BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sering disebut sebagai makhluk yang tidak pernah puas. Tidak pernah
merasa puas tentu salah satunya dalam bentuk pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan
tentunya sangat beragam, dari kebutuhan primer, sekunder, hingga kebutuhan tersier.
Jenis kebutuhan tersier merupakan kebutuhan yang tidak wajib dipenuhi, dan
biasanya dipenuhi setelah kebutuhan primer dan sekundernya telah dipenuhi.
Meskipun bukan merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi, akan tetapi tidak sedikit
orang yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan tersier untuk mendapatkan kepuasan
dan kesenangan. Tentu hal ini merupakan prospek yang baik yang dimanfaatkan
beberapa orang untuk menciptakan berbagai barang tersier dengan brand-nya sendiri
yang dibangun sedemikian rupa sesuai dengan segmentasi pasar yang mereka tuju.
Salah satu jenis barang tersier yang pekembangannya cukup pesat adalah
dalam bidang industri fashion terutama pada produk fashion branded.
(Shadily&Juneman dalam Arrahmah, 2018) mengartikan fashion sebagai cara atau
mode, atau memiliki sama arti dengan style atau gaya. Gaya berpakaian dan
pemilihan aksesoris memiliki peranan penting dalam membangun harga diri secara
keseluruhan (Pelangi dalam Arrahmah, 2018).
Perkembangan industri fashion bisa terbilang cukup pesat karena terdapat
trend mode yang merupakan pengaruh budaya Eropa dan Asia. Akibat perkembangan
dalam industri fashion, hingga sekarang ini membuat produk fashion tidak hanya
kerap menjadi gaya hidup tersier saja, akan tetapi dianggap sama pentingnya seperti
kebutuhan . Terlebih, gaya berpakaian dalam menggunakan luxury product tidak
terjadi pada kalangan atas saja, namun kalangan menengah dan bawah juga
melakukan hal yang sama.
Menurut (Chaerunnisa, 2019) dalam website www.moneysmart.id yang
dilansir pada tanggal Januari 7, 2019 mengemukakan bahwa brand fashion ternama
yang sampai saat ini brand-nya masuk dalam kategori brand high class, yaitu terdapat
Louis Vuitton, Hermes, dan Prada.
Louis Vuitton merupakan brand fashion yang merupakan ikon fashion dunia
yang membuat tidak sedikit selebriti papan atas dan orang terkenal didunia
menggunakan produknya. Brand yang berdiri sejak abad ke 18 ini menjual produknya
dari harga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Meskipun telah berdiri sejak abad ke
18, akan tetapi brand Louis Vuitton sampai saat ini masih menduduki jajaran tas
mewah, dimana produk tersebut bukanlah termasuk barang yang dapat dibeli dengan
mudah.
Dalam memproduksi produknya, Louis Vuitton mengggunakan material
khusus dengan kualitas nomor satu dan untuk beberapa jenis material Louis Vuitton
terbilang langka dan sangat jarang dipakai dipasaran. Selain itu, Louis Vuitton
memproduksi produknya secara handmade yang untuk membuat satu produknya saja,
membutuhkan waktu yang cukup lama bahkan menghabiskan waktu hingga berhari-
hari. Hal tersebut pun membuat produk Louis Vuitton menjadi barang yang ekslusif
yang hanya sedikit orang yang memilikinya.
Hermes adalah brand fashion yang masuk ke dalam jajaran brand fashion
ternama didunia. Berdiri dengan jaya sejak abad 19 hingga sekarang menunjukan
bahwa Hermes memiliki pondasi yang kuat dalam menghadapi berbagai tantangan
meskipun telah menghadapi zaman modern, dengan berbagai pesaing baru yang
terbilang cukup kuat seperti Gucci, Channel, dan berbagai pesaing lainnya. Pada saat
ini harga brand Hermes dijual dengan harga yang sangat tinggi dari ratusan juta
hingga mencapai milyaran rupiah. Hal tersebut disebabkan karena sejak awal
diciptakan brand Hermes ini ditujukan untuk para kaum bangsawan dan sosialita
Eropa.
