Referensi Artikel
CINTA DITINJAU DARI ASPEK PSIKONEUROIMUNOLOGI
DISUSUN OLEH :
Dwi Septiadi Badri G99141147Dimas Alan S G99141148Yudhistira Permana G99141149Aisya Fikritama A G99141150Fitria Rahma N G99141151
Dyonisa Nasirochmi P G99142079Novandi Lisyam P G99142080Rurin Ayurinika P G99142081Rizky Hening Saputri G99142082Desrina Pungky AS G99142083
PEMBIMBINGIstar Yuliadi,dr., M.Si, FIAS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWAFAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan refrat yang berjudul: “Cinta Ditinjau dari Aspek Psikoneuroimunologi”. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbingan maupun nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K) 2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K) 3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K) 4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K) 5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K) 6. Yusvick M. Hadim, dr., Sp.KJ 7. Djoko Suwito, dr., Sp.KJ 8. I.G.B. Indro Nugroho, dr., Sp.KJ 9. Dr. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ (K) M.Kes10. Machmuroch, Dra., MS 11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes 12. Istar Yuliadi, dr., M.Si, FIAS13. Rochmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua.
Desember 2015
ii
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................... iKATA PENGANTAR..................................................................... iiDAFTAR ISI................................................................................ iiiDAFTAR GAMBAR...................................................................... vDAFTAR TABEL.......................................................................... viBAB I. PENDAHULUAN............................................................... 1A. Latar Belakang..................................................................... 1B. Tujuan.................................................................................. 2C. Manfaat................................................................................ 2D. Rumusan Masalah................................................................ 2BAB II. PEMBAHASAN................................................................ 3A. Definisi Cinta........................................................................ 3B. Epidemiologi Cinta............................................................... 4C. Tanda-Tanda Cinta............................................................... 7D. Mekanisme Cinta.................................................................. 9
1. Tahap Jatuh Cinta............................................................ 92. Teori Jatuh Cinta.............................................................. 153. Cinta yang Salah............................................................. 24
E. Telaah Cinta Menurut Psikoneuroimunologi......................... 251. Cinta Ditinjau dari Segi Neurologi.................................... 252. Cinta Ditinjau dari Segi Psikologi..................................... 303. Cinta Ditinjau dari Sistem Imun....................................... 37
F. Cinta sebagai Stressor Psikososial....................................... 381. Stressor Psikososial......................................................... 382. Tahap Cinta yang Ditolak................................................ 413. Mekanisme Coping Pasca Putus Cinta............................. 43
G. Cinta dan Gangguan Jiwa..................................................... 46
iv
BAB III PENUTUP ....................................................................... 51A. Kesimpulan...................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 52
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Presentasi Perempuan Usia 20-24 Tahun 2000-2010 yang
Menikah pada Usia 18 tahun
Gambar 2.2 Presentase Perempuan Usia 10-59 Tahun Menurut Umur
Perkawinan Pertama (Riskesdas, 2010)
Gambar 2.3 Perbandingan jumlah pasangan yang menikah dan bercerai
(Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013).
Gambar 2.4 Teori segitiga cinta menurut Sternberg (1986, 1988).
Gambar 2.5 Perbedaan antara Efek Oksitosin dan Vasopressin berkaitan
dengan Proses Cinta (De Boer et al 2013).
Gambar 2.6 Neuroanatomi dan Neurobiologi yang berhubungan pada
Status Mental (Preckel et al, 2014).
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skala peristiwa hidup dan stress menurut Holmes dan Rahe
jj (Maramis dan Maramis, 2009)
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cinta merupakan fenomena universal yang telah menjadi fokus perhatian
sejak dulu. Setiap orang pernah mengalami dan merasakan jatuh cinta. Akan
tetapi, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda tentang cinta. Cinta
merupakan emosi postif yang kuat dari afeksi dan ketertarikan. Cinta mengandung
ketertarikan, hasrat seksual, dan perhatian. Cinta telah menjadi perhatian beberapa
peneliti mengenai bagaimana mekanisme timbulnya cinta. Saat ini terdapat
beberapa penelitian untuk menjelaskan mekanisme yang berperan dalam cinta dan
perilaku orang jatuh cinta. Akan tetapi penelitian-penelitian yang sudah ada masih
seputar psikologi cinta.
Cinta adalah sebuah energi. Kekuatannya mampu mendorong orang mau
melakukan apa pun. Cinta merupakan ekspresi emosi manusia yang paling hebat
dan paling diinginkan oleh setiap orang. Menurut Sternberg (1987), cinta terdiri
dari tiga komponen utama, yaitu intimacy, passion, dan commitment. Ketiganya
saling berhubungan satu sama lain. Intimacy mengacu pada perasaan dekat dan
terikat dengan pasangan; passion merupakan dorongan percintaan, ketertarikan
fisik, dan seksual; dan commitment terjadi ketika individu mulai memutuskan
(aspek jangka pendek) dan mempertahankan (aspek jangka panjang) cinta yang ia
miliki.
Cinta adalah sebuah fenomena neurobiologis yang kompleks, berdasarkan
pada kepercayaan, keyakinan, kesenangan dan timbal balik. Keseluruhan proses
tersebut terjadi di dalam otak, yaitu pada sistem limbik. Cinta melibatkan
beberapa sinyal neurotransmitter di dalam otak, diantaranya adalah sinyal
oksitosin, vasopressin, dopamin, dan serotonergik. Cinta juga diregulasi oleh
kortisol dan testosteron dan melibatkan mekanisme endorfin dan morfinergik
endogen yang bergabung melalui jalur autoregulasi oksida nitrat. Misalnya ketika
dopamin berinteraksi dengan oksitosin dan vasopresin, maka akan timbul
perasaan cinta. Cinta dan kesenangan akan meningkatkan kualitas hidup
1
seseorang. Sehingga dapat disimpulkan cinta adalah kegiatan yang menyenangkan
dan berguna yang akan meningkatkan kesehatan dan menimbulkan perasaan
sejahtera (Esch T dan Stefano, 2005; Lieberwirth dan Wang, 2014).
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi cinta
2. Mengetahui epidemiologi cinta
3. Mengetahui tanda-tanda cinta
4. Mengetahui mekanisme cinta
5. Mengetahui telaah cinta menurut psikoneuroimunologi
6. Mengetahui cinta sebagai stressor psikososial
7. Mengetahui cinta dan gangguan jiwa
C. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Referat ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan
ilmiah dalam bidang Psikiatri mengenai cinta bila ditunjang dari
psikoneuroimunologi.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
pengetahuan secara umum kepada pembaca. Dan kepada penulis secara
khususnya dapat memberikan manfaat dalam penyusunan referat ini.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi cinta?
2. Bagaimana epidemiologi cinta?
3. Bagaimana tanda-tanda cinta?
4. Bagaimana mekanisme cinta?
5. Bagaimana telaah cinta menurut psikoneuroimunologi?
6. Bagaimana cinta sebagai stressor psikososial?
7. Bagaimana cinta dan gangguan jiwa?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Cinta
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2006), cinta berarti suka
sekali; sayang benar, kasih sekali; terpikat (antara laki-laki dan perempuan),
ingin sekali; berharap sekali; rindu, susah hati (khawatir); risau. Dalam
penggunaannya, kata cinta dapat digunakan sebagai bentuk kata sifat, kata
kerja, kata bentuk benda dan bahkan kata kiasan. Menurut Oxford English
Dictionary (1987), “love as an intense feeling of deep affection or fondness
for a person or a thing, a sexual passion, or sexual relation in general”,
artinya cinta adalah sebuah perasaan hebat, kasih sayang yang begitu dalam
atau rasa suka terhadap benda atau seseorang, cinta juga diartikan sebagai
sebuah gairah seksual atau hubungan seksual secara umum. Di berbagai
keyakinan cinta juga diajarkan. Pada Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang
menjelaskan tentang cinta. Salah satu ayat yang menjelaskan tentang cinta
adalah Surat Ali-Imran ayat 14, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Tuhan
telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan menjadikan
cinta sebagai fitrah setiap manusia. Di Alkitab dalam surat Matius 5: 43-44
tertulis agar semua manusia harus saling mengasihi dan mencintai sekalipun
dia adalah musuh. Begitu besarnya pengaruh cinta hingga kita dapat
menemukan definisi cinta di berbagai kitab agama.
Dalam perkembangannya, cinta kini telah ditelaah dalam berbagai
sudut pandang. Banyak para ilmuwan yang telah menelaah cinta untuk
kemudian menemukan bagaimana proses kimiawi yang terjadi ketika
seseorang merasakan cinta. Dalam sains, cinta muncul sebagai suatu hipotesis
dan konsep multidimensional dengan berbagai interpretasi dan implikasi
(Carter, 1998). Menurut Tobias dan George dalam penelitiannya The
Neurobiology of Love (2005), cinta didefinisikan sebagai suatu fenomena
neurobiologi yang kompleks, belandaskan kepercayaan, keyakinan,
kesenangan dan proses ini terjadi serta diatur oleh otak dalam suatu sistem
3
limbik. Proses ini melibatkan oksitosin, vasopresin, dopamin dan sinyal-
sinyal serotonergik. Secara alamiah perasaan ini diperlukan untuk bertahan
hidup dan juga memotivasi, dengan memerintahkan tubuh untuk melakukan
biological behaviors yang bermanfaat seperti makan, berhubungan seks dan
hal-hal yang berhubungan dengan reproduksi. Hatfield dan Walster (1978)
mengatakan bahwa setiap orang setidaknya memiliki dua jenis cinta yaitu
passionate love dan companionate love. Passionate love ditujukan untuk cinta
yang sifatnya saling memenuhi kebutuhan nafsu akan cinta. Sedangkan
companionate love, ditujukan untuk perasaan sayang yang kita rasakan untuk
seseorang yang berarti dalam hidup kita dan hubungan ini terjalin dengan
sangat erat.
B. Epidemiologi Cinta
Epidemiologi cinta dapat ditinjau dari persentase jumlah suatu
pernikahan di suatu wilayah. Pada tahun 2010 Mali merupakan negara
dengan populasi pernikahan terbesar.
Gambar 2.1 Presentasi Perempuan Usia 20-24 Tahun 2000-2010 yang
Menikah pada Usia 18 tahun hjaghjgdygdgy
4
Sekitar 70 % lebih penduduk Mali menikah pada usia dini, dengan
perbandingan 25 % menikah pada usia 15 tahun dan 45 % menikah pada usia
18 tahun. Indonesia termasuk negara dengan persentase pernikahan usia muda
tinggi di dunia (ranking 37), tertinggi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Pada tahun 2010, sekitar 23 % penduduk Indonesia menikah pada usia
dini dengan perbandingan 4 % menikah pada usia 15 tahun dan 19 %
menikah pada usia 18 tahun.
Gambar 2.2 Presentase Perempuan Usia 10-59 Tahun Menurut Umur
Perkawinan Pertama (Riskesdas, 2010) ahjl
Persentase perempuan muda di Indonesia usia 10-14 tahun yang
menikah sebanyak 0.2 persen atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia10-
14 tahun di Indonesia sudah menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia
15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-laki muda
berusia 15-19 tahun (11,7 % P : 1,6 % L). Diantara kelompok umur
perempuan 20-24 tahun – lebih dari 56,2 persen sudah menikah. Provinsi
dengan persentase perkawinan dini (<15 th) tertinggi adalah Kalimantan
Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen dan Banten 6,5 persen. Provinsi
dengan persentase perkawinan dini (15-19 th) tertinggi adalah Kalimantan
Tengah (52,1%), Jawa Barat (50,2 persen), serta Kalimantan Selatan
(48,4%), Bangka Belitung (47,9%) dan Sulawesi Tengah (46,3%) (Riskesdas,
2010).
5
Dari data pernikahan yang diperoleh tadi ternyata tidak semua
pernikahan berlangsung selamanya. Setiap pernikahan memang diharapkan
berlangsung selamanya hingga maut memisahkan, namun justru sebagian dari
mereka berakhir dengan perceraian. Data dari BKKBN tahun 2013
menunjukkan angka perceraian di Indonesia menempati urutan tertinggi se-
Asia Pasifik dan jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya. Kementrian
Agama Republik Indonesia (2013) juga merilis data pernikahan dan percerian
di Indonesia setiap tahunnya. Setiap tahunnya jumlah pasangan yang menikah
berkisar pada angka 2 juta dua ratus ribu pasangan, sedangkan jumlah
pasangan yang bercerai terus bertambah setiap tahunnya yaitu dari sekitar dua
ratus ribu pasangan menjadi tiga ratus ribu pasangan setiap tahunnya.
Tahun 2009
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
Menikah Bercerai
Gambar 2.3 Perbandingan jumlah pasangan yang menikah dan bercerai
(Kementrian Agama Republik Indonesia, 2013).
Pada tahun 2009, jumlah pasangan yang menikah ada 2.162.268
pasangan, sedangkan yang jumlah pasangan yang bercerai 216.286 pasangan.
