BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali merupakan salah satu wilayah yang terkenal dengan rumah tradisionalnya.
Rumah tradisional Bali memiliki makna yang dalam dan memiliki sejarah yang panjang
dalam perkembangannya. Rumah tradisonal Bali mengalami beragam transformasi yang
menyesuaikan dengan kegaitan penggunanya. Terlebih lagi, pada masa kini semakin sedikit
masyarakat yang bekerja sebagai petani, sangat kontras dengan kegiatan masa lalu.
Transformasi kegiatan ini juga mengubah arsitektur tradisional menjadi arsitektur
modern. Perubahan ini tentunya menjadi hal yang cukup signifikan dalam transformasi
rumah tradisional Bali.
Oleh karena itu, panulis akan menjabarkan transformasi tersebut secara kuantitatif dan
kualitatif dalam makalah ini. penulis mengambil satu contoh rumah yang telah
bertransformasi menjadi rumah tradisional modern. Kemudian menjelaskan transformasinya
dengan mengacu pada teori arsitektur tradisional, modern dan unsur kebudayaan.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini, yakni :
1. Bagaimana perbedaan konsep rumah tradisional Bali dan rumah modern?
2. Bagaimana perubahan nilai dari arsitektur rumah tradisional Bali dan arsitektur rumah
modern?
3. Bagaimana perbedaan kondisi arsitektural (sirkulasi, tata ruang, ornament, dll) rumah
yang sudah bertransformasi dari rumah tradisional Bali menjadi rumah modern Bali?
1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan makalah ini, yakni :
1. Mengetahui dan memahami konsep dan fungsi rumah tradisional Bali dan rumah
modern
2. Mengetahui dan memahami perubahan nilai dari arsitektur rumah tradisional Bali dan
arsitektur rumah modern
3. Mengetahui perbedaan kondisi arsitektural rumah yang sudah bertransformasi dari
rumah tradisional Bali menjadi rumah modern Bali.
1.4 Manfaat
1. Bagi pembaca, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan tentang transformasi
rumah tradisional Bali dari segi konsep, fungsi, dan performanya.
2. Bagi penulis, diharapkan dapat memberi tambahan wawasan tentang arsitektur rumah
tradisonal Bali dan modern sehingga berguna kedepannya saat menjalankan profesi
arsitek.
1.5 Teknik Pengumpulan Data
Terdapat beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan terkait dengan pembahasan
makalah ini, yakni :
1. Teknik Wawancara, teknik ini dilakukan dengan mewawancarai pemilik ruimah.
2. Teknik Studi Literatur, teknik ini dilakukan dengan mencari literatur-literatur yang
terkait dengan rumah tradisonal Bali dan modern, baik melalui buku maupun halaman
web.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini menggunakan format 4 bab, sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Pada bab ini berisi tentang gambaran umum isi makalah melalui beberapa subbab,
seperti latar belakang yang membahas tentang alasan dan pentingnya pembuatan
makalah ini, rumusan masalah, tujuan, manfaat berisi tentang variabel yang akan dibahas
pada bagian pembahasan, teknik pengumpulan data berisi tentang cara memperoleh data
mengenai rumah tradisional Bali, serta sistematika penulisan yang menjabarkan tentang
bagian-bagian dari makalah.
Bab II Literatur
Pada bab ini berisi tentang data yang diperoleh dari studi literatur mengenai rumah
tradisional Bali. Di bab ini juga akan dijabarkan tentang teori-teori yang berkaitan
variabel pembahasan, seperti teori tentang rumah modern, teori kebudayaan, dan teori
arsitektur rumah.
Bab III Pembahasan
Pada bab ini berisi tentang hasil analisa antara data dan teori yang telah didapatkan.
rumah akan dibahas dari dua aspek, yakni arsitektural dan kebudayaan. Secara
arsitektural akan dibahas melalui konsep, fungsi, material, dan struktur. Secara
kebudayaan akan dibahas melalui tujuh unsur-unsur kebudayaan, serta transformasinya
dari tradisional menuju modern.
Bab IV Penutup
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan beserta saran yang
berkaitan dengan transformasi rumah tradisional Bali menajdi modern.
BAB II
LITERATUR
Pada subbab ini akan dibahas mengenai teori arsitektur tradisional Bali. Berikut
penjabarannya:
A. Tri Hita Karana
Menurut Dwijendra (2008 : 2) Tri Hita Karana berasal dari kata Tri yaitu tiga. Hita
yang berarti kemakmuran, baik, gembira, senang, dan lestari. Karana yaitu sebab, sumber,
atau penyebab. Jadi Tri Hita Karan berarti tiga unsur penyebab kebaikan yang meliputi :
a. Atma (roh atau jiwa).
b. Prana (tenaga).
c. Angga (jasad atau fisik).
Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola ruang dan pola perumahan tradisional
bali yang diidentifikasi sebagai berikut:
a. Parahyangan, dalam arsitektur tradisional bali berupa tempat suci. Representasi
hubungan manusia dengan Tuhan (Atma).
b. Pawongan, dalam arsitektur tradisional bali berupa manusia. Representasi hubungan
manusia dengan manusia sesamanya yang harus senantiasa harmonis (Angga).
c. Palemahan, dalam arsitektur tradisional bali berupa pekarangan. Merepresentasikan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya (Prana).
B. Tri Angga dan Tri Loka
Menurut Dwijendra (2008 : 4) Tri Angga berasal dari kata Tri yang berarti tiga
dan Angga yang berarti badan. Tri Angga terbagi menjadi :
a. Utama Angga (kepala).
b. Madya Angga (badan).
c. Nista Angga (kaki).
Tri Angga dalam bhuana agung (alam semesta) sering disebut dengan tri loka atau tri
mandala. Dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional bali maka :
a. Utama Angga merupakan bagian atap.
b. Madya Angga merupakan bagian dinding.
c. Nista Angga merupakan bagian bebaturan.
C. Orientasi
Menurut Dwijendra (2008 : 6) dalam tata nilai arsitektur tradisional bali untuk
mencapai keselarasan antara bhuana agung dan bhuana alit berdasarkan pada tata nilai
hulu-teben. Konsep ini memiliki orientasi-orientasi sebagai berikut :
a. Orientasi dengan konsep sumbu ritual kangin-kauh.
- Kangin (matahari terbit) - luan, nilai utama.
- Kauh (matahari terbenam) - teba, nilai nista.
b. Orientasi dengan konsep sumbu bumi atau natural kaja-kelod.
- Kaja (kearah gunung) - luan, nilai utama.
- Kelod (kearah laut) - teba, nilai nista.
c. Orientasi dengan konsep akasa-pertiwi, atas-bawah.
- Alam atas - Akasa, purusa.
-Alam bawah - Pertiwi, pradana.
Konsep akasa-pertiwi yang diterapkan dalam pola ruang kosong dalam perumahan
atau lingkungan bali dikenal dengan natah.
D. Sanga Mandala
Konsep tata ruang sanga mandala juga merupakan konsep yang lahir dari sembilan
manifestasi Tuhan yaitu dewata nawa sanga yang menyebar di delapan arah mata angin
ditambah satu ditengah untuk menjaga keseimbangan alma semesta.
Konsep sanga mandala digunakan sebagai acuan untuk melakukan zonasi kegiatan
dan tata letak bangunan tradisional bali. Berikut ini penjelasan konsep Sanga Mandala
secara ilustratif:
Kemudian, berikut ini pembagian zonanya dalam bangunan:
Utamaning
Nista
(III)
Utamaning
Madya
(II)
Utamaning
utama
(I)
Madyaning
nista
(VI)
Madyaning
madya
(V)
Madyaning
Utama
(IV)
Nistaning
Nista
(IX)
Nistaning
madya
(VIII)
Nistaning
Utama
(VII)
I : mrajan, sumur
II : mrajan, sumur, meten
III : mrajan, sumur, penunggun karang
IV : bale dangin
V : natah, pengijeng
VI : bale dauh, penunggung karang
VII : kebun
VIII : bale delod, dapur, jineng
IX : bada, dapur, jineng, sumur
E. Teori Ragam Hias
Menurut Dwijendra (2008 : 165) Ragam hias pada arsitektur tradisional bali
merupakan benda-benda alam yang diterjemahkan dalam bentuk ragam hias, tumbuh-
tumbuhan, binatang, unsur alam, nilai-nilai agama dan kepercayaan disarikan ke dalam
suatu perwujudan keindahan yang harmonis.
Bentuk, tata warna, cara membuat dan penempatannya
mengandung arti dan maksud-maksud tertentu.
Estetika, etika dan logika adalah dasar-dasar
pertimbangan dalam mencari, mengolah dan menempatkan
ragam hias yang mengambil dikehidupan dibumi, manusia,
binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dalam bentuk -bentuk
hiasan manusia umumnya ditampilkan dalam bentuk hasil
pemikiran tentang agama, adat dan kepercayaan.
Dalam ragam hias arsitektur tradisional bali dibagi
menjadi :
a. Pepatran (flora)
Berbagai macam flora yang ditampilkan dalam
bentuk simbolis dipolakan dalam bentuk-bentuk
pepatran dengan ungkapan masing-masing. Arti dan
maksud dari pepatran :
1. Ragam hias untuk keindahan
2. Ragam hias untuk ungkapan simbolis.
3. Ragam hias sebagai alat komunikasi.
Contohnya adalah patra sari pada gambar di samping
kiri.
b. Kekarangan (fauna)
Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan
sebagai materi hiasan dalam berbagai macam bentuk dengan namanya masing-masing.
