Riwayat Pengobatan Tuberculosis Paru
William Limadhy
102012241
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat 11510
Telp: 021-569422061
Pendahuluan
Penderita Tuberculosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah
diberikan, penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan
mengkonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan terhadap obat tersebut. Akibatnya, obat
yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita.
Selain itu kekebalan terhadap obat TB atau dikenal dengan Multi-Drug Resistant TB
(MDR-TB) merupakan salah satu factor penyebab masih ada sekitar 10% penderita TB di
Indonesia belum sembuh sempurna
Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan menjadi kebal
terhadap obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua.
Pendeteksian terhadap MDR-TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien
TB menjadi terlambat diberi pengobatan.
Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan kepada pasien bersifat autoanamnesis. Jika pasien
mengalami batuk sampai suara serak maka dapat dilakukan dengan alloanamnesis kepada
orangtua atau pendamping yang hadir saat itu juga agar tidak memberatkan pasien. Pada
pasien yang datang dengan symptom TB, diagnosis kerja harus didukung dengan indeks
kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari daerah endemis.
Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga dianjurkan untuk
1
ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit sudah sejauh
mana.1
Hal-hal yang perlu ditanyakan kepada pasien yang diduga terkena Tuberculosis adalah:
- Riwayat penyakit sekarang
o Catatan penting: biasanya pasien datang dengan gejala local batuk-batuk, sesak
napas, hemoptosis, limfadenopati, ruam, kelainan rontgen thorax disertai demam,
keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan.
- Riwayat penyakit dahulu
o Pernahkah pasien berkontak dengan pasien TB lainnya ?
o Apakah pasien mengalami imunosupresi? Seperti pemakain kortikosteroid atau
mengidap penyakit HIV juga ?
o Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil
abnormal ?
o Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes mantoux ?
- Obat – obatan
o Apakah pasien sudah pernah menjalani terapi ? kalau iya, bagaimana hasilnya ? obat
apa yang digunakan ? bagaimana kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat
tersebut ? dan apakah sering melakukan pengawasan terapi ?
- Riwayat keluarga dan social
o Adakah riwayat TB dikeluarga atau dilingkungan social ? Tanyakan konsumsi
alcohol, penggunaan obat-obat intravena dan riwayat berpergian keluar negeri.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus
atau berat badan menurun.1
Pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang
penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik, karena
hantaran getaran/suara yang lebih dari 4 cm ke dalam paru sulit dinilai seara palpasi, perkusi
dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisik, TB paru sulit dibedakan dengan
pneumonia biasa.
2
Tempat kelanan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru. Bila dicurigaiadanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yangcukup besar, perkusi
memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian, karena hasilnya kadang-kadang
meragukan, hasilnya tidak sensitive dan juga tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis
pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan jumlah
limfosit masih tinggi. Laju darah mulai turun kearah normal lagi.3
2. Uji Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA,
diagnosis tuberculosis sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini
mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-
kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien dengan batuk yang non
produktif atau pasien yang tidak batuk. Dalam hal ini dianjurkan minum air sebanyak +2
liter dan diajarkan melakukan reflex batuk. Dapat juga dengan memberikan obat-obat
mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage. BTA dari sputum
bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak
karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar mungkin.3
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar,
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di
3
Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam
sputum mereka.3
3. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantuk menegakkan diagnosis
tuberculosis tertama pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan
menyuntikkan 0,1cc tuberculin P.P.D. (Purified Protein Derivative) intrakutan
berkekuatan 5 T.U. (Intermediate Strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan 5 T.U.
dapat diberikan dulu 1 atau 2 T.U (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5 T.U.