Prada merupakan brand asal Italia yang muncul dari abad ke 19 yang berawal
dengan menjual produk perlengkapan binatang dengan segmentasi masyarakat biasa
atau bisa dikatakan sedang. Seiring perjalanannya waktu, brand ini pun beralih ke
arah fashion dengan harga yang tinggi. Prada mengubah produk yang dijual,
sekaligus dengan tingkat segmentasinya. Perubahan tersebut tentu merupakan
perubahan yang cukup signifikan yang dilakukan oleh Prada ini dan perubahan
tersebut disambut dengan baik oleh masyarakat sekitar sehingga terjadi peningkatan
omset yang melonjak di tahun 90-an, yang dapat dibilang sebagai masa jaya Prada
pada masa itu.
Berikut merupakan tingkat revenue ketiga brand tersebut, dari tahun 2011
hingga 2018.
Gambar 1.1 Tingkat Revenue Perusahaan Pada Prada, Hermes, dan Louis
Vuitton
Sumber: (www.LVMH.com , www.pradagroup.com , www.finance.hermes.com ,
2011-2018)
Dari data grafik di atas merupakan grafik tingkat revenue perusahaan Prada,
Hermes, dan Louis Vuitton. Pada perusahaan Prada terjadi kenaikan dan penurunan
pada tingkatan revenue-nya. Dapat dilihat dari tahun 2016 ke 2017 terjadi penurunan
sebesar 3.6% dan pada 2017 ke 2018, senilai 2.8%. Hal tersebut disebabkan usahanya
dalam penghindaran pajak yang menyebabkan perusahaan ini memiliki hutang
sebesar $850juta USD, hingga akhirnya menjual 25,5% sahamnya ke LVMH
(Fontana & Miranda, 2016). Pada perusahaan Hermes terjadi kenaikan yang cukup
signifikan sebesar 6,7% dan pada 2017 ke 2018, senilai 7,5%.
Pada perusahaan Louis Vuitton terjadi kenaikan tingkat revenue setiap
tahunnya. Dapat dilihat dari tahun 2016 ke 2017 terjadi kenaikan yang cukup
signifikan sebesar 21% dan pada 2017 ke 2018, senilai 19%. Diantara ketiga
perusahaan di atas, perusahaan Louis Vuitton menduduki peringkat tertinggi dalam
pencapaian tingkat revenue-nya berdasarkan grafik di atas dan menurut jurnalis
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Tingkat Revenue Perusahaan Prada,
Hermes, dan Louis Vuitton
prada hermes Louis Vuitton
Millward Brown pada penulisannya mengenai ranking the brands pada tahun 2019
menyatakan bahwa, perusahaan Louis Vuitton merupakan perusahaan fashion nomor
1 pada tingkatan Top 100 Valuabes Global Top pada 2019, yang dapat disimpulkan
bahwa perusahaan Louis Vuitton memiliki pondasi yang cukup kuat dalam diantara
perusahaan fashion lainnya (Brown, 2019).
Dapat dilihat dari grafik diatas, bahwa luxury fashion business adalah bisnis
yang sangat menguntungkan, namun harga yang ditawarkan termasuk harga yang
fantastis. Oleh karena itu, banyak produsen yang tergiur untuk memproduksi barang
yang serupa. Karena teknologi semakin maju, semakin mudah untuk memproduksi
counterfeit product dengan kualitas yang lebih baik dan tidak membutuhkan begitu
banyak biaya yang dikeluarkan untuk Research and Development (Phau et al; Eisend
and Schucher-Guler;Penz&Stottinger;Gentry et al dalam Bhatia, 2018a).
Dengan adanya counterfeit product ini justru akan ada beberapa pihak yang
dirugikan. Luxury fashion brand adalah yang paling pertama terpengaruh karena
mereka populer dikalangan konsumen tetapi karena harga yang mahal, sehingga
terdapat peluang untuk produsen counterfeit product untuk memproduksi dengan
mengeluarkan biaya yang lebih rendah dan menghasilkan uang dengan nama merek
yang sudah ternama (Bascap report dalam Bhatia, 2018b) .
(Chuchu, Chinomona, & Pamacheche, 2016) juga memaparkan
penduplikasian luxury products menjadi permasalahan bagi banyak industri, termasuk
produsen authentic product dan pembuat kebijakan dalam skala global. Counterfeit
product (produk palsu) merujuk pada barang yang memiliki merek dagang fitur yang
identik atau hanya sedikit berbeda dari merek dagang / fitur terdaftar perusahaan lain
sehingga melanggar hak pemilik merek dagang terdaftar.
