RESUME
SKENARIO 4
BERSIN DAN BERINGUS
OLEH : KELOMPOK G
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2012
Bambang Prabawiguna
Ade Churie Tanjaya
Galih Dwiki Dharmawan
Meytrisna Ajeng Zwasktica
Cindy Noor Pradini
Dewi Puji Astutik
Anjani Putri Retnaningalih
Dyah Putri Hermaningtyas
Meita Astuti
Vony Safitri Y
092010101002
092010101016
112010101007
112010101014
112010101021
112010101028
112010101035
112010101042
112010101039
Aisyiyah Alviana Agustin
Hanifa Rosyida Risqi C.
Dimas Noor Zulfikar F.
Muhammad Firdaus
112010101064
112010101072
112010101079
112010101086
SKENARIO 4
BERSIN DAN BERINGUS
Spiderman, usia 17 tahun, dating ke tempat praktek dokter keluarga langganannya
dengan keluhan nyeri di bagian dahi sejak 1 minggu yang lalu disertai keluarnya ingus yang
banyak dank dang terasa menetes di belakang tenggorokan. Keluhan ini dirasakan sangat
mengganggu akktivitas belajarnya menjelang ujian sekolah. Pasien sudah mencoba mengobati
dengan minum obat flu yang dibelinya di warung, tetapi tidak ada perbaikan,
Berdasarkan anamnesis lebih lanjut, pasien memiliki riwayat sering bersin-bersin
terutama di pagi hari, disertai keluarnya ingus. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai
keluahan yang sama. Rekam medis pasien sebelumnyat tertulis bahwa ibu pasien memiliki
riwayat status asmatikus.
Setelah diperiksa oleh dokter didapatkan tekanan darah 110/70, temperatur 36,5˚C,
frekuensi nafas 16x/menit, denyut nadi 80x/menit. Didapatkan pula oedem concha nasalis
bilateral, dan nyeri tekan di tulang dahi. Pada pemeriksaan thorax tidak ditemulan kelainan.
Kemidian dokter menyarankan pasien untuk melakukan pemeriksaan radiologi. Sementara ini
dokter memberikan terapi simptomatik dan edukasi kepada pasien
MIND MAP
Manifestasi Klinis
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
Gejala dan pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Diagnosis Banding
Komplikasi
Penatalaksanaan
Prognosis
HIPERSENSITIVITAS TRAKTUS RESPIRATORIUS
RESPON IMUN
SPESIFIK
NON SPESIFIK
MACAM REAKSI
TIPE I
TIPE II
TIPE III
TIPE IV
MANIFESTASI KLINIS
UPPER
RINITIS ALERGI
SINUSITIS
POLIP NASI
LOWER
ASMA BRONKHIAL
STATUS ASMATIKUS
I. RESPON IMUN
1. Spesifik
Kekebalan tubuh spesifik adalah system kekebalan yang diaktifkan oleh
kekebalan tubuh nonspesifik dan merupakan system pertahanan tubuh yang ketiga.
Ciri-cirinya: Bersifat selektif terhadap bendaasing yang masuk ke dalam tubuh. Sistem
reaksi ini tidak memiliki reaksi yang sama terhadap semua jenis benda asing,
Menurut Anwar (2009) komponen yang terlibat dalam kekebalan tubuh
spesifik adalah:
a. Antigen:
Merupakan zat kimia asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang
terbentuknya antibody.Antigen memiliki struktur tiga dimensi sengan dua atau
lebih determinant site. Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat
melekat pada bagian sisi pengikatan pada antibody.Antigen dapat berupa
protein ,sel bakteri,atau zat kimia yang dikeluarkan mikroorganisme.
Jenis –jenis antigen:
Heteroantigen: antigen yang berasal dari spesies lain
Isoantigen: Antigen dari spesies sama tetapi struktur genetiknya berbeda
Autoantigen: Antigen yang berasal dari tubuh itu sendiri.
b. Hapten:
Merupakan suatu determinant site yang lepas dari struktur antigen. Hapten hanya
dapat berikatan dengan antibody apabila disuntikkan ke dalam tubuh.
c. Antibodi ( Imunoglobulin / Ig):
Merupakan zat kimia( protein plasma ) yang dapat mengidentifikasi antigen.
Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B. Ketika sel limfosit B mengidentifikasi
antigen,dengan cepat sel akan bereplikasi untuk menghasilkan sejumlah besar sel
plasma.Sel plasma lalu akan menghasilkan antibody dan melepaskanya ke dalam
cairan tubuh. Sel limfosit B juga menghasilkan sel memori B, dengan struktur
yang sama dengan sel limfositB,dan dapat hidup lebih lama daripada sel plasma.
Sistem kekebalan spesifik. ada 2 jenis kekebalan spesifik, yaitu
a. kekebalan selular (sel limfosit T)
b. kekebalan humoral (sel limfosit B yang memproduksi antibodi).
