pada sebuah bangunan, dan bagaimana peran bentuk simbolis dalam merepresentasikan kuasa tersebut; dengan mengkaitkannya dengan teori mengenai kuasa dan simbol, kemudian akan dianalisis dan ditarik kesimpulan mengenai bagaimana hubungan antara arsitektur dengan kekuasaan.
Symbol and Power Case Study: Empire Style at Daendels Palace in Weltevreden, Batavia
Abstract
Sometimes, we encounter a building that emits the sense of power over its surrounding environment, such as monuments and palaces. It explains that in architecture, power can be presented through some forms and certain elements of a building. The objective of this work is to know how the relations between architecture and power. The study is conducted by literature reviews about power representation through symbolic forms, with a case study of Daendels Palace in Weltevreden, Batavia. Empire style of the building will be analyzed as a symbolic form in representing the Dutch-French authority in Batavia at the reign of Governor General Herman Willem Daendels in the early 19th century. How an architectural work can be a symbol of power, what architectural element that can demonstrate power in a building, and how the role of symbolic form in representing the power; by linking with the theories about power and symbol, will then be analyzed and drawn a conclusion about how the relationship between architecture and power.
Keywords: Batavia; Daendels Palace; Empire Style; power representation; symbolic form; Weltevreden
1. Pendahuluan
Ruang lingkup arsitektur memiliki ranah yang luas, hal ini dikarenakan arsitektur
merupakan bidang multidisiplin yang berkaitan dengan isu-isu sosial, budaya, agama,
teknologi, sains, sejarah, filsafat, serta politik. Bicara mengenai isu politik, arsitektur
memiliki suatu hubungan yang rumit dengan kekuasaan politik. Hal ini menimbulkan
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
pertanyaan, bagaimana hubungan arsitektur dengan kekuasaan. Molly Glenn, dalam tesisnya
yang berjudul Architecture Demonstrates Power (2003), mengatakan bahwa ranah arsitektur
dapat mendemonstrasikan kekuasaan melalui simbolisasi suatu nilai atau visi tertentu ke
dalam media arsitektur ataupun ruang kota. Hal ini dia contohkan dengan keberadaan sebuah
bangunan arsitektur monumental yang mampu menunjukkan identitas suatu individu atau
kelompok yang membuatnya. Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, arsitektur
monumental merupakan perwujudan dari simbolisasi kekuasaan individu/komunitas tersebut.
Skripsi ini akan membahas lebih lanjut tentang bagaimana suatu pengaruh kekuasaan
dapat dihasilkan oleh suatu pemerintahan, dengan menggunakan arsitektur simbolis sebagai
representasi kuasanya. Pertanyaan utama dari skripsi ini adalah seperti apakah hubungan
antara arsitektur dengan kekuasaan? Berdasarkan pertanyaan utama tersebut, muncul
pertanyaan lainnya yang dapat membantu menjawab pertanyaan tersebut.
1) Bagaimana hubungan ruang lingkup arsitektur dengan fungsi kekuasaan?
2) Elemen-elemen arsitektur apa saja yang dapat menyampaikan suatu makna melalui
bentuk simbolis tertentu kepada suatu masyarakat?
3) Bagaimana peranan bentuk simbolis dalam memberkan fungsi kontrol dan
pengawasan dalam sebuah ruang arsitektur? Tujuan penulisan skripsi ini adalah memberikan gambaran tentang hubungan antara
arsitektur dengan kekuasaan, di mana kekuasaan dihadirkan melalui bentuk simbolis
arsitektur yang merepresentasikan kuasa tersebut. Seperti yang dapat dicontohkan dengan
suatu bangunan monumen atau gaya arsitektur tertentu yang dapat memberikan representasi
kuasa terhadap suatu kelompok di bawahnya. Hal ini digambarkan pada skripsi ini melalui
studi kasus mengenai bangunan Istana Daendels pada masa kekuasaan kolonial Belanda di
Batavia (sekarang Jakarta), dengan menganalisis bagaimana bangunan tersebut dapat
melakukan fungsi kuasa dan pengawasan terhadap ruang publik di dalam kota Batavia pada
masa itu.
2. Tinjauan Teoritis
Dalam keterkaitannya dengan kekuasaan, arsitektur dapat berperan sebagai
perwujudan kuasa melalui representasi suatu bentuk yang mengandung elemen-elemen
signifikan dalam memberikan pengaruh terhadap orang yang merasakannya. Pembahasan
dilakukan dengan melihat pada dua landasan teori, yaitu teori mengenai kuasa menurut Kim
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Dovey, dan teori mengenai simbol yang menggunakan teori semiotika Roland Barthes,
Daniel Chandler dan Ernst Cassirer. Dimulai dengan pembahasan pertama mengenai power
mengenai definisi kuasa, bentuk-bentuk kuasa, dan bagaimana bentuk representasi kuasa
dalam ruang. Lalu pada bagian kedua akan membahas mengenai definisi simbol, dan
representasi bentuk simbolis dalam arsitektur.
2.1 Arsitektur dan keterkaitannya dengan Kuasa
Istilah kuasa dalam bahasa Inggris adalah Power, yang diambil dari bahasa Yunani
‘Potere’ (kemampuan untuk mencapai suatu tujuan). Menurut Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, Power diartikan sebagai : ability to do or act (kemampuan untuk melakukan
sesuatu), particular ability of the body and mind (kekuatan khusus dari tubuh dan pikiran),
strength (kekuatan), control over other (mengontrol orang lain), political control (control
politik), legal right authority (hak otoritas), energy or force that can be use to do work
(energy atau kekuatan yang dapat digunakan untuk bekerja).
Kata Power dapat dibedakan menjadi dua pengertian yang berbeda, yaitu power over
dan power to.1 Power over (kuasa atas) merupakan pengertian yang mengacu pada hubungan
atau kedudukan antara manusia, sementara Power to (kuasa untuk) mengacu pada
kemampuan seseorang untuk menguasai/mengontrol sesuatu. Rorty (1992) juga mengatakan
bahwa kuasa adalah sebuah kemampuan untuk mendefinisikan atau mengontrol keadaan
sehingga sesesorang dapat terpengaruh untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.
