REFERAT
MDR TB (Multiple Drug Resistance Tuberculosis)
Disusun Oleh:
Khoirun Mukhsinin Putra (10910300053)
Raden Nabilla Ayesha (109103000035)
Pembimbing:
dr. Muhardi, SpP
KEPANITERAAN KLINIK SMF PULMONOLOGI RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
Tuberkulosis. Ada beberapa mikrobakteri patogen, namun hanya yang strain bovin dan
manusia yang patogenik dengan manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4 mm,
ukuran ini lebih kecil dari sel darah merah. Jika tidak diobati , penyakit ini dapat berakibat
fatal dalam 5 tahun sekitar 50 - 65 % kasus . Transmisi biasanya terjadi melalui udara
menyebar dari droplet inti yang dihasilkan oleh pasien dengan infeksi TB paru.
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Hasil surveilans
secara global menemukan bahwa OAT yang resisten terhadap M. tuberculosis sudah
menyebar dan mengancam program tuberkulosis kontrol di berbagai negara.
Resisten ganda (multidrugs resistant tuberculosis/TB-MDR ) merupakan masalah
terbesar terhadap pencegahan dan pemberantasan TB dunia. Pada tahun 2003 WHO
menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% pertahun. Prevalens TB
diperkirakan WHO meningkat 4,3% di seluruh dunia dan lebih dari 200 kasus baru terjadi di
dunia. Di negara berkembang prevalens TB-MDR berkisar antara 4,6%-22,2%.5 Pola TB-
MDR di Indonesia khususnya RS Persahabatan tahun 1995-1997 adalah resistensi primer
4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. Penelitian Aditama mendapatkan
resistensi primer 6,86% sedangkan resistensi sekunder 15,61%. Hal ini patut diwaspadai
karena prevalensnya cenderung menunjukan peningkatan. Penelitian di RS Persahabatan
tahun 1998 melaporkan proporsi kesembuhan penderita TB-MDR sebesar 72% menggunakan
paduan OAT yang masih sensitif ditambah ofloksasin.
Banyak negara sudah menerapkan strategi DOTS dalam penatalaksanaan TB hal ini
tenyata sangat bermanfaat untuk meningkatkan angka kesembuhan sehingga mengurangi
angka resitensi termasuk resitensi ganda.
Pada Multidrug-resistant TB (MDR-TB) merupakan masalah global yang sangat
meningkat, dimana dalam hal ini sebagian besar kasus yang timbul dikarenakan kesalahan
dokter dan pasien dimana ketidak patuhan selama pengobatan TB. Cakupan serta beban
MDR-TB sangat bervariasi baik lintas negara maupun lintas daerah. Seperti TBC itu sendiri,
beban yang luar biasa pada MDR-TB terdapat bada daerah dengan tingkat kemiskinan yang
tinggi atau Negara dengan sumber daya yang rendah. Pada orang dengan riwayat pengobatan
sebelumnya atau pada kasus kegagalan pengobatan, Pengobatan di negara maju sangat mahal
dan melibatkan rejimen individual berdasarkan data kerentanan obat dan penggunaan obat
cadangan. Terlepas dari adanya upaya yang kuat dalam program pengontrolan tuberculosis,
dibutuhkan juga survey yang berkala dan berkelanjutan tentang resistensi obat ini yang bisa
memberikan informasi dalam tipe kemoterapi yang dapat digunakan pada pengobatan pasien
serta menjadi parameter dalam evaluasi program kemoterapi yang sedang dilakukan maupun
yang sudah lalu.
Karena infeksi dengan resistan obat M.Tuberculosis sangat beresiko, persiapan
khusus harus disiapkan dengan hati-hati untuk memperkecil resiko di dalam kontak pasien
ini. Pencegahan mempunyai dua aspek yaitu mekanika dan chemoprophylaxis. Aspek
mekanis prevensi termasuk ventilasi yang yang bagus, iradiasi germisidal dengan UV,
penggunaan masker, respirator dan filtrasi ketat dari pasien yang diisolasi. Kemoprophylaxis
termasuk perawatan dari kontak-kontak dengan yang menggunakan Pyrazinamide (Z) dan
Ofloxacin/Ciprofloxacin atau E dan Z atau Ofloxacin / Ciprofloxacin.