2. Non Spesifik
1. Peradangan
Rangkaian Peristiwa:
a. Produksi Faktor- Faktor Kimia Vasoaktif
Meliputi: Histamin (dari sel mast), serotonin (dari trombosit), derifat asam
arakidonat (leukotrien, prostaglandin, dan tromboksan), kinin (protein plasma
teraktivasi)
Efeknya:
Vasodilatasi pada area yang rusak
Peningkatan permeabilitas kapiler
Pembatasan area cidera
b. Kemotaksis
Gerakan fagosit kea rah cidera, terjadi dalam satu jam setelah permulaan
inflamasi
Migrasi perlekatan fagosit (neutrofil dan monosit) ke dinding endotel
kapiler yang rusak
Diapedesis migrasi fagosit melalui dinding kapiler menuju cidera, yang
pertama kali sampai adalah neutrofil kemudian disusul monosit yang
akhirnya menjadi makrofag
c. Fagositosis
Neutrofil dan magkrofag akan terurai secara enzimatik dan mati setelah
menelan sejumlah besar mikroorganisme
Leukosit mati, sel jaringan mati dan berbagai bentuk cairan tubuh
membentuk pus yang terus terbentuk sampai infeksi teratasi
Abses/ granuloma terbentuk jika respon inflamasi tidak dapat mengatasi
cidera atau invasi
d. Pemulihan
Melalui regenerasi jaringan atau pembentukkan jaringan parut
2. Respon interferon
Protein yang menjaga tubuh dari infeksi virus, dibuat dan dikeluarkan oleh sel- sel
system imun (Contoh: sel- sel darah putih, sel pembunuh alami, fibroblast-
fibroblast, dan sel epithelia)
Jenis Interferon:
IFN α diproduksi oleh leukosit yang terinfeksi virus
INF β diproduksi oleh fibroblast- fibroblast yang terinfeksi virus
INF γ diproduksi oleh dua jenis limfosit imun
3. Respon sel nk
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara:
Pertama, protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang
terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel
terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa
dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari
reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi.
Kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ) yang
akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam
memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba dan
mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk mensekresi
IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh mikroba
yang sudah dimakan tersebut.
4. Respon komplemen
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu:
Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen diaktivasi di permukaan
mikroba dan tidak dapat dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein
pengatur komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah).
Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen
lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik.
Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat
manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di permukaan
mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein pada jalur klasik, tetapi
karena aktivasinya tidak membutuhkan antibodi maka jalur lektin dianggap
sebagai bagian dari imunitas non spesifik.
II. MACAM REAKSI
1. Tipe 1
- disebut anaphilaksis, reagen dependent, imediate hipersensitivity reaction
- yang berperan Ig E
- mekanisme :
a. alergen masuk ketubuh melalui makanan, minuman, hisapan, suntikan
b. lalu merangsang sel B, menghasilkan Ig E
c. Ig E melekat pada mastosit (eusonofil, basofil, sel mast)
d. apabila terjadi ikatan antara Ig E+mastosit, akan menimbulkan degranulasi sel
mastosit yang mengeluarkan berbagai mediator antara lain: histamin,
proteoglikan, protease
e. Timbul gejala : vasodilatasi, permeabilitas pembuluh darah meningkat,
exudasi, oedema bronchus obstruksi, kontraksi otot polos
- contoh dalam klinik:
Asma Bronchial ekstriksik, rinitis alergika, hay fever (demam rumput), urtikaria,
dermatitis atopik, oezena
2. Tipe 2
- disebut reaksi sitotoksik
- yang berperan Ig G dan Ig M
- mekanisme :
a. Ag pada dinding sel, Ag berupa hapten
hapten merupakan zat kimia dalam bentuk bebas yang punya berat mol rendah
dan tidak merangsang pembentukan anti body. Jika hapten ini bergabung
dengan protein badan akan menjadi Ag.
b. Ab terikat Ag lalu di fagositosis
c. ada ikatan dengan komplemen
d. sehingga terjadi lisis sel alergen
Komplemen merupakan protein dalam serum normal yang akan bersatu dengan
kompleks Ag-Ab untuk terjadi lisis.
- contoh dalam klinik :
alergi obat-obatan, anemia hemolitik, trombositopenia, purpura, pansitopenia.
3. Tipe 3
- disebut reaksi antigen-antibody complex
- mekanisme :
a. pembentukan Ag komplek Ab, biasanya terdapat dalam darah
b. pelepasan komplemen, antara lain : faktor chemotaktik
c. pengikatan complemen untuk Ag komplek Ab
d. kerusakan sel trombosit menimbulkan pelepasan dari vaso amine aktif dan
microtrombosit
e. permebilitas jaringan vaskuler meningkat
f. deposisi Ag komplek Ab pada jaringan atau dinding vaskuler
g. pengikatan komplemen dan pelepasan MCF (machrofac chemotactic)
Ag-Ab Komplek
Agregasi Trombosit Aktivasi Komplemen
Microtrombosit
Pengeluaran vaso amine aktif
Anafilaktosin
Menarik Sel Polimorf
Pelepasan enzim proteolitik
Pelepasan Histamin
h. infiltrasi sel leukosit (PNF)
i. fagositosis Ag-Ab komplek oleh leukosit terjadi pelepasan enzim lisosom
j. kerusakan jaringan atau sel oleh lisosom
k. terjadi pengendapan fibrin
l. sehingga akan terjadi penyembuhan bila disebabkan karena Ag tunggal dan
terjadi deposisi chronic dan infiltrasi chronic bila terjadi pembentukan imun
komplek terus menerus.
- Skema :
- contoh dalam klinik :
a. rheumatid arthritis
b. alergi obat
c. ekstrinsik alergic alveolitis
d. peri arteritis nodosa
4. Tipe 4
- Hipersensitifitas lambat (>24 jam)
- Di bagi menjadi:
a. Delayed Type Hypersensitivity(melalui sel CD4+ yg berfungsi mengaktifkan
makrofag dan berperan sebagai sel efektor)
b. T sel Mediated Cytolysis(melalui sel CD8+ spesifik untuk antigen dapat
membunuh sel dengan langsung)
Patogenesis DTH(Delayed Hypersensitivity)
Antigen merangsang T CD4+ menjadi Th1 Th1 melepaskan INF alfa
reaktif,oksida nitrat dan sitokin proinflamasikerusakan jaringan
Contoh: reaksi granuloma,dermatitis kontak
Patogenesis T cell Mediated Cytolisis
Sel CD8+ berubah CTL(yg membunuh)bertemu dengan jaringan tubuh
yang dikenal sebagai musuhkerusakan jaringan
Contoh: penyakit autuomun
- disebut reaksi cell mediated imun reaction
- mekanisme :
a. reaksi Ag dengan sel limfosit T
b. terjadi pelepasan lymphokin, antara lain: MIF ( macrofag imigration) ; MAF
(macrofag activation F)
c. akibatnya akan memperbesar imun respon seluler
d. sehingga akumulasi sel makrofag aktif dan leukosit ketempat reaksi nekrose
jaringan atau sel sehingga terjadi ulserasi lokal/inflamasi
- contoh dalam klinik :
a. sensitivitas reaksi terhadap tuberculosis
b. reaksi terhadap transplantasi
c. tumor imunitas
d. contact dermatitis
III.MANIFESTASI KLINIS
1. Rinitis
a. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on
Asthma, 2001) rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen
yang diperantarai oleh Ig E.
