Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Mata Pelajaran Bahasa Inggris
Bab I : Pendahuluan
Seiring dengan adanya kesadaran-kesadaran baru tentang apa yang diperlukan
oleh bangsa Indonesia dalam menghadapi globalisasi yang mengharuskan warga negara
ini untuk berkomunikasi dengan warga dunia lainnya, dilakukanlah usaha untuk meninjau
dan menata kembali kurikulum mata pelajaran di semua jenjang persekolahan di
Indonesia. Disadari bahwa untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dapat bertahan
dalam era global maka pendidikan, termasuk pendidikan bahasa Inggris, harus mampu
memberi bekal yang memadai agar lulusan sekolah dapat berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan akademik, sosial, ekonomi dan sebagainya yang pada dasarnya merupakan
realisasi dari gaya hidup moderen. Kemampuan untuk mengambil bagian aktif dalam
kehidupan ini dirumuskan dengan istilah kompetensi.
Richards (2001:129) menyebutkan bahwa istilah kompetensi mengacu kepada
perilaku yang dapat diamati yang diperlukan untuk menuntaskan kegiatan sehari-hari
dengan berhasil. Jika dilihat dari sudut pandang ini, maka hasil pembelajaran seharusnya
juga dirumuskan sesuai dengan harapan pihak-pihak yang akan menggunakan lulusan
sekolah sehingga rumusannya berhubungan dengan pekerjaan yang akan dipilih siswa.
Konsep ini ternyata juga diadopsi di negara-negara seperti Amerika dan Australia dalam
konteks pengajaran bahasa yang dikenal dengan Competency-Based Language Teaching
yang disingkat CBLT. CBLT didasarkan kepada model rancangan kurikulum yang
memperhatikan faktor efisiensi ekonomi dan sosial yang memberikan kemampuan
kepada siswanya untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat (Richards
2001:132)
Perkembangan terkini yang terjadi di negara seperti Australia dan Amerika
Serikat menunjukkan pergerakan menuju pengembangan “standar”. Standar, atau yang
lazim disebut benchmark, diterapkan untuk mengukur tingkat literasi (kewicaraan dan
keaksaraan) siswa. Silabus bahasa Inggris sekolah dasar Australia, misalnya, secara jelas
1
merumuskan standar literasi apa yang diharapkan dicapai siswa pada tiap akhir tahun
pelajaran. Di Amerika Serikat, pengajaran bahasa kedua dan bahasa asing pun telah
memasuki era standar ini. Organisasi profesi pengajar bahasa Inggris TESOL, misalnya,
telah mengembangkan standar-standar dalam bentuk kompetensi yang harus dicapai
siswa mulai taman kanak-kanak hingga kelas dua belas (Richards 2001:133). Tujuannya
tak lain adalah untuk memberi kemampuan kepada lulusan agar dapat berpartisipasi
dalam dunia yang senantiasa berubah.
Selain kesadaran-kesadaran baru yang dimotivasi oleh perubahan praktis dalam
kehidupan sehari-hari, terjadi pula kesadaran-kesadaran baru pada tataran teoretis atau
filosofis yang membentuk paradigma baru dalam memaknai pengajaran bahasa.
Pemaknaan baru yang antara lain disebabkan oleh hasil-hasil penelitian di bidang
linguistik terapan otomatis mempengaruhi kurikulum pengajaran bahasa. Ini adalah
perubahan alami sebab pengembangan kurikulum berada dalam area linguistik terapan
(Richards 2001:2). Kemajuan-kemajuan temuan di bidang ini tampaknya juga telah
mempengaruhi kurikulum-kurikulum di negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia,
Singapura dan sebagainya. Perubahan yang cukup signifikan adalah diletakkannya
wacana atau discourse dalam posisi sentral.
Meskipun kesadaran akan pentingnya wacana dalam dunia pendidikan bahasa
telah ada selama kurang lebih tiga puluh tahunan, namun baru belakangan ini analisis
wacana memasuki jalur utama dalam pendidikan bahasa asing di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi di Eropa dan Amerika (Kern 2000:18). Pergeseran paradigma
pengajaran bahasa menuju ke pengajaran bahasa yang menyiapkan siswanya untuk
memiliki kompetensi agar dapat berpartisipasi dalam masyarakat moderen ini disebut
oleh Kern (2000:15) sebagai pendekatan literasi. Pendekatan ini menurut Kern:
- represents a style of teaching educator ought to consider if they wish to
prepare learners for full participation in societies that increasingly
demand multilingual, multicultural and multitextual competence. (Kern
2000:16)
2
Berpartisipasi dalam komunikasi bahasa berarti berpartisipasi dalam penciptaan
teks, baik lisan maupun tulis. Haliday dan Hasan (1976:1) mendefinisikan teks sebagai
wacana, lisan maupun tulis, seberapapun panjangnya, yang membentuk satu kesatuan
yang utuh. Hymes (1971:10) menyebut kemampuan berkomunikasi, yang berarti
menciptakan wacana, sebagai communicative competence. Dengan demikian, kurikulum
yang mengklaim sebagai berbasis kompetensi perlu mendefinisikan secara jelas apa yang
didimaksud dengan communicative competence.
Ketegasan mengenai kompetensi apa yang perlu dikembangkan dan bagaimana
mendefinisikan kompetensi inilah yang manandai perbedaan kurikulum ini dengan
kurikulum sebelumnya. Pembahasan mengenai konsep kompetensi yang mendasari
kurikulum ini dapat ditemukan dalam Bab II. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa
kurikulum 2004 ini berbeda dengan kurikulum pendahulunya dalam dua hal yang
mendasar. Pertama, Kurikulum ini didasarkan kepada rumusan kompetensi komunikatif
yang didefinisikan sebagai kompetensi wacana dan, kedua, untuk mencapai kompetensi
wacana tersebut digunakan pendekatan (pendidikan) literasi.
Bab II : Landasan Pengembangan
A. Yuridis (UU, PP, Kep Men)
Kurikulum ini diubah dan dikembangkan menurut ....................................
B. Empiris
Dalam Bab I di atas telah diuraikan pentingnya meninjau dan menata
kembali kurikulum sekolah, tak terkecuali kurikulum bahasa Inggris, seiring
dengan adanya kesadaran-kesadaran baru pada tataran praktis dan teoretis. Pada
tataran praktis disadari bahwa kinerja bahasa Inggris siswa Indonesia pada
umumnya belum mampu menjawab tantangan komunikasi global, sedangkan
pada tataran teoretis pendidikan bahasa perlu memiliki fokus yang jelas mengenai
kompetensi apa yang hendak dikembangkan jika siswa ditargetkan untuk dapat
berkomunikasi dalam dunia moderen.
Untuk mencapai target tersebut, kurikulum ini menetapkan terget literasi yang
dapat digunakan sebagai benchmark sebagaimana yang diusulkan Wells (1987).
3
Menurut Wells, terdapat empat tingkat literasi: performative, functional,
informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca
dan menulis, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan; pada tingkat
fungtional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari seperti membaca surat kabar, membaca manual dsb;
pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan
dengan bahasanya; sedangkan pada tingkat epistemic orang diharap dapat
mentransformasi pengetahuan dalam bahasa tertentu.
Dalam kurikulum ini, lulusan SLTP ditargetkan untuk dapat mencapai
tingkat functional untuk tujuan komunikasi “survival”, sedangkan lulusan SMU
diharapkan mencapai tingkat informational karena mereka disiapkan untuk masuk
ke perguruan tinggi. Oleh karenanya, jenis-jenis teks yang disarankan adalah jenis
yang mendukung tercapainya tingkat literasi akademik ini. Bahan-bahan bacaan
yang dikembangkan diharapkan meliputi genre yang ditetapkan untuk tujuan
literasi ini.
Rumusan kompetensi utama yang utuh (yakni kompetensi wacana) ini
tidak secara jelas tercantum dalam kurikulum sebelumnya. Perbedaan lainnya
ialah dalam hal pendekatan. Kurikulum sebelumnya menyarankan digunakannya
pendekatan komunikatif sedangkan kurikulum ini menggunakan pendekatan
pendidikan literasi. Penerapan pendekatan komunikatif dalam konteks bahasa
kedua atau bahasa asing dirasa berhasil dalam mendorong keberanian siswa untuk
berkomunikasi, namun gagal dalam membuat siswa berkomunikasi secara akurat.
Sejumlah laporan penelitian yang dirangkum dalam Focus on Form (Daughty,
19…) menunjukkan perlunya unsur noticing terhadap tata bahasa agar siswa
terbiasa berkomunikasi dengan benar. Ini disarankan sebab tanpa tata bahasa yang
benar komunikasi yang benar tidak dapat dijamin. Dalam pendekatan literasi
dalam konteks bahasa asing, focus on form ini mendapatkan perhatian.
Singapura, negara tetangga terdekat yang menggunakan bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua juga telah memperbaharui dan menggunakan kurikulum
2001 yang di dalamnya secara jelas mencantumkan perlunya siswa berbahasa
Inggris yang internationally acceptable. Artinya, bahasa Inggris siswa haruslah
4
bahasa Inggris yang gramatikal yang berterima di kalangan pergaulan
internasional. Kurikulum ini juga telah melihat pendidikan bahasa Inggris sebagai
pendidikan literasi dengan memajankan siswa kepada jenis-jenis teks atau genre
yang dipelajari oleh anak-anak penutur bahasa Inggris asli. Pendidikan bahasa
dilihat sebagai pendidikan yang mengembangkan kemampuan berwacana lisan
dan tulis sebagaimana juga dinyatakan dalam Kurikulum Bahasa Inggris
Indonesia 2004.
C. Teoretis
Kurikulum 2004 ini menggunakan beberapa landasan teoretis yang
meliputi model kompetensi komunikatif yang dirancang oleh sekelompok ahli
Amerika (Celce Murcia et al. 1995), teori (model) bahasa fungsional, atau bahasa
sebagai semiotika sosial, yang dipelopori oleh ahli bahasa asal Inggris M.A.K.
Halliday (1978), serta teori literasi dan penerapannya dalam pengajaran bahasa
(Kern 2000). Penjelasan yang diberikan oleh Kern ini sebenarnya merupakan
rangkuman dari praktek pendidikan literasi yang telah dipraktekkan di Inggris,
Australia, Amerika Utara dan di negara maju lainnya.
1. Model Kompetensi
Model kompetensi Celce-Murcia et al. (1995) dipilih dari sejumlah model
kompetensi yang ada sebab model ini sengaja dibangun untuk tujuan memberikan
pedoman bagi mereka yang meneliti atau berurusan dengan bidang pendidikan
bahasa. Model ini tidak sama sekali baru, tetapi merupakan hasil “evolusi” dari
model-model yang berkembang sebelumnya terutama model Canale (1983) yang
menjadi basis pengembangan model-model lainnya. Dalam model kompetensi
Celce-Murcia et al. ini (1995) kemampuan berkomunikasi dimaknai sebagai
kompetensi (ber)wacana. Model tersebut digambarkan sebagai berikut:
5
Diagram 1: Model Kompetensi Komunikatif (Celce Murcia et al. 1995:10)
Representasi skematik di atas menunjukkan bahwa kompetensi utama yang dituju
oleh pendidikan bahasa adalah kemampuan berkomunikasi atau Discourse
Competence atau Kompetensi Wacana (KW). Artinya, jika seseorang berkomunikasi
baik secara lisan maupun tertulis orang tersebut terlibat dalan wacana sebab makna
apapun yang ia peroleh dan ia ciptakan selalu terkait dengan konteks budaya, situasi
yang melingkupinya. Berpartisipasi dalam percakapan, membaca dan menulis secara
otomatis mengaktifkan kompetensi wacana yang berarti menggunakan seperangkat
strategi atau prosedur untuk merealisasi nilai-nilai yang terdapat dalam unsur-unsur
bahasa, tata bahasa, isyarat-isyarat pragmatiknya dalam menafsirkan dan
mengungkapkan makna (McCarthy dan Carter 2001:88).
Kompetensi wacana hanya dapat diperoleh jika siswa memperoleh kompetensi
pendukungnya seperti Kompetensi Linguistik (Linguistic Competence), Kompetensi
Tindak Tutur untuk bahasa lisan atau Kompetensi Retorika untuk bahasa tulis
(keduanya tercakup dalam Actional Competence), Kompetensi Sosiokultral
6
Socio-cultural
competence
Actional Competence
Linguistic Competence
Strategic Competence
Discourse Competence
(Sociocultural Competence), dan Kompetensi Strategis (Strategic Competence).
Celce-Murcia et al. menjabarkan tiap komponen ini menjadi seperangkat sub-
komponen yang dapat dipakai sebagai pedoman bagi pembelajaran bahasa.
Seperangkat sub-komponen tersebut sangat membantu dalam mengidentifikasi apa
saja yang perlu ditangani atau dicakup oleh sebuah program pendidikan bahasa
sebagai declarative knowledge; pengetahuan tentang seluk beluk bahasa.
Implikasi pedagogisnya adalah bahwa perumusan kompetensi dan hasil belajar
bahasa Inggris perlu didasarkan kepada komponen-komponen tersebut di atas untuk
menjamin bahwa kegiatan pendidikan yang dilakukan mengarah kepada tercapainya
satu kompetensi utama, yakni kopetensi wacana. Oleh karenanya, hasil-hasil belajar
dalam kurikulum ini dirumuskan berdasarkan kelima komponen dalam model
kompetensi ini. Selanjutnya, setiap hasil belajar dijabarkan berdasarkan daftar sub-
komponen dan pertimbangan-pertimbangan lain yang relevan.