masih memberikan hasil negative dapat diulangi dengan 250 T.U. (Second Strength). Bila
dengan 250 T.U. masih memberikan hasil negative, berarti tuberculosis dapat
disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5 T.U. saja sudah cukup berarti.3
Tes tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi m.tuberkulosis, m.bovis, vaksinasi BCG, dan mycobacteria pathogen
lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan
kuman pathogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculosae atau
BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi
selular pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang
dalam perannya akan menekankan antibodi selular.3
Bila pembentukan antibody selular cukup misalnya pada penularan dengan kuman
yang sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana
pembentukan antibody humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka
akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberculin disuntkkan, akan timbul reaksi berupaindurasi-
kemerahan yangterdiri dari infiltrate limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody
selular dan antigen tuberculin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibody selular
dan antigen tuberculin amat dipengaruhi oleh antibody humoral, makin besar pengaruh
antibody humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.3
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam:
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya), hasil tes mantoux negative (golongan no
sensitivity)
4
2. Indurasi 6-9 mm (diameternya), hasil tes mantoux meragukan (golongan low
grade sensitivity)
3. Indurasi 10-15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif (golongan normal
sensitivity)
4. Indurasi >15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif kuat (golongan
hypersensitivity)
Biasanya hamper seluruh pasien tuberculosis memberikan hasil positif (99,8%).
Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi
dengan Mycobacterium lainnya. Negative palsu banyak ditemui daripada positif palsu.
Hal-hal yang memberikan reaksi tuberculin berkurang (negative palsu) yakni:
1. Pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberculosis.
2. Anergi, penyakit sistemik berat (sarcoidosis, LE)
3. Penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili cacar air, poliomyelitis)
4. Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
5. Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosupresi lainnya.
6. Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan.
Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux dengan ukuran +/- 5mm dinilai positif.
Working Diagnosis
Pada kasus ini, sudah jelas sekali diagnosis kerja yang diambil adalah tuberculosis
dalam pengobatan, hal ini didukung dengan datangnya pasien yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi penyakit TB parunya, dan sudah memilki riwayat pengobatan dua kali,
yang pertama pasien hanya minum obat sekitar 1 bulan. Saat ini pasien menjalani pengobatan
TB yang kedua kalinya, dan mendapat obat suntik yang sudah berjalan selama 6 bulan.3
Differential Diagnosis
MDR-TB (multidrug resistant tuberculosis)
5
Multi drug resistance TB (MDR-TB) disebabkan oleh organisme yang resisten
terhadap obat anti tuberculosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR-TB
merupakan hasil dari infeksi dari organisme yang memang sudah resisten terhadap obat atau
timbul saat pasien sedang terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling
kuat antara obat-obat lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai
resistensi terhadap golongan fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius
dibandingkan dengan yang tidak. Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk
menajadi XDR-TB, dan memunkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.3
XDR-TB (extensively drug-resistant tuberculosis)
XDR-TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti
anti TBC. XDR-TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberculosis yang paling
efektif, isoniazid dan rifampisin, sama seperti MDR-TB, ditambahkan dengan resistensi
terhadap golongan fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu
dari tiga obat second-line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR-TB dan
XDR-TB membutuhkan terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten,
dan membutuhkan kegunaan obat dari secon-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai
efek samping yang lebih banyak dari first-line therapy.
TDR-TB (total drug-resistant tuberculosis)
Istilah tahan benar-benar obat belum jelas unuk TB. Sementara konsep ‘resistensi obat
total’ mudah dimengerti secara umum, dalam prakteknya, in vitro teskerentanan terhadap
obat secara teknis menantang. XDR-TB sangant mengurangi pilihan untuk pengobatan
meskipun mereka belum dipelajari dalam kohort besar. Pilihan pengobatan untuk pasien
XDR-TB yang memiliki ketahanan terhadap lini kedua obat anti-TB tambahan bahkan lebih
terbatas.
Etiologi
6
Mikobakteria adalah bakteri obligat aerob, berbentuk batang, yang tidak membentuk
spora. Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan penghilangan
warna (dekolorisasi) oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil "tahan-asam".
Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberkulosis dan merupakan patogen yang sangat
penting bagi manusia.
Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira
0,4 x 3 pm. Mikobakteria tidak dapat diklasifikasikan sebagai gram-positif atau gram-negatif.