Tahun 2010, pasangan yang menikah 2.207.364 pasangan dan yang bercerai
258.184 pasangan. Tahun 2011, jumlah pasangan yang menikah 2.319.821
pasangan dan yang bercerai 258.119 pasangan. Tahun 2012 jumlah pasangan
6
yang menikah ada 2.291.265 pasangan sedangkan yang bercerai 258.119
pasangan. Pada tahun 2013 jumlah pasangan yang menikah sebanyak
2.218.130 pasangan sedangkan yang bercerai 324.527 pasangan.
C. Tanda-Tanda Cinta
Beberapa tanda seseorang sedang jatuh cinta adalah sebagai berikut:
1. Malu-malu apabila orang yang disukai sedang memandangnya.
2. Tunduk kepada perintah orang yang dicintai dan mendahulukannya
daripada kepentingan diri sendiri.
3. Memperhatikan dan mendengarkan perkataan orang yang dicintai.
4. Segera menghampiri orang yang dicintai.
5. Menyukai hal yang disukai oleh orang yang dicintai.
6. Kaget dan gemetar tatkala berhadapan dengan orang yang dicintai.
7. Menyenangi hal yang disukain oleh orang yang dicintai.
(Marazziti dan Baroni, 2012)
Terdapat beberapa pemicu pada seseorang untuk jatuh cinta. Rangsangan
ketika sesorang jatuh cinta terutama adalah rangsangan visual, kemudian
pendengaran, sentuhan, gustatory, dan penciuman. Setelah rangsangan visual
diterima oleh tubuh, maka akan diolah di thalamus dan umumnya akan dibagi
menjadi dua bundel yang akan diarahkan langsung ke amigdala dan ada yang
di kirim ke korteks kemudian dikembalikan lagi ke amigdala. Ketika
amigdala diaktifkan, amigdala akan memodulasi serangkaian respon di
daerah otak dan organ perifer. Korteks akan berfungsi untuk mendiskriminasi
adanya rasa takut, sukacita, dan jatuh cinta. Hal tersebut akan ditandai
dengan kondisi mental yang berubah dengan suasana hati yang gembira yang
ditandai dengan sensasi penuh energi dan kekuatan, kehilangan nafsu makan,
sulit tidur, yang menyerupai fase hipomanic pada gangguan bipolar
(Marazziti dan Baroni, 2012).
Beberapa hormon dan neurotransmitter yang berperan dalam cinta, yaitu
oksitosin, vasopressin, dopamin, serotonin, kortisol, dan testosteron.
Oksitosin akan meningkatkan rasa ketertarikan dan romantisme pasangan.
7
Sementara vasopressin dikaitkan dengan mobilisasi fisik dan emosional,
meningkatkan kewaspadaan pada pasangannya. Vasopressin dan oksitosin,
yang dilepaskan, akan menimbulkan adanya gairah seksual pada pasangan
yang sedang jatuh cinta (Francesco dan Cervone, 2014).
Pada saat jatuh cinta, tubuh akan menghasilkan dopamin yang akan
menyebabkan perasaan semangat dan adiksi. Selain itu tubuh juga akan
menghasilkan oksitosin yang berperan untuk membuat sebuah hubungan
menjadi lebih mesra. Adanya dopamin dan oksitosin mengakibatkan
seseorang akan menjadi lebih berminat pada sesuatu yang diinginkan dan
membuat mata mereka akan melebar karena memiliki minat lebih pada suatu
hal (Chapman, 2011).
Orang yang sedang jatuh cinta akan merasa bahagia dan euforia. Hal ini
dikarenakan adanya dopamin dan endorfin yang memberikan perasaan
bahagia serta ketenangan pada orang yang jatuh cinta Esch T dan Stefano,
2005; Chapman, 2011). Adanya peningkatan dopamin akan diikuti dengan
penurunan kadar serotonin. Serotonin berperan dalam nafsu makan dan
suasana hati. Serotonin akan membuat seseorang yang sedang jatuh cinta bisa
melupakan segalanya dan hanya terfokus pada orang yang dicintai. Hal ini
menyebabkan pada orang yang jatuh cinta, akan timbul sikap obsesif
terhadap pasangannya (Esch T dan Stefano, 2005).
Ketika seseorang melihat obyek yang mereka inginkan, maka tubuh akan
melepaskan adrenalin. Adrenalin, juga dikenal sebagai epinefrin, merupakan
sebuah neurotransmitter dan hormon yang merangsang saraf simpatis, yang
dilepaskan oleh medula adrenal selama respon fight or flight. Adrenalin akan
memberikan respon berupa keputusan apakah orang tersebut akan melawan
rangsangan perasaan cinta atau tidak. Adanya rangsangan di sistem saraf
simpatis akan menyebabkan denyut jantung seseorang akan meningkat, pupil
membesar, mudah berkeringat, dan timbul kewaspadaan yang lebih dari otak
(Chapman, 2011).
8
D. Mekanisme Cinta
1. Tahap Jatuh Cinta
Menurut Fisher (2002), saat seseorang jatuh cinta maka akan ada tiga
fase yang terjadi pada dirinya, yaitu nafsu (lust), ketertarikan (attraction),
dan kelekatan (attachment). Setiap fase akan melibatkan berbagai reaksi
kimia di dalam tubuhnya, terutama di otak. Seiring dengan hal tersebut,
terdapat berbagai hormon yang ikut terlibat dalam ketiga proses jatuh
cinta, baik yang bekerja secara terpisah maupun bersama. Ketiga fase
tersebut adalah:
a. Nafsu (Lust)
Nafsu merupakan fase pertama ketika seseorang jatuh cinta.
Adanya nafsu ini pada dasarnya disebabkan oleh hormon testosterone
yang muncul ketika melihat penampilan seseorang. Pada pria maupun
wanita mensekresikan hormone testosterone dengan kadar yang
berbeda, hal inilah yang berperan dalam menciptakan gairah nafsu
pada individu. Pria memiliki hormone testosteron yang lebih banyak
daripada wanita. Penelitian dengan menginjeksikan hormone
testosteron pada pria dan wanita usia menengah berpengaruh dalam
meningkatkan gairah nafsu tetapi tidak berpengaruh dalam perasaan
romantis atau kelekatan kepada pasangannya. Hal ini membuktikan
keberadaan testosterone berfungsi untuk meningkatkan pikiran tentang
seks dan aktivitas seksual yang secara tidak langsung akan
berpengaruh pada fase selanjutnya, yaitu ketertarikan dan kelekatan
(Potts, 2008).
Pada pria, stimulasi secara visual merupakan pemicu gairah nafsu
terkuat, sedangkan pada wanita pemicu terkuatnya adalah sesuatu hal
yang romantis. Gairah nafsu pada pria lebih konstan dibandingkan
wanita. Pada wanita umumnya muncul berdasarkan siklus periodiknya.
Selain hormon, sistem limbik ikut berperan dalam merespon nafsu.
Sistem limbik akan membantu untuk mengatur nafsu dan
mengubahnya menjadi sesuatu yang ikut terlibat dalam peningkatan
9
kesehatan dan mengurangi stres. Nafsu juga tidak hanya dipengaruhi
oleh biologik, namun juga dipengaruhi oleh budaya, religi, dan faktor
psikologik ikut berperan dalam mengontrol peran gender dan impuls
seksual (Fisher, 2002; Potts, 2008).
Nafsu dipengaruhi oleh sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi
(termasuk sistem saraf otonom). Nafsu berhubungan dengan nitrit
oksidase dan beberapa neurotransmitter (Potts, 2008). Pada penelitian
yang dilakukan oleh Arnow et al., (2002), Beauregard et al., (2001),
Karama et al., (2002) menunjukkan bahwa pada studi yang dilakukan
dengan menggunakan fMRI (functional magnetic resonance
imagining) memperlihatkan bahwa hypothalamus dan amydala ikut
berperan dalam nafsu. Amygdala berperan dalam mempersepsikan
kebermaknaan sebuah stimulus seksual. Hal ini juga bergantung pada
memori (memori positif dan kekerasan) yang tersimpan dalam
hippocampus dan jalur yang melibatkan dopamine.
Dopamin adalah neurotransmitter yang mengatur
kesenangan/kenikmatan, dia akan mengontrol dan menentukan apakah
sebuah pengalaman termasuk hal yang menyenangkan atau
menyakitkan, dan apabila termasuk hal yang menyenangkan maka
dopamine akan cenderung mendorong individu untuk mengulangi
pengalaman tersebut. Dari faktor-faktor tersebut apabila menimbulkan
hasil yang positif maka akan memunculkan sebuah gairah seksual,
sebaliknya apabila muncul hasil yang negatif akan menghambat gairah
seksual (Graziottin, 2004; Esch, 2005).
b. Ketertarikan (Attraction)
Ketetarikan adalah fase yang paling membingungkan dan
kompleks, serta yang paling menyebabkan stress, namun juga bahagia.
Pada kenyataannya, ketertarikan saat adanya nafsu dapat menyababkan
jantung memunculkan ritme aritmis. Hal ini dikarenakan adanya rekasi
dari sistem saraf simpatis dalam tubuh dan otak (Esch, 2005). Pria dan
wanita cenderung lebih tertarik kepada individu yang dewasa, sehat,
10
berpendidikan, dan baik hati. Namun demikian, pria lebih tertarik
kepada kecantikan dan usia muda, sedangkan wanita lebih tertarik
kepada uang, pendidikan, atau kekuasaan. Ketika fokus dan energi
tercurahkan pada ketertarikan ini maka akan menghasilkan obsesi,
hasrat, refleksi akan cinta, dan keinginan emosional untuk selalu
bersama dan memilikinya sebagai pasangan. Orang-orang yang berada
pada fase ini sering mengalami cinta yang melanda, dibutakan oleh
cinta, dan cinta yang tergila-gila. Pada fase ini, neurotransmitter yang
berpengaruh adalah dopamine (kadar tinggi, pengaruh dalam
kesenangan), norepinefrin (kadar tinggi, pengaruh dalam respon sistem
simpatik), dan serotonin (kadar rendah pada stres akan cinta
dibandingkan nilai normal pada saat relaks) (Fisher, 2002).
Perilaku seseorang yang jatuh cinta memiliki kemiripan dengan
perilaku seseorang yang mengonsumsi kokain dosis tinggi antara lain
gembira, bersemangat, sulit tidur, dan kehilangan nafsu makan. Baik
kokain dan jatuh cinta berhubungan dengan dopamine dan pusat opioid
di dalam otak, yang mengatur kesenangan. Berbeda dengan obat yang
bekerja langsung seketika, jatuh cinta mengalami periode, baik periode
naik maupun turun. Ketika cinta diterima atau ditolak akan
menghasilkan respon neurotransmitter yang berbeda. Cinta yang
diterima akan menghasilkan suatu kegembiraan dan rasa eksitasi.
Sedangkan cinta yang tertolak dapat menimbulkan keputusasaan,
stress, dan kekosongan. Namun, faktor dari luar, seperti budaya dan
lingkungan ikut mengontrol dalam keseimbangan neurotransmitter ini
(Fisher, 2002; Aron, 2005).
Sistem saraf otonom ikut berperan penting dalam menghasilkan
reflek dan perubahan fisiologis untuk membantu organisme bertahan
hidup. Sistem saraf otonom dibagi menjadi sistem saraf simpatis, yang
mengatur response fight atau flight dan sistem saraf parasimpatik, yang
mengatur respon istirahat dan pencernaan. Di luar otak, sistem saraf
simpatik menggunakan norepinefrin untuk meneruskan sinyalnya,
11
sedangkan sistem saraf parasimpatik menggunakan asetilkolin. Dalam
hubungannya dengan jatuh cinta, kedua sistem saraf ini memiliki
peranan yang cukup besar. Kedua sistem saraf ini berhubungan dengan
perubahan fisiologis, seperti perilaku seksual, munculnya gairah dan
kewaspadaan sebelum seks, atau fase relaksasi setelah orgasme.
Sedangkan dalam hubungan dengan otak, sistem saraf simpatik
menghasilkan fokus dan kewaspadaan untuk mengesankan calon
pasangan bahwa dirinya adalah individu yang menarik (Aron, 2005).
Sistem saraf parasimpatis bekerja untuk memberikan motivasi dan
mengurangi stres dengan menghasilkan steroid yang berperan penting
dalam mempromosikan kesejahteraan dan cinta. Sehingga, seorang
individu akan tampak menarik apabila dia dapat memberikan
keamanan dan mengurangi rasa cemas bagi pasangannya (Potts, 2008).
Sistem kekebalan tubuh yaitu major histocompatibilty complex
(MHC) memiliki aroma khas dan zat kimia khas yang berbeda pada
masing-masing individu dan dikenal sebagai feromen. Zat kimia ini
disekresikan dalam jumlah yang cukup besar oleh kelenjar apokrin
yang terkonsentrasi pada beberapa area, seperti tangan, wajah, dan
region genital. Protein MHC berfungsi agar sistem imun dapat
mendeteksi dan menghancurkan agen infeksius, termasuk agen yang
menyerang sistem reproduksi. Suatu aroma dapat digunakan untuk
mendeteksi kesehatan seorang individu dengan melihat protein MHC.