Penting untuk dicatat bahwa seperangkat komponen yang berupa daftar tersebut
bukan representasi kompetensi wacana karena Kompetensi Wacana lebih mengacu
kepada strategi atau prosedur untuk ‘memobilisasi’ seluruh declarative
knowledge dalam konteks komunikasi nyata untuk menciptakan makna yang sesuai
konteks komunikasinya. Kemampuan ini lazim disebut procedural knowledge. Ini
berarti bahwa pengajaran bahasa tidak dapat dipecah-pecah per kelompok kompetensi
(linguistic, actional, sociocuktural, strategic, discourse) melainkan diarahkan kepada
pemerolehan kompetensi wacana dengan melihat kepada kelompok kompetensi
sebagai alat monitor yang membantu penyadaran akan adanya komponen tersebut.
2. Model Bahasa
Landasan teori utama yang kedua adalah teori bahasa fungsional M.A.K. Halliday
(1978) yang digambarkan dengan model stratifikasi dan metafungsi sebagaimana
terlihat dalam diagram 2 dan 3 berikut ini.
7
Diagram 2: Stratifikasi Bahasa (Matthiessen 1995:9)
Diagram Matthiessen (1995) di atas menunjukkan kegiatan apa yang
terlibat dalam kegiatan berkomunikasi. Pertama, orang berkumunikasi karena
mempunyai makna yang harus disampaikan. Makna tersebut tentunya makna yang
dimiliki dan difahami oleh masyarakat penggunanya. Dengan kata lain, orang
memilih makna dari sekian banyak makna yang ada dalam konteks budaya bahasa
tersebut. Misalnya, untuk mengumumkan bahwa anak Bapak Hendra telah menikah
(dan ini biasa dilakukan oleh anggota masyarakat lainnya), Pak Hendra perlu
melakukan banyak hal. Jadi, maksud “mengumumkan” (dengan cara tertentu)
tersebut masih pada tataran yang paling tinggi, yakni tataran sistem budaya.
Salam rangka mengumumkan, orang kemudian memilih berbagai tindak tutur
pada tataran di bawahnya, yakni sistem semantis (discourse semantic), seperti
meminta tolong, mengundang, memesan, memberi perintah dan sebagainya. Untuk
melakukan tindak-tindak tutur ini orang perla menggunakan kemampuan atau
kompetensi linguistiknya, yakni tata bahasa, kosa kata atau leksikogramatika. Tataran
leksilogramatika ini merealisasi tataran semantis. Estela ia memutuskan untuk
menggunakan kalimat tertentu, kemudia orang merealisasinya dengan bunyi-bunyi
atau tulisan (fonologi atau grafologi).
8
Model ini menunjukkan bawa ketika orang berkomunikasi, ia berangkat dari
makna, bukan dari kata-kata dan tata bahasa. Sebuah makna (tindak tutur)
“mengundang” misalnya, bisa direalisasikan dalam berbagai macam ungkapan
(kalimat) tergantung siapa yang diundang (orang tua, anak-anak, teman sebaya dll.),
jalar yang digunakan (lisan atau tulis) faktor-faktor lainnya. Setelah gaya bahasanya
dipilih, kemudian orang merealisasikannya dalam bunyi atau tulisan. Pada tahap ini
pun, biasanya terdapat variasi. Kepada orang tua, misalnya, orang cenderung
berbicara dengan jelas dan cukup nyaring, sementara kepada teman remaja sebaya
cara pengucapan bunyi mungkin dilakukan dengan gaya yang lain.
Berdasarkan teori ini, kemampuan berkomunikasi ditengarai dengan cara
seberapa mampu seseorang merealisasi makna yang ingin ia sampaikan dalam
berbagai konteks komunikasi. Jika makna yang dimaksudkan dapat difahami dengan
baik oleh mitra komunikasinya, dan mitra komunikasinya memberikan tanggapan
yang menunjukkan pemahaman, maka komunikasi ini berhasil. Oleh karenanya,
tindak bahasa (tindak tutur atau langkah retorika) menjadi unit atau satuan penting
dalam rangka mengembangkan kompetensi wacana.
Akan tetapi, makna bukanlah sebuah entitas yang memiliki bentuk fisik yang
dapat dilempar ke sana dan ke sini dalam bentuk yang tidak berubah. Makna adalah
sesuatu yang abstrak dan pemaknaannya tidak hanya tergantung kepada
pembicaranya, tetapi juga tergantung kepada kemampuan lawan bicara untuk
memaknai ujaran orang. Dalam sebuah ujaran, terdapat nuansa-nuansa makna yang
diungkapkan dan perlu difahami. Nuansa-nuansa makna yang abstrak ini dirumuskan
oleh Halliday (1978) dalam istilah metafunction atau diversivikasi makna.
Matthiessen (1995) manggambarkan nuansa-nuansa makna sebagai berikut.
9
Diagram 3: Diversivikasi Makna (Matthiessen 1995:19)
Diagram 3 menunjukkan bahwa paling tidak terdapat tiga macam makna
dalam setiap ujaran yakni: makna ideasional (ideational), makna interpersonal
(interpersonal) dan makna tekstual (textual). Contoh berikut dapat dijadikan
ilustrasi:
a. He yelled at me loudly in front of the office.
b. He didn’t yell at me loudly in front of the office.
c. Did he yell at you loudly in front of the office?
d. Yell at me loudly in front of the office!
Ujaran a, b, c, d mengandung makna ideasional yang kurang lebih sama; artinya,
manusia yang terlibat sama, kata kerjanya sama, lokasinya sama, adverb-nya juga
sama. Akan tetapi, keempatnya menjadi tidak sama dalam hal makna
interpersonal atau makna pragmatiknya. Kalimat a. bermakna ‘Aku mengatakan
kepadamu bahwa dia …’; kalimat b. bermakna ‘Aku menyangkal bahwa dia…’;
kalimat c. bermakna ‘Aku bertanya kepadamu apakah dia…’; sedangkan kalimat
d. bermakna ‘Aku meminta kepadamu agar kamu…’. Makna ini dapat diketahui
dari struktur kalimatnya: deklaratif, interogatif, imperatif.
10
Makna tekstual diperoleh dari penyusunan kata (atau unsur kalimat) dalam
sebuah ujaran atau teks. Kata apa saja yang terletak paling depan menjadi Tema
(Theme) dalam klausa dan selebihnya disebut Rema (Rheme). Tema adalah titik
berangkat dari suatu pesan sehingga Tema menjadi konteks lokal bagi bagian
lainnya yang disebut Rema (perlu dicatat bahwa label semantis ini huruf awalnya
selalu ditulis dengan huruf besar). Jika sebuah kata diletakkan di awal kalimat
atau klausa, maka kata tersebut ditemakan dan menjadi penting. Contoh berikut,
yang merupakan petikan syair lagu, menunjukkan hal ini.
Malam yang dingin aku sendiri.
Dingin-dingin hati ini tambah dingin, entah mengapa dst.
Petikan lagu di atas dimulai dengan ‘malam yang dingin’ dan tidak dimulai
dengan subjek ‘aku’. Seandainya kita ubah susunannya menjadi ‘Aku sendiri di
malam dingin’ makna ideasionalnya tidak berubah bukan? Akan tetapi, di sini
yang dipentingkan adalah ‘aku’nya, dan aku menjadi prominent padahal penulis
lagu ingin menonjolkan ‘malam yang dingin’ (barangkali) agar lebih menyentuh.
Baris kedua juga demikian. Ada alasan mengapa penulis lagu tidak menyusunnya
seperti ini ‘Entah mengapa hati ini tambah dingin’ seperti bahasa sehari-hari.
Penulis mentemakan ‘dingin-dingin’ dengan meletakkannya di awal kalimat agar
‘dingin’ tersebut dominan, menjadi konteks dan menjadi perhatian. Ulasan ini
menunjukkan bahwa makna juga diperoleh dari tata letak kata dalam kalimat.
Dalam konteks pengajaran bahasa Inggris, metafungsi ini menjadi penting
sebab teks apapun yang dipajankan kepada siswa mengandung nuansa-nuansa
makna. Sebuah teks percakapan, misalnya, selayaknya menonjolkan berbagai
makna interpersonal sebab dalam konteks inilah makna interpersonal (tindak
tutur) bermain peran. Dalam bahasa tulis, makna ideasional biasanya dominan,
sedangkan makna textual berperan dalam kedua jalur komunikasi tersebut.
Implikasinya dalam implementasi kurikulum ialah bahwa susunan kalimat atau
tata bahasa merupakan bagian yang tidak dapat diremehkan sebab pengendalian
makna secara cermat sangat tergantung kepada kemampuan mengendalikan tata
11
kalimat. Jika target pendidikan bahasa adalah kemampuan berkomunikasi yang
berterima di kalangan pergaulan internasional maka kurikulum perlu menangani
aspek nuansa makna ini secara serius.
Berdasarkan teori Halliday ini, Hammond et al. (1992) mengembangkan
model bahasa (hubungan konteks budaya, konteks situasi dan teks) yang
menggambarkan bagaimana konteks mempengaruhi teks. Dengan memandang
bahasa sebagai alat komunikasi sosial maka model bahasa yang digunakan
sebagai landasan teori dalam kurikulum 2004 adalah model yang meletakkam
bahasa dalam konteks budaya dan konteks situasi. Tentang bagaimana konteks
(baik budaya maupun situasi) berpengaruh langsung kepada bahasa dan
pendidikan bahasa akan dibahas di bagian berikut ini.
a) Konteks Budaya
Di bagian A, di atas, kita telah melihat bahwa bahasa sebagai salah satu
sistem komunikasi digunakan oleh orang-orang yang berada dalam konteks
budaya yang sama. Maka, bahasa digunakan dalam sebuah konteks budaya yang
dapat digambarkan sebagai berikut:
12
Diagram 4: Hammond et al. 1992:1
Diagram ini menunjukkan bahwa sebuah konteks budaya melahirkan
berbagai genre atau jenis teks. Dalam budaya Inggris, misalnya terdapat jenis teks
naratif, deskriptif, recount, laporan, percakapan transaksional dsb. yang sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, siswa penutur asli pun
perlu belajar bagaimana berceritera tentang kejadian-kejadian nyata yang sudah
dialami (recount) baik secara lisan maupun secara tulis meskipun bahasa Inggris
bukan bahasa asing. Ini diperlukan sebab untuk menjadi warga negara yang
terdidik dan beradab, anak perlu belajar berkomunikasi secara teratur. Untuk
berceritera secara tulis, misalnya, diperlukan langkah orientasi, diikuti oleh urutan
kejadian dan biasanya ditutup oleh re-orientasi atau twist (bagian yang lucu).
Berikut adalah contoh yang diambil dari Gerot dan Wignell (1995:193)
13
Konteks Budaya
Genre
Konteks Situasi
Tenor
Field Mode
Register
TEXT
Penguin in the Park
Orientasi
Once a man was walking in a park when he came across a penguin.
Kejadian 1
He took him to a policeman and said, ‘I have just found a penguin. What
should I do?’ The policeman replied, ‘Take him to the zoo’.
Kejadian 2
The next day the policeman saw the same man in the same park and the
man was still carrying the penguin with him. The policeman was rather
surprised and walked up to the man and asked, ‘Why are you still carrying
that penguin about? Didn’t you take it to the zoo?’ ‘I certainly did.’
replied the man.
Twist (penutup yang lucu)
‘and it was a great idea because he really enjoyed it, so today I’m taking
him to the movies!’
Teks tulis di atas amat pendek dan sederhana, tetapi disusun dengan
struktur yang memudahkan orang memahami urutan kejadiannya dan memahami
bahwa fungsi teks tersebut untuk menghibur karena penutupnya lucu. Jadi, agar
penulis mencapai tujuan komunikatifnya ia tidak hanya harus menggunakan
kalimat yang gramatikal tetapi juga susunan atau struktur teks yang menunjang
tujuan itu.
Dengan menyadari adanya struktur teks semacam ini guru bahasa Inggris
akan lebih peka atau sensitif dalam memilih bacaan yang digunakan untuk
mengajar. Ini dimaksudkan agar siswa terbiasa dengan teks-teks yang tersusun
14
dengan baik atau yang disusun sebagaimana layaknya susunan yang biasa
digunakan penutur asli. Susunan semacam ini tidak hanya berlaku bagi teks tulis
tetapi juga pada teks lisan.
Dalam percakapan transaksional, misalnya meminta bantuan seseorang,
siswa juga perlu belajar tata krama dalam arti bukan hanya memilih bahasa yang
baik tetapi juga tidak melupakan langkah-langkah yang lazim diambil oleh
penutur asli. Biasanya percakapan itu dimulai dengan meminta permisi,
menyatakan maksud, mengucapkan terima kasih, ucapan selamat berpisah, dan
merespon terhadap tindak tutur dengan benar. Berikut adalah contoh percakapan
antara pembeli dan penjual di toko daging.
Seller : Good morning, Madam. How can I help you?
Buyer : Morning! What have you got today?
Seller : We’ve got some nice veal, on sale.
Buyer : Lovely. May I have two of those, please.
Seller : Two pieces of tenderloin?
Buyer : Yes, please.
Seller : Anything else, Madam?
Buyer : That’s it for today. Thanks.
Seller : Okay. That’ll be two dollars fifty.
Buyer : Here you are. Thanks.
Seller : Thanks very much. Have a nice day.
Buyer : Thanks. You too.
Jika diperhatikan, untuk melakukan percakapan transaksional sederhana
seperti contoh di atas siswa tidak hanya dituntut untuk dapat membuat kalimat
yang gramatikal. Lebih dari itu, siswa harus mengetahui dan menempuh tahap-
tahap pembicaraan yang terstruktur sesuai dengan budaya penutur asli. Pertama,
sangat lazim bagi penjual untuk memberi salam dan menawarkan bantuan (How
can I help you?), kemudian diikuti tahap transaksi. Setelah selesai terjadi langkah-
langkah menuju perpisahan yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan seperti
Have a nice day; You too yang barangkali tidak biasa dilakukan oleh orang
15
Indonesia. Jadi, sebuah percakapan yang “lengkap” biasanya memiliki tahap
“pembuka + transaksi + penutup” yang semuanya direalisasikan dalam bahasa
yang berterima.