Sekali diwarnai dengan zat warna basa, warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan
alkohol, meskipun dibubuhi iodium. Basil tuberkel yang sebenar-nya ditandai oleh sifat
"tahan-asam"—misalnya, 95% etil alkohol yang mengandung 3% asam hidroklorida (asam-
alkohol) dengan cepat akan menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakteria. Sifat
tahan-asam ini bergantung pada integritas struktur selubung berlilin.4
Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia, dengan
perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dan 2,5 juta orang meninggal setiap tahun.
Insidensinya yang menurun telah berbalik, dengan peningkatan di negara berkembang dan
negara maju sejak pertengahan 1980-an: human immunodeficiency virus (HIV)
menyebabkan banyak epidemi baru. Mycobacterium tuberculosis: menginfeksi 8,7 juta kasus
baru pada.tahun 2000 dengan angka insidensi global yang meningkat sebanyak 0,4% per
tahun. Infeksi baru dalam jumlah banyak terdapat di Asia tenggara (3 juta) dan Afrika (2
juta). Sepertiga pasien dengan tuberkulosis di Afrika mengalami koinfeksi dengan HIV. Pada
tahun 2005, WHO memprediksi bahwa akan terdapat 10,2 juta kasus baru dan Afrika akan
memiliki lebih banyak kasus daripada daerah lainnya (hampir 10% setiap tahun). Di Inggris
jumlah kasus meningkat dengan kasus di London mengalami peningkatan sebesar 40% antara
tahun 1999 dan 2000 ,lebih sering terjadi pada kondisi tertentu ketika kerentanan HIV
meningkat, silikosis, immunocompromised, keganasan (terutama leukemia dan limfoma),
diabetes melitus tergantung insulin, gagal ginjal kronik, dan penyakit saluran pencernaan
dengan malnutrisi.5
Patogenesis
7
Tuberkulosis menyebar dari orang-ke-orang melalui rute aerosol. Paru merupakan
tempat infeksi pertama. Sebagian besar infeksi menghilang dan menyisakan jaringan parut
lokal (kompleks primer). Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke seluruh tubuh
(penyebaran rnilier). Infeksi ini dapat sembuh spontan atau berkembang menjadi infeksi lokal
(misalnya meningitis). Resistensi terhadap tuberkulosis bergantung pada fungsi sel T.
Penyakit dapat mengalami reaktivasi jika imunitas menurun (diperkirakan risiko reaktivasi
sepanjang hidup adalah 10%). Pada individu immunocompromised seperti pasien yang positif
HIV, infeksi cenderung berkembang menjadi penyakit yang bergejala.3
Mycobacterium tuberculosis diingesti oleh makrofag, tetapi dapat lolos dari
fagolisosom untuk kemudian bermultiplikasi dalam sitoplasma. Respon imun yang hebat
menyebabkan destruksi jaringan setempat (kavitasi pada paru) dan efek sistemik yang
diperantarai oleh sitokin (demam dan penurunan berat badan). Bermacam-macam antigen
telah diidentifikasi sebagai kemungkinan penentu virulensi, termasuk lipoarabinomanan
(menstimulasi sitokin dan superoksida dismutase (memacu kelangsungan hidup
intramakrofag).
Gejala Klinis
Mycobacterium tuberculosis dapat mempengaruhi semua organ tubuh: menyerupai
baik peradangan maupun penyakit keganasan. Tuberkulosis paru dapat muncul dalam bentuk
batuk kronik, hemoptisis, demam, dan penurunan berat badan, atau sebagai pneumonia
bakterial yang rekuren. Jika tidak diobati, infeksi dapat berkembang menjadi rangkaian
penyakit yang kronik dan terus memburuk.3
Penataklasaan
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis yakni:
- Aktivitas bakterisid
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih
aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukru dari kecepatan obat tersebut membunuh atau
melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil negative (2 bulan dari
permulaan pengobatan).6
- Aktivitas sterilisasi
8
Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah
pengobatan dihentikan.