Arti dan maksud dari kekarangan :
1. Ragam hias untuk keindahan
2. Ragam hias sebagai simbol ritual.
3. Ragam hias sebagai media edukasi.
4. Ragam hias sebagai alat komunikasi.
Contoh salah satu kekarangan adalah karang gajah, pada gambar di samping kanan.
c. Alam
Ragam hias yang mengungkapkan alam dan menampilkan unsur-unsur alam sebagai
materi hiasan. Alam sebagai ragam hias dalam pengertian alam sebagai materi hiasan
menampilkan jenis fauna dan flora sebagaimana adanya di alam raya.
Untuk membahas transformasi yang terjadi pada arsitektur tradisional Bali, maka
berikut teori tentang arsitektur modern:
A. Teori Fungsionalis
Bangunan terbentuk dari bagian-bagiannya berupa dinding, jendela, atap, pintu,
struktur dan lain-lain yang tersusun dalam komposisi dari unsur-unsur yang semuanya
mempunyai fungsi. Keindahan yang timbul dari bangunan tersebut berasal dari adanya
fungsi dari elemen-elemen bangunan tersebut. Jadi bangunan yang fungsionalis
merupakan bangunan yang setiap elemennya memiliki fungsinya tersendiri dan tidak ada
bagian yang tidak memiliki fungsi.
(http://raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/16043/BAGIAN+4.pdf)
B. Teori Kubisme
Teori kubisme terlahir dari konsep pada teori fungsionalis yang kemudian
dimodofikasi menjadi bangunan yang bersih, murni, tanpa hiasan, sederhana berupa
komposisi bidang, kotak, balok, dan kubus.
(http://raziq_hasan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/16043/BAGIAN+4.pdf )
BAB III
TINJAUAN OBJEK
Objek terletak di Banjar Karang Njung, Desa Sembung, Kecamatan Mengwi,
Kabupaten Badung. Objek yang di kaji merupakan rumah tinggal dari keluarga Bpk. I Made
Keprok (Alm.). Awalnya rumah tinggal Bapak Made Keprok menggunakan sistim natah
sebagai pengikat bangunan di pekarangan rumahnya seperti kebanyakan warga Desa
Sembung. Pada pekarangannya terdapat 1 buah Paon (Dapur) yang terletak di bagian paling
selatan pada pekarangan dekat dengan akses masuk ke pekarangan. 1 buah Jineng (Lumbung)
terletak di sebelah timur bangunan dapur. 1 buah Bale Dauh, 1 buah Bale Daja (Bale Meten)
yang terletak di sebelah barat Sanggah, 1 buah Bale Dangin, dan 1 buah kamar mandi di
sebelah tenggara pekarangan. Bangunan pada pekarangan masih mengikuti aturan – aturan
tentang arah mata angin dan bangunan pada rumah tradisional Bali.
Bale Dauh pada pekarangan di gunakan sebagai kamar tidur untuk anak laki – laki,
Bale Daja (Meten) sebagai kamar tidur kepala keluarga, Bale Dangin sebagai tempat untuk
kegiatan keagamaan (Potong gigi, kematian, dsb.).
Pada awalnya bangunan – bangunan tersebut memiliki masa sendiri – sendiri untuk
setiap fungsinya. Karena termakan usia pada tahun 2000an bangunan Paon dan Kamar mandi
harus di bangun ulang. Bangunan Paon dan Kamar Mandi yang awalnya terpisah akhirnya di
bangun atas 1 masa bangunan untuk efisiensi pencapaian Kamar Mandi karena istri dari
Gambar : Denah Awal
bapak Made Keprok sudah tergolong usia lanjut dan bangunan kamar mandi terletak di
sebelah tenggara pekarangan yang terbilang cukup jauh
Semeninggalnya istri dari bapak Made Keprok, anak dari bapak Made Keprok
menggabungkan bangunan Bale Dauh dan Bale Daja dengan penambahan beberapa ruang
pada Bale Daja. Anak dari bapak made keprok, yakni bapak Wayan Weta berprofesi sebagai
dokter dank arena profesinya bapak Wayan Weta berdomisili di Denpasar sehingga
penggabungan Bale Dangin dan Bale Daja dilakukan untuk memperluas ruang dan
mempermudah saat membersihkan rumah ketika keluarga bapak Wayan Weta kembali ke
kampung halamannya.
Gambar : Pengubahan Pertama
Karena perbedaan profesi, bapak Made Keprok yang berprofesi sebagai petani
memanfaatkan bangunan Jineng sebagai lumbung sedangkan untuk keluarga bapak Wayan
Weta bangunan jineng beralih fungsi sebagai Bale Bengong.
