BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma adalah penyakit kronik saluran pernapasan yang ditandai oleh
inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran
napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai, asma dapat
terjadi pada semua orang dan segala usia di semua negara di seluruh dunia. Ketika
penyakit ini tidak terkontrol maka akan membahayakan bahkan akan berdampak fatal
pada kehidupan. Tingkat kejadian asma meningkat di sebagian besar negara, terutama
di kalangan anak-anak. Asma merupakan masalah yang serius, tidak hanya dalam
pelayanan kesehatan tetapi juga merupakan masalah yang serius dalam tingkat
keselamatan hidup. 1
Angka kejadian penyakit alergi akhir-akhir ini meningkat sejalan dengan
perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan maupun zat-zat
yang ada di dalam makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di
masyarakat adalah penyakit asma. Asma merupakan penyakit inflamasi kronis
saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat
penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus
meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia
Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa
tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat
di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya.
Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).2
1
Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima
belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk
penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas
hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya
kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian. Asma merupakan
sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari
data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama
dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan
emfisema sebagai penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun
1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis
kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang
dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan
terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.2 referat
Selama dua dekade terakhir. kita menyaksikan banyak kemajuan ilmiah yang
telah meningkatkan pemahaman kita tentang asma dan kemampuan kita untuk
mengelola dan mengendalikan secara efektif. Namun, keragaman sistem pelayanan
kesehatan nasional dan variasi ketersediaan terapi asma mengharuskan pemerintah
khususnya petugas kesehatan untuk dapat menjelaskan dan memberikan pemahaman
yang efektif tentang cara dalam mempersiapkan, memahami, dan menangani masalah
gangguan napas kronis ini dalam tiap negara.1 gina
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara
yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan
dan bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti
2
perbaikan kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya.
Akan tetapi juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan
penanganan baik karena penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana
menangani asma dengan benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth
National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World
Health Organization (WHO) bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan
tenaga kesehatan untuk melakukan penatalaksanaan asma yang optimal sehingga
menurunkan angka kesakitan dan kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang
telah dibuat dianjurkan dipakai di seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan negara masing-masing. Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun
pedoman penanggulangan asma di Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk
ini dokter dapat menatalaksana asma dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di
layanan kesehatan dengan fasiliti minimal di daerah perifer, maupun di rumah sakit
dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota.3 konsensus
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1
Asma mengancam jiwa adalah serangan asma berat dengan gejala
2.2 Epidemologi
Penyakit asma berasal dari keturunan sebesar 30 % dan 70 % disebabkan
oleh berbagai faktor lainnya. Departemen Kesehatan memperkirakan penyakit
asma termasuk 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di RS dan
diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia menderita asma. Angka
kejadian asma pada anak dan bayi sekitar 10-85% dan lebih tinggi dibandingkan
oleh orang dewasa(10-45%). Pada anak, penyakit asama dapat mempengaruhi
masa pertumbuhan, karena anak yang menderita asma sering mengalami kambuh
sehingga dapat menurunkan prestasi belajar di sekolah. Prevalensi asma di
perkotaan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan, karena pola
hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma.2
2.3 Anatomi dan Fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak
mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh.
4
Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara
garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang
dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan
berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus
terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang
bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan
mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang
kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung.
Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk
kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan
mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan
dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai
faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya
mencapai 100%.2,3
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan
antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu : nasofaring, orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir
terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening yang
dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua buah tonsil kiri dan kanan dari
tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara
terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk
ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang
dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada
5
saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada
aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan
makanan ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka
laring mempunyai fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan
sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.2,3
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk
seperti kuku kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm,
dan diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa,
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang
hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-
benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa. Bronkus
merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang
menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak
syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk
dirangsang.2
Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang
kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih
panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung
alveoli (kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat
oleh cincin tulang rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat
berubah. Seluruh saluran uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis
ini disebut saluran penghantar udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini
mengandung kolumnar epitellium yang mengandung lebih banyak sel goblet dan
otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh nervus vagus.
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
6
paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris,
duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir
dari paru.2
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga
proses yang terjadi, yaitu:2,3
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli
dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan
tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang
rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi
sekitar –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun
–2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai
tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan
intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler
melalui membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari
tempat yang tinggai tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan
partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih
tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih
tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke
jaringan melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan
7
melalui dua jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara
kimiawi berikatan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan
karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat, natrium
bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah.
Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi
hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1
ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi
mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan
karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan
dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan
sel-sel sesuai kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang
dihasilkan dalam sel mengalir kedalam cairan jaringan. Tekanan partial
karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada tekanan dalam darah
maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal
berkisar 7,35 – 7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 –
7,45. Pada peninggian CO2 baik karena kegagalan fungsi maupun
bertambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak dikompensasi oleh paru
menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah keadaan
terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius
adalah suatu keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.