Paduan obat
Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberculosis dahulu dipakai satu macam obat saja.
Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagia
besar kuman tuberculosis memang dapat dimatikan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok
kecil yang resisten ini malah berkembang dan menimbulkan efek resisten. Untuk mencegah
terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilakukan dengan memakai paduan obat,
sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.6
Dengan memakai paduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena:
- Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih
- Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH
Tetapi belakangan ini di beberapa Negara banyak terdapat resistensi terhadaplebih dari satu
obat (multi drug resistance) terutama terhadap INH dan rifampisin.
Obat primer
1. Isoniazid
Isoniazid merupakan obat utama untuk tuberculosis. Seluruh pasien dengan penyakit
yang disebabkan oleh galur yang sensitive sebaiknya menerima obat ini jika mereka
dapat mentoleransinya. Isoniazid bekerja dengan cara menghambat biosintesis asam
mikolat
2. Rifampisin
Rifampisisn (rifampisin, rifabutin, rifapentin) merupakan antibiotic makrosiklik.
Rifampisin bersifat bakterisid untuk mikroorganisme intraseluler maupun
ekstraseluler.
3. Pirazinamid
Pirazinamid menunjukan aktivitas antibiotic secara in vitro hanya pada pH yang
sedikit asam. Ini tidak menimbulkan masalah karena pirazinamida membunuh basilus
tuberkulum yang terletak pada fagosom asam di dalam makrofag
4. Streptomisin
9
Streptomisin bersifat bakterisid untuk basilus tuberkulum secara in vitro. Mayoritas
galur M. tuberculosis sensitif terhadap streptomisin. Streptomisin secara in vivo tidak
mengeradikasi basilus tuberkulum, kemungkinan karena obat ini tidak mudah
memasuki sel hidup sehingga tidak dapat membunuh mikroba intraseluler.
5. Etambutol
Etionamida menghambat pertumbuhan mikrobakteri dengan cara menghambat
biosintesis asam mikolat dan mengakibatkan gangguan pada sintesis dinding sel.6
Obat Sekunder
1. Kanamisin 8. Kapreomisin
2. PAS (Para Amino Salicylic acid) 9. Amikasin
3. Tiasetazon 10. Ofloksasin
4. Etionamid 11. Siprofloksasin
5. Protionamid 12. Norfloksasin
6. Sikloserin 13. Klofazimin
7. Viomisin
Sebelum ditemukan rifampisin, metode terapi tuberculosis paru adalah dengan system
jangka panjang (terapi standar) yakni : INH (H) + streptomisin (S) + PAS atau etambutol (E)
tiap hari dengan fase initial selama 1-3 bulan dan dilanjutkan dengan INH + etambutol atau
PAS selama 12-18 bulan.
Setelah rifampisin ditemukan paduan obat menjadi INH + Rifampisin + streptomisin atau
etambutol setiap hari (fase initial) dan diteruskan dengan INH + rifampisin atau etambutol
(fase lanjut).
Paduan ini selanjutnya berkembang menjadi terapi jangka pendek, dengan memberikan
INH + rifampisin + streptomisin atau etambutol atau pirazinamid (Z) setiap hari sebaga fase
initial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + rifampisin atau etambutol atau
streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan, sehingga lama pengobatan keseluruhan
menjadi 6-9 bulan.
Paduan obat yang di pakai di Indonesia dan di anjurkan juga oleh WHO adalah :
2RHZ/4RH dengan variasi 2 RHS/4RH, 2 RHZ/4R3H3, 2 RHS/4R2H2, dll. Untuk
tuberkulosis paru yang berat (milier) dan tuberkulosis ekstraparu, terapi tahap lanjutan
diperpanjang menjadi 7 bulan sehingga paduannya menjadi 2 RHZ/7 RH, dll.