Teks tulis jenis recount, percakapan jual beli, dan yang lainnya adalah jenis-
jenis teks atau genre yang lahir dalam budaya Inggris. Wajar kiranya jika siswa
belajar bahasa Inggris ia harus menata teksnya sebagaimana yang dilakukan oleh
orang Inggris. Jika pengajaran bahasa Inggris hanya terfokus kepada bahasa yang
benar secara gramatika, besar kemungkinan siswa pandai mengerjakan soal-soal
ujian tetapi tidak trampil berkomunikasi karena tidak terbiasa mengambil
langkah-langkah komunikatif yang berterima. Banyak contoh kongkrit yang
membuktikan bahwa komunikasi sangat tergantung kepada pengetahuan tentang
struktur teks.
Contohnya, beberapa orang Indonesia akan mengikuti seminar di kota Sydney
dan mereka mencoba memesan taksi dengan cara menelepon perusahaan taksi
dari hotel. Sayangnya, tak seorangpun dari mereka yang berhasil melakukan
pembicaraan telepon tersebut sehingga mereka sepakat untuk turun ke jalan dan
mencegat taksi yang lewat. Orang-orang Indonesia ini bukan orang yang tidak
pandai berbahasa Inggris; mereka bahkan mampu mempresentasikan makalah
dalam seminar internasional. Yang tidak mereka miliki adalah pengetahuan atau
pengalaman bahwa untuk memesan taksi lewat telepon orang perlu mengetahui
kebiasaan atau urut-urutan pertanyaan yang biasanya diajukan oleh penerima
telepon di perusahaan taksi. Kegagalan komunikasi sering terjadi bukan hanya
pada tingkat kalimat tetapi juga pada tingkat genre.
Ilustrasi diatas membuka wawasan tentang adanya keterkaitan langsung antara
budaya dan bahasa dan antara konteks budaya dan pendidikan bahasa. Konteks
budaya direalisasikan dalam bahasa.
b) Konteks Situasi
Di atas telah dijelaskan bahwa bahasa terletak dalam satu konteks budaya,
dan konteks budaya melahirkan berbagai macam teks. Di bagian ini akan dibahas
16
konteks yang lebih kecil, yaitu konteks situasi atau yang disebut para ahli dengan
context of situation.
Setiap peristiwa komunikasi terjadi dalam konteks situasi. Ceritera
penguin di atas dapat menjadi ilustrasi. Yang dilakukan penulis adalah berceritera
(recount) dalam bentuk tulis karena penulis tidak bertemu dengan pembacanya.
Maka penulis memilih bahasa yang biasa digunakan dalam bahasa tulis. Akan
tetapi, kita bisa juga menceriterakan kejadian ini secara lisan. Karena jenisnya
recount maka kita tetap bisa menggunakan susunan yang sama, tetapi pilihan
bahasanya menjadi lain; tidak seperti membaca teks. Ketika berceritera, tentu
orang mempertimbangkan siapa pendengarnya, lebih tua atau lebih muda,
bagaimana situasinya: sedang serius atau santai dsb. Suasana ini oleh orang awam
disebut konteks. Namun demikian, ada istilah teknis yang perlu difahami untuk
menjelaskan konteks situasi.
Seperti terlihat dalam model yang menunjukka hubungan konteks dan
bahasa di atas, konteks situasi memiliki tiga unsur yakni field, tenor dan mode
(Halliday 1985a). Ketiga unsur ini mempengaruhi pilihan bahasa seseorang. Field
mengacu kepada apa yang sedang berlangsung atau yang sedang dibicarakan
dalam sebuah teks atau subject matter-nya. Misalnya, dalam ceritera Pinguin di
atas yang dibicarakan meliputi orang atau pihak yang terlibat, yakni orang yang
menemukan pinguin, polisi dan burung pinguin. Pinguin ini ditemukan di taman,
dibawa ke kebun binatang, kembali lagi ke taman dsb. Maka Field menjawab
pertanyaan tentang siapa, melakukan apa, di mana, dengan cara apa dsb.
Tenor mengacu kepada hubungan interpersonal antara pihak-pihak yang
terlibat atau who is involved. Misalnya, jika dalam ceritera Pinguin terdapat dua
manusia yakni the man dan polisi, maka hubungan interpersonal dua orang
tersebut akan berpengaruh terhadap pemilihan bahasa. Dalam ceritera Pinguin,
hubungan kedua orang tersebut tampak setara; artinya, penemu pinguin tidak
takut kepada polisi atau sebaliknya sehingga dipilih bahasa yang akrab.
Seandainya saja pembicaraan ini terjadi antara penemu pinguin dan ratu Inggris,
yang hubungan interpersonalnya tidak setara, dapat dipastikan bahasa yang
digunakan akan berbeda.
17
Contoh lainnya (Eggins 1994), jika seorang ibu muda sedang susah karena
bayinya menangis terus di malam hari dan ia ingin membicarakan masalahnya
dengan sesama ibu maka tentunya menggunakan menggunakan bahasa ragam
lisan yang santai karena hubungan ibu ini dengan sesama teman setara. Ini
pembicaraan dua orang yang sama-sama memiliki pengalaman serupa. Akan
tetapi, kalau seorang dokter menulis di majalah mengenai mengapa bayi menangis
di malam hari, maka dokter ini berperan sebagai orang yang lebih tahu (ahli) dan
memberi informasi kepada pihak yang kurang tahu. Di sini hubungan
interpersonalnya tidak setara, maka pemilihan bahasanya pun berbeda
dibandingkan dengan bahasa dua ibu yang sama-sama kurang tahu tentang bayi.
Dengan kata lain, tenor atau hubungan interpersonal orang yang terlibat dalam
komunikasi mempengaruhi pilihan bahasa secara langsung.
Unsur yang ketiga adalah mode. Mode mengacu kepada jalur komunikasi
atau channel yang kita gunakan yakni lisan dan tulis. Misalnya, jika orang
menceriterakan kisah Pinguin di atas secara lisan maka bahasa yang digunakan
akan cenderung berbeda dengan bahasa tulis yang kita lihat di atas. Barangkali ia
akan menggunakan gaya bahasa lisan yang kurang lebih begini:
I tell you what. There was this man, you know… walking in a park. Suddenly he
saw a penguin, a cute one you know… like this [sambil menirukan cara jalan
penguin], so he took it with him. Actually he didn’t know what to do, so he took it
to the policeman. He told the policeman what happened and asked what to do
with the bird… dsb.
Contoh di atas menunjukkan bahwa mode atau jalur komunikasi akan
menentukan pilihan atau ragam bahasa kita. Bahasa lisan cenderung lebih panjang
dan banyak klausanya sebab pendengar hanya mengandalkan telinganya sehingga
pembicara harus memastikan bahwa ia difahami. Dalam bahasa tulis, kalimatnya
cenderung ringkas dan padat kata sebab pembaca masih dapat mengulang
seandainya ada bagian yang kurang difahami. Kesimpulannya adalah bahwa
konteks situasi (field, tenor dan mode) menentukan bahasa yang dipilih.
18
Pengetahun akan hal ini akan mempengaruhi materi ajar yang bagaimana yang
sebaiknya dikembangkan.
Selanjutnya, konteks situasi melahirkan register. Register adalah sebuah
variasi bahasa menurut penggunaannya. Dengan kata lain, register adalah apa
yang kita bicarakan waktu itu dan ini tergantung kepada apa yang sedang kita
kerjakan pada saat itu ketika bahasa berfungsi (Halliday 1985a:41). Artinya,
pamaknaan terhadap bahasa yang digunakan orang tergantung konteks situasi.
Misalnya, orang menggunakan kata ‘bunga’ dalam satu percakapan. Makna kata
‘bunga’ tersebut tergantung kepada apa yang sedang dibicarakan dan kegiatan apa
yang sedang dilangsungkan. Jika orang berada di bank dan membicarakan
investasi maka ‘bunga’ berarti ‘interest’; jika ia sedang memesan bunga untuk
pesta maka kata ‘bunga’ berarti ‘flower’. Begitu pula pemaknaan terhadap aspek
yang lainnya.
c) Teks
Menurut pengertian umum, teks adalah tulisan yang sering kita baca. Akan
tetapi, pengertian teks secara teknis sebenarnya lebih dari itu. Tampaknya teks
memang seakan-akan ‘terbuat’ dari kata-kata, tetapi sebenarnya teks ‘terbuat’ dari
makna. Istilah teknisnya, teks bukanlah satuan kata melainkan satuan semantis
atau semantic unit (Halliday 1985a:10). Makna ini kemudian direalisasikan
dalam kata, klausa atau kalimat. Misalnya, kata ‘kursi’ disepakati oleh orang
Indonesia sebagai realisasi makna sebuah benda yang biasa diduduki orang. Entah
bagaimana sejarahnya sehingga benda tersebut direpresentasikan dengan kata
‘kursi’ dan bukan ‘meja’. Yang penting adalah bahwa jika ada orang mengatakan
‘kursi’ maka benda itulah yang dibayangkan orang. Hubungan makna ‘kursi’ dan
ucapan atau bunyinya tidak jelas tetapi orang menyepakatinya sebab tanpa
dibunyikan atau dituliskan maka makna tak tersampaikan.
Karena teks adalah satuan makna maka teks mencakup makna yang
diungkapkan lewat jalur lisan maupun tulis. Ketika orang bercakap-cakap, orang
tersebut meciptakan teks; demikian juga ketika orang tersebut menulis. Sebuah
19
percakapan atau tulisan yang maknanya dapat difahami dan dinalar disebut teks.
Maka, jika ada dua orang sama-sama berbicara tetapi masing-masing berbicara
semaunya dan ‘tidak bermakna’ (misalnya orang gila) maka apa yang mereka
katakana sulit disebut teks karena tidak terlihat hubungan semantisnya. Demikian
pula kalau kita menulis sepuluh kalimat lalu kita urutkan kalimat-kalimat tersebut
secara acak maka hasilnya sulit disebut teks sebab membingungkan pembacanya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang kita lakukan sewaktu orang
berkomunikasi sebenarnya adalah menciptakan teks, baik bersama (dalam
percakapan) maupun sendiri (dalam ceramah, tulisan dsb.). Pada saat orang
mendengarkan dan membacapun ia terlibat dalam pertukaran makna. Halliday
(1985ª:11) menyebut teks sebagai “a social exchange of meanings”.
Pemahaman akan teks ini penting sebab komunikasi pada dasarnya adalah
pertukaran makna dan tukar-menukar ini menghasilkan teks. Tidak salah jika
dikatakan bahwa ketika orang berkomunikasi, lisan ataupun tulis, orang terlibat
dalam kegiatan penciptaan teks. Kegiatan bercakap adalah kegiatan penciptaan
teks dengan lawan bicara hadir di depan pembicara; kegiatan menulis juga
penciptaan teks dengan pembaca yang tidak hadir di depan penulis. Jika
demikian, tugas pendidikan adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk
dapat berpartisipasi dalam penciptaan teks. Dengan kata lain, tugas guru bahasa
adalah mengembangkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi atau untuk
saling bertukar makna dengan berbagai nuansanya
3. Pendidikan Literasi
Di atas telah dikemukakan bahwa salah satu teori yang melandasi
kurikulum 2004 adalah teori pendidikan literasi (Kern 2000). Teori ini pada
dasarnya melihat pendidikan bahasa sebagai pendidikan komunikasi yang
menyiapkan warga siswa agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
profesionalnya kelak. Berpartisipasi dalam kegiatan komunikasi adalah
berpartisipasi dalam penciptaan teks atau wacana. Kemampuan berwacana ini
adalah kompetensi utama yang ditargetkan untuk dicapai oleh Kurikulum 2004.
Dapat disimpulkan bahwa kompetensi wacana dapat diusahakan untuk dicapai
20
jika teori bahasa yang mendasari kurikulum ini adalah teori bahasa sebagai
wacana dan untuk mencapai kompetensi tersebut proses belajar mengajarnya juga
didasari oleh teori pendidikan literasi yang memperhatikan proses untuk mencapai
tujuan.
Hakekat kurikulum bahasa yang diletakkan dalam perspektif
pengembangan literasi dirumuskan oleh Kern sebagai berikut “A literacy-based
curriculum is thus neither purely structural nor purely communicative in
approach, but attempts to relate communicative to structural dimensions of
language use (Kern 2000:304). Implikasinya, Kurikulum 2004 melihat
pentingnya dimensi struktural untuk membangun dimensi komunikatif. Proses
pembelajaran untuk mencapai kompetensi komunikatif atau kompetensi wacana
akan dijabarkan dalam Bab III.
Bab III : Model Kurikulum Bahasa Inggris
A. Pendekatan
Berdasarkan landasan teori yang dibahas dalam Bab II, logika yang
digunakan dalam pendidikan bahasa Inggris adalah:
1. Kurikum ini berbasis kompetensi (Celce-Murcia et al. 1995), dan
kompetensi utama yang hendak dicapai adalah kompetensi komunikatif
yang secara teksnis berarti kompetensi wacana.
2. Karena kompetensi utamanya adalah kompetensi wacana, maka teori
bahasa yang digunakan adalah teori bahasa yang melihat bahasa sebagai
teks/wacana (Halliday 1978) atau sebagai sistem semiotika sosial. Teori
ini memandang komunikasi lisan maupun tulis sebagai proses penciptaan
wacana.