EPIDEMIOLOGI
Pada survei WHO dilaporkanlebih dari 90.000 pasien TB di 81 negara, ternyata angka
TB-MDR lebih tinggi dari yang diperkirakan. Enam negara dengan kekerapan TB-MDR
tinggi di dunia adalah Estonia, Kazakhstan, Latvia, Lithunia, bagian dari federasi Rusia dan
Uzbekistan. WHO memperkirakan ada 300.000 kasus TB-MDR baru per tahun. OAT yang
resisten terhadap kuman tuberkulosis akan semangkin banyak, saat ini 79% dari TB-MDR
adalah “ super strains” yang resisten paling sedikit 3 atau 4 obat antituberkulosis.
Multiple Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB) adalah suatu keadan dimana M.
tuberculosis telah resisten terhadap INH dan rifampisin saja atau resisten terhadap INH dan
rifampisin serta OAT lini pertama lainnya. Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi
yang menular di mana Sumber penularan adalah dahak yang mengandung kuman TB.
Estimasi global terhadap insidensi MDR-TB pada tahun 2006 adalah sebesar 489.139 atau
sekitar 4,8% dari jumlah total estimasi insidens tuberkulosis (TB) di 114 negara pada tahun
2006 (10.229.315). Resistensi obat pada kasus TB adalah masalah yang mendapat perhatian
besar dalam program penanggulangan TB oleh karena beberapa strain MDR-TB yang sulit
diobati.
Prevalensi resistensi OAT diantara pasien baru merupakan indikator yang sangat
penting dalam program pengendalian TB. Kejadian resistensi M. tubercolosis terhadap OAT
adalah akibat mutasi alami. Penyebaran selanjutnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan
penyakit seperti : Kesalahan pengelolaan OAT, kesalahan manajemen kasus TB, kesalahan
proses penyampaian OAT kepada pasien, kesalahan hasil uji sensitifitas obat, pemakaian
OAT dengan mutu rendah serta kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang
tidak selesai. Resistensi terhadap OAT lini pertama berhubungan dengan adanya mutasi
sedikitnya pada 10 gen, yaitu katG, inhA, ahpC, kasA and ndh untuk resistensi terhadap INH;
rpoB untuk resistensi terhadap RIF, embB untuk resistensi terhadap EMB; pncA untuk
resistensi terhadap PZA serta rpsL dan rrs untuk resistensi terhadap streptomisin Metode
untuk mendeteksi resistensi OAT diantaranya dengan metode fenotiping yang dapat
dilakukan denagn metode proporsi, konsentrasi absolut, rasio resistensi dan dengan cara
otomatis menggunakan Bactec serta MGIT. Selain itu dapat juga dilakukan genotiping untuk
melihat keberadaan gen resistensi.
ANATOMI SALURAN PERNAPASAN
Saluran pernafasan terdiri dari rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea,
dan paru. Laring membagi saluran pernafasan menjadi 2 bagian, yakni saluran pernafasan
atas dan saluran pernafasan bawah. Pada pernafasan melalui paru-paru atau pernafasan
external, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernafas, oksigen masuk
melalui trakea dan pipa bronchial ke alveoli dan dapat erat hubungan dengan darah didalam
kapiler pulmunaris.
Hanya satu lapis membran yaitu membran alveoli, memisahkan oksigen dan darah
oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa
ke jantung. Dari sini dipompa didalam arteri kesemua bagian tubuh. Darah meninggalkan
paru-paru pada tekanan oksigen 100 mm hg dan tingkat ini hemoglobinnya 95%. Di dalam
paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan. Metabolisme menembus membran
alveoli, kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial, trakea,
dinafaskan keluar melalui hidung dan mulut.
SISTEM SALURAN PERNAFASAN
Gambar : Anatomi Paru
FISIOLOGI PARU
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Seperti yang telah diketahui,
dinding toraks berfungsi sebagai penembus. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar
karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus, skalenus dan
interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.
Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada
turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Pengurangan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi terbalik,
sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan tekanan atmosfir menjadi
sama kembali pada akhir ekspirasi.