Orang sehat akkan tertarik kepada orang sehat lainnya yang memiliki
protein MHC yang berbeda. Pada akhirnya pasangan ini akan
menghasilkan keturunan dengan kombinasi sistem imun yang optimal
(Milinski, 2006; Potts, 2008)
Sitokin yang terlibat dalam jatuh cinta fase ini adalah nerve growth
factor (NGF). NGF adalah satu-satunya neurotropin yang
diekspresikan cukup tinggi dalam fase awal seseorang jatuh cinta.
NGF berperan pada seseorang jatuh cinta dengan memediasi
kecemasan, emosi, dan perilaku. Kadar NGF akan kembali ke level
12
normal satu tahun setelah seseorang memulai menjalani hubungan
cinta. NGF juga memproduksi dan melepaskan vasopressin, sehingga
berperan dalam ikatan sosial. NGF diduga menjadi titik pertengahan
antara hubungan jangka pendek dengan hubungan jangka panjang
(Emanuale, 2005; Potts, 2008).
c. Kelekatan (Attachment)
Pada umumnya mamalia yang menjalani perkembangan anak yang
cukup lama, memiliki kelekatan yang dekat antara pasangan atau induk
dengan anaknya. Begitu juga dengan manusia, pasangan ataupun ibu
dan anak cenderung memiliki kelekatan yang dekat atau tinggi. Ikatan
antara dua individu akan menghasilkan sebuah hubungan yang dapat
mengurangi stres, meningkatkan derajat kesehatan, dan
mengembangkan sebuah mekanisme koping dalam hubungannya
(Esch, 2005).
Kelekatan antara dua individu yang saling jatuh cinta akan
melibatkan antara lain: pertahanan akan pasangan dan lingkungan,
pangan, perawatan diri, kedekatan antar keduanya, dapat membagi
kecemasan pasangannya, dan dapat berbagi tugas. Faktor-faktor
tersebut akan menyebaban ketenangan emosional, kenyamanan, dan
kesatuan. Ikatan antara pasangan akan menyediakan sebuah kerja sama
yang menghasilkan sebuah perawatan yang terbaik untuk generasi
selanjutnya (Potts, 2008).
Secara neurobiologik, oksitosin dan vasopressin memiliki peranan
yang besar dalam membentuk sebuah kelekatan atau ikatan. Kedua
hormone ini diproduksi oleh hipotalamus. Adanya stres yang
diproduksi kelenjar adrenal dapat berpengaruh pada regulasi
hipotalamus, begitu pula sebaliknya. Oksitosin memodulasi perilaku
sosial seperti sisi agresi ibu, sisi proteksi ibu, ikatan, perilaku seksual,
memori, dukungan sosial, kepercayaan, dan mengurangi stres
(Neumann, 2007).
13
Oksitosin secara spesifik berfungsi untuk menghambat pelepasan
hormon stres dari kortek adrenal dan menyebabkan kontraksi uterin
dan orgasme, ejeksi air susu ibu, relaksasi secara umum, serta
mengurangi supresi imun. Adanya perlawanan antara stres oleh
adrenal dan relaksasi oleh oksitosin akan menghasilkan sebuah
perjuangan yang akan menguatkan ikatan, kepercayaan, dan kesetiaan
antara dua individu. Oleh karena itu, cinta seperti pedang bermata dua
dimana dapat menimbulkan stres dalam jangka pendek atau level stres
yang lebih rendah namun dalam jangka panjang. Endorfin adalah
morfin natural pada otak, memiliki peranan yang penting untuk
menghasikan sebuah hubungan yang dekat dan mengurangi nyeri,
menguatkan rasa aman, serta menguatkan rasa saling memiliki (Esch,
2005).
Vasopresin atau ADH merupakan hormon multifungsi yang
bertugas untuk menyerap air dari ginjal, mengatur ritme sirkardian,
proteksi territorial atau kepemilikan akan suatu hal, dan menguatkan
ikatan sosial. Dengan interaksi yang kompleks antara neurotransmitter
dan hormon, testosterone menguatkan fungsi vasopressin dalam otak
dan meningkatkan agresi. Pada manusia, fungsi vasopressin dalam
kelekatan memang masih merupakan asumsi. Namun, penelitian yang
dilakukan pada hewan dengan menginjeksikan vasopressin akan
membuat hewan melakukan tindakan agresif. Interaksi antara hormone
dan neurotransmitter yang berperan dalam vasopresin memiliki peran
dalam ikatan sebuah hubungan jangka lama. Ikatan ini mengurangi
stress, adanya persahabatan, dan menghasilkan sebuah lingkungan
yang optimal dimana seorang anak dapat berkembang dan menjadi
lebih dewasa dengan sumber daya yang memadai dan pola asuh orang
tua yang baik (Esch, 2005).
Ketiga fase ketika seseorang jatuh cinta memiliki fase yang
berbeda namun juga memiliki persamaan. Pada fase nafsu
menyediakan gairah dan hasrat seksual, fase kedua ketertarikan
14
membebaskan seseorang mencari pasangan yang sesuai dengannya,
dan fase ketiga kelekatan menghasilkan sebuah makna untuk pasangan
agar dapat hidup bersama dalam jangka waktu yang lama bahkan bisa
mendidik keturunannya. Apabila suatu pasangan jatuh cinta
membentuk ikatan dan kesatuan, dapat menghasilkan relaksasi yang
mengurangi stress dan meningkatkan derajat kesehatan dan imunitas
(Esch, 2005).
2. Teori Jatuh Cinta
a. Teori PEA
Menurut Helen Fischer dalam Sternberg dan Weis (2006), reaksi
romantik seperti itu timbul karena kerja sejumlah hormon yang ada
dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta
manusia yang meluap-luap tidak jauh berbedanya dengan reaksi kimia.
Malangnya, senyawa antara hormon ini sangat dekat. Dan, berdasarkan
teori Four Years Itch yang diumumkannya, daya tahan gelora cinta itu
hanya mencapai empat tahun saja. Setelah itu, hancur tanpa kesan lagi.
Sebagaimana yang terjadi pada sebuah reaksi kimia, wujudnya tidak
akan pernah kembali seperti semula. Sesungguhnya pula, perasaan
yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi boleh dianalisis
secara kimia.
Jadi, prosesnya dimulakan pada saat mata saling bertemu. Tangan
yang bersentuhan bagaikan dialiri arus eletrik. Fenomena ini sudah
pasti karena tindak balas hormon tertentu yang ada di otak, mengalir
ke seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil sekalipun.
Inilah yang membuat wajah memerah, dan timbul perasaan
“melayang”. Aliran darah yang demikian cepat membuat bernafas pun
menjadi berat (Fisher, 2006).
Fisher dalam Sternberg dan Weis (2006) menentukan beberapa
fase kerja hormon dalam otak ketika seseorang sedang jatuh cinta,
yaitu sebagai berikut:
15
Fase pertama : Ketika hubungan mata sedang berlangsung, tertanam
suatu `kesan’. Pada fase ini otak bekerja bagaikan komputer yang
menyediakan sejumlah data, dan menserasikannya dengan
sejumlah data yang pernah direkam sebelumnya. Ia mencari apa
yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang
ditimbulkan oleh lawan jenis pun boleh menjadi pemicu timbulnya
rasa romantik.
Fase kedua : munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang
diproduksi otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang,
secara automatik senyum pun dilontarkan. Spontan, PEA pun aktif
bekerja ketika “wisel” mula dibunyikan. Hormon dopamine dan
norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia, turut
mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu
timbulya gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektivitas hormon-
hormon ini mula berkurang.
Fase ketiga : ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah
kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik
dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang
ditimbulkan dadah dan sebagainya, saat inilah tubuh merasa
nyaman, damai, dan tenang. Ada hormon lain yang akhir-akhir ini
dihubungkan dengan cinta. Diproduksi oleh otak, hormon ini
membuat saraf menjadi sensitif. Saat itulah tubuh akan didorong
untuk merasakan sensasi cinta. Hormon ini pulalah yang diduga
boleh mendorong terjadinya proses orgasme ketika bercinta atau
melakukan hubungan seksual.
(Fisher, 2006).
Ada juga teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat,
membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila misalnya,
atau psikologi dan fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku
manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama
dengan emosi. Kalau emosi seringkali ditentukan oleh sejumlah
16
hormon (terutama dalam siklus menstruasi), maka hal yang sama juga
berlaku dalam proses jatuh cinta. Menurut Diane Lie (2010) seorang
psikologi sekaligus peneliti pada sebuah Universiti di Beijing
membentangkan teorinya, meskipun urusan cinta boleh dijelaskan
secara kimia, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya
ditentukan oleh aktivitas hormon, dan manusia tidak berdaya
mengatasinya. Juga tidak selalu berarti bila kadar hormon berkurang,
berarti getarannya pun berkurang.
Memang, pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh
kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki
kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3
tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun, `kebal’
terhadap si pemicu gelora. Menurut Diane (2010) proses jatuh cinta itu
tidak semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimianya.
Apalagi dalam proses orang bercinta hingga menikah, banyak faktor
sosial lainnya yang menentukan. Demikian pula ketika kita marah dan
ingin memaki orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus,
namun tetap ada faktor lain yang ikut menentukanya. Manusia
merupakan makhluk yang paling kompleks. Sehingga teori Helen
Fiscer yang disebut Four Years Itch tidak dapat dibenarkan begitu saja.
Pendeknya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta,
sedangkan teori Four Years Itch oleh Fischer yang penelitiannya
mencakup 62 jenis kultur ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.
Fischer mengemukakann perceraian mencapai puncaknya ketika usia
perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalaupun masa empat tahun
itu telah dilalui,kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi
inimembuat perkawinan mereka boleh bertahan hingga empat tahun
lebih. Menurut pandangan Diane (2010) dalam hubungan suami istri
atau bercinta, selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship,
(persahabatan). Apabila setelah beberapa waktu cinta itu menipis -
mungkin kerana tersisihkan hal-hal lain, misalnya kerana rutin yang
17
dilakukan adalah hal-hal yang sama juga setiap hari, lalu segalanya
jadi terasa membosankan.
b. Teori Segitiga Cinta
Sternberg terkenal dengan teorinya tentang “Segitiga Cinta”.
Menurut Sternberg (1986, 1988) segitiga cinta itu mengandung
komponen:
1) Keintiman (Intimacy)
Keintiman adalah elemen emosi, yang didalamnya terdapat
kehangatan, kepercayaan (trust), dan keinginan untuk membina
hubungan. Ciri-cirinya antara lain seseorang akan merasa dekat
dengan seseorang, senang bercakap-cakap dengannya sampai
waktu yang lama, merasa rindu bila lama tidak bertemu.
2) Gairah (Passion)
Gairah adalah elemen motivasional yang didasari oleh
dorongan dari dalam diri yang bersifat seksual.
3) Komitmen
Komitmen adalah elemen kognitif, berupa keputusan untuk
secara sinambung dan tetap menjalankan suatu kehidupan bersama.
Menurut Sternberg, setiap komponen itu pada tiap-tiap orang
berbeda derajatnya. Ada yang hanya tinggi di gairah, tapi rendah
pada komitmen. Sedangkan cinta yang ideal adalah apabila ketiga
komitmen itu berada dalam proporsi yang sesuai pada suatu waktu
tertentu. Misalnya pada tahap awal hubungan, yang paling besar
adalah komponen keintiman. Setelah keintiman berlanjut pada
gairah yang lebih besar (dalam beberapa budaya) harus disertai
dengan komitmen yang lebih besar, misalnya melalui perkawinan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pada hubungn cinta seseorang
sangat ditentukan oleh pengalamannya sendiri mulai dari masa
kanak-kanak. Bagaimana orang tuanya saling mengekspresikan
perasaan cinta mereka. Hubungan awal dengan teman-teman dekat,
kisah-kisah romantis sampai yang horor, dsb. akan membekas dan
18
mempengaruhi seseorang dalam berhubungan. Karenanya setiap
orang disarankan untuk menyadari kisah cinta yang ditulis untuk
dirinya sendiri.
(Stenberg, 1986).
Menurut Sternberg (1968, 1988) terdapat beberapa tipe cinta yang
merupakan kombinasi dari keduanya atau ketiga komponen tersebut, yaitu:
1. Liking/Suka
Terdiri dari komponen keintiman, yang memiliki karakteristik
persahabatan yang sejati, dimana seorang individu merasakan sebuah
ikatan, kehangatan, dan kedekatan dengan individu lain, namun, tidak
sampai ke sebuah komitmen
2. Infatuated Love
Terdiri dari komponen gairah. Infatuated Love sering dikenal
sebagai cinta pada pandangan pertama. Namun, tanpa sebuah
keintiman dan komitmen, tipe cinta ini mungkin akan menghilang
secara tiba-tiba.
3. Empty Love
Terdiri dari komponen komitmen. Terkadang cinta yang terlalu
kuat dapat mengalami kemunduran menjadi cinta yang kosong,
dimana komitmen tetap ada, namun keintiman dan gairah telah
menghilang. Dalam budaya dimana perjodohan masih kuat,
hubungan cinta yang terjadi biasanya dimulai dengan cinta yang
kosong (empty love).
4. Romantic Love
Terdiri dari keintiman dan gairah. Sepasang kekasih terikat
secara emosional (seperti tipe liking/suka) dan fisik melalui gairah
nafsu.