3. Berdasarkan teori Halliday tersebut, The New London Group (para ahli
pendidikan bahasa ), pada tahun 1996, mengembangkan teori pendidikan
bahasa asing dalam perspektif pendidikan literasi yang tujuan utamanya
adalah untuk mengembangkan kemampuan berwacana dalam bahasa dan
budaya baru. Kemampuan ini dirumuskan oleh Gee (dalam Kern 2000:35)
21
sebagai “ways of behaving, interacting, valuing, thinking, believing,
speaking, and often reading and writing that accepted as instantiations of
particular roles…by specific group of people”.
4. Teori psikologi tentang perkembangan bahasa yang digunakan adalah teori
Vygotsky (1978), terutama konsep Zone of Proximal Development, yang
menekankan pentingnya kehadiran orang lain dalam proses pemerolehan
bahasa. Kern merumuskan pendapat Vygotsky bahwa literasi (dan kognisi
pada umumnya) bukan “property” yang idiosinkratik dan personal yang
dimiliki seseorang, melainkan sebuah fenomena yang diciptakan oleh
sebuah masyarakat dan digunakan dan diubah oleh masyarakat tersebut
(Kern 2000:35). Perkembangan kultural anak, menurut Vygotsky
(1978:57) diaktualisasikan dalam dua tahap: pertama pada tahap sosial
atau interpsychological, dan kemudian pada tahap individual atau
intrapsycological.
Dapat disimpulkan, seluruh landasan teori yang digunakan dalam kurikulum
ini berada dalam wilayah sosiokultural. Bahasa dan pembelajarannya didekati
dari perspektif sosiokultural.
Untuk memperjelas perbedaan pendekatan pengajaran yang digunakan
terlebih dahulu, yakni pendekatan structural dan pendekatan komunikatif,
tabel Kern (2000:304) berikut ini menyajikannya secara singkat.
Structural emphasis Communicative emphasis Literacy emphasis
Knowing Doing Doing and reflecting on doing in terms of knowing
Usage Use Usage/use relations
Language forms Language functions Form-functions relationship
Achievement (i.e. display of knowledge)
Functional ability to communicate
Communicative appropriateness informed by metacommunicative awareness
22
Tabel 1: Ringkasan tujuan kurikulum berbasis pendekatan structural, komunikatif dan literasi (Kern 2000:304)
Dalam pendekatan ini, peran guru dan siswa ditandai dengan ciri tiga R,
yakni responding, revising, dan reflecting. Tiga macam peran ini dapat Anda
temukan terapannya dalam modul pedoman penyusunan rencana pengajaran. Di
sini Anda menemukan pergeseran paradigma dalam hal peran guru dan siswa
yang oleh Kern dipaparkan sebagai berikut.
Structural emphasis
Communicative emphasis
Literacy emphasis
Role models for teachers and learners
‘philologists’ or ‘linguists’
‘native speakers’ ‘discourse analysts’ and intercultural explorers’
Primary instructional role of teacher
Organizing overt instruction and transformed practice
Organizing situated practice, overt instruction, and transformed practice
Organizing critical framing as well as situated practice, overt instruction, and transformed practice
Primary mode of teacher response
Correcting (enforcing a prescriptive norm)
Responding (to communicative intent)
Responding (to language as used), focusing attention for reflection and revision
Predominant learner roles
Difference to authority: focus on absorption and analysis of material presented
Active participation (focus on using language in face-to-face interaction)
Active engagement: focus on using language, reflecting on language use, and revising
Tabel 2: Ringkasan peran guru/siswa dalam pendekatan structural, komunikatif, dan literasi (Kern 2000:312)
23
Implementasi prinsip-prinsip ini terlihat dalam tahap-tahap dan siklus
belajar mengajar dalam kurikulum ini.
B. Pengorganisasian Materi
Materi yang digunakan dalam kurikulum ini disusun menurut kompetensi
kompetensi sebagaimana yang terdapat dalam rumusan model Celce-Murcia et al.
(1995). Materi tersebut berupa butir-butir yang merupakan komponen-komponen
kompetensi yang harus diperoleh siswa pada akhir program. Butir-butir tersebut
diklasifikasi dalam lima jenis kompetensi pendukung yang meliputi: kompetensi
tindak tutur, kompetensi linguistic, kompetensi sosiokultural, kompetensi
(pembentuk) wacana, dan kompetensi strategi. Sebagai catatan, kompetensi
wacana, yakni kompetensi utama, adalah sesuatu yang abstrak yang beroperasi
dalam komunikasi nyata. Jika dalam materi terdapat butir-butir kompetensi
(pembentuk) wacana, maka ini mengacu kepada butir-butir yang berfungsi untuk
menjadikan teks sesuatu yang utuh atau unified whole. Butir-butir ini terutama
berfungsi sebagai piranti kekohesifan, struktur teks dan butir lainnya yang
mengarah ke tercapainya koherensi.
C. Pembelajaran
Proses pembelajaran bahasa didasarkan pada prinsip-prinsip
pengembangan literasi dalam bahasa Inggris. Model pengembangannya diambil
dari model yang dikembangkan oleh Hammond et al. (1992) yang melibatkan
empat tahap dan dua siklus.
1. Empat Tahap Belajar Mengajar
Jika dalam satu semester terdapat lima belas minggu efektif dan tiap
minggunya terdapat empat sesi (4 X 45 menit) maka jumlah sesinya adalah 60
sesi. Biasanya, minggu-minggu pertama SMP masih diwarnai dengan
24
pengetahuan dasar seperti greetings, basic nouns, numbers, colour dan
sebagainya. Pengenalan dasar ini bisa memakan waktu sekitar 20 sesi. Di akhir
sesi keduapuluh ini diharapkan siswa sudah dapat membuat daftar kata yang
mencakup benda-benda di sekitarnya atau yang mereka perlukan. Misalnya,
mereka dapat membuat My mother’s shopping list, Things I need for school dan
sebagainya. Maka, masih tersisa waktu sekitar 40 sesi yang dapat sudah dapat
diarahkan ke pengajaran teks prosedur, misalnya. Dengan demikian, jika dalam
satu semester terdapat dua jenis teks maka pencapaian kompetensi berbahasa lisan
dan tulis untuk satu jenis teks diperkirakan akan memakan waktu 20 sesi.
Duapuluh sesi ini menjadi satu unit atau satuan perencanaan program pengajaran
yang dapat digambarkan sebagai siklus berikut.
Diagram 1: (Hammond et al. 1992:17)
Misalnya, pada semester pertama kelas satu (karena minggu pertama
hingga ketujuh digunakan untuk perkenalan dan membahas kosa kata) guru akan
25
memulai dengan teks procedure baik lisan maupun tulis, maka guru dapat
memikirkan topik apa yang sesuai untuk jenis teks ini. Jika, misalnya, resep
sederhana dianggap sesuai karena kosa katanya mudah, tata bahasanya mudah
(imperative) makan guru dapat mentargetkan bahwa di akhir siklus pengajaran
selama 20 sesi siswa dapat menjelaskan sebuah prosedur memasak secara lisan
kepada teman-temannya dan juga dapat menulis resep masakan dengan bentuk
teks yang berterima secara mandiri. Untuk mencapai kompetensi komunikatif ini
secara umum kegiatannya dibagi menjadi empat bagian seperti yang terlihat
dalam diagram.
a. Building Knowledge of Field
Bagian pertama (misalnya, lima sesi pertama) disebut Building Knowledge
of Field (BKF) yang kegiatannya meliputi talking atau membicarakan topik yang
akan dibahas. Kegiatan ini bersifat interaktif antara guru dan siswa, siswa dan
siswa sehingga ketrampilam listening dan speaking di mulai di sini. Misalnya,
membicarakan makanan yang paling dikenal siswa seperti nasi goreng. Guru
dapat meminta siswa untuk berpartisipasi dalam mengembangkan kosa kata yang
diperlukan untuk membuat nasi goreng, mulai dari kata benda, kata kerja dan tata
bahasa yang digunakan untuk teks ini, misalnya imperative. Kegiatan belajar
membuka kamus dapat dilakukan di sini, demikian pula conjunctions sederhana
dapat dikenalkan seperti and, then, after that, finally dsb. karena kata-kata
tersebut fungsional.
Kosa kata yang dibahas boleh meluas, artinya bukan hanya untuk nasi
goreng tetapi kosa kata lain yang menarik perhatian siswa. Ini dimaksudkan agar
siswa terbiasa mengemukakan keinginannya dan rajin membuka kamus. Gambar-
gambar yang menarik dapat digunakan untuk mengenalkan siswa kepada noun
phrases yang melibatkan adjective seperti hot chili, red tomatoes dll. Perlu
ditekankan bahwa noun phrases merupakan bahasan yang penting karena akan
menjadi dasar utama dalam pengembangan bahasa tulis.
Unsur budaya dapat dibahas di tahap ini juga, misalnya, orang Indonesia
memakan nasi goreng untuk makan pagi, tetapi sebagian siswa mungkin sudah
26
mengenal makan pagi orang Inggris seperti cereal, corn flakes dll. Ini dapat
menjadi bahasa pembicaraan yang menarik karena melibatkan pengalaman yang
berbeda atau yang dialami bersama atau shared experience. Siswa atau guru dapat
membawa bekas pembungkus mi instan sebagai pemantik pembicaraan meskipun
bahasa Inggris siswa terbatas pada It’s cereal, small box dll. Jika perlu, selama
membahas topik ini siswa dapat diminta membawa kardus-kardus bekas
pembungkus susu, makanan dll. yang ditata di sudut kelas untuk menciptakan
situasi, menyegarkan ingatan dan membangkitkan motivasi. Dengan membawa
bungkus-bungkus makanan yang dikenal siswa diharapka pelajaran bahasa Inggris
benar-benar membahas topik yang kontekstual, yang dikenal siswa dalam
keseharian. Setiap kali jenis teks berganti dan topik juga berganti, barang-barang
yang dipajang juga berganti. Singkatnya, tahap BKF ini bersifat interaktif,
menyenangkan agar siswa dapat mendengarkan dan menirukan ucapan yang
benar serta berani bersuara.
2. Modelling of Text
Pada lima sesi kedua dilakukan Modelling of Text (MT) yang
dimaksudkan untuk mengenalkan teks-teks lisan maupun tulis yang berhubungan
dengan jenis teks procedure. Pada tahap ini guru menyajikan teks conversations,
misalnya, antara ibu dan anak yang sedang memasak di dapur yang melibatkan
petunjuk dan prosedur, memesan makanan di restoran, meminta tolong kepada
pelayan toko yang sederhana dan relevan dengan kehidupan anak. Percakapan-
percakapan ini melibatkan berbagai tindak tutur seperti meminta jasa, memberi
informasi yang ada hubungannya dengan prosedur masak-memasak atau pesan
memesan dsb. Di sini, bentuk imperative disertai ungkapan kesantunan seperti
please, thanks, excuse me, sorry dll. ditampilkan. Modals can, could dapat juga
digunakan meskipun bukan merupakan bahasan utama. Artinya, meskipun fokus
tata bahasanya adalah imperative dan ungkapan kesantunan yang menyertainya,
modals dapat langsung digunakan dalam model-model teks agar siswa
27
“berjumpa” dengan penggunaan modals berkali-kali sebelum dijelaskan secara
ekspilisit sebagai teori.
Teks tulis seperti resep juga dikenalkan pada tahap ini dengan
menggunakan bahasa yang khas resep; artinya, tanpa basa-basi kesantunan, padat,
ringkas dan bentuk dan unsur teksnya cenderung tetap, yakni: judul, bahan, cara
memasak, cara menghidangkan. Dalam proses ini guru juga mengajak siswa
berinteraksi dengan mendemonstrasikan conversation sekaligus melakukan
reading comprehension dalam membahas teks tertulis, misalnya resep masakan
berbahasa Inggris. Intinya, kegiatan talking (listening dan speaking) terus
berlangsung selama reading comprehension. Siswa dapat diberi tugas mencari
resep berbahasa Inggris untuk memperluas wawasannya dan membandingkan
resep mereka dengan yang dibahas guru. Selain untuk memahami makna gagasan
dalam teks, kegiatan membaca juga difokuskan ke bentuk atau struktur teks,
fungsi teks tersebut dalam masyarakat dsb.
3. Joint Construction of Text
Lima sesi ketiga digunakan untuk kegiatan Joint Construction of Text
(JCT) yang berarti siswa secara bersama-sama, misalnya dalam kelompok atau
berpasangan, menciptakan conversation sederhana mengenai cara membuat
makanan dan kemudian dapat menyusun resep makanan yang mereka bicarakan
bersama-sama. Pada tahap ini diharapkan mereka telah dibekali dengan
pengetahuan dan pengalaman pada tahap BKF dan MT sehingga mereka dapat
mencontoh dan memodifikasi contoh-contoh tersebut untuk diterapkan dalam
konteks resep yang baru.
Perlu ditekankan bahwa conversation atau resep apapun yang dihasilkan
hendaknya gramatikal dan menggunakan struktur teks yang bertemina. Khusus
untuk conversation, ungkapan-ungkapan kesantunan sederhana perlu
diperhatikan. Untuk teks tulis, ejaan, tanda baca dan konvensi lainnya menjadi
perhatian guru sehingga pada tahap ini balikan guru atau koreksi bersama perlu
dilakukan agar siswa siap untuk proses selanjutnya.
28
4. Independent Construction of Text
Lima sesi yang terakhir bertujuan melatih siswa untuk menciptakan teks
secara mandiri yang disebut Independent Construction of Text (ICT). Pada tahap
ini siswa diharapkan mampu melakukan conversation atau monolog yang
melibatkan tindak tutur yang digunakan dalam teks prosedur dalam konteks yang
baru secara mandiri atau spontan. Misalnya, seorang siswa dapat memberi
penjelasan kepada temannya tentang bagaimana membuat bakmi goreng dalam
conversation yang terkadang melibatkan monolog sehingga ia perlu menggunakan
conjunctions. Terbuka kemungkinan bagi siswa untuk membicarakan topik yang
baru sebagai pengembangan dari apa yang sudah dipelajarinya.