b. Etiologi
Gejala rinitis alergik atau alergi hidung dapat dicetuskan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta
cetak, bau masakan, bubuk detergen, makanan atau bau minuman beralkohol.
Selama ini banyak pendapat mengatakan bahwa alergen penyebab pada bayi dan
anak sering disebabkan oleh makanan alergen ingestan, sedangkan alergen inhalan
lebih berperan dengan bertambahnya usia. Padahal ternyata setelah dicermati
makanan masih banyak berpengaruh juga pada gangguan alergi hidung pada
dewasa. Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan
tenggorok anak menjelang usia 4 tahun jarang ditemukan.
c. Patofisiologi
Manifestasi alergi pada hidung paling sering terjadi dibandingkan dengan
organ lain, karena fungsi hidung sebagai penyaring partikel dan alergen hirup
untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah. Partikel yang terjaring di
hidung akan dibersihkan oleh sistem mukosilia.
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini
berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah (lihat bab tentang asma
bronkial dan reaksi hipersensitivitas). Histamin bekerja langsung pada reseptor
histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada
bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan
gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler
yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal.
Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen.
Refleks bersin dan hipersekresi sebetulnya adalah refleks fisiologik yang
berfungsi protektif terhadap antigen yang masuk melalui hidung. Iritasi sedikit saja
pada daerah mukosa dapat seketika menimbulkan respons hebat di seluruh mukosa
hidung. Newly formed mediator adalah mediator yang dilepas setelah terlepasnya
histamin, misalnya leukotrien (LTB4, LTC4), prostaglandin (PGD2), dan PAF.
Efek mediator ini menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya permeabilitas
vaskular sehingga menyebabkan gejala hidung tersumbat (nasal blockage),
meningkatnya sekresi kelenjar sehingga menimbulkan gejala beringus kental
(mucous rhinorrhoe).
Kurang lebih 50% rinitis alergik merupakan manifestasi reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala baru timbul setelah 4-6 jam pasca
pajanan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan.
Prostaglandin (PGD2) banyak terdapat di sekret hidung ketika terjadi fase cepat,
tetapi tidak terdapat pada fase lambat, karena mediator ini banyak dihasilkan oleh
sel mast. Fase cepat diperankan oleh sel mast dan basofil, sedangkan fase lambat
lebih diperankan oleh basofil.
Gejala rinitis alergik fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya
penciuman, dan hiperreaktivitas lebih diperankan oleh eosinofil. Mekanisme
eosinofilia lokal pada hidung masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa teori
mekanisme terjadinya eosinofilia antara lain teori meningkatnya kemotaksis,
ekspresi molekul adhesi atau bertambah lamanya hidup eosinofil dalam jaringan.
Sejumlah mediator peptida (sitokin) berperan dalam proses terjadinya
eosinofilia. Sitokin biasanya diproduksi oleh limfosit T, tapi dapat juga oleh sel
mast, basofil, makrofag, dan epitel. IL-4 berperan merangsang sel limfosit B
melakukan isotype switch untuk memproduksi IgE, di samping berperan juga
meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada epitel vaskuler (VCAM-1) yang
secara selektif mendatangkan eosinofil ke jaringan. IL-3 berperan merangsang
pematangan sel mast. IL-5 berperan secara selektif untuk diferensiasi dan
pematangan eosinofil dalam sumsum tulang, mengaktifkan eosinofil untuk
melepaskan mediator, dan memperlama hidup eosinofil dalam jaringan. Akibat
meningkatnya eosinofil dalam jaringan maka terjadilah proses yang
berkepanjangan dengan keluhan hidung tersumbat, hilangnya penciuman, dan
hiperreaktivitas hidung.
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis rinitis alergik baru ditemukan pada anak berusia di atas 4-5
tahun dan insidensnya akan meningkat secara progresif dan akan mencapai 10-
15% pada usia dewasa. Manifestasi gejala klinis rinitis alergik yang khas
ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda. Pada anak manifestasi alergi
dapat berupa rinosinusitis berulang, adenoiditis, otitis media, dan tonsilitis.
Sesuai dengan patogenesisnya, gejala rinitis alergik dapat berupa rasa gatal di
hidung dan mata, bersin, sekresi hidung, hidung tersumbat, dan bernapas melalui
mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post nasal
drip yang ditelan. Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau
bergantian. Gejala bernapas melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang
dapat menimbulkan gejala tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur, serta
gejala kelelahan pada siang hari. Gejala lain dapat berupa suara sengau, gangguan
penciuman dan pengecapan, dan gejala sinusitis. Gejala kombinasi bersin, ingusan,
serta hidung tersumbat adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu dan
menjengkelkan.