Power is the ability – probably many abilities are required – to define and control circumstances
and events so that one can influence things to go in the direction of one’s interest.
Dengan merujuk pada definisi kata kuasa, maka keterkaitan kuasa dengan arsitektur
tidak lepas dari bagaimana peranan suatu karya arsitektur dalam melakukan fungsi suatu
kuasa tertentu. Kim Dovey (1999:10), menyatakan bahwa terdapat bentuk-bentuk kuasa yang
termediasi dalam ruang arsitektur sebagai pembentuk ruang lingkup kehidupan manusia.
Bentuk-bentuk kuasa menurut Dovey, yaitu Force, Coercion (Dominantion, Manipulation,
Seduction), dan Authority.2
1Isaac(1992:2),dikutipolehKimDoveydalamFramingPlaces:MediatingPowerinBuiltForm.Hlm.92 Bentuk Force dapat terlihat pada segala bentuk pemaksaan ruang seperti pengurungan (penjara, institusipenjara),danpengasingan(benteng,batasrumah,dandindingpertahanan).SementaraCoercionmerupakanbentuk ancaman dari Force, yang dapat terlihat pada bentuk ruang yang dapat mengancam secara tidaklangsungdanmencegahperbuatanmelaluisangsiterhadapmasyarakatyangmelanggarnya.Authorityadalahbentuk kuasa yang terintegrasi dengan struktur kelembagaan sosial, seperti negara, perusahaan pribadiataupun keluarga – bentuk ini biasanya ditunjukan melalui penggunaan simbol tertentu, seperti benderanegaraataupunlogoperusahaan.(Dovey,Kim.FramingPlaces:MediatingPowerinBuiltForm.1997:10)
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Kim Dovey juga mengatakan bahwa kuasa memiliki dimensi yang berbeda pada
dialektika kuasanya, yaitu: Orientation/disorientation, Publicity/privacy, Segregation/access,
Nature/history, Stability/Change, Authentic/fake, Identity/difference, Dominant/docile, dan
Place/ideology. Semua dimensi ‘kuasa atas’ tersebut memilik praktik tersendiri dan
diselesaikan ke dalam bentuk bangunan dengan cara yang mengalir, halus, dan terselubung.
Perwujudan kuasa dapat dilakukan dengan beberapa macam hal. Menurut Kim
Dovey, perwujudan kuasa ke dalam ruang dapat dilakukan dengan representasi kuasa melalui
program spasial. Penerapan kuasa dalam program ruang dijelaskan oleh Hillier dan Hanson
(1984) mengenai segmentasi ruang dalam metodenya, spatial syntax analysis. Mereka
menjelaskan bahwa kuasa dapat dirasakan melalui pengalaman ruang seseorang ketika berada
dalam sebuah ruang dengan pola ruang dan akses tertentu. Melalui denah kita dapat melihat
bagaimana sang arsitek berupaya untuk mengatur gerak dan perilaku manusia pada suatu
ruang. Seperti pada gambar berikut, terdapat tiga pola denah yang menggunakan struktur
sintaksis yang berbeda.
Gambar1.HubungansintaksisutamaHillier-HansondanRobinson Sumber: Framing Places : Mediating Power in Built Form. Hlm. 21
Ketiga bentuk denah tersebut menjelaskan perbedaan program dan susunan ruang
dapat menentukan perilaku seseorang di dalamnya. Dalam praktik arsitektur, menurut Hillier
dan Hanson kombinasi dari ketiga bentuk struktur sintaksis inilah yang menjadi pola dasar
pada setiap bangunan.
2.2 Simbol sebagai Representasi Kuasa
Dalam dunia arsitektur terdapat bentuk-bentuk yang dapat menunjukkan suatu makna
tertentu, baik dalam skala kecil seperti bentuk suatu langgam arsitektur pada sebuah
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
bangunan, hingga dalam skala besar seperti bentuk pola bangunan pada sebuah kota. Bentuk
dari bangunan dan elemen arsitektur di dalamnya, diolah dengan ilmu arsitektur hingga dapat
menghasilkan suatu bentuk simbolis yang dapat menunjukkan suatu makna tertentu.
Pembahasan mengenai simbol (Symbol) berkaitan dengan makna (meaning). Dovey
(1997) menjelaskan bagaimana arti sebuah tempat yang dapat dibangun melalui teks. Dovey
mengutip Roland Barthes dalam catatannya yang membahas model semiotik Saussure dalam
membangun ilmu pengetahuan secara umum mengenai tanda (sign).3 Menurut Saussure, sign
adalah konjungsi dari signifier/signified, di mana ”signifier“ adalah sebuah bentuk yang
memberikan makna seperti kata-kata atau gambar; dan ”signified “ adalah sebuah konsep
mental yang terbentuk dalam pikiran seperti konten atau makna dibaliknya. Seperti misalnya
ketika kita melihat teks tulisan atau mendengar ucapan kata “pohon”, pasti yang akan
terpikirkan oleh otak kita adalah pohon sebagaimana aslinya. Teks tulisan atau pengucapan
kata tersebut merupakan signifier dari kenyataan tentang pohon yang telah ter-signified dalam
otak kita.