Dalam hal teks tulis, siswa diharapkan mampu menulis, misalnya, resep
masakan yang disukainya secara mandiri dengan menggunakan tata bahasa dan
tata tulis yang sudah dipelajarinya. Hasil tulisan tersebut harus dapat difahami
oleh pembacanya dengan baik. Siswa dapat saling bertukar resep atau
menempelkan resep-resep mereka di dinding dengan diberi ilustrasi gambar.
Siswa diharapkan merasa bangga akan hasil karyanya dan mempublikasikannya
di ruang kelas. Kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan sikap senang
menulis dan tidak malu mempublikasikan tulisan.
Penting untuk dicatat bahwa meskipun jenis teks utama yang ditargetkan
adalah jenis procedure bukan berarti bahwa teks-teks berupa dialog atau yang
lainnya tidak diperlukan. Misalnya, jika bentuk teks procedure dikombinasikan
dengan topik atau tema makanan atau resep maka teks-teks yang relevan seperti
percakapan di sekitar meja makan dapat digunakan. Percakapan yang memerlukan
banyak tindak tutur meminta atau memberi jasa atau barang, meminta atau
memberi informasi tentang resep yang digabungkan dengan percakapan lainya
akan bermanfaat bagi pengembangan teknik berwacana siswa.
Dengan dilaluinya proses yang memiliki empat tahapan tersebut
diharapkan siswa terbimbing untuk mencapai kompetensi yang mendekati apa
yang dimiliki oleh penutur asli dalam berbahasa lisan dan tulis. Dengan kata lain,
29
pada akhir sesi keduapuluh setiap siswa diharapkan dapat menjelaskan prosedur
sederhana seperti bagaimana membuat nasi goreng, bagaimana menggambar
binatang, atau prosedur apa saja yang sederhana secara mandiri. Selain itu siswa
juga diharapkan dapat menulis prosedur-prosedur sederhana yang dapat difahami
orang lain secara mandiri.
2. Dua Siklus Belajar Mengajar: Lisan dan Tulis
Meskipun secara garis besar proses belajar mengajar digambarkan dalam
empat tahapan, dalam prakteknya proses tersebut dilalui dua kali. Artinya, siklus
pertama difokuskan ke bahasa lisan dan siklus kedua difokuskan ke bahasa tulis.
Teori yang melandasinya ialah bahwa sebelum siswa diminta untuk menulis
sesuatu, sebaiknya ia telah mengenal atau menguasai bentuk lisannya sehingga
rasa percaya dirinya dapat ditumbuhkan. Siswa akan merasa comfortable menulis
tentang sesuatu yang telah dibicarakan secara panjang lebar sebelumnya dan
setelah mendapat bekal kosa kata, tata bahasa, unsur-unsur teks dan cara
menatanya.
Contoh dua siklus yang lengkap akan terlihat dalam diagram berikut.
30
Diagram 2: Hammond et al.:47
Contoh siklus di atas bisa diterapkan, misalnya, ketika siswa diarahkan
untuk mampu berkomunikasi dengan teks jenis deskriptif sederhana. Jenis teks ini
dapat dipadukan dengan tema Things around Us seperti My House.
Mendeskripsikan rumah bisa dari sisi baiknya, bisa juga dari sisi buruknya,
misalnya genteng yang bocor, jendela yang rusak dan sebagainya. Jadi, dalam
tahap buiding knowledge of the field terdapat berbagai macam adjectives yang
dapat diperkenalkan guru. Bentuk kalimat yang banyak digunakan dalam teks ini
adalah relational clauses seperti Subject yang diikuti Finite (be) dan diikuti oleh
kata sifat, kata benda, kata keterangan. Oleh karenanya aspek tata bahasa dan
kosa kata dibahas pada tahap ini.
Selain memadukan jenis teks, tema, tata bahasa dan kosa kata, perlu juga
dipikirkan tindak tutur apa saja yang dapay dikombinasikan dengan konteks ini.
Misalnya, seperti contoh di atas, guru memfokuskan kepada tindak tutur
complaining, reuesting, informing yang tidak selalu mudah dilakukan. Tindak-
tindak tutur ini dapat direalisasikan dengan berbagai cara mulai dari yang biasa
31
hingga yang sopan. Maka aspek inipun menjadi fokus pembicaraan guru dan
siswa.
Pada tahap modelling of text, guru mengajak siswa menciptakan teks lisan
yang mempraktekkan tindak-tindak tutur dalam berbagai konteks percakapan
pendek, misalnya antara anak dengan ayahnya, anak dengan anak lainnya dan
juga monolog yang pada dasarnya bertujuan mendeskripsikan rumah atau apa
saja.
Kemudian kegiatan berlanjut ke tahap ketiga yang melibatkan siswa dalam
joint construction untuk membuat percakapan yang melibatkan deskripsi,
keluhan, memberi informasi, meminta tolong dan sebagainya. Pada akhir siklus
pertama ini siswa diharapkan dapat mendemonstrasikan kemampuan
mendeskripsikan sesuatu secara lisan, melakukan berbagai tindak tutur yang
relevan secara mandiri. Setelah ini dapt diamati, pembelajaran masuk ke siklus
kedua.
Dalam siklus ini tahap pertamanya kembali menyiapkan siswa masuk ke
teks deskriptif tetapi dengan ragam tulis sehingga perlu dipertegas bagaimana,
misalnya, membentuk noun phrase yang akan digunakan dalam kalimat sebagai
Subject atau Object. Meskipun kalimat deskriptif terlihat mudah, yakni banyak
menggunakan relational clauses, kalimat ini mengandung kerumitan sendiri, dan
biasanya pada pembentukan noun phrase, misalnya front roof, back yard, leaking
pipe, broken tile dan sebagainya. Betapapun rumitnya, ini perlu ‘dihadapi’ sebab
situasi inilah yang dihadapi siswa sehari-hari.
Ketika masuk ke modelling of text, siswa dapat diperkenalkan ke teks
deskriptif untuk reading comprehension dan juga teks-teks kecil lainnya misalnya
daftar kerusakan-kerusakan di rumah, surat mini untuk minta tolong tukang untuk
memperbaiki bagian yang rusak, surat untuk mengeluh atau memberi tahu bahwa
atap yang diperbaiki bocor lagi dan sebagainya. Setelah itu, siswa masuk ke tahap
ketiga dengan melakukan joint construction untuk menulis berbagai teks
deskriptif bersama teman-temannya. Jika dikehendaki, topic boleh saja bergeser
sesuai minat siswa.
32
Akhirnya, siswa masuk ke tahap independent construction dalam ragam
tulis. Di sini siswa, dengan bantuan guru, diharapkan dapat menciptakan teks
deskriptif tulis dan teks-teks kecil lainnya yang dikehendaki.
Dengan dipenuhinya siklus ganda (dapat disebut bicycle) ini siswa
diharapkan dapat target kompetensi komunikatif berupa melakukan deskripsi lisan
dan tulis, berpartisipasi dalam percakapan lainnya yang relevan, serta
menciptakan teks-teks tulis lainnya yang relevan dengan teks utama ini. Teks
deskriptif ini ini sesuai untuk tingkat SMP maupun SMA. Perbedaannya ialah
bahwa di SMA aspek kebahasaannya lebih rumit.
3. Proporsi Tahapan
Di tahap awal SMP, ketika tergetnya masih pada pengenalan kosa kata
(misalnya membuat shopping list), ucapannya, ejaannya, atau mengajarkan
ungkapan-ungkapan yang digunakan di kelas, siklusnya tidak perlu selengkap
yang terlihat di atas melainkan disesuaikan dengan kebutuhan. Dengan demikian
proporsinya akan terlihat berbeda seperti diagram di bawah ini.
Diagram ini menunjukkan bahwa target belajar mengajar hanya
difokuskan ke tahap joint construction sebuah resep yang fokus utamanya adalah
pengembangan bahasa lisan. Aktivitasnya dimulai dengan kunjungan ke toko roti
dan kemudian roti dan resepnya menjadi tema. Selanjutnya siswa dapat menulis
resep makanan lainnya.
Pengajaran bahasa Inggris untuk tingkat SMP tahap awal (atau SD) yang
sangat difokuskan ke pengembangan bahasa lisan sangat potensial menggunakan
diagram yang masing-masing bagiannya tidak sama besarnya seperti diagram
berikut.
33
Diagram 3: Hammond et al. (1992:29)
4. Memilih dan Menata Kegiatan Kelas
Jika, misalnya, guru akan merencanakan kegiatan bersiklus ganda dengan
target kompetensi komunikatif lisan dan tulis yang terfokus ke teks procedure
sebagaimana dibahas di atas, guru hendaknya merencanakan kegiatan apa yang
akan dilakukan dan bagaimana menyusun atau menata berbagai kegiatan tersebut.
Guru juga dapat mengatur proporsi dari masing-masing bagian dalam empat tahap
di atas. Misalnya, pada tahap awal BKF dan JC dialokasikan lebih banyak waktu
dibanding yang lainnya.
D. Penilaian
34
Untuk melakukan penilaian terhadap kinerja komunikatif siswa, dan bukan hanya
pengetahuan siswa, beberapa jenis penilaian perlu diperhatikan. Pertama ialah
perbedaan assessment dan evaluation. Assessment adalah proses mengumpulkan dan
mengukur informasi yang relevan mengenai pembelajaran dan kinerja siswa,
sedangkan evaluation adalah tahap berikutnya yang dimaksudkan untuk
menganalisis, menafsirkan, memberikan penilaian (judging) mengenai hasil dari
assessment (Kern 2000:267-268)
Selain itu dilakukan juga jenis evaluasi formatif dan sumatif. Sesuai dengan
pendekatan literasi yang menekankan proses, evaluasi formatif berorientasi kepada
proses. Tujuannya adalah memberikan balikan yang terus menerus agar proses dapat
ditingkatkan kualitasnya Baik guru maupun siswa dapat memperbaiki kekurangan-
kekurangannya selama proses berlangsung. Evaluasi sumatif tidak diarahkan untuk
tujuan pengajaran, melainkan untuk mendapatkan informasi tentang kinerja atau
pencapaian siswa pada akhir sebuah program pengajaran (Kern:273).
Dalam konteks pengajaran bahasa asing, terdapat kebiasaan atau tradisi
memberikan assessment atau evaluasi yang lebih bersifat sumatif. Dalam pengajaran
yang berorientasi ke pendidikan literasi, sangatlah penting untuk menjadikan evaluasi
formatif sebagai bagian penilaian yang tak terpisahkan. Shohamy (dalam Kern
2000:273) menyarankan agar guru lebih banyak menggunakan observasi, wawancara,
kuesioner, portofolio, dan bahan-bahan yang digunakan untuk project (tugas-tugas
khusus) untuk memperoleh gambaran yang lebih luas dan lengkap mengenai
kemampuan berbahasa siswa. Informasi yang dikumpulkan ini dapat menjadi
informasi dianostik dalam rapat-rapat guru. Latihan-latihan tradisional lainnya seperti
kuis, dan tes masih dapat dilakukan, tetapi sebuah program yang berbasis literasi
lebih menekankan digunakannya evaluasi formatif daripada sumatif.
Tes apapun yang dilakukan, guru perlu mengingat bahwa tes hendaknya bersifat
heuristic atau menyeluruh dengan memperhatikan hal-hal yang memang perlu untuk
dilihat. Tes komunikasi apapun diharapkan untuk memperhatikan prinsip-pinsip
kemampuan berliterasi. Artinya, butir-butir soal atau task apapun yang disiapkan guru
hendaknya mempertimbangkan dan melibatkan aspek-aspek sebagai berikut.
35
1. Literasi melibatkan interpretasi (interpretation).
Penulis dan pembaca terlibat dalam tindak ganda yakni menginterpretasi –
penulis menginterpretasi dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, dan sebagainya),
dan kemudian pembaca menginterpretasikan interpretasi penulis berdasarkan
konsep atau pemahamannya sendiri tentang dunia.
Dalam tes komunikasi lisan maupun tulis, siswa dituntut untuk melakukan
interpretasi terhadap apa yang dibaca maupun yang didengarnya. Pertanyaan-
pertanyaan tidak hanya terfokus kepada fakta (dalam membaca), atau siswa dapat
memberikan respon yang tepat terhadap ujaran orang lain (dalam percakapan).
2. Literasi melibatkan kolaborasi (collaboration)
Penulis menulis untuk sebuah khalayak pembaca (audience), termasuk
jika ia menulis untuk dirinya sendiri. Keputusannya mengenai apa yang harus
dikatakan, dan apa yang dapat difahami pembaca meskipun tak dikatakan,
didasarkan kepada pemahamannya tentang khalayak pembacanya. Pada
gilirannya, pembaca harus memberi kontribusi dalam bentuk motivasi,
pengetahuan, dan pengalaman agar supaya teks yang ditulis penulis tersebut
bermakna.
Dalam evaluasi (formatif, misalnya) proses ini sangat penting terutama
dalam proses menulis. Balikan-balikan dari guru maupun siswa lainnya dapat
memberi manfaat kepada siswa. Begitu pula dengan evaluasi bahasa lisan.
Masukan-masukan dari berbagai pihak dapat membantu siswa dalam proses
pembelajaran.
3. Literasi melibatkan aturan (convention)
Cara orang membaca dan menulis teks tidak universal, melainkan
dikendalikan oleh aturan atau konvensi budaya yang berevolusi lewat
penggunaannya dan dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan individual.
Dalam evaluasi, konvensi seperti tanda baca, susunan teks, ucapan, tata
bahasa dan sebagainya tetap menjadi perhatian penting guru.