Berbagai faktor tersebut tentu memicu pertumbuhan counterfeit product yang
akhirnya memberikan berbagai dampak bagi banyak pihak. Counterfeit product telah
menembus rantai pasokan dan menimbulkan ancaman bagi produsen produk asli.
Penjualan barang palsu membahayakan pemilik merek dengan mengurangi penjualan
dan gengsi, dan juga merusak ekonomi bangsa daengan menghindari penjualan dan
pajak (Raustiala & Springman;Trainer, US Immigration and Customs Enforcement
dalam Edwards & Carpenter, 2014a). (Chakraborty et al; Vida; Wilcox et al dalam
Edwards & Carpenter, 2014b) mengatakan bahwa konsumen ditipu dan keliru percaya
bahwa mereka membeli produk bermerek yang asli. Namun, dalam jumlah yang terus
bertambah, konsumen dengan sadar membeli barang palsu.
Laporan Pemalsuan Merek Global 2018 memperkirakan bahwa luxury brand
mengalami jumlah kerugian senilai 323 miliar dolar dikarenakan online
counterfeiting. Laporan ini menganalisis ukuran, mode, rute perdagangan, dan
masalah yang mendasari pemalsuan barang konsumen kelas atas, khususnya pakaian,
tekstil, sepatu, dan sebagainya. Menurut analisis laporan, kerugian yang dialami
luxury brand dikarenakan penjualan diskon counterfeit goods melalui internet senilai
30.3 miliar dolar (Time, 2018).
Berdasarkan organisasi dalam Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD) dan Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa (EUIPO) yang dilihat oleh EL
PAÍS, menunjukkan bahwa Cina adalah sumber utama produk tiruan dan bajakan
yang dijual di seluruh dunia. Biaya tenaga kerja yang murah dan berlimpahnya
pekerja ilegal membuat Cina menjadi pilihan para produsen counterfeit product.
Sementara Hong Kong, Uni Emirat Arab, dan Singapura adalah titik distribusi.
Negara titik pendistribusian tersebut dikategorikan sebagai Negara yang memiliki
sistem pemerintahan yang lemah dibandingkan dengan “pelaku kejahatan” yang
terorganisir dengan kuat. Para distributor counterfeit product tersebut menggunakan
layanan pos dan kurir untuk membawa barang counterfeit product mereka ke pasar,
62% produk dikirim dalam jangka waktu 2011 dan 2013 dikirim melalui pos.
(Salvatierra, 2017)
Hong Kong, Singapura dan Uni Emirat Arab diidentifikasi sebagai titik transit
di mana barang counterfeit product dikemas kembali dari wadah dan paket
tersebutpun dikirimkan melalui pos. OECD dan EUIPO telah memilih serangkaian
barang yang paling sering ditirukam, dibagi menjadi 10 kategori, mewakili 63% dari
total pasar produk tiruan yaitu makanan, farmasi, parfum dan kosmetik, barang-
barang kulit dan tas, pakaian dan tekstil, sepatu, perhiasan, barang elektronik dan
listrik, perangkat optik dan fotografi, dan mainan.
Berdasarkan penilaian terhadap kapasitas industri "negara-negara asal," Cina
muncul sebagai produsen utama sembilan dari 10 kategori barang tiruan, dengan India
memimpin dalam bidang farmasi, yang sebagian besar dikirim ke Afrika, sementara
negara berkembang dunia adalah tujuan untuk barang elektronik (Salvatierra, 2017).
Dengan membuat counterfeit product, tentu produsen tersebut mengambil jalan pintas
karena mereka tidak perlu melakukan berbagai marketing secara besar-besaran dan
produk tersebut sudah dikenal oleh berbagai kalangan dan produk tiruan tersebut akan
tetap laku dipasaran dengan cara produsen membanting harga produk.
Gambar 1.2 Produsen dan Distributor Penyaluran Counterfeit Product Di Dunia
Sumber: www.elpais.com (2017)
Sampai saat ini perdagangan barang tiruan masih belum dapat diatasi.