3SumbermengenaisemiologiolehBarthes(1967,1973,1974,1976,1979,1988),dikutipolehKimDoveydalamFramingPlaces:MediatingPowerinBuiltForm.Hlm.29
Gambar4.OgdenSemioticTriangle(akaTheSemioticTriangle)Sumber: Ogden, C. K. & Richard, I. A. (1923). The Meaning of Meaning. Hlm. 11
Gambar3.Conceptandsoundpattern Sumber: Semiotics: The Basics (2nd ed.), 2002. Hlm. 15
Gambar2.Saussure’smodelofthesign Sumber: Semiotics: The Basics (2nd ed.), 2002. Hlm. 14
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Gambar5.Penggunaanelemenarsitekturkolom,atap,gerbang,danornamensebagaibentuksimbolis Sumber : (kiri atas) Body, Memory, and Architecture; 1977. Hlm. 7 (kanan atas) Body, Memory, and Architecture; 1977. Hlm. 8 (kiri bawah) https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Édouard_Baldus,_Arc_de_triomphe_du_Carrousel,_1850s.jpg (kanan bawah) https://www.etsy.com/listing/64436820/1906-types-of-windows-middle-ages-tudor
Dalam konteks arsitektur, melihat pada diagram Semiotic Triangle di atas, dapat
dijelaskan bahwa pada suatu bangunan terdiri dari struktur bentuk dan elemen arsitektur
tertentu seperti skala bangunan, bentuk fasad, kolom, dinding, atap, dll. Pola dari elemen-
elemen tersebut adalah signifier, yang merepresentasikan suatu makna melalui bentuk
simbolis yang dimilikinya (Symbol). Konsep dan konten berupa ide dan makna di balik pola
elemen-elemen tersebut merupakan signified yang berupa pikiran (tought of reference), di
mana pikiran yang terbentuk pada otak tiap individu atau kelompok akan berbeda mengenai
bangunan tersebut. Hal-hal yang membuat perbedaan pikiran tersebut adalah karena adanya
rujukan objek lain yang memiliki arti sebenarnya yang mempengaruhi persepsi manusia
dalam memahami suatu ide (referent).
Bentuk dari fasad suatu bangunan merupakan kesan pertama seseorang dalam melihat
dan memahami bangunan tersebut. Fasad menjadi penting karena melalui tampilan depan
inilah manusia dapat mengenal identitas dari sebuah bangunan. Oleh karena itu arsitek
biasanya memberikan perlakuan khusus dalam mendesain suatu fasad dari bangunan, yang
dapat menunjukan suatu ide atau makna melalui bentuk-bentuk elemen arsitekturalnya dan
komposisi di antaranya. Hal ini dapat sangat terlihat pada bangunan monumental menjadi
gambaran dari ideologi individu atau kelompok yang membuatnya. Melalui bentuk-bentuk
pada elemen arsitekturalnya, sebuah fasad dapat merepresentasikan ide dan makna kepada
orang lain dalam mengalami suatu bangunan. Adapun perlakuan arsitektural istimewa,
mencakup pada elemen-elemen arsitektur sebagai berikut.
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
3. Latar Belakang Sejarah
Penerapan kuasa ke dalam ruang lingkup arsitektur pada skripsi ini ditinjau dari
sejarah kolonialisme Belanda di Batavia pada abad ke 16 hingga abad ke 19. Belanda sebagai
salah satu negara di Eropa pada saat itu, turut berlomba dalam persaingan menjelajahi dunia
demi mencari keuntungan, kemenangan, dan menyebarkan agama Kristen (Gold, Glory, &
Gospel). Kedatangan bangsa Belanda ke Kota Jayakarta yang pada awalnya hanya bertujuan
untuk menguasai jalur perdagangan di Lautan Nusantara, namun tujuan ini berubah dengan
berencana untuk mendirikan negara koloni di sana. Kota Jayakarta yang sebelumnya
merupakan kota pelabuhan utama Kerajaan Hindu-Sunda, pada awal abad 17 telah berganti
nama menjadi Batavia dan menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Nusantara4.
Gambar6.PemandangankotaBataviasepanjangTijgersgracht(1682) Sumber: http://www.atlasofmutualheritage.nl/en/View-Tijgersgracht-(Tigers-Canal)-on-Batavia.6933
Kolonialisme Belanda telah menyebabkan munculnya arsitektur kolonial di Batavia
yang merubah bentuk dan tampilan bangunan serta gaya hidup masyarakat di sana.
Perkembangan arsitektur kolonial di Batavia dapat dibagi berdasarkan masa pemerintahan
Belanda di Nusantara yang terdiri dari masa VOC pada tahun 1602 hingga tahun 1798 dan
masa Negara koloni Hindia-Belanda yang berlangsung dari 1800 hingga 1942.5 Arsitektur
4NamaBataviadiambildarikata‘Batavier’,sebagaikenanganbangsaBelandaakansuku-bangsaBatavieryangmerupakannenekmoyangbangsaBelanda(Heuken,Adolf.1997)
5 VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie) merupakan perusahaan dagang yang mendapat mandat daripemerintahanBelandauntukmemonopoliperdaganganrempah-rempahdariTimurJauh.SementaraKoloniHindia-BelandaadalahnamanegerijajahanKerajaanBelandapadamasaRenaissance,berbedadenganVOC
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Gambar7.LukisanGubernurJenderalH.W.DaendelsolehRadenSaleh(1838)
Sumber: https://www.rijksmuseum.nl/en/collection/SK-A-3790
kolonial yang dibawa ke Batavia pada awalnya hanya mengikuti langgam arsitektur seperti
bangunan-bangunan di Eropa tanpa melihat konteks iklim dan tapak setempat. Namun lambat
laun arsitektur kolonial ini mengalami perubahan seperti pada bentuk atapnya, susunan
ruangnya, ataupun material bangunannya yang lebih menyesuaikan dengan iklim tropis.
Pada tahun-tahun pertama masa VOC, Belanda mendirikan pos-pos perdagangan dan
memperkuat benteng-benteng di rute pelayarannya dari Eropa ke Maluku, tempat asal
rempah-rempat terpenting. Di balik dinding benteng inilah para pegawai VOC dan tentara
tinggal, selain itu terdapat pula barak, gudang, gereja, penjara dan bangunan-bangunan
fungsional lainnya.6 Pada masa ini, arsitektur kolonial yang dibangun kebanyakan merupakan
bangunan untuk kepentingan dagangg beserta dengan benteng ataupun tembok pertahanan
untuk melindungi gudang penyimpanan dari serangan kerajaan lain.