36
4. Literasi melibatkan pengetahuan budaya (cultural knowledge)
Membaca dan menulis berfungsi di dalam sistem-sistem sikap,
kepercayaan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai-nilai tertentu. Pembaca dan penulis
yang beroperasi di luar sistem budaya teks tersebut beresiko mengalami
kesalahfahaman atau tidak difahami oleh orang yang beroperasi di dalam sistem
budaya teks tersebut.
Dalam tes lisan maupun tulis, aspek ini merupakan hal yang perlu dinilai
oleh guru. Oleh karenanya, tugas atau tes yang diberikan hendaknya menjangkau
area ini dan tidak terpaku kepada pengetahuan kebahasaan saja.
5. Literasi melibatkan pemecahan masalah (problem solving)
Karena kata-kata selalu dilingkupi oleh konteks linguistik dan konteks
situasi, membaca dan menulis melibatkan usaha pemahaman terhadap hubungan
antara kata-kata, satuan-satuan makna yang lebih besar, dan antara teks-teks dan
dunia nyata atau dunia yang dibayangkan.
Proses komunikasi adalah proses penyelesaian masalah. Dalam tes
komunikasi lisan maupun tulis, siswa hendaknya dihadapkan kepada tantangan
komunikasi yang merupakan rangkaian penyelesaian masalah. Misalnya,
melakukan percakapan yang sebenarnya, menjelaskan apa yang dibaca, menulis
essay dsb.
6. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi sendiri (reflection and self reflection)
Pembaca dan penulis memikirkan tentang bahasa dan hubungannya
dengan dunia dan dengan diri mereka.
Dalam tes, siswa dihadapkan kepada soal-soal yang mensyaratkan adanya
refleksi, misalnya, siswa bikan hanya diminta memehami isi bacaan tetapi juga
memahami genre suatu bacaan, bagaimana bacaan disusun, piranti kebahasaan
apa yang menyebabkan terjadinya kohesi dsb. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
memerlukan proses refleksi. Begitu pula dalam proses menulis; siswa dapat
menjelaskan langkah dan alasan mengapa ia menulis seperti itu.
37
7. Literasi melibatkan penggunaan bahasa (language use)
Literasi bukan hanya sebuah sistem menulis, dan bukan juga semata-mata
tentang pengetahuan ketatabahasaan; literasi memerlukan pengetahuan bahasa
digunakan dalam konteks lisan dan tulis untuk menciptakan wacana.
Dalam evaluasi, yang paling penting ialah bahwa pada akhirnya guru
mengevaluasi penggunaan bahasa. Ini adalah evaluasi untuk melihat apakah
kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi berwacana atau berkomunikasi, sudah
tercapai atau belum.
Bab IV : Model Implementasi
A. Perangkat Pembelajaran
Setelah membaca kurikulum 2004, langkah guru selanjutnya adalah
mengembangkan silabus. Silabus ini merupakan terjemahan dari unsur-unsur yang
terdapat dalam kurikulum ke dalam rencana menyeruruh satu unit proses belajar
mengajar yang juga memuat contoh materi.
Sesusai dengan prinsip dasar pengembangan kompetensi komunikatif,
pengambangan silabus harus menampakkan proses menuju diperolehnya kompetensi
wacana, yakni pengembangan kewicaraan (oracy) dan keaksaraan (literacy).
Maksudnya, jika, misalnya, sebuah silabus menekankan atau memfokuskan kepada
teks naratif, bukan berarti bahwa proses belajarnya hanya membahas sebuah teks
naratif sebab keempat ketrampilan berbahasa harus juga terlihat dalam silabus
tersebut.
Misalnya, di semester satu SMP siswa masih berkonsentrasi pada bahasa lisan
yang difokuskan ke ungkapan-ungkapan yang menyertai tindakan di sekolah dan
belum menghadapi teks bacaan berupa ceritera. Namun demikian, makna teks
sebenarnya menyangkut juga daftar kosa kata yang digunakan dalam konteks. Maka
di semester satu siswa sudah dapat terlibat teks, misalnya berupa shopping list, yakni
daftar belanja yang mereka siapkan bagi ibu mereka setiap bulan, atau bagi mereka
38
sendiri. Dengan demikian, kosa kata yang dikenalkan di semester ini adalah kata
benda dan kata sifat yang memang diperlukan di sekolah dan di rumah. Kegiatan
berbicara pendek juga sudah merupakan teks. Misalnya seorang anak meminta
informasi Where’s my pen? dan dijawab dengan There it is di dalam konteks nyata
juga sudah merupakan teks.
Ketika guru mengenalkan teks naratif di semester satu, guru dapat
mengkombinasikan tulisan dan gambar misalnya ketika berceritera mengenai
Goldilocks and the Three Bears agar kosa kata yang digunakan dapat langsung
dicerna lewat gambar dan kata-kata. Teks inipun kemudian dapat menghasilkan teks-
teks kecil lain baik lisan maupun tulis yang merupakan kegiatan re-creation yang
mengembangkan imajinasi siswa. Berdasarkan konteks ceritera tersebut guru dan
siswa dapat bersama-sama menciptakan, misalnya dialog antara Goldilocks dan Baby
Bear atau surat menyurat sederhana antara Goldilocks dan Mama Bear. Dengan
demikian keempat ketrampilan dapat dikembangkan secara simultan dan imajinasi
siswa senantiasa dikembangkan ke tingkat yang optimal. Implikasinya, pengalaman
pembelajarannya juga sangat bervariasi dan variasi tersebut diharapkan
menyenangkan.
Implikasi berikutnya adalah pada alokasi waktu. Sebuah silabus yang
memfokuskan ke teks naratif bisa dialokasikan sebanayk 16 X 45 menit karena
meskipun naratif adalah yang utama bukan berarti teks lain yang dapat dikembangkan
dari naratif tersebut tidak mendapat tempat. Jadi alokasi 16 sesi tersebut dimaksudkan
untuk memberi keleluasaan kepada guru untuk mengembangkan proses dan
pengalaman pembelajaran yang variatif dan maksimal. Misalnya, dengan alokasi
waktu yang banyak, guru dapat memeriksa hasil tulisan pendek siswa yang berjumlah
40 orang selama proses menulis berlangsung untuk meyakinkan siswa menggunakan
tanda baca dengan benar, menyusun teks dengan unsur yang lengkap, dengan tata
bahasa yang benar, misalnya. Dengan demikian pelajaran bahasa diletakkan dalam
perspektif pengembangan kewicaraan dan keaksaraan atau komunikasi yang nyata.
Ini semua dimaksudkan agar siswa menyadari keteraturan-keteraturan yang
terdapat dalam proses komunikasi bahasa Inggis atau berkomunikasi dalam bahasa
Inggris the English way.
39
1. Alokasi Waktu
Sebaiknya alokasi waktu ditetapkan dengan asumsi bahwa dalam satu semester
terdapat, misalnya, 15 minggu efektif. Jika dalam seminggu dialokasikan 4 sesi (masing-
masing 45 menit), maka dalam satu semester terdapat 15 X 4 sesi yang menghasilkan 60
sesi (60 X 45 menit).
Beranjak dari asumsi bahwa dalam satu semester terdapat 60 sesi, maka strategi
alokasi untuk kelas satu SMP, misalnya dapat diatur dengan mempertimbangkan jumlah
dan jenis teksnya. Semester pertama difokuskan kepada language accompanying action,
dan kosa kata untuk lingkungan sekolah dan rumah sehingga diperoleh alokasi kurang
lebih sebagai berikut:
a. 15 sesi pertama difokuskan ke interaksi guru-siswa, siswa-siswa dengan
penciptaan teks-teks dialog kecil (misalnya satu instruksi / ajakan dan satu
tanggapan) agar proses belajar dapat berlangsung dalam bahasa Inggris.
b. 15 sesi kedua masih terfokus kepada teks dialog kecil dan pengambangan kosa
kata dan membuat daftar belanja atau daftar lainnya.
c. 15 sesi ketiga masih terfokus ke teks dialog kecil yang melibatkan adjectives dan
kegiatan mendengarkan ceritera yang disertai gambar-gambar (campuran naratif
dan gambar)
d. 15 sesi keempat masih terfokus ke teks dialog kecil dan mendengarkan naratif
yang mengandung adjectives dll.
Demikian juga di semester dua, silabus dapat disusun per 15 sesi (1 unit = 15 sesi)
dengan memperhatikan fokus teks yang digunakan dalam komunikasi lisan dan tulis yang
mengintegrasikan keempat ketrampilan. Dalam satu semester dapat dikembangkan 4
(empat) unit silabus, dan dalam setahun kurang lebih 8 (delapan) unit silabus.
2. Matriks Silabus
40
Matriks yang diusulkan kurang lebih adalah sebagai berikut:
A
Kompetensi
Dasar
B
Indikator
C
Jenis Teks
D
Contoh Teks
E
Pengalaman
Belajar
F
Penilaian
G
Alokasi
Waktu
Contoh bagaimana ‘menerjemahkan’ kurikulum ke dalam silabus dapat dilihat dalam
lampiran.
a. Kompetensi Dasar
Rumusan kompetensi dasar (KD)didasarkan kepada rumusan yang ada dalam
kurikulum. Misalnya, jika fokus teksnya adalah naratif maka KD untuk keempat
ketrampilan difokuskan ke naratif yang dapat menjadi dasar pengembangan teks
interaksional lainnya (lihat lampiran).
b. Indikator
Indikator utamanya dapat diambil dari kurikulum, tetapi terbuka kemungkinan
penyusun silabus menambahkan indikator yang lebih rinci jika dirasakan relevan.
Indikator disusun dengan struktur sebagai sesuai dengan jenis kompetensi yang
dirumuskan dalam kurikulum yakni: Tindak Bahasa, Linguistik, Sosiokultural, Strategi,
Pembentuk Wacana, dan unsur sikap.
Indikator Tindak Bahasa dikelompokkan berdasarkan empat ketrampilan:
mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Indikator berikutnya adalah indikator
linguistik yang difokuskan kepada tata bahasa dan kosan kata. Ini meliputi sistem bunyi,
intonasi, tata tulis seperti ejaan dan tanda baca, struktur kalimat dan kosa kata
(lexicogrammar). Karena kompetensi linguistik merupakan dasar kompetensi
kumunikatif maka disarankan agar sekitar dua puluh persen dari alokasi waktu
diperuntukkan bagi kompetensi ini.
41
Di dalam kompetensi linguistik inilah Tema, yang masih disarankan untuk SMP
dan berimplikasi kepada pilihan kosa kata, dicakup. Artinya, pengajaran tidak terfokus
kepada tema dan satu tema dapat muncul di beberapa teks secara luwes jika diperlukan
sehingga terdapat pengulangan yang menunjang pemerolehan bahasa. Tema tidak harus
dipaksakan sesuai dengan urutan yang ada dalam kurikulum. Yang penting adalah bahwa
tema-tema yang disarankan dicakup pada tahun tertentu.
Dalam kompetensi ini tata bahasa dan kosa kata mendapatkan perhatian khusus
sehingga memperoleh pengalaman untuk noticing tata bahasa dan mengembangkan
kesadaran bahwa komunikasi yang efektif adalah yang gramatikal. Dalam satu teks, satu
bahasan tata bahasa, misalnya past tense bisa dominan, tetapi tenses lain dapat termasuk
di dalamnya sesuai tuntutan teks sekaligus merupakan pengulangan yang dapat
menunjang pemerolehan bahasa.
Indikator berikutnya mencakup indikator kompetensi sosiokultural, strategi,
wacana dan sikap yang diambil dari kurikulum.
c. Jenis Teks
Jenis teks disesuaikan dengan yang dicantumkan di dalam kurikulum. Namun
demikian, perlu diingat bahwa membahas sebuah jenis teks bukan berarti berhenti pada
satu jenis teks tertentu. Sebuah teks naratif, misalnya dapat “melahirkan” banyak teks
seperti teks lisan transaksional, teks-teks lisan atau tulis lain yang merupakan hasil dari
re-creation yang imajinatif dari guru dan siswa (lihat contoh). Dengan demikian keempat
ketrampilan dapat diolah serentak dan semua jenis kompetensi berkembang.
d. Contoh Teks
Contoh teks menyebutkan jenis teks utama yang menjadi bahasan, misalnya
naratif, dan teks-teks lain yang dimungkinkan dikreasi oleh teks naratif untuk
mengembangkan kompetensi melalui kegiatan yang diarahkan untuk mengembangkan
keempat ketrampilan.
42
e. Pengalaman Pembelajaran
Bagian ini memuat segala kemungkinan pengalaman belajar yang sebaiknya
dimiliki oleh siswa. Alokasi waktu yang cukup banyak, sekitar 15 X 45 menit untuk satu
unit, dimaksudkan untuk mengakomodasi kegiatan belajar yang beragam dan menarik
serta memberi kesempatan bagi guru untuk mengamati siswa dengan lebih baik.
Perlu ditekankan bahwa semua kegiatan yang dilakukan tetap diarahkan kepada
pemerolehan bahasa. Misalnya, siswa boleh membawa boneka, mobil mainan,
menggambar ilustrasi untuk sebuah ceritera, tetapi semua barang tersebut harus
menstimulasi siswa untuk berbicara atau menulis tentang topik yang sedang dibahas.
Suatu saat guru dapat mengajak siswa membuat kipas dari kertas, misalnya. Yang
dipentingkan di sini bukan baik atau buruknya kipas yang dihasilkan, melainkan
bagaimana agar selama membuat kipas tersebut siswa mendengarkan instruksi-instruksi
teknis dan kemudian mereka bisa memberi instruksi serupa pada kegiatan yang sama atau
yang mirip.
Menjadi jelas di sini bahwa alokasi waktu yang banyak dimaksudkan untuk
menunjang PROSES yang terencana dan disusun dengan baik demi pencapaian
kompetensi.
f. Penilaian
Implikasi dari beragamnya pengalaman belajar adalah beragamnya cara menilai
pencapaian siswa selama menjalani proses belajar tersebut. Guru hendaknya memiliki
catatan pribadi setiap siswa yang dikumpulkan dalam satu map khusus yang membentuk
portofolio.