Perubahan yang terjadi selama ini pada pekarangan adalah penggabungan masa Dapur
– Kamar Mandi dan Bale Dauh – Bale Daja masing – masing menjadi satu masa. Hal ini
terbilang perubahan kea rah yang lebih modern karena pada aturan rumah tradisional Bali 1
bangunan biasanya hanya memiliki 1 fungsi.
BAB IV
KAJIAN OBJEK
Agama/Religi
Dari terdapatnya sanggah pada pekarangan dapat dilihat bahwa keluarga dari bapak
Made Keprok adalah penganut Agama Hindu. Menurut kepercayaan umat Hindu bahwa
Dewa Brahma menempati bangunan Dapur/Paon sehingga Dapur di bangun dekat dengan
Gambar : Pengubahan Kedua - Sekarang
akses masuk ke pekarangan. Tujuannya adalah supaya hal – hal buruk yang hendak masuk ke
pekarangan akan di halangi oleh Dewa Brahma. Peletakkan Sanggah pada bagian timur laut
dari pekarangan yang merupakan bagian paling tinggi, dan kamar mandi pada bagian paling
rendah yaitu sebelah tenggara dilakukan karena kepercayaan umat Hindu yang membagi atau
menata bangunan menurut kesuciannya. Hal ini masih di pertahankan walaupun bangunan
pada pekarangan sudah mengalami beberapa perubahan.
Organisasi
Organisasi bangunan pada pekarangan sedikit banyak masih menaati aturan – aturan
rumah tradisional Bali. Walaupun bangunan Bale Dauh sudah tidak ada dan di gabungkan
dengan Bale Daja, letak Paon dan Bale Dangin tetap mengikuti aturan rumah tradisional Bali
menurut fungsinya.
Pendidikan, Ekonomi/Mata Pencaharian
Perbedaan profesi dan ekonomi dari bapak Made Keprok dan bapak Wayan Weta
mempengaruhi kebutuhan ruang untuk rumah tinggal. Bapak Made Keprok sebagai petani
membutuhkan lumbung untuk menyimpan hasil panennya, sedangkan bapak Wayan Weta
yang berprofesi sebagai dokter membutuhkan tempat untuk bersantai saat kembali ke
kampung halamannya sehingga terjadi perubahan fungsi bangunan. Bangunan Jineng yang
awalnya merupakan lumbung untuk menyimpan hasil panen kini beralih fungsi sebagai bale
bengong tempat bersantai untuk bapak Wayan Weta sekeluarga. Perkembangan zaman juga
mempengaruhi perbedaan arsitektur pada rumah Bali. Pada zamannya, bapak Made Keprok
membangun rumah nya sesuai dengan aturan rumah tinggal tradisional Bali dengan tiap masa
bangunan hanya memiliki satu fungsi. Namun seiring perkembangan zaman dan kehidupan di
kota Denpasar, bapak Wayan Weta lebih nyaman untuk tinggal dalam satu atap bersama
keluarganya sehingga Bale Dauh dan Bale Daja di gabungkan dengan penambahan beberapa
ruang untuk kamar tidur dan ruang keluarga.
Teknologi
Pengaruh kemajuan teknologi pada objek adalah keanekaragaman ornamen
dekorasinya. Hal ini karena sudah adanya beton cetak sehingga lebih mudah untuk membuat
ornamen dekorasi pada objek sedangkan pada zaman bapak Made Keprok untuk membuat
ornamen pada bangunan dilakukan oleh pengerajin ukiran. Kemajuan teknologi juga
berpengaruh terhadap ketahanan bangunan, bangunan yang awalnya terbuat dari bata
sekarang di bangun dengan batako sehingga bangunan akan bertahan lebih lama.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Rumah Tradisional Bali memiliki kaidah-kaidah tradisi yang paling lengkap dan
masih terjaga hingga saat ini, menurut beberapa sumber ahli. Konsep-konsep tradisional Bali
yang berkiblat pada agama Hindu yang telah diwariskan oleh masyarakat Bali secara turun
temurun memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sehari – hari baik itu secara fisik
maupun non-fisik. Namun tiap individu memiliki pendapat maupun pemikiran yang berbeda
– beda sesuai sudut pandang masing – masing. Hal ini juga mempengaruhi perubahan desain
rumah bapak I Made Keprok (Alm) dari generasi ke generasi sesuai dengan kebutuhan
pemilik rumah.
TUGAS ARSITEKTUR DAN BUDAYA
PENILAIAN KINERJA ARSITEKTUR BALI TERHADAP BANGUNAN BANK
PERMATA
Top Related