Senja di jatayu

2
Senja di Jatayu Andai, atap diatasku itu adalah bintang. Aku pasti dapat menikmati malam hitam dengan kelipan bintang yang seperti cahaya kunang-kunang. Menikmati buliran angin yang melangkah memberikan rangsang sentuh pada sel-sel saraf kulitku, kemudIan melarikannya ke otak, dan dalam sekejap dapat kukatakan pada diriku, “sejuk”. Juga keritan surara binatang malam yang berkumpul di bawah semak sepanjang jari kelingking itu, membentuk melodi khas pedesaan yang mengembun kala malam. Serta luapan air kecil mengalir sepanjang pemukiman, yang tertumbuk batu-batu kali berlumut, menghasilkan bunyi gemericik sempurna, harmonis. Tapi itu hanyalah andai. Ya, pengandaian yang memaksaku kembali ke memori lama bersama anak-anak di desa, dan bersama kau Rendra. Anak-anak polos yang yang sayangnya tak pernah merasakan manis-pahitnya bangku sekolah. Odi, Andin, Atik, Sarifa, Budi, Maman, Laras, Tantri, Bagus, dan masih banyak nama yang membuka pintu baru dalam hidupku. Dan tentunya mereka pula yang mempertemukanku dengan kau, Rendra. Aku Kak.. Aku.. Aku.. masih terngiang, ketika anak-anak sibuk berebut coklat yang kubawakan untuk mereka, sementara kau Rendra, hanya memandangiku dari sudut bilik dengan senyum yang tak kutau maknanya. Rendra, rendra. Tatapan matanya, senyum yang memberi keteduhan dan kekuatan untukku terus menggali makna hidup. Kata-katanya yang menjadi cambuk penyemangat, matanya yang membukakan mataku melihat realita sekeliling, telinganya yang membantuku mendengar lebih jeritan mereka yang bisu. Rendra, dimana kau sekarang? Satu tahun berlalu setelah perpisahan kita dengan anak-anak desa itu, dan aku tak pernah mengira hari itu juga menjadi hari perpisahan kita. Rendra, tahukah kau, aku menyimpan sebuah bilik hatiku dan menyisakannya untukmu. Ya, benar-benar untukmu. Rindu ini benar-benar telah mencumbu hatiku. Dan belum pernah sekalipun kurasakan sebelum bertemu denganmu. Aku berjanji akan membacakan sajak karya Sapardi Djoko Damono kesukaanmu, ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana’ ketika aku bertemu kau kelak. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan kata yang tak sempat diucapkan Kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Transcript of Senja di jatayu

Page 1: Senja di jatayu

Senja di Jatayu

Andai, atap diatasku itu adalah bintang. Aku pasti dapat menikmati malam hitam

dengan kelipan bintang yang seperti cahaya kunang-kunang. Menikmati buliran angin yang

melangkah memberikan rangsang sentuh pada sel-sel saraf kulitku, kemudIan melarikannya

ke otak, dan dalam sekejap dapat kukatakan pada diriku, “sejuk”. Juga keritan surara binatang

malam yang berkumpul di bawah semak sepanjang jari kelingking itu, membentuk melodi

khas pedesaan yang mengembun kala malam. Serta luapan air kecil mengalir sepanjang

pemukiman, yang tertumbuk batu-batu kali berlumut, menghasilkan bunyi gemericik

sempurna, harmonis.

Tapi itu hanyalah andai. Ya, pengandaian yang memaksaku kembali ke memori

lama bersama anak-anak di desa, dan bersama kau Rendra. Anak-anak polos yang yang

sayangnya tak pernah merasakan manis-pahitnya bangku sekolah. Odi, Andin, Atik, Sarifa,

Budi, Maman, Laras, Tantri, Bagus, dan masih banyak nama yang membuka pintu baru

dalam hidupku. Dan tentunya mereka pula yang mempertemukanku dengan kau, Rendra.

“Aku Kak.. Aku.. Aku.. ” masih terngiang, ketika anak-anak sibuk berebut coklat

yang kubawakan untuk mereka, sementara kau Rendra, hanya memandangiku dari sudut bilik

dengan senyum yang tak kutau maknanya. Rendra, rendra. Tatapan matanya, senyum yang

memberi keteduhan dan kekuatan untukku terus menggali makna hidup. Kata-katanya yang

menjadi cambuk penyemangat, matanya yang membukakan mataku melihat realita sekeliling,

telinganya yang membantuku mendengar lebih jeritan mereka yang bisu.

Rendra, dimana kau sekarang? Satu tahun berlalu setelah perpisahan kita dengan

anak-anak desa itu, dan aku tak pernah mengira hari itu juga menjadi hari perpisahan kita.

Rendra, tahukah kau, aku menyimpan sebuah bilik hatiku dan menyisakannya untukmu. Ya,

benar-benar untukmu. Rindu ini benar-benar telah mencumbu hatiku. Dan belum pernah

sekalipun kurasakan sebelum bertemu denganmu. Aku berjanji akan membacakan sajak

karya Sapardi Djoko Damono kesukaanmu, ‘Aku ingin mencintaimu dengan sederhana’

ketika aku bertemu kau kelak.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Page 2: Senja di jatayu

Seperti kebiasaan kita dulu, selalu ada senja untuk bercumbu dengan sunyi di tengah

hiruk-pikuk melodi alam. Aku disini ingin mengulanginya, walaupun di tempat dan suasana

yang jauh berbeda. Ya, aku di atas bangku bercat putih ini, di tengah keramaian orang yang

tak kalah seperti kerlipan lampu, aku duduk termenung. Bangku ini sengaja dibuat

berpasangan, tapi letaknya saling membelakangi. Ada banyak bangku putih di sekeliling

taman ini. Dan bangku di belakang bahuku mula-mula kosong.

“Kau mau minum apa Dik? Tunggu di sini saja ya.”

“Iya sayang, teh panas saja. Hawanya dingin.”

Sayup-sayup kudengar, sebentuk suara yang sangat-sangat lekat di telingaku.

Perlahan ku gerakkan badanku menoleh, sangat hati-hati. Sepasang mata yang kukenal, gurat

senyumnya, rambut lurusnya, nada bicaranya. Ya, Rendra! Jantungku seperti berhenti!

Untaian sajak itu tersangkut di kerongkonganku.

Isna Fitrotin

Lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 25 Desember 1994. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi

S1 jurusan Pendidikan STAIN Pekalongan dan menyukai dunia kepenulisan sejak SMA.

Menulis puisi, cerpen dan reportase. Karya-karyanya pernah dimuat di majalah sekolah,

majalah kampus serta tergabung dalam beberapa buku antologi puisi. Bisa dihubungi di

[email protected] atau via facebook Isna Fitrotin atau follow di

@isnafitrotin.085842318311