Pada abad ke 18 tepatnya pada tahun 1798, VOC mengalami beberapa kerugian parah
hingga terjadi kebangkrutan. Kondisi tersebut diperparah dengan serentetan perubahan politik
yang diakibatkan oleh masa perang Napoleon, sehingga administrasi VOC Hindia Belanda
digantikan dengan pemerintahan kolonial Kerajaan Belanda pada tahun 1800.7 Sejak saat itu,
lahirlah masa pemerintahan baru di Batavia yaitu Negara koloni Hindia-Belanda hingga masa
kota kolonial modern tahun 1870. Pemerintahan kolonial yang baru ini tidak seperti VOC
yang hanya bertujuan pada keuntungan komersil saja,
melainkan juga untuk mencari keuasaan teritorial.8
Dalam masa koloni Hindia-Belanda ini banyak
terjadi perubahan struktur kota, gaya hidup masyarakat,
serta gaya arsitekturnya. Namun perubahan yang paling
signifikan di Batavia adalah pada saat masa
pemerintahan Gubernur-Jenderal H. W. Daendels. Hal
ini dipengaruhi dari latar belakang seorang Daendels
yang merupakan pendukung setia Napoleon Bonaparte,
dengan budaya aristokrat dan borjuisnya, berupaya
untuk menunjukkan kekuasaan Kerajaan Perancis saat
itu ke seluruh dunia.9 Budaya ini membawa pada sifat
yang dipegang oleh pihak otonom Belanda yangmenginginkan keuntungan independen dari perdaganganrempah-rempah(lihatJessup,Helen(1988).NetherlandArchitecture in Indonesia1900-1942,DisertasipadaCourtlaudInstituteofArt,London)
6Leushuis,Emile(2014).PanduanJelajahKota-kotaPusakadiIndonesia.Hlm.47Ibid.Hlm.138Tjahjono,Gunawan(1998).IndonesianHeritage.Hlm.106
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Daendels dalam menunjukan kembali keangkuhan kolonial Belanda sebagai pihak penjajah
terhadap kaum pribumi, dan untuk itu diperlukannya sebuah identitas yang menegaskan
kembali perbedaan antara sang penjajah dan yang di jajah. Hal ini sangat tercermin dalam
pembangunan istana Weltevereden dengan gaya Empire.10
4. Studi Kasus
Pada tahun 1809, Dewan Hindia-Belanda menyetujui proposal Daendels untuk
membangun sebuah istana baru di Weltevreden, yang nantinya dikenal sebagai Istana
Daendels (Daendels Palace) atau Istana di Weltevreden (Palace at Weltevreden).11 Istana ini
dirancang oleh J. C. Schultze atas perintah Daendels untuk dibangun dengan gaya Empire,
mengikuti gaya arsitektur dan seni yang sedang dikembangkan di Perancis.12 Gaya Empire ini
berasal dari budaya aristokrat dan budaya borjuis dari para bangsawan Eropa yang sangat
menganut pada nilai-nilai kemegahan, kemewahan dan kemaharajaan sebagai tujuan untuk
membedakan kaum Imperialis dengan yang bukan.
Gambar8.IstanadiWeltevreden,Batavia
9MasapemerintahanNapoleondiEropapadaawalabadke19yangbertepatandenganakhirRevolusiPerancis,merupakanperistiwayangsangatberpengaruhdiEropa.NapoleondenganKodeSipilnyabanyakmenginspirasimasyarakatEropahinggamempengaruhiNegarakolonidiseluruhdunia(LihatCodeNapoleon:or,TheFrenchCivilCode,1804)10 GayaEmpiremerupakan salah satu aliranKlasisisme awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1800 hinggatahun 1830. Gaya Empire ini adalah gaya bangunan masa Kaisar Napoleon I (1804-1815) yang inginmenegaskan cita-citamonumental kekaisaran (Empire).Gaya inimempengaruhi seni bangunandi seluruhEropadandibawake segalapenjurudunia.Gayaklasisisme ini timbuldi Jakartamula-muladalambentukgayaEmpire,yangtampakdenganjelaspadabekasHarmoni(1811),GedungDepartemenKeuangan(1809-1828),danpulapadaGedungKesenian (1821).(lihatHeuken,dalamTempat-tempatBersejarahdiJakarta,1997:216-218)
11 Raditya, Suryaningsih, Mireille, dan Purwestri (2005).Ministry of Finance Building: The White House ofWeltevreden.Ed.DanangPriatmodjo.Hlm.11
12Heuken,Adolf(1997).Tempat-tempatBersejarahdiJakarta.Hlm.205
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Sumber: http://media-kitlv.nl/image/3c55aa90-6b91-436d-9b82-ffbe7819fb3b
Pada 28 Maret 1809, banyak anggota departemen teknik militer yang absen, sehingga
demi mengejar proses konstuksi fondasi bangunan istana akhirnya Daendels memperkerjakan
para kontraktor Cina yang saat itu merupakan tahanan kolonial Belanda.13 Dari sini dapat
terlihat bahwa Daendels ingin menunjukkan kapasitasnya sebagai penguasa Batavia untuk
dapat melakukan kuasa atas tahanannya demi kepentingannya sendiri.
Raditya dkk, dalam Ministry of Finance Building (2005:22), menjelaskan ukuran
bangunan Istana Daendels yang dirancang dengan struktur dua lantai dan terdiri dari satu
bangunan utama yang diapit oleh dua bangunan sayap di kanan-kirinya. Bangunan utama
dibuat lebih besar dengan ukuran 74 m x 27 m, sementara bangunan sayap lebih kecil yang
berukuran masing-masing 24 m x 26 m. Antara bangunan utama dan bangunan sayap
dihubungkan oleh gerbang yang juga berfungsi sebagai jembatan pada lantai duanya, dengan
panjang gerbang 11 m. Bangunan utama di tengah difungsikan sebagai tempat tinggal resmi
gubernur jenderal, sementara bangunan sayap kiri dan kanannya difungsikan sebagai kantor
pemerintahan dan fasilitas akomodasi untuk para tamu resmi pemerintah.14 Di belakang dua
bangunan sayap juga ditambahkan ruang-ruang yang difungsikan sebagai kantor, ruang tamu,
ruang pelayan, kandang kuda, dan garasi kereta.
Pada tahun 1828, didirikan sebuah monumen di tengah-tengah lapangan Parade
Plaats yang diberi nama monumen Waterloo untuk memperingati kekalahan Napoleon pada
peperangan Waterloo dari Inggris pada tahun 1815.15 Monumen ini terdiri dari sebuah kolom
besar yang di puncaknya terdapat sebuah patung singa. Lapangan besar ini yang sebelumnya
memiliki nama Paviljoensveld, Parade Plaats, kemudian sejak 1828 berganti nama menjadi
Waterlooplein (Lapangan Waterloo).