Menurut data dari Komisi Eropa, jumlah counterfeit product yang dicegat di
perbatasan negara-negara anggota Eropa meningkat setiap tahun. OECD
memperkirakan nilai counterfeit product yang diperdagangkan secara internasional
pada 2005 sebesar $ 200 miliar. Jumlah kategori produk (misalnya listrik, obat-
obatan, CD, dll.) yang palsu dapat ditemukan di pasar terus meningkat. Meski
demikian, masalah terbesar masih pada industri fashion dan barang-barang mewah.
Pemalsuan dipandang sebagai kejahatan abad ke-21 karena konsekuensi negatif yang
terkait dengan risiko produk, dukungan untuk organisasi teroris, kehilangan
pekerjaan, dan lain lain (Salvatierra, 2017).
Indonesia merupakan pasar yang diminati oleh banyak produsen counterfeit
product. (Ariyanti, 2015) memaparkan bahwa dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa,
pasar Indonesia sangatlah menggiurkan bagi produsen barang-barang palsu asal Cina
dan Thailand. Permintaan yang selalu menjadi pendorong utama pasar, menyebabkan
sejumlah peneliti berpendapat bahwa permintaan konsumen akan counterfeit product
adalah salah satu penyebab utama tentang keberadaan dan meningkatnya
pertumbuhan fenomena pemalsuan (Patiro & Sihombing, 2014).
Berdasarkan article yang pada website bisnis.com pada tanggal 25 Febuari
2015, mengatakan bahwa Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) mencatat
presentase produk palsu yang beredar, yaitu: 3,8% obat-obatan, 8,5% makanan dan
minuman, 12,6% kosmetik, 33,5% software, 37,2% barang-barang kulit. 38,9%
pakaian dan 49,4% tinta printer dan pemalsuan produk menjadi penyebab kerugian
perekonomian dari segi penerimaan pendapatan negara seperti pajak sebesar Rp
424.856 juta pada tahun 2014.
(Debora dalam Arrahmah, 2018a) Lebih dari 20.000 akun Instagram menjual
barang palsu dan setidaknya 20% postingan pada media sosial di Instragram tentang
counterfeit branded product. Dalam (Hestianingsih dalam Arrahmah, 2018b)
membuat pengakuan bahwa penjualan tas branded palsu mencapai 100 unit dalam
sehari. Konsumsi counterfeit product tersebar luas dan menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan laporan pemalsuan Brand Global 2019, sekitar 72% produk
Louis Vuitton yang terjual dipasar adalah palsu (Wet, 2019). Seperti yang dilansir
oleh (Banks, 2019) pada www.highsnobiety.com per tanggal 6 Juni 2019, menjelaskan
bahwa Louis Vuitton memiliki tingkat tertinggi dalam pemalsuan produk. Hal ini
dikarenakan Louis Vuitton adalah brand yang sangat terkenal dan penggunaan pada
bahan-bahan tertentu telah banyak membantu pemalsu. Diikuti dengan produk
Hermes, dan counterfeit product pada brand Prada naik cukup drastis.
Berikut merupakan data perbandingan hasil penjualan dari counterfeit product
yang ada di platform e-commerce tokopedia dan platform e-commerce yang khusus
menjual produk original yaitu JD id dengan produk sejenis.
Louis Vuitton
Gambar 1.3 Hasil Penjualan Tas LV Damier Lattice Palsu di Tokopedia
Sumber : www.tokopedia.com (2018)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Louis Vuitton berjenis
Damier Lattice dijual dengan harga Rp 95.000 dari salah satu penjual di Tokopedia
dengan status aktif dalam penjualan produk nya. Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa produk ini telah dikunjungi sebanyak 243 ribu pengunjung, dan telah dibeli
sebanyak 3,6 ribu orang. Dalam data tersebut juga produk memiliki bintang 5 yang
menandakan bahwa produk cukup diminati dipasaran.
Gambar 1.4 Hasil Penjualan Tas LV Damier Lattice Asli di JD id
Sumber : www.jd.id (2018)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Louis Vuitton berjenis
Darnier Lattice dijual dengan harga Rp 45,671,900 dari salah satu penjual di JD id
dengan status aktif dalam penjualan produk nya. Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa produk ini memiliki 0 respon pelanggan, yang menandakan bahwa produk
kurang diminati dipasaran.