5. Companiote Love
Terdiri dari keintiman dan komitmen. Tipe ini sering ditemukan
pada seseorang yang sudah menikah, dimana gairah telah menghilang
dari sebuah hubungan, tetapi sebuah afeksi yang dalam dan
19
komitmen tetap ada. Companiote love pada umumnya adalah
hubungan yang dibangun bersama seseorang, dimana saling berbagi,
tanpa nafsu secara seksual atau fisik. Tipe ini lebih kuat
dibandingkan sebuah persahabatan atau tipe cinta suka, karena
terdapat elemen komitmen. Cinta antar anggota keluarga dan antar
sahabat yang telah melalui banyak waktu bersama juga termasuk
companiote love.
6. Fatuous Love
Terdiri dari gairah dan komitmen. Pada tipe ini komitmen
tercipta kuat karena motivasi yang kuat dari gairah, tanpa
diseimbangkan oleh keintiman.
7. Consummate Love
Terdiri dari keintiman, gairah, dan komitmen atau merupakan
bentuk cinta yang sempurna. Tipe ini menggambarkan sebuah
hubungan yang ideal dimana banyak orang yang berusaha
menggapainya, namun hanya sedikit yang berhasil mencapainya.
Sternberg (1986,1988) menyatakan bahwa lebih sulit untuk
mempertahankan consummate love dibandingkan mencapainya. Dia
menekankan bahwa hal yang tak kalah penting adalah bagaimana
mengekspresikan ketiga komponen cinta menjadi sebuah tindakan.
Tanpa tindakan, bahkan cinta yang kuat dapat mati. Walaupun
demikian, consummate love tidak bersifat permanen, semisal gairah
hilang, maka akan berubah menjadi companiote love.
20
Gambar 2.4 Teori segitiga cinta menurut Sternberg (1986, 1988).
c. Teori Evolusioner/Etologis Mengenai Cinta
Seorang jurnalis inggris Woodrow Wyatt (1981)
mengatakan,’seorang pria jatuh cinta melalui matanya,seorang wanita
melalui telinganya,artinya seorang pria tertarik dari kecantikan wanita
namun seorang wanita tertarik dari apa yang ia dengar mengenai status
seorang pria.
d. Psikoanalitik mengenai cinta Freud
Memandang cinta sebagai sesuatu yang mincul dari insting seksual
selama perkembangan terhadap oral, ibu menyediakan kenikmatan
erotik yang pertama pemuasan oral, sebagai akibatnya, ibu menjadi
objek cinta anak pertamanya. Beberapa waktu kemudian, selama tahap
genital, individu belajar bahwa kepuasan seksual dapat diberikan oleh
seorang partner seksual (Maramis, 2009).
e. Neo-analitik menngenai cinta Erik Erikson
Berfokus pada keenam tahap perkembangan psikoseksual, ketika
individu mencapai segitar dua puluh tahun keatas yaitu pada saat cinta
yang matang berkembang.menurut Erikson, hanya mereka yang telah
menemukan identitasnyalah yang akan melakukan intimasi dan cinta
21
yang sebenarnya, sementara mereka yang identitas egonya tidak
lengkap akan tetap terisolasi atau terlibat dalam relasi yang keliru
seperti melakukan sex bebas atau hubungan yang dangkal.dengan
demikian, Erikson memandang cinta sebagai hasil dari perkembangan
yang sehat dan normal (Maramis, 2009).
f. Kognitif terhadap cinta
Pendekatan kognitif mengenai cinta berusaha mengklasifikasikan
sebagai tipe yang berbeda mengenai cinta; mereka juga membedakan
gairah kita dari pikiran kita. Cinta tidak mungkin dipilah-pilahkan
kedalam suatu skema yang sederhana. Kebanyakan pendekatan
membuat perbedaan antara menyukai dan menghormati dengan cinta
dan nafsu. Ada juga yang membedakan antara cinta yang penuh respek
dan penuh persahabatan dengan kesetiaan yang emosional (Maramis,
2009).
g. Perspektif humanistik / eksistensi cinta
Maslow (1998), menempatkan kebutuhan cinta sebagai urutan
ketiga dalam piramida kebutuhannya. Menurut Maslow hanya setelah
kebutuhan fisiologis, seseorang dapat bekerja secara nyaman dalam
memenuhi kebutuhan cinta dan afiliasi. Maslow mendeskripsikan cinta
dalam dua tipe, yaitu being love dan defisiensi love.Deficiency
loveberarti bersifat memikirkan diri sendiri dan tergantung. Being
love:bersifat tidak mementingkan diri sendiri dan peduli terhadap
kebutuhan orang lain.orang dengan lebih teraktualisasi diri dan
membantu partnernya mencapai aktualisasi diri.
Erich Fromm (1999) mengkombinasikan perspektif humanistik/
eksistensial dan psikoanalitik kedalam teorinya mengenai cinta. Cinta
merupakan hasil positif dari perjuanngan individu untuk bergabung
dengan individu lain. Rallo May (2000) mendeskripsikan berbagai tipe
cinta, yaitu:
1) Seks : peredaan ketegangan,nafsu
2) Ero : cinta prokreatif atau pengalaman yang enak
22
3) Filia : cinta persaudaraan
4) Agape : pengabdian pada kesejahteraan yang lain
5) Cinta otentik : menggabungkan tipe-tipe cinta lain
May (2000) juga mengungkapkan pendapatnya tentang Cinta dan
kehendak. Sebagai seorang eksistensialis, May menekankan
pentingnya kehendak. Ia mencatat bahwa cinta dan kehendak terjalin
satu dengan yang lain, yakni bahwa cinta membutuhkan kehendak
(usaha,kemauan) agar dapat bertahan dan bermakna.
h. Perbedaan budaya yang terkait cinta
Cinta tidak hanya sekadar fenomena biologis atau insting, ataupun
konsep berdasarkan keluarga, cinta juga terkait dalam konteks budaya
yang mempengaruhi perilaku agresif. Di berbagai budaya dan berbagai
masa di sepanjang sejarah, perkawinan diatur oleh orang tua penganten
pria dan wanita. Berbagai faktor ekonomi, religius, dan sosial
memainkan peranan pentang.dari pada memilih pasangan hanya
berdasarkan perasaan tertarik sesaat secara seksual sekadar hanya
untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dewasa, lebih baik agen
perjodohan (Parlmen & Peplau,1998).
i. Trait dan Pendekatan Interaksionis: Kesepian
Seorang yang kesepian memiliki kesulitan untuk membentuk
relasi, mempercayai orang lain, dan karib. Mereka sulit untuk
membicarakan dirinya sendiri, membuka perasaannya terhadap orang
lain, dan sulit merasa nyaman dalam berinteraksi sosial (Berg &
Pepleu, 1982; Pepleu & Caldwell,1978). Dalam istilah trait, mereka
barang kali rendah dalam sifat ekstropet dan stabilitas emosional. Para
teoris kepribadian dari pendekatan kognitif menyatakan bahwa orang
yanng kesepian sering kali memiliki gaya menjelaskan yang bersifat
negatif, mereka melihat berbagai hal sebagai suatu yang berada diluar
kontrol mereka dan cendrung memandang orang lain secara negatif
(Russel dan Snodgrass, 1987). Cara pandang ini menyatakan kesepian
dapat diatasi dengan mengnembangkan keterampilan dan mengubah
23
lingkungan.kesepian tidak dapat dianggap hanya sebagai suatu trait
kepribadian. Para interaksionis berpandangan bahwa situsionis perlu
ikut dipertimbangkan sepenuhnya. Kesepian terjadi ketika terdapat
ketidaksesuaian antara relasi seseorang sebenarnya dengan relasi yang
dibutuhkan (Parlmen & Peplau,1998).
3. Cinta yang Salah
Banyak peneliti yang tertarik dalam menentukan relasi antara
kepribadian dan perilaku seksual khususnya, antara kepribadian dan seks
yang tidak aman. Paling mendasar, orang ekstrovert lebih berpetualang
secara seksual karena mereka mencari stimulus ekstra. Orang-orang
ekstrovert cendrung lebih banyak melakukan “french kissing” dan terlilbat
dalam berbagai aktivitas seksual yang luas (Barnes et al., 1984; Fontaine,
1994). Fontain (1994) menggunakan Eysenk personality Questioneire
untuk menelaah kepribadian dan aktifitas seksual dari para pria yang
berusia 18 hingga 35 tahun.ia menemukan bahwa skors yang tinggi dalam
dimensi psikotik berkaitan dengan praktik-praktik seksual yang beresiko
seperti hubungan seks tanpa perllindungan dengan partner biseksual,
penggunan obat terlarang melalui intravena, atau berganti-ganti pasangan.
Skala seperti attraction to sexual Agression scale (Malamuth, 1989a,
1989b) mampu mengidentifikasi pria yang memiliki kecenderungan untuk
melakukan kejahatan seksual terhadap wanita. Para pria seperti ini lebih
mempercayai mitos mengenai perkosaan, mereka memiliki kebutuhan
mendominasi yang kuat.mereka mempuyai sikap positif terhadap agresi
seksual.
Dalam pandangan Freud, jelas bahwa pria semacam itu tidak
menyelesaikan kompleks Oedipal-nya ataupun mengembangkan super
egonya secara memadai; dan bagi para neoanalis, jelas bahwa pria
semacam itu menngalami defisiensi dalam pengasuhannya.dari sudut
pandang kognitif pria seperti itu kurang memahami sisi manusiawi dari
orang lain, dari sudut pandang trait, mereka kurang memiliki kemampuan
berempati dan lupa berbagai aturan yang ditentukan masyarakat. Bagi
24
seorang humanistik, mereka makhluk yang tidak bermoral. meski
demikian, terdapat banyak bukti yang memperlihatkan bahwa cinta dapat
tumbuh dari sebuah persahabatan yang bermakna. Banyak psikolog yang
bijaksana menekankan cinta yang sebenarnya, cinta yang tahan lama, dan
paling berhasil bila merupakan bagian dari kepedulian yang matang dan
tanpa pamrih terhadap yang lain. Intinya cinta yang salah adalah cinta
yang mengarah pada hubungan seksual yang belum boleh dilakukan atau
tidak ada hubungan pernikahan (Maramis, 2009).
E. Telaah Cinta Menurut Psikoneuroimunologi
1. Cinta Ditinjau dari Segi Neurologi
Jatuh cinta adalah proses dimana akan menyebabkan peningkatan
level kortisol. Peningkatan kortisol bersamaan dengan penurunan dari
follicles stimulating hormon (FSH) dan lain-lain mengindikasikan adanya
stress dan kondisi yang berhubungan dengan inisiasi kontak sosial
(Canalle dan Marezati 2004). Oksitosin juga akan dilepaskan secara
pulsatil tidak hanya menginduksi kontraksi jaringan mioepitel yang
diperlukan untuk melahirkan tetapi juga untuk kontraksi sel payudara
untuk produksi ASI. Oksitosin merupakan kunci utama perilaku seksual
sejak pertama dilepaskan saat proses jatuh cinta hingga memperoleh
keturunan. Selain itu oksitosin juga berperan penting dalam menimbulkan
kepercayaan, rasa setia dan rasa sayang yang penting dalam membina
hubungan. Bersama dengan vasopressin, prolactin dan opioid endogen,
oksitosin akan mengurangi reaktivasi dari HPA axis dan dan menimbulkan
ikatan cinta (Scheele et al, 2013).
Diantara faktor neuroendokrin, oksitosin dan vasopressin berperan
penting dalam ikatan pasangan dan rasa cinta. Neuropeptida oksitosin
berhubungan dengan pembentukan ikatan antar pasangan pada beberapa
spesies melalui interaksi dengan sistem dopamin otak, dimana elemen ini
akan mempengaruhi neropeptida oksitosin pada proses biokimiawi cinta.
Peptida ini dilepaskan pada respon pengalaman stress akut dan juga
25
menstabilkan hubungan cinta serta meyakinkan pasangan bahwa akan
saling peduli satu sama lain (Scheele et al 2013). Data-data terbaru
menunjukan bahwa oksitosisn berkontribusi dalam ikatan percintaan
dengan meningkatkan ketertarikan pada pasangan laki-laki terhadap
perempuan yang dicintainya, sedangkan pada perempuan oksitosin
menyebabkan pendekatan perilaku positif pada perilaku perempuan
(Preckel et al, 2014).
Vasopressin berhubungan dengan mobilisasi fisik, emosi dan sifat
kewaspadaan untuk menjaga pasangan. Vasopressin bersama dengan
oksitosin akan dilepas ke otak untuk memfasilitasi pilihan individu untuk
memiliih pasangan yang sesuai untuk menghasilkan ikatan dalam cinta
(De Boer et al 2013).
Meskipun begitu terdapat perbedaan efek antara dua neuropeptida.
Oksitosin memiliki efek anxiolitik dan efek mengurangi stress, dan
vasopressin meningkatkan respon takut dan stress. Hal ini mungkin karena
efek yang berlawanan terhadap amigdala. Dibawah ini terdapat perbedaan
antara efek oksitosin dan vasopressin berkaitan dengan proses cinta.