Anak yang menderita rinitis alergik kronik dapat mempunyai bentuk wajah
yang khas. Sering didapatkan warna gelap (dark circle atau shiners) serta bengkak
(bags) di bawah mata. Bila terdapat gejala hidung tersumbat yang berat pada anak,
sering terlihat mulut selalu terbuka yang disebut sebagai adenoid face. Keadaan ini
memudahkan timbulnya gejala lengkung palatum yang tinggi, overbite serta
maloklusi. Anak yang sering menggosok hidung karena rasa gatal menunjukkan
tanda yang disebut allergic salute.
e. Klasifikasi
Menurut saat timbulnya, maka rinitis alergik dapat dibagi menjadi rinitis
alergik intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis) dan rinitis alergik
persisten (perennial-chronic-long duration rhinitis).
Rinitis alergik intermiten Rinitis alergik intermiten mempunyai gejala yang
hilang timbul, yang hanya berlangsung selama kurang dari 4 hari dalam
seminggu atau kurang dari empat minggu. Rinitis alergik musiman yang sering
juga disebut hay fever disebabkan oleh alergi terhadap serbuk bunga (pollen),
biasanya terdapat di negara dengan 4 musim. Terdapat 3 kelompok alergen
serbuk bunga yaitu: tree, grass serta weed yang tiap kelompok ini berturut-
turut terdapat pada musim semi, musim panas dan musim gugur. Penyakit ini
sering terjadi yaitu pada sekitar 10% populasi, biasanya mulai masa anak dan
paling sering pada dewasa muda yang meningkat sesuai bertambahnya umur
dan menjadi masalah pada usia tua. Gejala berupa rasa gatal pada mata, hidung
dan tenggorokan disertai bersin berulang, ingus encer dan hidung tersumbat.
Gejala asma dapat terjadi pada puncak musim. Gejala ini akan memburuk pada
keadaan udara kering, sinar matahari, serta di daerah pedesaan.
Rinitis alergik persisten Rinitis alergik persisten mempunyai gejala yang
berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu dan lebih dari 4 minggu. Gejala
rinitis alergik ini dapat terjadi sepanjang tahun, penyebabnya terkadang sama
dengan rinitis non alergik. Gejalanya sering timbul, akan tetapi hanya sekitar
2-4 % populasi yang mengalami gejala yang berarti. Rinitis alergik biasanya
mulai timbul pada masa anak, sedangkan rinitis non alergik pada usia dewasa.
Alergi terhadap tungau debu rumah merupakan penyebab yang penting,
sedangkan jamur sering pada pasien yang disertai gejala asma dan kadang
alergi terhadap bulu binatang. Alergen makanan juga dapat menimbulkan
rinitis tetapi masih merupakan kontroversi. Pada orang dewasa sebagian besar
tidak diketahui sebabnya. Gejala rinitis persisten hampir sama dengan gejala
hay fever tetapi gejala gatal kurang, yang mencolok adalah gejala hidung
tersumbat. Semua penderita dengan gejala menahun dapat bereaksi terhadap
stimulus nonspesifik dan iritan.
Sedangkan klasifikasi rinitis alergik yang baru menurut ARIA terdapat dua
jenis sesuai dengan derajat beratnya penyakit. Rinitis alergik dibagi menjadi rinitis
alergik ringan (mild) dan rinitis alergik sedang-berat (moderate-severe). Pada
rinitis alergik ringan, pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (seperti
bersekolah, bekerja, berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada
gejala yang berat. Sebaliknya pada rinitis alergik sedang-berat, aktivitas sehari-hari
pasien tidak dapat berjalan dengan baik, tidur terganggu, dan terdapat gejala yang
berat.
f. Diagnosis
Riwayat atopi dalam keluarga merupakan faktor predisposisi rinitis alergik
yang terpenting pada anak. Pada anak terdapat tanda karakteristik pada muka
seperti allergic salute, allergic crease, Dennie’s line, allergic shiner dan allergic
face seperti telah diuraikan di atas, namun demikian tidak satu pun yang
patognomonik.
Harus diperhatikan dengan cermat gejala: bersin berulang, rinore encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi.
Tanda Lain Yang menyertai
Pada rinoskopi anterior : mukosa edema, basah, berwarna pucat disertai sekret
encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Allergic shiner : terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung.
Allergic salute : menggosok-gosok hidung karena gatal
Allergic crease : garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
Facies adenoid : mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang
tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi
Cobblestone appearance : dinding posterior faring tampak granuler dan edema
Dinding lateral faring menebal
Geographic tongue : lidah tampak seperti gambaran peta.
g. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan THT dapat dilakukan dengan menggunakan rinoskopi kaku atau
fleksibel, sekaligus juga dapat menyingkirkan kelainan seperti infeksi, polip nasal
atau tumor. Pada rinitis alergik ditemukan tanda klasik yaitu mukosa edema dan
pucat kebiruan dengan ingus encer. Tanda ini hanya ditemukan pada pasien yang
sedang dalam serangan. Tanda lain yang mungkin ditemukan adalah otitis media
serosa atau hipertrofi adenoid.
Meskipun tes kulit dapat dilakukan pada semua anak tetapi tes kulit kurang
bermakna pada anak berusia di bawah 3 tahun. Alergen penyebab yang sering
adalah inhalan seperti tungau debu rumah, jamur, debu rumah, dan serpihan
binatang piaraan, walaupun alergen makanan juga dapat sebagai penyebab utama
namun sering diabaikan. Susu sapi sering menjadi penyebab walaupun uji kulit
sering hasilnya negatif. Uji provokasi hidung jarang dilakukan pada anak karena
pemeriksaan ini tidak menyenangkan.
Pemeriksaan in vitro (RAST, ELISA) untuk alergen spesifik hasilnya kurang
sensitif dibandingkan dengan tes kulit dan lebih mahal. Kadar normal IgE total dan
IgE spesifik pada anak lebih rendah dibandingkan dengan dewasa. Kurang dari
setengah penderita rinitis alergik anak mempunyai kadar IgE total yang meningkat.