Map tersebut berisi berbagai matriks atau observation sheets yang digunakan
untuk mencatat indikator-indikator mana yang telah atau belum dicapai atau setinggi apa
pencapaian siswa. Matriks ini berguna terutama untuk penilaian yang berkenaan dengan
berbagai performance. Tentu saja tes tertulis yang selama ini dikenal masih dilakukan
agar dapat membandingkan kemampuan siswa yang satu dan lainnya, serta untuk
mengukur kemampuan mereka mencapai kompetensi yang ditargetkan. Butir-butir tes
43
selayaknya disusun berdasarkan indikator yang ada di kurikulum yang mencakup kelima
jenis kompetensi.
Karena kompetensi wacana adalah kompetensi utama yang hendak dicapai maka
penilaian yang bersifat holistik, biasanya di tahap akhir, adalah penilaian yang menuntut
siswa menciptakan wacana seperti percakapan dengan sesama teman atau dengan guru
(wawancara), membaca, dan menulis. Di tahap ini piranti pembentuk wacana menjadi
penting karena kemampuan menggunakan piranti tersebut menunjukkan kemampuan
siswa berlogika dalam menyusun wacananya.
g. Alokasi Waktu
Secara umum alokasi waktu untuk sebuah unit diperkirakan sebanyak 15 X 45
menit. Alokasi secara rinci diserahkan kepada guru karena setiap guru memiliki acara
kegiatan yang berbeda-beda sesuai dengan sumber-sumber yang dimilikinya dan
kemampuan guru mengelola kegiatan yang dirancangnya.
Setelah menyusun hal-hal di atas, pada kolom E guru merencanakan pengalaman
pembelajaran apa saja sebaiknya yang akan diberikan kepada siswa agar mereka
mencapai kompetensi yang ditargetkan. Pengalaman pembelajaran tersebut sebagian
diperuntukkan bagi pengembangan bahasa lisan dan sebagian lagi untuk pengembangan
bahasa tulis. Setiap pengalaman belajar dirancang untuk tujuan tertentu dengan focus
yang berbeda-beda. Setelah guru membuat daftar pengalaman pembelajaran, guru
memasukkan ke daftar ini ke dalam matriks pengalaman pembelajaran untuk siklus
bahasa lisan dan kemudia untuk siklus bahasa tulis.
Tabel di bawah ini menunjukkan contoh bagaimana kegiatan-kegiatan yang
diarahkan ke penciptaan teks prosedur dengan tema makanan dipilih dan diatur
menggunakan siklus pembelajaran yang sesuai dengan kelompok siswa yang dihadapi.
44
BUILDING KNOWLEDGE OF FIELD
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
1. Guru berinteraksi dengan
siswa untuk membahas
shared knowledge dsb. yang
diarahkan ke pembelajaran
teks prosedur dengan tema
makanan.
a. untuk memberikan
konteks bagi tema makanan
b. untuk membiasakan siswa
berbagi pengalaman
c. untuk mengenalkan kosa
kata sehari-hari tentang
makanan
d. untuk mengenalkan tata
bahasa terutama bentuk
imperative
e. mengenalkan struktur
noun phrase (MD)
f. untuk mengenalkan
berbagai realisasi sederhana
tindak tutur memberi/meminta
jasa/barang atau informasi
sesuai tema
g. untuk membiasakan
penggunaan ungkapan
kesantunan excuse me, please,
thank you, sorry, have a nice
day dsb.
h. untuk membiasakan
penggunaan conjunctions
sederhana dan ordinal
numbers
Kegiatan klasikal
Terfokus pada guru
Fokus pada bahasa lisan –
interaktif
Penggunaan realia, flash
cards dan media belajar-
mengajar lainnya untuk
menunjang pemahaman
terhadap noun phrases dan
verbs.
2. Guru membawa bahan untuk
nasi goreng dan berperilaku
seolah-olah memasak meski
tanpa api.
a. menciptakan konteks dan
membangun tema dan jenis
teks.
b. membangun kosa kata: verb
dan noun yang diperlukan
siswa
Kegiatan klasikal
Terfokus pada guru dan
siswa
Terfokus pada bahasa lisan
Mengidentifikasi language
accompanying action
45
(misalnya: Let me show you
this. Listen to me. Shall we
start now? Dll.)
3. Menonton video yang
menampilkan demonstrasi
memasak dalam bahasa
Inggris.
a. Unt
uk membangun konteks yang
lebih luas mengenai tema
b. me
mperluas perbendaharaan
ungkapan
kegiatan klasikal
Terfokus pada siswa
Bahasa lisan
Language accompanying
action
4. Membahas kegiatan yang
dipertontonkan dengan
memperhatikan prosedur
memasaknya
a. memperluas pengetahuan
kosa kata
b. menggunakan bahasa untuk
merekonstruksi kejadian
c. memperluas perbendaharaan
ungkapan
Kegiatan klasikal
Terfokus pada siswa
Terfokus pada bahasa lisan
language accompanying
action
5. Guru secara eksplisit
membahas kosa kata dan tata
bahasa: imperative,
conjunctions, ordinal
numbers dan fitur-fitur
bahasa lisan yang relevan.
a. me
mfokuskan ke kompetensi
linguistik yang diperlukan
untuk teks procedure.
Kegiatan klasikal
Terfokus pada guru
Terfokus pada bahasa lisan:
perhatikan gambits.
MODELLING OF TEXT
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
6. Mendengarkan rekaman yang
berisi petunjuk atau prosedur
untuk memasak sesuatu
(native speaker atau guru
lokal)
a. Melatih siswa untuk
memahami makna
gagasannya
b. melatih siswa memperhatikan
fitur bahasa lisan
c. melatih siswa memprediksi
apa yang akan didengarnya
d. melatih siswa mencatat urutan
kegiatan secara sederhana
Kegiatan klasikal
terfokus pada bahasa lisan
46
7. Menganalisis ciri-ciri teks
procedure
a. mengenalkan struktur
skematik
b. mengenalkan istilah-istilah
teknis dalam struktur teks
seperti title, ingredients,
method, serve.
Kegiatan klasikal
Terfokus pada guru
Diskusi
8. Mengenalkan teks-teks lain
yang relevan
a. Untuk memperluas wacana
dengan memperhatikan
struktur-struktur percakapan
kecil di berbagai konteks
mulai dari excuse me sampai
thanks… bye-bye.
b. melatih siswa agar peka
dengan tahaptahap
percakapan transaksional
Penjelasan terfokus pada
guru
Siswa mendemonstrasikan
berpasangan atau
berkelompok.
Meneliti tahap-tahap
percakapan transaksional,
misalnya memesan makan di
restoran:
A: Are you ready to orger
now?
B: Yes please
o May I have …, …
A : Certainly, Miss.
B: And could you please
o make it not too hot?
A: Certainly. Is that all?
B: That’s all for now.
Thanks
A: You’re welcome, Miss.
JOINT CONSTRUCTION
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
9. Dalam kelompok siswa
mencoba memberi instruksi
a. Menggunakan tata bahasa
dan kosa kata yang benar
menghubungk
an bahasa dengan gerakan
47
kepada temannya untuk
membuat atau memasak
sesuatu
b. Memperagakan ucapan
dan ungkapan yang benar
fisik (misalnya, jika satu
siswa mengakatan peel the
onion maka siswa
memperagakannya)
10. Dalam kelompok siswa
menyusun teks prosedur lisan
untuk membuat sesuatu
a. membiasakan siswa tampil
berbicara mewakili
kelompoknya
b. Membiasakan diri
berkomunikasi agar difahami
pendengarnya.
Kegiatan di dalam kelompok
Kegiatan lintas kelompok
Terfokus pada bahasa lisan
11. Dalam kelompok siswa
menyusun percakapan
transaksional lisan dengan
beragam konteks, misalnya,
di kantin , di toko, di kelas,
di dapur dsb.
INDEPENDENT CONSTRUCTION
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
12. Siswa memperagakan
kemampuan bercakap-cakap yang
melibatkan monolog yang
bersifat memberi petunjuk atau
prosedur
a. memberi kesempatan siswa
untuk menggunakan
pengetahuan dan pengalaman
pemelajaran yang dimilikinya
b. untuk mengecek apakah
bahasa lisan siswa dimengerti
dengan baik oleh lawan
bicaranya
c. untuk mengetahui
kemampuan berwacana siswa
Terfokus pada individu
siswa
Guru memberikan balikan
13. Secara individual siswa
memberi petunjuk procedural
yang difahami teman-temannya
dengan baik dalam konteks yang
a. U
ntuk menerapkan prinsip
procedural dalam konteks
yang lebih luas.
individu siswa
48
diperluas b. U
ntuk membangun kemampuan
berwacana lisan
Setelah siklus pertama ini selesai, siklus kedua dimulai dengan memfokuskan ke
ragam bahasa tulis. Ragam bahasa tulis untuk resep, misalnya, menuntut kemampuan
mengkonstruksi noun phrase yang seringkali tidak mudah. Misalnya, pada pembahasan
tata bahasa guru dapat melatih pembentukan noun phrase seperti one red hot chili, two
green tomatoes, boiled egg dsb. Selain itu siswa perlu juga ditarik perhatiannya terhadap
pasangan kata verb dan noun yang lazim disebut collocation seperti boil the egg, mix the
sugar and margarine, cover the bowl dll. Teks tulis juga cenderung menggunakan
struktur teks yang relatif tetap.
Guru perlu mengenalkan kosa kata yang memang diperlukan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari sebab sering terjadi bahwa kata-kata teknis yang berhubungan
dengan teknologi komputer diperkenalkan sementara siswa tidak mengenal kata yang
diperlukan sehari-hari seperti peel, cover, fry, wipe dsb. Pengenalan kosa kata di jaman
global ini terdukung oleh banyaknya noun phrase yang digunakan di tengah masyarakat
Indonesia seperti fried chicken, headline news, big mack, play station, video rental,
supermarket dll. Frasa-frasa ini mungkin tidak termasuk ke dalam perbendaharaan kosa
kata tingkat SMP, tetapi karena frasa tersebut telah demikian populer di masyarakat kita
maka penggunaan frasa yang demikian tidak akan terlalu mengganggu.
Berikut adalah contoh bagaimana mengembangkan siklus kedua, yakni siklus
yang terarah kepada pengembangan bahasa tulis untuk teks procedure.
BUILDING KNOWLEDGE OF THE FIELD
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
1. Guru merumuskan mengapa
BKF ini dikembangkan
Pada tahap ini guru dan siswa
secara lisan / interaktif
membahas:
a. konteks di mana teks jenis
prosedur digunakan dalam
Terfokus pada guru
Kegiatan bersifat interaktif
dengan menstimulasi agar
siswa berpikir dan menjawab
pertanyaan (listening dan
49
ragam tulis.
b. hubungan interpersonal
penulis dan pembaca
(misalnya, antara ahli dan
orang yang baru belajar).
c. bahasa yang digunakan
(lugas, tanpa banyak fitur
kesantunan)
d. pola kalimat imperative
yang dimulai dengan verb.
e. pola noun phrase yang
menggunakan hukum MD.
f. piranti pembentuk wacana
yang menunjukkan hubungan
logika seperti kata
penghubung dsb.
g. perbedaan bahasa lisan
dan bahasa tulis dalam teks
procedure.
speaking)
2. Guru menyiapkan contoh teks
berupa resep masakan dan
teks procedure lain yang
relevan.
a. Untuk memperluas
wawasan tentang penggunaan
teks procedure dalam
kehidupan sehari-hari.
b. Untuk menambah
perbendaharaan kosa kata.
Terfokus pada
guru
Pembahasan
dilakukan secara interaktif
yang mendukung
ketrampilan listening dan
speaking.
Belajar
menggunakan kamus
MODELLING OF TEXT
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
3. Membaca teks prosedur,
misalnya resep masakan.
a. Untuk memahami makna
atau pesan (ideational) yang
Terfokus pada
guru
50
terdapat dalam teks
b. Untuk mengetahui tingkat
reading comprehension siswa
Klasikal
Diskusi
4. Menganalisis tata teks utama a. Untuk mengidentifikasi
unsur-unsur sebuah resep
masakan
b. Untuk memahami
bagaimana unsur-unsur
tersebut ditata dalam sebuah
generic (schematic) structure
c. Untuk menganalisis
realisasi bahasa yang
digunakan pada tiap unsur
teks
Terfokus pada
guru atau siswa
Klasikal
Diskusi
5. Menganalisis teks lain yang
relevan
a. Untuk melihat pesamaan
dan perbedaan struktur (jika
ada) yang ada di antara teks-
teks prosedur
b. Untuk melihat persamaan
dan perbedaan realisasi
bahasa (tata bahasa dan kosa
kata) dari teks sejenis.
Terfokus pada
guru atau siswa
Klasikal
Diskusi
JOINT CONSTRUCTION
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK KEGIATAN
6. Siswa membahas teks
prosedur yang akan ditulis
bersama, misalnya resep
masakan yang sederhana,
cara membuat layang-layang
atau lainnya
a. Siswa menggunakan
schematic structure yang tepat
b. Siswa menggunakan
realisasi bahasa yang tepat
c. Siswa mampu memberi
instruksi tertulis yang
difahami orang lain.
d. Siswa menyadari siapa
Siswa berpasangan atau
berkelompok kecil
Belajar menggunakan
kamus
51
calon pembacanya dan
menyesuaikan bahasanya.
7. Siswa menulis teks bersama. a. Agar siswa memperoleh
kepercayaan diri karena tidak
bekerja sendirian.
b. Siswa mengembangkan
ketrampilan writing dengan
bahasa sederhana.
c. Siswa belajar dari teman-
temannya
d. Siswa belajar dari sumber-
sumber lain yang mereka
temukan di luar kelas
Siswa bekerja
dalam kelompok.