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membrane alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 μm). Kekuatan pendorong
untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas. Tekanan
parsial oksigen dalam atmosfir pada permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu
oksigen diinspirasi dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekiktar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial ini terjadi berdasarkan
fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara dalam ruangan sepi anatomic saluran
udara dan dengan uap air. Perbedaan tekanan karbondioksidaantara darah dan alveolus yang
jauh lebih rendah menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida
ini kemudian dikeluarkan ke atmosfir.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen di kapiler darah
paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak selama 0,75
detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-paru normal memiliki cukup cadangan waktu
difusi. Pada beberapa penyakit misal; fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat
sehingga ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana waktu
kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak
diakui sebagai faktor utama.
Sistem Pertahanan Paru
Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan
terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertahankan tubuh. Sebagaimana mekanisme
tubuh pada umumnya, maka paru-paru mempunyai pertahanan seluler dan humoral. Beberapa
mekanisme pertahanan tubuh yang penting pada paru-paru dibagi atas :
1. Filtrasi udara
Partikel debu yang masuk melalui organ hidung akan :
- Yang berdiameter 5-7 μ akan tertahan di orofaring.
- Yang berdiameter 0,5-5 μ akan masuk sampai ke paru-paru
- Yang berdiameter 0,5 μ dapat masuk sampai ke alveoli, akan tetapi dapat pula di keluarkan
bersama sekresi.
2. Mukosilia
Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam mucus akan digerakkan oleh silia
keluar menuju laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada
kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas silia yang mungkin terganggu oleh
iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia.
3. Sekresi Humoral Lokal
zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari :
- Lisozim, dimana dapat melisis bakteri
- Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik
- Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam membunuh
virus.
- Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi virus.
Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru yang berulang.
4. Fagositosis
Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian
menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai
fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen.
Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah :
- Gerakan mukosiliar.
- Faktor humoral lokal.
- Reaksi sel.
- Virulensi dari kuman yang masuk.
- Reaksi imunologis yang terjadi.
- Berbagai faktor bahan-bahan kimia yang menurunkan daya tahan paru, seperti alkohol,
stress, udara dingin, kortikosteroid, dan sitostatik.
ETIOLOGI DAN PATOMEKANISME
Hasil pengamatan terhadap resistensi Mycobacterium
tuberculosis menunjukkan bahwa terhadap obat pilihan pertama dengan
kisaran 24,24% sampai 43,43%. Resistensi terendah adalah terhadap
INH (24,24%) dan tertinggi Rifampisin (43,43%), sedangkan terhadap
Streptomisin terdapat resistensi sebesar 33,33% dan terhadap
Ethambutol 26,26%. Resistensi terhadap OAT pilihan kedua berkisar
antara 14,29% sampai 49,50%. Resistensi tertinggi terhadap Kanamisin
dan terendah terhadap Ofloksasin.
Multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) adalah TB yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis (M. TB) resisten in vitro
terhadap isoniazid (H) dan rifampisin (R) dengan atau tanpa resisten
obat lainnya. Terdapat 2 jenis kasus resistensi obat yaitu kasus baru dan kasus telah diobati
sebelumnya. Kasus baru resisten obat TB yaitu terdapatnya galur M. TB resisten pada pasien
baru didiagnosis TB dan sebelumnya tidak pernah diobati obat antituberkulosis (OAT) atau
durasi terapi kurang 1 bulan. Pasien ini terinfeksi galur M. TB yang telah resisten obat
disebut dengan resistensi primer. Kasus resisten OAT yang telah diobati sebelumnya yaitu
terdapatnya galur M. TB resisten pada pasien selama mendapatkan terapi Tb sedikitnya 1
bulan. Kasus ini awalnya terinfeksi galur M TB yang masih sensitif obat tetapi selama
perjalanan terapi timbul resistensi obat atau disebut dengan resistensi sekunder (acquired).
Secara mikrobiologi resistensi disebabkan oleh mutasi genetik dan hal ini membuat
obat tidak efektif melawan basil mutan. Mutasi terjadi spontan dan berdiri sendiri
menghasilkan resistensi OAT. Sewaktu terapi OAT diberikan galur M. TB wild type tidak
terpajan. Diantara populasi M. TB wild type ditemukan sebagian kecil mutasi resisten OAT.