Adapun kadar IgE total serum pada bayi adalah 0-1 IU/ml yang meningkat sesuai
dengan bertambahnya usia dan menetap setelah usia 20-30 tahun (100-150 IU/ml),
kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya usia.
Pemeriksaan sekret hidung dilakukan untuk mendapatkan sel eosinofil yang
meningkat >3% kecuali pada saat infeksi sekunder maka sel neutrofil segmen akan
lebih dominan. Gambaran sitologi sekret hidung yang memperlihatkan banyak sel
basofil, eosinofil, juga terdapat pada rinitis eosinofilia nonalergik dan mastositosis
hidung primer.
h. Diagnosa Banding
Rinitis Vasomotor
Disebut juga vasomotor catarrh, vasomotor rhinorrhea, nasal vasomotor
instability, atau juga non-allergic perennial rhinitis. Adalah suatu keadaan
idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan
hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung
dekongestan). Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila tidak dapat
diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai. Gejala sering dicetuskan
oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang
menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin,
pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar,
kelelahan, dan stress/emosi. Gejala yang timbul mirip dengan rinitis alergi,
namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan
kanan (tergantung posisi pasien). Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau
serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk
pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang
ekstrim, udara lembab, juga oleh karena asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3 golongan,
yaitu: Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang
baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topikal. Golongan
rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian anti kolinergik topikal
Golongan tersumbat (blockers), kongesti, umumnya memberikan respon yang
baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor lokal.
Diagnosis ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis
infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari
faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka
berwarna merah gelap/merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu
dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-
benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya
sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan ialah serosa
dan banyak jumlahnya. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil
pada sekret hidung, akan tetapi pada jumlah sedikit. Tes cukil kulit biasanya
negatif. Kadar Ig E spesifik tidak meningkat.
Rinitis Medikamentosa
- Definisi:
Suatu kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor akibat
pemakaian obat tetes hidung yang berlebihan
- Etiologi
Pemakaian vasokonstriktor topical (tetes hidung atau semprot hidung)
dalam waktu yang lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan
hidung yang menetap, hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang
berlebihan (drug abuse).
- Patofisiologi
Obat topical vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasi terganggu. Kerusakan yang terjadi pada mukosa
hidung pada pemakaian obat tetes hidung dalam waktu lama ialah:
o Silia rusak
o Sel goblet berubah ukurannya
o Membran basal menebal
o Pembuluh darah menebal
o Stroma tampak edema
o Hipersekresi kelenjar mucus dan perubahan pH secret hidung
o Lapisan sub-mucosa menebal
o Lapisan periostium menebal
- Gejala dan tanda
o Hidung tersumbat terus- menerus dan berair
o Edema/ hipertrofi konka dengan secret hidung yang berlebihan
o Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang
- Diagnosis
o Dari anamnesis riwayat penyakit sebelumnya, apakah ada alergi, dan
riwayat penggunaan obat tetes hidung
o Dari gejala dan tanda yang ditemukan saat pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
- Penatalaksanaan
o Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriksor hidung
o Kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek untuk mengatasi
sumbatan dan diberikan dengan dosis tapering off
o Dapat juga diberikan kortikosteroid topical selama minimal 2 minggu
untuk mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung
o Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)
Rinitis Simpleks
Merupakan penyakit virus yang di sebabkan oleh virus, dan sering juga
disebut selesma / common cold.disebabkan oleh rhinovirus. Dapat juga
disebabkan oleh myxovirus, virus Coxsackie, dan virus ECHO.ini dikarenakan
adanya paparan dari virus, dan akan cepat menular akibat tidak adanya
kekebalan tubuh / menurunnya daya tahan tubuh.
Pada stadium prodromal yang berlangsung selama berjam – jam dapat
dirasakan panas, kering, dan gatal dalam hidung. Dan akan bersin – bersin,
hidung tersumbat, dan ingus encer yang biasanya di ikuti dengan demam dan
nyeri kepala. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Jika terjadi
infeksi sekunder maka ingus menjadi muko purulen.
Tidak ada terapi spesifik untuk rinirtis simpleks, selain istirahat dan
pemberian obat – obatan simptomatis seperti analgetika, anti piretika dan obat
dekongestan. Antibiotika disunakan jika terdapat infeksi sekunder olah bakteri.
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinitis alergik pada anak terutama dilakukan dengan
penghindaran alergen penyebab dan kontrol lingkungan. Medikamentosa diberikan
bila perlu, dengan antihistamin oral sebagai obat pilihan utama. Imunoterapi pada
anak diberikan secara selektif dengan tujuan pencegahan. Jenis-jenis terapi
medikamentosa akan diuraikan di bawah ini
Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor
H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan
takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi generasi pertama dan kedua.
Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin, sedangkan
generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin. Generasi
terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali
sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung
dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi
kongesti hidung. Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi
dan efek antikolinergik. Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian
besar tidak menimbulkan sedasi, serta tidak mempunyai efek antikolinergik
atau kardiotoksisitas.
Antihistamin-H1 lokal Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan
levokobastin) juga bekerja dengan memblok reseptor H1. Azelastin
mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal bekerja
sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata.
Efek samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada
sebagian pasien.
Kortikosteroid intranasal Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason,
budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, dan triamsinolon) dapat
mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat ini merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif terhadap
kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal
terlihat setelah beberapa hari. Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih
banyak dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian lama dan efek lokal
obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping setelah pemberian
kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung
dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari
pada waktu pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan
keluhan hidung tersumbat yang menonjol.
Kortikosteroid oral/IM Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason,
hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon, prednison, triamsinolon, dan
betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan hiperreaktivitas nasal.
Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,
kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian
kortikosteroid oral/IM. Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek
samping sistemik mempunyai batas yang luas. Pemberian kortikosteroid
sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak. Pada anak kecil perlu
dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.