Gambar 2.5 Perbedaan antara Efek Oksitosin dan Vasopressin
berkaitan dengan Proses Cinta (De Boer et al 2013).
26
Berhubungan dengan penelitian yang terkait, vasopressin dan
oksitosin ditinjau dari aspek neurobiologi terdapat peran dari monoamin
dan peptida lainya seperti opioid endogen yang akan menimbulkan ikatan
yang kuat antar pasangan, fenomena cinta, nafsu, kesenangan, gairah dan
kenikmatan. (Each dan Stefano, 2004). Aktivasi reseptor vasopressin dan
oksitosisn dipengaruhi perasaan jatuh cinta. Reseptor oksitosin dan
vasopressin telah ditemukan dalam sistem olfaktori dan limbic hipotalamic
begitu juga di batang otak dan area tulang belakang yang mengatur fungsi
reproduksi dan otonomi (Carter, 1998).
Penelitian terbaru akhir-akhir ini peneliti mengspesifikan molekul
yang berhubungan dengan status mental :
Vasopressin dan oksitosin, hormon stressor norepinefrin dan kortisol
disebut juga ‘molekul kesenangan’ seperti dopamine,
endocanabinoid dan endorfin- bersamaan dengan morfin endogen.
Gambaran darah dari individu yang sedang jatuh cinta juga
menunjukan penurunan level serotonin dibandingkan dengan pasien
yang menderita gangguan obsesif kompulsif, stress dan anxietas (De
boer, 2013).
Hormon lain yang penting yang berhubungan dengan cinta, adalah
testosterone yang konsentrasinya berubah-ubah yang terjadi dua arah
pada laki-laki dan perempuan : laki-laki yang jatuh cinta menunjukan
penurunan level testosterons, sedangkan perempuan akan
memproduksi lebih banyak testosterone. Testosterone ini
menghilangkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan,
pada laki-laki akan bersifat lebih lembut, sedangkan pada perempuan
akan memiliki perilaku lebih agrresive. Testosteron menambah level
vasopressin dalam amigdala medial, lateral hipothalamus dan area
preoptic medial, yang melibatkan perilaku aggresif (Zitmann dan
Nieschalg, 2001).
27
Dopamin akhir-akhir ini diperhatikan oleh farmakologis dan
neurobiologis karena terdapat peran nyatanya dalam mengatur mood,
afek dan motivasi. Jelasnya, Dopamin berperan signifikan dalam
fenomena cinta khusunya pada permulaan, hingga menunjukan
gejala yang berkaitan dengan cinta (Liberwirth dan Wang, 2014).
Contohnya dapat meningkatkan peristaltik usus dan diare yang
menunjukan peran dopamin dalam fisiologi cinta. Dari laporan
peneliti fokus pada neurobiologi cinta yang berhubungan pelepasan
dopamine khususnya dalam sistem saraf pusat : Meskipun beberapa
bagian dopamin (reseptor, subtipe) ditemukan di otak, mesolimbik
dari dopamin muncul sebagai proses motivasi yang paling penting.
Dopamin menginterpretasikan bagian dari cinta. Penting untuk
mengetahui bahwa berdasarkan pengetahuan yang baru terdapat
morfin endogen yang potensial yang terdapat dalam proses ini
(Fricchiano dan Stefano, 2005).
Enkephalin menghambat pelepasan vasopressin dan oksitosin pada
kelenjar hipofisis posterior misalnya neurohipofisis (yang
berlawanan dengan hipofisis anterior dimana terdapat stress yang
berkaitan dengan HPA axis) dan opioid peptida akan menurunkan
vasopressin dan oksitosin yang berkaitan dengan memori. Meskipun
begitu peptida opioid adalah substansi dan bagian dari fisiologis
cinta dan kesenangan misalnya morfin. Ternyata informasi terbaru
menunjukan morfinergik yang menunjukan sinyal yang seharusnya
juga menjadi bagian dari hipotesis cinta, kesenangan dan
penhargaan (Fisher H et al, 2003).
Morfin endogen, baik secara biokimia dan imunositokimiawi telah
ditemukan di berbagai jaringan saraf, termasuk dalam struktur
limbik, struktur yang sama menunjukan sinyal vasopresinergik dan
oxitoxinergik contohnya pada amigdala, nucleus accumbens,
periaqductal grey, nuccleus raphe, hippocampus, dan sebagainya.
Secara umum morfin mempengaruhi sistem imun, vaskular dan
28
aktivasi regulasi dari saraf dan komponen opiat endogen yang
terlibbat dalam sistem kesenangan dan penghargaan (Fisher H et al,
2003).
Substansi lain yang berpengaruh dalam cinta dan ikatan pasangan
adalah serotonin. Deplesi level serotonin ditemukan pada tahap awal
percintaan seperti yang terjadi pada gangguan obsessif kompulsif,
depresi dan gangguan anxietas. Tahap awal percintaan menunjukan
kesamaan pada penyakit-penyakit ini (misalnya gejala anxietas,
stress dan pemikiran obtrusif) (O'Connell & Hofmann, 2011).
Serotonin juga menginduksi ketenangan mental supaya terlihat
menarik dalam kontak sosial misalnya saat pendekatan awal hingga
mulai jatuh cinta (O'Connell & Hofmann, 2011).
Gambar 2.6 Neuroanatomi dan Neurobiologi yang berhubungan
pada Status Mental (Preckel et al, 2014).
ajhshgsdhffsgysgdgd
29
2. Cinta Ditinjau dari Segi Psikologi
Menurut Teori Cinta Triangular Stenberg (1986; Stenberg & Barnes,
1985; Stenberg & Grajek, 1984), ketiga elemen cinta tersebut adalah
intimasi, hasrat, dan komitmen. Intimasi, elemen emosional, mencakup
pengungkapan diri yang mengarah kepada keterhubungan, kehangatan,
dan kepercayaan. Hasrat, elemen motivasional, didasarkan kepada
dorongan batin yang menerjemahkan gejolak fisiologis ke dalam hasrat
seksual. Komitmen, elemen kognitif, adalah keputusan untuk mencintai
dan untuk terus dicintai.
a. Tipe: Tidak cinta
Deskripsi:Tidak adanya ketiga komponen cinta-intimasi, hasrat, dan
komitmen. Hal ini mendeskripsikan sebagian besar hubungan
interpersonal yang hanya interaksi kausal saja.
b. Tipe: Menyukai
Deskripsi:Satu-satunya elemen yang ada adalah intimasi. Ada
kedekatan, pemahaman, dukungan emosional, afeksi, keterikatan, dan
kehangatan. Tidak ada hasrat atau komitmen.
c. Tipe: Tergila-gila
Deskripsi:Hasrat adalah satu-satunya elemen yang ada. Ini adalah
”cinta pada Pandangan pertama”, ketertarikan fisik yang kuat dan
gairah seksual, tanpa intimasi atau komitmen. Kegilaan seperti ini
dapat bergelora secara tiba-tiba dan padam sama cepatnya- atau,
dengan beberapa syarat, akan berlangsung dalam waktu yang panjang.
d. Tipe: Cinta kosong
e. Deskripsi:Elemen yang tersedia hanya komitmen. Cinta kosong kerap
ditemukan dalam hubungan jangka panjang yang telah kehilangan
intimasi dan hasrat, atau dalam perkawinan yang dijodohkan.
f. Tipe: Cinta Romantis
30
g. Deskripsi:Ada intimasi dan hasrat. Para pencinta romantis saling
tertarik secara fisik dan terikat secara emosional. Akan tetapi, mereka
tidak terkomitmen kepada yang lain.
h. Tipe: Companionatte Love
Deskripsi:Elemen intimasi dan komitmen ada. Ini adalah hubungan
pertemanan jangka panjang berkomitmen, seringkali terjadi dalam
hubungan perkawinan di mana ketertarikan fisik sudah padam tapi
pasangan tersebut merasa dekat satu dengan yang lain dan membuat
keputusan untuk tetap bersama.
i. Tipe: Cinta Semu (Fatuous Love)
Deskripsi:Hanya ada hasrat dan komitmen. Cinta jenis ini yang
mengarah kepada lingkaran percumbuan, di mana pasangan membuat
komitmen berdasarkan hasrat tanpa memberikan waktu kepada diri
mereka untuk mengembangkan intimasi. Jenis cinta ini biasanya tidak
berlangsung lama, terlepas dari niat awal ketika melakukan komitmen.
j. Tipe: Cinta Sempurna (Consummate Love)
Deskripsi:Ketiga komponen ada dalam cinta “sempurna” ini, yang
diperjuangkan banyak orang, terutama, dalam hubungan romantis.
Lebih mudah mencapainya ketimbang mempertahankannya. Salah satu
dari kedua pasangan tersebut dapat berubah dalam apa yang
diinginkannya dari hubungan tersebut. Apabila pasangannya juga
berubah, hubungan tersebut bisa jadi terus berlangsung dalam bentuk
yang berbeda. Akan tetapi jika pasangannya tidak berubah, hubungan
tersebut bisa putus.
(Stenberg, 1986).
Sebagai makhluk yang memiliki perasaan, kita tentunya mampu
merasakan cinta, entah mencintai atau dicintai. Cinta melibatkan perasaan
yang mendalam, terkadang rasa ketidakegoisan, maupun komitmen; dan
cinta merupakan misteri besar dalam kehidupan manusia. Cinta
merupakan komponen yang sudah ada di dalam hidup kita sejak kita mulai
31
berada di dalam kandungan. Cinta dari ibu, cinta dari ayah, cinta dari
sanak saudara, hingga cinta dari guru, cinta dari sahabat, dari pasangan,
dan seterusnya. Demikian pula saat kita mencintai orang lain; kita
mencintai kedua orang tua kita, saudara kita, sahabat kita, pasangan, dan
seterusnya. Tetapi apakah cinta kepada orang tua, cinta kepada sahabat,
dan cinta kepada pasangan adalah perasaan yang sama? Tulisan kali ini
akan membahas cinta yang dirasakan oleh sepasang manusia dari sudut
pandang psikologi (Stenberg & Barnes, 1985).
a. Asal-Usul Cinta
Dari mana cinta datang? Saya mendadak menjadi teringat pada
sebuah lagu yang berlirik, “cinta datang tiba-tiba”. Apakah cinta
datang secara tiba-tiba begitu saja?
Teori perilaku mengatakan bahwa cinta muncul akibat adanya
penguatan positif yang kita rasakan di dalam diri. Kita jatuh cinta
kepada seseorang karena orang tersebut selalu memerhatikan atau
menghargai diri kita. Dengan teori ini juga dapat dijelaskan alasan
seorang anak begitu menyukai seorang guru yang selalu memberikan
sang anak permen setiap mereka bertemu. Hubungan cinta akan
muncul ketika ada sepasang manusia yang saling memberikan
perasaan positif satu sama lain (Elaine H, et. al., 2008).
Teori kognitif menjelaskan bahwa cinta muncul karena kita
berpikir bahwa kita mencintai. Jika kita melakukan sesuatu tanpa
diberikan apapun dan kita masih melakukannya, maka kita jatuh cinta.
Sebagai contoh, seorang laki-laki berpikir, “Saya selalu menemani dia
berbelanja, padahal saya tidak mendapatkan apa-apa dari kegiatan ini.
Kenapa saya mau menjemput dia? Kenapa saya mau menemani dirinya
hingga larut malam? Saya pasti sedang jatuh cinta kepada dirinya!”
Beginilah teori kognitif. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa saat
kita mengira seseorang menyukai kita, maka kita akan semakin mudah
tertarik kepadanya (Elaine H, et. al., 2008).
32
Teori evolusi menyatakan bahwa cinta muncul karena pada
dasarnya kita membutuhkan perlindungan. Dengan cinta, kita
mendapatkan pemenuhan atas perlindungan, dan kita dapat
bereproduksi serta mewariskan genetika kepada generasi selanjutnya.
Teori biologi menjelaskan cinta muncul karena adanya feromon.
Feromon adalah zat kimia yang dikeluarkan oleh manusia dan hewan.
Zat ini diproses di dalam hipotalamus, dan feromon memengaruhi
pilihan kita terhadap pasangan. Dengan kata lain, kita tertarik pada
lawan jenis karena tertarik terhadap feromon yang ia keluarkan (Elaine
H, et. al., 2008).
b. Macam-Macam Cinta
Secara umum cinta terbagi menjadi dua, yaitu romantic love (cinta
romantis) dan companionate love. Romantic love melibatkan rasa
senang akan cinta, namun di satu sisi juga merasa khawatir akan
kehilangan pasangan. Cinta romantis selalu mengharapkan cinta yang
ideal, cinta yang penuh akan kebahagiaan dan romantika. Sedangkan
companionate love adalah cinta yang melibatkan perasaan mendalam,
kedekatan, dan juga keintiman. Pasangan dengan companionate
love akan dapat menerima pasangan apa adanya dan percaya terhadap
pasangan. Contoh dari romantic love adalah cinta yang umumnya
terjadi pada sepasang remaja, sedangkan companionate love adalah
cinta yang umumnya terjadi pada sepasang lansia yang sudah menikah
selama puluhan tahun. Romantic love, meski penuh dengan harapan
yang positif kepada pasangan dan melibatkan kekhawatiran akan
kehilangan pasangan, bukanlah jenis cinta yang buruk. Romantic
love akan menjadi cinta yang baik jika dapat
dikembangkan companionate love.