Hermes
Gambar 1.5 Hasil Penjualan Tas Hermes Birkin Palsu di Tokopedia
Sumber : www.tokopedia.com (2017)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Hermes berjenis Birkin
dijual dengan harga Rp 145,000 dari salah satu penjual di Tokopedia dengan status
aktif dalam penjualan produk nya. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa produk
ini telah dikunjungi sebanyak 40 ribu pengunjung, dan telah dibeli sebanyak 154
orang. Dalam data tersebut juga produk memiliki bintang 4.2 yang menandakan
bahwa produk cukup diminati dipasaran.
Gambar 1.6 Hasil Penjualan Tas Hermes Birkin Asli di JD id
Sumber : www.jd.id (2018)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Hermes berjenis Birkin
dijual dengan harga Rp 243,000,000 dari salah satu penjual di JD id dengan status
aktif dalam penjualan produk nya. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa produk
ini memiliki 0 respon pelanggan, yang menandakan bahwa produk kurang diminati
dipasaran.
Prada
Gambar 1.7 Hasil Penjualan Tas Prada Safiano Palsu di Tokopedia
Sumber : www.tokopedia.com (2018)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Hermes berjenis Birkin
dijual dengan harga Rp. 149.900 dari salah satu penjual di Tokopedia dengan status
aktif dalam penjualan produknya. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa produk
ini telah dibeli sebanyak 89 orang. Dalam data tersebut juga produk memiliki bintang
4 yang menandakan bahwa produk cukup diminati dipasaran.
.
Gambar 1.8 Hasil Penjualan Tas Prada Safiano Asli di JD id
Sumber : www.jd.id (2018)
Data di atas merupakan hasil penjualan tas counterfeit Prada berjenis safiano
dijual dengan harga Rp. 19,302,000 dari salah satu penjual di JD id dengan status
aktif dalam penjualan produknya. Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa produk
ini memiliki 0 respon pelanggan, yang menandakan bahwa produk kurang diminati
dipasaran.
Dari ketiga perbandingan brand diatas terdapat berbagai masalah antar
variable yaitu dari segi value consciousness yaitu, masyarakat cenderung lebih tertarik
untuk mengunjungi dan membeli counterfeit product dibandingkan dengan produk
asli. Perbandingan ketertarikan pada counterfeit product dengan produk asli dapat
terbilang cukup besar. Hal ini dikarenakan oleh faktor harga. Jika dibandingkan
counterfeit product dengan produk asli, counterfeit product memiliki harga yang jauh
lebih murah dari pada produk asli, dengan gambar atau model barang yang dipajang
yang kurang lebih sama pada e-commerce tersebut.
Dari segi Past behavior masalah (Patiro & Sihombing, 2014) pada judul
Predicting Intention to Purchase Counterfeit Products : Extending the Theory of
Planned Behavior menyimpulkan bahwa sekali konsumen memakai atau membeli
counterfeit products, preferensi konsumen pada barang asli akan menurun dan
memiliki keinginan untuk membeli counterfeit products.
Permasalahan yang ada di Attitude toward buying counterfeit product secara
(Patiro & Sihombing, 2014) pada judul penelitian Predicting Intention to Purchase
Counterfeit Products : Extending the Theory of Planned Behavior menyimpulkan
bahwa konsumen yang pernah membeli atau memakai counterfeit product cenderung
untuk membeli counterfeit product di kemudian hari dan mendukung pemalsuan.
Permasalah yang ada di Purchase Intention dalam counterfeit product dimana
masyakat yang sudah menginginkan counterfeit product, maka tidak ada alasan untuk
mereka untuk tidak membeli counterfeit product.
Counterfeit product datang dalam kualitas yang sangat baik, harga lebih
murah dan mudah didapat, sehingga orang-orang yang mampu membeli authentic
luxury products juga aktif mencarinya (Bascap report dalam Bahtia, 2018b). Riset
juga membuktikan bahwa jika counterfeit dan authentic memiliki atribut produk yang
sama dalam segi kualitas dan performa, maka konsumen akan lebih memilih
counterfeit, karena akan lebih menguntungkan dalam segi harga (Bhatia, 2018).
Dengan kualitas yang hampir mirip, harga dapat berbeda sekitar 10 persen (Dewanthi,
2018).