Kromon lokal (‘local chromones’) Kromon lokal (local chromones), seperti
kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya belum banyak diketahui.
Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal kurang efektif
dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat
keamanannya baik. Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai
stabilisator sel mast dapat diberikan pada anak yang kooperatif. Obat ini
biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak dijumpai efek
samping.
Dekongestan oral Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan
pseudoefedrin, merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala
kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada pasien dengan penyakit jantung
harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain hipertensi, berdebar-debar,
gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan membran mukosa,
retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan oral
dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi
dengan antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek
samping juga bertambah.
Dekongestan intranasal Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin,
oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat simpatomimetik yang
dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja lebih cepat dan
efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi kurang dari
10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya
sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor
topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun
karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
Antikolinergik intranasal Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium)
dapat menghilangkan gejala beringus (rhinorrhea) baik pada pasien alergik
maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan tidak terdapat efek
antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik
pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.
Anti-leukotrien Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan
zafirlukast, akan memblok reseptor CystLT, dan merupakan obat yang
menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai obat-
obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
2. Sinusitis Maxillaris
a. Definisi
Siniusitis masksila adalah inflamasi mukosa sinus maksila umunya disertai atau
dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.
b. Etiologi
Bianya jika oleh virus, dapat sembuh dalam beberapa hari. Namun jika menetap,
bakteri akan masuk dan akan memperparah keadaan.
Terdapat 2 sumber infeksi yaitu :
– Rhinogen :
• Dari rinitis akut oleh karena buang ingus yang salah
• Sept. deviasi
• Polip nasi / rinitis alergi
– Dentogen :
• Karies gigi P2 - M3
• Abses gigi
• Post ekstraksi gigi→ fistel oro anthral
c. Klasifikasi
Berdasarkan waktunya dibedakan :
Sinusitis maksilaris Akut : < 4 minggu didapatkan tanda-tanda radang akut
Gejala :
– Pdu didahului kel. Rinitis akut
– Febris / sub febris
– Pipi kemeng, sefalgi t.u sore hari
– Pilek 1 sisi kadang bercampur darah dan berbau
Pemeriksaan fisik :
– Inspeksi : - Oedem di daerah pipi
- Hiperemi di daerah pipi terutama jika kulit putih
– Palpasi : - nyeri tekan pada drh fossa kanina
– Rinoskopi anterior : - Mukosa cavum Nasi udim, hiperemi
- Pus di meatus med.
Transluminasi : pdu gelap pada sisi yang sakit
X foto water’s : perselubungan pd sisi yang sakit
Terapi :
– Dekongestan local
– Analgetik
– Hilangkan faktor penyebab
Sinusitis maksilaris Sub akut : 4 minggu -3 bulan tanda akut (-)
Gejala : seperti sinusitis maks. akut hanya tanda-tanda radang akut sudah
reda.
Terapi
– Irigasi sinus
– Diatermi SWD : Short Wave Diathermy
– Hilangkan faktor penyebab
Sinusitis maksilaris Kronis : > 3 bulan perubahan Mukosa hidung sinus
irreversibel ( polip, kista, fibrosis)
Terjadi perubahan mukosa sinus : degenerasi cystous, polip, fibrosis,
metaplasi. Sering terjadi pada Penyakit alergi. Dapat merupakan lanjutan
dari sinusitis maksilaris akut yang tidak diobati
Gejala bervariasi ;
– Pilek berbau 1 sisi
– Gejala tenggorok : rasa tidak nyaman, batuk
– Sakit kepala 1 sisi
Pemeriksaan RA : terdapat pus di meatus med.
Pemeriksaan RP : Post nasal drip
Terapi :
– Medika mentosa
– Irigasi sinus maksilaris 1x/minggu
– Operasi Caldwell luc/ Claue
– Hilangkan faktor penyebab
Komplikasi : Osteomyelitis, selulitis orbita – abses orbita
DD : Ca Sinus Maksilaris
d. Patofisiologi
Biasanya terjadi pada organ Osteo meatal Kompleks. Karena organ yang
membentuk OMK berdekatan, jadi jika terdapat edema, mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan akan terjadi
penumpukan secret dan menyumbat OMK. Akibatnya akan terjadi tekanan
negative didalam rongga sinus.
Sinusitis maks paling sering dijumpai oleh karena :
– Letak ostiumnya tinggi
– Letak ostiumnya paling rendah diantara sinus lain
– Dasar sinus maxillaris adalah dasar akar gigi ( proc. Alveolaris )
e. Gejala
Hidung tersumbat
Nyeri tekan pada muka
Ingus purulen
Post nasal drip
f. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik:
o Rinoskopi anterior
o Transiluminasi
Pemeriksaan penunjang
o CT scan
o Waters Foto
g. Terapi
Antibiotic
Decongestan
Antihistamin
h. Tindakan Operasi
BSEF
Caldwel LUC
3. Sinusitis Frontalis
Terjadi karena sinus frontalis akut yang susah / tidak diobati, terdapat gangguan
drainase polip , deviasi septum
Gejala klinis: seperti Sinusitis frontalis akut tapi lebih ringan
Terapi :operasi ( hilangkan faktor obstruksi)
Komplikasi: osteomyelitis frontalis, infiltrate / abses orbita, thrombosis sinus
kavernosus, endo cranial
4. Polip Nasi
a. Definisi
Polip Nasi merupakan suatu bentuk penonjolan mukosa cavum nasi yang panjang
dan bertangkai. Polip nasi atau polip hidung adalah kelainan selaput permukaan
hidung berupa massa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan licin dan agak bening karena
mengandung banyak cairan.
