Senja di Jatayu
Andai, atap diatasku itu adalah bintang. Aku pasti dapat menikmati malam hitam
dengan kelipan bintang yang seperti cahaya kunang-kunang. Menikmati buliran angin yang
melangkah memberikan rangsang sentuh pada sel-sel saraf kulitku, kemudIan melarikannya
ke otak, dan dalam sekejap dapat kukatakan pada diriku, “sejuk”. Juga keritan surara binatang
malam yang berkumpul di bawah semak sepanjang jari kelingking itu, membentuk melodi
khas pedesaan yang mengembun kala malam. Serta luapan air kecil mengalir sepanjang
pemukiman, yang tertumbuk batu-batu kali berlumut, menghasilkan bunyi gemericik
sempurna, harmonis.
Tapi itu hanyalah andai. Ya, pengandaian yang memaksaku kembali ke memori
lama bersama anak-anak di desa, dan bersama kau Rendra. Anak-anak polos yang yang
sayangnya tak pernah merasakan manis-pahitnya bangku sekolah. Odi, Andin, Atik, Sarifa,
Budi, Maman, Laras, Tantri, Bagus, dan masih banyak nama yang membuka pintu baru
dalam hidupku. Dan tentunya mereka pula yang mempertemukanku dengan kau, Rendra.
“Aku Kak.. Aku.. Aku.. ” masih terngiang, ketika anak-anak sibuk berebut coklat
yang kubawakan untuk mereka, sementara kau Rendra, hanya memandangiku dari sudut bilik
dengan senyum yang tak kutau maknanya. Rendra, rendra. Tatapan matanya, senyum yang
memberi keteduhan dan kekuatan untukku terus menggali makna hidup. Kata-katanya yang
menjadi cambuk penyemangat, matanya yang membukakan mataku melihat realita sekeliling,
telinganya yang membantuku mendengar lebih jeritan mereka yang bisu.
Rendra, dimana kau sekarang? Satu tahun berlalu setelah perpisahan kita dengan
anak-anak desa itu, dan aku tak pernah mengira hari itu juga menjadi hari perpisahan kita.
Rendra, tahukah kau, aku menyimpan sebuah bilik hatiku dan menyisakannya untukmu. Ya,
benar-benar untukmu. Rindu ini benar-benar telah mencumbu hatiku. Dan belum pernah
sekalipun kurasakan sebelum bertemu denganmu. Aku berjanji akan membacakan sajak
karya Sapardi Djoko Damono kesukaanmu, ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana’
ketika aku bertemu kau kelak.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Seperti kebiasaan kita dulu, selalu ada senja untuk bercumbu dengan sunyi di tengah
hiruk-pikuk melodi alam. Aku disini ingin mengulanginya, walaupun di tempat dan suasana
yang jauh berbeda. Ya, aku di atas bangku bercat putih ini, di tengah keramaian orang yang
tak kalah seperti kerlipan lampu, aku duduk termenung. Bangku ini sengaja dibuat
berpasangan, tapi letaknya saling membelakangi. Ada banyak bangku putih di sekeliling
taman ini. Dan bangku di belakang bahuku mula-mula kosong.
“Kau mau minum apa Dik? Tunggu di sini saja ya.”
“Iya sayang, teh panas saja. Hawanya dingin.”
Sayup-sayup kudengar, sebentuk suara yang sangat-sangat lekat di telingaku.
Perlahan ku gerakkan badanku menoleh, sangat hati-hati. Sepasang mata yang kukenal, gurat
senyumnya, rambut lurusnya, nada bicaranya. Ya, Rendra! Jantungku seperti berhenti!
Untaian sajak itu tersangkut di kerongkonganku.
Isna Fitrotin
Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 25 Desember 1994. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi
S1 jurusan Pendidikan STAIN Pekalongan dan menyukai dunia kepenulisan sejak SMA.
Menulis puisi, cerpen dan reportase. Karya-karyanya pernah dimuat di majalah sekolah,
majalah kampus serta tergabung dalam beberapa buku antologi puisi. Bisa dihubungi di
[email protected] atau via facebook Isna Fitrotin atau follow di
@isnafitrotin.085842318311
Top Related