John Alan Lee, seorang psikolog, menyatakan teori tentang cinta
yang disebut sebagai warna cinta. Warna-warna cinta tersebut adalah:
1) Eros atau romantic lover: cinta dalam bentuk eros adalah cinta
yang muncul semata-mata karena ketertarikan fisik. Cinta seperti
33
ini adalah cinta yang mementingkan nafsu, dan tidak dapat
bertahan lama.
2) Ludus atau game-playing lover: sesuai dengan namanya, cinta ini
semata-mata seperti sebuah permainan. Orang yang ludus
menyukai rayuan gombal. Cinta ini biasanya ditemukan pada kasus
cinta monyet.
3) Storge atau quiet and calm lover: cinta ini adalah cinta yang
“diam”. Rasa cinta ini tidak muncul dengan tiba-tiba dan tidak
mengharapkan cinta yang ideal, romantis, pernikahan, atau
sebagainya. Jika cinta ini berakhir, pasangan manusia tetap bisa
berteman.
4) Mania atau crazy lover: cinta ini disebut gila karena penuh dengan
posesivitas dan ketergantungan. Orang dengan cinta jenis ini akan
begitu gelisah ketika pasangan tidak di sampingnya, namun di satu
sisi akan langsung mengalami peningkatan mood ketika pasangan
sudah di sampingnya.
5) Pragma atau practical lover: cinta ini penuh dengan daftar kualitas
yang mereka harapkan dalam sebuah hubungan. Orang yang
pragma mengharapkan cinta yang dalam dan berakhir pada
pernikahan, bahkan mereka sudah merencanakan masa depan dari
cinta mereka.
6) Agape atau selfless lover: cinta yang tidak mengharapkan apapun.
Cinta yang tulus. Tidak mengharapkan balas, tidak cemburu, dan
tidak meminta apapun.
(Lee, 2006).
Robert Sternberg, seorang profesor psikologi, menggolongkan
cinta dengan cara yang berbeda. Cinta adalah kombinasi dari
hasrat (passion), keintiman atau kedekatan (intimacy), dan komitmen.
Macam-macam cinta berdasarkan kombinasi tiga hal tersebut adalah:
34
1) Suka (liking): adanya keintiman atau kedekatan tetapi tidak ada
hasrat dan komitmen. Liking biasanya muncul pada sepasang
teman atau sahabat.
2) Infatuation: hanya ada hasrat tanpa ada kedekatan dan komitmen.
Cinta jenis ini dapat dengan mudah hilang dan berganti kepada
pasangan yang lain.
3) Empty love atau cinta kosong: hanya ada komitmen, tanpa ada
kedekatan dan hasrat. Meskipun cinta jenis ini tidak melibatkan
perasaan, tetapi perlu dikembangkan hingga terciptanya kedekatan
dan hasrat.
4) Romantic love atau cinta romantis: ada hasrat dan ada kedekatan,
tetapi tidak ada komitmen. Cinta ini biasanya hanya untuk sekedar
kesenangan saja, umumnya pada kasus cinta monyet.
5) Companionate love: adanya kedekatan dan komitmen, namun
tanpa hasrat. Cinta ini dapat muncul pada sepasang sahabat atau
pasangan menikah yang mengalami penurunan hubungan.
6) Fatuous love: cinta yang memiliki hasrat dan komitmen, tetapi
tidak memiliki kedekatan. Cinta ini bisa dikatakan cinta yang
bodoh karena muncul meskipun belum mengenal pasangan dengan
baik (tidak adanya kedekatan). Cinta pada pandangan pertama
dapat menjadi contoh dari cinta jenis ini.
7) Consummate love: cinta yang memiliki baik kedekatan, hasrat, dan
komitmen. Cinta ini adalah cinta yang ideal dan jenis cinta yang
terbaik. Pasangan dengan cinta jenis ini saling memahami satu
sama lain, saling memiliki ketertarikan satu sama lain, dan
memiliki komitmen untuk mempertahankan hubungan.
(Stenberg, RJ, 2006).
c. Mengembangkan Cinta yang Ideal
Cinta yang ideal adalah consummate love. Untuk mengembangkan
cinta yang ideal, maka pasangan harus membina kedekatan. Pasangan
harus saling terbuka dan mau berbagi satu sama lain. Mereka harus
35
mau memberikan masukan dan siap untuk menerima masukan. Dengan
sikap ini, pasangan seyogyanya mampu saling memahami. Dengan ini
akan muncul kedekatan. Masing-masing dari pasangan juga harus
mampu memperbaiki diri dan mengembangkan diri; baik secara fisik,
kepribadian, maupun spiritual (Elaine H, et. al., 2008).
Fisik bukanlah hal yang menentukan hubungan, tetapi pasangan
perlu menjaga penampilan fisik agar tidak terlihat seperti tidak terurus,
terkadang orang menghubungkan penampilan dengan kepribadian.
Begitu juga dengan kepribadian, munculkan sikap yang dewasa,
perhatian, hangat, dan sebagainya yang sekiranya dapat membuat
pasangan nyaman. Dengan ini, diharapkan hasrat dapat muncul. Dan
tentu saja, pasangan harus saling berkomitmen. Saling berjanji bahwa
cinta ini (jika sepasang kekasih) tidak akan dikhianati dan mampu
menjaga diri dari godaan lawan jenis lain (Elaine H, et. al., 2008)..
Agape atau cinta yang tidak mengharapkan balasan merupakan
cinta yang juga tampak ideal, tetapi bukan berarti cinta ini adalah
bentuk cinta yang pasrah menerima pasangan apa adanya. Dalam
berhubungan, kita memang perlu menerima keadaan pasangan
sekalipun itu negatif. Misalnya adalah kasus pasangan yang kasar atau
tidak mau bekerja, itu adalah sifat yang kurang baik dalam sebuah
hubungan. Namun bukan berarti kita hanya pasrah menerima keadaan
negatif pasangan, seharusnya kita membantunya untuk berubah.
Berikan dukungan dan dampingan. Pasangan yang kasar jika dibiarkan
tentu akan menimbulkan kekerasan, baik dalam masa pacaran ataupun
dalam masa pernikahan (KDRT). Kita perlu memberikan penjelasan
bahwa sifat kasar tersebut adalah sifat yang merugikan baik kepada
diri sendiri, pasangan, dan hubungan. Ajaklah pasangan untuk
berubah, dampingi dia. Selama ini mungkin kita hanya meminta ia
untuk berubah tetapi tidak memberikan dukungan dan pendampingan
sehingga pasangan merasa disalahkan. Jika pasangan sudah menikah
36
dan suami tidak mau bekerja, berikan penjelasan mengapa sang suami
perlu bekerja (Elaine H, et. al., 2008)..
Dalam rumah tangga, adalah wajar jika memerlukan uang. Tidak
perlu melimpah, tetapi cukup untuk kehidupan sehari-hari saja sudah
baik. Berikan dukungan kepada suami untuk bekerja, jika perlu bantu
suami untuk menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan
potensinya; atau istri dan suami bisa sama-sama bekerja agar kondisi
keuangan bisa lebih baik. Istri seharusnya tidak mendesak suami untuk
menghasilkan uang yang lebih banyak, tetapi memberikan dukungan
dan pendampingan agar suami dapat lebih bahagia dalam pekerjaan
dan sejahtera baik mental dan fisik (Elaine H, et. al., 2008).
3. Cinta Ditinjau dari Sistem Imun
Emosi memicu perubahan kaskade biokimia dalam tubuh kita yang
mempengaruhi fungsi tubuh dan apa yang kita rasakan. Sistem saraf dan
endokrin berkomunikasi secara dua arah dengan sistem imun dengan
“bahasa” hormon dan neuropeptida. Hal ini berarti bahwa emosi yang kita
rasakan dapat menginduksi kesehatan atau penyakit (Adam H, et. al.,
2008).
Sel natural killer (sel NK) bekerja dengan cara menghancurkan sel
tumor, jaringan yang terserang virus, bakter, dll. Sebagai pertahanan
pertama, sel NK berperan untuk mengontrol infeksi pada stadium awal
dari kerusakan jaringan, banyaknya sel NK akan menentukan kekuatan
dari sistem imun. Stres psikologis akan mengurangi sistem sel NK dan
dapat memperparah suatu penyakit (Adam H, et. al., 2008).
Oksitosin berkaitan dengan kesehatan tubuh dilepaskan pada saat
terjadi ikatan emosional, hubungan intim. Oksitosin dapat mengatur
tekanan darah, suhu tubuh, penyembuhan luka, dan penghilangan rasa
nyeri. Jadi, kita hanya mendapat keuntungan dari hormon ini ketika sedang
merasakan cinta dalam bentuk yang bermacam-macam (Adam H, et. al.,
2008).
37
Kortisol juga merupakan hormon yang diekskresi ketika stres.
Bersama dengan adrenalin, selama stres, kortisol berperan penting dalam
respon “fight or flight”, membantu mempersiapkan tubuh untuk situasi
emergensi. Terlalu banyak kortisol di tubuh kita akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah, penurunan performa mental, masalah gula
darah, supresi tiroid, kolesterol jahat seperti LDL meningkat dan juga
asam lemak bebas. Level saliva yang rendah menunjukkan subjek
mengalami tingkat stres yang tinggi. Rasa sedih akan mensupresi
kesehatan sistem imun. Rasa sedih, putus cinta, patah hati, dan perceraian
juga telah terbukti meningkatkan sekresi dari kortisol (Adam H, et. al.,
2008).
Immunoglobulin A adalah antibodi protein khusus yang dipoduksi
oleh sel darah putih untuk melawan patogen asing seperti bakteri.
Immunoglobulin ini membantu sistem imun dari membran mukosa dan
bagian tubuh yang penting. Seperti halnya sel NK, makin banyak
immunoglobulin A yang ditemukan dalam darah, makin baik sistem imun.
Penelitian menunjukkan hasil bahwa ketika kita merasakan cinta, zat ini
akan meningkat pada level tertinggi dan ketika kita merasa takut atau
marah, maka akan berkurang (Adam H, et. al., 2008).
F. Cinta sebagai Stressor Psikososial
a. Stressor Psikososial
Nilai ambang stres (stress/ frustation threshold/ tolerance) pada
setiap orang berbeda tergantung pada keadaan somato-psiko-sosial orang
tersebut. Ada orang yang peka terhadap stresor tertent, yang dinamakan
stresor spesifik, karena pengalaman dahulu yang menyakitkan dan tidak bisa
diatasinya dengan baik. Menurut teori, setiap orang bisa saja terganggu
jiwanya, asalkan ada stresor yang cukup besar, cukup lama, atau cukup
spesifik. Tiap orang mempunyai cara sendiri untuk penyesuaian diri terhadap
stres, karena penilaian terhadap stresor dan stres berbeda (faktor internal), dan
karena tuntutan tiap individu berbeda (faktor eksternal), ini antara lain
38
tergantung pada umur, sex, kepribadian, intelegensi, emosi, status sosial, dan
pekerjaan individu (Maramis dan Maramis, 2009).
Holmes dan Rahe menyusun suatu daftar peristiwa kehidupan yang
kemudian diberikan kepada 394 orang. Mereka diminta untuk memberi bobot
nilai 0-100 sesuai dengan pengalaman mereka mengenai berat ringannya
peristiwa-peristiwa itu sebagai stresor, lalu diambil rata-ratanya untuk setiap
peristiwa. Cara penilaiannya adalah, bila ada orang yang mau dites ia diminta
untuk melingkari semua skor di belakang peristiwa pada daftar itu yang ia
alami dalam satu tahun terakhir, setelah itu semua skor yang dilingkari
dijumlahkan. Jumlah skor ini memberi petenjuk mengenai keadaan stres
psikologis orang itu. Ternyata mereka yang memperoleh skor 300 atau lebih
mempunyai 90% kemungkinan jatuh sakit berat atau mengalami kecelakaan
serius dalam 6 bulan mendatang. Bila skor kurang dari 300, maka
kemungkinan mengalami gangguan kesehatan yang serius adalah 50%
(menurut penelitian di Amerika Serikat) (Maramis dan Maramis, 2009).