b. Etiologi
Etiologi pasti hingga sekarang belum diketahui, tetapi terdapat 3 faktor penting
yang berperan di dalam terjadinya polip, yaitu :
Peradangan lama dan berulang pada selaput permukaan hidung dan sinus
Gangguan keseimbangan Vasomotor
Peningkatan tekanan cairan antar ruang sel dan bengkak selaput permukaan
hidung
c. Patofisiologi
Etiologi secara pasti belum ditemukan, akan tetapi penyebab yang paling sering
adalah alergi dan radang kronis. Apabila kedua penyebab tersebut terjadi dalam
waktu yang lama dan berulang-ulang maka akan menyebabkan oedem, penonjolan
mukosa, yang panjang dan bertangkai, yang akan menimbulkan polip. Derajat
kepadatan jaringan ikat padat dan pembuluh darah mempengaruh derajat
kepadatan oedem, yang akan menentukan timbulnya polip. Konka nasi inferior dan
septum nasi jarang terserang oleh polip karena banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat padat.
d. Klasifikasi
Polip Nasi dibedakan menjadi 2, yaitu :
Polip multiple (paling sering), berasal dari sel-sel etmoid yang melalui ostium
sinus maxilaris untuk memenuhi cavum nasi.
Polip soliter, berasal dari sinus maxilaris dan coane sehinnga dinamakan polip
coanal
e. Gejala klinis
Rhinorea/Pilek, secret mucus. Rhinorea/Pilek akan hebat jika penderita juga
terserang rhinitis akut
Buntu hidung, bias parsial dan bias total
Gangguan akibat buntu hidung, misalnya suara bindeng, batuk, sakit kepala
Pada anamnesis kasus polip biasanya timbul keluhan utama adalah hidung
tersumbat.Gejala lain adalah hiposmia (gangguan penciuman), kelainan di organ
sekitarnya seperti post nasal drip (cairan yang mengalir di bagian belakang mulut),
suara bindeng, nyeri muka, telinga terasa penuh, snoring (ngorok), gangguan tidur
dan penurunan kualitas hidup.
f. Diagnosis
Anamnesis dengan teliti,lengkap, dan cermat
Pemeriksaan fisik
– Inspeksi : dapat dijumpai pelebaran cavum nasi terutama pada polip yang
berasal dari sel-sel etmoid (polip multiple)
– Rinoskopi anterior : tampak secret mucus dan polip soliter atau polip
multiple.Polip perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, dengan cara
memasukkan kapas yang sudah dibasahi dengan larutan efedri 1 %
(vasokonstriktor), apabila konka nasi yang berisi banyak pembuluh darah
nanti akan mengecil, apabila polip tidak akan mengecil.
– Rinoskopi posterior ; kadang-kadang terdapat polip koanal
Pemeriksaan penunjang
– Sitologi hidung : ditemukan eusinofil (alergi inhalan), basofil (alergi
ingestan), sel PMN (infeksi bakteri)
– Rinoskopi anterior : konka udim dan pucat, secret seromusinus
– Tes kulit : “Prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet
eliminasi dan provokasi) dan IPFT (alergi ingestan)
g. Terapi
Terapi kausal belum ada
Terapi yang dapat dilakukan adalah:
– Ektrakasi polip (paliatif) : dengan anastesi local (silokain 2%, efedrin 1%),
polip dijerat sedekat mungkin pada dasar tangkai, kemudian ditampon
– Terapi dari sudut alergi kalau ada latar belakang alergi
– Etmoidektomi kalu polip berasal dari sel-sel etmoid
– Operasi Caldwell-luc kalau polip mengisi sinus maksilaris
Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid kadang bisa
memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.
Pembedahan dilakukan jika:
– Polip menghalangi saluran pernafasan
– Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
– Polip berhubungan dengan tumor.
Polip cenderung tumbuh kembali jika penyebabnya (alergi maupun infeksi)
tidak terkontrol. Pemakaian obat semprot hidung yang mengandung
corticosteroid bisa memperlambat atau mencegah kekambuhan. Tetapi jika
kekambuhan ini sifatnya berat, sebaiknya dilakukan pembedahan untuk
memperbaiki drainase sinus dan membuang bahan-bahan yang terinfeksi.
5. Asma Bronkhial
a. Definisi
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible
dimana trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma
bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil
dari pengobatan (The American Thoracic Society).
b. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu :
Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus
yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika
ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan
terjadi serangan asma ekstrinsik.
Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma
ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
Faktor Predisposisi Genetik.
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial
jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran
pernafasannya juga bisa diturunkan.
Faktor presipitasi
– Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan
jam tangan)
– Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim
hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin
serbuk bunga dan debu.
– Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang
timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan
emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena
jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
– Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal
ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini
membaik pada waktu libur atau cuti.
– Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.
c. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang
menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas
bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma
tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal
dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast
yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan
bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang
tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa
menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian,
maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang
menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional
dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan
barrel chest.
d. Klasifikasi
Derajat Gejala Gejala malam Faal
paru
Intermite
n
Gejala kurang dari 1x/minggu
Asimtomatik
Kurang dari 2 kali
dalam sebulan
APE >
80%
Mild
persistan
-Gejala lebih dari 1x/minggu tapi
kurang dari 1x/hari
-Serangan dapat menganggu
Aktivitas dan tidur
Lebih dari 2 kali
dalam sebulan
APE
>80%
Moderate
persistan
-Setiap hari,
-serangan 2 kali/seminggu, bisa
berahari-hari.
-menggunakan obat setiap hari
-Aktivitas & tidur terganggu
Lebih 1 kali dalam
seminggu
APE 60-
80%
Severe
persistan
- gejala Kontinyu
-Aktivitas terbatas
-sering serangan
Sering APE
<60%
e. Gejala Klinis
Penyakit asma mempunyai manifestasi fisiologis berbentuk penyempitan yang
meluas pada saluran udara pernafasan yang dapat sembuh spontan atau sembuh
dengan terapi. Penyakit ini brsifat episodik dengan eksaserbasi akut yang diselingi
oleh periode tanpa gejala.