Seiring perkembangan kawasan di sekitar Istana Daendels ini, bahkan sebelum
bangunan tersebut selesai pada tahun 1828, Waterlooplein telah menjadi pusat kehidupan
sosial yang sangat hidup dan menjadi area rekreasi utama di Weltevreden selama abad ke-
19.16 Setiap Minggu sore akan terdengar suara musik band militer pada bagian timur
lapangan, yang mana hal ini merupakan sebuah hiburan besar bagi masyarakat Weltevreden
saat itu. Mereka sering berkumpul di lapangan itu dengan menunggang kuda atau kereta
untuk saling bertemu. Waterlooplein tidak lagi menjadi sekedar lapangan luas biasa, tetapi 13Raditya,Suryaningsih,Mireille,danPurwestri(2005).MinistryofFinanceBuilding:TheWhiteHouseofWeltevreden.Ed.DanangPriatmodjo.Hlm.2214Ibid.23-2415Merrillees,Scott(2012),GreestingsfromJakarta:PostcardsofaCapital1900-1950.16Heuken,Adolf(1997:207)
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Gambar10.IstanaDaendelsdiWaterloopleinSumber: http://media-kitlv.nl/image/f68843d3-be53-41a2-bd81-
b347a1e79a77
telah menjadi sebuah alun-alun (square). Pada lukisan tersebut dapat terlihat bagaimana
kekuatan dan besarnya pengaruh Istana Daendels yang seakan mendominasi keseluruhan
ruang Waterlooplein.
Gambar9.SuasanapadaLapanganWaterloopleinpadaabadke-19
Sumber: Ministry of Finance Building: The White House of Weltevreden. Hlm. 7
4. 1. Bentuk dan Dimensi Kuasa Istana Daendels
Pada Istana Daendels dapat terlihat bentuk kuasa Coercion, di mana kuasa tidak
diwujudkan secara nyata melalui benteng dan tembok pertahanan, melainkan diwujudkan
melalui bentuk sebuah istana. Istana di Weltevreden ini yang ditujukan sebagai tempat
tinggal gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia, menjadi sebuah Coercion karena
dibangun dengan tujuan sebagai bentuk penegasan kembali kedudukan Belanda sebagai
penguasa di Batavia.
Kehadiran bangunan istana ini yang
dianggap sebagai representasi kekuasaan
kolonialisme Belanda (walaupun sebenarnya
representasi Kerajaan Perancis),
memberikan peringatan secara tidak
langsung untuk tetap patuh dan tidak
melanggar aturan yang berlaku. Jika dilihat
dari pernyataan Dovey mengenai Coercion
yang dinyatakan ke dalam bentuk bangunan, maka cara dominasi atau intimidasi yang
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Gambar11.UpacaramiliterdiWaterloopleinSumber: Greestings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 (2012)
Gambar12.ParademiliterdiWaterloopleinSumber: http://media-kitlv.nl/image/793c295c-91b8-4e65-a0a2-65e4c64903b8
Gambar13.BenderaBelandadiIstanaDaendelsSumber: Greestings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 (2012)
dihasilkan dari bangunan istana ini dapat terlihat melalui unsur-unsur yang dapat
menghadirkan pengalaman Force di masa lalu pada masyarakat pribumi. Force di masa lalu
ini merupakan tindakan nyata Belanda seperti ketika menyerang Kota Jayakarta dan
menghukum atau membunuh orang pribumi yang tidak tunduk pada kekuasaannya.
Ukuran istana yang sangat besar ini seakan mendominasi lingkungan sekitar dan akan
membuat orang yang melihatnya merasa kecil. Pendominasian ini didukung dengan
diletakkannya bangunan istana di depan sebuah lapangan besar (Waterlooplein) dan
bangunan di sekitarnya yang ukurannya jauh lebih kecil. Kawasan sekitar Waterlooplein
sengaja tidak ditanami pepohonan agar bentuk keseluruhan bangunan dapat terlihat secara
keseluruhan dan terasa kebesarannya.
Kuasa dalam bentuk Coercion bahkan dapat terlihat pada perencanaan kolonial
Belanda untuk memindahkan pusat pemerintahan dari kota lama Batavia ke daerah
Weltevreden yang merupakan daerah pangkalan militer Belanda. Lapangan Waterlooplein
yang sebelumnya digunakan untuk latihan ataupun parade militer (Parade Plaats),
merupakan bentuk Coercion atau ancaman secara tidak langsung bahwa daerah tersebut
merupakan daerah di bawah kekuasaan pemerintah Belanda yang dilindungi oleh tentara
Belanda.
Bentuk kuasa Authority dapat terasa pada kawasan Weltevreden ini, karena Istana
Daendels beserta Lapangan Wateloo-nya secara tidak langsung merupakan lambang atau
perwakilan dari pusat pemerintahan di Weltevreden dan di Batavia. Istana Daendels dan
Waterlooplein menjadi bentuk Authority karena pada kawasan inilah seluruh pusat
pemerintahan berada seperti tempat tinggal gubernur jenderal, Mahkamah Agung,
Departemen Keuangan, Departemen Militer,
dsb. Selain itu penggunaan simbol pada
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
bangunan seperti bendera Belanda, monumen J. P. Coen, menara Waterloo dan monumen
Michiels juga merupakan bentuk dari kuasa Authority.
Jika dihubungkan dengan dimensi kekuasaan menurut Kim Dovey, dilihat dari tujuan
didirikannya Istana Weltevreden oleh Daendels adalah untuk menegaskan pusat
pemerintahan Hindia Belanda yang baru di Weltevreden. Istana ini juga direncanakan
Daendels sebagai bentuk penegasan kembali kedudukan kolonial Belanda sebagai penguasa
di Batavia dengan bangunan yang sangat besar dan megah bergaya Empire. Skala
monumental pada istana ini yang berukuran 170m x 30m dengan tinggi 23 m, merupakan
dimensi bangunan terbesar kolonial Belanda pada masa itu. Istana ini seolah mendominasi
bangunan-bangunan di sekitarnya yang lebih kecil, dan manusia yang melihatnya akan
merasa sangat kecil di hadapannya. Hal ini termasuk ke dalam dimensi kekuasaan
Dominant/Docile.