10
Dengan pemberian terapi jangka pendek akan didapat beberapa keuntungan seperti
waktu pengobatan lebih singkat, biaya keseluruhan untuk pengobatan menjadi lebih rendah,
jumlah pasien yang membangkang menjadi berkurang, dan tenaga pengawas pengobatan
menjadi lebih hemat/efisien.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan Rl dalam rangka program pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru lebih menganjurkan terapi jangka pendek dengan paduan obat
HRE/5 H2R2 (isoniazid + rifampisin + etambutol setiap hari selama satu bulan, dan dilan-
jutkan dengan isoniazid + rifampisin 2 kali seminggu selama 5 bulan), daripada terapi jangka
panjang HSZ/11 H2Z2.(INH + streptomisin + pirazinamid 2 kali seminggu 11 bulan).
Terapi jangka pendek yang semula dianjurkan oleh WHO belakangan ini mendapat
hambatan-hambatan antara lain karena obat rifampisin dan pirazinamid tidak dapat diterima
pasien karena harganya relatif mahal. Di negara-negara yang sedang berkembang,
pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai kesembuhan yang ditargetkan
(cure rate) yakni 85% karena program pengobatan yang kurang baik, kepatuhan ber-obat
pasien yang buruk, sehingga menimbulkan populasi tuberkulosis makin meluas, resistensi
obat makin banyak.
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni : kurang dari 33 kg, 33-50 dan lebih
dari 50 kg. Pengobatan dibagi atas 4 kategori yakni: -
Kategori I Ditujukan terhadap:
- Kasus baru dengan sputum positif.
- Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat seperti meningitis, tuberkulosis dise-minata,
perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru
yang luas dengan BTA negatif, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitouri-narius.
- Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2 RHZS (E). Bila setelah 2 bulan BTA
menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap
positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat.
Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan
3 macam obat saja yakni RHZ.
- Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4 R3H3. Pasien dengan
tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan kelainan
neurologis), R dan H harus diberikan tiap hari selama 6-7 bulan. Paduan obat altematif adalah
6 HE (T).
11
Kategori II Ditujukan terhadap:
- Kasus kambuh.
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZSE/1 RHZE. Bila setelah tahap
intensif BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan
tahap intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan
dengan RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif, pengobatan dihentikan selama 2-
3 hari, lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan
tahap lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih
sensitif terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap
lanjutan dapat diubah menjadi sama dengan kategori I dengan pengawasan yang ketat. Bila
data menunjukkan resisten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi kecil.
Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan, maka pasien tidak perlu
diobati lagi.
Kategori III Ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
- Kasus tuberkulosis ekstraparu selain dari yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan paduan 2RHZ atau 2R3H3Z3. Bila kelainan paru
lebih luas dari 10 cm2 atau pada tuberkulosis ekstra paru dengan remisi belum sempurna,
maka tahap lanjutan diperpanjang lagi dengan H saja selama 4 bulan lagi. Paduan obat
alternatif adalah 6 HE (T).
Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus tuberkulosis kronik. Prioritas pengobatan di sini rendah.
Terdapat resistensi obat-obat antituberkulosis (sedikit-nya R dan H), sehingga masalahnya
jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan diberikan obat-obat antituber-
kulosis tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih toksis. Di negara maju
dapat diberikan obat-obat antituberkulosis eksperimental sesuai dengan sensitivitasnya,
sedangkan negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur hidup dengan
harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan Rl dalam program baru pemberantasan tuberkulosis paru telah
mulai dengan paduan obat: 2 RHZE/4 R3H3 (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 (kat
II), 2 RHZ/2 R3H3 (kat III).
12
Dosis obat7
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai (di Indonesia) secara harian
maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.
Tabel1. Dosis obat2
Efek samping obat8
Dalam pemakaian obat-obat antituberkulosis tidak jarang ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti-
tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil,
tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan
harus dihentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat
lain. Perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang
kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu.
Adapun efek samping tiap-tiap obat tersebut ialah :
INH : neuropati perifer (hal ini dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6),
hepatotoksik
Rifampisin : sindrom.flu,hepatotoksik
Streptomisin : nefrotoksik,gangguan nervus VIII kranial.