Keluhan utama penderita asma adalah sesak napas mendadak disertai inspirasi
yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi dan diikuti oleh bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan.
Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan
sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat
atau tiba-tiba menjadi berat. Hal ini sering terjadi terutama pada penderita dengan
rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas. Sedangkan pada sebagian
besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak di
daerah retrosternal.
f. Diagnosis banding
Bronkitis kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
terjadi pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di
pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani
pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema
biasanya tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat
melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong,
gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
Gagal jantung kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena
sesak, tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah,
nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik
didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop,
sianosis, dan hipertensi.
g. Diagnosis asma bronkial
Anamnesa
– Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk
berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari.
– Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible.
– Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit
alergi yang lain.
Pemeriksaan Fisik
– Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih
nyaman dalam posisi duduk.
– Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi.
– Paru :
Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke
bawah.
Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang.
Perkusi : hipersonor
Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri
Pemeriksaan laboratorium
– Darah rutin didapat peningkatan eosinofil dan IgE
– Sputum didapat adanya eosinofil, spiral crushman, kristal charcot Leyden.
– Foto toraks dapat normal diluar serangan, hiperinflasi saat serangan,
adanya penyakit lain
– Faal paru (spirometri /peak flow meter) menilai berat obstruksi,
reversibilitas, variabilitas
– Uji provokasi bronkus untuk membantu diagnosis
6. Status Asmatikus
a. Definisi
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma
yang berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap
pengobatan yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau
perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu
sampai dua jam.
b. Gambaran klinis status asmatikus
Penderita tampak sakit berat dan sianosis.
Sesak nafas, bicara terputus-putus.
Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat.
Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma.
c. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan asma
– Menghilangkan & mengendalikan gejala asma
– Mencegah eksaserbasi akut
– Meningkatkan & mempertahankan faal paru optimal
– Mengupayakan aktivitas normal (exercise)
– Menghindari ESO
– Mencegah airflow limitation irreversible
– Mencegah kematian
Terapi awal
– Pasang Oksigen 2-4 liter/menit dan pasang infuse RL atau D5.
– Bronkodilator (salbutamol 5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi dan
pemberian dapat diulang dalam 1 jam.
– Aminofilin bolus intravena 5-6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini
dalam 12 jam sebelumnya cukup diberikan setengah dosis.
– Anti inflamasi (kortikosteroid) menghambat inflamasi jalan nafas dan
mempunyai efek supresi profilaksis
– Ekspektoran. Adanya mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) di dalam
saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh
karenanya harus diencerkan dan dikeluarkan, misalnya dengan obat batuk
hitam (OBH), obat batuk putih (OBP), gliseril guaiakolat (GG)
– Antibiotik hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh
rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang
meninggi. Antibiotika yang efektif adalah :
Pengobatan berdasarkan saat serangan :
o Reliever/Pelega:
- Gol. Adrenergik: Adrenalin/epinephrine, Ephedrine (oral)
- Short Acting beta 2-agonis (SABA) : Salbutamol / Ventolin
(oral, injeksi, inhalasi), Terbutaline / Bricasma (oral, injeksi,
inhalasi), Fenoterol / Berotec (inhalasi), Procaterol / Meptin
(oral, inhalasi), Orciprenaline / Alupent (oral, inhalasi),
Aminophylline (oral, injeksi), Theophylline (oral)
- Gol. Antikolinergik: Atropin (injeksi), Ipratropium bromide
(inhalasi)
- Gol. Steroid: Methylprednisolone (oral, injeksi),
Dexamethasone (oral, injeksi), Beclomethasone / Beclomet
(inhalasi), Budesonide / Pulmicort (inhalasi), Fluticasone /
Flixotide (inhalasi)
o Controller/Pengontrol:
- Gol. Adrenergik
- Long-acting beta 2-agonis (LABA) à Salmeterol & Formoterol
(inhalasi)
- Gol. Methylxantine: Theophylline Slow Release
- Gol. Steroid: inh., oral, inj.
- Leukotriene Modifiers: Zafirlukast
- Cromolyne sodium: inhalasi
- Kombinasi LABA & Steroid: inhalasi
Terapi serangan asma akut
Berat
ringannya
serangan
Terapi Lokasi
Ringan Terbaik : Agonis beta 2 inhalasi
diulang setia 1 jam
Alternatif : agonis beta 2 oral 3 X
2 mg
Di rumah
Sedang Terbaik : oksigen 2-4 liter/menit
dan agonis beta 2 inhalasi
Alternatif :agonis beta 2
IM/adrenalin subkutan.
Aminofilin 5-6mg/kgbb
- puskesmas
- klinik rawat jalan
- IGD
-praktek dokter umum
-rawat inap jika tidak
ada respons dalam 4
jam.
Berat Terbaik :
-Oksigen 2-4 liter/menit
-agonis beta 2 nebulasi diulang
s/d 3 kali dalam 1 jam pertama
-aminofilin IV dan infuse
- IGD
- Rawat inap apabila
dalam 3 jam belum ada
perbaikan
-pertimbangkan masuk
-steroid IV diulang tiap 8 jam ICU jika keadaan
memburuk progresif.
Menganca
m jiwa
Terbaik
-lanjutkan terapi sebelumnya
-pertimbangkan intubasi dan
ventilasi mekanik
ICU
Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk
o meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum
dan pola penyakit asma sendiri)
o meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
o membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma
d. Pencegahan
Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
Menghindari kelelahan
Menghindari stress psikis
Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
Olahraga renang, senam asma
e. Komplikasi
Pneumotoraks
Pneumodiastinum dan emfisema subcutis
Atelektasis
Gagal nafas