Bangunan Istana Daendels yang ditempatkan di sebelah timur dan menghadap ke
Lapangan Banteng, merupakan satu kesatuan. Seperti layaknya istana-istana di Eropa dalam
gaya Renaissance, Barok-Rokoko, ataupun Neoklasik yang mengunakan lapangan/halaman
luas di sekitar bangunan istana sebagai penguat kesan kebesaran dan kemegahan bangunan
tersebut. Begitu pula yang terdapat pada Istana Daendels dan Lapangan Banteng ini, tanpa
adanya lapangan besar di depannya serta bangunan pmerintahan di sekitar lapangan tersebut,
maka istana ini tidak akan dapat menunjukkan dominasi dan kebesarannya. Penggunaan
metafora bangunan di Eropa untuk membangun makna yang melegitimiasi otoritas
merupakan dimensi kekuasaan Nature/History.
Gambar14.OrientasidansumbupadaIstanaDaendels
Sumber: Ministry of Finance Building: The White House of Weltevreden. Hlm. 35
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Susunan ruang pada kawasan sekitar Lapangan Banteng juga mengandung dimensi
kuasa Orientation/Disorientation, yang dapat terlihat melalui letak-letak bangunan yang
berada pada satu garis lurus sumbu (axis) yang menghubungkan Istana Weltevreden,
Monumen patung J. P .Coen, Monumen Waterloo yang merupakan titik tengah Lapangan
Banteng, Monumen Michiels, hingga ke titik tengah Koningsplein. Orang yang yang datang
mengikui sepanjang axis ini akan dapat melihat bangunan istana dan monumen Waterloo
yang tinggi dari kejauhan (orientated). Sementara bagian belakang istana dibuat tertutup
karena bersifat privat (disorientated). Pengorientasian pada ruang-ruang tertentu tersebut juga
merupakan dimensi kuasa Public/Privacy.
Bentuk bangunan dari masa ke masa yang tidak berubah (kecuali menara Waterloo
yang dirobohkan pada masa kekuasaan Jepang tahun 1942), dapat menciptakan suatu ilusi
dimensi kestabilan (Stability/Change). Kedinamisan hanya terjadi pada lingkungan di
sekitarnya, sementara bangunan Istana Daendels tersebut tetap sama seiring zaman.
Pada rencana tata ruang kawasan di Weltevreden, kuasa dalam program spasial pada
kawasan Weltevreden ditunjukan melalui tata peletakkan istana, alun-alun (Waterlooplein),
monumen-monumen, dan lapangan tempat latihan militer (Koningsplein) yang semuanya
diletakkan pada satu sumbu lurus (axis), membentuk dimensi kuasa Orientation seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori spatial syntax Hillier dan Hanson,
bahwa kuasa dapat dirasakan melalui pengalaman ruang di Lapangan Banteng tersebut
dengan pola ruang dan aksesnya.
4. 2. Bentuk Simbolis pada Elemen Arsitektur Empire Gaya Empire pada Istana Daendels dapat terlihat melalui bentuk bangunan yang
memanjang (horisontalisme) dengan panjang 170 meter, terdiri dari dua-tiga lantai dengan
batas tiap lantai dipertegas melalui elemen-elemen garis, bentuk simetris pada bagian kiri dan
kanan bangunan, bentuk fasad yang terdiri dari deretan jendela dan kolom yang memberi
kesan monoton, hingga bentuk dari ragam hias, ukiran dan perabotan di dalam bangunan. Hal
ini sangat berbeda dengan bangunan yang ada di Pulau Jawa, sehingga terbentuk sebuah
image pada Istana Daendels yang menjadi identitas Belanda sebagai penguasa di Hindia
Belanda.
Dalam teori simbol, dapat dikaitkan bahwa kehadiran bangunan Istana Daendels
dengan bentuknya yang ‘asing’ di Batavia, merupakan suatu Signifier yang membentuk suatu
Signified pada masyarakat Batavia. Pada bangunan istana terdapat bentuk-bentuk simbolis
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
yang memberikan suatu makna tertentu, baik bagi pihak Belanda maupun pribumi. Seperti
penggunaan gaya Empire itu sendiri, di sini sang pendiri istana yaitu Gubernur Jenderal H.
W. Daendels dengan latar belakang ideologi dan budaya aristokrat yang dimilikinya, serta
sebagai seorang pendukung setia Napoleon, ingin membangun sebuah istana yang dapat
menunjukkan identitas kekuasaan Belanda di Batavia dengan menggunakan Istana bergaya
Empire tersebut.
Pada titik ini langgam Empire merupakan Signifier yang dapat mengingatkan
seseorang akan kebesaran kerajaan Perancis Napoleon, yang digunakan oleh Daendels untuk
penunjukan kekuasaan Belanda-Perancis di Batavia. Sementara penafsiran makna (signified)
pada masyarakat walaupun tidak mengetahui mengenai sejarah gaya Empire yang dibawa
Napoleon, tetapi mereka menafsirkan bentuk-bentuk tersebut sebagai simbol kekuasaan
otoritas Belanda.
Skala
Jika dihubungkan dengan penunjukan kuasa melalui skala, menurut Frank Orr (1985),
hal ini dapat terlihat melalui kualitas skala yang ada pada Istana Daendels.17 Seperti kualitas
skala Monumentalis, yang menggunakan jendela-jendela dan kolom-kolom yang berderet di
sepanjang fasad bangunan untuk menegaskan skala manusia pada bangunan. Ukuran jendela
menjadi tolak ukur manusia dalam membandingkan ukuran tubuhnya dengan ukuran
keseluruhan bangunan. Sehingga dari elemen arsitektur tersebut, pengamat/pemakai
bangunan akan merasa kecil dibandingkan dengan ukuran bangunan.