Guru memberi
bantuan terutama dalam
editing.
INDEPENDENT CONSTRUCTION
PENGALAMAN MENGAJAR
DAN PEMBELAJARAN
TUJUAN KARAKTERISTIK
KEGIATAN
8. Secara individual siswa
membuat kesepakatan dengan
guru (conference) mengenai
teks procedure apa yang akan
ditulis.
a. Siswa memperoleh bimbingan
individual dari guru sejak tahap awal
penulisan
b. Guru mengetahui target yang ingin
dicapai siswa
c. Siswa dan guru dapat membahas
sumber-sumber bacaan yang diperlukan
untuk mencapai tujuan penulisan secara
maksimal.
Kegiatan individual siswa
Kegiatan conferencing
antara guru dan siswa
9. Siswa menulis draft teks yang
direncanakannya
a. Siswa memanfaatkan
pengalamannya dari tahap listening,
speaking dan reading di dalam proses
writing.
b. Siswa memperoleh
kesempatan untuk mengekspresikan
kehendak individunya ke dalam tulisan.
Terfokus pada siswa
Guru memberi masukan jika
perlu.
10. Siswa menunjukkan draft
tulisan kepada guru.
a. Untuk menditeksi
masalah-masalah penulisan secara dini.
Terf
okus pada siswa.
52
b. Untuk memberi
pengalaman bahwa menulis tidak harus
sekali jadi.
c. Untuk memberi
pengalaman akan pentingnya
memperhatikan aturan penulisan (huruf
besar, titik, koma dsb).
Gur
u siap memberi balikan bagi
setiap individu.
11. Siswa melakukan editing
berdasarkan balikan dari
guru.
a. Untu
k meningkatkan kepekaan siswa
terhadap hal-hal yang tidak boleh
dianggap sepele dalam penulisan.
b. Untu
k memberi kesempatan memperbaiki,
menambah dsb. agar hasil tulisan
maksimal.
c. Untu
k memperoleh pengalaman dan
ketrampilan mengedit sebuah karya.
Terfokus pada siswa.
Guru memberi balikan
12. Siswa menulis (final) draft a. Untuk menggunakan
potensinya secara maksimal.
b. Untuk
mengembangkan rasa percaya diri
bahwa siswa akan menghasilkan karya
yang berterima.
Terfokus pada siswa.
Guru memberi motivasi
secara simpatik dan
membesarkan hati.
13. Siswa menunjukkan draft
akhir kepada guru.
a. Untu
k memperoleh peneguhan akan
keberhasilannya.
b. Untu
k melihat apakah target penulisan yang
disepakati dalam conference tercapai.
Terfokus pada siswa
Guru memeriksa apakah
siswa memenuhi indikator
yang ditetapkan
14. Siswa memberi ilustrasi
gambar, menulis dengan gaya
seni menurut seleranya .
a. Untuk
mengekspresikan potensi seni siswa
dalam menampilkan karya tulisnya
dengan prinsip intertekstualitas
(memadukan tulisan dengan gambar,
diagram dll.) agar presentable.
Terf
okus pada siswa.
53
15. Siswa mempublikasikan
tulisannya (di papan atau
tembok kelas yang disediakan
untuk tujuan “publishing”)
a. Untu
k mengikis rasa malu (tidak percaya
diri) memperlihatkan karya kepada
orang lain.
b. Untu
k membiasakan diri berkomunikasi
secara tertulis.
c. Untu
k membina sikap berani
mempublikasikan karya dan menerima
kritik dan saran.
d. Untu
k berani bersaing dan mengakui
kelebihan orang lain.
e. Untu
k memacu semangat untuk menulis lebih
baik di kemudian hari.
Terfokus pada siswa.
Guru memberi fasilitas papan
temple (misalnya soft board).
Contoh pengembangan perencanaan pengajaran dan pembelajaran di atas menunjukkan
bahwa untuk mencapai standar kompetensi “mampu berkomunikasi lisan dan tulis dalam
jenis teks procedure” diperlukan proses yang cukup panjang dan terencana dengan baik.
Untuk memeriksa apakah standar kompetensi tersebut sudah tercapai maka penilaian
difokuskan kepada pertanyaan “Apakah siswa sudah dapat memberi instruksi prosedural
dalam bahasa Inggris lisan yang difahami lawan bicaranya?” dan “Apakah siswa sudah
mampu memberi instruksi prosedural dalam bahasa Inggris tulis yang difamahi oleh
poembacanya?” serta “Apakah siswa dapat merespon terhadap instruksi prosedural
bahasa Inggris baik lisan maupun tulis?”. Jika jawabannya adalah “sudah”, maka
kompetensi komunikatif ini telah tercapai.
Inilah alasan yang mendasari mengapa diperlukan alokasi waktu yang cukup
banyak untuk sebuah jenis teks. Untuk mencapai kompetensi komunikatif tertentu
diperlukan kompetensi-kompetensi pendukung yang sarana rincinya terdapat di bagian
lampiran dalam kurikulum. Contoh table-tabel di atas dapat dikembangkan lagi dengan
variasi yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber-sumber yang dimiliki guru. Yang
54
terpenting adalah pembentukan mindset bahwa guru tidak dapat menuntut siswa menulis
sesuatu sebelum guru memberi sesuatu. Implikasinya, guru harus menjadi figur yang
handal dalam arti ia menguasai teknik-teknik pengembangan jenis-jenis teks yang
ditargetkan, yakni teks-teks yang akan ditemui siswa dalam kehidupan nyata. Partisipasi
siswa dalam teks tersebut memerlukan latihan literacy, latihan komunikasi yang
membangun life skill.
Dapat disimpulkan bahwa pedoman pengembangan perencanaan pengajaran ini
berorientasi kepada tercapainya kompetensi wacana, bukan hanya sub-sub kompetensi
seperti linguistik, tindak bahasa dll. Kompetensi wacana inilah yang disebut sebagai
kompetensi komunikatif atau communicative competence yang menjadi dasar
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi.
B. Tenaga Pendidikan (Pembina, pengawas, kepala sekolah, guru)
1. Guru
Kurikulum ini mansyaratkan ketrampilan berbahasa Inggris lisan yang baik bagi
guru yang menggunakannya. Oleh karenanya, pada saat recruitment guru,
kemampuan berbahasa lisan hendaknya merupakan syarat utama. Jika para guru yang
ada saat ini belum mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik dalam mengelola
kegiatan kelas, para guru tersebut wajib mengikuti penataran yang diarahkan untuk
mengembangkan ketrampilan guru berbicara untuk tujuan mengelola kelas, mulai dari
memeriksa presensi siswa hingga membubarkan kelas. Kemampuan ini disebut
kemampuan ber-scaffolding talk.
Scaffolding talk atau bahasa yang menyertai tindakan sangat menentukan dalam
proses pemerolehan bahasa. Dengan mendengarkan hal-hal yang rutin diucapkan guru
di kelas, siswa akan mengembangkan kemampuan mendengarkan dan pada gilirannya
55
mengembangkan kemampuan berbicara. Hal-hal rutin tersebut bisa termasuk
memberi berbagai instruksi lisan, baik akademik maupun instruksi lain.
Hal yang terpenting dalam menyikapi kurikulum ini ialah kesediaan guru untuk
mengubah mindset. Kurikulum ini tidak berangkat dari materi sehingga guru harus
menghabiskan materi pada akhir program. Kurikulum ini berangkat dari kompetensi,
sedangkan materi yang digunakan bisa diperoleh dari berbagai sumber sejauh materi
tersebut menunjang pencapaian kompetensi dasar. Guru bebas memilih buku ajar atau
sumber-sumber lain seperti Internet dsb. Guru juga bebas menentukan pengalaman
pembelajaran yang diberikan kepada siswa sesuai dengan situasi dan kondisi setempat
sejauh kompetensi dasar tercapai. Untuk melihat ketercapaian kompetensi tersebut,
indikator-indikator yang ada di silabus digunakan sebagai acuannya.
Satu hal yang sangat penting adalah membuat pelajaran bahasa Inggris sebagai
pengalaman yang menyenangkan baik bagi guru maupun bagi siswa. Kegiatan story
telling, misalnya, sangat dianjurkan.
2. Kepala Sekolah
Kepala sekolah dapat berperan aktif dalam mendukung pembelajaran bahasa
Inggris di sekolah dengan memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk
beraktivitas dalam bahasa Inggris dalam konteks sehari-hari.
Kepala sekolah hendaknya memahami benar semangat kurikulum bahasa Inggris
2004 yang memberikan kebebasan kepada guru untuk menentukan materi ajarnya
dalam rangka pencapaian kompetensi. Dengan demikian kepala sekolah sebaiknya
menjaga dan melindungi kemandirian guru dengan tidak mengharuskan guru
menggunakan buku ajar tertentu. Dengan cara ini kepala sekolah berpartisipasi dalam
membangun kreativitas para guru di sekolahnya. Sangat disarankan agar kepala
sekolah membaca dan memahami benar semangat kurikulum 2004 ini.
3. Pengawas dan Pembina
56
Untuk melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan yang maksimal para
pengawas dan pembina diharapkan untuk memahami benar semangat kurikulum yang
berbasis kompetensi dan hakekat kurikulum serta pembelajaran bahasa. Perubahan
mindset juga diperlukan oleh para pejabat di tingkat ini. Perubahan tersebut terutama
dengan memahami bahwa setiap bidang studi memiliki kekhasannya sendiri sehingga
teknik-teknik assessment maupun evaluasinya tidak dapat selalu diseragamkan dengan
mata pelajaran lainnya.
Selain itu, untuk melihat keberhasilan guru, para pengawas disarankan untuk
terjun langsung memeriksa proses dan kegiatan apa saja yang dilakukan guru di kelas.
Laporan-laporan tertulis yang bersifat formalitas dan banyak menyita waktu guru
sebaiknya tidak dituntut. Kegiatan pengawasan sebaiknya difokuskan kepada substansi
dengan melihat langsung apakah guru melakukan tugasnya sesuai dengan harapan
kurikulum. Guru memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan pelajaran sehingga,
seperti guru di negara maju, mereka tidak direpotkan dengan laporan-laporan formal.
Para pengawas dan pembina diharapkan bersikap kooperatif serta mampu menjadi mitra
yang berguna bagi pengembangan guru, membantu memecahkan masalah yang dihadapi
guru, dan sekaligus menjadi sumber yang dapat diandalkan.
Masalah terbesar yang dihadapi guru saat ini ialah banyaknya siswa dalam satu
kelas dan kurangnya guru yang mampu berbahasa Inggris lisan dengan baik. Selain itu
terdapat guru yang kreatif dan ada pula yang kurang kreatif. Untuk mengatasi hal ini,
akan sangat ideal jika pengajaran bahasa Inggris dilakukan dengan pengajaran tim,
artinya, satu kelas diajar oleh dua guru secara serentak (bukan bergiliran). Ini sangat
dianjurkan jika sekolah memiliki SDM dan sumber pendukung lain yang mencukupi.
C. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mengimplementasikan kurikulum ini
tidaklah istimewa. Segala sesuatu yang ada di lingkungan siswa dapat menjadi sumber
belajar yang bermanfaat tergantung dari daya kreasi guru dan siswa. Jika ada
laboratorium bahasa tentunya dapat dimanfaatkan, tetapi laboratorium hanya akan
berfungsi baik dan efektif jika berada di tangan guru yang kreatif. Perangkat seperti
57
tape recorder, VCD player, TV monitor merupakan alat yang sangat berguna untuk
mendapatkan model pengucapan dari penutur asli.
Siswa dapat juga dilibatkan dalam pembuatan media pengajaran dengan berbagai
project yang ditugaskan guru. Hasil karya mereka dapat dipamerkan atau digunakan di
kelas-kelas lain.
D. Bahan ajar
Perlu ditegaskan di sini bahwa kurikulum ini berbasis kompetensi yang
implikasinya ialah bahan ajar apa saja yang dinilai membantu pencapaian kompetensi
dapat digunakan. Tentu saja, pemilihan materi tersebut didasari oleh, misalnya, jenis
teks dengan struktur tertentu, teks tersebut otentik, menarik dan sebagainya. Guru tidak
diharuskan untuk memakai buku ajar tertentu, tetapi guru diharuskan memilih bahan
ajar yang bermanfaat.
Jika ada fihak yang berniat mengembangkan buku ajar maka buku tersebut
disarankan untuk dikembangkan berdasarkan empat tahap dan dua siklus pembelajaran
sebagaimana disebut di atas. Sebelum menulis buku, penulis wajib mengembangkan
semacam silabus sebagaimana dicontohkan dan menyusun pengalaman pembelajaran
menurut tahap dan siklus yang disarankan. Di atas semua ini, penulis buku sebaiknya
adalah guru atau penulis yang memiliki kompetensi bahasa Inggris yang baik dan
pernah bermukim di negara yang berbahasa Inggris. Ini disarankan untuk menjamin
otentisitas teks yang ditulisnya.
E. Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat
Masyarakat sekitar, terutama para orang tua siswa, sebaiknya dilibatkan dalam
proses pembelajaran dengan memberikan dukungan kongkrit. Akan tetapi dukungan
kongkrit biasanya akan datang jika sekolah atau guru menunjukkan kinerja kongkrit.
Kinerja tersebut tidak hanya berupa nilai hasil belajar, tetapi juga berupa kegiatan
seperti lomba menulis, pidato, debat, dan pagelaran bahasa Inggris seperti musik, tari,
drama dan sebagainya. Peran serta masyarakat industri dapat diharapkan jika pihak
58
industri melihat keseriusan sekolah dalam menggalakkan bahasa Inggris. Ini sudah
terjadi di negara seperti Korea Selatan.
59