Resisten lebih 1 OAT jarang disebabkan genetik dan biasanya merupakan hasil penggunaan
obat yang tidak adekuat. Sebelum penggunaan OAT sebaiknya dipastikan M. TB sensitif
terhadap OAT yang akan diberikan. Sewaktu penggunaan OAT sebelumnya individu telah
terinfeksi dalam jumlah besar populasi M. TB berisi organisms resisten obat. Populasi galur
M. TB resisten mutan dalam jumlah kecil dapat dengan mudah diobati. Terapi TB yang tidak
adekuat menyebabkan proliferasi dan meningkatkan populasi galur resisten obat. Kemoterapi
MDR
jangka pendek pasien resistensi obat menyebabkan galur lebih resisten terhadap obat yang
digunakan atau sebagai efek penguat resistensi. Penularan galur resisten obat pada populasi
juga merupakan sumber kasus resistensi obat baru. Meningkatnya koinfeksi TB HIV
menyebabkan progresi awal infeksi MDR TB menjadi penyakit dan peningkatan penularan
MDR-TB.
Banyak faktor penyebab MDR TB. Beberapa analisis difokuskan pada ketidakpatuhan
pasien. Ketidakpatuhan lebih berhubungan dengan hambatan pengobatan seperti kurangnya
pelayanan diagnostik, obat, transportasi, logistik dan biaya pengendalian program TB. Survei
global resistensi OAT mendapatkan hubungan antara terjadinya MDR Tb dengan kegagalan
program TB nasional yang sesuai petunjuk program TB WHO. Terdapatnya MDR TB dalam
suatu komuniti akan menyebar. Kasus tidak diobati dapat menginfeksi lebih selusin penduduk
setiap tahunnya dan akan terjadi epidemic khususnya di dalam suatu institusi tertutup padat
seperti penjara, barak militer dan rumah sakit. Penting sekali ditekankan bahwa MDR TB
merupakan ancaman baru.
Pengendalian sistematik dan efektif pengobatan TB yang sensitive melalui DOTS
merupakan senjata terbaik untuk melawan berkembangnya resistensi obat. Terdapat 5 sumber
utama resisten obat TB menurut kontribusi Spigots, yaitu :
1. Pengobatan tidak lengkap dan adekuat menyebabkan mutasi M. TB resistensi
2. Lamanya pasien menderita infeksi disebabkan oleh keterlambatan diagnosis MDR TB dan
hilangnya efektiviti terapi sehingga terjadi penularan galur resisten obat terhadap kontak yang
masih sensitif.
3. Pasien resisten obat TB dengan kemoterapi jangka pendek memiliki angka kesembuhan
kecil dan hilangnya efek terapi epidemiologi penularan.
4. Pasien resisten obat TB dengan kemoterapi jangka pendek akan mendapatkan resistensi
lanjut disebabkan ketidak hati—hatian pemberian monoterapi (efek penguat).
5. Koinfeksi HIV dapat memperpendek periode infeksi menjadi penyakit TB dan penyebab
pendeknya masa infeksi.
Dari analisa DNA terdapat beberapa gen khusus yang sangat kuat untuk menentukan
identitas Mycobacterium tuberculosis komplek yaitu gen rpoB, katG, rpsL,dan gyrA. Dari
penelitian sebelumnya diketahui bakteri yang telah resisten terhadap obat TB (Multi-drug
resistant tuberculosis/MDR-TB) seperti resistensi INH yang dimediasi terjadinya perubahan
gen paling umum pada gen katG, inhA dan rpoB (Yu Hi, et all. 2010). Menurut Rintiswati
dkk, (2005) INH bekerja dengan target utama asam mikoloat, pada strain resisten asam
mikoloat berubah strukturnya karena terjadi mutasi beberapa gen yakni katG, inhA, kasA dan
ahpC. Sedangkan target streptomisin adalah protein ribosom pada strain resisten obat ini telah
terjadi mutasi pada gen rpsL dan rrs.
Dengan menggunakan metode gyrB-base PCR pada 79 sampel isolat TB pasien
didapatkan 97,5% merupakan anggota Mycobacterium tuberculosis komplek dan 2,6%
digolongkan mycobacteria other than TB (MOTT). Metode ini menggunakan PCR dengan
target gen gyrB pada fragmen 1,020-bp menggunakan primer MTUB-f (5’-TCG GAC GCG
TAT GCG ATA TC-3’) dan MTUB-r (5’-ACA TAC AGT TCG GAC TTG CG-3’).(Eurofins
MWG, Operon, Germany). Sehingga perubahan pada gen tertentu dari Mycobacterium
tuberculosis dapat dianalisa untuk menentukan strain dari Mycobacterium tuberculosis.