Kualitas skala Hierarki juga sangat terasa dengan melihat tiga hal yang ada pada
bangunan yaitu : Ukuran yang luar biasa (pada masanya), wujud yang unik (langgam Empire
yang berbeda dengan arsitektur lokal), dan lokasi yang strategis (berada di depan Parade
Plaats dan segaris dengan Koningsplein). Lokasi bangunan yang berada di depan lapangan
besar juga merupakan kualitas skala Keterbukaan, karena terdapat susunan ruang untuk
daerah yang tertutup (istana) dan daerah rerbuka (lapangan luas di sekitar istana) yang
membantu memberikan kesan kebesaran bangunan.
Kualitas skala Bagian-bagian diperlihatkan melalui bentuk bangunan yang terdiri dari
beberapa bagian, yaitu bangunan utama di tengah dan bangunan sayap di kiri dan kanannya
yang dihubungkan dengan gerbang. Kehadiran Lapangan Banteng yang sangat luas di depan
istana dan jarak antara istana dan bangunan lain di sekitarnya membuat bangunan ini terlihat
17DikutipdariSinaga,ReynhardM.T.S.(2006).PowerArchitecture.Hlm.20-25
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
megah, yang mana hal ini merupakan kualitas skala Kemegahan pada bangunan. Hingga
menjadi kualitas skala Asosiasi Kultur ketika bentuk bangunan tersebut menjadi sebuah
image yang mengingatkan masyarakat Batavia terhadap kekuasaan Belanda di Hindia
Belanda.
Fasad
Bentuk simbolis dari gaya Empire dapat terlihat dari elemen arsitektur pada Istana
Daendels. Gaya Empire yang berasal dari Eropa tersebut tidak mempertimbangkan konteks
iklim setempat ataupun budaya yang dianut
masyarakat asli Batavia, karena memang
ditujukan oleh Daendels sebagai istana yang
dapat mencerminkan budaya kebangsawanan dan
kekuasaan Belanda di Batavia. Hal ini dapat
terlihat melalui elemen-elemen arsitektur berikut
:
a) Dinding dan Kolom
Pada lantai dasar, dinding dibuat beralur
dengan elemen pelengkung romawi pada
pintu-pintu di tengah bangunan dan jendela
yang berupa teralis besi. Sementara pada
lantai satu dan dua, pada dinding fasad
terdapat kolom-kolom gaya yunani yang
setengah menonjol keluar. Pada lantai satu
kolom yang digunakan adalah gaya Dorik dan pada lantai dua digunakan kolom Ionik.
Kolom-kolom ini mengapit jendela-jendela di antaranya, dengan jarak interval yang sama
antara satu dengan yang lainnya.
b) Atap
Atap pada Istana Daendels sangat tidak cocok dengan iklim tropis di Indonesia. Bentuk
atapnya yang lebih kecil dari dinding bangunan (Entablature yang menonjol keluar)
sehingga tidak terdapatnya serambi atau teduhan yang dapat menahan cahaya matahari
secara langsung masuk ke dalam bangunan. Selain itu tanpa adanya atap serambi,
Gambar15.DindingdanSusunanKolomKlasikSumber: Ministry of Finance Building: The White House of
Weltevreden. Hlm. 57 dan diolah kembali
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Gambar18.GerbangdanpintumasukutamaSumber: Ministry of Finance Building: The White House of Weltevreden. Hlm. 38
Gambar17.BentukjendelapadaIstanaDaendelsSumber: Ministry of Finance Building: The White House of Weltevreden. Hlm. 42
bangunan juga tidak dapat menyebabkan pembuangan air hujan tidak efisien dan tidak
ada naungan untuk berteduh.
c) Jendela
Jika kita lihat jendela pada
Istana Daendels, dapat terlihat
jendela di sini tidak hanya
berfungsi sebagai ventilasi saja,
melainkan jendela juga
digunakan sebagai penunjuk
kemegahan pada bangunan
melalui bentuknya yang dihias
sehingga terlihat indah dan mewah, terutama pada beberapa jendela di tengah bangunan
pada lantai satu yang memiliki bentuk lebih rumit dan lebih besar. Selain itu jendela juga
menjadi acuan bagi skala manusia dalam membandingkan ukuran bangunan dengan tubuh
manusia.
d) Gerbang
Pintu masuk utama menuju
bangunan ini bukanlah melalui
bagian depan fasad bangunan,
melainkan melalui dua gerbang
yang ada di antara bangunan
utama dan bangunan sayap.
Gerbang sengaja dibuat besar
dengan elemen pelengkunggaya
Romawi yang menandakan kemegahan bangunan. Akses menuju ke dalam bangunan
utama dihubungkan melalui sebuah tangga ke lantai satu. Tangga sebagai pintu masuk,
Gambar16.BentukatappadaIstanaDaendelsSumber: Ministry of Finance Building: The White House of Weltevreden. Hlm. 40
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
yaitu dengan artian menuju tanah yang lebih tinggi, juga merupakan elemen yang
mengantarkan pada kesan megah.
e) Monumen
Seperti pada bangunan gaya Renaissance di Eropa, Istana Daendels dilengkapi dengan
sebuah lapangan luas di depannya dengan sebuah dua buah patung atau monumen. Tepat
di depan bangunan utama terdapat sebuah patung/Monumen J. P. Coen yang merupakan
simbol bagi kolonial Belanda sebagai pahlawan penakluk dan pendiri kota Batavia.
Monumen ini juga sebagai tanda dalam memperingati 250 tahun kekuasaan Belanda di
Batavia. Monumen Michiels pada persimpangan Jalan Lapangan Banteng Barat dan Jalan
Perwira juga mempertegas kuasa pada kawasan tersebut.
Gambar19.MonumenMichielsdanMonumenJ.P.Coen
Sumber: (Kiri & Tengah) Greestings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 (2012), (Kanan) http://media-kitlv.nl/
Gambar20.MonumenWaterloodiLapanganBanteng
(Kiri) Sumber: Greestings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 (2012) (Kanan) Sumber: http://media-kitlv.nl/image/4650e6d0-f7fa-45b9-bc27-1b47a9979ecd
Kemudian pada tengah Lapangan Waterlooplein juga terdapat sebuah Monumen berupa
menara dengan sebuah patung Singa di atasnya. Menara ini merupakan lambang
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
pertempuran kekalahan Perancis Napoleon pada pertempuran Waterloo. Monumen-
monumen ini diletakkan pada satu sumbu garis lurus, menciptakan bentuk kuasa
Coercion yang bersifat mengancam secara tidak langsung sebagai simbol kekuasaan
Belanda.