2.4 Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alegen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma
8
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE
terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema
lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran nafas.1,2,3
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot
polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-
kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel
mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci fdalam
patogenesis asma.1,2,3
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan menbuat epitel
saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
9
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat
terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara
dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui
reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan
dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin Gen-
Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktifasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektifberatnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk
mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut antara lain dengan uji provokasi
beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.1
2.5 Faktor Resiko
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.1,3
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
10
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor
resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi,
jeruk, bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin,
tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
11
stress/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati maka gejala asmanya
lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya
gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagaian besar penderita asma akan mendapat
serangan jika melakukan aktiviatas jasmani atau olahraga yang berat. Lari
cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena
aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musin kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan)
i. Status ekonomi
2.6 Gambaran Klinis
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelasseperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada
12
mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya
pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang
purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal yang
terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan
sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala
asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala
terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang,
infeksi saluran napas maupun perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada
awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila
pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan
diagnosis
2.7 Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat
asma persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau
serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.1,3
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
13
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun
pada asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi
penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan.
Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk
waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya
suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat
penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh
berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala,
eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji
faal paru) serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat,
kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan
menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat
(Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
14
sedang, dan asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya
pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan
penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap
pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani
pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada.3
15
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa3
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal ParuIntermitten Bulanan
Gejala <1x/minggu, tanpa gejala di luar seranganSerangan singkat
≤2 kali sebulan APE ≥80%VEP1≥80% nilai prediksi APE ≥80% nilai terbaikVariabilitas APE <20%
Persisten ringan Mingguan Gejala >1x/minggu, tetapi <1x/hariSerangan dapat menggangu aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan APE >80%VEP1≥80% nilai prediksi APE ≥80% nilai terbaikVariabilitas APE 20-30%
Persisten sedang
Harian Gejala setiap hariSerangan menggangu aktivitas dan tidurBronkodilator setiap hari
>2 kali sebulan APE 60-80%-VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik-Variabilitas APE >30%
Persisten berat Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuhaktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤60%VEP1 ≤60% nilai prediksi APE ≤60% nilai terbaikVariabilitas APE >30%
16
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma3,4
Ringan Sedang BeratAktivitas Dapat berjalan
Dapat berbaringJalan terbatasLebih suka duduk
Sukar berjalanDuduk membungkuk ke depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kataKesadaran Mungkin
tergangguBiasanya terganggu
Biasanya terganggu
Frekuensi napas
Meningkat meningkat Sering >30 kali/menit
Retraksi otot-otot
bantu napas
Umumnya tidak ada
Kadang kala ada Ada
Mengi Lemah sampai sedang
Keras Keras
Frekuensi nadi
<100 100-120 >120
Pulsus paradoksus
Tidak ada (<10mmHg)
Mungkin ada (10-25mmHg)
Sering ada (>25mmHg)
APE sesudah bronkodilator (% prediksi)
>80% 60-80% <60%
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHgSaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.4
2.8 Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-
anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan
mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1,2,3
17
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus
udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi
dapat membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.1,2,3
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian
cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat
berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat
asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di
dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang
di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-bauan seperti parfum, spray
pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok, di
rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta
blocker, aspirin, atau steroid.
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan:
18
napas cepat sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas
tambahan di leher, perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi,
ekspirasi diperpanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat
tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.
Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM
tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran
napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk
pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam
diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo
sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak
berdasarkan atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis
19
dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-
kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru,
pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara
yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi
tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi
saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis
yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping
ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya
berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk
nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis
dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui
HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau
kering, histamin dan metakolin.
2.9 Diagnosis Banding
1. Diagnosis banding1,3
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam
setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala
utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur
20
lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk
pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi
jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada
emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani. Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan
napas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat
lemah. Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila
timbul pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien
tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak
menghilang atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal
yang memperberat atau memperingan gejala gagal jantung. Disamping
ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema
paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi,
gagal jantung dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien
batuk-natuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya ortopnea,
takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan
hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan perubahan
antara lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lainyang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.
21
2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga
2.10 Pengobatan Asma
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam
suatu loka karya Global Initiative For Asthma Management And Preventionyag
dikoordinasikan oleh National Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat
dan WHO. Publikasi loka karya tersebut yang dikenal sebagai GINA diterbitkan
pada tahun 1995, dan diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh
dunia mengikuti protokol pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan
tersebut masih mahal bagi negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing
negara dianjurkan membuat kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi
serta lingkungannya.1
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang,
diperlukan kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal
ini dapat tercapai bila pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan
pengobatan, obat-obat yang dipakai serta efek samping.
22
b. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan
uji faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma
yang tanpa gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan
adanya obstruksi salura napas.
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan
asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari
yang ringan sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau bisa juga perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari.
Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut menunjukkan rencana
pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang terpajan faktor
pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
23
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-
cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan.
Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara
pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta oenggunaan alat
peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini akan semakin
jarang.4
2.10.1 Obat-obat anti asma
Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara
lain:4
1. Pencegah (controller) yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari,
dengan tujuan aggar gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk
golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja
panjang (long acting).obat-obat anti inflamasi kususnya kortikosteroid
hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat anti
alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk
obat pencegah. Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat
tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,
memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan
memperbaiki kualitas hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah
terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan supresi.
Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
24
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus
lebih baik bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan
pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium
kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis
beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan
obat-obat anti alergi.4
2. Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi
bronko konstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan
segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agosnis beta 2 hirup kerja
pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol)
merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan
sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena
kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma periodik.4
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung
mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang rawat darurat
atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain
dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut,
juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi efek samping agonos beta 2. Teofilin maupun agonis
beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai
sediaan hirup.4
2.10.2 Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga
25
Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat
ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai
setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi, kortikosteroid hirup,
bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang (tabel 3).4
Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga
Tahap Obat Pencegah Harian Pilihan LainAsma Intermitten Tidak diperlukan
Asma Persisten Ringan Kortikosteroid hirup 500μg BDP (beclomethasone diproprionate) atau ekuivalen
Teofilin lepas lambatKromolinAnti leukotrin
Asma Persisten Sedang Kortikosteroid hirup (200-1000 μg BDP atau ekuivalen) + LABA (long acting beta agonist)
- Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau ekuivalen + teofilin lepas lambat atau - Kortikosteroid hirup 500-1000μg BDP atau ekuivalen + oral LABA atau - Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi >1000μg BDP atau ekuivalen - Kortikosteroid hirup dosis lebih tinggi >1000μg BDP atau ekuivalen + anti leukotrin
Asma Persisten Berat Kortikosteroid hirup (>1000 μg BDP atau ekuivalen) + LABA satu atau lebih obat berikut bila diperlukan
- Teofilin lepas lambat
- Anti leukotrin- LABA oral
26
- Kortikosteroid oral
- Anti IgE
2.10.3 Pengobatan Asma Berdasarkan Sistem Wilayah Bagi Pasien
Sistem pengobatan ini dimaksudkan untuk memudahkan pasien
mengetahui perjalanan dan kronisitas asma, memantau kondisi
penyakitnya, mengenal tanda-tanda dini serangan asma, dan dapat
bertindak segera mengatasi kondisi tersebut. Dengan mengunakan peak
flow meter pasien diminta mengukur secara teratur setiap hari, dan
membandingkan nilai APE yang didapat pada waktu itu dengan nilai
terbaik APE pasien atau nilai prediksi normal.
Seperti halnya lampu pengatur lalu lintas, berdasarkan nilai APE akan
terletak pada wilayah:
1. Hijau Berarti Aman
Nilai APE luasnya 80-100% nilai prediksi, variabilitas kurang dari
20%. Tidur dan aktivitas tidak terganggu. Obat-obat yang dipakai
sesuai dengan tingkat anak tangga saat itu. Bila 3 bulan tetap hijau,
pengobatan ini diturunkan ke tahap yang lebih ringan.
2. Kuning Berarti Hati-Hati
Nilai APE luasnya 60-80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%. Gejala
asma masih normal, terbangun malam karena asma, aktivitas
terganggu. Daerah ini menunjukkan bahwa pasien sedang mendapat
serangan asma.sehingga obat-obat anti asma perlu ditingkatkan atau
ditambah antara lain agonis beta 2 hirup dan bila perlu kortikosteroid
27
oral. Mungkin pula tahap pengobatan yang sedang dipakai belum
memadai, sehingga perlu dikaji ulang bersama dokternya.
3. Merah Berarti Bahaya
Nilai APE di bawah 60% nilai prediksi. Bila agonis beta 2 hirup tidak
memberikan respon, segera mencari pertolongan dokter. Bila dengan
agonis beta 2 hirup membaik, masuk ke daerah kuning, obat
diteruskan sesuai dengan wilayah masing-masing. Pada wilyah
merah, kortikosteroid oral diberikan lebih awal dan diberikan
oksigen.4
28
BAB IIIKESIMPULAN
Kesimpulan
1. Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;
penyempitan ini bersifat reversible.
2. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa
3. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
beberapa sel, Pelepasan mediator, Mengaktivasi sel target saluran napas,
bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan
stimulasi refleks saraf.
4. Faktor Resiko Asma :faktor genetik,lingkungan, dan faktor lain.
5. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena
pekerjaan.
6. Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma dan
gejala.
7. Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
8. Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri akut,
emboli paru, dan penyakit lainnya.
9. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum, atelektasis, dll.
10. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan menurut GINA
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma (GINA), 2011. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Avaible from: http//www. GINA_Report_2011-
1.com (accessed at 14 mei 2014)
2. Anonim,“referat-asthma-bronkial-doc.”(diakses tanggal 14 mei 2014)
3. Perhimpunan Dokter Paru INdonesia. 2003. Pedoman Diagnosa dan
Penatalaksanaan di Indonesia: Jakarta
4. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta
30
31