Konsumen lebih cenderung memilih counterfeit product daripada yang asli
jika ada keunggulan harga meskipun kualitasnya tidak sebaik produk asli . Selama
kualitas dari produk tersebut masih dapat digunakan dengan layak. (Bhatia, 2018;
Patiro & Sihombing, 2014) Hal tersebut dikarenakan tujuan utama dari penggunaan
produk branded yaitu untuk mendapatkan perhatian, sehingga konsumen tidak
mempermasalahkan akan kualitas asalkan mendapatkan perhatian yang sama
layaknya menggunakan produk branded. Tentu hal ini menjadi masalah produsen
produk asli, meskipun tidak mengalami penurunan pendapat secara langsung akibat
persebaran penjualan counterfeit product yang signifikan, akan tetapi produsen
produk asli tetap mendapat dampak dari segi perubahan image terhadap produk,
dimana konsumen cendering kurang berminat menggunakan produk asli yang
memiliki banyak produk tiruan (Patiro & Sihombing, 2014).
Berdasarkan variabel yang disebutkan diatas, yaitu value consciousness, past
behavior dan attitude toward buying counterfeit yang mengacu kepada Theory of
Planned Behavior (TPB) dalam minat pada pembelian counterfeit products.
Bertambah banyaknya pengguna counterfeit products dapat menjadi acuan betapa
minimnya bentuk apresiasi terhadap kekayaan intelektual. Oleh karena ini, menjadi
sebuah hal yang menjadi dasar masalah dalam penelitian ini.
Judul yang diambil dalam penelitian ini adalah “Faktor Value Consciousness
dan Past Behavior Terhadap Attitude Toward Counterfeit Product dan Dampaknya
Terhadap Purchase Intention Counterfeit Product Brand Tas Kelas Dunia.”
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh antara value consciousness dengan attitude toward
buying counterfeit product?
2. Bagaimana pengaruh antara past behavior dengan attitude toward buying
counterfeit product?
3. Bagaimana pengaruh antara value consciousness dengan purchase
intention to buy counterfeit product?
4. Bagaimana pengaruh antara past behavior dengan purchase intention to
buy counterfeit product?
5. Bagaimana pengaruh attitude toward buying counterfeit product dengan
purchase intention to buy counterfeit product?
6. Bagaimana pengaruh value consciousness dengan purchase intention to
buy counterfeit product melalui attitude toward buying counterfeit
product?
7. Bagaimana pengaruh past behavior dengan purchase intention to buy
counterfeit product melalui attitude toward buying counterfeit product?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui signifikan pengaruh value consciousness dengan
attitude toward buying counterfeit product.
2. Untuk mengetahui signifikan pengaruh past behavior dengan attitude
toward buying counterfeit product.
3. Untuk mengetahui signifikan pengaruh value consciousness dengan
purchase intention to buy counterfeit product.
4. Untuk mengetahui signifikan pengaruh past behavior dengan purchase
intention to buy counterfeit product.
5. Untuk mengetahui signifikan pengaruh attitude toward buying counterfeit
product dengan purchase intention to buy counterfeit product.
6. Untuk mengetahui signifikan pengaruh value consciousness dengan
purchase intention to buy counterfeit product melalui attitude toward
buying counterfeit product.
7. Untuk mengetahui signifikan pengaruh past behavior dengan purchase
intention to buy counterfeit product melalui attitude toward buying
counterfeit product.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup pada penelitian ini dilakukan untuk menganalisis value
consciousness dan past behavior terhadap purchase intention to buy counterfeit
product.
Sampel Penelitian adalah mahasiswa atau mahasiswi yang pernah membeli
counterfeit product khususnya produk tas setidaknya 1 kali, yang berada di Tangerang
sebanyak 150 responden, dengan penyebaran kuesioner secara online.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Menjadi sarana pembelajaran bagi para mahasiswa dan mahasiswi dalam
proses pembelajaran dan pengembangan dalam bidang bisnis.
2. Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat menyadarkan para pembaca
dalam keputusan pembelian counterfeit product.
3. Menjadi sarana pembelajaran kepada para calon pengusaha dalam
membangun brand.
4. Menjadi sarana pembelajaran kepada para pengusaha dalam
mempertahankan brand.
1.6 State of The Art
Penelitian umumnya membutuhkan hasil penelitian sebelumnya sebagai suatu
referensi ataupun sebagai perbandingan pada proses penelitian. Dalam penelitian ini,
terdapat perbandingan dengan penelitian sebelumnya yang telah dirangkum dalam
bentuk table yang telah tercantum jurnal, hasil penelitian, metode penelitian dan
adaptasi.