Etambutol : neuritis optika,nefrotoksik, skin rash/dermatitis.
Etionamid : hepatotoksik,gangguan pencernaan.
PAS : hepatotoksik, gangguan pencernaan
Evaluasi pengobatan9
13
Dosis harian Dosis berkala
Nama obat BB < 50 kg BB > 50 kg 3 x seminggu
Isoniazid 300 mg 400 mg 600 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg 600 mg
Pirazinamid 1.500 mg 2.000 mg 2-3 g
Streptomisin 750 mg 1.000 mg 1.000 mg
Etambutol 750 mg 1.000 mg 1-1.5 g
Etionamid 500 mg 750 mg -
PAS 99 10 g -
Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan
kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2,4, dan 6. Pada yang memakai
paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke 2 dan akhir pengobatan. Pemeriksaan resistensi
dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal
terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif,
sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Sputum BTA
sebaiknya tetap diperiksa untuk kontrol pada kasus-kasus yang dianggap selesai
pengobatan/sembuh. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, yaitu terdapat
sputum BTA positif tanpa disertai keluhan-keluhan tuberkulosis yang relevan pada kasus-
kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi yakni BTA positif pada 3 kali-
pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti pasien mulai kambuh lagi. Radiologis. Evaluasi
radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Beberapa ahli kedokteran
menyatakan evaluasi radiologis ini sebenarnya kurang begitu berperan dalam evaluasi
penyakitnya. Bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan
sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan
pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis
dapat dilihat keadaan tuberkulosis parunya atau adakah penyakit lain yang menyertai-nya.
Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
Bila secara bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis tidak, harus dicurigai
penyakit lain di samping tuberkulosis paru. Bila secara klinis, bakteriologis dan radiologis
tetap tidak ada perbaikan padahal pasien sudah diobati dengan dosis yang adekuat serta
teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada pasien tersebut, antara lain AIDS
Kegagalan Pengobatan9
Sebab-sebab kegagalan pengobatan:
a. Obat:
- Paduan obat tidak adekuat.
- Dosis obat tidak cukup.
- Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
- Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya.
- Terjadi resistensi obat.
14
- Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1-2 bulan pengobatan tahap
intensif, tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten
terhadap OAT makin meningkat dan sudah mencapai 9%. Di negara yang sedang
berkembang seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten
terhadap OAT saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP {Polymerase Chain
Reaction-Single Stranded Confinnation Polymorphism) dalam waktu 1 hari.
b. Drop out:
- Kekurangan biaya pengobatan.
- Merasa sudah sembuh.
- Malas berobat / kurang motivasi.
c. Penyakit
- Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat.
- Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus, alkoholisme, dll.
- Adanya gangguan imunologis.
Sebab-sebab kegagalan pengobatan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya
pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan ini dapat mencapai 50% pada
terapi jangka panjang, karena sebagian besar pasien tuberkulosis adalah golongan yang tidak
mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama dan biaya banyak.
Untuk mencegah kegagalan pengobatan ini perlu kerjasama yang baik dari dokter dan
paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tersebut terhadap pasien. Penanggulangan
terhadap kasus-kasus yang gagal ini adalah :
a) Terhadap pasien yang sudah berobat secara teratur.
- Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara
pemberiannya.
- Lakukan pemeriksaan uji kepekaan/tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila sudah dicoba dengan obat-obat yang masih peka, tetapi temyata gagal juga, maka
pertimbangkan terapi dengan pembedahan terutama pada pasien dengan kavitas atau
destroyed lung.
b) Terhadap pasien dengan riwayat pengobatan tidak teratur.
15
- Teruskan pengobatan lama selama + 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap
bulan.
- Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat.
- Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih
sensitif.
Pengobatan pembedahan10
Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan sudah di-
nyatakan sembuh oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian pada
evaluasi berikutnya terdapat gejala klinis tuberkulosis positif (mikrobiologi positif). Terapi
bedah, banyak dilakukan dalam upaya pe-nyembuhan pasien tuberkulosis paru yang kambuh.