5. Kesimpulan
Keterkaitan dunia arsitektur sebagai ilmu multidisiplin menyebabkan bidang ini tidak
lepas dari permasalahan kuasa. Hubungan antara kuasa dan arsitektur dapat dilihat dari
bentuk-bentuk kuasa yang ada pada bangunan tersebut. Contoh yang paling jelas terlihat
adalah bangunan yang bersifat memaksa (Force) seperti tembok pertahanan yang membatasi
ruang secara nyata. Namun kuasa juga dapat hadir melalui cara yang tidak nyata terlihat,
seperti bentuk kuasa Coercion, Domination, Manipulation dan Seduction.
Dalam melihat keterkaitan dengan representasi, ternyata dengan tujuan akan
penunjukkan suatu makna ke dalam sebuah media tertentu seperti halnya bangunan, dapat
mempengaruhi perilaku orang lain di sekitarnya. Pemasukan makna ke dalam sesuatu ini
menghasilkan bentuk-bentuk simbolis yang kemudian dianut oleh beberapa orang menjadi
representasi terhadap suatu bentuk atau makna tertentu. Perilaku setiap orang tentu akan
berbeda-beda, tergantung pada pengetahuan dan persepsi akan makna di balik bentuk
simbolis tersebut. Pada kasus kolonial Belanda, dapat terlihat bagaimana mereka membangun
sebuah bangunan di mana hal ini bisa jadi karena tiga hal : Karena latar belakang
pengetahuan mereka dalam membuat sebuah bangunan, rasa kerinduan terhadap rumah di
tanah air Belanda, atau karena memang ingin menunjukan kedudukannya sebagai bangsa
superior kepada bangsa pribumi yang dianggap lebih rendah.
Penulis mengambil contoh Istana Daendels karena bangunan tersebut merupakan
istana yang dibangun di Weltevreden sebagai pusat pemerintahan baru di Batavia oleh
Daendels. Daendels di sini merupakan seorang yang kuat budaya aristokratnya, yang dilatar
belakangi oleh kedekatannya dengan Napoleon Bonaparte. Sifatnya yang angkuh berhasil
membawa gaya Empire menjadi langgam Istana di Weltevreden, di mana gaya Empire di sini
adalah gaya arsitektur pada masa kolonial yang sangat mencerminkan kemewahan dan
kemaharajaan. Hal lain yang juga menarik adalah posisi Belanda di bawah Perancis saat itu
dan kehadiran Daendels yang Pro-Perancis hingga mendirikan istana bergaya Empire ini,
pada dasarnya merupakan salah satu representasi kuasa Perancis di Batavia, walaupun
masyarakat pribumi menganggapnya sebagai representasi kekuasaan penjajah Belanda.
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Pada Istana Daendels sebagai gaya Empire dapat terlihat perwujudan kuasanya
melalui seperti misalnya pada bentuk bangunan yang horisontalisme (memanjang ke
samping), simetris, ukuran monumental, terletak di depan lapangan yang luas, terdiri dari
bangunan utama dan sayap di kiri dan kanannya. Selain itu kesan kemegahan dan kebesaran
bangunan ini juga tercermin dari fasadnya yang memiliki bentuk-bentuk simbolis pada
elemen arsitekturnya, seperti bentuk jendela yang sangat mewah, susunan kolom-kolom
dorik/ionik, gerbang dengan elemen pelengkung, Monumen di depan bangunan utama, serta
ukiran-ukiran pada bangunan. Komposisi dari elemen arsitektur ini menghasilkan gaya
Empire yang dijadikan sebagai simbol kekuasaan Belanda-Perancis di Batavia.
Dari studi kasus tersebut maka dapat kita mengetahui bagaimana hubungan antara
arsitektur, simbol dan kuasa. Bagaimana sebuah karya arsitektur dapat menjadi sebuah
simbol yang dapat menunjukan kekuasaan seseorang atau kelompok. Simbol tersebut
berisikan sebuah makna yang digunakan sebagai representasi kuasa dengan menghadirkan
bentuk-bentuk simbolis akan makna tersebut. Sehingga dari pembahasan ini kita dapat
mengerti baik bagaimana peranan arsitektur dalam sebuah kekuasaan maupun penerapan
kuasa itu sendiri ke dalam bentuk arsitektur.
Daftar Pustaka Chandler, Daniel (2007). Semiotics: The Basics (2nd ed.). Taylor & Francis.
Ching, Francis D. K. (1996). Arsitektur: Bentuk, Ruang dan Susunannya. Alih bahasa Ir.
Paulus Hanoto Adjie. Penerbit Erlangga.
Dovey, Kim (1997). Framing Places: Mediating Power in Built Form. Routledge, New York.
Glenn, Molly (2003). Architecture Demonstrates Power (Thesis B.A.—Haverford College,
Dept. of Philosophy).
Heuken, Adolf (1997). Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka.
Leushuis, Emile (2014). Panduan Jelajah Kota-kota Pusaka di Indonesia. Alih bahasa Vini
Widriasih. Penerbit Ombak Dua, Yogyakarta.
Merrillees, Scott (2012). Greestings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950.
Equinox Publisher. Merrillees, Scott (2000). Batavia in Nineteenth Century Photographs. Archipelago Press. Raditya, Suryaningsih, Mireille, dan Purwestri (2005). Ministry of Finance Building: The
White House of Weltevreden. Ed. Danang Priatmodjo. Pusat Dokumentasi Arsitektur.
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Sinaga, Reynhard Maruli Tua Sinaga (2006). Power Architecture. Fakultas Teknik UI.
Depok.
Tjahjono, Gunawan (1998). Indonesian Heritage. Archipelago Press.
Simbol dan ..., Rousan Ilmy Hustamely, FT UI, 2015
Top Related