FAKTOR VALUE CONSCIOUSNESS DAN PAST BEHAVIOR TERHADAP ATTITUDE TOWARD COUNTERFEIT PRODUCT DAN DAMPAKNYA TERHADAP PURCHASE INTENTION COUNTERFEIT PRODUCT BRAND TAS KELAS DUNIA
Tabel 1.1 State of Art
Jurnal Hasil Penelitian Metode Penelitian Adaptasi
International
Research Journal
of Businesss
Studies, Predicting
Intention to
Purchase
Counterfeit
Products:
Extending the
Theory of Planned
Behavior, Patiro &
Sihombing,Vol.7,
Year 2014
Hasil penelitian ini
menunjukkan
bahwa value
consciousness dan
past behavior
memiliki pengaruh
terhadap attitude
toward buying
counterfeit product
dan berdampak
positif terhadap
purchase intention
to buy counterfeit
product.
Kuantitatif Persamaan
penelitian tersebut
adalah mengenai
penelitian ini
menggunakan non-
probability
sampling yang
membatasi
kemampuan untuk
menggeneralisasi
temuan penelitian.
Kedua, penelitian
ini dikembangkan
dalam konteks
Indonesia.
Journal Of Indian
Business Research,
Examining
consumers’
attitude towards
purchase of
counterfeit fashion
products, Bhatia,
Vol.10, Year 2017
Hasil penelitian ini
mengindikasi
bahwa value
consciousness
memiliki pengaruh
yang positif
terhadap attitude
toward buying
counterfeit products
yang berdampak
Kuantitatif Persamaan pada
penelitian Bhatia
adalah sama-sama
meneliti faktor
faktor yang dapat
mempengaruhi
purchase intention
pada counterfeit
fashion product,
variabel yaitu
Jurnal Hasil Penelitian Metode Penelitian Adaptasi
positif terhadap
purchase intention
to buy counterfeit
product.
value
consciousness .
Information
Management and
Business Review, A
Study of Factors
Affecting
Consumer’s
Willingness to buy
Counterfeit
Products ,Jamil,
Muhamad &
Naeem, Vol 9,
Year 2017
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa past
experience
mempengaruhi
secara positif
terhadap purchase
intention to buy
counterfeit product
melalui attitude
toward buying
counterfeit product.
Kuantitatif Persamaan dalam
penelitian ini yaitu
sama-sama
meneliti variabel
value
consciousness dan
attitude toward
buying counterfeit
product. Penelitian
ini juga
menggunakan non-
probability
sampling.
Pacific Business
Review
International ,
Customers'
Attitude towards
Non-deceptive
Counterfeit Mobile
Phone in
Bangladesh: A
Study on Dhaka
City, Hafez, Vol 9,
Hasil penelitian ini
menunjukkan
bahwa low
price,prior
experience, positive
attitude, reference
group influence,
value
consciousness,
moral values and
ethics berpengaruh
secara signifikan
Kuantitatif Persamaan dalam
penelitian ini
adalah sama-sama
menggunakan non-
probability
sampling.
Jurnal Hasil Penelitian Metode Penelitian Adaptasi
Year 2017 terhadap purchase
intention toward
counterfeit mobile
phone. Kecuali easy
accessibility tidak
berpengaruh
terhadap purchase
intention toward
counterfeit mobile
phone
International
Conference on
Ethics of
Business,Economic
s, and Social
Science, Factors
that Influence the
Purchase of
Counterfeit
Products by
Students : A Case
of South Africa
,Chuchu,Chinomo
na,Pamacheche,Vo
l.3 Year 2016
Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa
adanya hubungan
antara price-quality
inference of
counterfeit dan
perceived-
behavioral control
berpengaruh secara
signifikan terhadap
purchase intention
of counterfeit
product melalui
attitude towards
economic benefits
of purchasing
counterfeit
products.
Kuantitatif Pada penelitian ini,
terdapat
persamaan pada
jurnal mengenai
variabel price-
quality yang
mempengaruhi
purchase intention
of purchase
product melalui
attitude toward
counterfeit
product,
Sumber : Peneliti (2019)
Top Related