Pada saat ini dengan banyaknya obat-obat yang bersifat bakterisid, terapi bedah jarang sekali
dilakukan terhadap pasien-tuberkulosis paru.
Indikasi terapi bedah saat ini adalah :
a. pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang,
b. pasien dengan batuk darah masif atau berulang.
Di samping syarat toleransi operasi (spiro-metri, analisis gas darah dll) diperlukan juga
syarat adanya obat-obat antituberkulosis yang masih sensitif. Obat-obat antituberkulosis ini
tetap diberikan sampai 6 bulan setelah operasi.
Hasil operasi pasien dengan sputum BTA tetap positif, sebagian besar BTA menjadi negatif
di samping perbaikan keluhan-keluhan-nya, sehingga dapat dikatakan tindakan bedah sangat
berarti dalam penyembuhan pasien.
Pencegahan
- Vaksinasi BCG
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa vaksinasi BCG yang telah dilakukan pada anak-
anak selama ini hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi BCG
masih tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap tuberkulosis berat
(meningitis, tuberkulosis milier dll) dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.
16
- Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis terhadap tuberkulosis merupakan masalah tersendiri dalam penang-
gulangan tuberkulosis paru di samping diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat
Isoniazid banyak dipakai selama ini karena harganya murah dan efek sampingnya sedikit
(terbanyak hepatitis dengan frekuensi 1%, sedangkan yang berusia lebih dari 50 tahun adalah
2%).
Obat altematif lain setelah Isoniazid adalah Rifampisin. Beberapa peneliti pada IUAT
(International Union Against Tuberculosis) menyatakan bahwa profilaksis dengan INH
diberikan selama 1 tahun, dapat menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang
kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan 90%. Yang minum obatnya
tidak teratur (intermittent), efekvitasnya masih cukup baik. Lama profilaksis yang optimal
belum diketahui, tetapi banyak peneliti menganjurkan waktu antara 6-12 bulan terhadap
tersangka dengan hasil uji tuberkulin yang diametemya lebih dari 5-10 mm. Yang mendapat
profilaksis 12 bulan adalah pasien HIV positif dan pasien dengan kelainan radiologis dada.
Yang lainnya seperti kontak tuberkulosis dan sebagainya cukup 6 bulan saja. Pada negara-
negara dengan populasi tuberkulosis tinggi sebaiknya profilaksis diberikan terhadap semua
pasien HIV positif dan pasien yang mendapat terapi imunosupresi
Prognosis
Tanpa pengobatan yang adekuat, tuberkulosis bisa menjadi fatal. Penyakit aktif yang tidak
diobati ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke bagian tubuh lain
melalui aliran darah, seperti tulang, otak, hati atau ginjal, jantung, dan rongga abdomen,
sehingga prognosisnya bisa lebih buruk, apalagi pada pasien dengan resistensi obat.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010. h. 3-6, 56-9,
65, 67-72.
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;2005. h.
175
3. Soematri ES, Uyainah A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke 3. Jakarta: FK UI.
2003.h.33-881.
4. Jawetz E,Melnick J,Adelberg E. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta :EGC; 2008. h.
302-9
5. Mandal BK,Wilkins EGL,Dunbar EM,White M. Lecture notes: penyakit
infeksi.Jakarta : Erlangga,2009.h.220
6. Gillespie SH, Bamford KB. At a glance mikrobiologi medis dan infeksi. Jakarta:
Erlangga;2009. h. 40-1
7. Crofton J, Horne N, Miller F. Tuberkulosis klinis. Ed.2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.h.97.
8. Pratiwi ST. Mikrobiologi farmasi. Jakarta: Erlangga;2008.h.165-7
9. Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. ed. 10. Jakarta: EGC; 2012. h. 796-9, 805.
10.Brunton L. parker K. bluementhal D. Buxton I. Goodman & gilman: manual
farmakologi dan terapi. Jakarta: EGC;2008.h.742-50
18
Top Related