Rangkin
g
Peristiwa Hidup Skor rata-rata
1 Kematian Pasangan 100
2 Percerian 65
3 Keretakan dalam perkawinan 65
4 Masuk penjara 63
5 Kematian anggota keluarga dekat 63
6 Kecelakaan pribadi atau jatuh sakit 53
7 Menikah 50
8 Dipecat dari pekerjaan 47
9 Rukun kembali dalam perkawinan 45
10 Pensiun 45
11 Perubahan kesehatan anggota keluarga 44
12 Kehamilan 40
13 Kesukaran dalam sex 39
39
14 Mendapat anggota keluarga baru 39
15 Penyesuaian dalam perusahaan 39
16 Perubahan dalam keadaan keuangan 38
17 Kematian teman akrab 37
18 Pindah ke jenis pekerjaan lain 36
19 Perubahan dalam banyaknya pertengkaran dengan
pasangan hidup
35
20 Hipotik lenih dari $10,000 31
21 Tutup hipotik atau pinjaman 30
22 Perubahan tanggung jawab dalam pekerjaan 29
23 Anak meninggalkan rumah 29
24 Kesukaran dalam keluarga 29
25 Prestasi pribadi yang tinggi 28
26 Pasangan hidup mulai atau berhenti kerja 26
27 Mulai atau mengakhiri studi 26
28 Perubahan keadaan tempat tinggal 25
29 Perbaikan kebiasaan pribadi 24
30 Kesukaran dengan bos 23
31 Perubahan waktu atau keadaan kerja 20
32 Pindah tempat tinggal 20
33 Pindah sekolah 20
34 Perubahan dalam berekreasi 19
35 Perubahan dalam kegiataan untuk gereja 19
36 Perubahan dalam kegiataan sosial 18
37 Hipotik atau pinjaman kurang dari $10,000 17
38 Perubahan kebiasaan tidur 16
39 Perubahan dalam jumlah pertemuan keluarga 15
40 Perubahan dalam kebiasaan makan 15
41 Liburan atau cuti 13
40
42 Hari raya 12
Tabel 2.1 Skala peristiwa hidup dan stres menurut Holmes dan Rahe
jj (Maramis dan Maramis, 2009)
b. Tahap Cinta yang Ditolak
Lewis et al. (2000) membagi tahap penolakan cinta menjadi dua fase
yaitu protes dan mengundurkan diri atau putus asa.
1. Protes
Fase pertama adalah fase protes, dimana seseorang yang ditolak
akan menghasilkan energi yang kuat, meningkatkan kewaspadaan, dan
memiliki motivasi yang kuat untuk memenangkan kembali hati seseorang
yang mereka sayangi. Beberapa psikiater mengemukakan teori bahwa
respon protes berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamine dan
norepinephrine. Peningkatan kedua neurotransmitter ini akhirnya
menyebabkan peningkatan kewaspadaan, energi, dan motivasi yang
digunakan oleh seseorang yang ditolak untuk mencari pertolongan.
Pada seseorang yang mengalami cinta yang ditolak akan
mengalami “frustration attraction” yaitu keadaan dimana seseorang yang
ditolak akan mencintai orang yang menolaknya lebih dalam daripada
sebelumnya. Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan Lewis et al
(2000) dan Sternberg dan Weis (2006) bahwa adanya peningkatan jalur
dopaminergik yang berperan dalam reward atau penghargaan. Ketika
seseorang ditolak, maka akan terjadi keterlambatan dalam mendapatkan
penghargaan, sehingga saraf yang bekerja dalam jalur ini akan
memperpanjang aktivitasnya (Schultz, 2000). Padahal aktivitas dari jalur
dopaminergik ini berhubungan dengan perasaan, sehingga perasaan pun
akan terus ada dan menjadi semakin kuat. Sehingga hal ini akan
menimbulkan frustasi yang dapat menjadi maladaptif. Namun demikian,
41
tubuh tetap berusaha untuk mencari pertolongan untuk mendapatkan
pujaan hati dengan meningkatan energi, menfokuskan diri, adanya
motivasi yang kuat, dan adanya perilaku yang menghasilkan tujuan.
Menurut Meloy dalam Sternberg dan Weis (2006), seseorang yang
ditolak juga akan mengalami “abandoned rage” atau kemarahan akibat
ditinggalkan atau ditolak. Hal ini berhubungan dengan jalur
“penghargaan” dopaminergik. Jalur ini berhubungan dengan korteks
orbitofrontal lateral yang berfungsi untuk mengontrol kemarahan.
Sehingga ketika seseorang tidak dapat memenuhi ekspektasinya akan
timbul suatu frutasi yang agresif.
Penelitian yang dilakukan oleh Ellis dan Malamuth (2000)
menunjukkan bahwa pria dan wanita yang telah ditolak akan marah pada
individu yang menolak, namun disatu sisi mereka masih sangat
mencintainya. Sebenarnya cinta dan kemarahan memiliki kesamaan dalam
perilaku, antara lain fokus yang meingkatkan, adanya perilaku obsesif,
peningkatan energi, peningkatan emosi dan motivasi, serta rasa ingin
memiliki (Fisher, 2004). Ketika seseorang ditolak, maka pada fase protes
akan keluar dan muncul perilaku maladaptif sepeti frustasi dan kemarahan
akibat diabaikan. Hal ini dapat meningkatkan tekanan darah, menekan
sistem imun, dan membuat stres (Dozier, 2002). Namun, hal ini juga dapat
menggerakan seseorang yang ditolak untuk segera mengakhiri hubungan
sepihak secara cepat dan dapat membina hubungan yang baru dengan yang
lainnya. Kemarahan juga dapat memotivasi seseorang untuk
memperjuangkan kesejahteraan mereka (Fisher, 2004).
2. Mengundurkan diri atau Putus Asa (Resignation/Despair)
Fase kedua adalah mengundurkan diri atau putus asa akibat ditolak.
Hal ini berkaitan dengan bekurangnya aktivitas jalur dopaminergik
subkortikal. Ada tiga alasan yang berkaitan dengan berkurangnya aktivitas
dopamin, yaitu:
42
Ketika menyadari bahwa penghargaan yang diinginkan tidak
mungkin didapatkan, sel pembuat dopamine di otak tengah akan
mengurangi aktivitasnya (Schultz, 2000).
Penelitian yang dilakukan menggunakan fMRI menunjukkan wanita
yang telah mengalami penolakan, mengalami penurunan aktivitas di
caudatus dorsalis. Regio ini memiliki banyak reseptor dopamine.
Paparan stres yang cukup lama akan menekan aktivitas dopamin
dan monoamine yang lain, yang akan menyebabkan kelesuan,
kesedihan, dan depresi (Panskepp, 1998).
Ketiga alasan tersebut menunjukkan ciri seseorang yang telah menyerah
dan memilih mengundurkan diri (Starnberg dan Weis, 2006).
Rasa putus asa yang dialami oleh seseorang yang ditolak dapat
menyebabkan depresi. Namun, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa rasa
depresi ini dapat menjadi keuntungan. Depresi menunjukkan sesuatau
perasaan yang jujur dan menunjukkan sesuatu yang salah pada orang
tersebut, sehingga dapat menyadarkan teman-teman dan kerabat di
sekitarnya untuk memberikan dorongan kekuatan kepada mereka yang
ditolak (Watson dan Andrews, 2002).
Wanita dan pria memiliki cara yang berbeda dalam mengekspresikan
perasaannya ketika ditolak. Pria cenderung memilih untuk bunuh diri,
mengintai pujaan hati mereka, atau parahnya menyelakai mereka (Hatfield
dan Rapson, 1996; Meloy dan Fisher, 2005). Sedangkan wanita lebih
mengungkapkan perasaan mereka dan cenderung depresi dan sering
merenung setelah penolakan. Wanita juga cenderung menceritakan trauma
mereka walaupun terkadang hal tersebut mengingatkan mereka kembali
akan rasa sakitnya ditolak (Mearns 1991; Hatfied dan Rapson, 1996;
Nolen-Hoeksema et al., 1999).
c. Mekanisme coping pasca putus cinta
Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan sebagai
menghadapi, melawan ataupun mengatasi (Wardani, 2009). King (2010)
mengemukakan bahwa strategi coping adalah upaya mengelola keadaan
43
dan mendorong usaha untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan
seseorang dan mencari cara untuk menguasai atau mengurangi stres.
Kemudian menurut Lazarus (dalam Safaria & Saputra, 2009) strategi
coping yaitu strategi untuk mengatur tingkah laku kepada pemecahan
masalah yang paling sederhana dan realistis, berfungsi untuk
membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata dan
strategi coping merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku
untuk mengatasi, mengurangi dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan
(distress demands).
Putus cinta adalah kejadian berakhirnya suatu hubungan cinta yang
telah dijalin dengan pasangan (Yuwanto, 2011). Seseorang yang masih
mencintai pasangannya dan kemudian mengalami putus cinta umumnya
akan menampilkan reaksi kehilangan terutama diawal putus cinta. Linda
(2007) juga berpendapat bahwa putus cinta yaitu berakhirnya suatu
hubungan yang dibina selama beberapa waktu tertenti dan dapat
menimbulkan duka serta masa berkabung.
Ada beberapa gambaran reaksi putus cinta ditinjau dari sudut
psikologi, mengacu pada teori yang diajukan oleh Shontz (Yuwanto,
2011) diantaranya :
a. Shock
Shock menggambarkan kondisi kaget atau merasa tidak menduga
b. Encounter reaction
Bentuk reaksi ini merupakan kelanjutan dari shock, dicirikan dengan
pikiran kacau, perasaan kehilangan, tidak percaya, sedih, merasa
tidak berdaya dan merasa diri tidak berguna.
c. Retreat
Individu yang mengalami putus cinta biasanya akan menolak bahwa
dirinya telah mengalami putus cinta. Reakasi penolakan ini adalah
bentuk pertahanan diri untuk melindungi diri dari perasaan tidak
nyaman.
44
Saat mengalami putus cinta secara otomatis akan muncul strategi
coping. Bentuk strategi coping yang muncul umumnya ada dua yakni
strategi coping yang fokus pada masalah dan strategi coping yang fokus
pada emosi. Apabila strategi coping yang muncul tersebut dapat
dilakukan secara efektif maka akan dengan mudah menyesuaikan diri
dengan keadaan. Sebaliknya jika strategi coping yang dilakukannya tidak
efektif maka akan muncul kesulitan dalam menghadapi dan
menyesuaikan diri dengan keadaan dan dengan masalah lain yang
mungkin akan ditemuinya (Yulianingsih, 2012).
Lazarus dan Folkman (dalam Wardani, 2009) berpendapat bahwa ada
dua bentuk strategi coping yaitu :
a. Problem Focused Coping
Problem Focused Coping adalah strategi dan cara menyelesaikan
masalah yang dihadapi sehingga individu segera terbebas dari
masalahnya tersebut. Bentuk strategi coping ini adalah :
Exercised Caution (Kehati-hatian)
Individu berfikir dan mempertimbangkan beberapa
alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta
pendapat orang lain, berhati-hati dalam memutuskan
masalah serta mengevaluasi strategi yang pernah
dilakukan sebelumnya.
Intrumental Action
Tindakan individu yang diarahkan pada penyelesaian
masalah secara langsung serta menyusun langkah yang
akan dilakukannya.
Negotiation (Negosiasi)
Beberapa usaha oleh seseorang yang ditujukan kepada
orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab
masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.
b. Emotional Focused Coping
45
Emotional Focused Coping adalah strategi untuk meredakan
emosi individu yang ditimbulkan oleh stresor tanpa mengubah
suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Bentuk
strategi coping ini adalah :
Escapism (Menghindar)
Perilaku menghindari masalah dengan cara
membayangkan seandainya berada dalam situasi lain
yang lebih menyenangkan, menghindari masalah dengan
makan ataupun tidur, bisa juga dengan merokok ataupun
meneguk minuman keras.
Minimization (Pengabaian)
Tindakan menghindari masalah dengan menganggap
seakan-akan masalah yang tengah dihadapi itu jauh lebih
ringan daripada yang sebenarnya.
Self Blame (Menyalahkan Diri)
Merupakan strategi yang bersifat pasif yang lebih
diarahkan ke dalam daripada usaha untuk keluar dari
masalah.
Seeking Meaning (Memaknai)
Suatu proses dimana individu mencari arti kegegalan
yang dialami bagi dirinya sendiri dan mencoba mencari
segi-segi yang menurutnya penting dalam hidupnya.
Dalam hal ini individu mencoba mencari hikmah atau
pelajaran yang bisa dipetik dari masalah yang telah atau
sedang dihadapinya.
G. Cinta dan Gangguan Jiwa
Manusia itu diciptakan Tuhan sebagai makhluk sempurna, sehingga
mampu mencintai dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis
(heteroseksual) namun juga yang sejenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh
cinta makhluk lain ataupun benda, sehingga kemungkinan terjadi perilaku
46
menyimpang dalam perilaku seksual amat banyak.Penyimpangan seksual
adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan
kenikmatan seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan
oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar.
Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, yang di
peroleh dari pengalaman sewaktu kecil, maupun dari lingkungan pergaulan,
dan faktor genetic (Grazziotin, 2004; Millinski, 2006).
Berdasarkan definisi dari penyimpangan perilaku seksual yang
dikemukakan di atas maka dapat di identifikasikan bentuk-bentuk
penyimpangan seksual yang dikategorikan tidak wajar yaitu sebagai berikut :
a. Homoseksual
Homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi
pasangan seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbian
untuk penderita perempuan. Pada kasus homoseksual, individu atau
penderita yang mengalami disorientasi seksual tersebut mendapatkan
kenikmatan fantasi seksual secara melalui pasangan sesama jenis.