DIAGNOSIS DAN MANIFESTASI KLINIK
Setiap pasien yang didiagnosis kronis atau TB yang resistan terhadap obat TB
membutuhkan pengobatan dengan obat lini kedua berdasarkan pedoman WHO Kategori IV
dan akan perlu regimen khusus (disebut "Kategori IV rejimen" dalam pedoman WHO).
Langkah awal mendiagnosis resisten obat TB adalah mengenal pasien dalam risiko
dan mempercepat dilakukannya diagnosis laboratorium. Deteksi awal MDR TB dan memulai
sejak awal terapi merupakan faktor penting untuk mencapai keberhasilan terapi. Pemeriksaan
yang dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. TB dan resistensi obat. Kemungkinan
resistensi obat TB secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA
sewaktu menjalani paduan terapi awal. Kegagalan terapi dapat dipertimbangkan sebagai
kemungkinan resisten obat TB sampai ada hasil uji resistensi obat beberapa minggu
kemudian yang menunjukkan terdapatnya paduan terapi yang tidak adekuat. Identifikasi
cepat pasien resistensi obat TB dilakukan terutama pasien memiliki risiko tinggi karena
program pengendalian TB lebih sering menggunakan paduan terapi empiris, minimalisasi
penularan, efek samping OAT, memberikan terapi terbaik dan mencegah resistensi obat
lanjut.
Prediksi seseorang dalam risiko untuk melakukan uji resistensi obat adalah langkah
awal deteksi resistensi obat. Prediktor terpenting resistensi obat adalah riwayat terapi TB
sebelumnya, progresiviti klinis dan radiologi selama terapi TB, berasal dari daerah insidens
tinggi resisten obat dan terpajan individu infeksi resisten obat TB. Setelah pasien dicurigai
MDR TB harus dilakukan pemeriksaan uji kultur M. TB dan resistensi obat. Laboratorium
harus mengikuti protokol jaminan kualiti dan memiliki akreditasi nasional / internasional.
Khususnya 2 sampel dengan hasil yang berbeda dari laboratorium dengan tingkat yang
berbeda direkomendasikan untuk diperiksakan pada laboratorium yang lebih balk. Penting
sekali laboratorium menekankan pemeriksaan uji resistensi obat yang cepat, adekuat, valid
dan mudah dicapai oleh pasien dan layanan kesehatan. Mewujudkan laboratorium seperti ini
disuatu daerah merupakan tantangan untuk program pengendalian TB.
Metode fenotipik dan genotipik untuk mengetahui resistensi obat OAT
Metode fenotipik konvensional Metode fenotipik baru Metode genotipik
Metode Proporsional
Metode rasio resistensi
Metode konsentrasi absolute
Metode radiometri BACTEC
Tabung indicator pertumbuhan
mikrobakteria
Metode phage based
Metode kolorimetri
The nitrase reductase Assay
The microscopic observation
broth-drugs susceptibility assay
Metode agar thin-layer
Rangkaian DNA
Chain reaction(PCR)
Microarais
Pada pemeriksaan fisis tuberkulosis paru resisten, kelainan yang didadapt tergantung
dari luasnya kelainan struktur paru. Pada awal perkembangan penyakit, sulit sekali
menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnyat terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior dan daerah apeks lobus inferior. Yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah suara nafas bronchial, amforik, suara nafas
melemah, ronki basah, tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
Pada tuberkulosis pleura, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi akan ditemukan suara yang pekak, dan auskultasi suara
nafas melemah hingga tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, yang tersering
ditemukan di daerah leher atau ketiak.
Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi :
Resistensi primer apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT
atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasien sudah ada riwayat
pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah.
Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT
minimal 1 bulan
Kategori resistensi M. Tuberculosis terhadap OAT
Terdapat 5 jenis kategori resistensi terhadap obat TB :
Mono-resistance : kekebalan terhadap salah satu OAT
Poly-resistance : kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi isoniazid
dan rifampisin
Multidrug resistance (MDR) : kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan
rifampisin
Extensive drug resistance (XDR) : TB-MDR ditambah kekebalan terhadap salah satu
obat golongan florokuinolon dan sedikitnya salah satu dari OAT injeksi lini kedua
(kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
Suspek TB-MDR
Pasien yang dicurigai kemungkinan TB MDR adalah :
1. Kasus TB Paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan dengan rekam
medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu
2. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan
kategori 2
3. Pasien TB yang pernah diobati dengan di fasilitas non DOTS, termasuk yang
mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin
4. Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB paru yang dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan
dengan kategori 1
6. TB paru kasus kambuh
7. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau
kategori 2
8. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,
termasuk petugas kesehatan yang bertugas di bangsal TB-MDR
9. TB HIV
Diagnosis TB – MDR
Diagnosis TB-MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan
Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.
Tuberculosis yang resisten minimal terhadap INH dan Rifampisin maka dapat
ditegakkan diagnosis TB-MDR
Diagnosis dan pengobatan yang cepat dan tepat untuk TB-MDR didukung oleh :
Pengenalan faktor risiko untuk TB-MDR
Pengenalan kegagalan obat secara dini
Uji kepekaan obat di laboratorium yang sudah tersertifikasi
Uji kepekaan OAT lini 2 dilakukan bila terdapat riwayat pemakaian OAT lini ke 2 atau pada
pasien MDR yang dalam masa pengobatan tidak terjadi konversi atau perburukan secara
klinis
Penatalaksanaan TB-MDR
Kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat
Kelompok 1 : OAT lini 1. Isoniazid (H), Rifampisin (R), Etambutol (E), Pirazinamid (Z),
Rifabutin (Rfb)
Kelompok 2 : obat suntik. Kanamisisn (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin (Cm),
Streptomisin (S)
Kelompok 3 : fluorokuinolon, moksifloksasin (Mfx), levofloksasin (Lfx), Ofloksasin (Ofx),
Kelompok 4 : bakteriostatiok OAT lini 2. Etionamid (Eto), Protionamid (Pto), Siklosrin (Cs),
Terzidone (Trd), PAS
Kelompok 5 : obat yang belum diketahui efektivitasnya. Klofamizine (Cfz), Linezoid (Lzd),
Amoksiclav (Amx/clv), tiosetazone (Thz), imipenem/cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi,
klaritromisin (Clr)
Strategi pengobatan
Strategi pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT
di negar atersebut. Di bawah ini beberapa strategi pengobatan TB-MDR
Pengobatan standar. Data drugs resistancy survet (DRS) dari populasi pasien yang
representatif digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya
hasil uji kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan
yang sama. Pasien yang dicurigai TB-MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji
kepekaan
Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif.
Biasanya regimen empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Regimen standar TB MDR di indonesia adalah :
6Z – (E) – Kn – Lfx – Eto – Cs/18Z – (E) – Lfx – Eto – Cs
Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
Lama fase intensif
Pemberian obat suntik atau fase intensif yang direkomendasikan adalah berdasarkan kultur
konversi. Obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah
hasil sputum atau kultur yang pertama menjadi negatif. Pendekatan individual termasuk hasil
kultur, sputum, foto toraks dan keadaan klinis pasien juga dapat membantu memutuskan
menghentikan pemakaian obat suntik.
Lama pengobatan
Lamanya pengobatan berdasarkan kultur konversi. Panduan yang direkomendasikan adalah
meneruskan pengobatan minimal 18 bulan setelah kultur konversi. Sampai saat ini belum ada
data yang mendukung pengurangan lama pengobatan. Pengobatan lebih dari 24 bulan dapat
dilakukan pada kasus kronik dengan kerusakan paru luas.
Pembedahan TB MDR
Prosedur pengobatan yang paling sering dilakukan pada pasien TB-MDR adalah
reseksi. Dari beberapa hasil penelitian pembedahan efektif dan relatif aman. Pembedahan
tidak diindikasikan pada penderita dengan gangguan paru luas bilateral. Pembedahan
dilakukan pada kasus-kasus awal seperti kelainan satu lobus atau paru dan setelah pemberian
pengobatan selama 2 bulan untuk menurunkan nfeksi bakteri dalam paru. Setelah
pembedahan, pengobatan tetap diberikan 12-24 bulan
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 -
2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
2. PDPI. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia 2011.
PDPI: Jakarta. 2011.
3. Depkes RI. Modul Peserta Pelatihan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru (Practical
Approach to Lung Health). Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2010.
4.