Orientasi seksual ini dapat terjadi akibat bawaan genetik kromosom dalam
tubuh atau akibat pengaruh lingkungan seperti trauma seksual yang
didapatkan dalam proses perkembangan hidup individu, maupun dalam
bentuk interaksi dengan kondisi lingkungan yang memungkinkan individu
memiliki kecenderungan terhadapnya
b. Sadomasokisme
Sadisme seksual termasuk kelainan seksual. Dalam hal ini kepuasan
seksual dapat diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan
terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sedangkan
masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang
dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk
memperoleh kepuasan seksual, bentuk penyimpangan seksual ini
umumnya terjadi karena adanya disfungsi kepuasan seksual
c. Eksibisionishme
47
Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya
dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang
sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit
ketakutan, ia akan semakin terangsang. Kondisi seperti ini biasanya
diderita pria, dengan memperlihatkan alat kelaminnya yang dilanjutkan
dengan masturbasi hingga ejakulasi, pada kasus penyimpangan seksual
terdapat pula penderita tanpa rasa malu menunjukkan alat genitalnya
kepada orang lain sekedar untuk menunjukkannya dengan rasa bangga.
d. Voyeurisme
Istilah voyeurisme disebut juga (scoptophilia) berasal dari bahasa
prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan
memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang
lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual.
Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan
tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Pelaku hanya
mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya dilakukan dengan cara
bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya.
Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan
rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual
e. Fetishisme
Fatishi berarti sesuatu yang dipuja. Jadi pada penderita fetishisme,
aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast
holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan
hasrat atau dorongan seksual. Sehingga, orang tersebut mengalami
ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang
meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda favoritnya,
kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan
pasangannya tersebut dalam hal ini orientasi seksual diarahkan pada objek
kebendaan di sekitar si penderita
f. Pedophilia
48
Yaitu kelainan seksual dimana individu yang telah dewasa memiliki
orientasi pencapaian kepuasan seksual melalui cara hubungan fisik atau
hubungan seks yang bersifat merangsang dengan anak-anak di bawah
umur
g. Bestially
Bestially adalah bentuk penyimpangan orientasi seksual individu
dimana terdapat kejanggalan untuk mencapai kepuasan hubungan seksual
dengan menggunakan hewan sebagai media penyalur dorongan atau
rangsangan seksual. Pada kasus semacam ini penderita tidak memilki
orientasi seksual terhadap manusia
h. Incest
Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non
suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan, ibu dengan anak laki-
laki, saudara laki-laki dengan saudara perempuan sekandung, kategori
incest sendiri sebenarnya cukup luas, di beberapa kebudayaan tertentu
hubungan seksual yang dilakukan antara paman dan keponakan atau
sepupu atau bahkan galur seketurunan (family) dapat dikategorikan
sebagai perbuatan incest.
i. Necrophilia
Bentuk kelainan seksual dimana individu penderita nechrophilia
memiki orientasi kepuasan seksual melalui kontak fisik yang bersifat
merangsang atau hubungan seksual dengan media partner jenasah atau
orang yang telah wafat.
j. Sodomi
Sodomi adalah penyimpangan seksual yang dialami oleh pria yang
suka berhubungan seksual melalui organ anal atau dubur pasangan seksual
baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan
k. Frotteurisme
49
Yaitu suatu bentuk kelainan seksual di mana seorang individu laki-laki
mendapatkan kepuasan seksual dengan cara menggesekkan atau
menggosokkan alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau
umum
l. Zoophilia
Zoofilia adalah salah satu bentuk penyimpangan perilaku seksual dimana
terdapat orang atau individu yang terangsang melihat hewan melakukan
hubungan seks dengan hewan
m. Geronthophilia
Gerontophilia adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang
pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah
berusia lanjut kasus Gerontopilia mungkin jarang terdapat dalam
masyarakat karena umumnya si penderita malu untuk berkonsultasi kepada
pakar seksual, dan tidak jarang mereka adalah anggota masyarakat biasa
yang juga memiliki keluarga serta dapat menjalankan tugas-tugas
hidupnya secara normal
(Grazziotin, 2004; Millinski, 2006).
50
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Cinta merupakan emosi positif kuat dari afeksi dan ketertarikan yang
terdiri dari tiga komponen utama, yaitu intimacy, passion, dan
commitment.
2. Cinta adalah sebuah fenomena neurobiologis kompleks yang terjadi di
dalam otak, yaitu pada sistem limbik. Cinta melibatkan beberapa sinyal
neurotransmitter di dalam otak, diantaranya adalah sinyal oksitosin,
vasopressin, dopamin, dan serotonergik yang diregulasi oleh kortisol dan
testosteron serta melibatkan mekanisme endorfin dan morfinergik endogen
yang bergabung melalui jalur autoregulasi oksida nitrat sehingga ketika
dopamin berinteraksi dengan oksitosin dan vasopresin, maka akan timbul
perasaan cinta.
3. Cinta adalah kegiatan yang dapat meningkatkan kesehatan dan
menimbulkan perasaan sejahtera, namun cinta juga bisa menjadi salah
satu stressor psikososial.
51
52
DAFTAR PUSTAKA
Aron, A., Fisher, H. E., Mashek D. J., Strong, G., Li, H., & Brown, L. L. (2005).
Reward, Motivation, and Emotion Systems Associatedwith Early-Stage
Intense Romantic Love. Journal of Neurophysiology.94: 327–337.
Adam H, et. al. Immunology of the gut and liver: a love/hate
relationship.Immunology Gut. 57(6):838-848.
Barnes GE., Malamuth NM., Check JVP. (1984). Personality and Sexuality.
Personality and Individual Differences. 5: 159-172.
Brook K. (2001). Education Of Sexuality For Teenager. North Carolina: Charm
Press
Berg, J., & Peplau, L. A. (1982). Loneliness: The relationship of self-disclosure
and androgyny. Personality and Social Psychology Bulletin. 8(4), 624-630.
Carter CS. (1998). Neuroendrocine perspectives on social attachment and love.
Psychoneuroendocrinology, 23: 779-881.
Chapman H M (2011).Love: a biological, psychological and philosophical study.
Senior Honors Projects. Paper 254.
http://digitalcommons.uri.edu/srhonorsprog/254
de Boer A, van Buel EM, Ter Horst GJ: Love is more thanjust a kiss: a
neurobiological perspective on love and affection. Neuroscience 2012;
201:114-24.
Dozier RW (2002). Why We Hate: Understanding, Curbing, and Eliminating
Hate in Ourselves and Our World. Chicago: Contemporary Books.
Ellis BJ, Malamuth NM (2000). Love and Anger in Romantic Relationships: A
Discrete Systems Model. Journal of Personality. 68 (3): 525-556.
Emanuele, E., Politi, P., Bianchi, M., Minoretti, P., Bertona, M.,& Geroldi, D.
(2006). Raised Plasma Nerve Growth Factor Levels Associatedwith Early-
Stage Romantic Love. Psychoneuroendocrinology. 31: 288–294.
53
Esch, T., & Stefano, G. B. (2005). The Neurobiology of Love.
Neuroendocrinology Letters. 26: 175–192.
Fisher, H. E., Aron, A., Mashek, D., Li, H., & Brown, L. L. (2002). Defining the
Brain Systems of Lust, Romantic Attraction, andAttachment. Archives of
Sexual Behavior.31: 413–419.
Fisher H (2004). Why We Love: The Nature and Chemistry of Romantic Love.
New Year: Henry Holt.
Fisher HE, Brown LL, Aron A, Strong G, Mashek D: Reward, addiction, and
emotion regulation systems associated with rejection in love. J
Neurophysiol 2010; 104:51-60.
Fontaine (1994). Personality Correlates of Sexual Risk-taking Among Men.
Personality and Individual Differences. 1: 693-694.
Francesco F, Cervone A (2014). Neurobiology of love. Psychiatria Danubina;
Vol. 26, Suppl. 1, pp 266–268
Fricchione GL, Stefano GB. Placebo neural systems: Nitric oxide, morphine and
the dopamine brain reward and motivation circuitries. Medical Science
Monitor 2005; 11:MS54–MS65.
Graziottin, A. (2004). Sexual Arousal: Similarities and DifferencesBetween Men
and Women. The Journal of Men’s Health & Gender.1: 215–223.
Hatfield, E., dan Walster, G.W. (1978). A New Look at Love. Reading, Mass.:
Addison-Wesley.
Hatfield E, Rapson, RL (1996). Love and sex: Cross-cultural perspectives. New
York: Allyn & Bacon.
Jarviss M. (2009). Teori-Teori Psikologi Pendekatan Modern Untuk Memahami
Perilaku, Perasaan Dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusa media.
King, A. L. (2010). Psikologi Umum (buku 2). Jakarta: Salemba Humanika.
Lewis T, Amini F, Lannon R (2000). A General Theory of Love. New York:
Random House, Inc.
Lieberwirth C & Wang Z: Social bonding: regulation by neuropeptides. Front
Neurosci 2014; 24;8:171.
Linda, S. (2007). Membimbing Anak Remaja. Jakarta: Karisma Publishing Group.
54
Longman Dictionary of Contemporary English Second Ed. (1987). Berlin:
Langenscheidt.
Malamuth NM (1989a). The Attraction to Sexual Agression Scale: Part one.
Journal of Sex Research. 26: 26-49.
Malamuth NM (1989b). The Attraction to Sexual Agression Scale: Part two.
Journal of Sex Research. 26: 324-354.
Maramis WF, Maramis AA (2009). Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi kedua.
Surabaya: Airlangga University Press.
Marazziti D, Canale D. Hormonal changes when falling in love.
Psychoneuroendocrinology 2004, 29; 931-6
Marazziti D, Baroni S (2012). Romantic love: the mistery of its biological roots.
Clinical Neuropsychiatry (2012) 9, 1, page: 14-19
Maslow AH. (1998). Toward a Psychology of Being 3rd Edition. Canada: John
Wiley and Sons.
Mearns, J (1991). Coping With A Breakup: Negative Mood Regulation
Expectancies And Depression Following The End Of A Romantic
Relationship. Journal of Personality and Social Psychology. 60: 327-334.
Meloy JR, Fisher H (2005). Some Thoughts on the Neurobiology of Stalking.
Journal of Forensic Sciences. 50 (6):1472-1480
Milinski, M. (2006). The Major Histocompatibility Complex,Sexual Selection and
Mate Choice. The Annual Review of Ecology, Evolution,and Systematics.
37: 159–186.
Neumann, I. D. (2007). Oxytocin: the Neuropeptide of Love Reveals Some of Its
Secrets. Cell Metabolis. 5: 231–233.
Nolen-Hoeksema, S., & Davis, C. G. (1999). "Thanks for sharing that":
Ruminators and their social support networks. Journal of Personality and
Social Psychology. 77: 801-814.
O'Connell LA, Hofmann HA: The vertebrate mesolimbic reward system and
social behavior network: a comparativ synthesis. J Comp Neurol 2011;
519:3599-3639.
55
Panksepp, J. (1998). Affective Neuroscience: The Foundations of Human and
Animal Emotions. USA: Oxford University Press.
Peplau, L. A., & Caldwell, M. (1978). Loneliness: A cognitive analysis. Essence.
2(4), 207-220.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1998). Loneliness. In H. S. Friedman (Ed.),
Encyclopedia of mental health, Vol. 2 (pp. 571-581). San Diego, CA:
Academic Press.
Potts G. (2008). Your Brain on Love: The Three Stages to Euphoria. The Oakland
Journal. 15: 16-27.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. (2006). Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Baru. Jakarta : Balai Pustaka
Russell, J. and Snodgrass, J. (1987) "Emotion and Environment" in D Stokols and
I. Altman (eds) Handbook of environmental psychology. Ch 8, pp245-281,
New York: Wiley.
Safaria, T., & Saputra, N. E. (2009). Manajemen Emosi. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Scheele D, Wille A, Kendrick KM, Stoffel-Wagner B, Becker B, Güntürkün O,
Maier W, Hurlemann R: Oxytocin enhances brain reward system responses
in men viewing the face of their female partner. Proc Natl Acad Sci USA
2013; 110:20308-13.
Schultz W (2000). Multiple Reward Signals in the Brain. Nature reviews. Nature
Science: 199-207.
Sternberg, RJ. (1986) A triangular theory of love. Psychological Review. 93:119-
135
Sternberg, RJ. (1988). The Triangle of Love: Intimacy, Passion, Commitment
Hardcover. New York: Basic Book.
Sternberg RJ, Weis K. (2006). The New Psychology of Love. London: Yale
University Press.
Wardani, S. D. (2009). StrategiCoping Orang tua Menghadapai Anak Autis.
Indigenious. Vol. 11, No. 1, 26-35.
56
Watson PJ, Andrews PW (2002). Toward A Revised Evolutionary Adaptationist
Analysis Of Depression: The Social Navigation Hypothesis. Journal of
Affective Disorders. 72 (1): 1-14.
Yuwanto, L. (2011). Reaksi Umum Putus Cinta. http://www.ubaya.ac.id/
ubaya/articles_detail/24/Reaksi-Umum-Putus-Cinta.html. Diakses pada 25
Desember 2015 pukul 15.30 WIB.
Zitzmann M, Nieschlag E. Testosterone levels in healthy men and the relation to
behavioural and physical characteristics: factsand constructs. Eur J
Endocrinol;2001;144;183-97
57